TINGKAT EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN DAIRI PROVINSI SUMATERA UTARA
HELENTINA SITUMORANG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013
Helentina Situmorang NRP. H353110011
RINGKASAN HELENTINA SITUMORANG. Tingkat Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh RATNA WINANDI dan R. NUNUNG NURYARTONO. Kabupaten Dairi memiliki potensi untuk meningkatkan produksi jagung. Tetapi, permasalahannya adalah produktivitas yang rendah disebabkan inefisiensi dalam penggunaan input sehingga daya saingnya rendah. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung, efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan ekonomi usaha tani jagung di Kabupaten Dairi; (2) menganalisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha tani jagung di Kabupaten Dairi; (3) menganalisis dampak kebijakan input dan output terhadap daya saing usaha tani jagung di Kabupaten Dairi dan (4) menganalisis pengaruh efisiensi terhadap daya saing usaha tani di Kabupaten Dairi. Model yang digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas untuk menganalisis efisiensi teknis, fungsi biaya dual untuk menganalisis efisiensi alokatif dan Tabel Policy Analysis Matrix (PAM) untuk menganalisis daya saing. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross section. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jumlah benih jagung (X1), jumlah pupuk SP-36 (X3), pupuk Phonska (X4) masing-masing berpengaruh positif dan nyata pada α=5%, pupuk Urea (X2) dan herbisida (X5) masing-masing berpengaruh nyata pada α=10% terhadap produksi jagung. Sedangkan tenaga kerja (X6) berpengaruh positif, tetapi tidak nyata terhadap produksi jagung. Hasil analisis efisiensi menunjukkan petani belum efisien secara teknis, alokatif dan ekonomi. Frekuensi penyuluhan merupakan sumber inefesiensi teknis yang berpengaruh nyata meningkatkan efisiensi teknis. Hasil analisis PAM usaha tani jagung diperoleh bahwa usaha tani jagung memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Hasil analisis PAM juga menunjukkan bahwa dampak kebijakan terhadap input bersifat protektif terhadap petani jagung. Tetapi, kebijakan terhadap output tidak protektif terhadap petani jagung. Pengaruh efisiensi terhadap daya saing menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi alokatif menyebabkan daya saing usaha tani jagung meningkat. Kata kunci: Cobb Douglas stochastic frontier, daya saing, efisiensi, usahatani jagung
SUMMARY HELENTINA SITUMORANG. The Level of Economic Efficiency and Competitiveness of Maize at Dairi District, North Sumatra Province. Supervised by RATNA WINANDI and R. NUNUNG NURYARTONO. Dairi District has potential maize farming that will increase maize production. The problem in maize farming is its low productivity because of its low efficiency of input use so that the competitiveness of maize farming is low. The objectives of this research are: (1) analyzing factors influencing maize production, analyzing economic efficiency of maize farm at Dairi District (2) analyzing maize farm competitiveness, (3) analyzing impact of input and output policy in maize farming competitiveness in Dairy District and (4) analyzing economic efficiency of maize farm effect to its competitiveness in Dairy District. The research methods are the Cobb Douglas stochastic frontier production function to analyze technical efficiency, the dual cost function to analyze allocative efficiency and the Policy Analysis Matrix (PAM) to analyze maize farm competitiveness. This research used cross section data. The research findings showed that factors like seed and fertilizers (SP-36 and Phonska) were positive and statistically significant on maize production (level of significance at 5 %), urea and herbicide were also positive and significant on maize production (level of significance at 10 %). Meanwhile, labor positive but not significantly affected maize production. The efficiency analysis revealed that the maize farmers had economic inefficiency. The frequency of extension visits was substansial in technical inefficiency and it significantly increased technical efficiency. Maize production in Dairi District as a result from the PAM showed potentially had competitive as well as comparative advantages. PAM analysis also showed that input policies protected maize farmers, but output policy did not protect (help) maize farmers. The effect of efficiency to competitiveness analysis showed that the increase in allocative efficiency will increase the competitiveness of maize. Key words: Cobb Douglas stochastic frontier maize production, competitiveness, efficiency, maize farming
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TINGKAT EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN DAIRI PROVINSI SUMATERA UTARA
HELENTINA SITUMORANG
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi Pembimbing
: Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Penguji Mayor Ilmu EkonomiPertanian
: Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MS
Judul Tesis Nama TIM
: Tingkat Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara Helentina Situmorang H353110011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
~
Dr Ir Ratna Winandi, MS Ketua
Dr Ir
MSi
Diketahui oleh Ketua Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
D9 0CT 20 13
Judul Tesis Nama NIM
: Tingkat Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara : Helentina Situmorang : H353110011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Ratna Winandi, MS Ketua
Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi Anggota
Diketahui oleh Ketua Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Judul yang dipilih dalam tesis ini adalah Tingkat Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi, sebagai anggota komisi pembimbing, Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS sebagai penguji luar komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MS sebagai penguji wakil pascasarjana Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf pengajar dan akademik yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. Penulis mengucapkan terimakasih kepada penyuluh di Kecamatan Tanah Pinem dan Tigalingga atas bantuannnya mendampingi penulis untuk wawancara petani di daerah penelitian. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Bapak Jadi Situmorang, Ibu Marbinno Hutapea dan Keluarga Situmorang yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi dan doa. Temanteman EPN angkatan 2011 terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Penulis berharap penelitian ini bisa bermanfaat dalam pengembangan pendidikan serta pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan di Provinsi Sumatera Utara.
Bogor,
September 2013
Helentina Situmorang
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Keterbatasan Penelitian
xii xiii xiii 1 1 4 5 5 6 6
2 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia Teori Produksi Fungsi Produksi Cobb-Douglas Fungsi Produksi Frontier Konsep Efisiensi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Efisiensi Teori Daya Saing Analisis Kebijakan Pemerintah Kebijakan Output Kebijakan Input Daya Saing Jagung dan Dampak Kebijakan Pemerintah Hubungan antara Efisiensi dan Daya Saing Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian
6 6 7 9 10 12 15 16 19 19 21 23 25 25 26
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Metode Penarikan Contoh Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Efisiensi Teknis Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Analisis Daya Saing Analisis Keuntungan Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan Output Kebijakan Input Kebijakan Input-Output
27 27 27 27 28 29 29 31 32 32 33 33 33
Penentuan Harga Bayangan Harga Bayangan Ouput Harga Bayangan Input dan Peralatan Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Analisis Sensitivitas Pengaruh Efisiensi terhadap Daya Saing Defenisi Operasional 4
GAMBARAN WILAYAH DAN KERAGAAN JAGUNG DI DAERAH PENELITIAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Karakteristik Petani Responden Kepemilikan Lahan Keragaan Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Keuntungan Usahatani Jagung
USAHATANI
5
TINGKAT EFISIENSI USAHATANI JAGUNG Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Jagung Analisis Skala Usaha Analisis Efisiensi Teknis Sebaran Efisiensi Teknis Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi
6
ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG Struktur Biaya Privat dan Biaya Sosial Usahatani Jagung Matriks Policy Analysis Max (PAM) Usahatani Jagung Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Jagung Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Analisis Sensitivitas terhadap Daya Saing Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Pengaruh Efisiensi terhadap Daya Saing
7
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
34 34 35 35 38 39 39 40 41 41 42 43 44 45 47 47 49 49 49 50 51 52 53 53 54 55 55 56 57 58 60
DAFTAR PUSTAKA
61 61 61
LAMPIRAN
62
RIWAYAT HIDUP
67 84
DAFTAR TABEL 1. Perkembangan Produksi, Ekspor, dan Impor Jagung di Indonesia tahun 2007-2011 2. Perkembangan Produksi Jagung di Indonesia Tahun 2008-2011 3. Luas Panen Tanaman Jagung Kabupaten Dairi Menurut Kecamatan Tahun 2008-2011 (ha) 4. Kontribusi Daerah Sentra Jagung terhadap Produksi Jagung Nasional, Perbandingan Tahun 2010 dan 2011 5. Policy Analysis Matrix 6. Alokasi Biaya Komponen Domestik dan Asing pada Sistem Komoditas Jagung 7. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pengalaman, dan Keanggotaan dalam Kelompok Tani di Kabupaten Dairi 8. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Garapan Jagung di Kabupaten Dairi 9. Analisis Keuntungan Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi 10. Hasil Dugaan Model Produksi Jagung Cobb Douglas Menggunakan Metode OLS di Kabupaten Dairi 11. Hasil Dugaan Model Produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier Usahatani Jagung Menggunakan Metode MLE di Kabupaten Dairi 12. Sebaran Nilai Efisiensi Teknis Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis Produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier 14. Sebaran Nillai Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi 15. Tabel PAM Usahatani Jagung per Hektar di Kabupaten Dairi 16. Private Cost Ratio dan Domestic Resources Cost Ratio Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi 17. Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi 18. Transfer Input dan Nominal Protection Coefficient on Input Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi 19. Effective Protection Coefficient (EPC), Transfer Bersih/Net Transfer, Profitabality Coefficient (PC), dan Subsidy Ratio to Producer (SRP) di Kabupaten Dairi 20. Keuntungan Petani Jagung Berdasarkan Analisis Sensitivitas di Kabupaten Dairi Tahun 2012 21. Daya Saing Usahatani Jagung Berdasarkan Analisis Sensitivitas di Kabupaten Dairi Tahun 2012 22. Keuntungan Usahatani Jagung per Hektar jika Efisiensi Teknis Ditingkatkan menjadi 0.79 di Kabupaten Dairi 23. Nilai PCR dan DRCR Sebelum dan Sesudah Efisiensi Teknis Ditingkatkan dari 0.68 menjadi 0.79
2 3 4 6 31 39 43
44 46 47 49 50 50 52 54 54 55 56 57 59 59 60 61
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Fungsi Produksi Neoklasik Fungsi Produksi Stokastik Frontier Efisiensi Teknis dan Alokatif pada Orientasi Input Efisiensi Teknis dan Alokatif pada Orientasi Output Model Perbedaan Hasil antara Hasil Lembaga Eksperimen dan Hasil yang Dicapai Usahatani Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Impor dan Barang Ekspor Subsidi Input dan Pajak Input Tradable Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable Kerangka Pemikiran
9 11 13 14 15 20 22 23 26
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
.
Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Pangan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008-2010 Hasil Uji Normalitas Model Produksi Jagung di Kabupaten Dairi Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Produksi Jagung di Kabupaten Dairi Hasil Pendugaan Model Produksi Jagung Metode OLS di Kabupaten Dairi Hasil Pendugaan Model Produksi Jagung dengan Uji Asumsi Constant Return to Scale (CRTS) Hasil Pendugaan Model Produksi Jagung Stochastic Frontier Metode MLE Hasil Pendugaan Model Produksi Jagung Cobb-Douglas Stochastic Frontier Metode MLE dengan Penurunan Pupuk Phonska yang Berlebihan Sebaran Nilai Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Tiap Responden Perhitungan Nilai Tukar Bayangan 2012 Perhitungan Harga Bayangan Output dan Input Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Biaya Privat dan Sosial Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi
68 69 70 71 72 73 76 79 81 81 83
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian sangat berperan penting bagi perekonomian Indonesia. Peran sektor pertanian yang mampu memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2011 sebesar 14.70% (Badan Pusat Statistik, 2012). Oleh sebab itu perlu pembangunan pertanian mengarah pada terciptanya pertanian yang efisien, memiliki daya saing, mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup para petani. Hal ini juga mendukung era globalisasi yang memerlukan daya saing tinggi. Arah pembangunan tersebut melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi, penganekaragaman komoditas unggulan dan peningkatan nilai tambah produk khususnya tanaman pangan supaya mampu memenuhi permintaan domestik, bahkan bisa mengekspor. Tanaman pangan merupakan sub sektor pertanian yang memiliki nilai ekonomi dan berpotensi tinggi untuk dikembangkan di Indonesia. Tanaman pangan utama Indonesia adalah padi, jagung dan kedelai. Jagung menjadi pangan strategis sebagai upaya diversifikasi pangan karena mengandung sumber karbohidrat yang sama dengan beras. Hasil olahan jagung adalah tepung jagung menjadi produk makanan. Selain menjadi sumber pangan, jagung digunakan sebagai pakan ternak, minuman, pelapis kertas, dan farmasi. Selain itu, di beberapa negara dibuat menjadi alkohol sebagai campuran bahan bakar kendaraan untuk mengurangi polusi. Peningkatan kebutuhan jagung di dalam negeri berkaitan dengan perkembangan industri pakan. Hal ini dikarenakan peningkatan konsumsi daging yang berdampak langsung pada kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan ternak. Jagung memiliki kandungan (1) gluten/protein (corn gluten meal), mengandung protein tinggi (60%) dan berwarna kuning (xantopil), dan (2) fiber (corn gluten feed), mengandung protein sedang (18%) dan cocok untuk ternak sapi. Komposisi jagung di dalam pakan ternak sebesar 51.40% (Departemen Pertanian, 2005). Oleh sebab itu, konsumsi jagung untuk pakan ternak tahun 2010 sebesar 4,850,000 ton naik menjadi 6,000,000 ton (naik 19.17%) pada tahun 2011 (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2012). Tingginya komponen jagung dalam pakan ternak dan peningkatan konsumsi jagung untuk pakan ternak, maka ketersediaan jagung dalam negeri harus selalu dipertahankan terutama melalui produksi jagung dalam negeri untuk mendukung pengembangan peternakan. Selain sebagai bahan pakan ternak, saat ini juga berkembang produk pangan dari jagung dalam bentuk tepung jagung, starch/pati jagung menjadi bahan baku utama dalam beberapa industri makanan, salah satunya adalah bihun jagung (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2011). Produksi jagung dalam negeri mulai tahun 2007 sampai 2011 cenderung meningkat (Tabel 1). Namun, pemerintah masih membuka keran impor jagung karena produksi jagung yang masih kurang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, industri pakan dan pangan membutuhkan kontiniutas jagung. Sejak tahun 1990-an Indonesia telah menjadi negara net-importir jagung (Kasryno, 2002). Ketergantungan pabrik pakan terhadap jagung impor sangat tinggi, yaitu sekitar 40.29% pada tahun 1994. Penggunaan jagung impor dalam industri pakan
2
sudah mencapai 47.04%, sementara 52.96% sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri pada tahun 2000 (Departemen Pertanian, 2005). Demikian juga mulai tahun 2007 sampai 2011 impor jagung semakin meningkat (Tabel 1). Impor jagung tahun 2007 sebesar 771,706 ton, naik menjadi 3,076,136 ton tahun 2011. Sedangkan ekspor jagung tahun 2007 sebesar 101,772 ton turun menjadi 4,372 ton pada tahun 2011. Oleh sebab itu untuk memenuhi ketersedian jagung dalam negeri, maka produksi jagung perlu ditingkatkan. Tabel 1 Perkembangan Produksi, Ekspor, dan Impor Jagung di Indonesia Tahun 2007-2011 Tahun Produksi (ton) Impor (ton) Ekspor (ton) 2007 13,287,527 771,706 101,772 2008
16,317,252
393,304
108,169
2009
17,629,748
421,230
76,618
2010
18,327,636
977,471
28,058
2011
17,643,250
3,076,136
4,372
Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2012). Keterangan: ekspor/impor dalam bentuk jagung pipilan kering. Ketergantungan impor jagung juga disebabkan mutu jagung lokal yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan bahwa harga jagung Indonesia ditingkat petani pada tahun 2011 sebesar Rp 2,700 – Rp 3,200 per kilogram (kg), dengan kadar air 14% - 20%, sementara harga jagung internasional Rp 3,400 per kg dengan kadar air 12% - 14% (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2011). Pabrik pakan lebih memilih jagung impor karena kadar airnya sudah sesuai dengan kebutuhan pabrik, sedangkan jagung lokal harus dikering ulang sehingga ada tambahan harga untuk mencapai kadar air sesuai kebutuhan pabrik pakan. Hal ini mengindikasikan daya saing jagung Indonesia masih rendah. Selain itu, daya saing jagung juga terkait dengan kemampuan ketersediaan dan penggunaan input produksi jagung yang efisien yaitu ketersediaan lahan, penggunaan benih unggul, penggunaan pupuk yang optimal, penggunaan tenaga kerja, inovasi teknologi dan faktor-faktor yang lain. Pemerintah sudah menyalurkan benih unggul dan mendorong petani jagung untuk menggunakan benih unggul serta mengurangi penggunaan benih lokal. Adanya sumberdaya lokal, teknologi dan dukungan pemerintah menjadi peluang produksi jagung untuk ditingkatkan. Tabel 2 menunjukkan sentra produksi jagung di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat dan Gorontalo. Sumatera Utara menjadi produsen jagung terbesar kelima di Indonesia dan jagung menjadi produksi terbesar kedua tanaman pangan di Sumatera Utara setelah padi (lihat Lampiran 1). Peningkatan produksi jagung di Sumatera Utara perlu ditingkatkan karena adanya sembilan pabrik pakan yang membutuhkan ketersediaan jagung di Sumatera Utara dan didukung oleh potensi pengembangan jagung di lahan sementara yang tidak
3
diusahakan di Sumatera Utara, yakni 285,824 hektar (ha) tahun 2009 (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2011). Tetapi produksi jagung di Sumatera Utara menurun dari tahun 2010 sebesar 1,377,718 ton menjadi 1,294,645 ton tahun 2011 (Badan Pusat Statistik, 2012). Tabel 2 Perkembangan Produksi Jagung di Indonesia Tahun 2008-2011 No 1 2 3 4 5
Provinsi 2008 2009 2010 Jawa Timur 5,053,107 5,266,720 5,587,318 Jawa Tengah 2,679,914 3,057,845 3,058,710 Lampung 1,809,886 2,067,710 2,126,571 Sulawesi Selatan 1,195,691 1,395,742 1,343,044 Sumatera Utara 1,098,969 1,166,548 1,377,718 Nusa 6 Tenggara Timur 673,112 638,899 653,620 7 Jawa Barat 639,822 787,599 923,962 8 Gorontalo 753,598 569,110 679,167 Total 13,904,099 14,950,173 15,750,110 Indonesia 16,317,252 17,629,748 18,327,636 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012.
2011 5,443,705 2,772,575 1,817,906 1,420,154 1,294,645 524,638 945,104 605,782 14,824,509 17,643,250
Provinsi Sumatera Utara memiliki sentra produksi jagung di Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Dairi (Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2011). Kabupaten Dairi sebagai sentra produksi jagung ketiga di Provinsi Sumatera Utara. Pemerintah Kabupaten Dairi menjadikan jagung sebagai salah satu komoditas unggulan. Akan tetapi, komoditas jagung masih tanaman utama kedua setelah padi di Kabupaten Dairi. Tabel 3 menunjukkan bahwa luas panen jagung di Kabupaten Dairi tahun 2008-2011 meningkat dari 29,822 ha tahun 2008 menjadi 32,979 ha tahun 2011. Peningkatan luas panen tersebut menunjukkan Kabupaten Dairi memiliki potensi untuk meningkatkan produksi jagung. Rata-rata masing-masing kecamatan di Kabupaten Dairi berusahatani jagung dan luas panen tanaman jagung paling besar di Kecamatan Tanah Pinem dan Tigalingga. Kecamatan Tanah Pinem dan Tiga Lingga menjadikan jagung sebagai tanaman utama.
4
Tabel 3 Luas Panen Tanaman Jagung Kabupaten Dairi Menurut Kecamatan Tahun 2008-2011 (ha) No Kecamatan 2008 2009 2010 2011 1 Sidikalang 860 800 813 822 2 Berampu 730 768 790 799 3 Sitinjo 355 365 367 371 4 Parbuluan 1,750 2,450 2,467 1,495 5 Sumbul 1,829 939 943 954 6 Silahisabungan 35 35 37 37 7 Silima Pungga-Pungga 1,480 1,564 1,605 1,623 8 Lae Parira 763 658 680 688 9 Siempat Nempu 2,475 1,875 1,897 1,919 10 Siempat Nempu Hulu 2,206 2,355 2,520 2,549 11 Siempat Nempu Hilir 1,500 1,398 1,402 1,418 12 Tigalingga 5,704 5,526 5,610 6,175 13 Gunung Sitember 2,625 3,660 3,704 3,747 14 Pegagan Hilir 1,125 684 720 728 15 Tanah Pinem 6,385 9,035 9,050 9,654 Jumlah 29,822 32,112 32,605 32,979 Sumber: Kabupaten Dairi Dalam Angka, 2012. Perumusan Masalah Kabupaten Dairi memiliki potensi jagung yang cukup besar untuk dikembangkan. Peluang pengembangan jagung di Kabupaten Dairi cukup besar dilihat dari produksi jagung pada tahun 2008 sebesar 134,795.44 ton naik menjadi 153,335 ton pada tahun 2011 (Kabupaten Dairi Dalam Angka, 2012). Pengembangan jagung melalui peningkatan produksi jagung sehingga mengurangi ketergantungan impor jagung. Namun, produktivitas jagung di Kabupaten Dairi berkisar antara 4.20 sampai 4.60 ton per ha (Kabupaten Dairi Dalam Angka, 2012). Hasil ini masih rendah bila dibandingkan dengan produktivitas jagung daerah lain yaitu Jawa Timur mencapai 5.70 ton per ha (Suprapto, 2006). Produktivitas jagung yang rendah diduga karena penggunaan benih jagung lokal. Selain itu, penggunaan pupuk belum optimal. Petani menggunakan pupuk SP-36 dan pupuk Phonska sebagai pengganti pupuk KCL. Kualitas pupuk KCL lebih baik dari pupuk SP-36 dan pupuk Ponska. Akan tetapi, harga pupuk KCL lebih tinggi, sehingga petani lebih memilih pupuk SP-36 dan pupuk Phonska. Oleh sebab itu usahatani jagung di Kabupaten Dairi diduga belum efisien mengakibatkan rendahnya kemampuan jagung lokal bersaing di pasar. Esensi dari daya saing suatu komoditas yaitu efisiensi dan produktivitas. Salah satu sumber pertumbuhan produktivitas suatu komoditas adalah efisiensi teknis (Coelli et al. 2005). Jika produktivitas jagung domestik semakin menurun, hal ini akan menimbulkan komoditas jagung yang dihasilkan tidak mampu bersaing sehingga impor jagung semakin meningkat dan impor jagung menguasai pasar dalam negeri. Hal ini pemerintah mengambil kebijakan tarif impor jagung sebesar 5% tahun 2012 dan pernah naik tarif impor jagung sebesar 10% pada tahun 1993 untuk melindungi petani jagung di Indonesia. Selain itu pemerintah mengambil kebijakan memberikan bantuan benih jagung dan akan direncanakan subsidi
5
harga benih jagung sebesar 50% tahun 2013 dan subsidi pupuk untuk meningkatkan produksi jagung (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2012). Subsidi pupuk berdasarkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada tahun 20052009 naik sebesar 15% dan tahun 2013 naik sebesar 12.50% untuk HET pupuk Urea, sedangkan HET pupuk SP-36 dan HET Phonska tetap (Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 87/Permentan/SR.130/12/2011). Selain itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi menjamin stabilitas harga jagung maka dikeluarkan Keputusan Bupati Dairi nomor 520/106/III/2011 tentang penetapan harga pokok pembelian daerah komoditi jagung tahun 2011 di Kabupaten Dairi yang telah disempurnakan dengan peraturan Bupati Dairi nomor 4 tahun 2012. Pemerintah Kabupaten Dairi akan melakukan pembelian jagung petani apabila harga jagung di pasar dibawah Rp 2,000 per kg. Namun, berdasarkan wawancara dengan petani di Kabupaten Dairi, jika harga pokok pembelian jagung sebesar Rp 2,000 per kg tidak memberikan keuntungan bagi petani. Apakah kebijakan yang diberikan pemerintah sudah mendukung peningkatan produksi jagung di Kabupaten Dairi. Oleh sebab itu, berdasarkan kondisi usahatani jagung dan kebijakan yang ada, maka muncul beberapa pertanyaan yaitu: 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi jagung di Kabupaten Dairi dan bagaimana efisiensi teknis dan alokatif usahatani jagung di Kabupaten Dairi? 2. Bagaimana daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi? 3. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah (harga input dan harga output) terhadap daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi? 4. Bagaimana hubungan efisiensi dengan daya saing usahatani jagung serta bagaimana meningkatkan efisiensi dan daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi? Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis produksi, efisiensi, keunggulan kompetitif, dan komparatif jagung di Kabupaten Dairi. Secara rinci, tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung, efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan ekonomi usahatani jagung di Kabupaten Dairi. 2. Menganalisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usahatani jagung di Kabupaten Dairi. 3. Menganalisis dampak kebijakan input dan output terhadap daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi. 4. Menganalisis pengaruh efisiensi terhadap daya saing usahatani jagung serta bagaimana meningkatkan efisiensi dan daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk pengembangan usahatani jagung di Kabupaten Dairi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat kebijakan bagi pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
6
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah efisiensi ekonomi usahatani jagung, dan analisis daya saing usahatani jagung, Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan data satu musim tanam diantara bulan Januari 2012 sampai dengan Februari 2012. Keterbatasan Penelitian 1. Variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam fungsi produksi harus berpengaruh positif terhadap produksi jagung (bertanda positif). Jika bertanda negatif, maka variabel tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam model karena jika ada variabel yang bertanda negatif maka penurunan fungsi produksi ke fungsi biaya dual tidak dapat dilakukan. 2. Pengukuran efisiensi hanya dilakukan dari sisi input. 3. Tingkat daya saing yang diukur adalah keunggulan kompetitif dan komparatif serta dampak kebijakan terhadap daya saing.
