ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN
Oleh: AHMAD YOUSUF KURNIAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRACT AHMAD YOUSUF KURNIAWAN. Analysis of Economic Efficiency and Competitiveness of Dryland Maize at Kabupaten Tanah Laut, South Kalimantan Under direction of SRI HARTOYO and YUSMAN SYAUKAT. South Kalimantan is well known as a province with large area of dryland. This potency can be used in maize farming that will increase national maize production and play an important role as import substitution. One of the major problems in maize farming is its low productivity that might be caused by its low efficiency of input use. The objectives of this research are: (1) analyzing factors influencing maize production and analyzing dryland farming efficiencies, both in technical and allocative, and (2) analyzing dryland maize farming competitiveness in Kabupaten Tanah Laut South Kalimantan, and the efficiency effect to its competitiveness. The Methods used are the stochastic frontier production function and the dual cost function for the first objective, and criterion of private cost ratio (PCR) and domestic resources cost ratio (DRCR) for the second objective. The results show that land, seed, organic fertilizer, P-fertilizer, pesticide, labor and land treatment significantly influence production. Generally, the farmers at research area have been technically efficient but allocatively inefficient. Age, education, experience and membership in farmer union are not significant to technical efficiency rate. The maize commodity in Kabupaten Tanah Laut has competitive and comparative advantages and also able to finance its domestic inputs, both in private and social prices. The increasing of allocative efficiency will increase the competitiveness. Keywords: dryland maize farming, efficiency, competitiveness
RINGKASAN AHMAD YOUSUF KURNIAWAN. Analisis Efisiensi dan Daya Saing Usahatani Jagung Pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan YUSMAN SYAUKAT. Kebutuhan jagung nasional terus meningkat dari tahun ke tahun, bukan saja dikarenakan pertambahan penduduk, tetapi juga pertumbuhan usaha peternakan dan industri pangan. Peningkatan permintaan jagung yang begitu pesat tidak diimbangi oleh peningkatan produksi dalam negeri karena penurunan luas lahan pertanian di Jawa, sehingga terjadi kesenjangan antara permintaan dan produksi yang makin lebar. Kesenjangan tersebut untuk saat ini ditutupi dengan cara mengimpor jagung. Laju peningkatan impor jagung telah mencapai 10.46% per tahun. Kabupaten Tanah Laut, Propinsi Kalimantan Selatan, memiliki potensi lahan kering yang luas yang sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk dikembangkan menjadi usahatani jagung. Produktivitas jagung di daerah tersebut berkisar antara 3.5 – 5 ton per hektar, masih rendah dibandingkan potensi yang ada yang mencapai 5.4 – 6.3 ton per hektar. Hal ini diduga berkaitan dengan efisiensi penggunaan dan pengalokasian input. Efisiensi merupakan akar penentu daya saing. Produksi yang efisien akan menyebabkan penurunan biaya produksi yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan pendapatan petani dan daya saing komoditas tersebut. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi, efisiensi, keunggulan kompetitif dan komparatif jagung di lahan kering Kalimantan Selatan. Secara rinci tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung dan tingkat efisiensi teknis dan alokatif usahatani lahan kering dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier dan fungsi biaya dual, dan (2) menganalisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usahatani jagung lahan kering dan pengaruh efisiensi terhadap daya saing di Kab. Tanah Laut, Kalimantan Selatan dengan menggunakan PAM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa secara statistik variabel luas lahan, benih, pupuk organik, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan pengolahan tanah ditemukan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf α=15%, sedangkan pupuk N dan K tidak berpengaruh nyata. Ini diduga karena penggunaan pupuk N diduga sudah berlebihan. Rata-rata penggunaan urea di daerah penelitian adalah 447.5 kg per hektar, sedangkan rekomendasi penggunaan pupuk urea adalah 350 – 400 kg per hektar. Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan efisien jika lebih besar dari 0.8 karena daerah penelitian merupakan sentra produksi jagung di Kalimantan Selatan. Rata-rata efisiensi teknis petani di daerah penelitian adalah 0.887. jumlah petani memiliki nilai efisiensi teknis lebih besar dari 0.8 adalah 89.48% dari, sehingga sebagian besar usahatani jagung yang diusahakan telah efisien secara teknis. Jadi, karena sebagian besar petani telah efisien secara teknis, maka untuk meningkatkan output perlu dilakukan introduksi teknologi baru seperti benih unggul yang lebih sesuai dengan kondisi agroklimat dan mekanisasi pertanian. Faktor-faktor umur, pendidikan, pengalaman dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak berpengaruh secara nyata terhadap inefisiensi teknis. Hal ini
karena ada kecendrungan petani untuk beralih ke usahatani lain seperti karet dan adanya pertambangan emas ilegal. Efisiensi alokatif dianalisis dengan menggunakan model fungsi biaya dual frontier yang diturunkan dari fungsi produksi frontier. Petani responden di daerah penelitian belum efisien secara alokatif. Rata-rata efisiensi alokatif adalah 0.566. Rendahnya efisiensi alokatif ini menyebabkan efisiensi ekonomis juga rendah, yaitu 0.498. Salah satu penyebab rendahnya efisiensi alokatif ini adalah penggunaan pupuk urea yang berlebihan. Penurunan penggunaan pupuk urea dari 447.51 kg per hektar menjadi 400 per hektar menyebabkan kenaikan efisiensi alokatif menjadi 0.518 dan efisiensi ekonomis menjadi 0.512. Analisis daya saing dilakukan dengan menggunakan kriteria PCR dan DRC. Berdasarkan nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu, artinya jagung di daerah penelitian memiliki daya saing sebagai substitusi impor. Ini dapat dilihat dari terserapnya semua hasil poduksi jagung di pasar lokal, sedangkan jagung impor hanya masuk ke pasar lokal saat paceklik saja. Harga jagung impor lebih mahal daripada harga jagung lokal dengan selisih harga Rp 100/kg. Namun diperlukan beberapa kebijakan yang operasional untuk mendorong daya saing potensial ini menjadi daya saing nyata, diantaranya: (1) menghilangkan atau mengurangi berbagai distorsi pasar yang menghambat perkembangan usahatani jagung, seperti penghapusan bea masuk impor saprodi, (2) berbagai kebijakan atau program penelitian dan pengembangan sehingga ditemukan varietas jagung yang sesuai dengan kondisi lahan setempat dan harganya terjangkau, dan (3) menyediakan infrastruktur fisik maupun ekonomi sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas sentra-sentra produksi jagung terhadap pasar baik input maupun output. Peningkatan efisiensi akan meningkatkan daya saing. Jika efisiensi alokatif ditingkatkan menjadi dari 0.566 menjadi 0.581 (meningkat 2.65%), maka nilai PCR yang makin turun dari 0.56 menjadi 0.55, dan DRC turun dari 0.61 menjadi 0.60. Ini menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat efisiensi maka daya saing jagung akan semakin meningkat pula. Kata kunci: usahatani jagung lahan kering, efisiensi, daya saing.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Mei 2008
AHMAD YOUSUF KURNIAWAN NRP. A151050131
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN
AHMAD YOUSUF KURNIAWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi Pembimbing : Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Judul Tesis
: Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan
Nama Mahasiswa : Ahmad Yousuf Kurniawan Nomor Pokok
: A151050131
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Ketua
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 25 Maret 2008
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 17 Februari 1980 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Dr. Ir. M. Djamhuri, SU (alm) dengan Musfiyatun. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Loktabat 2 Banjarbaru Kalimantan Selatan pada tahun 1992, kemudian pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Banjarbaru pada tahun 1995 dan SMU Negeri 1 Banjarbaru pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan dan meraih gelar sarjana pada tahun 2003. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Lambung Mangkurat sejak Desember 2003. Pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa BPPS dari Dirjen DIKTI.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas pertolongan dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis Program Magister Sains. Tesis ini berjudul “Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan”. Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberi saran, bimbingan dan sumbangan pemikiran dari awal penulisan proposal hingga penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku penguji luar komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Rektor Unlam dan Dekan Fakultas Pertanian Unlam atas kesempatan yang diberikan untuk menempuh pendidikan lanjutan. 2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, dan seluruh dosen dan staf yang telah memberikan bimbingan dalam menjalani perkuliahan di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, IPB. 3. Dr. Ir. Heru Sutikno, SU dan keluarga atas bantuan baik moril maupun materil. 4. Staf dan penyuluh lapang Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut dan staf Badan Pusat Statistik Tanah Laut, serta petani responden yang telah membantu penulis memperoleh data dan informasi untuk penulisan ini.
5. Teman-teman di EPN angkatan 2005 (Wiji, Budi Sulistyo, Mariyah, Raja M. Sari, Pini Wijayanti, Tono, Zuraidah, Aprilaila Sayekti, Zednita Azriani, Dewi Nurasih, M. Yadjid, Betrixia Barbara, Veralianta Sebayang, Novindra, Andri Meiriki, Zais M. Samiun, Ranthy Pancasasty dan Rumna), serta teman-teman EPN angkatan 2004 dan 2006 atas bantuan dan dorongan semangat yang diberikan. 6. Pihak-pihak lain yang namanya tidak disebutkan di sini, namun telah banyak membantu penulis dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan hormat kepada Ayahanda M. Djamhuri (alm), Ibunda Musfiyatun, adik-adikku Elmi dan Aldi, serta Hesti yang telah memberikan dukungan moril dan materil, perhatian, kesabaran, do’a yang tulus ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mempersembahkan tesis ini kepada pembaca sebagai salah satu sumber informasi dan pengetahuan yang bermanfaat dan berguna bagi penelitian berikutnya.
Bogor,
Mei 2008
Ahmad Yousuf Kurniawan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
vi
I. PENDAHULUAN
.............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .....................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................
8
1.4. Ruang Lingkup Penelitian .........................................................
8
1.5. Keterbatasan Penelitian ............................................................
9
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
10
2.1. Tinjauan Teoritis ........................................................................
10
2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu ................................................
25
2.3. Kerangka Konseptual ................................................................
33
2.4. Hipotesis Penelitian ...................................................................
34
III. METODE PENELITIAN ...................................................................
35
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................
35
3.2. Pemilihan Petani Contoh ...........................................................
35
3.3. Jenis dan Sumber Data .............................................................
36
3.4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................
37
3.5. Metode Analisis Data ................................................................
37
3.6. Definisi Operasional ..................................................................
50
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ..................................
53
4.1. Keadaan Geografis ...................................................................
53
4.2. Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan .....................................
54
4.3. Kendudukan ..............................................................................
55
4.4. Sarana dan Prasarana.................................................................
55
4.5. Hasil Produksi Pertanian ...........................................................
56
V. KERAGAAN USAHATANI JAGUNG DI DAERAH PENELITIAN .....
58
5.1. Deskripsi Petani Contoh ............................................................
58
5.2. Usahatani Jagung .....................................................................
61
5.3. Analisis Finansial dan Ekonomi .................................................
65
VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI ............................
69
6.1. Analisis Stochastic Frontier .......................................................
70
6.2. Analisis Efisiensi Teknis ............................................................
75
6.3. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomis ...................................
82
VII. ANALISIS DAYA SAING PENGARUH EFISIENSI TERHADAP DAYA SAING.....................................................................................
88
7.1. Analisis Daya Saing ..................................................................
88
7.2. Pengaruh Efisiensi terhadap Daya Saing ...................................
92
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
96
8.1. Kesimpulan ................................................................................
96
8.2. Saran Kebijakan ..........................................................................
96
8.3. Saran Penelitian Lanjutan .........................................................
97
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
99
LAMPIRAN .......................................................................................
105
ii
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Perkembangan Permintaan Jagung di Indonesia Tahun 1980-2004 ......................................................................................
2
Perkembangan Produksi, Permintaan, Ekspor dan Impor Jagung Indonesia Tahun 1990-2003 ..........................................................
3
3.
Konstruksi Model Policy Analysis Matrix ........................................
23
4.
Luas tanam, Produktivitas dan Produksi Jagung per Kecamatan di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2006 ..............................................
33
Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing ..........................................................
47
Alokasi Biaya Tata Niaga Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing ..........................................
48
Perkembangan Penggunaan Jenis Lahan di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2003 – 2006 ................................................................
54
Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan di Kabupaten Tanah Laut, Tahun 2006 ............................
56
Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2001 – 2006 ..................................
57
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pengalaman dan Keanggotaan dalam Kelompok Tani di Kabupaten Tanah Laut ..................................................................
59
Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Jagung ...........................................................................................
60
Analisis Finansial dan Ekonomis Usahatani Jagung di Kabupaten Tanah Laut Musim Tanam I Tahun 2006-2007 .............................
66
13.
Ringkasan Data Pendugaan Fungsi Produksi ...............................
69
14.
Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS ........................
70
15.
Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode MLE ........................
72
16.
Sebaran Efisiensi Teknis Petani Responden .................................
76
17.
Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier ..........................................................................................
78
2.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
iii
18.
19.
20.
21.
22.
Varians dan Parameter γ dari Model Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier ..........................................................
81
Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Petani Responden Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier ....
84
Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Responden Setelah Penurunan Penggunaan Pupuk N ....................................
86
Tabel PAM Usahatani Jagung di Kabupaten Tanah Laut Musim Tanam I Tahun 2006-2007 ............................................................
89
Tabel PAM Usahatani Jagung Jika Efisiensi Alokatif Ditingkatkan Menjadi 0.581 di Kabupaten Tanah Laut Musim Tanam I Tahun 2006-2007 .............................................................
93
iv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Fungsi Produksi Stochastic Frontier ..............................................
13
2.
Ukuran Efisiensi .............................................................................
17
3.
Alur Kerangka Pemikiran Konseptual ............................................
33
4.
Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Petani Responden Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier.....
84
Kondisi Produksi yang Efisien Secara Teknis dan Inefisien Secara Alokatif ...........................................................................................
85
5.
v
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Peta Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan ............
106
2.
Data Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Jagung Lahan Kering Musim Tanam I Tahun 2006-2007 .......................................
107
Listing Program SAS 9.0 untuk Pendugaan Fungsi Produksi Metode OLS Tanpa Retriksi ..........................................................
110
Hasil Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS Tanpa Retriksi dengan Menggunakan Program SAS 9.0 .........................
111
Hasil Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS dengan Retriksi Lahan dengan Menggunakan Program SAS 9.0 ..............
112
Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Rata-Rata (OLS) dan Fungsi Produksi Stochastic Frontier (MLE) dengan Menggunakan Frontier version 4.1c ......................................................................
113
Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Petani Responden Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier.....
119
3. 4. 5. 6.
7.
vi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian perlu terus dikembangkan agar mengarah pada terciptanya pertanian yang efisien, memiliki daya saing, mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup para petani pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Arah pengembangan tersebut melalui peningkatan pola agribisnis,
terutama
peningkatan
kualitas
dan
kuantitas
produksi,
penganekaragaman komoditas unggulan, peningkatan nilai tambah produk serta perluasaan penguasaan pasar (Mahfudz et al., 2004). Salah satu komoditas pertanian yang potensial dan punya nilai ekonomi tinggi untuk dikembangkan adalah jagung. Jagung merupakan salah satu tanaman pangan utama selain padi dan kedelai (Rusastra et al., 2004). Jagung juga digunakan sebagai makanan hewan ternak dan juga digiling menjadi tepung jagung (cornstarch) untuk produk-produk makanan, minuman, pelapis kertas dan farmasi. Di beberapa negara, jagung dibuat menjadi alkohol sebagai campuran bahan bakar kendaraan untuk mengurangi polusi (Park, 2001). Permintaan jagung dunia diperkirakan meningkat di masa datang. World Bank memproyeksikan kenaikan total permintaan jagung tahun 1995-2010 naik rata-rata 3.2 persen per tahun (Amang, 2003). Kebutuhan jagung nasional juga terus meningkat dari tahun ke tahun, bukan saja dikarenakan pertambahan penduduk, tetapi juga pertumbuhan usaha peternakan dan industri pangan. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian, kebutuhan jagung terus mengalami peningkatan. Meski kebutuhan jagung untuk konsumsi terus mengalami penurunan dengan laju 2 persen per tahun, namun kebutuhan jagung untuk industri pangan dan pakan terus mengalami peningkatan yang cukup pesat
2
dengan laju masing-masing 3.00 dan 5.78 persen per tahun, seperti terlihat pada Tabel 1. Peningkatan permintaan jagung yang begitu pesat tidak diimbangi oleh peningkatan produksi dalam negeri, maka kesenjangan antara permintaan dan produksi akan semakin lebar. Kesenjangan tersebut untuk saat ini ditutupi dengan cara mengimpor jagung.
