Fokus
STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN MELALUI PENINGKATAN DAYA SAING EKONOMI NELAYAN Dr. Arif Satria Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Arif Rachman, S.KPm Exchange Executive, Mindshare Indonesia
36 36
Volume19 19 No. No.22Desember Desember2014 2014 Volume
Agrimedia
Pendahuluan Industrialisasi kelautan dan perikanan adalah proses perubahan sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan, melalui modernisasi yang didukung dengan arah kebijakan terintegrasi antara kebijakan ekonomi makro, pengembangan infrastruktur, sistem usaha dan investasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sumberdaya manusia untuk kesejahteraan rakyat (KKP 2012). Adanya industrialisasi perikanan memberikan beberapa manfaat, terutama terkait dengan ketersediaan ikan untuk jangka panjang, peningkatan pola distribusi yang semakin baik, maupun peningkatan kualitas ikan itu sendiri. Namun, seiring dengan berjalannya waktu serta perkembangan masyarakat yang semakin modern, industrialisasi turut membawa perubahan seperti kondisi laut yang makin menurun, stok ikan yang semakin berkurang, hingga permintaan pasar ikan yang semakin meningkat. Apakah industrialisasi mampu memberikan perubahan yang signifikan bagi kemajuan sektor kelautan dan perikanan? Kondisi Industrialisasi Indonesia
Perikanan
di
Berbicara mengenai industrialisasi, tentunya tidak terlepas dari pengaruh global. Melihat kondisi Indonesia sekarang, menurut FAO negara kita menempati posisi ke-3 dalam jumlah produksi perikanan tangkap dunia setelah Cina dan Peru di tahun 2011, yaitu sebesar 5,3 juta ton. Dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki prestasi yang cukup baik. Namun hal sangat disayangkan, dengan jumlah hasil tangkapan yang demikian besar, Indonesia hanya menempati posisi ke-12 dari segi nilai ekspor hasil perikanan tangkap di tahun 2011 yaitu hanya sebesar US$ 3,52 milyar (KKP, 2011). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah tangkapan ikan
Agrimedia
yang demikian besar, tampaknya belum diikuti oleh orientasi pada pasar ekspor dunia. Selain itu, jika dibandingkan dengan negara-negara asia tenggara lainnya seperti Vietnam dan Thailand, dari segi hasil produksi perikanan, kedua negara tersebut jauh di bawah Indonesia. Namun, data FAO juga memaparkan bahwa kedua negara tersebut ternyata di tahun 2011 memiliki nilai ekspor yang jauh diatas Indonesia, yaitu Thailand sebesar US$ 7,01 milyar dan Vietnam sebesar US$ 6,2 milyar. Hal ini tentunya membuktikan bahwa tantangan dan persaingan global dalam konteks industrialiasi perikanan akan semakin ketat, bahkan di kancah asia tenggara sendiri. Industri Perikanan Tuna di Indonesia Salah satu industri perikanan yang cukup menjadi sorotan adalah industri perikanan tuna. Bagi Indonesia, industri tuna merupakan salah satu industri strategis yang melibatkan kepentingan banyak pihak, baik pada level lokal, nasional, maupun internasional. Secara global, kontribusi tuna Indonesia mencapai 15-20 persen dari total produksi tuna global yang biasanya diikuti Filipina, Cina, Jepang, Korea, Taiwan, dan Spanyol (SFP, 2011 dalam KKP, 2012). Namun, nilai ekspor tuna Indonesia hanya berkontribusi sebesar empat persen total ekspor dunia. Hal ini disebabkan beberapa alasan. Isu-isu terkait dengan kualitas produk masih menjadi hal yang utama. Tuna menduduki rangking tertinggi penolakan FDA yaitu sebesar 37 persen dari total penolakan. Hal ini dikarenakan kandungan salmonella yang dianggap melebihi ambang batas toleransi (Sugandhi, 2012 dalam KKP, 2012). Secara tersirat, ini juga membuktikan bahwa penanganan terkait kualitas mutu dari pihak nelayan maupun penyalur masih kurang.