2 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia Jagung merupakan tanaman pangan penting setelah padi/beras. Akan tetapi, berkembangnya industri pakan, maka kebutuhan jagung dalam negeri diperkirakan 51.40% untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan bibit (Kasryno et al., 2008). Tabel 4 Kontribusi Daerah Sentra Jagung terhadap Produksi Jagung Nasional, Perbandingan Tahun 2010 dan 2011 Kontribusi Kontribusi No Provinsi 2010 (%) 2011 (%) 1 Jawa Timur 5,587,318 30.49 5,443,705 30.85 2 Jawa Tengah 3,058,710 16.69 2,772,575 15.71 3 Lampung 2,126,571 11.60 1,817,906 10.30 4 Sulawesi Selatan 1,343,044 7.33 1,420,154 8.05 5 Sumatera Utara 1,377,718 7.52 1,294,645 7.34 Nusa 6 Tenggara Timur 653,620 3.57 524,638 2.97 7 Jawa Barat 923,962 5.04 945,104 5.36 8 Gorontalo 679,167 3.71 605,782 3.43 Total 15,750,110 85.95 14,824,509 84.01 Indonesia 18,327,636 17,643,250 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012, diolah.
7
Oleh sebab itu pengembangan jagung sangat penting dilakukan. Namun, perkembangan jagung tahun 2010 dan 2011 mengalami penurunan (Tabel 4). Kontribusi daerah sentra jagung di Indonesia dari 85.95% tahun 2010 turun menjadi 84.01% atau penurunan sebesar 1.94%. Tabel 4 menunjukkan daerah sentra produksi yang memberikan kontribusi terbesar untuk produksi jagung nasional yaitu Jawa Timur (30.49% tahun 2010 dan 30.85% tahun 2011). Sedangkan Sumatera Utara memberikan kontribusi jagung terhadap produksi nasional sebesar 7.52% tahun 2010 turun menjadi 7.34% tahun 2011. Kebutuhan domestik jagung berasal dari produksi jagung domestik dan jagung impor. Tetapi, produksi jagung domestik ada juga yang diekspor, namun jumlah yang sangat kecil. Zubachtirodin et al., 2010 menyatakan terjadinya ekspor dan impor jagung diduga terkait dengan kondisi pertanaman jagung di Indonesia. Sebagian besar jagung diusahakan pada lahan kering yang penanamannya pada musim hujan, sehingga terjadi perbedaan jumlah produksi antara pertanaman musim hujan dengan pertanaman musim kemarau. Hal ini menyebabkan ketersediaan jagung pada bulan-bulan tertentu melebihi kebutuhan, di samping keterbatasan kapasitas gudang penampungan yang terkait dengan sifat jagung yang kurang tahan disimpan dalam waktu lama, sehingga mendorong dilakukannya ekspor. Harga jagung yang dipanen pada musim hujan relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang dipanen pada musim kemarau. Sebaliknya, pada musim kemarau ketersediaan jagung untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri sangat kurang karena luas areal panen terbatas sehingga harga jagung relatif lebih tinggi. Kondisi ini juga mendorong pemerintah untuk mengimpor jagung. Teori Produksi Produksi merupakan proses transformasi dua input atau lebih menjadi satu atau lebih dari satu produk. Menurut Beattie dan Taylor (1985) produksi adalah proses mengkombinasikan dan mengkoordinasikan material dan kekuatan (input dan sumberdaya) untuk menghasilkan barang atau jasa. Oleh sebab itu untuk mengetahui hubungan antara input dan output yang dihasilkan disederhanakan dalam bentuk fungsi produksi. Fungsi produksi adalah hubungan kuantitatif antara input (fisik) dan output (fisik). Debertin (1986) menyatakan fungsi produksi menerangkan hubungan teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas. Beattie dan Taylor (1985) menyatakan bahwa fungsi produksi memberikan output yang maksimum yang diperoleh dari sejumlah input tertentu. Fungsi produksi dapat dinyatakan dengan grafik, tabel dan matematik. Secara matematik, model umum fungsi produksi sebagai berikut: Y f ( xi ) ………………………………………………………………..(2.1)
dimana Y adalah output, xi adalah input ke-i yang digunakan, i 1,2,3,...n . Untuk menyederhanakan notasi, diasumsikan output dihasilkan hanya dengan satu input, sebagai berikut: Y f (x) ………………………………………………………………...(2.2) Y bisa disebut juga Total Physical Product (TPP). Dari persamaan (2.2) diperoleh Average Physical Product (APP) sebagai berikut:
8
Y f ( x) ………………………………………………………..(2.3) x x Dari persamaan (2.2) juga dapat diperoleh Marginal Physical Product (MPP), sebagai berikut: d (TPP ) dY df ( x) MPP f , ( x) ………………………………...(2.4) dx dx dx Seberapa besar perubahan output akibat perubahan input juga dapat dilihat dari elastisitas produksi. Menurut Debertin (1986) elastisitas produksi menunjukkan rasio antara persentase perubahan jumlah output dengan persentase perubahan jumlah input. Elastisitas produksi dapat diperoleh dengan formulasinya sebagai berikut: E p (Y / Y ) /( x / x) …………………………………………………..(2.5) Persamaan (2.5) dapat disederhanakan menjadi sebagai berikut: Y x Ep x …………………................................................................(2.6) x Y dimana: Y x 1 ………………………………………………(2.7) MPP dan x Y APP Maka, dari persamaan (2.7) dapat diperoleh juga formulasi elasitistas produksi sebagai berikut: MPP ………………………………………………………………(2.8) Ep APP Hubungan antara tingkat produksi (output) dengan input yang digunakan ditunjukkan dalam fungsi produksi neoklasik dengan tiga tahap daerah produksi (gambar 1). Tiga tahapan produksi sebagai berikut: 1. Tahap I, dimaana MPP > APP; pada daerah I penambahan input sebesar 1 persen akan menyebabkan penambahan output lebih besar dari 1 persen, sehingga merupakan tahap yang irrasional I (increasing return to scale), dimana Ep > 1. 2. Tahap II, dimana MPP = APP. Pada tahap II, penambahan input sebesar 1 persen akan menyebabkan penambahan output paling tinggi sama dengan 1 persen dan paling rendah 0 persen (0 < Ep <1), merupakan daerah rasional (decreasing return to scale). 3. Tahap III, dimana MPP < APP; produk total (TPP) dan produk rata-rata (APP) sama-sama menurun, sedangkan Marginal Produk (MPP) nilainya negatif. Daerah III, penambahan penggunaan input akan menyebabkan penurunan produksi total (TPP), Ep < 1, merupakan daerah irrasional II. Petani secara rasional akan berproduksi yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan dengan mengalokasikan input secara optimal (Tahap II). Secara spesifik, fungsi produksi terdiri dari fungsi linier, kuadratik, polynomial, akar pangkat dua atau Cobb-Douglas. APP
9
y
Ep= 0 Ep=1
TPP
0<Ep<1 I Ep>1 II
A
B
III Ep<1
C
x
dy/dx y/x
APP
x
MPP Sumber: Debertin (1986) Gambar 1 Fungsi Produksi Neoklasik.
Fungsi Produksi Cobb-Douglas Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas/ independent variable) dan variabel tidak bebas/ dependent variable). Secara umum persamaan matematik dari fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = β0X1β1X2β2X3….Xnβneu………………………………………………(2.9) Fungsi produksi Cobb-Douglas ditransformasikan kedalam bentuk linear logaritma untuk bisa menaksir parameter-parameternya sehingga fungsi produksi tersebut menjadi: Ln Y = ln β0 + β1 ln X1 + β2 ln X2 + β3 ln X3 + … + βn ln Xn + u ln e…….(2.10) dimana: Y = jumlah produksi β0 = intersep β1, β2, β3, …., βn = parameter variabel penduga X1, X2,…, Xn = faktor-faktor produksi e = bilangan natural (e= 2.72) u = galat Fungsi produksi Cobb-Douglas penggunaannya lebih sederhana, mudah untuk melihat hubungan input dan output, bersifat homogen sehingga dapat menurunkan fungsi biaya dari fungsi produksi, dan jarang menimbulkan masalah multikolinier. Kelemahan fungsi produksi Cobb-Douglas antara lain: (1) elastisitas produksinya konstan, dan (2) tidak ada produksi (Y) maksimum, artinya sepanjang kombinasi input (X) dinaikkan maka produksi (Y) akan terus naik sepanjang expansion path-nya (Debertin, 1986). Oleh sebab itu fungsi produksi Cobb-Douglas tidak bisa menggambarkan fungsi produksi neoklasik atau fungsi produksi Cobb-Douglas hanya mampu menjelaskan daerah produksi I, II dan tidak bisa menjelaskan daerah III (Beattie dan Taylor, 1985).
10
Fungsi produksi Cobb-Douglas dianalisis menggunakan analisis regresi dengan Ordinary Least Square (OLS). Asumsi-asumsi yang digunakan dalam metode OLS (Gujarati, 1988), antara lain: 1. E (ui│Xi) = 0, artinya rata-rata hitung dari simpangan (deviasi) yang berhubungan dengan setiap Xi sama dengan nol. 2. Cov (ui, uj) = 0, i ≠ j, artinya tidak ada autokolerasi atau tidak ada korelasi antara kesalahan pengganggu ui dan uj. 3. Var (ui│Xi) = σ2, artinya setiap error mempunyai varian yang sama atau penyebaran yang sama (homoskedastisitas). 4. Cov (ui, Xi) = 0, artinya tidak ada korelasi kesalahan pengganggu dengan setiap variabel yang menjelaskan (Xi). 5. N (0; σ2), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata-rata nol dan varian σ2. 6. Tidak ada multikolinearitas, artinya tidak ada hubungan linear yang nyata antara variabel-variabel yang menjelaskan. Fungsi Produksi Frontier Frontier digunakan untuk menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan (Coelli et al., 2005). Fungsi produksi frontier menggambarkan output maksimal yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi diturunkan dengan menghubungkan titik-titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input. Maka, fungsi tersebut mewakili kombinasi input-output secara teknis paling efisien. Sedangkan, fungsi produksi yang lain adalah fungsi produksi rata-rata. Fungsi produksi rata-rata hanya menunjukkan bahwa usaha tani berproduksi pada tingkat produksi tertentu dimana belum tentu yang efisien. Pengukuran fungsi produksi frontier secara umum dibedakan atas 4 cara yaitu: (1) determininistic nonparametric frontier, (2) deterministic parametric frontier, (3) deterministic statistical frontier, dan (4) stochastic statistical frontier (stochastic frontier). Model deterministik produksi frontier adalah sebagai berikut: Yi = f(Xi;β).exp(Ɛi)………………………………………………...(2.11) Model stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tak terduga (stochastic effects) di dalam batas produksi. Model fungsi produksi stochastic frontier tersebut mengambil fungsi Cobb Douglas yang dilinierkan yaitu sebagai berikut (Aigner et al., 1977): Ln Yi
= ln β0 + ∑βjlnXji + ( vi – ui )…………………………………(2.12)
dimana stochastic frontier disebut juga composed error model karena error term (Ɛi = vi – ui ), i = 1, 2, .. n. Variabel acak vi berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor-faktor yang tidak pasti seperti cuaca, pemogokan, serangan hama dan sebagainya di dalam nilai variabel output, bersama-sama dengan efek gabungan dari variabel input yang tidak terdefinisi di dalam fungsi produksi. Variabel acak vi merupakan variabel random shock yang secara identik terdistribusi normal dengan rataan ((μi) bernilai 0 dan variansnya konstan atau N(0, σv2), simetris serta bebas dari ui. Variabel acak ui merupakan variabel non
11
negatif dan diasumsikan terdistribusi secara bebas. Variabel ui disebut one-side disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi. Yi= produksi, Xji= input yang digunakan, β0 = intersep, βj= parameter variabel penduga. Model struktur produksi stokastik frontier pada gambar 2, dimana komponen yang pasti dari model batas adalah f (Xi; β) dengan asumsi memiliki karakteristik diminishing return to scale (skala pengembalian yang menurun). Misal petani i menggunakan input sebesar Xi dan memperoleh output sebesar yi melampaui nilai pada bagian yang pasti dari fungsi produksi yaitu f (Xi; β). Hal ini disebabkan aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang cuaca yang baik (menguntungkan), dimana variabel vi positif. Sedangkan petani j menggunakan input sebesar Xj dan memperoleh hasil sebesar yj, tetapi batas dari petani j berada dibawah bagian yang pasti dari fungsi produksi, karena aktivitas produksi petani tersebut dipengaruhi oleh kondisi yang cuaca tidak baik (tidak menguntungkan) dengan nilai vj bernilai negatif (Battese, 1991).
Sumber: Battese (1991). Gambar 2 Fungsi Produksi Stokastik Frontier Penelitian yang dilakukan Daryanto (2000) menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis petani padi di Jawa Barat. Sistem irigasi yang dibandingkan terdiri dari sistem irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan desa. Fungsi produksi dugaan yang digunakan adalah fungsi produksi translog stochastic frontier, dengan model efek inefisiensi teknis nonnetral. Variabel-variabel penjelas yang disertakan di dalam model efek inefisiensi teknis terdiri dari: (1) logaritma luas lahan, (2) rasio tenaga kerja yang disewa terhadap total tenaga kerja, dan (3) partisipasi petani di dalam program intensifikasi. Demikian juga Adhiana (2005) menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis usahatani lidah buaya dan Sinaga (2011) menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis usahatani teknis kentang dan tomat. Singh (2007) juga menggunakan pendekatan stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis gandum. Keunggulan pendekatan
12
frontier stokastik adalah dimasukkannya gangguan acak (disturbance term), kesalahan pengukuran dan kejutan eksogen yang berada di luar kontrol petani. Sementara itu, beberapa keterbatasan dari pendekatan ini adalah : (1) teknologi yang dianalisis harus diformulasikan oleh struktur yang cukup rumit, (2) distribusi dari simpangan satu sisi harus dispesifikasi sebelum mengestimasi model, (3) struktur tambahan harus dikenakan terhadap distribusi inefisiensi teknis, dan (4) sulit diterapkan untuk usahatani yang memiliki lebih dari satu output. Metode pendugaan frontier production dengan Maximum Likelihood Estimation (MLE). Maximum Likelihood Estimation (MLE) pada model stochastic frontier dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input produksi. Tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi, intersep (β0) dan varians dari kedua komponen kesalahan vi dan ui. Konsep Efisiensi Efisiensi merupakan sebagai perbandingan antara nilai output terhadap input. Suatu metode produksi dapat dikatakan lebih efisien dari metode lainnya jika metode tersebut menghasilkan output yang lebih besar pada tingkat korbanan yang sama. Suatu metode produksi yang menggunakan korbanan yang paling kecil, juga dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya, jika menghasilkan nilai output yang sama besarnya. Tujuan petani untuk mengelola usahataninya adalah untuk meningkatkan produksi dan keuntungan. Menurut Lau dan Yotopaulus (1971) konsep efisiensi pada dasarnya mencakup tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif (harga) serta efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis mencerminkan kemampuan petani untuk memperoleh output maksimal dari sejumlah input tertentu. Seorang petani dikatakan efisien secara teknis dari petani lainnya jika petani tersebut dapat menghasilkan output lebih besar pada tingkat penggunaan teknologi produksi yang sama. Petani yang menggunakan input lebih kecil pada tingkat teknologi yang sama, juga dikatakan lebih efisien dari petani lain, jika menghasilkan output yang sama besarnya. Efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan petani untuk menggunakan input dengan dosis/syarat yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki sehingga produksi dan pendapatan yang diperoleh maksimal. Tingkat produksi dan pendapatan usahatani sangat ditentukan oleh efisiensi petani dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya kedalam berbagai alternatif aktivasi produksi. Efisiensi ekonomi adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Menurut Debertin (1986), efisiensi ekonomi dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum (profit maximization) dan kriteria biaya minimum (cost minimization). Menurut Doll dan Orazem (1984), efisiensi ekonomi akan tercapai bila memenuhi syarat: (1) syarat yang menunjukkan hubungan fisik antara input dan output, bahwa proses produksi berada pada tahap II dimana terjadi efisiensi teknis, yaitu MPP menurun, dan (2) syarat kecukupan yang berhubungan dengan tujuan bahwa seorang produsen diasumsikan untuk memaksimumkan keuntungannya. Beattie dan Taylor (1985) bahwa keuntungan maksimum akan
13
diperoleh bila Value Marginal Product (VMP) sama dengan harga input atau VMPy Px i yang menunjukkan efisiensi ekonomi. Dengan kata lain, menurut Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997), produk marginal untuk tiap pasangan input Px sama dengan rasio harganya atau MPPxi i . Py Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi yaitu pendekatan dari sisi penggunaan input dan pendekatan dari sisi output yang dihasilkan (Farrel, 1957). Pendekatan dari sisi input membutuhkan informasi harga input dan sebuah kurva isoquant yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output yang maksimal. Pendekatan dari sisi output yang dihasilkan adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat seberapa besar jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa mengubah jumlah input yang digunakan. X2/Y
X1/Y Sumber: Coelli et al., 2005. Gambar 3 Efisiensi Teknis dan Alokatif pada Orientasi Input. Gambar 3 menunjukkan efisiensi dari sisi penggunaan input, misal petani diasumsikan memproduksi output (Y) dengan menggunakan dua jenis input (X1 dan X2) dan S adalah kurva isoquant frontier untuk menghasilkan output maksimal. Kurva isoquant frontier SS’ menunjukkan kombinasi input per output (X1/Y dan X2/Y ) yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output Y0 = 1. Titik P dan Q menggambarkan dua kondisi suatu perusahaan dalam berproduksi menggunakan kombinasi input dengan proporsi input X1/Y dan X2/Y yang sama. Keduanya berada pada garis yang sama dari titik O untuk memproduksi satu unit Y0. Titik P berada di atas kurva isoquant, sedangkan titik Q menunjukkan perusahaan beroperasi pada kondisi secara teknis efisien (karena beroperasi pada kurva isoquant frontier). Titik Q mengimplikasikan bahwa perusahaan memproduksi sejumlah output yang sama dengan perusahaan di titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Jadi, rasio OP/OQ menunjukkan efisiensi teknis (TE) perusahaan P, yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada P dapat diturunkan, rasio input per output (X1/Y : X2/Y konstan, sedangkan output tetap.
14
Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan. Garis isocost (AA’) digambarkan menyinggung isquant SS’ di titik Q’ dan memotong garis OP di titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang meminimumkan biaya produksi pada tingkat output tertentu karena slope isquant sama dengan slope garis isocost. Titik Q secara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan di titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi dari pada di titik Q’. Jarak OR-OQ menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di titik Q’ (secara alokatif dan teknis efsien), sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di titik P adalah rasio OR/OQ. Sehingga ukuran efisiensi teknis (Tehnical Efficiency atau TE) dan efisiensi alokatif (Allocative Efficiency atau AE) berdasarkan gambar 3 sebagai berikut: 0Q ……………………………………………………………….(2.13) TE 0P 0R ………………………………………………………………(2.14) AE 0Q EE = TE x AE = 0R/0P………………………………………………...(2.15) Bentuk umum mengukur efisiensi teknis oleh observasi ke-i didefinisikan sebagai berikut (Coelli, 1996): E (Y * U , X i ) TE E[exp(-Ui)/Ɛi]……………………………...(2.16) E (Y * U 0, X i ) Y2/X1
Y1/X1 Sumber: Coelli et al., 2005. Gambar 4 Efisiensi Teknis dan Alokatif pada Orientasi Output. Ukuran efisiensi dengan pendekatan dari sisi output ditunjukkan pada gambar 4 dengan asumsi output yang dihasilkan adalah 2 output (Y1 dan Y2) dan penggunaan input tunggal (X1). Kurva ZZ′ adalah kurva kemungkinan produksi (KKP) dan titik A menunjukkan petani dalam kondisi inefisien. Garis AB menunjukkan petani pada tingkat inefisien teknis, dimana jumlah output masih dapat ditingkatkan tanpa menambah jumlah input. maka, efisiensi teknis (TE) dari sisi output sebagai berikut: 0A ……………………………………………………………….(2.17) TE 0B Efisiensi alokatif (Allocative Efficiency = AE) sebagai berikut:
15
0B ……………………………………………………………….(2.18) 0C Efisiensi ekonomi (EE) sebagai berikut: 0A ……………………………………………………………….(2.19) EE 0C atau EE TExAE …………………………………………………………….(2.20) AE
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Efisiensi Efisiensi produksi berkaitan dengan penggunaan input yang optimal. Penggunaan input yang optimal, maka akan meningkatkan produktivitas. Kesenjangan produktivitas antara produktivitas yang seharusnya dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani sering terjadi. Kesenjangan produktivitas tersebut dikarenakan adanya faktor yang sulit untuk diatasi petani seperti teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungan misalnya iklim. Gambar 5 menunjukkan perbedaan hasil yang disebabkan oleh 2 faktor tersebut menyebabkan kesenjangan produktivitas antara hasil eksperimen dengan potensial suatu usahatani. Selain itu, kesenjangan produktivitas biasanya juga terjadi antara produktivitas potensial usahatani dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani. Faktor yang menyebabkan kesenjangan produktivitas adalah (1) kendala biologis misalnya perbedaan varietas, masalah tanah, serangan hama, perbedaan kesuburan dan sebagainya, dan (2) kendala sosial ekonomi misalnya perbedaan besarnya biaya dan penerimaan usahatani, keterbatasan modal usahatani, harga produksi, kebiasaan dan sikap, kurangnya pengetahuan, tingkat pendidikan, adanya faktor ketidakpastian, resiko berusahatani dan sebagainya (Soekartawi dkk, 2011).