Tabel 1. Perkembangan Permintaan Jagung untuk Konsumsi, Industri Pangan dan Industri Pakan di Indonesia Tahun 1980-2006 (Ribu Ton) Tahun 1980
Konsumsi
Industri Pangan
Pakan
3 705 0 237 (93.99) (0.00) (6.01) 1990 5 703 499 396 (86.44) (7.56) (6.00) 2000 4 657 2 340 3 713 (43.45) (21.83) (34.64) 2001 4 567 2 415 3 955 (41.76) (22.08) (36.16) 2002 4 478 2 489 4 197 (40.11) (22 29) (37 59) 2003 4 388 2 564 4 438 (38.53) (22.51) (38.96) 2004 4 299 2 638 4 680 (37.01) (22.71) (40.29) 2005 4 213 2 717 4 950 (35.46) (22.87) (41.66) 2006 4 129 2 799 5 235 (33.94) (23.01) (43.04) Laju (%/th) -2.00 3.00 5.76 Sumber : Departemen Pertanian, 2005-2007 (diolah)
Total 3 942 6 598 10 719 10 937 11 164 11 390 11 617 11 880 12 162 2.02
Keterangan : Angka dalam kurung ( ) menunjukkan persentase terhadap total permintaan
Rata-rata impor jagung selama kurun waktu tahun 1990 – 2007 mencapai 750 ribu ton per tahun, dengan laju peningkatan sekitar 10.46 persen per tahun. Bahkan sejak tahun 2000, volume impor jagung Indonesia sudah di atas 1 juta ton, seperti terlihat pada Tabel 2. Apabila dilihat dari pangsanya terhadap permintaan dalam negeri, volume impor jagung Indonesia sebenarnya masih relatif kecil, yaitu hanya sekitar 8.21 persen. Namun karena kecenderungannya
3
semakin meningkat, maka perlu segera dilakukan upaya khusus untuk mengatasi kenaikan impor jagung tersebut.
Tabel 2. Perkembangan Produksi, Permintaan, Ekspor dan Impor Jagung Indonesia Tahun 1990-2006 (Ribu Ton) Tahun
Produksi
Permintaan
1990 6 734.03 6 352.30 1991 6 255.91 6 220.10 1992 7 995.46 7 556.00 1993 6 459.74 6 497.70 1994 6 868.89 7 551.90 1995 8 245.90 8 678.10 1996 9 307..42 9 402.10 1997 8 770.85 9 357.50 1998 10 169.49 9 357.00 1999 9 204.04 9 244.50 2000 9 676..90 10 366.50 2001 9 347.19 9 595.30 2002 9 585.28 10 309.20 2003 10 886.00 11 676.40 2004 11 609.46 12 176.15 2005 12 523.89 12 697.29 2006 11 609.46 13 240.73 Laju (%/th) 3.71 4.28 Sumber: Departemen Pertanian, 2005-2007, diolah
Ekspor
Impor
141.80 33.20 149.70 60.80 37.40 79.10 26.80 18.90 632.50 90.60 28.10 90.50 16.30 33.70 28.99 62.75 29.16 - 0.93
90.10 323.30 55.70 494.50 1 118.30 969.20 616.90 1 098.40 313.50 618.10 1 264.60 1 035.80 1 154.10 1 345.50 306.37 414.76 2 327.95 10.46
Permintaan jagung di pasar domestik maupun pasar dunia akan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri pakan dan industri pangan olahan berbahan baku jagung. Selama periode tahun 1990-2001, penggunaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan di dalam negeri meningkat cukup tajam dengan laju sekitar 11.81 persen per tahun. Mulai tahun 1994, ketergantungan pabrik pakan terhadap jagung impor sangat tinggi, yaitu sekitar 40.29 persen. Pada tahun 2000, penggunaan jagung impor dalam industri pakan sudah mencapai 47.04 persen, sementara 52.96 persen sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri (Departemen Pertanian, 2005). Upaya untuk memperkecil kesenjangan antara produksi dan permintaan jagung dalam negeri sebenarnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu meningkatkan produksi jagung melalui perluasan areal dan peningkatan
4
produktivitas. Usaha untuk meningkatkan produksi dan produktivitas jagung di Indonesia telah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum memuaskan. Saat ini laju produksi jagung cenderung melambat. Jika selama periode tahun 1993-1997 rata-rata laju peningkatan produksi jagung 4.97 persen, maka pada periode tahun 2000-2004 mengalami penurunan menjadi 4.13 persen per tahun. Perlambatan laju produksi ini antara lain karena konversi lahan pertanian produktif terutama di Jawa untuk penggunaan non pertanian. Menurut Departemen Pertanian (2005) pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.63 juta hektar dan sekitar 1 juta hektar diantaranya terjadi di Jawa. Oleh karena itu, menurut Solahuddin (1999), upaya untuk meningkatkan produksi tidak hanya dilakukan pada lahan-lahan irigasi atau lahan-lahan yang secara intensif telah dimanfaatkan, melainkan juga pada lahan-lahan alternatif seperti lahan rawa pasang surut, gambut dan lahan kering. Lahan-lahan alternatif tersebut umumnya berada di luar pulau Jawa. Menurut Departemen Pertanian (2005), potensi lahan kering yang sesuai untuk tanaman jagung, namun belum dimanfaatkan, cukup luas, yaitu sekitar 20.5 juta hektar, yang tersebar di Sumatera (2.9 juta hektar), Kalimantan (7.2 juta hektar), Sulawesi (0.4 juta hektar), Maluku dan Papua (9.9 juta hektar), serta Bali dan Nusa Tenggara (0.06 juta hektar). Peluang pemanfaatan lahan kering untuk komoditas jagung cukup besar. Salah satu unsur dalam pengembangan komoditas jagung adalah daya saing dan dukungan pemerintah. Efisiensi sebagai salah satu penentu daya saing merupakan salah satu faktor yang diperhatikan dalam pengembangan komoditas ini. Intervensi pemerintah akan mempengaruhi daya saing suatu sistem komoditas. Data dan informasi tentang keunggulan kompetitif dan
5
komparatif merupakan salah satu pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya.
1.2. Rumusan Masalah Provinsi Kalimantan Selatan, yang memiliki potensi lahan kering yang luas yang sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, dituntut untuk memberikan kontribusi dalam upaya mengurangi atau mengatasi beban impor jagung sekaligus menghemat devisa negara. Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Selatan (2005), menunjukkan bahwa lahan kering di Kalimantan Selatan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian adalah 647 ribu hektar. Dari jumlah tersebut, baru dimanfaatkan seluas 210 ribu hektar atau sekitar 32.5 persen. Salah
satu
pemanfaatan
lahan
kering
tersebut
adalah
dengan
mengembangkan komoditas jagung. Ada empat kabupaten yang dijadikan sentra pengembangan jagung berdasarkan persentase produksi jagung terhadap total produksi di tingkat provinsi, yaitu Kabupaten Tanah Laut (35.52 persen), Kabupaten Kotabaru (23.40 persen), Kabupaten Tapin (6.83 persen) dan Kabupaten Banjar (7.62 persen). Diantara empat kabupaten tersebut yang paling menonjol
ditinjau dari segi luas tanam, produksi dan produktivitas adalah
Kabupaten Tanah Laut (Mahfudz et al., 2005). Peluang pengembangan jagung di Kalimantan Selatan cukup besar dilihat dari produksi yang dicapai pada tahun 1998 adalah sebesar 32 ribu ton, sementara keperluan untuk pakan ternak sebesar 158.4 ribu – 184.8 ribu ton ditambah untuk konsumsi 43.4 ribu ton per tahun. Melihat potensi lahan dan peluang pasar yang ada, Kalimantan Selatan memiliki peluang untuk mengembangkan komoditas jagung untuk memenuhi kebutuhan jagungnya.
6
Namun, sampai saat ini Kalimantan Selatan belum mampu untuk memenuhi kebutuhan jagung di pasar lokalnya. Kabupaten Tanah Laut dengan luas wilayah yang dimiliki sebesar 3.63 ribu km2 atau 363.14 ribu hektar dan meliputi sembilan wilayah kecamatan, memiliki potensi lahan sawah seluas 60.57 ribu hektar, lahan kering 162.45 ribu hektar serta lahan pemukiman/pekarangan 25.74 ribu hektar. Potensi lahan tersebut juga merupakan lahan yang potensial untuk pengembangan komoditas jagung. Sampai saat ini komoditas jagung merupakan komoditas yang dominan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di daerah ini (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut, 2004). Kabupaten Tanah Laut sendiri juga merupakan sentra peternakan ayam. Kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan untuk Kabupaten Tanah Laut dan sekitarnya adalah sekitar 6 ribu ton per bulan atau 72 ribu ton per tahun. Produksi jagung pada tahun 2006 hanya mencapai 56.66 ribu ton, sehingga masih kekurangan produksi sebesar 15.34 ribu ton. Kekurangan ini diatasi dengan mendatangkan jagung dari luar. Namun, jagung dari luar memiliki harga yang lebih mahal dan ada ketidakpastian pengiriman karena faktor cuaca. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar baik di tingkat kabupaten maupun provinsi masih terbuka. Produktivitas jagung lahan kering di tingkat petani di Kabupaten Tanah Laut berkisar antara 3.5 – 5 ton per hektar. Hasil ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas jagung daerah lain seperti di Jawa Timur yang mencapai 5.7 ton per hektar (Suprapto, 2006). Sementara itu, benih hibrida yang saat ini beredar di Indonesia memiliki produktivitas antara 6.2 – 9.0 ton per hektar 1 . Penelitian Subandi et al. (2005) menunjukkan bahwa produktivitas jagung di Kabupaten Tanah Laut dapat mencapai 5.4 – 6.3 ton per hektar. Jadi, 1
Teknologi Budidaya Jagung. www.pustaka-deptan.go.id-agritech. Diakses tanggal 1 Maret 2007
7
produktivitas jagung di tingkat petani di Kabupaten Tanah Laut masih bisa ditingkatkan lagi. Permasalahan produktivitas usahatani jagung lahan kering yang rendah ini diduga berkaitan erat dengan persoalan efisiensi penggunaan input. Alokasi penggunaan input juga diduga masih belum optimal. Penggunaan rata-rata input berupa pupuk seperti Urea, SP-36 dan KCl adalah masing-masing 450 kg, 45 kg dan 41 kg per hektar. Dosis ini tidak sesuai dengan rekomendasi yakni urea 350400 kg, SP-36 75-100 kg dan KCl 75-100 kg per hektar. Salah satu indikator dari efisiensi adalah jika atau sejumlah output tertentu dapat dihasilkan dengan menggunakan sejumlah kombinasi input yang lebih sedikit dan dengan kombinasi input-input tertentu dapat meminimumkan biaya produksi tanpa menurangi output yang dihasilkan. Dengan biaya produksi yang minimum akan diperoleh harga output yang lebih kompetitif. Produktivitas dan efisiensi merupakan akar penentu tingkat daya saing (Sumbodo, 2005). Suatu komoditas akan mampu bersaing di pasar bila memiliki daya saing tinggi. Daya saing yang tinggi dicerminkan dengan harga dan kualitas yang baik. Tetapi hal ini akan menimbulkan masalah apabila komoditas yang dihasilkan tidak mampu bersaing. Keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas tergantung dari faktor kunci diantaranya adalah keragaan pasar. Disamping itu intervensi pemerintah berupa kebijakan akan turut mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif suatu sistem komoditas. Data dan informasi tentang keunggulan komparatif dan kompetitif merupakan salah satu pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya. Dari uraian di atas, dalam melihat efisiensi dan daya saing tersebut dapat ditelusuri dan diformulasikan lebih lanjut faktor-faktor apa saja yang dominan mempengaruhi produksi jagung dan efisiensi produksinya. Pada akhirnya apabila telah terlihat gambaran menyeluruh dari suatu sistem komoditas jagung, maka
8
dapat dikatakan bahwa efisiensi berkaitan erat dengan peningkatan daya saing dan pendapatan petani. Efisiensi akan menyebabkan penurunan biaya produksi yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing. Dari uraian permasalahan di atas maka muncul beberapa pertanyaan: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi jagung lahan kering dan bagaimana efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efisiensi teknis? 2. Bagaimana daya saing usahatani jagung di lahan kering di Kab. Tanah Laut, Kalimantan Selatan dan bagaimana pengaruh efisiensi terhadap daya saingnya? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum
bertujuan untuk menganalisis produksi,
efisiensi, keunggulan kompetitif dan komparatif jagung di lahan kering Kalimantan Selatan. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung dan tingkat efisiensi teknis dan alokatif usahatani lahan kering. 2. Menganalisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usahatani jagung lahan kering di Kab. Tanah Laut dan pengaruh efisiensi terhadap daya saingnya. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian analisis produksi dan daya saing jagung pada lahan kering meliputi kegiatan yang terdiri dari: (1) analisis produksi dan efisiensi, (2) analisis daya saing, dan (3) pengaruh efisiensi terhadap daya saing. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan
9
karena kabupaten tersebut merupakan sentra produksi jagung lahan kering di Kalimantan Selatan. 1.5. Keterbatasan Penelitian 1. Variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam fungsi produksi harus berpengaruh positif terhadap produksi jagung (bertanda positif). Jika bertanda negatif, maka variabel tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam model karena jika ada variabel yang bertanda negatif maka penurunan fungsi produksi ke fungsi biaya dual tidak dapat dilakukan. 2. Pengukuran efisiensi hanya dilakukan dari sisi input. 3. Tingkat daya saing yang diukur adalah hanya daya saing dari sisi mampu tidaknya komoditas jagung untuk membiayai faktor produksi domestiknya.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Konsep Fungsi Produksi Fungsi produksi menerangkan hubungan teknis (technical relationship) antara sejumlah input yang digunakan dengan output dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi digunakan untuk menentukan output maksimum yang dapat dihasilkan dari penggunaan sejumlah input. Untuk mengetahui secara tepat karakteristik dari suatu fungsi produksi sangat sulit dilakukan. Kita dapat mengabstraksikan fenomena dari proses produksi ke dalam bentuk yang disederhanakan. Bentuk sederhana ini merupakan suatu moel yang diharapkan untuk menerangkan mekanisme proses produksi sesungguhnya. Langkah penyederhanaan dapat dilakukan dengan menggunakan konsep ekonometrika dan statistika sebagai alat pendekatannya. Secara matematis model umum fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y = f(X1, X2, .... Xn) ............................................................................ (2.1) dimana: Y Xi i
= jumlah ountput (produksi) = jumlah output ke=i yang digunakan = 1, 2, ... 3
Model umum fungsi produksi pada persamaan (2.1) belum dapat menerangkan hubungan input dan output secara kuantitatif. Oleh karena itu fungsi produksi harus dinyatakan dalam bentuk fungsi yang spesifik, seperti fungsi linear, kuadratik, polinomial, akar pangkat dua atau Cobb-Douglas. Konsep fungsi produksi berguna untuk mengetahui keragaan proses produksi. Dengan dikeahuinya keragaan tersebut maka proses produksi dapat
11
diidentifikasi apakah telah berjalan dengan efisien atau tidak. Dengan demikian diharapkan petani akan bertindak rasional dalam mengambil keputusan untuk kegiatan usahatani. 2.1.2. Fungsi Produksi Frontier Production frontier memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dengan fungsi produksi dan umumnya banyak digunakan saat menjelaskan konsep pengukuran efesiensi, frontier digunakan untuk menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan (Coelli et al., 1998). Konsep produksi batas (frontier production function) menggambarkan output maksimal yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi yang paling praktis atau menggambarkan produksi maksimal yang dapat diperoleh dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat pengetahuan dan teknologi tertentu (Doll dan Orazem, 1984). Fungsi produksi frontier diturunkan dengan menghubungkan titik-titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input. Jadi fungsi tersebut mewakili kombinasi inputoutput secara teknis paling efisien. Pengukuran fungsi produksi frontier secara umum dibedakan atas 4 cara yaitu: (1) deterministic nonparametric frontier, (2) deterministic parametric frontier, (3) deterministic statistical frontier, dan (4) stochastic statistical frontier (stochastic frontier). Model fungsi produksi deterministic frontier dinyatakan sebagai berikut:
Yi = f(xi;β).e-ui, I = 1,2 … N ................................................................. (2.2) dimana f(xi;β) adalah bentuk fungsi yang cocok (Cobb-Douglas atau Translog), parameter β adalah parameter yang dicari nilai dugaannya dan ui adalah variabel acak yang tidak bernilai negatif yang diasosiaikan dengan faktor-faktor spesifik
12
perusahaan yang memberikan kontribusi terhadap tidak tercapainya efisiensi maksimal dari proses produksi (Battese, 1992). Kelemahan dari model ini adalah tidak dapat menguraikan komponen residual ui menjadi pengaruh efisiensi dan pengaruh eksternal yang tidak tertangkap (random shock). Akibatnya nilai inefisiensi teknis cederung tinggi, karena dipengaruhi sekaligus oleh dua komponen error yang tidak terpisah (Kebede, 2001). Model stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tak terduga (stochastic effects) di dalam batas produksi. Model fungsi produksi stochastic frontier dinyatakan sebagai berikut: n
ln y i = β 0 + ∑ β j ln x ji + ε i ............................................................... (2.3) i =1
Stochastic frontier disebut juga composed error model karena error term terdiri dari dua unsur, dimana εi = vi – ui dan i = 1, 2, .. N. Variabel εi adalah spesifik error term dari observasi ke-i. Variabel acak vi berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor-faktor yang tidak pasti seperti cuaca, pemogokan, serangan hama dan sebagainya di dalam nilai variabel output, bersama-sama dengan efek gabungan dari variabel input yang tidak terdefinisi di dalam fungsi produksi. Variabel acak vi merupakan variabel random shock yang secara identik terdistribusi normal dengan rataan (μi) bernilai 0 dan variansnya konstan atau N(0,σv2), simetris serta bebas dari ui. Variabel acak ui merupakan variabel non negatif dan diasumsikan terdistribusi secara bebas. Variabel ui disebut one-side disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi. Struktur dasar model stochastic frontier pada Persamaan 2.2 dijabarkan pada Gambar 1. Komponen yang pasti dari model batas yaitu f(xi; β) digambarkan dengan asumsi memiliki karakteristik skala pengembalian yang menurun. Petani i
13
menggunakan input sebesat xi dan memperoleh output sebesar yi. Akan tetapi output batasnya dari petani i adalah yi*, melampaui nilai pada bagian yang pasti dari fungsi produksi yaitu f(xi;β). Hal ini bisa terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan, dimana variabel vi bernilai positif. Sementara itu petani j menggunakan input sebesar xj dan memperoleh hasil sebesar yj. Akan tetapi batas dari petani j adalah yj*, berada di bawah bagian yang pasti dari fungsi produksi. Kondisi ini bisa terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan, dimana vi bernilai negatif.