Volume 2 Desember 2014 37 37 Volume 19 19 No.No. 2 Desember 2014
Fokus Terdapat banyak hal yang perlu dipertimbangkan berdasarkan data tersebut. Di satu sisi, adanya industrialisasi perikanan tuna membuat tingkat kebutuhan ikan untuk masyarakat terus meningkat, baik dari jumlah, maupun mutu dari hasil tangkapan. Namun di sisi lain, mayoritas nelayan tuna yang ada di Indonesia masih tergolong ke dalam nelayan tradisional (Satria, 2012). Jangankan untuk memikirkan jumlah dan mutu tangkapan, untuk memikirkan urusan kebutuhan pangan sehari-hari saja mereka masih harus bekerja ekstra keras. Belum lagi kurangnya pendidikan dan pengetahuan nelayan turut membuat keadaan nelayan makin buruk (Muflikhati, 2010). Faktor-faktor di atas tersebut yang diduga melandasi mengapa masih banyak nelayan belum mampu berperilaku sesuai dengan konteks industrialisasi dan mengapa industrialisasi perikanan tuna di Indonesia belum berjalan dengan semestinya. Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur merupakan lokasi yang sangat strategis untuk usaha penangkapan ikan, khususnya tuna. Desa Tambakrejo terbagi menjadi 2 dusun, yaitu Dusun Sendang Biru dan Dusun Tamban. Berdasarkan etnis, umumnya berasal dari etnis Jawa dan Bugis. Jumlah penduduk Desa Tambakrejo sebanyak 8.284 jiwa dengan jumlah KK 1.791, meliputi 3.578 laki-laki dan 4.706 perempuan. Mayoritas penduduk desa bermatapencaharian sebagai nelayan (48,6%). Dilihat dari letak geografis dan potensi perairan, pantai Sumbermanjing Wetan memiliki panjang garis pantai sekitar 27,02 km, dengan luas perairan laut 4 mil sekitar 178,76 km2 dan luas perairan 12 mil sekitar 536,29 km2 (PPI Pondokdadap, 2011). Secara keseluruhan, hasil tangkapan jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, layang dan teri merupakan jenis yang paling banyak ditangkap setiap tahunnya. Perairan Desa Tambakrejo juga menjadi tempat pendaratan ikan tuna dan memiliki peran yang cukup penting dalam memasok ikan tuna baik dalam maupun luar negeri. Setidaknya terdapat tiga aktor yang berperan dalam penangkapan ikan tuna di Desa Tambakrejo meliputi nelayan pekerja, pengambek, dan pemilik kapal. Nelayan pekerja adalah mereka yang turun langsung dalam usaha penangkapan ikan di laut. Pengambek adalah orang-orang yang memberikan modal untuk kegiatan melaut. Adanya proses industrialisasi baik secara global maupun nasional tentunya memberikan implikasi bagi para 38
Volume 19 No. 2 Desember 2014
nelayan tuna di daerah Desa Tambakrejo. Berdasarkan realitas tersebut, menarik untuk dianalisa lebih lanjut mengenai bagaimana perilaku ekonomi nelayan tuna di sekitar Desa Tambakrejo dalam kerangka industrialisasi perikanan. Perilaku Ekonomi Nelayan Ikan Tuna Perilaku ekonomi adalah perilaku yang menunjukkan respon individu atau rumahtangga sebagai produsen dan konsumen terhadap perubahan kekuatan pasar yang terjadi, yang dilandasi dengan tujuan maksimisasi kepuasan atau utilitas (Fariyanti, 2008). Terdapat berbagai perubahan pada sistem kerja nelayan tuna di Sendang Biru seperti perubahan sistem melaut, penggunaan kapal sekoci, rumpon, ataupun GPS yang tidak lepas dari proses industrialisasi perikanan yang terjadi. Kedepannya, industrialisasi tidak hanya terkait dengan peningkatan teknologi, melainkan lebih fokus pada kualitas hasil tangkapan. Dalam peningkatan kualitas hasil tangkapan tentunya tidak lepas dari peran nelayan. Peran nelayan sangatlah penting, mengingat nelayan adalah orang yang terjun langsung dalam usaha penangkapan ikan. Pertanyaannya adalah “apakah kapasitas nelayan tuna di Sendang Biru sudah sesuai dengan konteks industrialisasi?”