Sumber: Gomez, 1977 dalam Soekartawi dkk, 2011 Gambar 5 Model Perbedaan Hasil antara Hasil Lembaga Eksperimen dan Hasil yang Dicapai Usahatani
16
Studi terdahulu telah banyak membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani. Namun, efisiensi usahatani jagung masih jarang diteliti. Kurniawan (2008), produksi jagung secara nyata dipengaruhi secara positif oleh penggunaan luas lahan, benih, pupuk organik, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan dummy olah tanah. Sedangkan pupuk N dan K tidak berpengaruh nyata. Sedangkan faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknik usahatani jagung tersebut adalah umur dan pengalaman berusahatani berpengaruh positif, pendidikan dan keanggotaan dalam kelompok tani berpengaruh negatif. Studi terdahulu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis adalah Jasila (2009), Saptana (2011), dan Sinaga (2011). Hasil penelitian Saptana (2011) di Jawa Tengah bahwa efisiensi teknis yang dicapai oleh petani cabai merah besar sebesar 83%. Hal ini berarti masih ada peluang 17% petani meningkatkan produksi. Peluang 17% yang tidak tercapai tersebut merupakan inefisiensi usahatani tersebut. Faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis yang berpengaruh positif dalam usahatani tersebut adalah benih, pupuk Nitrogen (N), pupuk K2O dan pestisida/fungisida. Sedangkan faktor sosial ekonomi yang dapat menurunkan inefisiensi teknis pada usahatani tersebut adalah peranan usahatani tersebut terhadap pendapatan rumahtangga, pengetahuan teknologi budidaya cabai merah oleh petani, akses pasar input dan output, dan perlakuan pasca panen oleh petani. Hasil penelitian Sinaga (2011), petani tomat dan kentang belum efisien secara teknis dalam melakukan usahataninya (rata-rata efisiensi teknis kentang 0.49 dan rata-rata efisiensi teknis tomat 0.70). Hal ini dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah benih, pupuk kimia, pupuk organik, pestisida padat, pestisida cair dan jumlah tenaga kerja. Jasila (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani tebu adalah lahan, pupuk N, tenaga kerja, dummy Kredit Ketahanan Pangan (KKP), pendidikan dan ukuran usahatani. Hasil penelitian Kurniawan (2008), salah satu penyebab inefisiensi alokatif usahatani jagung di Kalimantan Selatan adalah penggunaan pupuk N atau pupuk urea yang berlebihan. Hal ini disebabkan harga pupuk N lebih rendah daripada harga pupuk SP-36 dan KCL sehingga petani mengurangi penggunaan pupuk SP36 dan KCL dengan mengganti dengan pupuk urea. Penggunaan pupuk N yang berlebihan menyebabkan biaya produksi lebih tinggi. Selain itu, efisiensi alokatif rendah karena informasi harga input dan output tidak sempurna. Hal ini juga diperoleh hasil penelitian Saptana (2011) untuk peningkatan efisiensi alokatif usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting di Jawa Tengah dilakukan melalui: (1) alokasi penggunaan faktor produksi secara lebih efisien; (2) memperbaiki struktur pasar input dan output; (3) kebijakan insentif (skema kredit lunak/subsidi bunga, subsidi benih cabai hibrida, subsidi pupuk kimia, dan subsidi pupuk organik); dan (4) pengembangan infrastruktur pertanian, seperti jalan, pasar input dan pasar output. Hasil penelitian Jasila (2009) ketidakmampuan petani KKP mencapai efisiensi ekonomi terkait alokasi penggunaan input yang belum tepat pada tingkat harga input yang berlaku di daerah penelitian. Teori Daya Saing Faktor penentu komoditas memiliki daya saing jika mampu memproduksi secara efisien. Daya saing suatu komoditas akan tercermin pada harga jual yang rendah di pasar dan mutu yang tinggi. Analisis daya saing suatu komoditas
17
biasanya ditinjau dari sisi penawaran karena struktur biaya produksi merupakan komponen utama yang akan menentukan harga jual komoditas tersebut (Salvatore, 1997). Daya saing juga merupakan penentu keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld (2004) menyatakan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gain from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara berdagang satu sama lain dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan jika negara tersebut mencoba memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. Daya saing suatu komoditas sering diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumber daya yang terbuka (Krugman dan Obstfeld 2004). Suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana barang tersebut dapat berproduksi relatif lebih efesien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efesien. Kelemahan teori ini adalah Ricardo tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut asalkan masing-masing negara tersebut memiliki perbedaan dalam keunggulan cost comparative advantage atau production comparative advantage. Teori Ricardo tentang keunggulan komparatif kemudian disempurnakan lebih modern oleh Heckscher Ohlin yang didasari oleh kepemilikan faktor produksi serta dampak perdagangan internasional terhadap distribusi pendapatan (Oktaviani dkk, 2009). Menurut teori H-O bahwa perbedaan opportunity cost suatu produk antara satu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara. Adanya perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan tejadinya perdagangan internasional. Negara yang memiliki faktor produksi yang relatif banyak atau murah cenderung akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor produknya. Sebaliknya mengimpor barang yang memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal. Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur daya saing suatu kegiatan berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat diukur berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia nyata dan keunggulan komparatif suatu kegiatan ekonomi dari sudut pandang atau
18
individu yang berkepentingan langsung (Salvator, 1997). Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Porter menyatakan bahwa kekuatan kompetitif menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri baik domestik maupun internasional yang menghasilkan barang dan jasa. Menurut Porter (1991), keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada, kenyataan yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Disamping itu keunggulan kompetitif tidak bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitasnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada korelasi langsung antara dua faktor produksi seperti sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya yang murah. Porter menyatakan bahwa disamping faktor produksi, peran pemerintah juga sangat penting dalam peningkatan daya saing. Pengukuran daya saing sudah banyak dilakukan dengan berbagai alat analisis antara lain (1) RCA (Revealed Competitive Advantage) dengan asumsi bahwa keunggulan komparatif dilihat dalam ekspornya, (2) EPD (Export Product Dinamics) merupakan indikator yang dapat mengukur posisi pasar dan produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu atau mempunyai kemampuan membandingkan kinerja ekspor diantara negara-negara di seluruh dunia, dan (3) Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix). PAM (Policy Analysis Matrix) digunakan untuk menganalisis keadaan ekonomi dari pemilik ditinjau dari sudut usaha swasta (private profit) dan sekaligus memberi ukuran tingkat efesien ekonomi usaha atau keuntungan sosial (social profit). Menurut Pearson et al (2005), model PAM dapat mensinergikan pengukuran keunggulan komparatif (analisis ekonomi) dan keunggulan kompetitif (analisis finansial). PAM juga dapat memberikan pemahaman lebih lengkap dan konsisten terhadap semua pengaruh kebijakan dan kegagalan pasar pada penerimaan (revenue), biaya-biaya (cost), dan keuntungan (profit) dalam produksi sektor pertanian secara luas. Tiga issues yang menyangkut prinsip-prinsip yang dapat ditelaah (investigate) dengan model PAM, yaitu : 1. Dampak kebijakan terhadap daya saing (competitiveness) dan tingkat profitabilitas pada tingkat usaha tani. 2. Pengaruh kebijakan investasi pada tingkat efesiensi ekonomi dan keunggulan komparatif (comparative advantage). 3. Pengaruh kebijakan penelitian pertanian pada perbaikan teknologi, selanjutnya model PAM merupakan produk dari dua identitas perhitungan yaitu: a. Tingkat keuntungan atau profitabilitas (profitability) merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya-biaya. b. Pengaruh penyimpangan atau divergensi (distorsi kebijakan dan kegagalan pasar) merupakan perbedaan antara parameter-parameter yang diobservasi dan parameter yang seharusnya ada terjadi jika divergensi tersebut dihilangkan. Menurut Morrison dan Balcombe (2002), ada beberapa kelemahan dalam PAM sehingga memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan indikatorindikator PAM, yaitu:
19
1. 2.
PAM bekerja pada kerangka kerja parsial dan statis, serta mengabaikan umpan balik (feedback) dan efek multiplier. Keakurasian data yang digunakan, diantaranya: pertama, harga pasar dan kuantitas input yang digunakan pada baris pertama kerangka kerja PAM sering dikumpulkan dalam keadaan sistem informasi pasar pertanian yang kurang berkembang. Di sektor pertanian, keragaman harga-harga input dan output tidak cukup digambarkan dengan harga rata-rata biasa. Kedua, umumnya harga dunia (world price) digunakan untuk menyusun harga perbatasan (border parity price), kemudian digunakan sebagai proxy dari harga ekonomi. Hal ini menimbulkan kesulitan karena adanya hambatan perdagangan di banyak negara menyebabkan variabilitas harga dunia cenderung tinggi, namun variabilitas ini umumnya tidak ditransmisikan secara penuh ke harga domestik. Analisis Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah bertujuan melindungi produk dalam negeri. Kebijakan pemerintah diberlakukan baik untuk output maupun input. Dampak dari kebijakan tersebut terjadi perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang seharusnya terjadi (harga sosial). Kebijakan Output Kebijakan yang ditetapkan terhadap output baik berupa subsidi maupun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 (a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga pasar dunia (Pw) lebih rendah dari harga domestik (Pd). Tingkat subsidi sebesar Pd – Pw kepada produsen menyebabkan produksi akan meningkat dari Q1 menjadi Q2. Namun, konsumsi dalam negeri akan tetap pada Q3 karena kebijakan subsidi ini tidak merubah harga dalam negeri. Subsidi ini akan menyebabkan impor turun dari Q2 ke Q3. Transfer pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pd – Pw) atau sebesar PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor akan diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Subsidi tersebut akan memberikan dampak terjadinya kehilangan efesiensi sebesar CAB. Gambar 6 (b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GBAH.
20
P
P S
S
H
Pd Pw
G
A
Pd
C
Pw
B E
F
A
B D Q1
Q3
Q2
D
Q
Q2
(a) S + PI
Q1
Q3
Q4
Q
(b) S + PE
P
P S S
Pw
C
A
Pc Pw
A
Pd
F
E
Q2
G
H
B Q1
Q3
(c ) S + CI
B
Q4
D Q
D Q1
Q2 (d) S + CE
Sumber: Monke dan Pearson (1989) Keterangan: Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik S + PI : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Impor S + PE : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Ekspor S + CI : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Impor S + CE : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Ekspor Gambar 6 Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Impor dan Barang Ekspor
Q
21
Gambar 6 (c) menunjukkan subsidi positif pada konsumen untuk barang impor. Harga di pasar dunia (Pw) lebih tinggi daripada harga domestik (Pd). Tingkat subsidi positif sebesar Pw – Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q1 menjadi Q2, tetapi konsumsi akan meningkat dari Q3 menjadi Q4. Karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih murah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer pemerintah sebesar PwGHPd terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwABPd dan transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABHG, sehingga akan terjadi inefesiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Pada produksi, output turun dari Q2 menjadi Q1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2FAQ1 atau sebesar Pw x (Q2 – Q1) sedangkan besarnya input yang dapat dihemat sebesar Q2BFQ1 sehingga terjadi inefesiensi sebesar AFB. Pada konsumsi, menunjukkan terjadi opportunity cost akibat meningkatnya Q3 menjadi Q4 adalah sebesar Pw x (Q4 – Q3) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga terjadi inefesiensi sebesar EGH sehingga total inefesiensi yang terjadi sebesar AFB dan EGH. Gambar 6 (d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada gambar tersebut menunjukkan harga dunia lebih besar (Pw) dari harga yang diterima konsumen (Pc). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi untuk barang ekspor menjadi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Perubahan ini menyebabkan terjadi opportunity cost sebesar Pw x (Q2–Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q1CAQ2 dengan inefesiensi yang terjadi sebesar CBA. Kebijakan Input Kebijakan pemerintah juga diberlakukan pada variabel input tradable dan non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif dan subsidi negatif, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input domestik hanya komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Perubahan yang terjadi akibat adanya intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi dan kebijakan perdagangan akan mengakibatkan perubahan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan konsumen berubah (Monke dan Pearson, 1989). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 (a) menunjukkan adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva penawaran bergeser ke atas. Efesiensi ekonomi yang hilang adalah ABC. Perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut adalah sebesar Q2BCQ1.
22
P
P S’
S
S
S’ C
Pw
C
A
Pw
B Q2
A
B
D Q1
Q3
D Q
Q1
(a) S – IT
Q2
Q3
(b) S + IT
Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan : Pw : Harga Q di Pasar Dunia S – IT : Pajak Input untuk Barang Tradable S + IT : Subsidi Input untuk Barang Tradable Gambar 7 Subsidi dan Pajak Input Tradable Gambar 7(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Apabila kondisi perdagangan bebas harga yang berlaku adalah Pw dengan produksi sebesar Q1. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi lebih rendah dan penggunaan input lebih intensif, sehingga kurva penawaran bergeser ke bawah (S’) dan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Inefesiensi yang terjadi adalah sebesar ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q1ABQ2. Pada input non tradable, intervensi pemerintah berupa halangan perdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) yang dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 (a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran input non tradable adalah Pd,Q1. Adanya pajak Pc – Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga di tingkat produsen turun dari Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efesiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar ABD dan dari konsumen yang hilang sebesar CBA.
Q
23
S
P C
Pc Pd
P
Pd
A D
Q2 (a) S – N
C
Pp
B
Pp
S A
B
Pc
D
D D
Q Q1
Q1
Q2
(b) S + N
Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan : Pd : Harga Domestik Sebelum Diberlakukan Pajak dan Subsidi Pc : Harga di Tingkat Konsumen Setelah Diberlakukan Pajak dan Subsidi Pp : Harga di Tingkat Produsen Setelah Diberlakukan Pajak dan Subsidi S-N : Pajak untuk Barang Non Tradable S+N : Subsidi untuk Barang Non Tradable Gambar 8. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable Gambar 8 (b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran dan permintaan input non tradable berada pada Pd,Q1. Adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Efesiensi yang hilang dari produsen sebesar ABC dan konsumen sebesar ABD. Daya Saing Jagung dan Dampak Kebijakan Pemerintah (Input dan Output Jagung) Suatu komoditi dianggap memiliki daya saing apabila komoditi tersebut memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Impor jagung akan bersaing dengan jagung lokal. Beberapa hasil penelitian tentang daya saing jagung di beberapa wilayah yaitu Oktaviani (1991), Sadikin (1999), Emilya (2001), Mayrita (2007), Kurniawan (2008), Rusastra (2009) dan Yao (1997) dalam penelitiannya menggunakan analisis Policy Analysis Matrix (PAM) bahwa jagung memiliki daya saing yang tinggi (keunggulan kompetitif dan komparatif. Rusono (1999) dan Mantau (2009) dalam penelitiannya menggunakan pendekatan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD), Rasio Biaya Sumberdaya Domestik,dan Rasio Biaya Sosial terhadap Manfaat (RBSM) bahwa jagung memiliki daya saing yang tinggi. Namun, hasil penelitian Ma′ruf (2011) dalam penelitiannya menggunakan analisis RCA menyatakan jagung memiliki daya saing yang rendah.
Q
24
Upaya peningkatan produktivitas jagung, pemerintah memberikan subsidi benih unggul yang bersertifikasi. Subsidi benih unggul sudah dilakukan pemerintah sejak tahun 2006. Subsidi benih unggul berupa benih gratis dan subsidi harga benih. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.129/PMK.02/2010 menyatakan dalam rangka meningkatkan produksi tanaman pangan yang berkualitas dan untuk membantu para petani agar dapat membeli benih padi non hibrida, jagung komposit, jagung hibrida dan kedelai dengan harga terjangkau. Besaran subsidi benih dihitung berdasarkan selisih HPP (Harga Pokok Penjualan) dalam Rp/kg dikurangi dengan harga penyaluran benih (Rp/kg) dikalikan volume penyaluran benih (kg) masing-masing komoditas benih (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2012). Selain itu, input yang sangat penting bagi peningkatan produksi jagung adalah penggunaan pupuk. Pemerintah memberikan subsidi pupuk bagi pertanian. Subsidi pupuk tersebut berupa subsidi harga pupuk. Pupuk yang bersubsidi adalah pupuk Urea, pupuk SP-36, pupuk NPK. Pemerintah masih membuka impor jagung untuk menjamin ketersediaan jagung dalam negeri. Impor jagung akan mempengaruhi harga jagung di pasar dalam negeri. Sehingga kebijakan berupa tarif impor jagung untuk melindungi petani jagung dalam negeri. Namun, tarif impor yang diberlakukan pemerintah masih rendah sebesar 5%. Hasil penelitian terdahulu yaitu Oktaviani (1991) daya saing komoditas pangan (padi, jagung, ubi kayu dan kedelai) memiliki daya saing yang kuat (kompetitif dan komparatif) dan kebijakan pemerintah pada kurun waktu tahun 1984 dan 1989 terhadap komoditas pangan tersebut tidak memberikan insentif bagi produsen untuk berproduksi. Demikian juga Sadikin (1999) dampak kebijakan input melindungi petani jagung, tetapi pada kebijakan harga output tidak melindungi petani jagung. Mayrita (2007) menyatakan kebijakan input produksi, seperti subsidi pupuk dan benih tidak efektif, terbukti harga input yang harus dibayar petani lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayar petani dan kinerja pasar jagung tidak menguntungkan petani, karena harga jagung yang diterima petani lebih rendah dari harga yang seharusnya. Hasil penelitian Rusastra (2009), juga menyatakan kebijakan harga tidak memberikan insentif kepada petani jagung. Namun, hasil penelitian Rusono (1999) di wilayah pengembangan komoditas pangan (Jawa barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara) bahwa dampak kebijakan pemerintah (output dan input) efektif, terbukti penerapan subsidi input seperti pupuk telah berdampak terhadap biaya input yang lebih rendah dibandingkan tanpa adanya kebijakan tersebut dan penerapan kebijakan tarif impor jagung telah berdampak tehadap penerimaan petani dari usahataninya lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan tersebut karena harga output (jagung) lebih tinggi dari border price yaitu harga Cost Insurance Freight (CIF). Yao (1997) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi padi Thailand yang mempunyai kompetisi dengan kedelai dan kacang hijau yang dilakukan di dua lokasi yang berbeda. Hasil penelitian menyatakan bahwa kebijakan pemerintah Thailand adalah melindungi produsen padi melalui pemberian subsidi pada input tradable demikian pula dengan komoditi kedelai dan kacang hijau. Demikian juga hasil penelitian Emilya (2001) dampak kebijakan pemerintah
25
terhadap komoditas jagung di Provinsi Riau melindungi produsen domestik jagung, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan produsen kedelai. Hubungan antara Efisiensi dan Daya Saing Coelli et al. 2005 menyatakan bahwa salah satu esensi daya saing adalah efisiensi. Demikian juga Curtiss (2001) menyatakan bahwa efisiensi teknis merupakan komponen efisiensi ekonomi yang dapat mempengaruhi daya saing. Inefisiensi ekonomi dalam memproduksi suatu komoditas akan terjadi jika terdapat ruang untuk mengoptimalkan penggunaan dan pengalokasian sumber daya, atau dapat dikatakan ada ruang untuk meningkatkan profitabilitas dan kesejahteraan. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang dibangun pada penelitian ini didasari adanya potensi sumber daya lahan Sumatera Utara untuk meningkatkan produksi jagung untuk memenuhi kebutuhan jagung yang semakin meningkat dengan peningkatan industri pakan. Gambar 9 menunjukkan Kabupaten Dairi merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang berpotensi untuk peningkatan produksi jagung. Namun, permasalahan jagung di Kabupaten Dairi adalah produktivitas jagung masih rendah sekitar antara 4.20–4.60 ton per ha. Hal ini diduga disebabkan terkait dengan efisiensi penggunaan input baik jumlah maupun alokasinya. Rendahnya produktivitas jagung sehingga dilakukan impor jagung. Impor yang semakin meningkat akan mempengaruhi bagaimana jagung domestik berdaya saing dengan jagung impor. Oleh sebab itu, perlu diteliti (1) faktor apa yang mempengaruhi produksi jagung dan bagaimana tingkat efisien usahatani jagung di Kabupaten Dairi, (2) bagaimana tingkat daya saing jagung di Kabupaten Dairi, dan (3) bagaimana dampak kebijakan pemerintah (input dan output) terhadap daya saing jagung di Kabupaten Dairi. Analisis efsiensi teknis menggunakan fungsi produksi CobbDouglas Frontier dengan perangkat lunak Frontier 4.1 dan efisiensi alokatif menggunakan fungsi biaya dual serta menganalisis tingkat daya saing dan dampak kebijakan input dan output terhadap daya saing dengan Policy Analysis Matrix (PAM). Penelitian ini diharapkan ada implikasi kebijakan untuk usahatani jagung di Kabupaten Dairi.
26
Kabupaten Dairi sebagai salah satu sentra produksi jagung di Provinsi Sumatera Utara
1. Produktivitas jagung rendah 2. Impor jagung semakin meningkat 3. Kebijakan tarif impor jagung dan subsidi pupuk 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi jagung di Kabupaten Dairi dan bagaimana efisiensi teknis dan alokatif usahatani jagung di Kabupaten Dairi? 2. Bagaimana daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi? 3. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi? 4. Bagaimana hubungan efisiensi dengan daya saing usahatani jagung serta bagaimana meningkatkan efisiensi dan daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi? Efisiensi teknis menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas Frontier dengan perangkat lunak Frontier 4.1 dan efisiensi alokatif menggunakan fungsi biaya dual.
Analisis daya saing dan dampak kebijakan input dan output terhadap daya saing menggunakan Tabel PAM (Policy Analysis Matrix)
Kesimpulan Saran kebijakan Gambar 9 Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, tinjauan teori, dan kerangka konseptual, maka dapat diformulasikan hipotesis: 1. Faktor-faktor produksi jagung yang diduga berpengaruh positif yaitu lahan, benih, penggunaan pupuk, pestisida, dan tenaga kerja dan usahatani jagung di Kabupaten Dairi diduga belum efisien baik secara teknis maupun alokatif. 2. Usahatani jagung diduga secara finansial dan ekonomi masih memberikan keuntungan pada petani jagung, tetapi memiliki daya saing yang rendah
27
3. 4.
Dampak kebijakan subsidi input melindungi petani jagung dan kebijakan tarif impor jagung melindungi petani jagung akan meningkatkan daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi. Tingkat efisiensi usahatani jagung mempengaruhi daya saing jagung.
