Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009
Strategi Peningkatan Daya Saing Agribisnis Kopi Robusta dengan Model Daya Saing Tree Five oleh
Soetriono
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS KOPI ROBUSTA DENGAN MODEL DAYA SAING TREE FIVE Competitiveness Acceleration Strategy on Robusta Coffee Bean Agribusiness with Competitiveness Tree Five Model Soetriono Program Studi Agribinsis Pasca Sarjana Universitas Jember
ABSTRACT The research aimed to study, to predict, and to formulate the competitiveness of Robusta coffee bean commodity for harmonization of the effort to overcome problems related to various gaps such as production aspects, input-output demand, agro-industry, and government policies. The samples of research were taken from East Java Province (Kabupaten Malang and Jember) and Lampung Province (Kabupaten Tanggamus). The methods of data analysis used Risk Analysis, Supply and Demand, Policy Analysis Matrix (PAM), Tree Five Competitiveness, and policy simulation. The results of the research showed that: from the side of supply, the production of Robusta coffee bean should consider some factors, such as the number of coffee bean production in Indonesia, the price of fertilizer in the country, the government policy of protection that were less support to the competitiveness acceleration; from the demand perspective, there is a significant opportunity in coffee post harvest processing (i.e. coffee powder) demand in the domestic and world market; from the environment and farming business perspective, it is considered as monoculture and has not yet applied suggested technical culture, the awareness of smallholders about genuine seed variety is low, most of coffee tree is very old/damage and infected by plant diseases. Also, coffee commodity is just processed in the primary level (i.e. dry coffee bean) meanwhile downstream product processing has not yet been conducted significantly; from the policy perspective, it is concluded that the government support in the domestic policy is lacking (shown by the coefficient of DRC is better than PCR, the coefficient of NPCO and SRP is not supporting the competitiveness acceleration if they are compared to the world price). But, the coefficient of NPCI of the government policy has contributed a significant support for the competitiveness acceleration and; from the social perspective, it is shown that the smallholders is dominantly risk neutral or safety first. Key words : policies and competitiveness ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari, meramalkan dan merumuskan daya saing komoditas kopi robusta sehingga diharapkan akan memperoleh keselarasan langkah sebagai upaya mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan berbagai kesenjangan, baik dari aspek produksi, permintaan input output, agroindustri dan kebijakan pemerintah. Lokasi penelitian di Jawa Timur (Kabupaten Malang dan Jember) dan Propinsi Lampung Kabupaten Tanggamus, dengan menggunakan analisis Risiko, Permintaan dan Penawaran, Policy Analysis Matrix (PAM), Daya Saing Tree Five, dan simulasi kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan dari sisi penawaran, produksi kopi robusta sejogjanya memperhatikan factor jumlah produksi kopi Indonesia, harga pupuk didalam negeri, 1
kebijakan protektif pemerintah yang kurang mendukung percepatan daya saing; sisi permintaan, adanya peluang yang sangat besar terhadap permintaan kopi di pasar domestik dan dunia; sisi lingkungan dan peluang usahatani, sebagaian besar diusahakan secara monokultur dan belum menerapkan kultur teknis yang sesuai dengan anjuran, kesadaran petani akan benih unggul bermutu masih rendah, sebagian tanaman kopi sudah tua/rusak, terserangnya hanya penyakit. Selain itu produk kopi baru diolah pada tingkat primer yaitu berbentuk biji kopi kering, sedangkan pengolahan produk hilirnya belum banyak dilakukan. Sisi kebijakan domestik, kurang dukungan dari pihak pemerintah dilihat dari koefisien DRC lebih baik dari PCR, koefisien NPCO dan SRP kurang mendukung percepatan daya saing apabila dibandingkan dengan harga yang sesungguhnya, namun dari koefisien NPCI kebijakan pemerintah memberikan dukungan yang berarti demi percepatan daya saing dan; dari sisi social dapat di lihat dari perilaku petani netral risiko atau safety first Kata kunci : kebijakan dan daya saing
PENDAHULUAN Kopi merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang mempunyai kontribusi cukup nyata dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penghasil devisa, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan lapangan kerja dan pengembangan wilayah (Dirjen Perkebunan, 2006). Pada tahun 2005 Indonesia mengekspor kopi robusta sebesar 4.847 ribu karung atau 17,25% dari ekspor kopi robusta dunia. Namun beberapa tahun terakhir telah tergeser oleh Vietnam, yang pada tahun 2005 pangsa pasar kopi robustanya telah mencapai lebih dari 50% dari perdagangan kopi robusta dunia sebesar 14.642 ribu karung, sehingga Indonesia tergeser pada posisi ke empat setelah Brazil, Vietnam dan Columbia. Tingkat produktivitas di Indonesia saat ini mencapai rata-rata sebesar 700 kg biji kering per hektar per tahun, baru mencapai 60% dari potensi produkstivitas yang dimilikinya. Tingkat produktivitas tanaman kopi Indonesia juga lebih rendah jika dibandingkan dengan Negara produsen utama kopi dunia lainnya, seperti Vietnam (1.540 kg/ha/th), Columbia (1.220 kg/ha/thn) dan Brazil (1.000 kg/ha/th). Apabila ditinjau dari arah kebijakan umum pengembangan kopi tidak terlepas dari kebijakan umum pembangunan perkebunan, yaitu memberdayakan di hulu dan memperkuat di hilir guna menciptakan peningkatan nilai tambah dan daya saing komoditi kopi, dengan memberikan intensif, penciptaan iklim usaha yang kondusif dan peningkatan partisipasi seluruh stakeholder serta penerepan organisasi modern yang berlandaskan pada penerapan IPTEK (Dirjen Perkebunan, 2006). Selanjutnya Suryana (2006) mengatakan bahwa arah penelitian dan pengembangan perkopian ditujukan kepada pekebun miskin dimana terbangunnya landasan penelitian dan pengembangan perkopian yang berbasis kepada masyarakat kebun (individu atau kelompok) itu sendiri dengan menawarkan teknologi, 2