Output batas (yi*), y = F(xi;β) exp(vi), jika vi>0
y
f(xi;β) Output batas (yj*), y = F(xj;β) exp(vj), jika vj<0
Output observasi (yj)
Output observasi (yj)
xi
xj
Sumber: Coelli et al. (1998) Gambar 1. Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sebagaimana disajikan oleh Coelli et al. (1998) yang dikutip dari Aigner et al. (1977), persamaan fungsi produksi stochastic frontier secara ringkas adalah: lnyit = βxit + (vit – uit),
i = 1,2,3,...n
.............................................. (2.4)
dimana: yit xit βi
= produksi yang dihasilkan petani-i pada waktu-t = vektor masukan yang digunakan petani-i pada waktu-t = vektor parameter yang akan diestimasi
14
vit uit
= variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama) sebarannya simetris dan menyebar normal (vit~N(0,σv2)). = variabel acak non negatif, dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan aktor-faktor internal dan sebarannya bersifat setengah normal (uit ~ | N(0,σv2|)
Komponen galat (error) yang sifatnya internal (dapat dikendalikan petani) dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas managerial petani dalam mengelola usahataninya direfleksikan oleh ui. Komponen ini sebarannya asimetris (one side) yakni ui > 0. Jika proses produksi berlangsung efisien (sempurna) maka keluaran yang dihasilkan berimpit dengan potensi maksimalnya berarti ui = 0. Sebaliknya jika ui > 0 berarti berada di bawah potensi maksimumnya. Distribusi menyebar setengah normal (uit ~ |N(0,σv2|) dan menggunakan metode pendugaan Maximum Likelihood. Metode pendugaan Maximum Likelihood Estimation (MLE) pada model stochastic frontier dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input produksi (βm). Tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi (βm), intersep (β0) dan varians dari kedua komponen kesalahan vi dan ui (σv2 dan σu2). Fungsi produksi frontier oleh beberapa penulis diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana menurut Teken dan Asnawi (1981) dikemukakan bahwa apabila peubah-peubah yang terdapat dalam fungsi Cobb-Douglas dinyatakan dalam bentuk logaritma, maka fungsi tersebut akan menjadi fungsi linear additive. Dengan demikian untuk mengukur tingkat efisiensi usahatani jagung dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi stochastic frontier CobbDouglas. Pilihan terhadap bentuk fungsi produksi ini diambil karena lebih sederhana dan dapat dibuat dalam bentuk linear.
15
2.1.3. Konsep Efisiensi Suatu metode produksi dapat dikatakan lebih efisien dari metode lainnya jika metode tersebut menghasilkan output yang lebih besar pada tingkat korbanan yang sama. Suatu metode produksi yang menggunakan korbanan yang paling kecil, juga dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya, jika menghasilkan nilai output yang sama besarnya. Tujuan
produsen
untuk
mengelola
usahataninya
adalah
untuk
meningkatkan produksi dan keuntungan. Asumsi dasar dari efisiensi adalah untuk mencapai keuntungan maksimum dengan biaya minimum. Kedua tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi produsen dalam pengambilan keputusan untuk usahataninya. Dalam pengambilan keputusan usahatani, seorang petani yang rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input itu. Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu proses produksi. Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi pendekatan yaitu dari sisi alokasi penggunaan input dan dari sisi output yang dihasilkan. Pendekatan dari sisi input yang dikemukakan Farrell (1957), membutuhkan ketersediaan informasi harga input dan sebuah kurva isoquant yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara maksimal. Pendekatan dari sisi output merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa mengubah jumlah input yang digunakan. Menurut Lau dan Yotopoulos (1971) konsep efisiensi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) efisiensi teknis (technical efficiency), (2) efisiensi harga (price efficiency), dan (3) efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi
16
teknis mengukur tingkat produksi yang dicapai pada tingkat penggunaan input tertentu. Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien dibandingkan petani lain, apabila dengan penggunaan jenis dan jumlah input yang sama, diperoleh output fisik yang lebih tinggi. Efisiensi harga atau efisiensi alokatif mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marginal setiap faktor
produksi
yang
diberikan
sama
dengan
biaya
marginalnya
atau
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menggunaan input dengan proporsi yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki. Efisiensi ekonomis adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi harga. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Farrell (1957). Menurut Sugiyanto (1982), efisiensi ekonomis dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum (profit maximization) dan kriteria biaya minimum (cost minimization). Efisiensi ekonomi akan tercapai bila kenaikan hasil sama dengan nilai penambahan faktor-faktor produksi atau nilai marginal (NPM) dari faktorfaktor produksi sama dengan biaya korbanan marginalnya (BKM). Dengan kata lain, menurut Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993), rasio produk marginal untuk tiap pasangan input sama dengan rasio harganya. Efisiensi teknis dianggap sebagai kemampuan untuk berproduksi pada isoquant
batas,
sedangkan
alokatif
mengacu
pada
kemampuan
untuk
berproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan rasio input pada biaya
yang
minimum.
Sebaliknya,
inefisiensi
teknis
mengacu
pada
penyimpangan dari isoquant frontier, sedangkan inefisiensi alokatif mengacu pada penyimpangan dari rasio input pada biaya minimum. Konsep efisiensi dari sisi input diilustrasikan oleh Farrell (1957) pada Gambar 2. Konsep efisiensi Farrel ini diasumsikan pada kondisi Constant Return to Scale.
17
Pada Gambar 2, kurva isoquant frontier SS’ menunjukkan kombinasi input per output (x1/y dan x2/y) yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output Y0 = 1. Titik P dan Q menggambarkan dua kondisi suatu perusahaan dalam berproduksi menggunakan kombinasi input dengan proporsi input x1/y dan x2/y yang sama. Keduanya berada pada garis yang sama dari titik O untuk memproduksi satu unit Y0. Titik P berada di atas kurva isoquant, sedangkan titik Q menunjukkan perusahaan beroperasi pada kondisi secara teknis efisien (karena beroperasi pada kurva isoquant frontier). Titik Q mengimplikasikan bahwa
perusahaan
memproduksi
sejumlah
output
yang
sama
dengan
perusahaan di titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Jadi, rasio OP/OQ menunjukkan efisiensi teknis (TE) perusahaan P, yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada P dapat diturunkan, rasio input per output (x1/y : x2/y) konstan, sedangkan output tetap.
x2/y S
P
A
Q R Q’ S’ A’ x1/y
O Sumber: Farrell (1957) Gambar 2. Ukuran Efisiensi
18
Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan. Garis isocost (AA’) digambarkan menyinggung isquant SS’ di titik Q’ dan memotong garis OP di titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang meminimumkan biaya produksi pada tingkat output tertentu karena slope isquant sama dengan slope garis isocost. Titik Q secara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan di titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi dari pada di titik Q’. Jarak OR-OQ menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di titik Q’ (secara alokatif dan teknis efsien), sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di titik P adalah rasio OR/OQ. Oleh Farrell (1957), efisiensi alokatif ini juga disebut sebagai efisiensi harga (price efficiency). Menurut Kumbakhar dan Lovell (2000), produsen dikatakan efisien secara teknis jika dan hanya jika tidak mungkin lagi memproduksi lebih banyak output dari yang telah ada tanpa mengurangi sejumlah output lainnya atau dengan menambah sejumlah input tertentu. Menurut Bakhshoodeh dan Thomson (2001), petani yang efisien secara teknis adalah petani yang menggunakan lebih sedikit input dari petani lainnya untuk memproduksi sejumlah ouput pada tingkat tertentu atau petani yang dapat menghasilkan output yang lebih besar dari petani lainnya dengan menggunakan sejumlah input tertentu. Berdasarkan definisi di atas, efisiensi teknis dapat diukur dengan pendekatan dari sisi output dan sisi input. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi output (indeks efisiensi Timmer) merupakan rasio dari output observasi terhadap output batas. Indeks efisiensi ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis di dalam analisis stochastic frontier. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi input merupakan rasio dari input atau biaya batas (frontier) terhadap input atau biaya observasi. Bentuk umum dari ukuran efisiensi teknis yang
19
dicapai oleh observasi ke-i pada waktu ke-t didefinisikan sebagai berikut (Coelli, 1996):
TEi =
E (Y U i , X i ) E (Y * U i = 0, X i )
= E[exp(−U i ) / ε i ] ......................................... (2.5)
dimana nilai TEi antara 0 dan 1 atau 0 < TEi < 1. Pada saat produsen telah menggunakan sumberdayanya pada tingkat produksi yang masih mungkin ditingkatkan, berarti efisiensi teknis tidak tercapai karena
adanya
faktor-faktor
penghambat.
Tetapi
banyak
faktor
yang
mempengaruhi tidak tercapainya efisiensi teknis di dalam fungsi produksi. Penentuan sumber dari inefisiensi teknis ini tidak hanya memberikan informasi tentang sumber potensial dari inefisiensi, tetapi juga saran bagi kebijakan yang harus diterapkan atau dihilangkan untuk mencapai tingkat efisiensi total. Ada dua pendekatan alternatif untuk menguji sumber-sumber inefisiensi teknis (Daryanto, 2000). Pertama adalah prosedur dua tahap. Tahap pertama menyangkut pendugaan terhadap skor efisiensi (efek efisiensi) bagi individuindividu perusahaan, setelah melakukan pendugaan terhadap fungsi produksi batas. Tahap kedua menyangkut pendugaan terhadap regresi dimana skor efisiensi (inefisiensi dugaan) dinyatakan sebagai fungsi dari variabel sosial ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi efek inefisiensi. Pendekatan kedua adalah prosedur satu tahap dimana efek inefisiensi di dalam stochastic frontier dimodelkan dalam bentuk variabel yang dianggap relevan dalam menjelaskan inefisiensi di dalam proses produksi. Ada beberapa efek model efisiensi teknis yang sering digunakan dalam penelitian empiris menggunakan analisis stochastic frontier. Coelli et al. (1998) membuat model efek inefisiensi teknis diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan variabel acak yang tidak negatif. Untuk usahatani ke-i
20
pada tahun ke-t, efek inefisiensi teknis uit diperoleh dengan pemotongan terhadap distribusi N(μit,σ|), dengan rumus:
μit = δ0 + Zit δ + wit ............................................................................ (2.6) dimana Zit adalah variabel penjelas yang merupakan vektor dengan ukuran (1xM) yang nilainya konstan, δ adalah parameter skalar yang dicari nilainya dengan ukuran (Mx1) dan wit adalah variabel acak. Dengan mengasumsikan bahwa sebuah usahatani dalam mencapai keuntungannya harus mengalokasikan biaya secara minimum dari input yang ada, atau berarti sebuah usahatani berhasil mencapai efisiensi alokatif. Dengan demikian, akhirnya akan diperoleh fungsi biaya frontier dual yang bentuk persamaannya sebagai berikut:
C = C(yi,pi,βi) + ui ............................................................................... (2.7) dimana: C = biaya produksi yi = jumlah output pi = harga input βi = koefisien parameter ui = error term (efek inefisiensi biaya) Efisiensi ekonomi (economic efficiency) didefiisikan sebagai rasio total biaya produksi minimum yang diobservasi (C*) dengan total biaya produksi aktual (C) (Jondrow et al. (1982) dalam Ogundari dan Ojo (2006)).
EE =
C * E (Ci u i = 0, Yi , Pi ) = = E[exp .(U i / ε ] ................................ (2.8) C E (Ci u i , Yi , Pi )
dimana EE bernilai 0 < EE < 1. Efisensi ekonomis ini merupakan gabungan dari efisiensi teknis dan alokatif. Pengukuran efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut secara terintegrasi, membutuhkan sebuah fungsi
21
produksi yang bersifat homogen. Fungsi produksi yang memenuhi kriteria homogenitas adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. 2.1.4. Teori Daya Saing Daya saing menggambarkan kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang baik dan biaya produksi yang serendahrendahnya. Sehingga pada tingkat harga yang terjadi di pasar, petani dapat memperoleh keuntungan dan dapat mempertahankan kelanjutan produksinya. Daya saing suatu komoditas akan tercermin pada harga jual yang murah di pasar dan mutu yang tinggi. Untuk analisis daya saing suatu komoditas biasanya ditinjau dari sisi penawaran karena struktur biaya produksi merupakan komponen utama yang akan menentukan harga jual komoditas tersebut (Salvatore, 1997). Daya saing suatu komoditas sering diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya yang terbuka (Krugman dan Obstfeld (2000) dalam Kariyasa (2003)). Menurut Asian Development Bank (1992) keunggulan komparatif adalah kemampuan suatu wilayah atau negara dalam memproduksi satu unit dari beberapa komoditas dengan biaya yang relatif lebih rendah dari biaya imbangan sosialnya dari alternatif lainnya. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang diterapkan suatu negara untuk membandingkan beragam aktivitas produksi dan perdagangan di dalam negeri terhadap perdagangan dunia. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa biaya produksi dinyatakan dalam nilai sosial dan harga komoditas diukur pada tingkat harga di pelabuhan yang berarti juga berupa harga bayangan.
22
Dengan demikian, analisis keunggulan komparatif adalah analisis ekonomi (social) dan bukan analisis finansial (private). Oleh karena itu baik harga input maupun harga output dihitung dengan menggunakan komponen subsidi maupun pajak yang mungkin terkandung dalam harga aktual di pasar (harga finansial). Dalam analisis ekonomi yang diperhatikan ialah hasil total, produktivitas atau keuntungan yang di dapat dari semua sumberdaya yang dipakai dalam proyek (proses produksi) untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa-siapa yang menerima hasil dari proyek tesebut (Kadariah et al., 1978) Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi (Asian Development Bank, 1992). Harga pasar adalah harga yang benarbenar dibayar produsen untuk faktor produksi dan harga yang benar-benar mereka terima dari hasil penjualan outputnya. Selain itu dinyatakan pula bahwa keunggulan
kompetitif
dapat
dijadikan
sebagai
suatu
indikator
untuk
membandingkan antar negara dalam menghasilkan suatu komoditas. Dengan asumsi adanya sistem tata niaga dan intervensi pemerintah, maka suatu negara akan dapat bersaing di pasar internasional, jika negara tersebut mempunyai keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditas. Asian Development Bank (1992) mengemukakan perbedaan antara keunggulan komparatif dan kompetitif serta cara mengukurnya. Indikator keunggulan komparatif digunakan untuk mengetahui apakah suatu negara memiliki keunggulan ekonomi untuk memperluas produksi dan perdagangan suatu komoditas. Sedangkan keunggulan kompetitif merupakan indikator untuk melihat apakah suatu negara akan berhasil dalam bersaing di pasar internasional suatu komoditas.