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah Kabupaten Dairi. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan salah satu sentra produksi jagung di Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya dipilih 2 kecamatan yaitu Kecamatan Tanah Pinem dan Kecamatan Tigalingga. Pemilihan kecamatan dilakukan secara purposive dengan pertimbangan kecamatan tersebut memiliki luas lahan dan produksi jagung terbesar di Kabupaten Dairi. Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2013. Metode Penarikan Contoh Penarikan contoh secara purposive dengan pertimbangan tidak tersedia sampling frame didaerah penelitian sehingga petani contoh dipilih berdasarkan pekerjaan utama petani contoh berusahatani jagung dan peneliti didampingi penyuluh pertanian untuk pemilihan petani contoh. Petani contoh dipilih sebanyak 80 petani dari masing-masing 2 desa yang memiliki produksi jagung terbesar di Kecamatan Tanah Pinem dan Tigalingga. Kecamatan Tanah Pinem terdiri dari Desa Pasir Tengah sebanyak 20 petani dan Desa Pamah sebanyak 20 petani. Selanjutnya Kecamatan Tigalingga terdiri dari Desa Sukandebi sebanyak 20 petani dan Desa Bertungen Julu sebanyak 20 petani. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer untuk memperoleh informasi mengenai produksi jagung melalui wawancara dengan petani contoh yang telah ditentukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data primer tersebut adalah data karakteristik petani dan usahatani jagung pada satu musim tanam yang terdiri dari luas lahan, penggunaan input (benih, pupuk organik, herbisida, tenaga kerja dan input yang lain), harga input, harga output dan permasalahan yang dihadapi petani. Data sekunder terdiri dari harga bayangan input, harga bayangan output, nilai tukar. Data sekunder diperoleh dari (1) Badan Pusat Statistik Jakarta; (2) Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara (3) Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi; (4) Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara (5) Dinas Pertanian Kabupaten Dairi; (6) Penyuluh Pertanian Kecamatan Tanah Pinem dan Tigalingga; (7) Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Dairi; (8) Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Sumatera
28
Utara; (9) PT Pelabuhan I (Persero) Indonesia Cabang Belawan; (10) Jasa Ekspedisi di Medan; dan (11) Pemilik kios pupuk. Metode Analisis Data yang sudah dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis. Analisis deskriptif untuk mengidentifikasi kondisi dan permasalahan jagung. Selain itu, analisis fungsi produksi stochastic frontier digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung dan efisiensi teknis. Selanjutnya, fungsi biaya dual yang diturunkan dari fungsi produksi tersebut digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi alokatif dan ekonomis usahatani jagung dan PAM digunakan untuk menganalisis daya saing usahatani jagung. Fungsi produksi yang digunakan fungsi produksi stochastic frontier CobbDouglas karena bersifat homogen sehingga dapat menurunkan fungsi biaya dual, dan lebih sederhana. Namun, kelemahan fungsi Cobb-Douglas, menurut Debertin (1986) diantaranya adalah: (1) tidak ada produksi (Y) maksimum, artinya sepanjang kombinasi input (x) dinaikkan maka produksi (Y) akan terus naik sepanjang expansion path-nya, dan (2) elastisitas produksi tetap. Kelemahan ini membuat fungsi produksi Cobb-Douglas tidak bisa menggambarkan fungsi produksi neo-klasik. Model fungsi produksi Cobb-Douglas stochastic frontier usahatani jagung di Kabupaten Dairi adalah sebagai berikut: Y
= β0X1β1X2β2X3β3X4β4X5β5 X5β6eu.......................................................(3.1)
Fungsi Produksi Cobb-Douglas stochastic frontier ditransformasikan menjadi bentuk linier logaritma sehingga fungsi produksi tersebut menjadi: Ln Y = lnβ0 + β1lnX1 + β2lnX2 + β3lnX3 + β4lnX4 + β5lnX5 + β6lnX6 + vi ui…………………………………………………………………………………………………………(3.2) dimana: Y = produksi jagung dalam bentuk pipilan kering (kg) X1 = jumlah benih jagung (kg) X2 = jumlah pupuk Urea yang digunakan (kg) X3 = jumlah pupuk SP-36 yang digunakan (kg) X4 = jumlah pupuk Phonska yang digunakan (kg) X5 = jumlah pupuk herbisida yang digunakan (liter) X6 = jumlah tenaga kerja yang digunakan (Hari Orang Kerja=HOK) β0 = intersep βi = koefisien parameter penduga dimana i= 1,2,3,… vi - ui = error term (efek inefisiensi teknis dalam model) Nilai koefisien yang diharapkan: β1, β2, β3, β4, β5, β6 > 0, artinya hasil pendugaan fungsi produksi stochastic frontier di atas, diharapkan memberikan nilai parameter dugaan yang positif. Jika diperoleh parameter dugaan yang bertanda negatif, maka fungsi produksi dugaan tidak dapat digunakan untuk menurunkan fungsi biaya dual, sehingga efisiensi alokatif tidak dapat diukur. Nilai koefisien positif berarti dengan meningkatnya masukan input akan meningkatkan produksi jagung.
29
Analisis Efisiensi Teknis Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan output (indeks efisiensi timmer) dan pendekatan input (indeks efisiensi kopp). Kedua indeks efisiensi ini menghasilkan nilai efisiensi teknis yang sama jika skala usaha petani adalah konstan. Efisiensi teknis pada setiap petani ke-i dari sisi ouput, diperoleh melalui output observasi terhadap output stochastic frontiernya. Efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus: E (Y * U , X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6 ) TE ………………………………..(3.3) E (Y * U 0, X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6) dimana: TE = efisiensi teknis E (Y* U, X1, X2, X3, X4, X5, X6) = output observasi E (Y* U=0, X1, X2, X3, X4, X5, X6) = output batas (frontier) Nilai efisiensi teknis antara 0≤TE≤ 1. Nilai efisiensi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu. Nilai efisiensi teknis petani dikategorikan cukup efisien jika bernilai ≥0.70 dan dikategorikan belum efisien jika bernilai <0.70. Metode inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli. Variabel ui yang digunakan untuk mengukur efek inefisiensi teknis diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N (, σ2). Nilai parameter distribusi (i) efek inefisiensi teknis pada penelitian ini digunakan rumus sebagai berikut: ui = α0 + α1Z1 + α2 Z2 + α3 Z3+ α4 Z4 + α5 Z5 + α6 Z6+wit ............................(3.4) dimana: ui = efek inefisiensi teknik α0 = konstanta Z1 = umur petani (tahun) Z2 = tingkat pendidikan formal petani (tahun) Z3 = pengalaman berusahatani (tahun) Z4 = frekuensi penyuluhan (kali) Z5 = dummy sumber modal (modal sendiri=1 dan modal pinjaman=0) Z6 = dummy kelompok tani (memiliki kelompok tani=1 dan tidak memiliki kelompok tani=0 Nilai koefisien yang diharapkan α1 > 0, α2, α3, α4, α5, α6 < 0. Agar konsisten maka pendugaan parameter fungsi produksi dan fungsi inefisiensi teknis (persamaan 3.1 dan persamaan 3.3) dilakukan secara simultan dengan program frontier 4.1 (Coelli, 1996). Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Efisiensi alokatif dianalisis dengan menggunakan pendekatan dari sisi input (indeks kopp) untuk mengukur efisiensi alokatif dapat dilakukan dengan menurunkan fungsi biaya dual dari fungsi produksi Cobb-Douglas yang
30
homogeneous (Debertin, 1986). Asumsinya bahwa bentuk fungsi produksi CobbDouglas dengan menggunakan dua input adalah sebagai berikut: Y = α0 X1α 1 X2α 2 ………………………………………………..............(3.5) Fungsi biaya inputnya adalah: C P1 X 1P2 X2......................................................................................(3.6) Fungsi biaya dual dapat diturunkan dengan asumsi minimisasi biaya dengan kendala Y=Y0. Untuk memperoleh fungsi biaya dual harus diperoleh nilai expantion path (perluasan skala usaha) yang dapat diperoleh dengan fungsi lagrange sebagai berikut: L = P1 X 1P2 X2 + Y- α0 X1α 1 X2α 2) ……………………………(3.7) Nilai X1 dan X2 dapat diperoleh dengan first-order condition sebagai berikut: L 1 P1 1 0 X 1 1 X 2 2 0 ………………………………………………(3.8) X 1 L 1 P2 2 0 X 1 1 X 2 2 0 ……………………………………………..(3.9) X 2 L Y 0 X 1 1 X 2 2 0 ……………………………………………………(3.10) Berdasarkan persamaan (3.8) dan persamaan (3.9) diperoleh nilai X1 dan X2, yaitu: PX X 1 1 2 2 ………………………………………………………………...(3.11) 2 P1 PX X 2 2 1 1 ………………………………………………………………...(3.12) 1 P2 Selanjutnya, persamaan (3.12) disubsitusikan ke persamaan (3.10), menjadi: 2
P X Y 0 X 1 2 1 1 ………………………………………………….......(3.13) 1 P2 Berdasarkan persamaan 3.13 dapat diperoleh fungsi permintaan input untuk X1* yaitu: 1
2
1
Y 1 2 1 P2 1 2 * X 1 ………………………………………………...(3.14) 2 P1 0 Selanjutnya, persamaan 3.11 disubsitusikan ke persamaan (3.10), menjadi: 1
P X Y 0 1 2 2 X 2 2 ……………………………………………….........(3.15) 2 P1 Berdasarkan persamaan 3.15 diperoleh fungsi permintaan input untuk X2* yaitu: 1
1
Y 1 2 2 P1 1 2 * X 2 ………………………………………………..(3.16) 1 P2 0 Persamaan (3.14) dan persamaan (3.16) disubsitusikan ke dalam persamaan (3.6), maka diperoleh fungsi biaya dual menjadi:
31
2 1 1 1 1 2 P 1 2 1 2 P 1 2 Y Y * 1 2 2 1 ………….....(3.17) C P1 P2 0 2 P1 1 P2 0 Lebih sederhana dapat ditulis: C = f (Y, P1, P2) ……………………………………………………………...(3.18) Menurut Jondrow et al (1982), efisiensi ekonomis didefenisikan sebagai rasio antara biaya total produksi minimum yang diobservasi (C*) dengan biaya total produksi aktual (C) dengan persamaannya sebagai berikut: C * E (C i u i 0, Yi , Pi ) EE ……………………………………………...(3.19) C E (C i u i Yi , Pi ) dimana EE bernilai 0 ≤ EE ≤ 1. Efisiensi ekonomis merupakan gabungan dari efisiensi teknis (Tehnical Efficiency=TE) dan efisiensi alokatif (Allocative Efficiency=AE) dengan persamaan sebagai berikut: EE …………………………………………………………………….(3.20) AE TE Dimana AE bernilai 0 ≤ AE ≤ 1.
Analisis Daya Saing Analisis daya saing jagung dilakukan dengan pendekatan terhadap penggunaan sumberdaya domestik dan tradable input. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) yang merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi dalam pengusahaan berbagai aktivitas usahatani secara keseluruhan dan sistematis. PAM dapat digunakan untuk mengestimasi biaya, pendapatan dan daya saing komoditas usahatani ditingkat petani serta identifikasi dampak kebijakan pemerintah. Tabel 5 Policy Analysis Matrix Uraian
Penerimaan (revenues)
Biaya (Cost) Input Faktor Tradeable Domestik B C
Keuntungan (profit)
Harga privat A D = A-B-C (private prices) Harga sosial E F G H = E-F-G (social prices) Dampak kebijakan I = A-E J = B-F K = C-G L = D-H dan distorsi pasar = I-J-K (divergences) Sumber : Monke and Pearson, (1989) Keterangan : D = private profits; H = social profits; I = output transfers; J = input transfers; K = factor transfers; L = net tranfers. Tahapan dalam menggunakan metode PAM adalah: (1) identifikasi input secara lengkap dari usahatani jagung, (2) menentukan harga bayangan (shadow
32
price) dari input dan output usahatani jagung, (3) memilah biaya menjadi kelompok tradable dan domestik, (4) menghitung penerimaan dari usahatani jagung, dan (5) menghitung dan menganalisis berbagai indikator yang bisa dihasilkan PAM. Policy Analysis Matrix (PAM) disajikan pada Tabel 5. Analisis Keuntungan 1.
2.
Keuntungan privat/private profits: D=A-B-C, merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Jika D>0, artinya sistem komoditi tersebut memperoleh keuntungan diatas normal. Hal ini memberikan implikasi bahwa komoditi tersebut mampu melakukan ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya alternatif yang lebih menguntungkan. Keuntungan sosial/social profits: H=E-F-G, merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila H>0. Tetapi jika H<0, artinya komoditi tersebut tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi pemerintah.
Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif 1.
2.
Analisis keunggulan komparatif diperoleh dari nilai Domestic Resources Cost Ratio (DRCR)=G/(E-F), merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai faktor domestik pada harga sosial. Jika DRCR>1 maka sistem komoditi tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah, sehingga memboroskan sumber daya domestik yang langka. Jika DRCR<1, maka sistem komoditi makin efisien dan memiliki daya saing tinggi (keunggulan komparatif) serta mampu berkembang tanpa bantuan dan intervensi pemerintah disamping memiliki peluang ekspor. Analisis keunggulan kompetitif diperoleh dari Rasio Biaya Privat/ Private Cost Ratio ( PCR)=C/(A-B). Nilai PCR berapa menjelaskan berapa banyak sistem komoditi dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif. Suatu usahatani jagung akan lebih kompetitif jika nilai D>0 atau nilai C (harga privat domestik)<(A-B). Jika PCR<1 atau nilainya lebih kecil lagi, artinya sistem produksi usahatani jagung mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan kemampuannya semakin meningkat (memiliki keunggulan kompetitif).
33
Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan Output 1.
2.
Transfer output/output transfer (I)=A-E yaitu selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga finansial (private) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan atau sosial. Nilai transfer output menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan pada output sehingga membuat harga output privat dan sosial berbeda. Jika I (nilai transfer output)>0, artinya adanya transfer dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen, demikian sebaliknya. Dengan kata lain masyarakat membeli dan produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya, demikian sebaliknya jika I<0 maka masyarakat membeli dan produsen menerima harga lebih rendah dari harga seharusnya. Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) =A/E. NPCO merupakan rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer output. Jika NPCO>1 artinya kebijakan bersifat protektif terhadap output dimana pemerintah menaikkan harga output di pasar dalam negeri diatas harga efisiensinya (harga dunia), dan sebaliknya kebijakan bersifat disinsentif jika NPCO<1. Apabila tarif impor produk pertanian diturunkan akan menurunkan nilai A (harga produk menurun), sehingga nilai NPCO menurun.
Kebijakan Input 1.
2.
3.
Transfer input (J)=B-F, yaitu selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai transfer input menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai Transfer Input >0 (positif), menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable, demikian juga sebaliknya. Atau dengan kata lain menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari produsen ke pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor. Nominal Protection Coefficient on Input: NPCI=B/F. Indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI<1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable, dimana hal ini dapat pula menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga proses produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri. Sebaliknya jika NPCI>1 artinya pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik diatas harga efisiensinya. Hal ini membawa implikasi sektor yang menggunakan harga input tersebut dirugikan dengan tingginya harga beli input produksi. Transfer faktor (K)=C-G, merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai
34
transfer faktor menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan input tradable. Jika nilai transfer faktor > 0 (positif), artinya terdapat transfer dari produsen kepada produsen input non tradable, atau dengan kata lain terdapat kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi positif, demikian juga sebaliknya jika negatif atau transfer faktor < 0 maka kebijakan lebih berpihak kepada produsen atau petani jagung. Kebijakan Input-Output 1.
2.
3.
4.
Effective Protection Coefficient : (EPC)=(A - B)/(E - F). Koefisien proteksi efektif merupakan analisis gabungan antara koefisien proteksi output nominal dengan koefisien input nominal. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik dan merupakan tingkat transfer kebijakan dari pasar output dan input tradable. Apabila EPC>1, berarti pemerintah menaikkan harga output dan input tradable di atas harga efisien. Sebaliknya bila EPC<1 maka kebijakan tidak berjalan efektif. Transfer bersih/ net transfer (L)=D-H merupakan selisih antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosialnya. Bila L>0 menunjukkan adanya tambahan surplus produsen yang disebabkan penerapan kebijakan pada input dan output. Sebaliknya jika L<0 menunjukkan penurunan surplus produsen yang disebabkan oleh penerapan kebijakan input-output. Profitability Coefficient (PC)=D/H. Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial dan merupakan indikasi yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan. Apabila PC>1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya jika PC<1, maka kebijakan pemerintah membuat keuntungan menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan tanpa adanya kebijakan. Subsidy Ratio to Producer : (SRP)=L/E. Rasio subsidi untuk produsen merupakan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. Apabila nilai SRP negatif artinya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangannya (opportunity cost), dan sebaliknya jika SRP positif berarti produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari opportunity cost.
Penentuan Harga Bayangan Setiap keluaran dan masukan ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga pasar dan harga bayangan. Harga pasar adalah tingkat harga pasar yang diterima pengusaha dalam penjualan hasil produksinya atau tingkat harga yang dibayar dalam pembelian faktor produksi. Menurut Gittinger (2008), harga bayangan merupakan harga yang terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan
35
sempurna dan kondisi keseimbangan. Jadi, harga bayangan secara umum ditentukan dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijaksanaan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, kebijakan harga dan lain-lain. Harga Bayangan Output Harga bayangan output untuk komoditas ekspor atau berpotensi ekspor digunakan harga perbatasan yaitu harga FOB (Free On Board). Sedangkan harga bayangan output untuk komoditas impor digunakan sebagai harga perbatasan yaitu harga CIF (Cost Insurance Freight). Indonesia saat ini lebih banyak mengimpor jagung daripada mengekspor jagung, sehingga peningkatan produksi jagung lebih diarahkan untuk substitusi impor. Jadi, dalam penelitian ini harga jagung yang digunakan harga perbatasan CIF. Harga CIF jagung sebesar US$ 0.28 per kg, dalam mata uang domestik menjadi Rp 2,662.28 per kg. Selanjutnya dari harga CIF jagung tersebut dilakukan penyesuaian dengan penambahan terhadap biaya distribusi dan handling sampai ketingkat petani. Jadi harga bayangan jagung di tingkat petani sebesar Rp 2,825.51 per kg. Penghitungan harga bayangan jagung pipilan kering dapat dilihat pada Lampiran 9. Harga Bayangan Input dan Peralatan Harga Bayangan Lahan Penentuan harga bayangan lahan dapat didekati melalui: (1) pendapatan bersih usaha tani tanaman alternatif terbaik yang biasa ditanam pada lahan tersebut, (2) nilai sewa yang berlaku di daerah setempat, dan (3) nilai tanah yang hilang karena proyek, dan (4) tidak dimasukkan dalam perhitungan sehingga keuntungan yang didapat petani merupakan return to management and land. Penelitian ini menggunaka harga bayangan lahan akan dipakai seperti yang diusulkan Gittinger (2008), yakni dengan nilai sewanya. Perhitungan harga bayangan lahan menggunakan nilai sewa lahan per ha yang berlaku didaerah penelitian. Rata-rata nilai sewa lahan sebesar Rp 1,754,868.76 per ha. Harga Bayangan Benih Jagung Harga bayangan benih jagung mengacu pada Mayrita (2007), harga benih jagung didekati dari harga privat benih jagung dikonversi dengan harga bayangan jagung pipilan kering karena benih jagung lebih banyak diproduksi di Indonesia. Penentuan harga bayangan benih didekati dengan formula sebagai berikut: HB=
HPBenih xHBJagungPipilan …………………………………(3.21) HPJagungPipilan
dimana: HB benih HP benih HP jagung pipilan HB jagung pipilan
= Harga Bayangan benih = Harga Privat benih = Harga Privat jagung pipilan = Harga Bayangan jagung pipilan
36
Jadi harga bayangan benih jagung adalah Rp 73,110.68 per kg. Perhitungan harga benih jagung dapat dilihat pada Lampiran 10. Harga Bayangan Pupuk Penghitungan harga bayangan pupuk dapat dilihat pada Lampiran 9. Harga bayangan pupuk Urea menggunakan harga FOB. Indonesia masih net eksportir pupuk Urea, walaupun pemerintah sudah membuka keran impor pupuk Urea. Harga FOB pupuk Urea sebesar US$ 0.44 per kg atau dikonversi dalam mata uang domestik menjadi Rp 4,226.24 per kg. Selanjutnya dari harga FOB pupuk Urea tersebut dilakukan penyesuaian dengan pengurangan terhadap biaya distribusi dan handling sampai ketingkat petani. Jadi harga bayangan pupuk Urea di tingkat petani sebesar Rp 3,460.67 per kg. Harga bayangan pupuk SP-36 menggunakan harga FOB sebesar US$ 0.23 per kg atau dikonversi dalam mata uang domestik menjadi Rp 2,140.33 per kg. Selanjutnya dari harga FOB pupuk SP-36 tersebut dilakukan penyesuaian dengan pengurangan terhadap biaya distribusi dan handling sampai ketingkat petani. Jadi harga bayangan pupuk SP36 di tingkat petani sebesar Rp 1,407.09 per kg. Perhitungan harga bayangan pupuk Phonska mengacu pada Hoeridah dan Tintin Sarianti (2011). Harga bayangan pupuk Phonska dihitung dari perbedaan rasio antara subsidi dan non subsidi dikalikan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk Phonska, kemudian ditambah dengan biaya distribusi ditingkat petani. Perhitungan ini berdasarkan pupuk Phonska lebih banyak digunakan untuk produksi di domestik dibandingkan untuk diekspor dan hanya diproduksi oleh satu perusahaan yaitu PT Petrokimia Gresik. Perbedaan rasio antara subsidi dan non subsidi yaitu 3-5 kali dari Harga Eceran Tertinggi. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:87/Permentan/SR.130/12/2011 Harga Eceran Tertinggi pupuk Phonska sebesar Rp 2,300 per kg. Jadi, harga bayangan pupuk Phonska adalah Rp 6,388 per kg diperoleh dari 3 dikalikan dengan HET pupuk Phonska ditambah biaya distribusi ditingkat petani. Harga Bayangan Herbisida dan Tenaga Kerja Harga bayangan herbisida didasarkan pada harga privat karena pasar obatobatan di Indonesia sudah mendekati pasar persaingan sempurna. Jadi, rata-rata harga bayangan herbisida adalah Rp 45,202.53 per liter. Selanjutnya harga bayangan tenaga kerja disesuaikan dengan upah privat di tingkat petani. Menurut Pearson et al. (2005), peneliti tidak banyak menemukan divergensi yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Indonesia. Ketentuan upah minimum tidak berlaku di sektor pertanian. Rata-rata upah tenaga kerja ditingkat petani yaitu Rp 75,063.29 per ha. Harga Bayangan Peralatan Peralatan yang digunakan petani adalah traktor, sprayer dan cangkul. Harga bayangan traktor disesuaikan dengan sewa traktor ditingkat petani. Jadi, harga bayangan traktor yaitu Rp 630,000 per ha. Selanjutnya harga bayangan sprayer dan cangkul disesuaikan dengan nilai penyusutan peralatan tersebut. Rata-rata
37
nilai penyusutan sprayer dan cangkul masing-masing sebesar Rp 8,896.73 per ha dan Rp 3,922.72 per ha. Harga Bayangan Bunga Modal dan Pengangkutan Harga bayangan bunga modal mengacu pada Mayrita (2007) yaitu tingkat suku bayangan didekati dari suku bunga modal kerja nominal yang berlaku dikonversi dengan tingkat inflasi. Tingkat suku bunga modal kerja nominal berdasarkan bank umum adalah 11.83% per tahun dan inflasi 4.30% pada tahun 2012. Jadi, harga bayangan bunga modal adalah 4.24% per bulan. Selanjutnya, biaya pengangkutan jagung dari ladang ke gudang pemipilan jagung disesuaikan dengan harga privat ditingkat petani karena tidak ada distorsi pasar. Biaya pengangkutan jagung sebesar Rp 1,637,312.50 per ha. Harga Bayangan Pemipilan Jagung, Pengepakan dan Karung Biaya pemipilan dan pengepakan jagung dari ladang ke gudang pemipilan jagung, pengepakan dan karung disesuaikan dengan harga privat ditingkat petani karena tidak ada distorsi pasar. Biaya pemipilan jagung, pengepakan dan karung masing-masing sebesar Rp 645,483.67 per ha dan Rp 359,818.75 per ha. Harga Bayangan Nilai Tukar Perhitungan nilai tukar bayangan digunakan formula yang telah dirumuskan oleh Squire dan Van der Tak (1975) dalam Gittinger (2008) sebagai berikut : OERt SERt = ………………………………………………………………...(3.22) SCFt dimana : SERt : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) OERt : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCFt : Faktor Konversi Standar Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut : Xt Mt ……………………………………………...(3.23) SCFt ( X t Txt ) ( M t Tmt dimana, SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Mt : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Txt : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Perhitungan SER tahun 2012 berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), dimana total nilai ekspor Indonesia (Xt) pada tahun 2012 adalah sebesar Rp 1,804,233.98 milyar, nilai impor Indonesia (Mt) Rp 1,813,729.95 milyar, penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Txt) Rp 18,899 milyar, dan penerimaan pemerintah dari pajak impor (Tmt) sebesar Rp 23,535 milyar. Nilai tukar resmi rata-rata mata uang Rupiah terhadap US Dollar pada tahun 2012 adalah sebesar
38
Rp 9,495.97 per US Dollar. Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai faktor konversi standar pada tahun 2012 adalah sebesar 0.10 sehingga diperoleh nilai tukar bayangan mata uang Rupiah terhadap US Dollar (SER) sebesar Rp 9,508.14 per US Dollar. Perhitungan nilai tukar bayangan disajikan pada Lampiran 9. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Metode PAM memilah input yang digunakan dalam proses produksi menjadi input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional atau input tradable dan input domestik /tidak diperdagangkan di pasar internasional. Alokasi biaya ke dalam komponen domestik dan asing menurut Pearson et al (2005) ada dua pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan total (total approach) dan pendekatan langsung (direct approach). Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari poduksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan dalam analisis dampak kebijakan pemerintah atau untuk memperkirakan biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi yang di lakukan oleh pemerintah. Sedangkan pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan total dengan mengalokasikan biaya ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable). Tabel 6 menunjukkan 100% input domestik adalah tenaga kerja, sewa lahan, dan bunga modal. Selanjutnya, 100% input komponen asing adalah herbisida dan sprayer. Herbisida diproduksi oleh perusahaan asing yang bekerja di Indonesia (hampir sebagian besar komponennya impor). Pupuk Urea, pupuk SP-36 dan pupuk Phonska dimasukkan kedalam komponen domestik 95% dan 5% asing. Hal ini karena hampir sebagian besar komponennya dari domestik. Sedangkan benih jagung dikelompokkan kedalam komponen asing 10% dan komponen domestik 90%. selain itu, ada barang-barang yang tidak dapat diperdagangkan akan tetapi didalamnya terdapat barang-barang yang diperdagangkan, yang disebut indirectly traded, seperti traktor dan cangkul. Traktor dan cangkul dimasukkan kedalam komponen domestik 33% dan asing 67%. Biaya pengangkutan jagung menggunakan kendaraan motor atau sebagian petani menggunakan mobil hartop dan pemipilan jagung menggunakan mesin penggiling masing-masing komponen domestiknya 70% dan 30%. Pengepakan dan karung jagung terdiri dari 86% komponen domestik dan 14% komponen asing.