. Dalam memahami hal tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan menganalisis perilaku ekonomi yang dilakukan oleh nelayan tuna. Perilaku Orientasi Mutu Nelayan Tuna Sendang Biru Perilaku orientasi mutu sangat mutlak dibutuhkan dalam peningkatan usaha perikanan tuna. Secara mendasar sebenarnya perilaku orientasi mutu yang dilakukan oleh nelayan tuna Sendang Biru dapat dikatakan sudah cukup baik. Pertama, yaitu terkait dengan kebersihan peralatan melaut. Mayoritas dari responden nelayan mengatakan bahwa sebelum melaut mereka terlebih dahulu membersihkan dek kapal, box p e ny i m p a n a n ikan, dan juga alat tangkap. Hal ini dilakukan agar kondisi kapal menjadi nyaman untuk digunakan dan dapat
Agrimedia
membantu menjaga kualitas ikan. Kedua, penggunaan es dianggap juga sudah cukup mumpuni. Berbeda dengan pendapat Sihombing (2003) yang menyatakan bahwa nelayan jarang membawa es, semua nelayan di Sendang Biru sudah membawa es saat melaut. Biasanya nelayan yang pergi melaut akan membawa sekitar 100– 150 balok es. Semua es tersebut nantinya digunakan untuk mengawetkan ikan agar tidak cepat busuk. Ketiga, pembuangan insang ikan juga sudah dilakukan dengan baik. Nelayan sudah paham bahwa jika insang ikan tidak di buang maka ikan akan cepat busuk. Sayangnya perlakuan pada ikan ukuran kecil sedikit berbeda. Biasanya ikan-ikan tuna ukuran kecil insangnya akan dibiarkan begitu saja. Selain menambah pekerjaan, harga ikan tuna kecil yang rendah membuat beberapa nelayan agak malas untuk membuang insangnya. Padahal insang dan darah dari ikan kecil bisa berpengaruh pada ikan-ikan besar. Keempat, penggunaan pelindung matahari di kapal juga sudah banyak diperhatikan oleh para nelayan. Sebagian besar nelayan sudah tanggap dengan orientasi mutu ikan. Kelima, sekarang ini masih banyak nelayan tuna di beberapa daerah seperti NTT dan Ambon yang meloin atau memotong-motong ikan hasil tangkapannya agar tidak memakan tempat yang luas. Nelayan di Sendang Biru hampir seluruhnya sudah paham akan hal tersebut. Jangankan memotong-motong tuna di tengah laut, gores-goresan pada kulit tuna saja sudah dapat membuat harganya menurun. Jadi sekarang ini tidak ada nelayan tuna Sendang Biru yang memotong tuna tangkapannya di tengah laut. Hal yang sangat disayangkan, menurut pemaparan dari beberapa pengambek dan penjual, ikan hasil tangkapan nelayan di Sendang Biru hampir seluruhnya belum ada yang memenuhi standar mutu kelas A di beberapa perusahaan. Jika
Agrimedia
ditelusuri secara lebih mendalam, diduga penggunaan teknologi (akan dibahas pada perilaku adaptasi teknologi) dan faktor eksternal nelayan juga turut mempengaruhi keadaan tersebut. Pertama, kondisi penjualan dan pelelangan di TPI masih belum berjalan secara maksimal. Belum ada tenaga ahli yang benarbenar paham mengenai penilaian kualitas mutu ikan tuna. Penjualan ikan di TPI Pondokdadap umumnya masih didasarkan pada ukuran berat ikannya saja, bukan berdasarkan kualitas dagingnya. Kedua, kondisi sarana dan prasarana yang terdapat di TPI juga kurang mumpuni. Menurut hasil pengamatan lapangan, kondisi TPI sendiri kondisinya sangat buruk. Ukurannya masih terbilang kecil dan sanitasinya kurang baik. Selain itu, lantai TPI terasa kasar dan