produktivitas, “peningkatan daya saing” dan agribisnis terpadu yang dapat memperbaiki kesejahteraan keluarga pekebun. Guna mendorong keberlanjutan perkopian nasional yang tangguh di masa mendatang maka diperlukan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dapat menghasilkan strategi pencapaian daya saing agribisnis kopi dipasar domestik dan dunia. Daya saing tersebut tidak hanya mengandalkan aspek-aspek keunggulan komparatif yang inklusif terdapat dalam komoditas tersebut namun harus dipandang secara holistik keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan kebijakan pemerintah dalam pengusahaan agibisnis kopi robusta dengan penerapan daya saing “tree five”. Konsep daya saing tree five (Soetriono, 2004), akan digunakan dalam kajian ini, dimana tree five merupakan penyempurnaan dan kombinasi dari beberapa teori daya saing terdahulu, diantaranya dari Teori Pra Klasik (Merkantilisme), Teori Klasik Adam Smith dan David Ricardo, Teori Modern Hecksher-Ohlin, Alternative Teori oleh M. Porter (Competitive Advantage) dan R.D Aveni (Hyper Competitive). Daya saing tree five dapat dlilustrasikan pada Gambar 1. Sosial
Lingkungan
Usahatani
Ekonomi
DAYA SAING
Kebijakan Domestik
Peluang Pasar
Permintaan
Kebijakan Internasional
Gambar 1. Bagan Daya Saing Three Five (Soetriono, 2004) Gambar 1 memberikan ilustrasi bahwa, persoalan daya saing kopi robusta bukan saja di sebabkan oleh faktor internal tetapi juga faktor eksternal, dimana faktor internal tersebut, antara lain: 1). Usahatani yang terdiri dari share holder tenaga kerja, bibit, pupuk, obat-obatan, modal, risiko, pesaing dalam mengusahakan komoditas kopi, sumberdaya alam dan teknologi yang digunakan. 2) Permintaan konsumen langsung dan agroindustri yang dapat memberikan nilai tambah dan keunggulan komparatif berkelanjutan (SCA) seperti yang diutarakan oleh D’Aveni, 1992. 3) Lingkungan agroekologi, sarana prasarana, transportasi dan jenis pasar yang dihadapi. Sedangkan faktor eksternal yang dapat menyebabkan daya saing komoditas kopi antara lain : 1) 3
kebijakan internasional yang terdiri dari kondisi perekonomian, pasar kopi internasional, kesepakatan internasional dan politik perdagangan negara pemasok. 2) kondisi sosial ekonomi masyarakat petani kopi dalam negeri dan internasional. 3) peluang pasar domestik dan internasional, dan 4) kebijakan domestik (politik, keberadaan ekonomi negara dan keperpihakan terhadap petani dan pengrajin agroindustri kopi), dan 5) kondisi perekonomian domestik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari, meramalkan dan merumuskan daya saing komoditas kopi robusta sehingga dapat memperoleh model percepatan daya saing, baik ditinjau dari aspek produksi, permintaan input output, agroindustri, permitaan dan penawaran di tingkat domestik maupun pasar internasional dan kebijakan pemerintah di masa akan datang. METODOLOGI Daerah penelitian ditentukan dengan (purposive) (Nasir, 1989) berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah terpilih merupakan sentra produksi dan lokasi eksportir terbesar, yaitu Lampung dengan kontribusi total produksi nasional 22,28%, luas 169.138 Ha, produksi 148.390 ton, dan Jawa Timur dengan luas 44.150 Ha, produksi 18.994 ton, kontribusi 2,85%. (Statistik Perkebunan Indonesia, 2006) Penelitian ini terdiri dari atas beberapa analisis yaitu: analisis kelayakan usaha, analisis risiko berdasarkan fungsi utilitas melalui pendekatan Certainty Equivalent (Soetriono, 2004), Policy Analisis Matrix (PAM) (Monke dan Pearson, 1989), Matrik Kebijakan di jelaskan pada Tabel 1. Tabel 1. Matriks Analisis Kebijakan Uraian Revenue Harga Pasar Harga Sosial Pengaruh Divergensi dan Kebijakan Efisien
A E I3
Biaya Input Input non Tradeable Tradeable B C F G J4
K5
Profit D1 H2 L6
PAM dapat memberikan informasi tentang profitabilitas, daya saing (keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif) suatu komoditas serta dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas kopi robusta. Dari informasi tabel PAM di dapat berbagai indikator analisis sebagai berikut: 1. Keuntungan Privat (D) = (A) -(B) -(C) 2. Keuntungan Sosial (SP)= (E) - (F) -(G) 3. Transfer Output (OT) =(A) - (E) 4
4. Transfer Input (IT)= (B)- (F) 5. Transfer Faktor (FT) = (C) - (G) 6. Transfer Bersih (NT) = (D) - (H) 7. Rasio Biaya Privat (PCR) atau KBSD aktual = C/ A -B 8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau KBSD sosial = G/ E-F 9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A / E 10.Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B / F 11.Koefisien Proteksi Efektif (EPC)= A-B / E-F 12. Koefisien Keuntungan (PC)= D/H 13. Ratio Subsidi bagi Produsen (SRP)= L/ E Sedangkan untuk analisis simulasi daya saing dalam analisis PAM yang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan harga output, harga input (harga pupuk, harga obat-obatan dan upah tenaga kerja), Swadoh Exhange Rate (SER), Nilai Tukar Rupiah (NTR), tingkat produktivitas dan bea masuk (protektif) yang dapat mempengaruhi daya saing komoditas kopi robusta. Selain analisis diatas masih menggunakan analisis permintaan dan penawaran pasar kopi Indonesia menggunakan model ekonometrika dengan membangun sistem persamaan simultan yang terdiri dari 14 persamaan struktural, 3 persamaan identitas dan simulasi, dapat diformulasikan sebagai berikut. a. Areal perkebunan kopi di Indonesia API = a 0 + a 1 PPID + a 2 APIl + a 3 WD + a 4 IRI + a 5 T keterangan: API = Luas areal kopi PPID = Harga kopi APIL = Areal perkebunan kopi pada tahun sebelumnya WD = Upah tenaga kerja IRI = Nilai Tambah T = periode waktu; 1 = 1970,........35 = 2005 b. Produktivitas kopi Indonesia YPI = b 0 + b 1 KTD + b 2 IRI + b 3 CONPIINA keterangan : YPI = Produktivitas kopi KTD = Kredit investasi IRI = Nilai tambah kopi CONPIINA = Konsumsi makanan c. Ekspor Kopi XPIINA = c 0 + c 1 PWPID + c 2 QPIINA + c 3 QXWPI + c 4 QMWPI keterangan : XPIINA = Ekspor kopi Indonesia PWPID = Harga dunia QPIINA = Jumlah produksi kopi di Indonesia QXWPI = Jumlah ekspor dunia QMWPI = Jumlah impor dunia 5