39
Tabel 6 Alokasi Biaya Komponen Domestik dan Asing pada Sistem Komoditas Jagung No 1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Sumber :
Jenis Biaya Benih jagung* Pupuk Urea** Pupuk SP-36** Pupuk Phonska** Herbisida** Tenaga Kerja** Traktor*** Cangkul*** Sprayer*** Sewa lahan** Bunga modal** Pengangkutan**** Pengepakan dan karung**** Pemipilan jagung
Domestik (%) 90 95 95 95 0 100 33 33 0 100 100 70 86 70
Asing (%) 10 5 5 5 100 0 67 67 100 0 0 30 14 30
* = Tabel Input-Output (1998) ** = Tabel Input-Output (2005) *** = Mayrita (2007) ****= Simanjuntak (1992)
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi jika terjadi perubahan dalam perhitungan biaya dan manfaat. Analisis sensitivitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengubah besarnya variabel-variabel penting pada masing-masing variabel atau dengan mengkombinasikan beberapa variabel sampai seberapa besar perubahan dari variabel-variabel tersebut menyebabkan usaha tani jagung tidak memiliki daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif). Pengaruh Efisiensi terhadap Daya Saing Pengaruh efisiensi terhadap daya saing menggunakan analisis dengan cara meningkatkan efisiensi teknis melalui penurunan penggunaan input yang dianggap berlebihan. Selanjutnya dengan input yang sudah diturunkan tersebut akan dihitung nilai PCR dan DRCR-nya (Curtiss, 2001).
40
Defenisi Operasional Defenisi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Produksi Jagung (Y), adalah jumlah jagung yang dihasilkan dalam satu musim tanam dalam bentuk pipilan kering. Satuan ukuran yang digunakan adalah kilogram (kg). 2. Jumlah benih (X1), adalah jumlah benih yang digunakan dalam musim tanam I. 3. Pupuk urea (X2), adalah jumlah pupuk urea yang digunakan dalam musim tanam I dengan satuan kilogram (kg). Harga pupuk urea adalah harga pupuk urea yang berlaku di daerah penelitian saat penelitian dilakukan, dihitung dalam satuan Rupiah per kilogram (Rp/kg). 4. Pupuk SP-36 (X3), adalah jumlah pupuk SP-36 yang digunakan dalam musim tanam I dengan satuan kilogram (kg). Harga pupuk SP-36 adalah harga pupuk SP-36 yang berlaku di daerah penelitian saat penelitian dilakukan, dihitung dalam satuan Rupiah per kilogram (Rp/kg). 5. Pupuk Phonska (X4) adalah jumlah pupuk Phonska yang digunakan dalam musim tanam I dengan satuan kilogram (kg). Harga pupuk Phonska adalah harga pupuk Phonska yang berlaku di daerah penelitian saat penelitian dilakukan, dihitung dalam satuan Rupiah per kilogram (Rp/kg). 6. Herbisida (X5), adalah jumlah herbisida yang digunakan dalam musim tanam I dengan satuan liter . Harga herbisida adalah harga herbisida yang berlaku di daerah penelitian saat penelitian dilakukan, dihitung dalam satuan Rupiah per liter (Rp/liter). 7. Tenaga kerja (X6), adalah jumlah total tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi untuk berbagai jenis kegiatan usahatani, mulai dari persiapan lahan sampai pasca panen. Satuan yang digunakan adalah Hari Orang Kerja (HOK). 8. Umur petani (Z1), adalah umur petani pada saat penelitian dilakukan dan dinyatakan dalam tahun. 9. Tingkat pendidikan formal petani (Z2), adalah jumlah total waktu petani untuk menempuh pendidikan formal mulai dari SD hingga pendidikan terakhirnya, dinyatakan dalam tahun. 10. Pengalaman berusahatani (Z3), adalah lamanya waktu yang telah dilalui petani sejak pertama kali mulai menanam jagung hingga saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun. 11. Frekuensi penyuluhan (Z4), adalah jumlah penyuluhan yang dilakukan penyuluh kepada petani dalam musim tanam I dengan satuan kali. 12. Dummy sumber modal (Z5), adalah sumber modal yang digunakan petani berusahatani jagung dengan kriteria modal sendiri=1 dan modal pinjaman=0. 13. Dummy kelompok tani (Z6), adalah kriteria petani memiliki kelompok tani=1 dan tidak memiliki kelompok tani=0. 14. Harga bayangan adalah harga input dan output yang dihitung dengan semua distorsi dikeluarkan, atau dengan asumsi pasar bersaing sempurna. 15. Input tradable adalah input yang diperdagangkan di pasar internasional baik yang diekspor maupun yang diimpor.
41
16. 17.
Input domestik (non tradable) adalah input yang tidak diperdagangkan di pasar internasional, tetapi diproduksi didalam negeri dan digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Harga perbatasan (border price) adalah harga input dan output yang berlaku dipelabuhan, yaitu CIF (Cost Insurance Freight) untuk yang diimpor dan FOB (Free On Board) untuk yang diekspor, dimana dikonversi kedalam Rupiah.
4 GAMBARAN WILAYAH DAN KERAGAAN USAHATANI JAGUNG DI DAERAH PENELITIAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Dairi merupakan salah satu kabupaten yang terletak di provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Dairi terletak antara 98000'- 98030' BT dan 2015'00''3000'00'' LU. Kabupaten Dairi terletak sebelah Barat Daya Provinsi Sumatera Utara yang berbatasan dengan sebelah timur dengan Kabupaten Samosir, sebelah utara dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Tanah Karo, sebelah Selatan dengan Kabupaten Pakpak Bharat dan sebelah barat dengan Nanggroe Aceh Darussalam. Kabupaten Dairi terdiri dari 15 (lima belas) kecamatan yaitu: Kecamatan Sidikalang, Kecamatan Berampu, Kecamatan Sitinjo, Kecamatan Parbuluan, Kecamatan Sumbul, Kecamatan Silahisabungan, Kecamatan Silima Punggapungga, Kecamatan Lae Parira, Kecamatan Siempat Nempu, Kecamatan Siempat Nempu Hulu, Kecamatan Siempat Nempu Hilir, Kecamatan Tigalingga, Kecamatan Gunung Sitember, Kecamatan Pegagan Hilir dan Kecamatan Tanah Pinem. Kabupaten Dairi memiliki luas 192,780 ha atau sekitar 2.69% dari luas Provinsi Sumatera Utara (7,160 ha). Sebagian besar Kabupaten Dairi terdiri dari dataran tinggi dan berbukit-bukit dengan kemiringan bervariasi sehingga terjadi iklim hujan sub tropis. Pada umumnya Kabupaten Dairi berada pada ketinggian antara 400 sampai dengan 1,700 meter diatas permukaan laut. Kecamatan Tigalingga, Kecamatan Siempat Nempu dan Kecamatan Silima Pungga-Pungga terletak pada ketinggian antara 400 sampai dengan 1,360 meter diatas permukaan laut. Kecamatan Sumbul, Kecamatan Sidikalang dan Kecamatan Tanah Pinem berada pada ketinggian antara 700 sampai dengan 1,700 meter diatas permukaan laut. Musim hujan yang paling berpengaruh umumnya pada bulan Januari, April, Mei, September, November dan Desember. Jumlah penduduk Kabupaten Dairi pada tahun 2011 sebesar 272,578 jiwa. Kabupaten Dairi memiliki potensi pertanian yang cukup luas dengan hasil yang besar. Sehingga penduduk Kabupaten Dairi sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Mata pencaharian utama penduduk Kabupaten Dairi adalah usahatani padi, palawija, dan tanaman tahunan. Salah satu mata pencaharian utama adalah usahatani jagung. Tanaman jagung dibudidayakan di semua kecamatan di Kabupaten Dairi pada berbagai skala luasan usaha.
42
Kecamatan Tanah Pinem adalah wilayah yang berbukit-bukit dengan luas 43.94 km2 yang terletak diantara 2'53'-3'07' Lintang Utara dan 95'23'00''– 97'57'00'' Bujur Timur. Jarak ibukota Kecamatan Tanah Pinem dengan ibukota Kabupaten Dairi ± 55 Km. Kecamatan Tigalingga lebih dekat jaraknya ke ibukota kabupaten dibandingkan Kecamatan Tigalingga ± 28 km dengan luas wilayah 197 km2 terdiri atas 14 Desa terletak pada 98000–98030 Lintang Utara dan 2015-3000 Bujur Timur. Sarana perhubungan antar desa di Kecamatan Tanah Pinem tergolong tidak memadai walaupun bisa dijangkau oleh angkutan roda empat. Kondisi jalan yang tidak datar dan berlubang. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur jalan sehingga mendukung pengembangan jagung di Kecamatan Tanah Pinem. Sedangkan sarana perhubungan antar desa di Kecamatan Tigalingga tergolong sudah memadai yang bisa dijangkau oleh angkutan roda empat dengan kondisi jalan yang cukup datar. Karakteristik Petani Responden Petani sampel merupakan petani yang utamanya berusahatani jagung. Petani sampel berusahatani jagung dua kali dalam setahun. Pada Tabel 7 ditunjukkan bahwa berdasarkan umur, petani tergolong usia produktif (30-59 tahun) sebesar 83.75%. Hal in menunjukkan bahwa berdasarkan umur, petani dapat mengelola usaha tani jagung dengan baik. Sedangkan, petani yang umurnya lebih atau sama dengan 60 tahun berusahatani jagung dengan menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Berdasarkan pendidikan, petani sudah tergolong tinggi, walaupun 2.50% petani tidak sekolah. Namun, 42.50% sudah berpendidikan SMA/SMK dan 1.25% sudah berpendidikan Diploma. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan akan mempengaruhi teknik usaha tani jagung seperti penggunaan teknologi. Berdasarkan pengalaman berusahatani jagung, petani sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun sebesar 67.50%. Oleh sebab itu, petani sudah terampil dalam berusahatani jagung. Karakteristik petani jagung yang lain adalah keanggotaannya dalam kelompok tani sebesar 60%, Sedangkan 40% keluar dari kelompok. Petani menganggap tidak ada manfaat kelompok tani dan jarang mendapat bantuan. Umumnya, kelompok tani tidak aktif, sebagian besar kelompok tani digunakan menjadi saluran menerima bantuan dari pemerintah.
43
Tabel 7 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pengalaman dan Keanggotaan dalam Kelompok Tani di Kabupaten Dairi NO Karakteristik Responden Jumlah 1 Berdasarkan Umur (tahun) a. 30-39 25 b. 40-49 27 c. 50-59 15 d. 60-69 11 e. 70-79 2 2 Berdasarkan Pendidikan (tahun) a. Tidak Sekolah (0 tahun) 2 b. SD (1-6 tahun) 20 c. SMP (7-9 tahun) 23 d. SMA/SMK (10-12 tahun) 34 e. Diploma (> 12 tahun) 1 3 Berdasarkan Pengalaman (tahun) a. 1-5 13 b. 6-10 13 c. 11-15 15 d. 16-20 25 e. 21-25 11 f. > 25 3 4 Berdasarkan Keanggotaannya dalam Kelompok Tani a. Anggota 48 b. Bukan anggota 32
Persentase(%) 31.25 33.75 18.75 13.75 2.50 2.50 25 28.75 42.50 1.25 16.25 16.25 18.75 31.25 13.75 3.75 60 40
Kepemilikan Lahan Sebagian besar kepemilikan lahan di daerah penelitian adalah lahan milik sendiri atau warisan orangtua sebesar 51.10%, sewa sebesar 40.57%. Sedangkan sistem bagi hasil sebesar 8.33%. Rata-rata harga sewa lahan di daerah penelitian sebesar Rp 1,754,868.76 per ha. Sistem bagi hasil didaerah penelitian adalah biaya pupuk dan hasil usahatani jagung dibagi dua antara petani dengan pemilik. Tabel 8 menunjukkan luas garapan petani sebagian besar masih skala kecil yaitu pada musim tanam I paling luas antara 0.60-1 ha sebesar 41.25% Kemudian luas garapan antara 0.27-0.50 ha sebesar 26.25% dan antara 1.10-2 ha sebesar 26.25%. Rata-rata luas lahan 1.08 ha. Petani contoh memiliki luas lahan minimum 0.27 ha dan maksimum 3.50 ha.
44
Tabel 8 Sebaran Petani Responden Menurut Luas Garapan Jagung di Kabupaten Dairi Luas Lahan (ha) 0.27-0.50 0.60-1.00 1.10-2.00 2.10-3.00 3.10-4.00 Total Rata-Rata Minimum Maksimum
Jumlah 21 33 21 3 2 80 1.08 0.27 3.50
Persentase (%) 26.25 41.25 26.25 3.75 2.50 100
Keragaan Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Komoditas jagung merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Dairi. Budidaya jagung sesuai dengan daerah penelitian dan budidaya jagung cukup mudah, cepat menghasilkan dan pemeliharaannya cukup mudah dibandingkan budidaya padi. Selain itu, kepastian harga dasar jagung dijamin pemerintah daerah Kabupaten Dairi sebesar Rp 2,000 per kg dan kepastian pasar dengan adanya pabrik pakan di Provinsi Sumatera Utara seperti PT Charoen Phokpand. Selain budidaya jagung, petani contoh juga berusahatani padi sebagai petani subsisten, kemiri, kakao, buruh panen kemiri dan ternak babi. Penanaman jagung terdiri dari dua musim tanam yaitu musim tanam I antara Januari dan Februari 2012 dan musim tanam II antara Juni dan Juli 2012. Penanaman jagung di daerah penelitian bergantung pada keadaan hujan karena lahan yang digunakan petani sebahagian besar lahan kering. Permasalahan yang lain yang dihadapi petani, jika pada bulan-bulan tertentu, pada saat panen jagung terjadi musim hujan, maka sebagian besar jagung busuk dibatang jagung. Pada umumnya usahatani jagung di daerah penelitian dibiayai oleh pedagang besar jagung. Kredit yang diberikan berupa pupuk dan benih jagung. Sedangkan biaya modal kerja dan herbisida dari petani yang diperoleh hasil penjualan kemiri dan kakao. Kredit dan bunganya dibayar petani saat panen dengan memotong hasil penjualan jagung kepada pedagang besar jagung. Pedagang besar menjual jagung ke PT Charoen Phokpand di Medan. Tahapan usahatani jagung musim tanam I didaerah penelitian adalah: 1. Penyiapan lahan, umumnya petani didaerah penelitian untuk penyiapan lahan menggunakan traktor untuk lahan yang cukup datar, tetapi lahan yang berbukit-bukit menggunakan penyemprotan herbisida kontak, yaitu Noxone, Calaris dan Gromoxone. 2. Penanaman, dilakukan setelah hujan turun. Kegiatan penanaman meliputi pembuatan lubang tanam, kemudian penanaman benih jagung di lubang tersebut. Pembuatan lubang tanam dilakukan oleh tenaga kerja pria. Sedangkan penanaman jagung umumnya dilakukan oleh perempuan. Benih
45
jagung yang digunakan benih unggul, yaitu Pioneer 23 (P 23), Pioneer-29 (P 29), NK 22 dan Decalb 95. Penggunaan jarak tanam 70 cm x 20 cm dengan 2-3 biji benih jagung per lubang. Jarak tanam yang sesuai anjuran 70 x 20 cm untuk 1 biji per lubang. Akan tetapi, petani tidak menggunakan sesuai anjuran karena resiko benih jagung tidak tumbuh dengan baik. Jika dilakukan penyulaman tanaman yang tidak tumbuh, maka bunga betina dari tanaman sulaman biasanya tidak terserbuki secara sempurna oleh tepung sari bunga jantan tanaman yang telah terlebih dahulu berbunga dan peluang terjadinya penyerbukan sendiri hanya sekitar 5%. Hal ini menyebabkan tongkol tanaman sulaman tidak terisi penuh oleh biji. 3. Pemupukan, dilakukan sebanyak dua kali. Pemupukan pertama dilakukan setelah dua minggu dari penanaman, kemudian pemupukan kedua dilakukan setelah umur jagung setelah dua bulan. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea, pupuk SP-36 dan pupuk Phonska. Pemupukan dilakukan oleh pria maupun perempuan. 4. Pemeliharaan, umumnya dilakukan dengan pembersihan gulma hanya satu kali setelah satu minggu dari pemupukan pertama. Pembersihan gulma dengan penyemprotan herbisida dengan menggunakan See-top dan Paratope. Serangan hama umumnya tidak dijumpai di lahan usahatani jagung. Penyakit yang menyerang jagung adalah penyakit hawar daun pada jagung. Namun, petani belum melakukan pengendalian penyakit tersebut. Penyemprotan dilakukan oleh pria. 5. Panen, dilakukan pada saat umur tanaman jagung sekitar 120 hari. sebagian besar pemanenan jagung dilakukan oleh perempuan. Pengangkutan tongkol jagung dengan menggunakan sepeda motor dan mobil hartop. 6. Pasca panen, meliputi pemipilan jagung dan pengeringan jagung. Pemipilan jagung dengan menggunakan mesing penggiling jagung. Penggilingan jagung dilakukan di lahan jagung dan di gudang pedagang jagung. Selanjutnya, pengeringan jagung menggunakan tenaga matahari sekitar empat hari. Pengeringan jagung dilakukan oleh petani. Petani Kecamatan Tanah Pinem menjual jagung basah dan Kecamatan Tigalingga menjual jagung kering langsung ke pedagang besar. Harga jagung basah pada musim tanam I sekitar Rp 2,600 – 2,800 per kg dan harga jagung kering sekitar Rp 2,000 – 2,500 per kg. Keuntungan Usahatani Jagung Berdasarkan Tabel 9, keuntungan atas biaya tunai usahatani jagung di Kabupaten Dairi sebesar Rp 5,978,505.05 per ha. Namun, keuntungan petani atas biaya total sebesar Rp 2,979,253.38 per ha (penerimaan dikurangi dengan biaya total produksi). Jika keuntungan petani dihitung per bulan dengan masa produksi 4 bulan, maka keuntungannya sebesar Rp 744,813.35 per ha per bulan. Keuntungan usahatani jagung yang diperoleh petani sulit mengembangkan usahatani jagung karena petani perlu modal untuk menanam jagung untuk musim tanam jagung berikutnya. Oleh sebab itu petani terus bergantung terhadap peminjaman modal seperti bibit jagung dan pupuk dari pedagang besar jagung.
46
Tabel 9 Analisis Keuntungan Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Nilai Uraian A. Penerimaan B. Biaya B1. Biaya Tunai Benih Pupuk Urea Pupuk SP-36 Pupuk Ponska Herbisida Sewa traktor Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) Biaya Angkut Jagung Biaya Pemipilan Jagung Biaya Pengepakan dan Karung Jagung B2. Biaya Tidak Tunai Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Penyusutan Peralatan Bunga Modal Sewa Lahan Total Biaya Tunai (B1) Total Biaya (B1+B2) Keuntungan atas Biaya Tunai (A-B1) Keuntungan atas Total Biaya (A-B1+B2) R/C Biaya Tunai R/C Biaya Total
Nilai Rata-Rata (Rp/ha) 16,246,669.32 1,404,937.54 856,899.03 539,596.63 520,331.01 222,637.67 630,000 3,451,147.49 1,637,312.50 645,483.67 359,818.75 434,340.06 12,819.45 797,223.41 1,754,868.76 10,268,164.27 13,267,415.94 5,978,505.05
Persen (%)
10.59 6.46 4.07 3.92 1.68 4.75 26.01 12.34 4.87 2.71 3.27 0.10 6.01 13.23
2,979,253.38 1.58 1.23
Berdasarkan struktur biaya biaya produksi jagung, tenaga kerja merupakan komponen biaya yang terbesar yaitu 29.29% (Tenaga Kerja Dalam Keluarga dan Tenaga Kerja Luar Keluarga). Hal ini menunjukkan bahwa usahatani jagung masih sarat tenaga kerja (labor intensive). Komponen biaya produksi yang terbesar kedua adalah sewa lahan sebesar 13.23% dan biaya angkut jagung dari ladang ke gudang (tempat pemipilan jagung) sebesar 12.34%. Komponen biaya angkut jagung yang tinggi disebabkan jarak lahan jagung berjauhan dengan gudang (tempat pemukiman masyarakat) serta lahan jagung sebagian besar berbukit-bukit.