23
2.1.5. Policy Analysis Matrix Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM) digunakan untuk menganalisis keadaan ekonomi dari pemilik ditinjau dari sudut usaha swasta (private profit) dan sekaligus memberi ukuran tingkat efesien ekonomi usaha atau keuntungan sosial (social profit). Menurut Monke dan Pearson (1989), model PAM dapat memberikan pemahaman lebih lengkap dan konsisten terhadap semua pengaruh kebijakan dan kegagalan pasar pada penerimaan (revenue), biaya-biaya (cost), dan keuntungan (profit) dalam produksi sektor pertanian secara luas. Menurut Monke dan Pearson (1989), kontruksi model policy analysis matrix (PAM) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kontruksi Model Policy Analysis Matrix Penerimaan Harga Privat (Private prices) Harga Sosial (Social prices) Pengaruh divergensi (Effects divergensces)
A
Biaya (cost) Faktor Tradable Domestik Input B C
Keuntungan D1
E
F
G
H2
I3
J4
K5
L6
Keterangan : 1. Keuntungan privat (D) = A – B – C 2. Keuntungan Sosial (H) = E – F – G 3. Transfer Output (I) = A – E 4. Transfer Input (J) = B – F 5. Transfer Faktor (K) = C – G 6. Transfer Bersih (L) = D – H = I – J = K. 7. Rasio Biaya Privat = C/(A – B) 8. Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) = G/(E – F)
Tiga issues yang menyangkut prinsip-prinsip yang dapat ditelaah (investigate) dengan model PAM, yaitu : 1. Dampak kebijakan terhadap daya saing (competitiveness) dan tingkat profitabilitas pada tingkat usahatani.
24
2. Pengaruh kebijakan investasi pada tingkat efesiensi ekonomi dan keunggulan komparatif (comparative advantage). 3. Pengaruh
kebijakan
penelitian
pertanian
pada
perbaikan
teknologi,
selanjutnya model PAM merupakan produk dari dua identitas perhitungan yaitu: a. Tingkat keuntungan atau profitabilitas (profitability) merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya-biaya. b. Pengaruh
penyimpangan
atau
divergensi
(distorsi
kebijakan
dan
kegagalan pasar) merupakan perbedaan antara parameter-parameter yang diobservasi dan parameter yang seharusnya ada terjadi jika divergensi tersebut dihilangkan. Menurut Morrison dan Balcombe (1992), ada beberapa kelemahan dalam PAM sehingga memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan indikatorindikator PAM, yaitu: 1. PAM bekerja pada kerangka kerja parsial dan statis, serta mengabaikan umpan balik (feedback) dan efek multiplier. 2. Keakurasian data yang digunakan, diantaranya: pertama, harga pasar dan kuantitas input yang digunakan pada baris pertama kerangka kerja PAM sering dikumpulkan dalam keadaan sistem informasi pasar pertanian yang kurang berkembang. Di sektor pertanian, keragaman harga-harga input dan output tidak cukup digambarkan dengan harga rata-rata biasa. Kedua, umumnya harga dunia (world price) digunakan untuk menyusun harga perbatasan (border parity price), yang kemudian digunakan sebagai proxy dari harga ekonomi. Ini menimbulkan kesulitan karena adanya hambatan perdagangan di banyak negara menyebabkan variabilitas harga dunia cenderung tinggi, namun variabilitas ini umumnya tidak ditransmisikan secara penuh ke harga domestik.
25
2.1.6. Hubungan antara Efisiensi dan Daya Saing Salah satu pendekatan daya saing adalah berdasarkan ide umum bahwa daya saing berarti keberhasilan dalam meraih tujuan-tujuan ekonomi di pasar, yang diterjemahkan sebagai peningkatan profitabilitas, dan juga kesejahteraan dalam sudut pandang sosial (FAO, 1999 dalam Curtiss, 2001). Keuntungan privat dan sosial yang positif menggambarkan daya saing tingkat produksi dalam pasar domestik maupun internasional. Inefisiensi ekonomi dalam memproduksi suatu komoditas akan terjadi jika terdapat
ruang
untuk
mengoptimalkan
penggunaan
dan
pengalokasian
sumberdaya, atau dengan kata lain ada ruang untuk meningkatkan profitabilias dan kesejahteraan (Curtiss, 2001). Jika hanya satu faktor, yaitu perbedaan dalam potensi manajemen, diasumsikan menyebabkan inefisiensi ekonomi, maka ada hubungan sempurna antara efisiensi ekonomi (efisiensi teknis dan alokatif) dan daya saing. Namun, jika ada kegagalan pasar, maka akan ada deviasi dalam hubungan antara efisiensi teknis dan daya saing. Ini diprediksi karena efisiensi skala usaha dan efisiensi alokatif lebih sensitif untuk memfungsikan pasar daripada efisiensi teknis (Mathijs and Vranken (1999) dalam Curtiss (2001)). Menurut Curtiss (2001), peningkatan efisiensi teknis dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan efisiensi produksi. Realokasi sumberdaya, dari digunakan untuk proteksi menjadi untuk kebijakan peningkatan efisiensi teknis, akan menjamin efek yang sama pada tingkat profitabilitas dan secara simultan meningkatkan keunggulan komparatif suatu komoditas. 2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian tentang analisis produksi dan analisis efisiensi telah banyak dilakukan. Untuk menganalisis tingkat efisiensi dapat menggunakan fungsi produksi biasa dan fungsi produksi frontier.
26
Purmiyanti (2002) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk menganalisis tingkat efisiensi ekonomis usahatani bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan, benih, pupuk P, pupuk K, tingkat pendidikan, status garapan dan varietas bibit, berpengaruh terhadap produksi. Pengujian efisiensi ekonomis (penggunaan input) dilakukan dengan cara membandingkan nilai produk marginal (VMPxi) dari setiap input terhadap harga input tersebut. Efisiensi alokatif tercapai bila nilai produk marginal (VMPxi) dari setiap input sama dengan harga input tersebut (Pxi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio nilai produk marginal terhadap harga masing-masing input tidak sama dengan 1, artinya penggunaan input dalam produksi bawang merah masih belum efisien. Purmiyanti (2002) juga melakukan analisis daya saing dengan alat analisis PAM untuk mencari nilai PCR (Private Cost Ratio) dan DRC (Domestic Resources Cost). Nilai PCR dan DRC lebih kecil dari 1 yang berarti bahwa bawang merah layak diusahakan. Ada beberapa kelemahan fungsi produksi biasa dalam menganalisis tingkat efisiensi ini. Diantaranya adalah: (1) fungsi ini tidak mampu menangkap faktorfaktor yang menjadi sumber-smber inefisiensi, baik yang bersifat terkontrol maupun yang tidak terkontrol, seperti: cuaca, pemogokan, serangan hama, dan sebagainya, (2) fungsi produksi biasa menggambarkan tingkat produksi rata-rata, bukan tingkat produksi maksimum yang dapat dicapai, dan (3) dengan fungsi produksi biasa hanya mampu menganalisis efisiensi ekonomis (alokatif) pada tingkat produksi rata-rata, sedangkan efisiensi teknis tidak bisa. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut maka digunakan fungsi produksi frontier. Penelitian-penelitian yang menggunakan fungsi produksi frontier dalam menganalisis efisiensi telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan Daryanto (2000), menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis petani padi yang
27
menggunakan beberapa sistem irigasi pada tiga musim tanam berbeda di Jawa Barat. Sistem irigasi yang dibandingkan teridiri dari sistem irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan desa. Fungsi produksi dugaan yang digunakan adalah fungsi produksi translog stochastic frontier, dengan model efek inefisiensi teknis non-netral. Variabel-variabel penjelas yang disertakan di dalam model efek inefisiensi teknis terdiri dari: (1) logaritma luas lahan, (2) rasio tenaga kerja yang disewa terhadap total tenaga kerja, dan (3) partisipasi petani di dalam program intensifikasi. Hasil penelitiannya menunjukkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Model fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan, secara signifikan dapat diterima. Dengan kata lain, fungsi produksi rata-rata tidak cukup menggambarkan efisiensi dan inefisiensi teknis yang terjadi di dalam proses produksi. 2. Rata-rata nilai inefisiensi teknis dari petani sampel berada pada kisaran 59 persen hingga 87 persen, dan terdapat pada setiap petani sampel disemua sistem irigasi dan musim tanam. 3. Semua variabel penjelas di dalam model efek inefisiensi
teknis fungsi
produksi stochastic frontier, secara signifikan mempengaruhi inefisiensi teknis. 4. Ukuran lahan dan rasio tenaga kerja, memberikan pengaruh yang tidak sama terhadap inefisiensi teknis petani di setiap sistem irigasi dan musim tanam. Swastika (1996) menggunakan fungsi produksi frontier stochastic translog untuk mengukur perubahan teknologi dan perubahan efisiensi teknis serta kontribusinya terhadap pertumbuhan produktivitas faktor total pada padi sawah irigasi di Jawa Barat. Variabel penjelas yang disertakan dalam model ini adalah vektor input yang terdiri dari benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan penggunaan traktor, serta dummy waktu sebagai proxy dari perubahan teknologi
28
tahun 1988 dan 1992. Pendugaan fungsi produksi frontier dilakukan dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan teknologi dari tahun 1980 sampai 1988 sebesar 42.72 persen. Dalam periode yang sama, efisiensi teknis turun sebesar 2 persen. Oleh karena itu, pertumbuhan produktivitas faktor totalnya adalah sebesar 40.74 persen. Sebaliknya dari tahun 1988-1992 terjadi penurunan produksi frontier sebesar 51.57 persen dari kenaikan efisiensi teknis sebesar 2.06 persen. Pada periode tersebut, pertumbuhan produktivitas faktor total adalah sebesar -49.51 persen. Kenaikan produktivitas faktor total dari tahun 1980-1988 diduga disebabkan oleh perbaikan tingkat penerapan teknologi dari awal Insus sampai Supra Insus. Setelah Supra Insus, tidak ada lagi terobosan teknologi baru, baik dari segi kultur teknis maupun varietas baru yang berpotensi hasil melebihi varietas-varietas sebelumnya. Selain stagnasi teknologi, juga disebabkan penurunan genetik varietasvarietas yang ada, penurunan kualitas dan kesuburan tanah, dan serangan hama pada musim tanam 1992. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan teknologi selama periode analisis cenderung bias ke arah pengurangan benih dan tenaga kerja serta peningkatan pemakaian pupuk, pestisida, dan traktor. Juga ditemukan adanya hubungan yang negatif antara peningkatan produksi frontier dengan tingkat efisiensi teknis. Myint dan Kyi (2005) melakukan penelitian tentang analisis efisiensi teknis pada sistem produksi padi sawah beririgasi di Myanmar, dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas stochastic frontier. Faktor-faktor yang dimasukkan sebagai variabel penjelas adalah: luas areal, tenaga kerja keluarga, jumlah benih, jumlah pupuk, biaya tenaga kerja sewa, dan dummy penggunaan pupuk kandang. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi adalah umur petani, dummy tingkat pendidikan, dan dummy penyuluhan. Hasil penelitian
29
menunjukkan bahwa tenaga kerja keluarga dan pupuk urea secara signifikan mendorong peningkatan tingkat produktivitas pada petani kecil. Tingkat pendidikan petani menengah bernilai negatif dan secara nyata berhubungan dengan inefisiensi teknis. Petani besar memiliki nilai skor efisiensi teknis tertinggi, yaitu 0.77, diikuti oleh petani menengah dan petani kecil. Dengan demikian, pemerintah harus melanjutnya dukungannya terhadap peningkatan investasi publik di bidang infrastruktur dan teknologi untuk memperoleh efisiensi yang lebih tinggi. Di lain pihak, peningkatan produksi dan efisiensi dapat dicapai dengan peningkatan penggunaan pupuk urea dan tenaga kerja keluarga, dan tingkat pendidikan harus ditingkatkan untuk meningkatkan efisiensi teknis. Penelitian tentang daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) pada berbagai komoditas telah banyak dilakukan. Penelitian Siregar dan Sumaryanto (2003) tentang daya saing komoditas kedelai di DAS Brantas, dengan menggunakan PAM menunjukkan bahwa nilai PCR dan DRC sekitar satu yang berarti bahwa kedelai memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang lemah di DAS Brantas. Komoditas kedelai akan mempunyai daya saing finansial jika harga kedelai dunia naik paling sedikit 8.5 persen, atau nilai tukar dollar terhadap rupiah paling sedikit turun 9.2 persen atau produktivitas kedelai naik paling sedikit 27.4 persen, centeris paribus. Oktaviani (1991) dalam penelitiannya menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengetahui daya saing komoditas pangan dan dampak kebijakan pemerintah pada kurun waktu tahun 1984 dan 1989. PAM digunakan karena memberikan kemudahan dalam menganalisis efisiensi finansial, efisiensi ekonomi dan dampak kebijakan pemerintah. Penelitian dilakukan terhadap komoditas pangan di Indonesia, yang ternyata efisien secara finansial maupun ekonomi sehingga layak diproduksi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah terhadap komoditas padi (1984 dan 1989), jagung (1984 dan 1989) dan ubikayu
30
(1984) tidak memberikan insentif bagi produsen untuk berproduksi. Sebaliknya pada ubikayu (1989) dan kedelai (1984 dan 1989) memberikan insentif kepada produsen untuk berproduksi. Hasil yang hampir sama dengan menggunakan metode yang sama juga diperoleh Hidayani (2004) yang meneliti daya saing tanaman karet di Kalimantan Selatan. Suprihatini et al. (1996) menggunakan pendekatan koefisien BSD (Biaya Sumberdaya Domestik) untuk mengetahui daya saing teh hitam Indonesia. Keunggulan komparatif dihitung dengan membagi jumlah biaya sumberdaya domestik atas dasar harga bayangan (BSDb) dengan harga bayangan nilai tukar uang (SER). Sedangkan keunggulan kompetitif dihitung dengan membagi jumlah biaya sumberdaya domestik atas dasar harga pasar (BSDp) dengan harga pasar nilai tukar uang (OER). Kedua hasil bagi ini disebut koefisien BSD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teh hitam yang diproduksi di beberapa lokasi di Jawa dan Sumatera tidak memiliki daya saing karena nilai koefisien BSD kurang dari satu. Artinya Indonesia berada dalam posisi sudah tidak memiliki keuntungan ekonomi untuk memperluas dan memperdagangkan teh hitam. Hasil analisis kepekaan dengan menggunakan elastisitas BSD menunjukkan bahwa kenaikan upah tenaga kerja berdampak paling parah terhadap penurunan daya saing. Penelitian yang dilakukan Rusastra (1996) tentang keunggulan komparatif, struktur proteksi dan perdagangan internasional kedelai Indonesia menyebutkan bahwa keragaman potensi sumberdaya alam dan manusia yang dimiliki Indonesia akan menentukan keunggulan komparatif kedelai. Demikian juga perbedaan tingkat adopsi teknologi, efisiensi pengusaha kedelai, biaya transportasi dan pemasaran. Studi tentang keunggulan komparatif juga dilakukan dengan mengingat adanya perubahan lingkungan strategi di tingkat global. Data yang digunakan adalah data agregatif regional dengan mempertimbangkan pola
31
perdagangan substitusi impor, perdagangan antar daerah maupun promosi ekspor. Secara finansial usahatani kedelai di luar Jawa cukup menguntungkan dibandingkan dengan di Jawa dengan tingkat profitabilitas sebesar 105-121 persen, sedangkan di Jawa hanya 42-40 persen terhadap total biaya. Secara finansial struktur biaya kedelai didominasi oleh biaya lahan hampir 50 persen, baik di Jawa maupun luar Jawa. Berikutnya adalah biaya bibit dan tenaga kerja, sedangkan biaya tradable input adalah sama. Secara ekonomis usahatani kedelai di luar Jawa lebih efisien dibandingkan di Jawa. Koefisien DRCR berkisar antara 1.5302-1.7070 untuk Jawa. Keadaan ini disebabkan rataan biaya ekonomis di luar Jawa lebih rendah daripada Jawa. Dinamika proteksi yang dilakukan pemerintah terhadap kedelai ditunjukkan oleh adanya peningkatan proteksi nominal (NPR) sebesar 4.8 persen per tahun selama periode 1985-1994. Besarnya insentif terhadap kedelai yang ditunjukkan oleh nilai EPR dirasa tidak proporsional. Jawa menikmati lebih besar dibanding luar Jawa, padahal tidak memiliki keunggulan komparatif. Kesimpulan dan implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah telah terjadi pengontrolan yang ketat terhadap pasar kedelai domestik sehingga usahatani kedelai
secara
finansial
memberikan
keuntungan,
meskipun
tidak
menguntungkan secara ekonomis khususnya di Jawa. Di Jawa usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai DRCR lebih besar dari satu. Untuk mencapai titik impas harga output harus lebih tinggi dari harga paritasnya di pasar internasional, atau produktivitasnya perlu ditingkatkan. Kondisi ini dalam waktu dekat tidak realistis, oleh sebab itu upaya pengembangan kedelai dapat dilakukan melalui penciptaan varietas unggul yang tahan terhadap hama dan penyakit, produktivitasnya tinggi dan cocok dengan agroklimat setempat.