d. Impor Kopi QMPIINA = d 0 + d 1 PWPID + d 2 QXWPI + d 3 QMWPI + d 4 YPI + d 5 PFD + d 6 PPID + d 7 IRI + d 8 POPINA + d 9 PGULD keterangan : QMPIINA = Jumlah impor kopi Indonesia PWPID = Harga Dunia QXWPI = Jumlah ekspor kopi dunia QMWPI = Jumlah impor kopi dunia YPI = Produktivitas PFD = Harga Pupuk PPID = Harga Dunia IRI = Nilai Tambah POPINA = Jumlah penduduk Indonesia PGULD = Harga gula e. Permintaan Kopi DPI = (QPIINA + QMPIINA - XPIINA - STPIINA) keterangan : DPI QPIINA QMPIINA XPIINA STPIINA
= Permintaan kopi = Jumlah poduksi kopi = Jumlah impor kopi = Jumlah ekspor = Stock kopi
f. Harga Dunia PWPID = f 0 + f 1 PWPIDL + f 2 REKSIMP keterangan : PWPID PWPIDL REKSIMP
= Harga dunia = Harga unia pada tahuns sebelumnya = Rasio ekspor-impor
g. Penerimaan Kopi NTKOPI =
(QPPI-XPIINA)PPID + QMPIINA(PPI-PMPIINA.EFIINA) + XPIINA.PXPIINA.EFIINA
keterangan : NTKOPI QPPI XPIINA PPID QMPIINA PPI PMPIINA EFIINA XPIINA
= Penerimaan kopi = Jumlah produksi = ekspor kopi Indonesia = Harga kopi = Jumlah impor kopi = Harga kopi = Harga impor = Nilai tukar = Ekspor kopi Indonesia 6
PXPIINA EFIINA
= Harga ekspor kopi Indonesia = Nilai tukar Indonesia
h. Penawaran Kopi SDPIINA = n 0 + n 1 QPIINA + n 2 PPID + n 3 YPI + n 4 PFD + n 5 IRI keterangan : SDPIINA QPIINA PPID YPI PFD IRI
= Penawaran kopi Indonesia = Jumlah produksi kopi = Harga kopi = Produktivitas = Harga pupuk = Nilai tambah
Simulasi model dilakukan dengan simulasi peramalan untuk periode 1970-2005 (historical simulation). Simulasi bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan masa lampau membuat peramalan historis mengenai alternatif-alternatif kebijakan dengan harga pupuk 10%, 25% dan penghapusan subsidi. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis, bahwa usahatani kopi robusta yang dilakukan petani di tiga wilayah (Tanggamus, Malang dan Jember) layak secara finansial dan ekonomi untuk diusahakan (lampiran 1), walau sudah dilaksanakan dalam kurun waktu 25 tahun, baik secara monokultur maupun diversifikasi. Kreteria yang digunakan untuk kelayakan investasi adalah NPV, B/C , Gross B/C, IRR dan PP, kelima kreteria serempak menyatakan layak, namun masing-masing wilayah berbeda tingkat kelayakannya. Selain itu masih adanya nilai divergensi antara kelayakan finansial dan ekonomi yang bernilai positif dan/atau negatif, hal ini menunjukkan bahwa masih terdapatnya kebijakan pemerintah yang dapat dan atau menghambat terjadinya percepatan daya saing ditinjau dari analisis kelayakan finansial dan ekonomi. Hal ini senada dengan ilustrasi perkembangan harga kopi dunia di dua daerah (Malang dan Jember) yang mempunyai harga di tingkat dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik, sehingga petani mempunyai pasar potensial ke pasar dunia. Sedangkan harga dipasar Lampung mempunyai nilai penjualan lebih tinggi dibandingkan dengan harga dipasar dunia dari tahun 1985 sampai dengan 2005. Analisis risiko usahatani petani menyatakan tidak berani menanggung risiko, hal ini terbukti dengan curahan modal yang diberikan pada usahatani terutama modal untuk biaya pemupukan sebagain besar petani tidak berani menanggung risiko dalam berusahatani, sehingga dalam perolehan output yang dihasilkan (hasil kopi “ose”) juga tidak menggembirakan apabila dibandingkan dengan tingkat produktivitas potensial yang ada. 7
Analisis matrik kebijakan digunakan untuk mengukur daya saing, dampak kebijakan pemerintah pada profitabilitas sistem produksi pertanian dan efisiensi penggunaan sumberdaya. Berdasarkan Tabel 1 dan Lampiran 2, menunjukkan bahwa sitem agribisnis kopi robusta di tiga wilayah mempunyai daya saing (keunggulan kompetititf dan keunggulan komparatif), hal ini ditunjukan oleh koefisien PCR dan DRC, dimana nilai PCR Jember = 0,297, Malang = 0,458 dan Lampung = 0,498. Di wilayah Jember memiliki PCR 0,297 yang berarti bahwa untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat diperlukan korbanan faktor sumberdaya domestik sebesar 0,703 satuan di Jember, bila disetarakan dengan nilai tukar resmi rupiah yang berlaku saat itu terjadi penghematan devisa sebesar Rp. 6.424,41. Sedangkan untuk kabupaten Malang memiliki nilai PCR 0,458 yang berarti bahwa untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat diperlukan korbanan faktor sumberdaya domestik sebesar 0,458 satuan atau Rp. 4.955,62, dan untuk Lampung = 0,498 berarti bahwa untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat diperlukan korbanan faktor sumberdaya domestik sebesar 0,502 satuan atau sebesar Rp. 4.589,07 di Lampung. Berdasarkan hasil analisa PCR, dapat jelaskan bahwa usahatani kopi robusta di wilayah Jember menghasilkan produk kopi dengan kemampuan kompetisi yang lebih baik dibanding dua wilayah lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena usahatani kopi robusta di Jember dinilai lebih memiliki kesesuaian dengan lahan dan sumberdaya domestic sehingga lebih efisien dalam pembiayaan usahatani. Tabel 1.