47
5 TINGKAT EFISIENSI USAHATANI JAGUNG Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Jagung Penelitian ini menggunakan model stochastic frontier dengan metode pendugaan Maximum Likelihood Estimation (MLE) yang dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Tahap kedua menggunakan metode MLE. Model fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan dalam analisis ini adalah fungsi produksi Cobb Douglas. Model tersebut terdiri dari enam variabel penjelas, yaitu: jumlah benih jagung (X1), jumlah pupuk Urea (X2), jumlah pupuk SP-36 (X3), jumlah pupuk Phonska (X4), jumlah herbisida (X5) dan jumlah tenaga kerja (X6). Model produksi Jagung terdistribusi normal (Lampiran 2), homoskedastis (Lampiran 3) tidak terjadi multikoliniearitas dengan nilai VIF<10 (Tabel 10) dan tidak terjadi autokorelasi dengan nilai DW= 1.40. Tabel 10 Hasil Dugaaan Model Produksi Jagung Cobb-Douglas Menggunakan Metode OLS di Kabupaten Dairi Hasil OLS Produksi Jagung VIF Parameter Variabel Input Dugaan t Value Pr > |t| Konstanta 146.94 11.96 0.00 0.00 a Jumlah benih jagung (X1) 0.43 4.08 0.00 4.92 Jumlah pupuk Urea (X2) 0.13 1.65b 0.10 2.44 a Jumlah pupuk SP-36 (X3) 0.05 1.71 0.09 1.38 Jumlah pupuk Phonska 1.96 a (X4) 0.16 3.03 0.00 Jumlah herbisida (X5) 0.06 1.42b 0.16 1.51 Jumlah tenaga kerja (X6) 0.15 1.53b 0.13 2.21 R-Square 0.82 F-hitung 53.88 Durbin-Watson 1.40 a nyata pada α 0.05 b nyata pada α 0.10 Hasil dugaan model produksi Cobb-Douglas metode OLS pada Tabel 10 dan Lampiran 4 menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2) sebesar 0.82, artinya 82% variabel input yang digunakan dalam model tersebut dapat menjelaskan variasi produksi jagung di Kabupaten Dairi. Sedangkan 18% dijelaskan diluar model tersebut. Hasil pendugaan model produksi Cobb-Douglas jagung metode OLS adalah sebagai berikut: 0.43 0.13 0.05 0.16 0.06 0.15 Y 146.94 X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 …………………………..........(5.1) Seluruh variabel input berpengaruh positif terhadap produksi usahatani jagung sesuai dengan yang diharapkan. Jumlah benih jagung (X1), jumlah pupuk SP-36 (X3), dan jumlah pupuk Phonska (X4) berpengaruh nyata pada α=5%. Selanjutnya
48
jumlah pupuk Urea (X2), jumlah herbisida (X5) dan jumlah tenaga kerja (X6) berpengaruh nyata pada α=10%. Nilai parameter dugaan pada model produksi jagung Cobb-Douglas juga merupakan nilai elastisitasnya. Jumlah benih jagung memiliki elastisitas paling tinggi sebesar 0.43, artinya penambahan benih jagung sebesar 10% dengan input lain tetap akan meningkatkan produksi jagung sebesar 4.34%. Hal ini menunjukkan petani rasional jika menambah benih untuk meningkatkan produksi. Nilai elastisitas terkecil adalah variabel jumlah pupuk SP-36 sebesar 0.05, artinya penambahan pupuk SP-36 sebesar 10% dengan input lain tetap hanya meningkatkan produksi jagung sebesar 0.50%. Fungsi produksi stochastic frontier usahatani jagung dianalisis menggunakan metode MLE dengan frontier 4.1. Hasil pendugaan model produksi stochastic frontier dijadikan dasar untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi dengan menurunkan fungsi produksi menjadi fungsi biaya dual. Hasil pendugaan model produksi frontier jagung di Kabupaten Dairi adalah sebagai berikut: 0.51 0.10 0.05 0.18 0.03 0.01 Y 343.87 X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 …….......................................(5.2) Variabel-variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi batas (frontier) jagung tidak seluruhnya sama dengan variabel yang nyata pada produksi rata-rata jagung. Tabel 11 dan Lampiran 6 menunjukkan variabel berpengaruh positif dan nyata pada produksi batas adalah jumlah benih jagung (X1), jumlah pupuk Urea (X2) jumlah pupuk SP-36 (X3), jumlah pupuk Phonska (X4) dan jumlah herbisida (X5). Sedangkan variabel jumlah tenaga kerja (X6) berpengaruh positif, tetapi tidak nyata. Hal ini disebabkan usahatani jagung didaerah penelitian masih sarat tenaga kerja (labor intensive). Variabel jumlah benih jagung (X1), jumlah pupuk SP-36 (X3) dan pupuk Phonska (X4) berpengaruh nyata terhadap produksi batas pada α=5% dengan nilai elastisitas sebesar 0.51, 0.05 dan 0.18. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah benih jagung, pupuk SP-36 dan pupuk Phonska sebesar 10% dengan input lainnya tetap akan meningkatkan produksi batas jagung sebesar 5.10%, 0.50% dan 1.80%. Nilai elastisitas jumlah benih jagung produksi batas lebih besar dibandingkan elastisitas jumlah benih jagung pada produksi rata-rata (0.51>0.43). Hal ini menunjukkan jumlah benih jagung lebih elastis. Petani rasional jika menambah jumlah benih. Akan tetapi, harga benih yang tinggi, sehingga petani sulit memutuskan jika menambahkan jumlah benih. Selanjutnya nilai elastisitas penggunaan pupuk Phonska pada produksi batas lebih besar dari nilai elastisitas produksi rata-ratanya (0.18>0.16). Hal ini menunjukkan jumlah pupuk Phonska produksi batas lebih elastis dari produksi rata-rata. Tetapi, penggunaan pupuk phonska didaerah penelitian sudah berlebih. Rata-rata penggunaan pupuk Phonska per hektar didaerah penelitian sebesar 184.92 kg, Sedangkan anjuran Penyuluh pertanian penggunaan pupuk Phonska sebesar 100 kg per ha, pupuk Urea 400 kg per ha dan pupuk SP-36 100 kg per ha. Padahal, penggunaan pupuk SP-36 hanya sebagian petani yaitu 46.25%. Jadi, penggunaan pupuk optimal dengan mengurangi penggunaan pupuk Phonska dan seluruh petani menggunakan pupuk SP-36. Tetapi, penggunaan pupuk KCL lebih baik dibandingkan penggunaan pupuk SP-36 dan pupuk Phonska. Namun, harga KCL lebih tinggi dibandingkan harga pupuk SP-36 dan pupuk Phonska.
49
Tabel 11 Hasil Dugaan Model Produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier Usahatani Jagung Menggunakan Metode MLE di Kabupaten Dairi Variabel Konstanta Jumlah benih jagung (X1) Jumlah pupuk Urea (X2) Jumlah pupuk SP-36 (X3) Jumlah pupuk Phonska (X4) Jumlah herbisida (X5) Jumlah tenaga kerja (X6) Log-Likehood function OLS Log-Likehood function MLE LR test of the one - sided error a nyata pada α 0.05 b nyata pada α 0.10
Parameter Dugaan 343.87 0.51a 0.10b 0.05a 0.18a 0.03b 0.01 4.40 11.76 14.72
t-ratio 16.28 5.33 1.60 2.28 3.46 1.59 0.06
Penggunaan pupuk Urea dan herbisida pada produksi batas berpengaruh nyata pada α=10%. Nilai elastisitas pupuk Urea lebih kecil dari nilai elastisitas produksi rata-rata (0.10<0.13). Demikian juga nilai elastisitas herbisida produksi batas lebih kecil dari elastisitas produksi rata-rata (0.03<0.06). Hal ini menunjukkan pupuk Urea dan herbisida kurang elastis. Hasil pendugaan generalized Likelihood Ratio (LR) dari model produksi jagung stochastic frontier petani sampel adalah 14.72. Nilai tersebut lebih besar dari tabel Kodde dan Palm sebesar 11.91 yang nyata pada α=5%. Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh efisiensi dan inefisiensi teknis petani. Analisis Skala Usaha Skala usaha diuji dengan menggunakan uji statistik F hitung. Uji F terhadap fungsi produksi jagung di Kabupaten Dairi menghasilkan nilai F hitung sebesar 0.15 dengan nilai Prob > F = 0.69, yang mengindikasikan parameter tidak berbeda nyata dengan nol (lihat Lampiran 5). Hal ini menunjukkan skala usaha tani jagung didaerah penelitian tidak constant return to scale, melainkan decreasing return to scale (elasitisitas produksi Cobb-Douglas dengan metode OLS = 0.98 dan elastisitas produksi Cobb-Douglas dengan metode MLE = 0.88), artinya setiap penambahan input sebesar 10% akan mengurangi produksi jagung lebih kecil dari 10%. Skala usaha tersebut sesuai dengan daerah penelitian yang penggunaan inputnya tidak sesuai dengan proporsi kebutuhan. Analisis Efisiensi Teknis Sebaran Efisiensi Teknis Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan model produksi stochastic frontier. Efisiensi teknis per petani responden dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan pada Tabel 12 hasil pendugaan produksi stochastic frontier diperoleh nilai rata-rata efisiensi teknis, nilai maksimum efisiensi teknis dan nilai minimum efisiensi teknis usaha tani jagung di daerah penelitian adalah 0.68; 0.99 dan 0.39.
50
Berdasarkan nilai rata-rata efisiensi teknis tersebut, maka usahatani jagung di Kabupaten Dairi belum efisien. Sebaran nilai efisiensi teknis usahatani jagung di Kabupaten Dairi lebih besar dari 0.70 sebesar 43.75%. Sedangkan nilai efisiensi teknis lebih kecil dari 0.70 sebesar 56.25%. Penggunaan pupuk Phonska berlebih bisa dioptimalkan dengan mengurangi penggunaan pupuk tersebut dan menambah pupuk SP-36. Selain itu, berdasarkan wawancara dengan penyuluh sebaiknya petani menanam benih 1 butir per lubang tanam dengan jarak tanam 70x20 cm dan menggunakan pupuk KCL untuk menambah produksi jagung. Tabel 12 Sebaran Nilai Efisiensi Teknis Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Sebaran Efisiensi <0.50 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-899 0.90-0.99 Jumlah Rata-rata Maksimum Minimum
Jumlah (orang) 14 12 19 17 10 8 80 0.68 0.99 0.39
Persen (%) 17.50 15 23.75 21.25 12.50 10 100
Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Sumber-sumber inefisiensi teknis diperoleh dari hasil penggunaan model produksi stochastic frontier. Tabel 13 menunjukkan bahwa frekuensi penyuluhan (Z4) berpengaruh negatif dan nyata pada α=5%. Sedangkan umur (Z1), dan tingkat pendidikan (Z2) berpengaruh negatif dan tidak nyata. Selanjutnya, dummy sumber modal (Z5) dan dummy anggota kelompok tani (Z6) berpengaruh positif dan tidak berpengaruh nyata. Tabel 13 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis Produksi CobbDouglas Stochastic Frontier di Kabupaten Dairi Variabel Parameter dugaan t-ratio Konstanta 0.65 2.21 Umur (Z1) -0.003 -0.55 Tingkat pendidikan (Z2) -0.01 -0.85 Pengalaman berusahatani (Z3) 0.001 0.16 a Frekuensi penyuluhan (Z4) -0.19 -1.92 Dummy sumber modal (Z5) 0.04 0.47 Dummy anggota kelompok tani (Z6) 0.06 0.57 a nyata pada α 0.05 Frekuensi penyuluhan (Z4). Penyuluhan sangat penting dalam pelatihan dan membimbing petani untuk penggunaan input-input produksi yang sesuai anjuran. Selain itu, penyuluhan untuk mentransfer inovasi teknologi pertanian
51
untuk menunjang petani yang efisien dalam proses produksi. Hasil pendugaan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa frekuensi penyuluhan berpengaruh negatif dan nyata terhadap inefisiensi teknis. Hasil pendugaan frekuensi penyuluhan diperoleh parameter penduga yang paling besar yaitu 0.19, artinya pengaruh frekuensi penyuluhan akan meningkatkan efisiensi teknis. Petani sangat membutuhkan penyuluhan untuk meningkatkan produksi jagung. Hal ini sesuai dengan hipotesa bahwa semakin banyak penyuluhan kepada petani akan meningkatkan efisiensi teknis produksi jagung. Hal yang terjadi bahwa penyuluhan bagi petani masih kurang di daerah penelitian. Selanjutnya dapat dijelaskan varians (σ2) dan parameter gamma (γ) yang diperoleh dari model efek inefisiensi teknis produksi stochastic frontier. Parameter γ merupakan rasio dari varians efisiensi teknis (ui) terhadap varians total produksi (ei). Hasil parameter γ sebesar 0.99 (lihat Lampiran 6). Hal ini menunjukkan 99% dari variasi hasil diantara petani sampel disebabkan perbedaan dari efisiensi teknis dan 1% disebabkan oleh efek-efek stochastic seperti cuaca, iklim, serangan penyakit serta kesalahan dalam permodelan. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Penggunaan input produksi yang efisien akan menghasilkan produksi yang maksimum. Tetapi, petani kurang mampu mengelola bagaimana mengalokasikan input dengan harga input dan produk marjinal yang dihasilkan. Analisis efisiensi alokatif dan ekonomi dianalisis dari sisi input menggunakan harga input yang berlaku di tingkat petani. Fungsi biaya frontier diperoleh dengan menurunkan fungsi produksi stochastic frontier dengan menggunakan persamaan (3.14). Fungsi biaya frontier sebagai berikut: Ln C = -5.46 + 1.14 ln Y + 0.58 ln P1 + 0.11 ln P2 + 0.06 ln P3 + 0.20 ln P4 + 0.04 ln P5 + 0.01 ln P6…………………………………………………………………………………(5.3) dimana: C = biaya produksi jagung (Rp) Y = jumlah produksi jagung dalam pipilan kering (kg) P1 = harga rata-rata benih jagung, yaitu 62,681.25 (Rp/kg) P2 = harga rata-rata pupuk Urea, yaitu 2,133.75 (Rp/kg) P3 = harga rata-rata pupuk SP-36, yaitu 2,617.50 (Rp/kg) P4 = harga rata-rata pupuk Phonska, yaitu 2,813.75 (Rp/kg) P5 = harga rata-rata herbisida, yaitu 45,417.72 (Rp/liter) P6 = harga rata-rata upah tenaga kerja, yaitu 75,063.29 (Rp) Analisis efisiensi alokatif dan ekonomi diukur berdasarkan hasil penurunan fungsi biaya dual pada persamaan (5.3). Inefisiensi usahatani diasumsikan akan meningkat dengan kenaikan biaya produksi. Tingkat efisiensi alokatif dan ekonomi per petani responden dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 14 menunjukkan rata-rata efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi masing-masing sebesar 0.60 dan 0.38. Hal ini menunjukkan petani belum mencapai efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi. Penggunaan input yang berlebih akan mengakibatkan inefisiensi biaya. Petani memiliki efisiensi alokatif yang maksimum sebesar 1 dan minimumnya sebesar 0.27. Selanjutnya, petani memiliki nilai efisiensi ekonomi yang maksimum sebesar 0.57 dan nilai minimum
52
sebesar 0.25. Rata-rata nilai efisiensi alokatif dan ekonomi rendah disebabkan pengalokasian input yang tidak optimal pada masing-masing tingkat harga input. Alokasi penggunaan inputnya tidak sesuai proporsi kebutuhan karena petani menggunakan pupuk Phonska yang berlebihan dan sarat tenaga kerja. Tetapi, petani tidak menggunakan pupuk SP-36 sehingga produksi jagung belum mencapai produksi yang maksimum. Sedangkan, sebaran nilai efisiensi alokatif usahatani jagung lebih besar dari 0.70 sebesar 32.50%, artinya 32.50% petani responden mampu mengalokasikan penggunaan inputnya pada masing-masing harga input sehingga meminimumkan biaya. Tabel 14 Sebaran Nilai Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Sebaran Efisiensi 0.20-0.29 0.30-0.39 0.40-0.49 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 0.90-0.99 1 Jumlah Rata-rata Maksimum Minimum
Efisiensi Alokatif Jumlah Persen (%) 2 2.50 10 12.50 16 20 18 22.50 8 10 13 16.25 4 5 8 10 1 1.25 80 100 0.60 1 0.27
Efisiensi Ekonomi Jumlah Persen (%) 10 12.50 35 43.75 29 36.25 6 7.50
80 0.38 0.57 0.25
100
Jika rata-rata petani dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif yang paling tinggi, maka petani akan menghemat biaya sebesar 40% atau 1-(0.60/1.00). Sedangkan petani paling tidak efisien akan menghemat biaya sebesar 55% atau 1-(0.27/0.60). Selanjutnya, jika rata-rata petani dapat mencapai tingkat efisiensi ekonomi yang paling tinggi, maka petani akan menghemat biaya sebesar 33.33% atau 1-(0.38/0.57). Sedangkan petani paling tidak efisien akan menghemat biaya sebesar 34.21% atau 1-(0.25/0.38).
6 ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG Salah satu ciri suatu produk memiliki daya saing yang tinggi jika produk tersebut diproduksi secara efisien. Produksi yang efisien jika produksi yang menghasilkan produk yang optimal dan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga keuntungan akan semakin meningkat. Pengukuran daya saing usahatani jagung menggunakan Tabel PAM. Daya saing dilihat dari keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif dan dampak kebijakan harga input dan output yang mempengaruhi daya saing usahatani jagung.
53
Struktur Biaya Privat dan Biaya Sosial Usahatani Jagung Struktur biaya privat dan biaya sosial disajikan pada Lampiran 11. Berdasarkan struktur biaya privat usahatani jagung didaerah penelitian dengan proporsi biaya terbesar adalah biaya untuk tenaga kerja sebesar Rp 3,885,487.54 (29.29%). Biaya terbesar kedua adalah biaya keseluruhan pupuk sebesar Rp 1,916,826.66 (19.85%) dan disusul sewa lahan sebesar Rp 1,754,868.76 (13.23%), biaya pengangkutan jagung sebesar Rp 1,637,312.50 (12.34%), biaya benih sebesar Rp 1,404,937.54 (10.59%), bunga modal sebesar Rp 797,223.41 (6.01%), dan biaya terkecil adalah biaya penyusutan cangkul sebesar Rp 3,922.72 (0.03%). Struktur biaya sosial usahatani jagung tidak berbeda dengan biaya privat, proporsi biaya terbesar juga pada biaya tenaga kerja sebesar Rp 3,885,487.54 (26.96%) karena harga sosial tenaga kerja didekati dengan upah privat ditingkat petani. Biaya terbesar kedua adalah biaya keseluruhan pupuk sebesar Rp 2,861,148.38 (19.85%) dan disusul sewa lahan sebesar Rp 1,754,868.76 (12.18%), biaya pengangkutan jagung sebesar Rp 1,637,312.50 (11.36%), biaya benih sebesar Rp 1,638,702.79 (11.37%), dan biaya terkecil adalah biaya penyusutan cangkul sebesar Rp 3,922.72 (0.03%). Tetapi biaya bunga modal privat Rp 797,223.41 lebih besar dari dengan biaya sosial bunga modal sebesar Rp 762,814.77. Hal ini disebabkan suku bunga kredit non formal lebih tinggi dibandingkan suku bunga bank (kredit formal). Suku bunga privat di daerah penelitian sebesar 6% per bulan, sedangkan suku bunga sosial sebesar 4.24% per bulan. Berdasarkan kondisi didaerah penelitian, umumnya petani meminjam modal dari pedagang besar sekaligus kios penjual input produksi jagung dan sangat jarang petani meminjam dari bank. Kredit formal belum menjangkau petani didaerah penelitian. Selain itu, petani lebih mudah akses ke pedagang sekaligus sebagai penjual input produksi. Matriks Policy Analysis Matrix (PAM) Usahatani Jagung Keuntungan finansial (privat) adalah selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga output yang diterima, harga input dan biaya pasca panen yang dibayar petani. Total biaya termasuk upah tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan dan bunga modal. Komponen biaya privat dan biaya sosial usaha tani jagung disajikan pada Lampiran 11. Keuntungan finansial mengindikasikan keunggulan kompetitif dari sistem komoditas dan keuntungan sosial mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan sumber daya dalam domestik. Tabel 15 menunjukkan secara finansial dan ekonomi usahatani jagung di Kabupaten Dairi menguntungkan. Ada atau tidak adanya intervensi pemerintah usahatani jagung masih menguntungkan secara finansial dan ekonomi. Namun, keuntungan privat lebih kecil dari keuntungan sosial. Penerimaan finansial dan ekonomi (sosial) usahatani jagung diperoleh divergensi negatif, karena harga jagung privat lebih rendah dari harga sosial.