masih banyak terdapat kotoran dan bekas darah di mana-mana. Padahal, saat dilelang, semua ikan hasil tangkapan dijajarkan dan diletakkan di lantai begitu saja tanpa ada alasnya lagi. Kotoran-kotoran dan bekas darah yang ada di lantai dapat membuat ikan lebih cepat rusak dan terjangkit bakteri. Perilaku Adaptasi Teknologi Nelayan Tuna Sendang Biru Peran teknologi sangatlah dibutuhkan dalam peningkatan kualitas dan kuantitas hasil tangkapan. Peran ini tidak hanya terkait ketersediaan alat, melainkan juga berkaitan dengan kemampuan nelayan untuk menggunakannya, atau dapat disebut adaptasi teknologi. Pertama, semua kapal sekoci yang digunakan nelayan Sendang Biru sudah menggunakan mesin. Hal ini membuat daya jangkaunya pun sudah mencapai 250 mil jauhnya, hampir mendekati perbatasan dengan perairan negara Australia. Kapal-kapal tersebut juga mayoritasnnya sudah dilengkapi dengan GPS dan kompas sebagai penunjuk arah. Selanjutnya, adaptasi teknologi juga dilakukan terkait dengan penggunaan rumpon. Rumpon terdiri atas pelampung, tali, pemberat, ban bekas, dan daun-daun kelapa. Rumpon dipasang dengan jarak 200–250 mil ke tengah laut. Satu buah rumpon umumnya digunakan oleh 5 sampai 6 unit kapal. Dengan menggunakan rumpon, nelayan tidak harus menebak-nebak posisi ikan, melainkan cukup datang ke daerah rumpon yang mereka miliki dan memancing ikan di sekitarnya.
Volume 19 No. 2 Desember 2014
39
Fokus Secara umum perilaku adaptasi teknologi yang dilakukan nelayan sudah terbilang baik. Namun, untuk penggunaan teknologi-teknologi yang lebih canggih masih jarang ditemukan. Contohnya, penggunaan alatalat modern seperti radio komunikasi dan alat pencari ikan (fish finder) juga belum banyak dilakukan oleh nelayan. Sebenarnya tanpa kedua alat inipun usaha perikanan masih tetap bisa berjalan. Namun jika ingin berjalan makin selaras dengan industrialisasi, ada baiknya kedua alat tersebut perlu dipertimbangkan untuk dipergunakan. Dari segi efektifitas, penggunaan fish finder dapat membantu nelayan mencari posisi ikan yang paling strategis. Selanjutnya, dengan menggunakan radio komunikasi, nelayan dapat berinteraksi dengan orang-orang di darat, petugas-petugas perikanan, dan sesama nelayan. Perilaku Hubungan Sosial Nelayan Tuna Sendang Biru Menjadi nelayan yang baik bukan hanya dinilai dari seberapa besar kapal yang digunakan atau seberapa banyak ikan yang mampu ditangkap. Nelayan yang baik adalah nelayan yang juga mampu beradaptasi dan membina hubungan yang baik dengan lingkungan sosialnya. Mugni (2006) menyatakan bahwa salah satu cara nelayan untuk bertahan hidup yaitu dengan cara membina hubungan patron-client yang baik dengan patron-nya. Secara keseluruhan, hampir semua nelayan tuna di sana sudah paham dan berusaha untuk menjaga hubungan patron-client dengan baik. Hal ini dilakukan agar terjadi hubungan timbal balik yang baik dan mampu membantu nelayan. Selanjutnya, hubungan sosial yang dilakukan oleh nelayan adalah pembinaan hubungan baik dengan sesama nelayan. Hubungan ini dapat dikatakan sudah terjalin dengan baik. Walaupun memiliki keragaman etnis yang sangat tinggi, hubungan
40
Volume 19 No. 2 Desember 2014