Nilai Koefisien Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usahatani Kopi Robusta di Jember, Malang dan Lampung Tahun 2007
PAM Ratio PCR DRC NPCO Jember 0,297 0,217 0,824 Malang 0,458 0,318 0,784 Lampung 0,498 0,317 0,768 Sumber: Data Primer diolah Tahun 2007
NPCI 0,702 0,752 0,964
EPC 0,835 0,787 0,751
PC 0,749 0,625 0,552
SRP -0,180 -0,237 -0,282
Dilihat dari sisi tradable input, usahatani kopi robusta di Jember, memiliki nilai tradable input yang lebih besar dari kedua wilayah lainnya, namun hal ini tertutupi dengan penerimaan (output) kopi robusta per hektar, yaitu sebesar Rp. 13.745.694. Tingginya penerimaan petani dikarenakan oleh produktivitas cukup tinggi, yaitu berada pada kisaran 1,19 Ton per hektar. Sedangkan wilayah Malang, pembiayaan faktor domestik berupa tenaga kerja tinggi, hal ini dikarenakan biaya tenaga kerja untuk pemeliharaan lahan cukup tinggi. Kegiatan tersebut tercermin dari nilai faktor domestik tenaga kerja sebesar Rp. 3.199.312. Usahatani kopi di wilayah ini diusahakan di lereng-lereng gunung, sehingga membutuhkan pemeliharan lahan yang intensif seperti rorak, terasering dan pembuatan gandungan. Untuk lampung memiliki total faktor domestik terkecil dari kedua wilayah lainnya, namun keunggulan kompetitifnya paling kecil. Kondisi ini diakibatkan oleh 8
penerimaan kopi yang rendah. Usahatani kopi robusta di wilayah Lampung menghasilkan penerimaan/output sebesar Rp. 9.097.565, nilai tersebut adalah terkecil dibanding kedua wilayah yang lain. Bila dikaitkan dengan nilai penggunaan faktor domestik tenaga kerja, kondisi tersebut diakibatkan oleh kurang intensifnya pemeliharaan lahan. Kegiatan pemeliharaan yang banyak dilakukan hanya penyiangan lahan. Hal ini dikarenakan terbatasnya modal yang dimiliki petani. Kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan dan penyemprotan juga jarang dilakukan karena membutuhkan modal yang besar. Tingkat efisiensi ekonomi yang dapat merefleksikan dengan keunggulan komparatif kopi robusta ditunjukkan dengan koefisien DRC (Domestic Resource Cost), dimana secara ekonomi memproduksi kopi dalam negeri lebih efisien dan menguntungkan daripada melakukan impor. Hal ini ditunjukan oleh koefisien DRC di tiga wilayah lebih kecil dari satu yaitu Jember 0,217, Malang 0,318, Lampung 0,317, koefisen ini mengindikasikan usahatani kopi robusta di tiga wilayah tersebut dari segi ekonomi efisien dalam menggunakan sumberdaya domestik (mempunyai keunggulan komparatif), sebab untuk menghasilkan sebesar devisa satu-satuan hanya dibutuhkan biaya faktor domestik 0,217 satuan untuk Jember, 0,318 satuan untuk Malang dan 0,317 satuan untuk Lampung. Nilai DRC ini juga menunjukkan presentase biaya produksi kopi dari biaya impor. Sehingga jika pemenuhan permintaan kopi robusta itu dilakukan dari produksi di Jember akan mampu menghemat devisa sebesar 78,3%, Malang 68,2% dan Lampung 68,3% dari besarnya biaya impor yang di perlukan. Apabila nilai tersebut disetarakan dengan nilai tukar bayangan (SER) sebesar Rp. 9.253,75., maka didapatkan penghematan sebesar Rp. 7244,01. untuk Jember, Rp. 6314,64 untuk Malang dan Rp. 6324,38 untuk Lampung. Nilai keunggulan komparatif pada kisaran 0,217-0,317 yang menurut beberapa ahli tergolong cukup tinggi. Hal ini dikarenakan harga dan produksi pada wilayah tersebut cukup bagus. Terutama untuk wilayah jember yang memiliki produktivitas rara-rata per hektar 1,190 Ton. Tingginya produktivitas kopi robusta, dikarenakan oleh pengelolaan yang intensif, seperti pemupukan dan penyiangan. Pemberian pupuk yang lengkap, yaitu Urea, TSP/SP-36, KCL dan ZA. Keempat pupuk ini dapat memberikan kualitas yang bagus untuk tanaman kopi. Kegiatan usahatani kopi robusta yang dilakukan para petani di tiga wilayah menyatakan adanya daya saing ditinjau dari nisbah sumberdaya domestik maupun nisbah biaya privat. Dengan demikian campur tangan pemerintah pada usahatani kopi robusta memberikan keunggulan kompetitif dan tanpa adanya kebijakan pemerintah akan memberikan keunggulan komparatif. Apabila dibandingkan antara keduanya maka, keunggulan komparatif lebih tinggi dibandingkan dengan keunggulan kompetitif, sehingga mengisyaratkan nilai keuntungan sosial produsen kopi robusta lebih bagus bekerja pada sistem pasar yang relatif bersaing dibandingkan dengan adanya kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang lain dapat dilihat dari NPCI yang menunjukkan bahwa, produsen kopi menikmati proteksi untuk input tradble dari pemerintah berupa harga 9
pembelian input pupuk dan obat-obatan lebih rendah dari harga yang sebenarnya. Lain halnya dengan input non tradable yang menyatakan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang mendukungnya, yaitu tidak ada divergensi untuk input pupuk kandang, sulaman dan tenaga kerja. Dengan demikian peran pemerintah dirasakan oleh petani dalam pembelian harga pupuk dan obat-obatan lebih rendah berkisar 8 persen sampai 27 persen. Namun apabila dilihat dari kebijakan pemerintah yang menetapkan adanya subsidi pupuk sebesar 40% bagi petani dan pekebun rakyat, maka hal ini boleh dikatakan kurang efektifnya kebijakan pemerintah tersebut, dikarenakan masih adanya divergensi antara kebijakan yang ditelurkan dengan kondisi riil ekonomi yang ada. Nominal proteksi coeffisen output diperoleh nilai yang tidak diinginkan oleh para petani, dikarenakan harga output dalam negeri lebih rendah dibandingkan dengan harga output dipasar internasional yaitu berkisar antara 17,6 persen sampai 23,5 persen lebih rendah. Hal ini tidak sejalan dengan harga input tradable yang diperoleh oleh petani yang lebih murah, akan tetapi harga outputnya juga lebih rendah dari harga yang sesungguhnya, sehingga dapat dililustrasiikan kebijakan input tradable tidak berarti bagi petani karena, harga output yang didapat petani lebih rendah berkisar 6,6 persen dari harga yang sesungguhnya. Pernyataan di atas didukung oleh kebijakan pemerintah terhadap input dan output secara bersama yang ditunjukkan oleh nilai Profitability Coefisien (PC) berkisar 16,5 persen sampai dengan 34,9 persen lebih rendah dibandingkan dengan harga susungguhnya, dengan kata lain bahwa kebijakan pemerintah menghambat nilai tambah yang diperoleh oleh petani. Hal ini seirama dengan nilai profitabilitas koeffisien yang mengindikasikan bahwa, kebijakan pemerintah secara menyeluruh belum atau bahkan tidak memberikan dorongan terhadap perkembangan usahatani kopi robusta yang diusahakan rakyat, yang ditunjukan oleh keuntungan privat lebih rendah dibandingan dengan keuntungan sosialnya berkisar antara 25 persen sampai 44,8 persen. Hal ini didukung oleh nilai subsidy ratio to producer yang menyatakan dengan adanya proteksi pemerintah justru meningkatkan biaya produksi berkisar antara 18 persen sampai dengan 28,2 persen lebih mahal. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat seberapa besar sensitivnya biaya produksi apabila ada kenaikan. Dari hasil analisis diperoleh dengan sensitivitas biaya produksi upah tenaga kerja naik sampai dengan 60 persen, produktivitas kopi turun 5 persen, harga pupuk dan pestisida naik 25 persen, diperoleh nilai dari masing-masing kebijakan tidak mempengaruhi secara signifikan keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif, proteksi pemerintah baik input dan output serta kebijakan secara menyeluruh tetap pada kondisi semula yaitu, kebijakan pemerintah belum atau bahkan menghambat perkembangan percepatan daya saing kopi robusta yang di usahakan oleh petani pekebun.