32
Penelitian-penelitian
tentang
komoditas
jagung
juga
telah
banyak
dilakukan. Akhir-akhir ini penelitian tentang jagung lebih banyak pada keterkaitan antara pasar jagung dengan pasar produk-produk turunannya (Kariyasa et al. (2004) dan Imron (2007)) dan kebijakan tarif impor jagung (Erwidodo et al. (2003)). Penelitian lain tentang jagung adalah penelitian Ramli dan Swastika (2005) tentang keunggulan kompetitif beberapa tanaman palawija di Kalimantan Tengah. Keunggulan kompetitif pada dasarnya analog dengan penentuan tingkat produktivitas minimal dari suatu komoditas agar kompetitif terhadap usahatani komoditas lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, usahatani jagung harus berproduksi minimal 1.06 ton per hektar agar dapat bersaing dengan usahatani kedelai, 1.46 ton per hektar agar dapat bersaing dengan usahatani kacang tanah, dan 4.28 ton per hektar agar dapat bersaing dengan usahatani ubi jalar. Dengan produksi jagung aktual sekitar 2.01 ton per hektar, maka usahatani jagung memiliki keunggulan kompetitif terhadap usahatani kacang tanah dan kedelai tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif dengan usahatani ubi jalar. Hasil-hasil penelitian di atas hanya melakukan penelitian tentang tingkat efisiensi dan daya saing secara terpisah. Penelitian yang mengaitkan antara tingkat efisiensi dan daya saing suatu komoditas (jagung) sampai saat ini belum ada. Penelitian ini akan mencoba mengaitkan antara tingkat efisiensi dan daya saing. Penelitian ini akan mencoba mengukur tingkat efisiensi dan kondisi daya saing komoditas jagung di lahan kering serta bagaimana dengan saing komoditas tersebut bila tingkat efisiensi dinaikkan.
33
2.3. Kerangka Konseptual Gambar 3 menunjukkan kerangka pemikiran konseptual dari penelitian ini. Kalimantan Selatan memiliki potensi sumberdaya lahan kering yang potensial untuk
pengembangan
jagung
berpeluang
untuk
meningkatkan
produksi
jagungnya dalam rangka dapat memenuhi kebutuhan jagung baik tingkat provinsi maupun tingkat nasional. Dengan peningkatan produksi diharapkan menjadi substitusi impor komoditas jagung. Usahatani Jagung Lahan Kering
Produktivitas Rendah
-
Analisis Produksi dan Efisiensi: Lahan, benih, pupuk organik, pupuk NK, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan pengolah tanah Umur, pendidikan, pengalaman dan keanggotaan kelompok tani
Tingkat Efisiensi - Efisiensi Teknis - Efisiensi Alokatif - Efisiensi Ekonomis
Tingkat Daya Saing - PCR - DRCR
Saran Kebijakan
Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual
34
Permasalahan jagung lahan kering di Kalimantan Selatan adalah produktivitas jagung di tingkat petani yang masih rendah, yaitu sekitar 3.5-5 ton per hektar. Rendahnya produktivitas ini diduga terkait dengan efisiensi penggunaan input baik jumlah maupun alokasinya. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi kondisi dan permasalahan usahatani jagung di Kalimantan Selatan dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi dan efisiensi usahatani jagung di lahan kering. Produktivitas dan efisiensi merupakan akar penentu tingkat daya saing. Suatu komoditas akan mampu bersaing di pasar bila memiliki daya saing tinggi untuk bersaing dengan jagung impor. Disamping itu intervensi pemerintah berupa kebijakan akan turut mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas. 2.4. Hipotesis Penelitian Dari tinjauan pustaka di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Dalam fungsi produksi faktor-faktor yang diduga berpengaruh nyata (positif) adalah lahan, benih, penggunaan pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Ratarata tingkat efisiensi yang dicapai petani diharapkan di atas 0.8 karena Kabupaten Tanah Laut merupakan sentra produksi jagung. 2. Diduga usahatani jagung secara finansial dan ekonomi masih memberikan keuntungan pada petani jagung dan memiliki daya saing yang kuat untuk mempertahankan kelanjutan produksinya. Semakin efisien, semakin kuat pula daya saingnya.
35
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan, dengan pertimbangan karena kabupaten ini merupakan sentra produksi jagung lahan kering terbesar di Kalimantan Selatan Penelitian ini meliputi beberapa tahapan kegiatan yaitu: tahap persiapan/ pra penelitian, pengumpulan data, analisis dan sintesis. Penelitian lapangan dimulai dari bulan Mei sampai dengan Juli 2007. 3.2. Pemilihan Petani reponden Dari tingkat kabupaten selanjutnya dipilih tiga kecamatan yang mempunyai areal panen jagung terluas. Dari data Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Laut (Tala) terlihat bahwa Kecamatan Panyipatan, Kecamatan Pelaihari dan Kecamatan Batu Ampar memiliki areal tanam terluas, seperti terlihat pada Tabel 4, sehingga ketiga kecamatan tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian. Dari ketiga kecamatan tersebut diambil empat desa yang merupakan sentra produksi jagung di Kabupaten Tanah Laut, yaitu: Desa Bumi Asih dan Sukaramah di Kecamatan Panyipatan, Desa Tanjung di Kecamatan Pelaihari dan Desa Tajau Pecah di Kecamatan Batu Ampar. Petani-petani jagung di empat desa tersebut kemudian diambil secara acak sebanyak 20 orang petani sebagai responden, dengan asumsi populasi menyebar normal, sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah 80 responden. Pengambilan sampel dengan teknik ini dilakukan karena petani jagung yang relatif sama (homogen). Populasi yang relatif homogen tersebut akan terdistribusi mendekati normal, yang menurut teorema batas sentral (central limit theorem),
36
untuk ukuran sampel yang cukup besar, (n ≥ 30), rata-rata sampel akan terdistribusi di sekitar rata-rata populasi yang mendekati distribusi normal (Cooper dan Emory, 1996). Disimpulkan, pengambilan sampel sebanyak 80 petani sudah memenuhi batas minimum sampel (30 sampel) yang dapat digunakan untuk menduga karakteristik (variasi) dari populasi. Pada saat analisis data, ada 4 responden yang dikeluarkan sebagai sampel karena tidak memenuhi asumsi sebaran normal, sehingga jumlah responden adalah 76 petani. Tabel 4. Luas tanam, Produktivitas dan Produksi Jagung per Kecamatan di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2006 Tanam Panen Produktivitas Produksi (Ha) (Ha) (Ton/Ha) (Ton) 1. Pelaihari 2 768 2 449 5.28 12 897 2. Takisung 587 212 4.55 965 3. Panyipatan 3 620 4 585 5.16 23 571 4. Batu Ampar 2 555 2 160 5.27 11 389 5. Jorong 148 354 4.50 1 594 6. Kintap 81 22 3.02 66 7. Tambang Ulang 1 145 1 095 4.60 5 041 8. Bati-Bati 967 250 4.07 1 018 9. Kurau 45 31 3.85 119 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab.Tanah Laut, 2007 No.
Kecamatan
% thd total prod. 22.76 1.70 41.60 20.10 2.81 0.12 8.90 1.80 0.21
3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data kerat lintang (cross section) berupa data kualitatif dan kuantitatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer (primary data sources) dan sekunder (secondary data sources). Data
primer
dikumpulkan
melalui
wawancara
langsung
dengan
responden dengan bantuan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Data yang diambil adalah informasi usahatani jagung yang dilakukan responden pada Musim Tanam I (bulan Oktober 2006 – Maret 2007). Data sekunder dikumpulkan dari data hasil laporan Dinas Pertanian, BPS, Pemerintah Kabupaten Tanah Laut, BAPPEDA dan instansi-instansi lainnya.
37
3.4. Teknik Pengumpulan Data Peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan yang sistematik terhadap subjek, yakni melalui wawancara langsung dan teknik tidak langsung (bantuan kuesioner) pada perorangan atau kelompok. Daftar pertanyaan terdiri dari karakteristik responden dan usahataninya, data produksi, biaya input usahatani dan penerimaan usahatani jagung, serta permasalahan yang dihadapi petani. 3.5. Metode Analisis Data Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis. Untuk mengidentiikasi kondisi dan permasalahan jagung digunakan analisis deskriptif. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung dan efisiensi teknis digunakan analisis fungsi produksi stochastic frontier. Untuk mengetahui tingkat efisiensi alokatif dan ekonomis usahatani jagung digunakan fungsi biaya dual yang diturunkan dari fungsi produksi. Sedangkan untuk menganalisis daya saing digunakan PAM. 3.5.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Analisis data menggunakan alat analisis fungsi produksi stochastic frontier dan fungsi biaya dual frontier. Analisis fungsi produksi stochastic frontier dapat digunakan untuk mengukur efisiensi teknis dari usahatani jagung dari sisi output dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis. Sedangkan fungsi biaya dual frontier digunakan untuk mengukur efisiensi alokatif dan ekonomi. Dalam penelitian ini, fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas. Pilihan terhadap bentuk fungsi produksi ini diambil berdasarkan alasan sebagai berikut: (1) bersifat homogen sehingga dapat digunakan menurunkan fungsi biaya dual dari fungsi produksi, (2) lebih sederhana, dan (3) jarang menimbulkan masalah. Selain itu, menurut Binici
38
et al. (1996), fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas telah digunakan secara luas dan teruji untuk mengkaji efisiensi produksi di negara-negara maju dan berkembang. Meski demikian, ada beberapa kelemahan fungsi CobbDouglas, menurut Debertin (1986) diantaranya adalah: (1) tidak ada produksi (y) maksimum, artinya sepanjang kombinasi input (x) dinaikkan maka produksi (y) akan terus naik sepanjang expansion path-nya, dan (2) elastisitas produksi tetap. Kelemahan
ini
membuat
fungsi
produksi
Cobb-Douglas
tidak
bisa
menggambarkan fungsi produksi neo-klasik. Dalam fungsi produksi, faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan adalah faktor-faktor produksi yang digunakan. Faktor-faktor tersebut diduga adalah lahan, benih, pupuk (organik dan anorganik), pestisida dan tenaga kerja. Dengan memasukkan sebanyak 8 peubah bebas ke dalam persamaan frontier maka model persamaan penduga fungsi produksi frontier dari usahatani jagung dapat ditulis sebagai berikut : Ln Y = β0 + β1lnX1 + β2lnX2 + β3lnX3+ β4lnX4 + β5lnX5 + β6lnX6 + β7lnX7 +β8lnX8 + vi-ui ............................................................
(3.1)
dimana : Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 β0 βj vi – ui
= output tanaman jagung dalam bentuk pipilan kering (kg) = luas lahan yang digarap (ha) = jumlah benih yang digunakan (kg) = jumlah pupuk kandang yang digunakan (kg) = jumlah pupuk N dan K yang digunakan (kg) = jumlah pupuk P yang digunakan = jumlah pestisida yang digunakan (liter) = jumlah tenaga kerja yang digunakan petani (JKSP) = dummy olah tanah (X8=1 bila dibajak, X8=0 bila tidak) = intersep = koefisien parameter penduga dimana i = 1,2,3,…. = error term (ui) efek inefisiensi teknis dalam model.
Nilai koefisien yang diharapkan : β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7, β8>0. Nilai koefisien positif berarti dengan meningkatnya input berupa lahan, benih, pupuk organik,
39
pupuk N dan K, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan pengolahan tanah (bajak) diharapkan akan meningkatkan produksi jagung. 3.5.2. Analisis Efisiensi Teknis Analisis efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus berikut:
TEi = exp( - E[ui|εi])
i = 1,...,N .......................................................
(2.5)
Dimana TEi adalah efisiensi teknis petani ke-i, exp( - E[ui|εi]) adalah nilai harapan (mean) dari ui dengan syarat εi, jadi 0 < TEi < 1. Nilai efisiensi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu (cross section data). Metode efisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli (1995) dalam Coelli (1996). Variabel ui yang digunakan untuk mengukur efek inefisiensi teknis, diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N (μi,σ2). Untuk menentukan nilai parameter distribusi (μi) efek inefisiensi teknis pada penelitian ini digunakan rumus sebagai berikut: μi = δ0 + δ1Z1+ δ2 Z2+ δ3 Z3 + δ4 Z4 +wit...............................................
(3.2)
dimana: μi Z1 Z2 Z3 Z4
= = = = =
efek inefesiensi teknis umur petani (tahun) pendidikan formal petani (tahun) pengalaman petani (tahun) keanggotaan dalam kelompok tani/koperasi (Z4 = 1 bila ya dan Z4 = 0 bila tidak)
Nilai koefisien yang diharapkan: δ0 > 0, δ1>0, δ2,δ3,δ4<0 Agar konsisten maka pendugaan parameter fungsi produksi dan inefficiency function (Persamaan 3.1 dan Persamaan 3.2) dilakukan secara simultan dengan program FRONTIER 4.1 (Coelli, 1996). Pengujian parameter stochastic frontier
40
dan efek inefisiensi teknis dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama merupakan pendugaan parameter βj dengan menggunakan metode OLS. Tahap kedua merupakan pendugaan seluruh parameter β0, βj, varians ui dan vi dengan menggunakan metode Maximum Likelihood (MLE), pada tingkat kepercayaan α 15 persen. Hasil pengolahan program FRONTIER 4.1 menurut Aigner et al. (1977), Jondrow et al. (1982) ataupun Greene (1993) dalam Coelli (1996), akan memberikan nilai perkiraan varians dalam bentuk parameterisasi sebagai berikut:
σ 2 = σ v2 + σ u2 .....................................................................................
(3.4)
σ u2 ............................................................................................. σ v2
(3.5)
γ =
Parameter dari varians ini dapat mencari nilai γ, oleh sebab itu 0 < γ < 1. Nilai parameter γ merupakan kontribusi dari efisiensi teknis di dalam efek residual total 3.5.3. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Untuk mengukur efisiensi alokatif dan ekonomis dapat dilakukan dengan menurunkan fungsi biaya dual dari fungsi produksi Cobb-Douglas yang homogenous (Debertin, 1986). Asumsinya bahwa bentuk fungsi produksi CobbDouglas dengan menggunakan dua input adalah sebagai berikut:
Y = β0x1β1x2β2
..................................................................................
(3.6)
Dan fungsi biaya input adalah sebagai berikut :
C = p1x1 + p2x2 .................................................................................
(3.7)
Bentuk fungsi biaya dual dapat diturunkan dengan asumsi minimisasi biaya dengan kendala Y = Yo. Untuk memperoleh fungsi biaya dual harus diperoleh nilai expansion path (perluasan skala usaha) yang dapat diperoleh dengan fungsi langrange sebagai berikut :
L = p1x1 + p2x2 + λ(Y - β0x1β1x2β2) .......................................................
(3.8)
41
Untuk memperoleh nilai x1 dan x2 dapat diturunkan (first-order condition) sebagai berikut:
∂L = P1 − λx1β 1−1 x 2β 2 = 0 .................................................................... ∂x1
(3.9)
∂L = P2 − λx1β 1 x 2β 2−1 = 0 ................................................................... (3.10) ∂x 2 ∂L = Y − β 0 x1β 1 x 2β 2 = 0 .................................................................... (3.11) ∂λ Dari persamaan (3.9) dan (3.10) diperoleh nilai x1 dan x2 (expansion path) sebagai berikut:
x1 =
P2 x 2 P1
x2 =
dan
P1 x1 ..................................................... (3.12) P2
Kemudian persamaan (3.12) disubstitusikan ke persamaan (3.6) menjadi:
⎛P Y = β 0 ⎜⎜ 2 ⎝ P1
β1
⎞ β 1+ β 2 ⎟⎟ x 2 ........................................................................... (3.13) ⎠
Dari persamaan (3.13) dapat diperoleh fungsi permintaan input untuk x1* dan x2* adalah:
χ 1* = (β 0Yp1− β 2 p 2β 2 )β 1+ β 2 1
.................................................................. (3.14)
χ 2* = (β 0Yp1β 1 p 2− β 1 )β 1+ β 2 .................................................................... (3.15) 1
Kedua persamaan (3.14) dan (3.15) disubstitusikan ke dalam persamaan (3.7) sehingga diperoleh fungsi biaya dual menjadi: −1
1
C =Y
β 1+ β 2
β0
β 1+ β 2
(β
−1 1
β1
β2
β 2 p1 + p1 )β 1+ β 2 (β 2−1 β 1 p 2 + p 2 )β 1+ β 2 ................ (3.16)
Secara lebih sederhana dapat juga ditulis sebagai berikut: 6
C i = k ∏ Pjiaj ⋅ Y0r ............................................................................ (3.17) j =1
42
−1
dimana
α i = rβ i ,
⎡ ⎤ r = ⎢∑ β j ⎥ , ⎣ j ⎦
−1
⎤ 1⎡ k = ⎢ β 0 ∏ β bjj ⎥ , dan βj = 1,2,...6 r⎣ j ⎦
merupakan nilai parameter βj hasil estimasi fungsi produksi stochastic frontier Pxj merupakan harga dari input-input produksi ke-j. Harga tersebut diperoleh dari harga input yang berlaku di daerah penelitian ketika penelitian berlangsung. Variabel Y0 merupakan tingkat output observasi dari petani responden. Menurut Jondrow et al. (1982) dalam Ogundari dan Ojo (2006), efisiensi ekonomi (EE) didefinisikan sebagai rasio antara biaya total produksi minimum yang diobservasi (C*) dengan total biaya produksi aktual (C), seperti terlihat pada Persamaan (2.8).