54
Tabel 15 Tabel PAM Usahatani Jagung per Hektar di Kabupaten Dairi Keterangan Harga Finansial/ Private Harga Ekonomi/ Social Dampak Kebijakan/Diver gences
Penerimaan/ Revenue
Biaya/ Cost Input Tradable Input Domestik
Keuntungan/ Profit
16,246,669.32
1,627,811.18
11,639,604.75
2,979,253.38
18,351,028.12
1,698,403.79
12,712,690.48
3,939,933.85
-2,104,358.81
-70,592.61
-1,073,085.72
-960,680.47
Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Jagung Indikator keunggulan kompetitif dan komparatif adalah Private Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources Cost Ratio (DRCR). Efisiensi finansial dan keunggulan kompetitif ditentukan oleh nilai keuntungan finansial dan nilai Private Cost Ratio (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya input domestik dengan selisih anatara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga privat. Harga privat yang dimaksud adalah harga aktual yang terjadi dipasar dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Tabel 16 Private Cost Ratio dan Domestic Resources Cost Ratio Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi No 1 2
Indikator Private Cost Ratio (PCR) Domestic Resources Cost Ratio (DRCR)
Nilai 0.80 0.76
Tabel 16 menunjukkan nilai PCR usahatani jagung sebesar 0.80, artinya usahatani jagung memiliki keunggulan kompetitif (PCR<1). Tetapi, nilai PCR usahatani jagung didaerah penelitian mendekati satu. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki atau daya saingnya semakin kuat. Hasil penelitian ini menemukan bahwa daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi berdasarkan keunggulan kompetitif memiliki daya saing yang rendah. Keunggulan komparatif dan tingkat efisiensi ekonomi usahatani ditunjukkan oleh nilai Domestic Resources Cost Ratio (DRCR). DRCR adalah rasio antara biaya domestik terhadap selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga sosial. Harga sosial yang dimaksud adalah harga yang mendekati pasar persaingan sempurna (tidak ada intervensi pemerintah). Tabel 16 menunjukkan nilai DRCR usahatani jagung sebesar 0.76, artinya bahwa setiap US$ 1 yang dibutuhkan untuk impor jagung, jika diproduksi di Kabupaten Dairi membutuhkan biaya US$ 0.76 sehingga terjadi penghematan biaya sebesar US$ 0.24. DRCR yang diperoleh menjadi indikator bahwa usahatani jagung di Kabupaten Dairi memiliki keunggulan komparatif dan mampu beroperasi tanpa bantuan atau intervensi pemerintah dan mampu mengembangkan produksi jagung di Kabupaten Dairi. Tetapi, nilai DRCR usahatani jagung didaerah penelitian
55
mendekati satu. Semakin kecil nilai DRCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan komparatif yang dimiliki atau daya saingnya semakin kuat. Hasil penelitian ini menemukan bahwa daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi berdasarkan keunggulan komparatif memiliki daya saing yang rendah. Oleh sebab itu, usahatani jagung di Kabupaten Dairi masih memiliki daya saing, tetapi pemerintah masih mengimpor jagung karena perlunya kontiniutas produksi jagung dan masih rendahnya daya saing jagung domestik. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Kebijakan yang diterapkan pemerintah terhadap komoditas jagung bertujuan untuk melindungi produsen jagung. Kebijakan yang telah diterapkan pemerintah adalah kebijakan tarif impor jagung sebesar 5%. Hal ini bertujuan untuk melindungi produsen jagung domestik. Kebijakan pemerintah yang lain adalah kebijakan subsidi pupuk. Pemerintah memberikan subsidi pupuk untuk melindungi produsen jagung domestik. Dampak kebijakan pemerintah diidentifikasi melalui identitas divergensi yang disajikan pada Tabel PAM. Divergensi menyebabkan harga privat berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat karena adanya distorsi kebijakan atau kekuatan pasar yang gagal. Indikator dampak kebijakan berdasarkan nilai Output Transfer (OT), Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Input Transfer dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI). Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Transfer Output (OT) merupakan selisih antara penerimaan pada harga privat dengan harga sosial. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output berdasarkan harga privat dan harga sosial atau untuk melihat tingkat proteksi pemerintah terhadap output pertanian domestik. Tabel 17 menunjukkan nilai Output Transfer (OT) yang negatif, artinya harga output di pasar domestik lebih rendah dari harga internasionalnya. Tabel 17 Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi No Indikator Nilai 1 Output Transfer (OT) -2,104,358.81 2 Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) 0.89 Hasil Output Transfer (OT) berkaitan dengan nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). NPCO adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga domestik dengan penerimaan yang dihitung
56
berdasarkan harga sosial atau bayangan. Nilai NPCO yang diperoleh sebesar 0.89 (NPCO<1), artinya harga domestik lebih rendah dari harga internasional atau nilai total output 8.90% lebih tinggi pada harga internasionalnya. Harga jagung domestik ditingkat petani sebesar Rp 2,501.50 per kg, sedangkan harga jagung internasional sampai ditingkat petani sebesar Rp 2,825.51 per kg. Nilai Output Transfer dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah tidak bersifat protektif terhadap petani jagung. Kebijakan pemerintah menerapkan tarif impor jagung 5% belum efektif. Dampak kebijakan harga jagung menyebabkan petani menerima kerugian sebesar Rp 2,104,358.81 per ha. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan petani, impor jagung mengakibatkan harga jagung menurun. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Kebijakan pemerintah terhadap harga input pertanian berupa pemberian subsidi bertujuan untuk melindungi produsen jagung domestik. Dampak subsidi tersebut ditunjukkan dengan harga input yang diterima petani lebih rendah sehingga dapat menekan biaya produksi usaha tani jagung. Subsidi input pertanian adalah pupuk. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dilihat dari nilai transfer input, Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) dan transfer faktor. Nilai transfer input merupakan selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan (input tradable) pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan (input tradable) pada harga sosial. Transfer input yang bernilai positif menunjukkan biaya input tradable yang diterima petani lebih tinggi dari biaya input tradable pada harga internasional. Namun, jika transfer input bernilai negatif artinya adanya kebijakan subsidi terhadap input tradable. Subsidi pada harga input akan mengakibatkan biaya produksi pada tingkat harga privat lebih rendah dari harga sosial. Hal ini berarti kebijakan pemerintah diterapkan efektif. Tabel 18 menunjukkan transfer input diperoleh nilai negatif, artinya kebijakan subsidi pupuk melindungi petani jagung domestik yaitu petani menghemat biaya sebesar Rp 70,592.61 per ha. Hal ini terbukti rata-rata harga pupuk Urea dan pupuk Phonska ditingkat petani masing-masing sebesar Rp 2,133.75 per kg dan Rp 2,813.75 per kg. Sedangkan harga sosial pupuk tersebut sebesar Rp 3,460.67 dan Rp 6,388 per kg. Hal yang sama ditemukan oleh Mayrita (2007), bahwa harga jagung domestik lebih rendah dari harga impor jagung. Jadi, hasil temuan yang diperoleh bahwa kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi melalui penetapan harga dasar pembelian jagung sebesar Rp 2,000 per kg belum melindungi petani jagung di Kabupaten Dairi. Tabel 18 Transfer Input dan Nominal Protection Coefficient on Input Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi No 1 2
Indikator Transfer Input Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI)
Nilai -70,592.61 0.96
57
Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) adalah rasio antara biaya yang dihitung berdasarkan harga privat dengan input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan (harga sosial). Indikator NPCI menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Berdasarkan Tabel 18, nilai NPCI untuk usahatani jagung di Kabupaten Dairi sebesar 0.96 (NPCI<1), hal ini menunjukkan bahwa harga input privat lebih rendah dari harga yang seharusnya dibayarkan (input ditingkat harga internasional). Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah berjalan secara efektif. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output berdasarkan indikator Effective Protection Coefficient (EPC), transfer bersih/ net transfer, Profitability Coefficient (PC), dan Subsidy Ratio to Producer (SRP). Analisis indikatorindikator tersebut menggambarkan apakah kebijakan pemerintah melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai indikator-indikator tersebut ditunjukkan pada Tabel 19. Koefisien proteksi efektif atau EPC merupakan analisis gabungan antara koefisien proteksi output nominal dengan koefisien input nominal. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik dan merupakan tingkat transfer kebijakan dari pasar output dan input tradable. Nilai EPC yang diperoleh sebesar 0.88 (EPC<1), artinya kebijakan pemerintah terhadap harga faktor produksi yang diperdagangkan, faktor produksi sumber daya domestik, serta harga jagung secara keseluruhan kurang mendukung atau disinsentif pada petani jagung dalam mengembangkan produksi jagung, sehingga petani menerima sekitar 88% dari nilai harga sosial (nilai yang sebenarnya). Tabel 19 Effective Protection Coefficient (EPC), Transfer Bersih/Net Transfer, Profitability Coefficient (PC), dan Subsidy Ratio to Producer (SRP) di Kabupaten Dairi No 1 2 3 4
Indikator Effective Protection Coefficient (EPC) Transfer bersih/ net transfer Profitability Coefficient (PC) Subsidy Ratio to Producer (SRP)
Nilai 0.88 -960,680.47 0.76 -0.05
Transfer bersih/net transfer merupakan selisih antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosialnya. Transfer bersih dapat menjelaskan pengaruh dampak kebijakan terhadap surplus produsen (petani jagung). Tabel 19 menunjukkan transfer bersih bernilai negatif. Hal ini menunjukkan penurunan surplus produsen yang disebabkan oleh penerapan kebijakan input-output. Artinya bahwa transfer yang diterima produsen petani jagung lebih kecil sebesar Rp 960,680.47 per ha dari transfer yang diberikan kepada konsumen. Demikian juga dari hasil PC. Koefisien keuntungan atau Profitability Coefficient (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial dan merupakan indikasi yang menunjukkan dampak
58
insentif dari semua kebijakan (kebijakan input dan output). Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan nilai Profitability Coefficient (PC) sebesar 0.76 (PC<1), artinya keuntungan yang diterima oleh petani jagung lebih kecil dari harga sosialnya. Petani jagung menerima keuntungan 76% dari keuntungan harga sosialnya. Subsidy Ratio to Producer (SRP) atau rasio subsidi untuk produsen merupakan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro atau indikator yang menunjukkan tingkat penambahan atau pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Tabel 19 menunjukkan SRP bernilai negatif (-0.05). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan petani jagung di Kabupaten Dairi mengeluarkan biaya produksi lebih besar 5% dari opportunity cost untuk produksi jagung. Dengan demikian, perlindungan pemerintah melalui subsidi pupuk dan kebijakan tarif impor juga penetapan harga dasar pembelian jagung mengakibatkan petani memperoleh keuntungan aktual yang lebih tinggi dari yang seharusnya diterima, artinya pemerintah lebih berpihak kepada konsumen (industri pakan dan industri pangan) daripada ke produsen (petani jagung). Analisis Sensitivitas terhadap Daya Saing Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Gittinger (2008) mengemukakan analisis sensitivitas bertujuan meneliti kembali suatu analisis untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah. Perubahan tersebut adalah perubahan kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan perubahan pada struktur biaya maupun keuntungan yang diterima petani. Tujuan analisis sensitivitas pada penelitian ini untuk mengetahui sampai berapa persen masing-masing variabel dan kombinasi variabel tersebut diubah sehingga usahatani jagung memperoleh keuntungan yang negatif atau tidak memiliki daya saing (PCR >1 dan DRCR >1). Analisis sensitivitas yang digunakan dalam penelitian adalah (1) jika harga benih jagung naik sampai usahatani jagung tidak memiliki daya saing, (2) jika harga jagung turun sampai usahatani jagung tidak memiliki daya saing, (3) jika harga pupuk naik sampai usahatani jagung tidak memiliki daya saing, (4) kombinasi harga benih naik dan harga pupuk naik sampai usahatani jagung tidak memiliki daya saing, (5) kombinasi biaya pengangkutan dan biaya tenaga kerja naik (harga BBM naik) sampai usahatani jagung tidak memiliki daya saing dan (6) jika produksi jagung turun sampai usahatani jagung tidak memiliki daya saing.
59
Tabel 20 Keuntungan Petani Jagung Berdasarkan Analisis Sensitivitas di Kabupaten Dairi Tahun 2012 N o 1 2 3 4
5
6
Skenario Harga benih naik 210% Harga jagung turun 20.05% Harga pupuk naik 150% Harga benih naik dengan harga pupuk naik 100% Biaya pengangkutan jagung dan tenaga kerja naik 75% Produksi jagung turun 25%
Keuntungan sebelum Analisis Sensitivitas Privat Sosial
Keuntungan setelah Analisis Sensitivitas Privat Sosial
2,979,253.38
3,939,933.85
-679,203.97
-84,707.80
2,979,253.38
3,939,933.85
-277,874.21
-116,173.63
2,979,253.38
3,939,933.85
-1,035,233.29
-1,554,274.06
2,979,253.38
3,939,933.85
-1,139,734.22
-1,322,732.08
2,979,253.38
3,939,933.85
-1,162,846.51
-345,431.02
2,979,253.38
3,939,933.85
-1,082,413.95
-647,823.18
Tabel 20 dan Tabel 21 menunjukkan perubahan variabel yang sangat sensitif mempengaruhi keuntungan dan daya saing usahatani jagung adalah jika harga jagung turun sebesar 20.05% (harga jagung Rp 2,000 per kg) dan produksi jagung turun sebesar 25%. Penetapan harga pokok pembelian jagung yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi sebesar Rp 2,000 per kg terbukti tidak melindungi petani jagung. Jika petani menerima harga jagung sebesar Rp 2,000 per kg, maka petani mengalami kerugian dan usahatani jagung tidak memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Produksi jagung juga sensitif mempengaruhi keuntungan petani. Jika dikaitkan harga jagung dan produksi jagung sebaiknya petani didorong meningkatkan produksi jagung dengan jaminan harga jagung dari pemerintah lebih besar dari Rp 2,000 per kg. Tabel 21 Daya Saing Usahatani Jagung Berdasarkan Analisa Sensitivitas di Kabupaten Dairi Tahun 2012 Indikator Daya Saing No Skenario PCR DRCR Kondisi Normal 0.80 0.76 1 Harga benih naik 210% 1.05 1.01 2 Harga jagung turun 20.05% 1.02 1.01 3 Harga pupuk naik 150% 1.07 1.09 4 Harga benih naik 100% dengan harga pupuk naik 100% 1.08 1.08 5 Biaya pengangkutan jagung dan tenaga kerja naik 75% 1.08 1.02 6 Produksi jagung turun 25% 1.10 1.05
60
Perubahan kebijakan input tidak sensitif mempengaruhi keuntungan dan daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan jika pemerintah menghapus subsidi benih jagung dan pupuk, dan menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) sebesar Rp 7,800 per liter atau kenaikan harga BBM lebih kecil dari 75%, maka usahatani jagung masih memiliki daya saing. Hal ini terbukti bahwa perubahan harga benih naik lebih kecil dari 210%, harga pupuk naik lebih kecil dari 150% dan biaya pengangkutan jagung dan tenaga kerja naik lebih kecil 75% (Harga BBM naik < 75%) masih memberikan keuntungan kepada petani dan memiliki daya saing (Tabel 20 dan Tabel 21). Pengaruh Efisiensi terhadap Daya Saing Salah satu penyebab efisiensi ekonomi rendah karena penggunaan pupuk Phonska yang berlebihan di Kabupaten Dairi. Efisiensi teknis merupakan komponen efisiensi ekonomi dan esensi daya saing. Jika dosis pupuk Phonska dikurangi menjadi 100 kg per ha sesuai dengan dosis yang dianjurkan oleh penyuluh, maka akan menyebabkan peningkatan efisiensi teknis dari 0.68 menjadi 0.79 (naik 16.18%). Peningkatan efisiensi teknis dapat dilihat pada Lampiran 7. Selanjutnya penurunan input pupuk Phonska yang berlebihan dimasukkan dalam tabel PAM. Tabel 22 menunjukkan peningkatan efisiensi teknis menyebabkan keuntungan privat naik dari Rp 2,979,253.38 per ha menjadi Rp 3,275,558.83 per ha (naik 4.74%) dan keuntungan sosial dari Rp 3,939,933.85 per ha menjadi Rp 4,515,002.85 per ha (naik 6.80%). Peningkatan efisiensi teknis lebih besar dari keuntungan privat dan sosial usahatani jagung di Kabupaten Dairi. Hal ini mengindikasikan petani perlu didorong untuk berusahatani jagung tidak hanya orientasi produksi, tetapi produksi jagung untuk memperoleh keuntungan. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang mendukung petani dalam peningkatan produksi dan keuntungan dengan adanya kebijakan yang mendukung harga jagung bagi petani. Tabel 22 Keuntungan Usahatani Jagung per Hektar jika Efisiensi Teknis Ditingkatkan menjadi 0.79 di Kabupaten Dairi Keterangan Harga finansial/private Harga ekonomi/social Dampak kebijakan/divergences
Efisiensi Teknis 0.68 Keuntungan 2,979,253.38 3,939,933.85 -960,680.47
Efisiensi Teknis 0.79 Keuntungan 3,275,558.83 4,515,002.85 -1,239,444.02
Tabel 23 menunjukkan adanya pengaruh efisiensi terhadap daya saing yaitu nilai PCR turun dari 0.80 menjadi 0.78 dan nilai DRCR juga turun dari 0.76 menjadi 0.73, artinya peningkatan efisiensi teknis usahatani jagung akan meningkatkan daya saing usahatani jagung.
61
Tabel 23 Nilai PCR dan DRCR Sebelum dan Sesudah Efisiensi Teknis Ditingkatkan dari 0.68 menjadi 0.79 Nilai (Efisiensi teknis = 0.68) PCR DRCR 0.80 0.76
Nilai (Efisiensi teknis = 0.79) PCR DRCR 0.78 0.73
Semakin efisien usahatani jagung, maka daya saing jagung tersebut akan semakin kuat. Selain itu, semakian efisien usahatani jagung juga akan meningkatkan keuntungan usahatani jagung.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian, maka beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Usahatani jagung yang belum efisien disebabkan proporsi penggunaan input yang tidak sesuai dengan kebutuhan yaitu penggunaan pupuk Phonska yang berlebihan, sedangkan sebahagian besar petani tidak menggunakan pupuk SP-36 di Kabupaten Dairi. 2. Daya saing jagung yang diperoleh masih rendah disebabkan dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output (subsidi pupuk, tarif impor jagung dan penetapan harga pokok pembelian jagung sebesar Rp 2,000 per kg) belum melindungi dan merugikan petani jagung di Kabupaten Dairi, artinya pemerintah lebih berpihak kepada konsumen (industri pakan dan industri pangan) dibandingkan terhadap produsen (petani jagung). Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa harga jagung dan produksi jagung sangat sensitif mempengaruhi daya saing usahatani jagung di Kabupaten Dairi. Sedangkan harga input (harga pupuk dan harga benih jagung) dan harga BBM tidak sensitif mempengaruhi daya saing usahatani jagung. 3. Efisiensi usahatani jagung dapat ditingkatkan dengan penggunaan pupuk secara proporsional sesuai kebutuhan melalui peningkatan frekuensi penyuluhan pertanian untuk sosialisasi dosis penggunaan pupuk serta kebijakan pemerintah yang lebih berpihak ke petani jagung akan meningkatkan daya saing jagung. Saran Implikasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, maka beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut:
62
1. 2.
Usahatani jagung yang belum efisien dan daya saing jagung yang diperoleh masih rendah, maka impor jagung masih perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan jagung di dalam negeri. Pemerintah sebaiknya menghapus subsidi input (subsidi pupuk dan benih) dan fokus memberikan jaminan harga jagung lebih tinggi dari Rp 2,000 per kg sehingga meningkatkan keuntungan petani dan petani termotivasi untuk meningkatkan produksi jagung.
Saran Penelitian Lanjutan Saran penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menganalisis daya saing jagung berdasarkan kualitas jagung karena jagung domestik memiliki kadar air 14% - 20%, sedangkan jagung impor memiliki kadar air 12% - 14% (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2011) dan membandingkan efisiensi ekonomi dan daya saing jagung di dua musim tanam untuk melihat kemungkinan perbedaan produksi jagung pada musim kemarau dan musim hujan.
DAFTAR PUSTAKA Adhiana. 2005. Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Tani Lidah Buaya (Aloe Vera) di Kabupaten Bogor:Pendekatan Stochastic Production Frontier. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aigner, D.J., C.A.K. Lovell and P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Econometrics, 6 (1): 21-37. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1998. Tabel Input Output. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Tabel Input Output. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Daerah Provinsi Sumatera Utara. Medan (ID): Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Indikator Ekonomi Desember 2012. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Nilai Tukar Valuta Asing di Indonesia. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
63
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kabupaten Dairi dalam Angka 2012. Sidikalang (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi. Battese, G.E. 1991. Frontier Production Function and Technical Efficiency: A Survey of Empirical Applications in Agricultural Economics. Armidale (AU): Department of Econometrics. University of New England. Bettie, B.R and C.R. Taylor. 1985. The Economics of Production. New York (US): John Wiley and Sons. Bravo-Ureta, B.E. and A.E. Pinheiro. 1997. Technical, Economic, and Allocative Efficiency in Peasant Farming: Evidence from The Dominician Republic. The Developing Economies, 35 (1): 48-67. Coelli, T. J. 1996. A Guide to Frontier Version 4.1: A Computer Program fo Stochastic Frontier Production and Cost Function Estimation. Centre for Efficiency and Productivity Analysis (CEPA) Working Papers. Armidale (AU): Department of Econometrics. University of New England. Coelli, T., D.S.P. Rao, C.J. O′Donnell and G.E. Battese. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Second Edition. New York (US): Springer. Curtiss, J. 2001. Technical Efficiency and Its Consequences Upon The Competitiveness of Czech Agriculture in Late Transition. In: Frohberg, K (eds). Proceedings of IAMO/ATB Workshop: Approaching Agricultural Technology and Economic Development of Central and Eastern Europe, nd rd 2 – 3 July 2001. Postdam-Bornim (DE): Institut fűr Agrartechnik Bornim e.V. Daryanto, H. K. S. 2000. Analysis of the Technical Efficiencies of Rice Production in West Java Province, Indonesia: A Stochastic Frontier Production Function Approach. Ph. D. [Thesis]. Armidale (AU): University of New England. Debertin, D. L. 1986. Agricultural Production Economics. New York (US): Macmillan Publishing Company. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 20052010. Jakarta (ID): Departemen Pertanian. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara. 2012. Nilai Impor Jagung Tahun 2009-2012 di Provinsi Sumatera Utara. Medan (ID): Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2011. Data Base Jagung. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2011. Prospek Pengembangan Jagung. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
64
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Pedoman Pelaksanaan Penyediaan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun 2012. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Road Map Pencapaian Sasaran Produksi Jagung Tahun 2012–2014. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Applications. New York (US): John Wiley and Son. Emilya. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif serta Dampak Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Komoditas Tanaman Pangan di Provinsi Riau. [Tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Farrel, M. J. 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of Royal Statistical Society. Series A. 120 (3): 253-290. Gittinger, J.P. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi Kedua. Jakarta (ID): UI-Press dan John Hopkins. Gujarati, D. 1988. Basic Econometric. New York (US): McGraw-Hill. Hoeridah, Ana dan Tintin Suranti (2011). Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Bogor (ID): Forum Agribisnis. 1 (2): 200-216. Jasila, Ismi. 2009. Pengaruh Kredit Ketahanan Pangan Terhadap Efisiensi Usahatani Tebu di Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur. [Tesis]. Bogor (ID): Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jondrow, J., C.A.K. Lovell, I.S. Materov and P. Schmidt. 1982. On Estimation of Technical Inefficiency in the Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Econometrics. 19 (1): 233-238. Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Selama Empat Dekade yang Lalu dan Implikasinya Bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Jagung tanggal 4 Juni 2002 di Bogor. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kasryno, F., Efendi Pasandaran, Suyamto dan M.O. Adnyana. 2008. Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Kodde, D.A. and F.C. Palm 1986. Wald Criteria for Jointly Testing Equality and Inequality Restrictions. Econometrica, 54 (5): 1243-1248. Krugman, P. R. and M. Obstfeld 2004. Ekonomi Internasional. Jakarta (ID): PT Indeks Kelompok Gramedia.
65
Kurniawan, A.Y. 2008. Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. [Tesis]. Bogor (ID): Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lau, L. J. and P. A. Yotopoulos. 1971. A Test for Relative Efficiency and Application to Indian Agriculture. Pittsburgh (US): The American Economic Review, 61 (1): 94-109. Mantau, Zulkifli. 2009. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor (ID): Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ma’ruf, 2011. Analisis Perdagangan Jagung Indonesia. [Tesis]. Yogyakarta (ID): Program Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Mayrita, B.M. 2007. Analisis Daya saing dan Insentif Kebijakan Pemerintah pada Usahatani Jagung Lahan Kering dan Lahan Sawah di Provinsi Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 1998. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 328/KMK.01/1998 tentang Harga Pembelian Pemerintah dan Biaya Distribusi Pupuk Urea, SP-36 dan ZA dalam Negeri untuk Sub Sektor Tanaman Pangan, Perikanan, Peternakan dan Perkebunan Rakyat. Jakarta (ID): Menteri Keuangan Republik Indonesia. Monke, E.A. and S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Ithaca (US): Cornell University Press. Morrison J. and K. Balcombe. 2002. Policy Analysis Matrices: Beyond Simple Sensitivity Analysis. Journal of International Development, 14 (4): 459 – 471. Oktaviani, R. 1991. Efisiensi Ekonomi dan Dampak Kebijaksanaan Insentif Pertanian pada Produksi Komoditi Pangan di Indonesia. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Oktaviani, R., Novianti, T. dan Widyastutik. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya Indonesia Bagian I. Bogor (ID): Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Pearson, S., C. Gotsch dan S. Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis pada Pertanian Indonesia. Terjemahan. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Porter, M.E. 1991. Strategi Bersaing. Terjemahan. Jakarta (ID): Erlangga. Rusastra, I. Wayan, Nyak Ilham. 2009. Daya Saing Komoditas Pertanian: Konsep, Kinerja, dan Kebijakan Pengembangan. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakaan Pertanian. Pengembangan Inovasi Pertanian 3 (1), 2009: 38-51.
66
Rusono, Nono. 1999. Analisis Daya Saing Beberapa Komoditi Pangan pada Beberapa Lokasi Pengembangan: Sebagai Bahan Pertimbangan dalam Memilih Komoditi Unggulan dan Wilayah Andalan Bagi Pengembangannya. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sadikin, Ikin. 1999. Analisis Daya Saing Komoditi Jagung dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Agribisnis Jagung di Nusa Tenggara Barat Pasca Krisis Ekonomi. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Jakarta (ID): Prentice Hall-Erlangga. Saptana. 2011. Efisiensi Produksi dan Perilaku Petani Terhadap Risiko Produktivitas Cabai Merah di Provinsi Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor (ID): Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Simanjuntak, S. B. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. [Disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sinaga, Roeskani. 2011. Analisis Akses Kredit dan Pengaruhnya Terhadap Usahatani Tomat dan Kentang: Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor (ID): Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Singh, S. 2007. A Study on Technical Efficiency of Wheat Cultivation in Haryana. Agricultural Economics Research Review. 20 (1): 127-136. Soekartawi, A. Soeharjo, J.L. Dillon dan J.B. Hardaker. 2011. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): UI-Press. Suprapto. 2006. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Produksi Jagung di Provinsi Jawa Timur. Buletin Penelitian No.10 Tahun 2006. Jakarta (ID): Universitas Mercu Buana. Yao, S. 1997. Rice Production in Thailand Seen Through A Policy Analysis Matrix. Food Policy Journal 22 (6): 547-560. Zubachtirodin, M.S. Pabbage dan Subandi. 2010. Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung. Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman Serealia.