10
Analisis untuk mendukung percepatan daya saing yang terakhir adalah permintaan dan penawaran dengan persamaan struktural yang menunjukan bahwa untuk persamaan areal tanaman kopi dipengaruhi secara signifikan oleh areal tanaman kopi pada tahun sebelumnya, produkstivitas dipengaruhi oleh kredit investasi secara negatif dan konsumsi makanan secara positif (lampiran 3). Hasil persamaan ekspor kopi indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga kopi dunia, hal ini sejalan dengan hasil analisis dari PAM, yang menyatakan harga dunia (harga social) lebih mahal dibandingkan dengan harga domestik, namun kebijakan pemerintah belum dapat memberikan stimulan terhadap percepatan ke arah ekspor, hal ini ditunjukan oleh nilai keunggulan komparatif lebih tinggi dibandingkan dengan keunggulan kompetitif, selain itu didukung oleh nilai NPCO dan SRP yang lebih rendah dari nilai yang seharusnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan keberadaan impor kopi yang dilakukan oleh Indonesia dimana impor kopi dipengaruhi secara nyata oleh harga kopi dunia dan harga pupuk. Sedangkan harga kopi dipengaruhi oleh harga kopi pada tahun sebelumnya dan rasio ekspor-impor. Untuk ekspor kopi Brazil dipengaruhi oleh ekspor Brazil dan jumlah produksi kopi Brazil pada tahun sebelumnya. Penawaran kopi merupakan salah satu faktor penting dalam keragaan kopi yang ada di pasar dunia. Penawaran kopi Indonesia dipengarhui oleh jumlah produksi kopi Indonesia dan harga pupuk didalam negeri. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah bahwa harga pupuk anorganik dalam negeri lebih rendah dibandingkan dengan harga pupuk yang ada dipasar dunia, namun kebijakan tersebut belum efektif, dikarenakan masih adanya divergensi yang nyata antara kebijakan yang ditelurkan dengan kondisi yang sebenarnya, selain itu petani menggunakan pupuk organik yang belum tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Selain analisis di atas dilakukan simulasi dengan kenaikan harga pupuk sebesar 10 persen dan 25 persen dengan hasil mempengaruhi penurunan luas areal, peningkatan jumlah produktivitas tetapi terjadi penurunan produksi dikarenakan penambahan produktivitas tidak sebanding dengan pengurangan areal tanaman kopi. Sedangkan simulasi penghapusan subsidi pupuk sebesar 40 persen mempengaruhi penawaran kopi Indonesia hanya dalam jumlah sedikit saja, hal ini sejalan dengan hasil analisis sensitivitas pada PAM bahwa, kebijakan penghapusan subsidi pupuk tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan pendapatan petani bahwa dengan adanya proteksi pemerintah justru meningkatkan biaya produksi berkisar antara 18 persen sampai dengan 28,2 persen lebih mahal. Dari keragaan tersebut, sebaiknya pemerintah memberikan iklim yang lebih baik untuk mendorong bergairahnya kegiatan agribisnis kopi robusta yang diusahakan oleh rakyat, misalnya dengan melonggarkan akses keterbukaan wilayah serta peningkatan ketrampilan teknis tenaga kerja di sektor produsen usahatani, sehingga pengeluaran untuk upah sebanding dengan produktivitas marjinalnya. Secara makro, dorongan kearah efisiensi ekonomi seharusnya terus menerus diberikan agar insentif kepada produsen 11
menjadi lebih terealisasikan sehingga pada gilirannya akan mendorong laju tumbuhnya kegiatan kesubsistem hilir Hasil analisis menunjukan bahwa daya saing dan efisiensi ekonomi untuk usahatani kopi robusta di tiga wilayah (Tanggamus, Malang dan Jember) tidak terlalu peka terhadap perubahan harga obat-obatan walau naik sampai dengan 25 persen, productivitas turun sampai lima persen dan harga tenaga kerja naik sampai dengan 60 persen. Dengan demikian dapat diperoleh kesimpulan bahwa persoalan investasi dan permodalan menjadi faktor kunci untuk mendorong tumbuh berkembangnya kegiatan agribisnis kopi. Melihat hasil analisis di atas memberikan gambaran bahwa usahatani kopi robusta yang dilakukan petani masih mempunyai peluang dan menjajikan cukup besar untuk dikembangkan. Hal ini dibuktikan dengan kondisi komoditas kopi robusta yang dihasilkan oleh petani masih mempunyai daya saing. Selain itu pasar domestik masih cukup besar, lahan yang bisa untuk budidaya kopi masih sangat luas terutama di luar Jawa. Industri pengolahan kopi berkembang hingga ke tingkat desa, serta ketersediaan benih dengan varietas yang punya potensi genetika masih cukup baik. Namun demikian, apabila dilihat dari sisi lemahnya dalam memacu peningkatan produksi kopi dan productivitas masih belum bisa dilaksanakan dengan baik, lebih-lebih dalam hal pemasaran masih melalui beberapa chanel yaitu pengumpul pertama, pengumpul kedua, pengumpul ketiga dan eksportir. Berdasarkan hasil kajian dengan menelusuri saluran pemasaran kopi ditiga wilayah menunjukkan terbentuk lima saluran pemasaran dari total panen petani. Alur pemasaran pertama bergerak dari petani yang menjual hasil panennya yaitu 22,15 persen ke pedagang pengumpul pertama, kemudian ke pedagang pengumpul kedua, dilanjutkan ke pedagang pengumpul ketiga, dan terakhir ke eksportir. Alur pemasaran kedua bergerak dari petani ke pedagang pengumpul kedua