EE =
C * E (C i u i = 0, Yi , Pi ) = = E [exp .(U i / ε ] ................................ (2.8) C E (C i u i , Yi , Pi )
dimana EE bernilai 0 < EE < 1. Efisiensi ekonomi merupakan gabungan dari efisiensi teknis dan alokatif, sehingga efisiensi alokatif (AE) dapat diperoleh dengan persamaan:
AE =
EE ........................................................................................... (3.18) TE
dimana AE bernilai 0 < AE < 1. 3.5.4. Analisis Daya Saing Untuk menganalisis sejauh mana daya saing jagung pada lahan dilakukan pendekatan terhadap penggunaan sumberdaya domestik dan tradable input. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) yang merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi dalam pengusahaan berbagai aktivitas usahatani secara keseluruhan dan sistematis. PAM dapat digunakan untuk mengestimasi biaya, pendapatan dan daya saing komoditas usahatani ditingkat
43
petani dalam arti keunggulan komparatif serta identifikasi dampak kebijakan pemerintah. Tahapan dalam menggunakan metode PAM adalah: (1) identifikasi input secara lengkap dari usahatani jagung, (2) menentukan harga bayangan (shadow price) dari input dan output usahatani jagung, (3) memilah biaya ke dalam kelompok tradable dan domestik, (4) menghitung penerimaan dari usahatani jagung, dan (5) menghitung dan menganalisis berbagai indikator yang bisa dihasilkan PAM. 3.5.4.1. Penentuan Harga Bayangan Dalam penelitian ini, untuk setiap keluaran dan masukan ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga pasar dan harga bayangan. Harga pasar adalah tingkat harga pasar yang diterima pengusaha dalam penjualan hasil produksinya atau tingkat harga yang dibayar dalam pembelian faktor produksi. Menurut Gittinger (1986), harga bayangan merupakan harga yang terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisi keseimbangan. Kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan, maka untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga bayangan perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku. Perhitungan
harga
bayangan
dalam
penelitian
ini
menggunakan
penyesuaian seperti dilakukan Gittinger (1986). Harga bayangan secara umum ditentukan
dengan
mengeluarkan
distorsi
akibat
adanya
kebijaksanaan
pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, kebijakan harga dan lain-lain. Dalam penelitian ini untuk komoditas yang diperdagangkan akan didekati dengan harga batas (border price). Untuk komoditas yang selama ini diekspor digunakan harga FOB (free on board) dan untuk komoditas yang diimpor digunakan harga CIF (cost insurance freight).
44
1. Harga Bayangan Output. Harga bayangan output adalah harga output yang terjadi di pasar dunia apabila diberlakukan pasar bebas. Harga bayangan output untuk komoditas ekspor atau berpotensi ekspor digunakan harga perbatasan yaitu harga FOB (free on board). Sedangkan harga bayangan output untuk komoditas impor digunakan sebagai harga perbatasan yaitu harga CIF (cost insurance freight). Indonesia saat ini lebih banyak mengimpor jagung daripada mengekspor jagung, sehingga peningkatan produksi jagung lebih diarahkan untuk substitusi impor. Jadi, dalam penelitian ini harga jagung yang digunakan harga perbatasan CIF. Harga FOB di negara eksportir adalah US$ 121.6 per ton dan harga CIF di Indonesia adalah US$139.1 per ton. 2. Harga Bayangan Sarana Produksi Pertanian. Perhitungan harga bayangan sarana produksi pertanian dan peralatan yang tradeable sama dengan perhitungan harga bayangan output, yaitu dengan menggunakan harga perbatasan (border price), yaitu untuk komoditas ekspor digunakan harga FOB (free on board) dan untuk komoditas impor digunakan sebagai harga perbatasan yaitu harga CIF (cost insurance freight). Sedangkan perhitungan harga bayangan saprotan dan peralatan yang non tradeable digunakan harga domestik setelah mengeluarkan beberapa faktor domestik. Pupuk yang digunakan dalam usahatani jeruk ini terdiri pupuk anorganik dan pupuk organik (pupuk kandang). Pupuk anorganik yang digunakan adalah Urea, SP-36, KCl dan NPK. Walaupun sejak tahun 1998 perdagangan pupuk sudah
berdasarkan
pasar
bebas,
namun
harga
aktualnya
belum
mencerminkan harga sosialnya, sehingga dalam penelitian ini untuk menghitung harga bayangannya menggunakan harga perbatasan (border price). Harga perbatasan untuk urea, SP-36, KCl dan NKP masing-masing
45
adalah US$ 210 per ton (FOB), US$ 150 per ton (FOB), US$ 135 per ton (CIF) dan 263 per ton (CIF). Karena sejak tahun 2000, Indonesia sudah mampu memproduksi pupuk urea dan SP-36 sendiri bahkan produksi yang dihasilkan melebihi konsumsi sehingga dapat diekspor, maka harga sosial kedua pupuk tersebut dihitung berdasarkan FOB dikali SERnya dikurangi biaya tataniaga, sedangkan untuk pupuk KCl dan NPK karena sampai saat ini sebagian
besar
masih
impor,
maka
untuk
menghitung
harga
sosial/bayangannya digunakan harga CIF dikali SERnya ditambah biaya tataniaga. Besarnya biaya tataniaga pupuk untuk wilayah Provinsi Kalimantan Selatan sebesar Rp 100 per kg. Penentuan harga pestisida dalam penelitian ini didasarkan pada harga yang ada di pasar masing-masing tempat penelitian. Hal ini disebabkan perdagangan obat-obatan (pestisida) sudah diserahkan ke pasar, dengan kata lain subsidi untuk pestisida telah dicabut, sementara data harga pada tingkat internasional juga tidak ada. Harga bayangan untuk benih didekati dengan harga pasar ditambah dengan subsidi benih. Subsidi yang diberikan pemerintah kabupaten sebesar Rp.25 ribu per kg 3. Harga Bayangan Tenaga Kerja. Bila pasar tenaga kerja bersaing sempurna, maka tingkat upah yang berlaku di pasar mencerminkan nilai produktivitas marginalnya (Gittinger, 1982). Pada keadaan ini besarnya tingkat upah yang terjadi dapat dipakai sebagai harga bayangan tenaga kerja. Hal ini tidak berlaku untuk sektor pertanian karena tingkat upah di pedesaan cenderung lebih tinggi sehingga tidak mencerminkan nilai produk marginalnya, karena adanya sifat gotong royong (sambatan/gantosan). Menurut Noorginayuwati (1987), di Kalimantan Selatan dapat dikatakan bahwa tenaga kerja masih sukar didapat tetapi tidak terlatih,
46
atau nilai produk marginal tenaga kerja lebih besar dari nol. Menurut Pearson et al. (2003), tingkat divergensi di pasar tenaga kerja sektor pertanian di Indonesia kecil. Distorsi tidak begitu signifikan karena peraturan tentang upah minimum tidak berlaku di sektor pertanian dan tidak memiliki dampak yang berarti dalam perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Fragmentasi yang terjadi diantara sub-pasar tenaga kerja amat kecil karena tenaga kerja bebas keluar masuk di sub-pasar tersebut, informasi tentang kesempatan kerja yang baik dan banyaknya buruh kontrak. Oleh karena itu, harga privat untuk upah tenaga kerja pedesaan merupakan penduga yang baik untuk harga sosial tenaga kerja. Jadi dalam penelitian ini, untuk menghitung harga sosial/bayangan tenaga kerja disesuaikan dengan harga aktualnya. 4. Harga Bayangan Lahan. Penentuan harga bayangan lahan dapat didekati melalui: (1) pendapatan bersih usahatani tanaman alternatif terbaik yang biasa ditanam pada lahan tersebut, (2) nilai sewa yang berlaku di daerah setempat, dan (3) nilai tanah yang hilang karena proyek, dan (4) tidak dimasukkan dalam perhitungan sehingga keuntungan yang didapat petani merupakan return to management and land. Dalam penelitian ini harga bayangan lahan akan dipakai seperti yang diusulkan Gittinger (1986), yakni dengan nilai sewanya. 5. Harga Bayangan Nilai Mata Uang. Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada kondisi bersaing sempurna. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan terjadi apabila dalam pasar uang semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan impor dihilangkan. Menurut
Van
der
Tak
(1969)
dalam Gittinger
(1986),
47
keseimbangan nilai tukar uang dapat didekati dengan menggunakan Standard Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku.
SERt =
OERt Xt + Mt , dimana SCFt = ................ (3.19) SCFt ( X t − TX t ) + ( M t + TM t )
dimana: SERt SCFt Xt Mt TXt TMt
= nilai tukar bayangan tahun t (Rp/US$) = standard conversion factor (faktor konversi standar) tahun t = nilai ekspor Indonesia tahun t (Rp) = nilai impor Indonesia tahun t (Rp) = pajak ekspor tahun t (Rp) = pajak impor dan bea masuk tahun t (Rp)
Pada tahun 2007, nilai ekspor Indonesia adalah Rp 943.13 trilyun, nilai impor Rp 548.97 trilyun, pajak ekspor Rp 453 milyar dan pajak impor 14.42 trilyun. Nilai SCF untuk tahun 2007 adalah 0.9907, sehingga nilai tukar bayangan (SER) adalah Rp 9236 per US$. 3.5.4.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Dalam PAM, input yang digunakan dalam proses produksi dapat dipisahkan menjadi tradable goods dan domestic factor (non tradable goods). Tradable goods adalah input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional, sedangkan domestic factor adalah input yang tidak dapat diperdagangkan di pasar internasional. Tabel 5. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing (%) Komponen Biaya Komponen Biaya No Jenis Biaya Domestik Asing 1. Benih*) 90.00 10.00 2. Pupuk organik 100.00 0.00 2. Pupuk urea dan SP-36*) 64.23 34.70 3. Pupuk KCl dan Pestisida*) 0.00 100.00 4. Tenaga kerja dan sewa lahan*) 100.00 0.00 Sumber : *) Tabel I-O (1998) dalam Emilya (2001)
48
Input yang paling dominan dalam usahatani jagung adalah lahan dan tenaga kerja. Kedua input ini digolongkan kedalam input yang tidak diperdagangkan, sehingga dimasukkan kedalam komponen biaya domestik 100 persen. Pupuk KCl dan pestisida dimasukkan dalam komponen biaya asing 100 persen karena diproduksi oleh perusahaan asing yang bekerja di Indonesia (hampir sebagian besar komponennya impor). Produksi pupuk urea dan SP-36 melibatkan dua komponen yaitu komponen asing dan domestik. Komponen biaya domestik dan asing ditetapkan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut : (1) komponen biaya domestik, meliputi: gaji, upah, sewa gudang, bahan bakar, biaya bahan lain, dan sebagian bahan baku, (2) komponen biaya asing, meliputi: pembelian prasarana produksi, penyusutan, jasa industri, dan sebagian bahan baku, dan (3) komponen pajak dikeluarkan dari perhitungan nilai domestik. Berdasarkan kriteria tersebut diatas maka komponen biaya domestik dan asing untuk pupuk urea dan SP-36 ditetapkan masing-masing sebesar 64.23 persen dan 34.70 persen, dari komponen biaya domestik
tersebut 1.07 persen
dikeluarkan untuk pajak, seperti yang terlihat pada Tabel 5. Benih jagung dikelompokkan ke dalam komponen asing 10 persen dan komponen domestik sebesar 90 persen. Sedangkan benih untuk penangkaran sendiri termasuk 100 persen komponen domestik. Tabel 6. Alokasi Biaya Tata Niaga Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing (%) Komponen Biaya Komponen Biaya No Jenis Biaya Asing Domestik 1. Bongkar muat 100.00 0.00 2. Pengepakan dan Karung 86.00 12.00 3 Pengangkutan 70.00 30.00 4. Penyimpanan 60.15 39.58 Sumber : Simanjuntak (1992)
49
Biaya tata niaga didekati dengan menghitung seluruh biaya tata niaga dari daerah produsen sampai ke pelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor sampai ke konsumen. Pengangkutan terdiri dari alat angkutan, BBM dan tenaga kerja. Alat angkutan (mobil/truk) sebagian besar sudah dirakit di dalam negeri dan makin lama komponen domestiknya makin meningkat, sehingga komponen domestiknya diperkirakan 70 persen (Simanjuntak, 1992). Kegiatan pengepakan dan karung terdiri dari 12 persen komponen asing dan 88 persen komponen biaya domestik. Kegiatan bongkar muat seluruhnya dimasukkan dalam komponen biaya domestik. 3.5.4.3. Analisis Daya Saing 1. Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio) = C/(A – B) Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR menunjukkan berapa banyak sistem produksi usahatani jagung dapat menghasilkan untuk membayar semua faktor domestik
yang
digunakannya,
dan
tetap
dalam
kondisi
kompetitif.
Keuntungan maksimal akan diperoleh manakala sistem produksi usahatani jagung mampu meminimumkan nilai PCR, dengan cara meminimumkan biaya faktor domestik. Apabila nilai PCR < 1 dan nilainya makin kecil, berarti sistem produksi usahatani jagung mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan kemampuannya tersebut akan meningkat. 2. Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) = G/(E – F) Merupakan rasio biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga bayangannya. Nilai DRCR merupakan salah satu kriteria kemampuan sistem usahatani jagung dalam membiayai faktor domestik pada harga bayangannya atau kriteria dari efisiensi ekonomi relatif dari suatu sistem produksi. Jika DRCR > 1, maka sistem produksi usahatani jagung dinilai tidak mampu
50
bertahan tanpa intervensi pemerintah, sehingga lebih baik melakukan impor saja daripada memproduksi sendiri, karena sistem produksi usahatani dinilai akan memboroskan sumberdaya yang langka. Sebaliknya jika DRCR < 1 dan nilainya makin kecil, berarti sistem produksi usahatani jagung makin efisien dan memiliki daya saing di pasar dunia, sehingga dinilai memiliki peluang ekspor yang makin besar. Nilai DRCR merupakan kriteria keunggulan komparatif dari usahatani jagung. 3.5.5. Pengaruh Efisiensi Terhadap Daya Saing Analisis ini dilakukan dengan cara meningkatkan efisiensi alokatif melalui penurunan penggunaan input yang dianggap berlebihan. Alokasi penggunaan input yang optimal dapat dihitung dengan bantuan fungsi produksi CobbDouglas. Namun seringkali hasil yang didapat tidak rasional karena adanya kelemahan-kelemahan pada fungsi produksi Cobb-Douglas. Sehingga dalam penelitian ini penggunaan input diturunkan sesuai dengan rekomendasi. Selanjutnya, dengan input yang sudah diturunkan tersebut akan dihitung nilai PCR dan DRCR-nya. 3.6. Definisi Operasional Guna memudahkan pengumpulan data, peubah-peubah yang digunakan terlebih dahulu didefinisikan dan diukur mengacu pada konsep berikut ini: 1. Produksi jagung (Y), adalah jumlah jagung yang dihasilkan dalam satu musim tanam dalam bentuk pipilan kering. Satuan ukuran yang digunakan adalah kilogram. 2. Luas lahan (X1), adalah luas lahan yang digarap untuk usahatani jagung pada Musim Tanam I 2006/2007. Lahan yang digunakan diasumsikan memiliki kesuburan yang tidak jauh berbeda. Satuan ukurannya adalah hektar (ha).