di antara seluruh nelayan tetap mampu dijaga dengan baik. Hal ini dapat diciptakan karena sudah adanya berbagai konsolidasi mengenai aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap nelayan. Terakhir, walaupun ada kelompok nelayan yang menaungi, para nelayan Sendang Biru jarang yang mengikuti pertemuan kelompok. Hal ini biasanya dikarenakan jumlah yang sangat banyak dan rutinitas nelayan yang berbedabeda. Hal tersebut berimplikasi pada kurang meratanya informasi yang diterima oleh nelayan. Perilaku Ketenagakerjaan Nelayan Tuna Sendang Biru Strategi yang cerdas sangat dibutuhkan dalam upaya pencapaian kesejahteraan individu dan keluarga. Dalam mencapai tujuan tersebut, jumlah pendapatan bukanlah hal yang paling utama. Salah satu faktor penting lainnya, yaitu kemampuan dalam memanajemen pola kerja. Pertama, jarang sekali nelayan tuna Sendang Biru yang memiliki pekerjaan sampingan, baik pada musim tangkap maupun paceklik. Pada musim tangkap, hampir seluruh nelayan menggantungkan hidupnya dari usaha penangkapan ikan. Namun pada musim paceklik, umumnya nelayan malas untuk mencari pekerjaan lain. Akibatnya mereka akan mengandalkan sisa uang musim tangkap, bahkan sampai meminjam pada orang lain. Dalam upaya peningkatan pola kerja nelayan, tentunya peningkatan pengetahuan dan kemampuan nelayan sangat dibutuhkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian penyuluhan. Sebenarnya pemerintah sudah memiliki agenda penyuluhan setiap tahunnya. Namun sayangnya, karena persepsi nelayan mengenai komersialisme sudah tinggi sedangkan persepsi mengenai manfaat penyuluhan masih rendah, penyuluhan akhirnya berjalan dengan kurang maksimal.
Agrimedia
Disamping berbagai kekurangan, ada pula perilaku positif yang dilakukan nelayan terkait dengan pola kerja. Mayoritas nelayan yang ada di Sendang Biru melakukan kegiatan penangkapan ikan secara rutin. Hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi hampir seluruh nelayan tuna di sana. Tanpa harus menunggu uang hasil tangkapan kemarin habis, nelayan akan pergi melaut kembali jika waktunya telah tiba. Perilaku Konsumtif Nelayan Tuna Sendang Biru Untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari, mayoritas nelayan tuna Sendang Biru bergantung pada usaha perikanan. Ketika musim ikan sedang datang, maka pendapatan nelayan akan meningkat drastis, demikian pula sebaliknya. Saat musim paceklik pemasukan para nelayan sangat sedikit, bahkan seringkali tanpa pemasukan sedikitpun. Dengan kondisi yang demikian, sebenarnya diperlukan adanya manajemen ekonomi yang baik, sehingga kondisi keuangan nelayan bisa tetap stabil sepanjang tahun. Kemampuan manajemen keuangan nelayan tuna Sendang Biru juga tampaknya masih sangat kurang. Saat musim ikan tiba, banyak dari mereka yang begitu mudah menghabiskan uang. Mereka akan berfoya-foya untuk menghabiskan uang hasil melautnya tersebut. Selain bersenang-senang setelah pulang melaut, biasanya nelayan tidak ragu-ragu untuk membeli barang-barang mahal ketika mereka memiliki uang. Namun, sudah menjadi pemandangan yang lumrah jika musim paceklik tiba, banyak nelayan yang berbondong-bondong untuk menjual barang-barang yang dia miliki untuk sekedar menyambung hidup. Selain menjual barang, biasanya nelayan juga mencari alternatif dengan meminjam uang kepada pengambek. Perilaku konsumtif lainnya yang lumrah dilakukan nelayan Sendang Biru yaitu merokok, minum alkohol, berjudi, dan bermain wanita. Pertama yaitu mengenai rokok. Rokok tampaknya sudah menjadi kebutuhan pokok bagi kehidupan para nelayan. Dari penuturan beberapa nelayan, jika sebentar saja tidak merokok apalagi saat sedang menangkap ikan, maka badan akan terasa lemas dan tidak bertenaga.