yaitu sebesar 31,18% , dari pedagang pengumpul kedua kopi langsung dijual ke pedagang pengumpul ketiga, dan terakhir ke eksportir. Pada alur pemasaran ketiga bergerak kopi dari petani sebagai produsen yang menjual hasil panennya sebesar 43,89% langsung ke pedagang pengumpul ketiga tanpa melalui pedagang pengumpul pertama dan kedua, yang kemudian terakhir di teruskan ke eksportir. Saluran pemasaran yang kelima yaitu kopi dari petani langsung mengalir ke pengolah hasil yaitu sebesar 2,77% dari total panen petani responden. Pada pedagang pengumpul kedua terbentuk dua aliran masuk yaitu yang berasal langsung dari petani yaitu sebesar 33,18% dan dari pedagang pengumpul pertama yaitu sebesar 5,08%, sehingga total pembelian pedagang pengumpul kedua yaitu sebesar 36,28% dari total hasil panen kopi petani. Kopi di tangan pedagang pengumpul kedua kemudian dijual semua ke pedagang pengumpul ketiga, selain itu pedagang pengumpul ketiga juga menerima pembelian kopi langsung dari petani yaitu sebesar 46,89% dan sebesar 15,05% dari pedagang pengumpul pertama. Sehingga pada akhirnya bila 12
dijumlahkan maka pedagang pengumpul ketiga menerima 97,21% kopi hasil panen petani. Dari pedagang pengumpul ketiga kopi dijual semua ke eksportir yang kemudian akan diekspor ke mancanegara. Pada saluran pemasaran kelima kopi petani mengalir langsung ke pengolah hasil yaitu sebesar 1,78% dari kopi hasil panen petani responden. Kopi ini kemudian diolah menjadi kopi bubuk yang kemudian akan dipasarkan secara lokal. Kecilnya bagian produksi petani yang mengalir ke pengolah hasil dikarenakan masih rendahnya kapasitas produksi pengolah lokal. Adapun saluran pemasaran kopi di tiga wilayah lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Petani kopi
22,15% %
I
Pedagang pengumpul pertama 5,08%
II
I
V 31,18% III
Pedagang pengumpul kedua
1,78%
15,05%
36,28%
43,89%
Pedagang pengumpul ketiga
IV
97,21%
Pengolah hasil
Eksportir
Gambar 2. Alur pemasaran kopi di di Tiga Wilayah Penelitian Melihat dari sisi lemahnya tersebut, maka pemerintah diharapkan adanya suatu kebijakan untuk ekspor yang notabene memiliki modal untuk berpartisipasi dalam pengembangan komoditas kopi robusta yang terkait dengan agroindustri. Di sisi lain, dibutuhkan dukungan kebijakan makro yang kondusif untuk memberikan perlindungan kepada petani. Harus disadari meski pasar bebas dikembangkan dan segala proteksi diminta untuk dihapuskan tetapi kenyataannya negara-negara lain bahkan negara pengekspor tertinggi (Brazil, Vietnam dan Guatemala) sekalipun melakukan proteksi terhadap petaninya dengan memakai berbagai label. Hal ini tergantung pada political will para pengambil kebijakan, apakah benar-benar konsisten menjadikan pertanian khususnya komoditas kopi robusta yang diusahakan oleh rakyat sebagai komoditas yang dapat mengangkat harkat dan martabat petani domestik. 13
KESIMPULAN Bebarapa hal yang perlu dicermati dalam Strategi Peningkatan Daya Saing Agribisnis Kopi Robusta dengan Model Daya Saing Tree Five antara lain: a. Dari sisi usahatani atau penawaran produksi kopi robusta sejogjanya memperhatikan factor jumlah produksi kopi Indonesia, harga pupuk didalam negeri, kebijakan protektif pemerintah yang kurang mendukung percepatan daya saing, terbukti dengan NPCO dan SRP yang mempunyai nilai lebih rendah dari nilai yang seharusnya, dan juga didukung oleh nilai keunggulan komparatif lebih tinggi dari keunggulan kompetitif. b. Dari sisi permintaan, adanya peluang yang sangat besar terhadap permintaan kopi di pasar domestik untuk proses lebih lanjut berupa kopi bubuk, namun kelembagaan pasar yang ada kurang mendukung. Hal ini bisa di kuatkan dari sistem pemasaran yang dilalui oleh petani masih perlu adanya pembenahan saluran pemasaran dan hanya sekitar 1,78 persen yang diolah menjadi bahan siap saji. Permintaan dunia masih terbuka lebar bagi kopi Indosensia terbukti dengan kebutuhan pasar dunia semakin bertambah. c. Dari sisi lingkungan dan peluang usahatani kopi robusta yang diusahakan oleh petani sebagaian besar diusahakan secara monokultur dan belum menerapkan kultur teknis yang sesuai dengan anjuran dari Pusat Penelitian kopi dan kakao, kesadaran petani akan benih unggul bermutu masih rendah, sebagian tanaman kopi sudah tua/rusak, terserangnya hanya penyakit. Selain itu produk kopi baru diolah pada tingkat primer yaitu berbentuk biji kopi kering, sedangkan pengolahan produk hilirnya belum banyak dilakukan. Padahal produk olahan tersebut memberikan nilai tambah yang cukup tinggi dan menciptakan lapangan kerja. Disamping itu tanaman naungan yang mempunyai nilai ekonomi belum banyak dilakukan oleh petani. d. Dari sisi kebijakan internasional dan kebijakan domestik dapat disimpulkan bahwa kebijakan domestik kurang adanya dukungan dari pihak pemerintah dilihat dari koefisien DRC lebih baik dari PCR, koefisien NPCO dan SRP kurang mendukung percepatan daya saing apabila dibandingkan dengan harga yang sesungguhnya, namun dari koefisien NPCI kebijakan pemerintah memberikan dukungan yang berarti demi percepatan daya saing. e. Dari sisi sosial dapat di lihat dari perilaku petani netral risiko mendominasi di tiga wilayah penelitian, hal ini mengisyaratkan bahwa petani kopi secara moral masih berpola pikir safety first sehingga menjadikannya terlalu berhati-hati sehingga productivitas juga belum mencapai optimal. Penelitian ini mengungkapkan hasil yang tidak berbeda dengan Dillon dan Scandizo (1978) bahwa sebagian besar petani cenderung netral risko untuk menghadapi situasi. 14