51
Harga lahan (P1) dihitung dari harga sewa lahan per hektar yang berlaku umum di daerah penelitian, dihitung dengan satuan Rupiah per hektar (Rp/ha). 3. Benih (X2), adalah jumlah benih yang digunakan petani dalam usahatani jagung, dihitung dalam satuan kilogram. Benih yang digunakan adalah benih unggul. Harga benih (P2) adalah harga benih yang berlaku umum di daerah penelitian, dihitung dalam satuan Rupiah per kilogram (Rp/ha). 4. Pupuk organik (X3), adalah jumlah pupuk organik (pupuk yang terbuat dari kotoran ayam dalam satu kali musim tanam, diukur dalam satuan kilogram (kg). Harga pupuk (P3) adalah harga pupuk yang berlaku umum di daerah penelitian saat penelitian dilakukan, dihitung dalam satuan Rupiah per kilogram (Rp/kg). 5. Pupuk N dan K (X4), adalah jumlah pupuk N dan K yang digunakan dalam satu kali musim tanam. Kandungan N dalam pupuk urea adalah 45 persen dan dalam pupuk NPK 16 persen, sedangkan kandungan K dalam pupuk KCl adalah 60 persen dan dalam pupuk NPK 16 persen (Redaksi Agromedia, 2007). Diukur dalam satuan kilogram (kg). Harga pupuk N dan K (P4) adalah harga rata-rata pupuk urea dan KCl di daerah penelitian saat penelitian dilakukan, dihitung dalam satuan Rupiah per kilogram (Rp/kg). 6. Pupuk P (X5), adalah jumlah pupuk P yang digunakan dalam satu kali musim tanam. Kandungan P dalam pupuk SP-36 adalah 36 persen dan dalam pupuk NPK 16 persen. Diukur dalam satuan kilogram (kg). Harga pupuk P (P5) adalah harga pupuk SP-36 di daerah penelitian saat penelitian dilakukan, dihitung dalam satuan Rupiah per kilogram (Rp/kg). 7. Pestisida (X6) adalah jumlah pestisida yang digunakan dalam satu kali musim tanam, diukur dalam satuan liter (l). Harga pestisida (P6) adalah harga rata-
52
rata pestisida yang berlaku umum di daerah penelitian saat penelitian dilakukan, dihitung dalam satuan Rupiah per liter (Rp/liter). 8. Tenaga kerja (X7) adalah jumlah total tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi untuk berbagai jenis kegiatan, mulai dari persiapan lahan sampai pasca panen. Satuan yang digunakan adalah Jam Kerja Setara Pria (JKSP). Harga tenaga kerja (P7) dihitung sama dengan besarnya tingkat upah petani yang berlaku umum di daerah penelitian, dihitung dengan satuan Rupiah per jam (Rp/jam). 9. Dummy olah tanah (X8) adalah cara petani dalam mengolah tanahnya, dengan kriteria X8 = 1 jika dengan pembajakan dan X8 = 0 jika tidak dengan pembajakan. Harga olah tanah (P8) adalah biaya membajak tanah yang berlaku umum di daerah penelitian, dihitung dengan satuan Rupiah per hektar (Rp/ha). 10. Umur petani (Z1), adalah usia petani pada saat penelitian dilakukan dan dinyatakan dalam tahun. 11. Pendidikan petani (Z2), yaitu jumlah total waktu yang dibutuhkan petani untuk menempuh pendidikan formal mulai dari SD hingga pendidikan terakhirnya, dinyatakan dalam tahun. 12. Pengalaman petani (Z3), adalah lamanya waktu yang telah dilalui petani sejak pertama kali mulai menanam jagung hingga saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun. 13. Keanggotaan petani dalam kelompok tani (Z4), merupakan variabel dummy yang bernilai 1 untuk petani anggota kelompok tani, dan bernilai 0 untuk petani bukan anggota kelompok tani.
53
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Geografis Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Kabupaten Tanah Laut dengan ibukota Pelaihari dibatasi: sebelah barat dan sebelah selatan oleh Laut Jawa, sebelah timur oleh Kabupaten Tanah Bumbu dan sebelah utara oleh Kabupaten Banjar. Secara geografis, Kabupaten Tanah Laut terletak di antara 114 30' 20'' BT - 115 23' 31'' BT dan 3 30' 33'' LS 4 11' 38'' LS. Luas wilayah Kabupaten Tanah Laut adalah 3.63 ribu km2 atau 9.71 persen dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Wilayah ini berada pada 2 – 21 meter dari permukaan laut. Temperatur maksimum di daerah Tanah Laut pada tahun 2005 berkisar antara 30.500C sampai 34.100C dan temperatur minimum berkisar antara 23.300C sampai 24.600C. Rata-rata temperatur udara tiap bulan berkisar antara 26.100C sampai 28.200C. Rata-rata curah hujan adalah 184 - 198.45 mm per tahun. Jumlah bulan kering (curah hujan <100 mm per bulan) adalah tiga dan jumlah bulan basah (curah hujan >200 mm per bulan) adalah enam, sehingga iklimnya termasuk tipe B2 menurut klasifikasi iklim Oldeman. Keadaan topografi daerah ini memiliki morfologi lahan yang beragam, meliputi: daerah dataran tinggi, dataran rendah, rawa dan lebak, serta pantai dan pasang surut. Susunan tanahnya dapat dibedakan atas: tanah podsolik merah kuning, latosol, alluvial dan organosol/berhumus. Kabupaten Tanah Laut terdiri dari sembilan kecamatan yaitu: Panyipatan, Jorong, Batu Ampar, Kintap, Pelaihari, Takisung, Bati-Bati, Tambang Ulang dan Kurau. Jumlah desa adalah 133 desa. Tanaman jagung dibudidayakan hampir di semua kecamatan tersebut pada berbagai skala luasan usaha.
54
4.2. Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan Wilayah Kabupaten Tanah Laut sebagian merupakan daerah lahan kering yang pada tahun 2006 seluas 146.09 ribu hektar dan lahan sawah seluas 57.21 ribu hektar. Luas lahan untuk kebun/ladang mengalami peningkatan dari 35 ribu hektar pada tahun 2003 menjadi 38.59 ribu hektar pada tahun 2006. Peningkatan ini diantaranya berkaitan dengan peningkatan luas areal tanaman jagung. Sebaliknya, lahan sawah yang diusahakan mengalami penurunan dari 43.66 ribu hektar menjadi 42.75 ribu hektar, seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Penggunaan Jenis Lahan di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2003 – 2006
1.
2. 3.
4.
5. 6. 7. 8.
SAWAH DIUSAHAKAN Sawah irigasi ½ Teknis sederhana PU dan irigasi non PU Sawah tadah hujan Sawah reklamasi PS Sawah reklamasi rawa non PS/Lebak SAWAH SEMENTARA TIDAK DIUSAHAKAN JUMLAH SAWAH LAHAN KERING Tegalan/kebun/ladang/huma Semak/rawa tidak ditanami Tanah bera (sementara tidak di usahakan) Perkebunan HUTAN Hutan Ringan Hutan Berat a. Suaka alam b. Hutan Produksi LEBAK BELUM DIUSAHAKAN TAMBAK PEMUKIMAN/PEKARANGAN HALAMAN SEKITARNYA LAIN-LAIN (PENGEMBALAAN, KOLAM, TABAT/EMPANG) Jumlah ( 1 – 8 )
2003 43 656 6 109
Tahun 2004 2005 44 161 42 741 5 925 5 908
2006 42 746 5 536
21 823 10 685 5 039
16 596 12 023 9 617
15 486 10 873 10 474
15 174 10 532 11 504
35 180
30 663
13 169
14 465
78 836 163 285 35 486 58 176 26 003
74 824 164 459 33 422 50 131 28 054
55 910 148 032 34 992 30 134 26 429
57 211 146 092 38 590 25 773 23 654
43 620 63 223 34 881 28 342 35 000 3 460 22 976 3 071 22 423
52 851 57 190 35 509 21 681 35 000 4 180 29 674 3 222 23 281
56 476 58 147 3 898 54 249 35 000 19 249 19 261 3 222 23 397
58 075 57 160 17 262 39 898 21 549 18 349 18 807 3 238 23 507
9 321
10 485
55 166
57 893
363 135
363 135
363 135
363 135
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut, 2007
55
4.3. Kependudukan Penduduk Kabupaten Tanah Laut berdasarkan hasil registrasi pada tahun 2005 sebesar 249.42 ribu orang dengan tingkat pertumbuhan 2.04 persen per tahun dan rasio jenis kelamin sebesar 103. Dari rasio jenis kelaminnya, jumlah penduduk laki-laki di kabupaten ini lebih besar jika dibandingkan dengan penduduk perempuan. Besarnya rasio jenis kelamin yang lebih dari 100 ini memberikan gambaran bahwa Kabupaten Tanah Laut merupakan daerah migran, artinya bahwa kabupaten ini merupakan daerah yang memiliki potensi ekonomi yang cukup besar sehingga menjadi daerah tujuan migrasi. Selama tahun 1998 – 2002 telah ditempatkan transmigran dari P. Jawa dan P. Bali sekitar 508 kepala keluarga. Jumlah pencari kerja di Kabupaten Tanah Laut pada tahun 2005 berjumlah sebesar 6.577 orang. Latar belakang pendidikan dari pencari kerja ini sebagian besar adalah lulusan SLTA yakni sekitar 51.29 persen dan disusul lulusan SLTP sekitar 28.61 persen. Lulusan
D3/S1/S2 mencapai 13.43 persen, sisanya
berpendidikan di bawah SLTP (BPS Kabupaten Tanah Laut, 2005). 4.4. Sarana dan Prasarana Sarana pendukung baik berupa fisik dan non fisik yang memadai akan mendukung berbagai jenis kegiatan ekonomi dan non ekonomi. Secara umum sarana dan prasarana transportasi yang ada di Kabupaten Tanah Laut terutama di daerah sentra produksi jagung cukup memadai. Arus lalu lintas sarana produksi dan hasil-hasil pertanian berjalan lancar meski ada beberapa kerusakan jalan di beberapa ruas jalan dan pembatasan tonase angkutan maksimal 4 ton untuk transportasi dari desa-desa tertentu ke kota kabupaten.
56
Selain itu sarana perekonomian yang ada secara relatif sudah tersebar di seluruh kecamatan dan desa, misalnya koperasi dan pasar desa yang diadakan dua kali seminggu. Adanya kondisi ini memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan aktivitas mereka di bidang ekonomi. 4.5. Hasil Produksi Pertanian Secara umum usahatani yang dilakukan di wilayah Kabupaten Tanah Laut meliputi tanaman pangan dan perkebunan baik yang dibudidayakan di lahan basah maupun lahan kering. Usahatani tanaman pangan yang diusahakan di Kabupaten Tanah Laut terutama padi, jagung, kencur, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar dan hortikultura. Tabel 8. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2006 Luas Tanam (Ha)
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Padi
42 709.00
44 385.00
155 459.00
3.50
Jagung
11 916.00
11 158.00
56 660.00
5.08
Kencur
111.62
70.79
952.12
13.45
Kacang Tanah
462.00
632.00
821.00
1.30
Ubi Kayu
2 595.00
1129.00
20 931.00
18.54
Ubi Jalar
96.00
129.00
1 983.00
15.37
Komoditas
Produkivitas (Ton/Ha)
Hortikultura 959.00 1 313.00 11 281.15 85.90 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut, 2007 Secara umum, berbagai komoditas tersebut mengalami peningkatan produksi. Produksi padi mengalami peningkatan dari 107.19 ribu ton pada tahun 2001 menjadi 155.46 ribu ton pada tahun 2006. Peningkatan ini selain disebabkan peningkatan luas panen juga karena peningkatan produktivitas, yaitu dari 3.17 ton per hektar menjadi 3.50 ton per hektar. Kondisi yang sama juga
57
untuk komoditas jagung. Untuk mengetahui tentang usahatani tanaman pangan dapat dilihat pada Tabel 8. Produksi jagung dari tahun 2001 – 2006 cenderung mengalami peningkatan, yaitu dari 34.47 ribu ton menjadi 56.66 ribu ton. Kenaikan ini selain disebabkan oleh peningkatan luas panen juga karena peningkatan produktivitas dari 4.83 ton per hektar menjadi 5.08 ton per hektar, seperti terlihat pada Tabel 9. Tanaman Jagung dibudidayakan di semua kecamatan di 39 desa sentra produksi. Produksi terbesar ada di Kecamatan Panyipatan, Pelaihari dan Batu Ampar, seperti terlihat pada Tabel 4. Hampir semua petani yang membudidayakan tanaman jagung ini adalah eks transmigran dari Jawa dan Bali. Tabel 9. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kabupaten Tanah Laut Tahun 2001 – 2006 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Luas Tanam (Ha) 8 956 9 575 10 398 10 404 11 894 11 916
Luas Panen (Ha) 7 222 7 402 7 121 8 501 11 025 11 158
Produksi (Ton) 34 486 29 178 28 674 39 100 55 839 56 660
Produktivitas (Ton/Ha) 4.83 3.94 4.02 4.60 5.06 5.08
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut, 2007
58
V. KERAGAAN USAHATANI JAGUNG DI DAERAH PENELITIAN 5.1. Deskripsi Petani Responden Petani reponden hampir semuanya merupakan eks transmigran dari Jawa dan Bali yang datang ke Tanah Laut antara tahun 1977 – 1985. Petani-petani eks transmigran inil yang membudidayakan tanaman jagung dalam skala luas (> 1 ha). Sedangkan penduduk lokal umumnya membudidayakan tanaman lain, seperti padi, atau berusaha di luar sektor pertanian. Petani-petani ini dulu merupakan transmigran umum (seperti di Desa Bumi Asih dan Sukaramah), transmigran untuk plasma tebu (di Desa Tanjung) dan petani plasma untuk pabrik tapioka dan rosela (di Desa Tajau Pecah). 5.1.1. Karakteristik Petani Responden Jumlah petani responden dalam penelitian ini semula adalah 80 orang. Pada saat analisis data, ada 4 responden yang dikeluarkan sebagai sampel karena tidak memenuhi asumsi sebaran normal, sehingga jumlah responden adalah sebanyak 76 orang yang diambil secara random dari empat desa di tiga kecamatan. Hampir seluruh petani mengatakan bahwa berusahatani jagung merupakan usahatani utama mereka. Usia. Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa sebagian besar petani responden (sekitar 92%) berada pada kisaran umur produktif yaitu pada antara 20 – 60 tahun. Umumnya, petani yang mengusahakan usahatani ini adalah petani yang masih termasuk dalam usia produktif. Hal ini disebabkan dalam usahatani ini diperlukan tenaga fisik yang kuat terutama untuk penanaman dan pemanenan. Sedangkan petani yang telah berumur di atas 65 tahun umumnya
59
selain berusatani jagung dengan luasan sempit juga mengusahakan tanaman lain yang tidak memerlukan tenaga fisik yang berat, seperti karet. Tabel 10. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pengalaman dan Keanggotaan dalam Kelompok Tani di Kabupaten Tanah Laut No. 1.
2.
3.
4.
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur (tahun) a. 21 - 30 b. 31 - 40 c. 41 - 50 d. 51 - 60 e. 61- 70 f. 71 - 80 Berdasarkan Pendidikan (tahun) a. Tidak Sekolah (0 tahun) b. SD (1 – 6 tahun) d. SLTP (7 – 9 tahun) e. SMU (10 – 12 tahun) f. > 12 tahun Berdasarkan Pengalaman (tahun) a. 0 – 5 tahun b. 6 – 10 tahun c. 11 – 15 tahun d. 16 – 20 tahun e. 21 – 25 tahun f. >25 tahun Berdasarkan Keanggotaannya dalam Kelompok Tani a. Anggota b. Bukan Anggota
Jumlah
Persentase
10 24 19 17 2 4
13.16 31.58 25.00 22.37 2.63 5.26
3 57 12 4 0
3.95 75.00 15.79 5.26 0.00
14 18 8 19 5 12
18.42 23.68 10.53 25.00 6.58 15.79
52 24
67.11 32.89
Sumber: Pengolahan data primer, 2008 Pendidikan. Secara umum tingkat pendidikan petani masih tergolong rendah. Sebagian besar petani berpendidikan SD (1 – 6) tahun yaitu sekitar 75 persen, diikuti dengan SMP/sederajat (7 – 9 tahun) sekitar 15.79 persen dan SMU/sederajat (10 – 12 tahun) sekitar 5.26 persen. Tidak ada petani yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi Pengalaman. Ditinjau dari pengalaman usahatani jagung, dapat dilihat bahwa umumnya responden telah berpengalaman membudidayakan jagung di
60
atas 10 tahun (57.90 persen). Hal ini menunjukkan bahwa petani cukup terampil dalam membudidayakan jagung sesuai dengan kondisi daerah penelitian. Keanggotaan
dalam
Kelompok
Tani.