67
LAMPIRAN
68
Lampiran 1 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008-2010 Uraian 2008 2009 2010 Padi Luas Panen (ha) 768,407 740,642 754,000 Produksi (ton) 3,527,899 3,514,928 3,582,000 Produktivitas (ku/ha) 45.910 47.460 47.470 Jagung Luas Panen (ha) 247,782 271,466 298,506 Produksi (ton) 1,166,548 1,338,360 1,377,718 Produktivitas (ku/ha) 47.080 49.300 50.950 Kedelai Luas Panen (ha) 11,494 10,271 6,580 Produksi (ton) 14,206 12,840 9,438 Produktivitas (ku/ha) 12.360 12.500 12.240 Kacang Tanah Luas Panen (ha) 14,294 14,077 14,303 Produksi (ton) 16,771 16,793 16,449 Produktivitas (ku/ha) 11.730 11.930 11.500 Kacang Hijau Luas Panen (ha) 4,124 3,123 3,110 Produksi (ton) 4,426 3,370 3,344 Produktivitas (ku/ha) 10.730 10.790 10.750 Ubi Kayu Luas Panen (ha) 38,611 36,451 32,402 Produksi (ton) 1,007,284 984,436 905,571 Produktivitas (ku/ha) 260.880 270.070 279.480 Ubi Jalar Luas Panen (ha) 12,359 12,429 14,874 Produksi (ton) 140,138 148,060 179,388 Produktivitas (ku/ha) 113.390 119.120 120.600 Sumber: Sumatera Utara Dalam Angka, 2011
69
Lampiran 2 Hasil Uji Normalitas Model Produksi Jagung di Kabupaten Dairi The SAS System The UNIVARIATE Procedure Variable: lnY (Produksi Jagung) Normal Probability Plot 9.95+ * * +* | ** ++ | ++ | * ++ | *++ | *+ | * | *** | +** | *** | +** | **** | ** | +* | *** | +* | +** | **** | *+ | ** | *** | **+ | ++ 7.65+ * *+ +----+----+----+----+----+----+----+----+----+----+ -2 -1 0 +1 +2
70
Lampiran 3 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Produksi Jagung di Kabupaten Dairi The SAS System Plot of YSISA*YDUGA.
R e s i d u a l
0.6 ˆ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ 0.4 ˆ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ 0.2 ˆ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ 0.0 ˆ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ -0.2 ˆ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ -0.4 ˆ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ -0.6 ˆ
Legend: A = 1 obs, B = 2 obs, etc.
A
A
A
A A A
A
AA A
A A
A A
AB AA
A A
A
A
A A
A A
AA A
A A A A
A
A A
A A A
A
A
A A A A
A A
A
A
B A
A
A A
B
A
A
A
A
A A
A A
A
A
A
A A
A A
A A
A A
A A
A ˆƒƒƒƒƒƒƒƒˆƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒˆƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒˆƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒˆƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒˆƒƒƒƒƒƒƒƒ 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 Predicted Value of lnY
71
Lampiran 4 Hasil Pendugaan Model Produksi Jagung Metode OLS di Kabupaten Dairi The SAS System The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: lnY Produksi Jagung Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 73 79
18.58382 4.19609 22.77990
3.09730 0.05748
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.23975 8.70746 2.75340
F Value
Pr > F
53.88
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.8158 0.8007
Parameter Estimates Variable
Label
DF
Intercept lnX1 lnX2 lnX3 lnX4 lnX5 lnX6
Intercept 1 Jumlah Benih Jagung 1 Jumlah Pupuk Urea 1 Jumlah Pupuk SP-36 1 Jumlah Pupuk Phonska1 Jumlah Herbisida 1 Jumlah Tenaga Kerja 1
Parameter Standard Estimate Error t Value 4.98461 0.43390 0.13327 0.04680 0.15448 0.05819 0.14658
0.41686 0.10642 0.08074 0.02744 0.05090 0.04089 0.09586
11.96 4.08 1.65 1.71 3.03 1.42 1.53
Variance Pr >|t| Inflation <.0001 0.0001 0.1031 0.0924 0.0033 0.1589 0.1306
The SAS System The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: lnY Produksi Jagung Durbin-Watson D Number of Observations 1st Order Autocorrelation
1.398 80 0.284
0 4.91453 2.44444 1.37461 1.96147 1.50787 2.21038
72
Lampiran 5 Hasil Pendugaan Model Produksi Jagung dengan Uji Asumsi Constant Return to Scale (CRTS) The SAS System The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: lnY Produksi Jagung Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 73 79
18.58382 4.19609 22.77990
3.09730 0.05748
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.23975 8.70746 2.75340
F Value
Pr > F
53.88
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.8158 0.8007
Parameter Estimates Variable
Label
DF
Intercept lnX1 lnX2 lnX3 lnX4 lnX5 lnX6
Intercept 1 Jumlah Benih Jagung 1 Jumlah Pupuk Urea 1 Jumlah Pupuk SP-36 1 Jumlah Pupuk Phonska1 Jumlah Herbisida 1 Jumlah Tenaga Kerja 1
Parameter Standard Estimate Error t Value 4.98461 0.43390 0.13327 0.04680 0.15448 0.05819 0.14658
0.41686 0.10642 0.08074 0.02744 0.05090 0.04089 0.09586
Variance Pr >|t| Inflation
11.96 4.08 1.65 1.71 3.03 1.42 1.53
<.0001 0.0001 0.1031 0.0924 0.0033 0.1589 0.1306
0 4.91453 2.44444 1.37461 1.96147 1.50787 2.21038
The SAS System The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: lnY Produksi Jagung Durbin-Watson D Number of Observations 1st Order Autocorrelation
1.398 80 0.284
The REG Procedure Model: MODEL1 Test 1 Results for Dependent Variable lnY Source
DF
Mean Square
Numerator Denominator
1 73
0.00861 0.05748
F Value 0.15
Pr > F 0.6999
73
Lampiran 6 Hasil Pendugaan Model Produksi Jagung Cobb-Douglas Stochastic Frontier Metode MLE Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = N1.dta Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient
standard-error t-ratio
beta 0 0.49846087E+01 0.41685713E+00 0.11957595E+02 beta 1 0.43390431E+00 0.10641599E+00 0.40774354E+01 beta 2 0.13326850E+00 0.80736088E-01 0.16506683E+01 beta 3 0.46795113E-01 0.27438400E-01 0.17054607E+01 beta 4 0.15448036E+00 0.50904281E-01 0.30347224E+01 beta 5 0.58193970E-01 0.40887851E-01 0.14232582E+01 beta 6 0.14657650E+00 0.95858856E-01 0.15290866E+01 sigma-squared 0.57480665E-01 log likelihood function = 0.43998728E+01 the final mle estimates are : coefficient
standard-error
t-ratio
beta 0 0.58402662E+01 0.35884020E+00 0.16275396E+02 beta 1 0.51256814E+00 0.96107219E-01 0.53332949E+01 beta 2 0.95447838E-01 0.59526752E-01 0.16034444E+01 beta 3 0.54996757E-01 0.24098324E-01 0.22821818E+01 beta 4 0.17581192E+00 0.50868218E-01 0.34562232E+01 beta 5 0.33212324E-01 0.20848008E-01 0.15930694E+01 beta 6 0.47915362E-02 0.87919237E-01 0.54499292E-01 delta 0 0.64784778E+00 0.29369873E+00 0.22058242E+01 delta 1 -0.32427889E-02 0.58539035E-02 -0.55395326E+00 delta 2 -0.12341995E-01 0.14473051E-01 -0.85275694E+00 delta 3 0.11024776E-02 0.67749130E-02 0.16272941E+00 delta 4 -0.19389520E+00 0.10080125E+00 -0.19235396E+01 delta 5 0.44048015E-01 0.93188452E-01 0.47267675E+00 delta 6 0.58210669E-01 0.10186484E+00 0.57145007E+00 sigma-squared 0.63679987E-01 0.12236030E-01 0.52043014E+01 gamma 0.99999999E+00 0.96160078E-02 0.10399326E+03 log likelihood function = 0.11759504E+02 LR test of the one-sided error = 0.14719263E+02 with number of restrictions = 8 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution]
74
number of iterations =
30
(maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = number of time periods =
80 1
total number of observations = 80 thus there are: 0 obsns not in the panel technical efficiency estimates : firm year 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eff.-est. 0.77181864E+00 0.87713919E+00 0.71412189E+00 0.39296397E+00 0.78734311E+00 0.93884922E+00 0.71228082E+00 0.73955693E+00 0.54295123E+00 0.62210968E+00 0.63140094E+00 0.74267128E+00 0.91095639E+00 0.52739517E+00 0.75346305E+00 0.68763221E+00 0.56398326E+00 0.45151534E+00 0.77434368E+00 0.63805378E+00 0.82163491E+00 0.68472660E+00 0.66044043E+00 0.78760286E+00 0.73896563E+00 0.84917463E+00 0.59706868E+00 0.80085779E+00 0.84751326E+00 0.88777813E+00 0.99489225E+00 0.97659906E+00 0.74072811E+00 0.48751594E+00
75
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.57885055E+00 0.71627399E+00 0.81760348E+00 0.61952175E+00 0.83435743E+00 0.78317712E+00 0.58591554E+00 0.57806397E+00 0.62781773E+00 0.52268297E+00 0.72360151E+00 0.67287747E+00 0.41524342E+00 0.43021945E+00 0.47475280E+00 0.89567854E+00 0.89650390E+00 0.68067895E+00 0.68185941E+00 0.65130634E+00 0.49946959E+00 0.49740756E+00 0.63880866E+00 0.92845774E+00 0.73021871E+00 0.57738904E+00 0.73937669E+00 0.61273333E+00 0.61038439E+00 0.51850959E+00 0.66409090E+00 0.63826823E+00 0.91861326E+00 0.74161229E+00 0.47988036E+00 0.44400573E+00 0.64760036E+00 0.65667957E+00 0.49033985E+00 0.97280910E+00 0.92904212E+00 0.57140054E+00 0.54171511E+00 0.41760121E+00 0.43381869E+00 0.48566874E+00
mean efficiency = 0.67786170E+00
76
Lampiran 7 Hasil Pendugaan Model Produksi Jagung Cobb-Douglas Stochastic Frontier Metode MLE dengan Penurunan Pupuk Phonska yang Berlebihan Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = P1.dta Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient
standard-error t-ratio
beta 0 0.49956662E+01 0.33476736E+00 0.14922799E+02 beta 1 0.22985051E+00 0.96034368E-01 0.23934193E+01 beta 2 0.41543125E-01 0.69040360E-01 0.60172231E+00 beta 3 0.18948759E-01 0.23353878E-01 0.81137527E+00 beta 4 0.62837873E+00 0.94934625E-01 0.66190679E+01 beta 5 0.18762530E-01 0.34955103E-01 0.53676083E+00 beta 6 -0.43092616E-01 0.84381578E-01 -0.51068749E+00 sigma-squared 0.40453520E-01 log likelihood function = 0.18451671E+02 the final mle estimates are : coefficient
standard-error t-ratio
beta 0 0.53087113E+01 0.54821836E+00 0.96835710E+01 beta 1 0.23332203E+00 0.10917329E+00 0.21371714E+01 beta 2 0.45939273E-01 0.70545734E-01 0.65119846E+00 beta 3 0.10019073E-01 0.23430175E-01 0.42761409E+00 beta 4 0.62767531E+00 0.11281378E+00 0.55638179E+01 beta 5 0.32822284E-01 0.43232965E-01 0.75919577E+00 beta 6 -0.64780453E-01 0.88698795E-01 -0.73034197E+00 delta 0 0.57647426E+00 0.27659593E+00 0.20841748E+01 delta 1 -0.86298106E-02 0.11764451E-01 -0.73354982E+00 delta 2 -0.20267261E-02 0.12112975E-01 -0.16731861E+00 delta 3 0.78546269E-02 0.10486542E-01 0.74901971E+00 delta 4 -0.15475245E+00 0.25266047E+00 -0.61249175E+00 delta 5 -0.38928632E-01 0.71107501E-01 -0.54746168E+00 delta 6 0.26430693E-01 0.10123680E+00 0.26107792E+00 sigma-squared 0.39929011E-01 0.22053645E-01 0.18105402E+01 gamma 0.60333774E+00 0.77423282E+00 0.77927172E+00 log likelihood function = 0.23277275E+02
77
LR test of the one-sided error = 0.96512073E+01 with number of restrictions = 8 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] technical efficiency estimates : firm year 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eff.-est. 0.73426748E+00 0.89791431E+00 0.77894595E+00 0.73410154E+00 0.73456062E+00 0.81295932E+00 0.78145620E+00 0.80365152E+00 0.66702879E+00 0.74024144E+00 0.81861069E+00 0.94339319E+00 0.94439576E+00 0.66066239E+00 0.83139005E+00 0.83569762E+00 0.81411564E+00 0.72265153E+00 0.86616896E+00 0.80512967E+00 0.88522506E+00 0.70313160E+00 0.79705251E+00 0.85307043E+00 0.85342018E+00 0.85480350E+00 0.77795348E+00 0.71884652E+00 0.82712172E+00 0.92011448E+00 0.90945826E+00 0.92214631E+00 0.90211990E+00 0.61493114E+00 0.79100583E+00 0.85711750E+00 0.85725858E+00 0.83387571E+00 0.89205918E+00 0.78577372E+00 0.84018890E+00
78
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.75293640E+00 0.81137834E+00 0.91990773E+00 0.80446617E+00 0.75854165E+00 0.63163689E+00 0.69965246E+00 0.59398843E+00 0.80620714E+00 0.88761576E+00 0.79743652E+00 0.90125089E+00 0.86920286E+00 0.68111992E+00 0.69187074E+00 0.69170506E+00 0.92378168E+00 0.90228993E+00 0.83187560E+00 0.79244729E+00 0.60172285E+00 0.78535621E+00 0.86638631E+00 0.79226089E+00 0.73791206E+00 0.85137709E+00 0.85172791E+00 0.72132722E+00 0.81495617E+00 0.79827857E+00 0.78224006E+00 0.63194317E+00 0.89841373E+00 0.80191601E+00 0.67657170E+00 0.76270549E+00 0.62363256E+00 0.67723644E+00 0.66322011E+00
mean efficiency = 0.79265642E+00
79
Lampiran 8 Sebaran Nilai Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi Usahatani di Kabupaten Dairi Tiap Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Efisiensi Teknis 0.77 0.88 0.71 0.39 0.79 0.94 0.71 0.74 0.54 0.62 0.63 0.74 0.91 0.53 0.75 0.69 0.56 0.45 0.77 0.64 0.82 0.68 0.66 0.79 0.74 0.85 0.60 0.80 0.85 0.89 0.99 0.98 0.74 0.49 0.58 0.72 0.82 0.62 0.83 0.78 0.59 0.58 0.63
Efisiensi Alokatif 0.64 0.29 0.80 0.98 0.49 0.54 0.76 0.71 0.45 0.58 0.50 0.61 0.39 0.80 0.57 0.63 0.98 0.98 0.52 0.49 0.30 0.51 0.72 0.46 0.45 0.34 0.48 0.60 0.48 0.43 0.38 0.41 0.54 0.67 0.77 0.59 0.50 0.92 0.50 0.47 0.74 0.56 0.74
Efisiensi Ekonomi 0.49 0.25 0.57 0.39 0.39 0.50 0.54 0.53 0.25 0.36 0.32 0.46 0.35 0.42 0.43 0.44 0.55 0.44 0.41 0.31 0.25 0.35 0.48 0.37 0.33 0.29 0.29 0.48 0.40 0.38 0.38 0.40 0.40 0.33 0.45 0.43 0.41 0.57 0.42 0.37 0.43 0.32 0.46
80
44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 Rata-rata
0.52 0.72 0.67 0.42 0.43 0.47 0.90 0.90 0.68 0.68 0.65 0.50 0.50 0.64 0.93 0.73 0.58 0.74 0.61 0.61 0.52 0.66 0.64 0.92 0.74 0.48 0.44 0.65 0.66 0.49 0.97 0.93 0.57 0.54 0.42 0.43 0.49 0.68
0.84 0.56 0.55 0.96 0.98 0.68 0.32 0.38 0.49 0.53 0.49 0.56 0.75 0.52 0.27 0.38 0.77 0.47 0.51 0.60 0.75 0.73 0.43 0.35 0.47 0.89 0.96 0.46 0.63 0.77 0.36 0.35 0.58 0.72 0.97 1.00 0.78 0.60
0.44 0.41 0.37 0.40 0.42 0.32 0.28 0.34 0.34 0.36 0.32 0.28 0.37 0.33 0.25 0.28 0.44 0.35 0.31 0.36 0.39 0.48 0.27 0.32 0.35 0.43 0.43 0.30 0.41 0.38 0.35 0.33 0.33 0.39 0.41 0.43 0.38 0.38
81
Lampiran 9 Perhitungan Nilai Tukar Bayangan 2012 PERHITUNGAN STANDAR CONVERTION FACTOR DAN SHADOW PRICE EXCHANGE RATE, TAHUN 2012 URAIAN NILAI (Rp Milyar) Total Nilai Ekspor (Xt)1
1,804,233.98
Total Nilai Impor (Mt)1
1,813,729.95
Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) Penerimaan Pajak Impor (TMt)
2
18,899.00
2
23,535.00
Nilai Tukar Rupiah /US$ (OER)3 9,495.97 Xt + Mt 3,617,963.94 Xt –TXt 1,785,334.98 Mt + TMt 1,837,264.95 SCFt 0.99 SER (Rp/US $) 9,508.14 Sumber: 1. Badan Pusat Statistik, 2012 2. Indikator Ekonomi, Badan Pusat Statistik, 2012 3. Nilai Tukar Valuta Asing di Indonesia, Badan Pusat Statistik, 2012 Lampiran 10 Perhitungan Harga Bayangan Output dan Input Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Perhitungan Harga Bayangan Jagung URAIAN CIF Indonesia 2
1
SATUAN $/Kg
HARGA/NILAI 0.28
Nilai Tukar Rp/$ 9,495.97 Premium Nilai Tukar % 100.10 Nilai Tukar Ekuilibrium Rp/$ 9,508.14 CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik Rp/Kg 2,662.28 Biaya Distribusi dan handling dari pelabuhan ke pedagang besar3 Rp/Kg 72.73 Biaya Distribusi dari pedagang besar ke petani4 Rp/Kg 90.50 Harga Paritas Impor di Tingkat Petani Rp/Kg 2,825.51 Sumber: 1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara, 2012 2. Nilai Tukar Valuta Asing di Indonesia, Badan Pusat Statistik, 2012 3. Perusahaan Ekspedisi di Belawan 4. Pedagang
82
Harga Bayangan Benih Jagung Uraian Satuan Nilai HA benih Rp/Kg 61,512.50 HA Jagung Pipilan Rp/Kg 2,451.31 HB Jagung Pipilan Rp/Kg 2,913.51 HB Benih Jagung Rp/Kg 73,110.68 Sumber: Perhitungan Harga Bayangan Benih Jagung Mayrita (2007) Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Urea Uraian 1
FOB Nilai Tukar Bayangan FOB Indonesia dalam Mata Uang Domestik
SATUAN
HARGA/NILAI
$/Kg Rp/$ Rp/Kg
0.44 9,508.14 4,226.24
Transportasi dan Handling Eksportir (Rp/Kg)2 Rp/Kg Harga Paritas Ekspor tingkat Pedagang Besar (Rp/Kg) Rp/Kg Biaya Distribusi dan handling ke Tingkat Petani (Rp/Kg)3 Rp/Kg Harga Paritas Ekspor Tingkat Petani (Rp/Kg) Rp/Kg Sumber: 1. Badan Pusat Statistik Jakarta (2012) 2. Ekspedisi Pelabuhan Belawan 3. SK Menteri Keuangan RI Nomor 328/KMK.01/1998
71.23
Perhitungan Harga Bayangan Pupuk SP-36 Uraian FOB 1 Nilai Tukar Bayangan FOB Indonesia dalam Mata Uang Domestik
SATUAN
4,155.01 694.34 3,460.67
HARGA/NILAI
$/Kg Rp/$ Rp/Kg
0.23 9,508.14 2,140.33
Transportasi dan Handling Eksportir (Rp/Kg)2 Rp/Kg Harga Paritas Impor tingkat Pedagang Besar (Rp/Kg) Rp/Kg Biaya Distribusi dan handling ke Tingkat Petani (Rp/Kg)3 Rp/Kg Harga Paritas Impor Tingkat Petani (Rp/Kg) Rp/Kg Sumber: 1. Badan Pusat Statistik Jakarta (2012) 2. Ekspedisi Pelabuhan Belawan 3. SK Menteri Keuangan RI Nomor 328/KMK.01/1998
71.23 2,069.10 662.01 1,407.09
83
Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Phonska Uraian
Satuan
HET (Harga Eceran Tertinggi) Phonska1 Rasio Pupuk bersubsidi dan non subsidi 3-5 kali dari HET2 Harga Bayangan Pupuk Phonska tingkat Desa
Nilai
Rp/Kg
2,300
kali Rp/Kg
3 6,900
Biaya distibusi di tingkat petani3 Rp/Kg 512 Harga Bayangan di tingkat Petani Rp/Kg 6,388 Sumber: 1. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 87/Permentan/SR.130/12/2011 2. Mengacu pada perhitungan harga bayangan pupuk Ponska dalam Hoeridah (2011) 3. UD. Bangun Jaya di Sidikalang Lampiran 11 Biaya Privat dan Sosial Usahatani Jagung di Kabupaten Dairi Privat No
Uraian
1
Benih
2
Domestik
Sosial Tradeable
Domestik
Tradeable
1,264,443.78
140,493.75
1,474,832.51
163,870.28
Pupuk Urea
814,054.07
42,844.95
1,320,290.58
69,488.98
3
Pupuk SP-36
512,616.79
26,979.83
275,568.23
14,503.59
4
Pupuk Ponska
494,314.46
26,016.55
1,122,232.16
59,064.85
5
Herbisida
0
222,637.67
0
222,637.67
6
Tenaga Kerja
3,885,487.54
0
3,885,487.54
0
7
207,900
422,10
207,900
422,100
8
Sewa Traktor Penyusutan Cangkul
1,294.49
2,628.22
1,294.50
2,628.22
9
Penyusutan Sprayer
0
8,896.73
0
8,896.73
10
Sewa Lahan
1,754,868.76
0
1,754,868.76
0
11
Bunga Modal Biaya Angkut Jagung Biaya Pemipilan Jagung Biaya Pengepakan dan Karung
797,223.41
0
762,814.77
0
1,146,118.75
491,193.75
1,146,118.75
491,193.75
451,838.57
193,645.10
451,838.57
193,645.10
309,444.13
50,374.63
309,444.13
50,374.63
11,639,604.75
1,627,811.18
12,712,690.48
1,698,403.79
12 13 14 Total
84
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bahkisat, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 31 Mei 1986, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Jadi Situmorang dan Ibu Marbinno Hutapea. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis), Fakultas Pertanian Universitas Riau, lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis bekerja sebagai pengajar privat dan english course di Pekanbaru. Pada tahun 2009-2011, penulis bekerja sebagai karyawan swasta di PT Wahana Oto Multiarta (WOM) Finance, Tbk cabang Pekanbaru. Pada tahun 2011, penulis diterima di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada Program Pascasarjana IPB. .