DAMPAK HASIL PENELITIAN KE DEPAN 1. Dari hasil kajian ini mengungkapkan bahwa adanya pengaruh positif perilaku petani dengan tingkat efisiensi ekonomis. Untuk itu usaha peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku petani agar dapat memperkirakan risiko yang akan terjadi, untuk itu kebijakan dalam pemberian kompensasi terhadap perilaku petani yang berani berisiko sangat dibutuhkan. Hal ini dapat diwujudkan melalui tingkat adopsi inovasi secara keseluruhan dan penyediaan sarana prasarana produksi yang murah dan tepat waktu. 2. Peningkatan produktivitas dengan memperhatikan faktor risiko, merupakan tindakan yang perlu diperhatikan dalam jangka pendek dan terus diupayakan peningkatan stabilitas hasil, penekanan kesenjangan hasil dan kehilangan saat panen. 3. Pelaksanaan pasar bebas (penghapusan subsidi dan proteksi) akan berdampak positif terhadap konsumen, tetapi merupakan dis-insentif bagi produsen, dan impor kopi akan meningkat secara nyata. Kebijakan penghapusan subsidi sarana produksi (pupuk dan pestisida) dapat dipandang sebagai keputusan yang rasional secara teknis maupun ekonomis, namun tetap harus diimbangi dengan kebijakan proteksi harga output atau dan input sebesar 28,2% sampai 40 % yang dapat digunakan untuk mendorong adopsi teknologi dan peningkatan produksi. 4. Guna mempercepat daya saing dapat dilakukan dengan perluasan areal kopi, pemanfaatan bursa berjangka komoditas sesuai dengan UU No.32 tahun1997, industri pengolahan kopi hulu dan hilir yang dapat menghasilkan produk sesuai permintaan kopi dunia seperti Intstan Coffe dan Liquid coffe, serta peningkatan konsumsi dalam negeri. DAFTAR PUSTAKA Dirjen Perkebunan, Deptan RI, 2006, Arah Kebijakan Pengembangan Kpi di Indonesia, Simposium Kopi, Surabaya Balassa, B, 1977, Revealed Comapartibe Advantage Revisited, p327 Manchester Scholl of Economic and Sicial Studies Cho, Dong Sung, 1994, From Adam smith to Michael Porter (Evolusi Teori Daya Saing), Salemba Empat, Jakarta D’Aveni, Richard A, 1992, Hyper Competition: Managing The Dynaimics of Strategic Maneuvening. New York, The Free Press Direktorat Jendral Perkebunan, Deptan RI, 2006, Arah Kebijakan Pengembangan Kopi di Indonesia, Simposium Kopi, Surabaya Dillon, J.L dan Scandizzo, P.L, 1976, Risk Attitudes of Subsistence in Northeast Brazil : Sampling Approch. American Journal of Agricultural Economics, Vol 60. 15
M. Nasir, 1989, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta Monke, Eric A dan Scott R Person, 1989, The Policy Analisys Matrix. A manual for Practitioner, Office of Policy Development and Program Review Burau for Program and Policy Coordination U.S Agency for International Development. Washington DC Monke, Eric A dan Scott R Person, 1989, The Policy Analisys Matrix for Agricultural Development, Cornel University Press. Moon, H, Chang, Alan M. Rugman dan Alain Verbeke, 1998, A Generalized Doble Diamond Approach to the lobal Competitiveness of Korea and Singapure. International Business Review, 7 : 135-150 Suryana, Acmad, 2006, Arah Penelitian dan Pengembangan Pertanian Dalam Mendorong Perkopian nasional yang Tangguh, Simposium Kopi, Surabaya. Soetriono, 2001, Studi Kebijakan Pertanian Terhadap Komoditas Tebu Guna Mendukung Agribisnis, Jurnal Agribisnis, Volume IV, No 2 dan Volume V, No 1, JUBC, Jember Soetriono, 2005, Daya Saing Pertanian Tinjauan Analisis, Bayu Media, Malang Soetriono, 2006, Daya Saing Agrobisnis Tinjauan Makro Mikro Ekonomi Pertanian, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 31 Mei 2006, Universitas Jember, Jember Soetriono dkk, 2007, Dampak Kebijakan Pemerintah dan Strategi Percepatan Daya Saing Agribisnis Kopi Robusta, Lembaga Penelitian Universitas Jember, Sekertarian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian
16
Lampiran 1. Tabel : Wilayah Lampung
Simpangan (Divergensi) Analisa Kelayakan Financial Dengan Kelayakan Ekonomi Agribisbis Perkebunan Kopi Robusta. Uraian analisa financial analisa ekonomi divergensi
Sukubunga Penerimaan Investasi B. Penggantian B. Operasional Pajak Kriteria Investasi NPV Net B/C Gross B/C IRR PP Malang Sukubunga Penerimaan Investasi B. Penggantian B. Operasional Pajak Kriteria Investasi NPV Net B/C Gross B/C IRR PP Jember Sukubunga Penerimaan Investasi B. Penggantian B. Operasional Pajak Kriteria Investasi NPV Net B/C Gross B/C IRR PP Sumber: Data Primer diolah, 2007
11,80% 68.994.461 8.697.589 4.176.725 21.464.992 230.592
24,49% 28.817.469 5.454.772 2.136.247 8.426.666 0
-12,69% 40.176.992 3.242.816 2.040.478 13.038.327 230.592
40.612.524 3,63 2,05 32,77% 3,93
16.095.104 2,42 1,81 42,48% 3,4
24.517.420 1,21 0,24 -10% 0,57
15,7% 17.118.254 3.584.211 345.403 5.714.219 89.841