Agrimedia
Perilaku konsumtif selanjutnya adalah minum alkohol. Sama halnya dengan rokok, minum alkohol sudah menjadi hal biasa bagi seluruh nelayan. Selain sebagai bentuk kesenangan setelah melaut, minuman ini juga biasanya dibawa saat ke laut sebagai selingan saat sedang senggang. Sejalan dengan konsumsi alkohol, perjudian di sekitar Sendang Biru masih banyak terjadi. Namun berbeda dengan dahulu, judi-judi yang dilakukan nelayan sekarang tidak lagi dalam lingkup yang besar, melainkan hanya dalam skala kecil. Judi seperti menggunakan kartu hanya dilakukan antara beberapa orang saja dengan tujuan untuk mencari kesenangan belaka. Terakhir, perilaku konsumtif yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru yaitu bermain wanita. Bagi masyarakat desa maupun nelayan, memang topik ini agak tabu untuk diperbincangkan. Namun, tidak sedikit pula nelayan yang melakukan hal tersebut. Strategi Industrialisasi Ikan Tuna Tantangan dan persaingan global dalam konteks industrialiasi perikanan tuna akan semakin ketat. Diperlukan strategi untuk mengimbani hal tersebut khususnya strategi peningkatan kompetensi dan mutu ikan tuna. Pertama, penyuluhan perikanan mutlak diperlukan. Nelayan harus dimotivasi untuk memperhatikas aspek standar mutu ikan tuna. Penyediaan tenaga ahli di bidang standarisasi mutu ikan juga dibutuhkan untuk mendukung hal tersebut. Kedua, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diharapkan mampu menyediakan sarana dan prasarana yang lebih mumpuni, diantaranya merampungkan pembangunan TPI dan membantu penyediaan tempat pendinginan ikan. Ketiga, pemerintah juga berperan penting dalam dalam mengatur harga ikan tuna. Keempat, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pemberian bantuan-bantuan modal kepada nelayan yang didasarkan pada kebutuhan, kemampuan, dan kondisi nelayan setempat. Perlu adanya perencanaan sistem pemasaran yang lebih baik dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti pemerintah daerah, pihak PPI, KUD, dan nelayan.
Volume19 19 No. No.22Desember Desember2014 2014 Volume
41 41
Fokus Penutup Industrialisasi perikanan diharapkan akan menjadi penghela percepatan produksi perikanan nasional, mulai dari ikan segar, bahan baku, sampai dengan ikan olahan dan/atau produk lain berbahan ikan dengan sistem manajemen perikanan yang berorientasi pasar, sehingga memberikan manfaat bagi perekonomian rakyat. Industri perikanan tuna di Indonesia menjadi salah satu sektor strategis, namun mutu ikan tuna Indonesia masih diragukan. Hal ini tentu berhubungan dengan orientasi subsusten nelayan kita yang mayoritas adalah nelayan tradisional. Jangankan untuk memikirkan jumlah dan mutu tangkapan, untuk memikirkan urusan kebutuhan pangan sehari-hari saja mereka masih harus bekerja ekstra keras. Diperlukan strategi pengembangan industrialisasi perikanan tuna yang lebih menitikberatkan pada peningkatan kompetensi nelayan, penyediaan sarana dan prasarana, pengaturan harga ikan, serta bantuan modal. Referensi Fariyanti A. 2008. Perilaku Ekonomi Rumah tangga Petani Sayuran dalam Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk Di Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
42
Volume 19 No. 2 Desember 2014
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Perairan Laut 2011. http://statistik.kkp.go.id/ [30 Desember 2012]. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012. Industri Perikanan Tuna di Indonesia: Sumberdaya, Kontribusi Ekonomi, dan Pengelolaannya [white paper]. Jakarta: Makalah disampaikan dalam Workshop Perikanan Tuna. Muflikhati I. 2010. Analisis dan Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Sumber daya Manusia Dan Kesejahteraan Keluarga di Wilayah Pesisir Provinsi. Mugni A. 2006. Strategi Rumah Tangga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Satria A. 25 April 2012. Industrialisasi Perikanan. [artikel koran]. Harian Seputar Indonesia Sihombing HA. 2003. Analisis Pendapatan Nelayan Menurut Jenis Usaha di Desa Pangandaran Kabupaten Ciamis [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [UU] Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan. [UU] Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Agrimedia