18,22% 19.644.127 3.011.912 290.501 7.525.257 0
-2,25% -2.525.873 572.300 54.902 -1.811.038 89.841
4.005.956 1,78 1,25 20,93% 9,81
9.083.712 2,61 1,64 33,61% 4,81
-5.077.756-0,83-0,39 -12,68% 5,00
15,7% 17.597.169 2.960.375 22.287 7.779.555 51.731
19,07% 19.290.224 2.352.596 17.596 8.654.361 0
-3,37% -1.693.055 607.779 4.691 -874.806 51.731
4.402.512 1,90 1,28 20,81% 11,59
5.455.124 1,91 1,61 31,52% 5,0
-1.052.612 -0,01 -0,33 -11% 6,64
17
Lampiran 2 Tabel : Matrik Analisis Kebijakan Usahatani Kopi Robusta untuk Keunggulan Kompetitif di Jember, Malang dan Lampung Tahun 2007 (Rp/Ha) Tradables
Domestic Factors
Inputs
NonTradable Inputs
Private 13.745.694 Social 16.683.751 Divergences -2.938.057
945.637 1.346.531 -400.894
Malang Private 12.725.406 Social 16.225.083 Divergences -3.499.677 Lampung Private 9.097.565 Social 11.843.503 Divergences -2.745.938
Output
Total
Profits
Land
Labor
Capital
Others
519.031 519.031 0
18.126 18.126 0 PCR =
2.306.803 1.834.571 472.232 0,297
637.447,1 636.628,3 819 DRC =
322.602 322.602 0 0,217
3.804.009 8.996.049 3.330.958 12.006.262 473.050 -3.010.213
884.578 1.176.059 -291.481
697.864 697.864 0
40.711 40.711 0 PCR =
3.199.312 2.558.617 640.695 0,458
844.099 843.015 1.084 DRC =
639.564 639.564 0 0,318
5.421.550 6.419.278 4.779.771 10.269.253 641.779 -3.849.975
920.726 955.406 -34.680
440.669 440.669 0
32.441 32.441 0 PCR =
2.151.909 1.882.921 268.989 0,498
662.907 662.055 852 DRC =
783.885 428.659 355.226 0,317
4.071.811 4.105.028 3.446.745 7.441.352 625.066 -3.336.324
Jember
Sumber: Data diolah Tahun 2007
18
LAMPIRAN 3. 1. Persamaan regresi areal lahan kopi API = 31184.60 + 0.744459PPID + 0.815605APIL* + 336.7808WD -13.9212 IRI b + 3784.879T keterangan : API = Areal Tanaman Kopi (ha) PPID = Harga Kopi di Indonesia (Rp/Kg) APIL = Areal Tanaman Kopi pada Tahun Sebelumnya (ha) WD = Upah Tenaga Kerja (HKP) IRI = Nilai Tambah Komoditas Kopi T = Periode waktu 2. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk produktivitas kopi YPI = 5516.533 -2.55433KTD* + 11.63600IRI* + 0.001647CONPIINA* keterangan : YPI KTD IRI CONPIINA
= Produktivitas Kopi = Kredit Investasi = Nilai Tambah = Konsumsi Makanan
3. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk ekspor Indonesia XPIINA = -457331 + 1515.953PWPID* + 0.044974QPIINA + 0.010738QXWPI +0.142164QMWPI keterangan : XPIINA PWPID QPIINA QXWPI QMWPI
= Ekspor Kopi Indonesia = Harga kopi dunia = Jumlah Produksi Kopi Indonesia = Kuantitas Ekspor Kopi Indonesia = Kuantitas Impor Kopi Indonesia
4. Persamaan hasil analisis regresi parameter estimate untuk kuantitas impor Indonesia QMPIINA = -13794.8 + 83.60034PWPID* + 0.005487QXWPI 0.00024QMWPI -0.84561YPI + 0.444963 PFD* -0.02283PPID 26.2890IRI -0.01957POPINA -0.11986PGULD keterangan : QMPIINA PWPID QXWPI QMWPI YPI PFD
= Kuantitas Impor Indonesia = Harga kopi dunia = Kuantitas Ekspor Dunia = Kuantitas Impor Dunia = Produktivitas = Harga Pupuk 19
PPID IRI POPINA PGULD
= Harga Kopi = Nilai Tambah = Jumlah Penduduk Indonesia = Harga Gula
5. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk harga kopi PPID =
3288.352 + 0.224882PKAOD* -0.02359QPIINA + 0.612251PPIDL* + 438.8107T
keterangan : PPID = Harga Kopi yang Berlaku di Indonesia PKAOD = Harga Kakao QPIINA = Jumlah Produksi Kopi Indonesia PPIDL = Harga Kopi pada Tahun Sebelumnya T = Tahun 6. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate harga kopi dunia PWPID = -179.196 + 0.704680PWPIDL* + 190.3546REKSIMP* keterangan : PWPID = Harga Kopi Dunia PWPIDL = Harga Kopi Dunia pada Tahun Sebelumnya REKSIMP = Rasio ekspor-impor 7. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk persamaan ekspor Guatemala XPIGUA = 81408.38 -25.2938XPIGUAL* + 11457.97EFIGUA + 0.314023PWPID keterangan : XPIGUA = Ekspor Guatemala XPIGUAL = Ekspor Guatemala pada Tahun Sebelumnya EFIGUA = Nilai Tukar Guatemala PWPID = Harga Kopi Dunia yang Berlaku 8. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate untuk persamaan ekspor Vietnam XPINAM = -4067.33 + 0.987326QPINAM* + 11.13081PWPID keterangan : XPINAM = Ekspor Vietnam QPINAM = Jumlah Produksi Kopi Vietnam PWPID = Harga kopi dunia yang Berlaku 9. Persamaan hasil analisis regresi pada parameter estimate tersebut adalah : MPIJER = 1181916 -166101EFIJER* -4873.70PWPID*
20
keterangan : MPIJER = Impor Jerman EFIJER = Nilai Tukar Jerman PWPID = Harga Kopi Dunia yang Berlaku 10. Persamaan impor Italia dipengaruhi oleh produk domestik bruto Untuk impor Perancis dengan persamaan sebagai berikut: MPICIS = 89290.71 -5791.88EFICIS* -0.02234GDPICIS-248.499PWPID + 0.916040MPICISL* keterangan : MPICIS = Impor Prancis EFICIS = Nilai Tukar Prancis GDPICIS = Produk Domestik Bruto Prancis PWPID = Harga Kopi Dunia yang Berlaku MPICISL = Impor Prancis pada Tahun Sebelumnya 11.
Hasil regresi persamaan penawaran kopi Indonesia
SDPIINA = -552689 + 0.657224QPIINA* + 0.036580PPID + 52.24678YPI + 30.04224PFD* -69.5575IRI keterangan : SDPIINA = Penawaran Kopi QPIINA = Jumlah Produksi Kopi Indonesia PPID = Harga Kopi YPI = Produktivitas PFD = Harga Pupuk IRI = Nilai Tambah
21