Jumlah
responden
yang
merupakan anggota kelompok tani 67.11 persen, sedangkan sisanya tidak menjadi anggota kelompok tani. Alasan petani tidak menjadi anggota kelompok karena menganggap tidak ada manfaatnya jadi anggota kelompok dan konflik dengan ketua kelompok sebelumnya. 5.1.2. Kepemilikan Lahan dan Penggunaannya Lahan milik sendiri merupakan bentuk sistem kepemilikan yang umum di daerah penelitian selain lahan HGU (Hak Guna Usaha) pabrik, sewa dan pinjam. Lahan HGU milik pabrik merupakan lahan yang dulunya adalah HGU pabrik tapioka dan perkebunan rosela di Desa Tajau Pecah. Karena pabrik dan perusahaan tersebut tutup sebelum masa HGU habis maka lahan tersebut digunakan para petani plasmanya untuk berusahatani sampai sekarang. Saat ini HGU tersebut telah habis, namun petani masih diperkenankan untuk menggarap lahan tersebut dengan membayar Rp 25 ribu per hektar per tahun untuk kas desa. Tabel 11. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Garapan Jagung di Kabupaten Tanah Laut Luas Lahan (ha) 0 – 0.5 0.6 – 1.0 1.1 – 2.0 2.1 – 3.0 3.1 – 4.0 4.1 – 5.0 > 5.0
Jumlah 2 11 41 10 8 3 1 76
Sumber: Pengolahan data primer, 2008
Persentase (%) 2.63 14.47 53.95 13.16 10.53 3.95 1.32 100.00
61
Lahan sewa dan pinjaman merupakan alternatif bagi petani untuk memperluas areal tanaman jagungnya. Sewa dibayar per musim atau per tahun dengan besar sewa tanah berkisar antara Rp 200 ribu – Rp 800 ribu per hektar per tahun tergantung dari lokasi dan kondisi lahan apakah lahan tersebut sudah jadi atau masih berupa semak belukar. Lokasi lahan sewa ini sebagian terletak di desa yang berbeda dengan desa kediaman responden. Sedangkan lahan pinjaman merupakan lahan terlantar yang dipinjam dari orang lain (biasanya sanak famili atau tetangga dekat) tanpa ada kompensasi. Sebaran luas lahan yang ditanami jagung masing-masing petani responden pada Musim Tanam I dapat dilihat pada Tabel 11. 5.2. Usahatani Jagung Di Kabupaten Tanah Laut, komoditas jagung merupakan komoditas unggulan, karena secara teknis dapat dibudidayakan dengan baik serta daerah ini memiliki potensi lahan kering yang sangat luas. Secara sosial komoditas ini dapat dikembangkan oleh banyak orang dan pembudidayaannnya cukup mudah, serta secara ekonomi komoditas ini menguntungkan, cepat menghasilkan dan tersedianya peluang pasar lokal, regional maupun nasional yang merupakan kunci keberhasilan pengembangan agribisnis. Dengan bergeraknya ekonomi masyarakat melalui usaha agribisnis jagung akan mampu mengangkat perekonomian masyarakat secara global. Ada beberapa alasan petani menanam jagung di Kabupaten Tanah Laut, diantaranya: (1) lahan cocok untuk ditanami jagung dan untuk memberdayakan lahan tidur, (2) ada kepastian harga, yaitu Rp 1400 per kilogram pipilan kering untuk musim tanam Musim Tanam I (MH I) tahun 2006/2007, karena sudah ada kesepakatan sebelumnya antara petani, pedagang pengumpul avalist, dan pemerintah daerah, (3) ada kepastian pasar sehingga semua hasil produksi
62
petani akan dibeli dengan harga tertentu, dan (4) ada bantuan dari pemerintah baik berupa subsidi benih hibrida (Bisi-2 dan C7) maupun bantuan berbagai kredit, seperti: KKP, KUT dan kredit bank BRI melalui avalist. Pada umumnya usahatani jagung di daerah penelitian dibiayai oleh avalist yang bermitra dengan petani. Avalist merupakan orang yang menjamin kredit petani di bank dan menyalurkan kredit kepada petani dalam bentuk saprodi dan modal kerja. Kredit ini dan bunganya dibayar petani saat panen dengan cara memotong hasil penjualan jagung petani kepada avalist. Jika petani tidak mampu mengembalikan pinjaman kreditnya, maka avalist inilah yang menanggung pinjamannya di bank. Budidaya jagung yang dilaksanakan petani di Tanah Laut sangat spesifik berbeda dengan teknis budidaya jagung di daerah lain seperti di Pulau Jawa yang lahannya relatif lebih subur. Penanaman jagung di daerah ini sangat tergantung keadaan hujan karena umumnya tanaman jagung hanya ditanam di lahan
kering
sehingga
untuk
memenuhi
keperluan
air
lebih
banyak
mengandalkan air hujan, sedikit sekali daerah-daerah yang memanfaatkan sumber air lain yang mampu berproduksi di luar musim. Selain itu, karena kesuburan tanah yang rendah, usahatani ini sangat tergantung dengan pupuk kandang dari kotoran ayam. Penanaman terbanyak dilakukan pada Musim Tanam I (periode bulan Oktober – Februari) terutama di lahan kering. Pengolahan tanah biasanya mulai dilaksanakan pada bulan Agustus dan panen raya pada bulan Februari – Maret. Penanaman kedua dilaksanakan bila cuaca masih memungkinkan yakni pada Musim Tanam II (menjelang akhir musim hujan periode Februari – Juni). Biasanya sebelum panen, lahan disemprot dengan herbisida kemudian setelah rumputnya mati langsung dilarik dan ditanami jagung. Hal ini dilaksanakan agar waktu panennya tidak mengalami kekeringan karena sudah memasuki musim
63
kemarau. Pada Musim Kemarau (periode Juli – Oktober) hampir tidak ada lagi penanaman jagung kecuali sedikit di lahan sawah bekas tanam padi dan lahan lebak yang dekat dengan sumber air. Penyiapan lahan dilakukan dengan penyemprotan herbisida kontak. Setelah itu dilakukan pembajakan dan pembuatan baluran/larikan lahan dengan traktor atau ternak sapi. Jarak antar baluran adalah 70 – 80 cm atau disesuaikan dengan jarak tanam yang dikehendaki. Sebagian petani responden tidak melakukan pembajakan, tetapi langsung membuat larikan/baluran setelah dilakukan penyemprotan herbisida. Tahapan budidaya selanjutnya setelah penyiapan lahan adalah : 1. Penanaman, dilakukan dengan menggunakan benih bermutu jenis hibrida Bisi-2 atau C7 yang jumlahnya 15 – 18 kg per hektar. Penggunaan jarak tanam 70 cm x 20 cm (bila 1 biji per lubang) atau 70 cm x 40 cm (bila 2 biji per lubang). Pelaksanaan penanaman segera setelah hujan mulai turun (awal musim hujan). Penanaman dilakukan bersamaan dengan pemberian pupuk kandang (kotoran ayam) sebanyak 80 – 100 sak (3600 – 4500 kg) per hektar. 2. Pemupukan, dilakukan petani Tanah Laut sebanyak 2 (dua) kali. Dosis pemupukannya beragam sesuai dengan kondisi lingkungan dan keadaan keuangan petani. Dosis pemupukan yang disarankan penyuluh adalah: pemupukan pertama berupa pupuk Urea (200 kg), pupuk SP-36 (100 kg) dan pupuk KCl (100 Kg) diberikan sekaligus pada umur 14 – 20 hari setelah tanam (hst), pemupukan kedua berupa pupuk Urea (200 kg) yang diberikan pada umur 40 – 50 hari setelah tanam (hst). 3. Pemeliharaan, meliputi penyiangan yang dilaksanakan selama 2 kali yaitu pertama pada umur 15 hari setelah tanam dengan cara disemprot dengan menggunakan herbisida (untuk daun bulat atau disesuaikan dengan jenis rumput/gulma yang ada) dengan dosis 400 – 500 cc per hektar. Atau
64
dilaksanakan dengan cara mencangkul di sekitar barisan tanaman jagung. Penyiangan kedua dilakukan pada umur 60 hari setelah tanam disemprot dengan menggunakan herbisida kontak sebanyak 2 liter per hektar. Selain itu pemeliharaan juga berupa pengendalian hama penyakit terutama tikus yang dilaksanakan sebelum pengolahan tanah berupa pelaksanaan gropyokan dan pemasangan umpan beracun. 4. Panen
dan
Pasca
Panen,
panen
dilakukan
bila
tanaman
sudah
menampakkan kematangan yang optimal, yaitu berumur sekitar 115 hari setelah tanam. Panen dilakukan dengan menebas batang jagung terlebih dahulu atau langsung memetik dan mengupas tongkol jagung. Kemudian dilanjutkan
dengan
proses
pasca
panen
berupa
pemipilan
dengan
menggunakan mesin pemipil (corn sheller) dan pengeringan dengan menggunakan oven berbahan bakar kayu. Pengeringan dilakukan selama 7-8 jam untuk menurunkan kadar air dari 30 persen menjadi 18 persen. Pemasaran
hasil
dilakukan
langsung
di
tempat
perontokan
dan
pengeringan jagung yang dimiliki oleh pedagang pengumpul avalist (anggota KAJATA), atau pedagang pengumpul non-avalist yang datang langsung ke lahan dengan membawa mesin pemipil (corn sheller) sendiri. Jagung umumnya dijual langsung begitu panen dalam bentuk pipilan kering dengan harga Rp 1400 per kg. Sedangkan jika dijual dalam bentuk pipilan basah, harganya berkisar antara Rp.900 – Rp.1200 per kg tergantung dari kadar airnya. Produksi jagung sebagian besar hanya dipasarkan di sekitar Kabupaten Tanah Laut, serta Banjarbaru dan Banjarmasin. Kebutuhan jagung di Kabupaten Tanah Laut sendiri diperkirakan mencapai 6 ribu ton per bulan hanya untuk keperluan pakan ternak saja. Dengan produksi sebesar 56.66 ribu ton per tahun,
65
kebutuhan tersebut masih belum tercukupi. Dengan demikian, pasar jagung lokal masing terbuka luas. Perbedaan waktu panen dan perbedaan harga jagung antar daerah menyebabkan jagung dari kabupaten ini dijual keluar provinsi oleh KAJATA dan pedagang pengumpul. Tidak ada data resmi mengenai jumlah jagung yang dikirim ke kabupaten maupun provinsi lain. Pada Musim Tanam I 2006-2007 diketahui telah dikirim 10 ribu ton jagung ke Kediri, Jawa Timur. 5.3. Analisis Finansial dan Ekonomi Analisis pendapatan petani jagung menggambarkan secara sederhana bagaimana tingkat kelayakan usahatani jagung di daerah penelitian. Hasil analisis finansial dan ekonomis disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hasil panen petani adalah sebesar 10.57 ton per usahatani atau 4.82 ton jagung pipilan kering per hektar. Secara finansial, harga jual jagung dalam bentuk pipilan kering adalah Rp.1400 per kg, sehingga diperoleh penerimaan sebesar Rp. 6.74 juta per hektar. Sedangkan secara ekonomis, dengan harga jagung Rp. 1452 diperoleh penerimaan sebesar Rp. 7.00 juta per hektar. Jadi, penerimaan petani secara ekonomis lebih besar daripada penerimaan finansial karena harga bayangan jagung yang lebih tinggi daripada harga privatnya. Secara finansial, biaya total tunai yang dikeluarkan pada usahatani jagung adalah Rp. 4.29 juta per hektar sedangkan total biaya yang dikeluarkan adalah 4.57 juta. Komponen biaya terbesar yang harus dibayarkan petani untuk usahatani jagung adalah untuk biaya tenaga kerja luar keluarga, yaitu sekitar 18.91 persen (9.92 persen pada pra-panen dan 8.99 persen pada saat panen). Biaya pupuk organik (pupuk kandang) merupakan komponen biaya kedua
66
terbesar yang harus dikeluarkan petani, yaitu sekitar 15.31 persen. Sedangkan komponen biaya terkecil adalah biaya benih sebesar 1.05 persen. Tabel 12. Analisis Finansial dan Ekonomis Usahatani Jagung per Hektar di Kabupaten Tanah Laut Musim Tanam I Tahun 2006-2007 Input PRODUKSI TRADABLE INPUT Benih Pupuk a. Pupuk Anorganik - Urea - SP-36 - KCl - NPK b. Pupuk Organik c. Pestisida Total Tradable input FAKTOR DOMESTIK a. Bajak b. Larik c. Transportasi Pupuk d. Tenaga Kerja Luar Keluarga - Pra-panen - Panen e. Pasca panen - Transportasi - Perontokan - Pengeringan Tenaga Kerja Dalam Keluarga a. Pra-panen b. Panen Bunga Modal Sewa Lahan TOTAL BIAYA TUNAI TOTAL BIAYA KEUNTUNGAN ATAS BIAYA TUNAI KEUNTUNGAN ATAS BIAYA TOTAL R/C Atas Biaya Tunai R/C Atas Biaya Total
Satuan kg
Fisik 4818
Finansial Nilai (Rp) % 6 745 200
Ekonomi Nilai (Rp) % 7 000 303
17.23
48 054
1.05
465 210
8.92
447.51 45.25 41.39 25.7 3 496.32 5.42
541 487 75 794 112 788 88 665 699 264 230 372 1 796 424
11.85 1.66 2.47 1.94 15.31 5.04 39.32
779 339 53 961 60 233 67 688 699 264 230 372 2 356 066
14.94 1.03 1.15 1.30 13.40 4.42 45.16
1 1 1
325 000 175 000 100 000
7.11 3.83 2.19
325 000 175 000 100 000
6.23 3.35 1.92
jam karung
90.6 164.23
453 000 410 575
9.92 8.99
453 000 410 575
8.68 7.87
karung kg kg
164.23 4818 4818
328 460 168 630 529 980
7.19 3.69 11.60
328 460 168 630 529 980
6.30 3.23 10.16
46.20 2.55
231 000 12 750 167 326 400 000 4 287 069 4 568 164 2 458 131
5.06 0.28 3.66 8.76 93.85 100.00
231 000 12 750 256 566 400 000 4 846 711 5 217 047 2 153 593
4.43 0.24 4.92 4.92 92.90 100.00
kg
kg kg kg kg kg liter
ha ha paket
jam jam ha
Sumber : Analisis data primer, 2008
1
2 177 036
1 783 257
1.57 1.48
1.44 1.34
67
Secara ekonomis, struktur biaya produksi jagung hampir sama dengan struktur biaya pada analisis finansial. Komponen biaya terbesar adalah tenaga kerja luar keluarga sebesar 16.55 persen (8.68 pada pra penen dan 7.87 persen pada pasca panen), diikuti dengan pupuk organik sebesar 13.29 persen. Biaya benih mencapai 8.92 persen dari seluruh biaya total secara ekonomi, sedangkan biaya benih secara finansial hanya 1.05 persen. Hal ini karena adanya subsidi harga benih sebesar Rp. 25 ribu per kg dari pemerintah daerah. Komponen biaya terkecil adalah pupuk NPK yaitu 1.30 persen dari total biaya. Gambaran komponen biaya tersebut menunjukkan bahwa usahatani jagung merupakan usahatani yang sarat tenaga kerja (labor intensive). Selain itu, penggunaan pupuk kandang yang begitu besar dikarenakan lahan kering di lokasi penelitian yang miskin bahan organik dan relatif kurang subur. Menurut Subandi et al. (2005), tanah lahan kering di Kabupaten Tanah Laut bersifat: bereaksi masam (pH 5.1–5.4) dengan kejenuhan Al 29.5–43.9 persen, berkandungan bahan organik rendah sampai sedang (3.24–4.78%), berkadar N total rendah sampai sedang (0.16–0.23%) serta berkandungan P tersedia (Olsen) dan Kation basa K, Ca dan Mg tergolong rendah. Hal ini mengakibatkan petani mengeluarkan banyak biaya untuk membeli pupuk kandang guna meningkatkan kesuburan tanah. Keuntungan finansial yang diperoleh dari usahatani jagung lebih besar daripada keuntungan secara ekonomi. Keuntungan finansial mencapai Rp.2.18 juta per hektar, sedangkan keuntungan secara ekonomi Rp 1.78 juta per hektar. Perbedaan ini terjadi karena harga privat input seperti benih dan pupuk urea lebih rendah daripada harga bayangannya. Dilihat dari keuntungan finansial, dalam masa produksi sekitar 4 bulan, maka secara finansial pendapatan per hektar yang diperoleh petani adalah Rp.544.26 ribu per hektar per bulan. Jika lahan, tenaga kerja dan modal sendiri
68
tidak diperhitungkan maka akan diperoleh keuntungan atas biaya tunai sebesar 2.46 juta per hektar per musim atau Rp 614.53 ribu per hektar per bulan. Nilai pendapatan ini belum layak jika dibandingkan dengan UMSP (Upah Minimum Sektoral Provinsi) Kalimantan Selatan sebesar Rp 782.50 ribu per bulan. Dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3.87 orang maka diperoleh pendapatan Rp 158.79 ribu per kapita per bulan. Nilai ini masih lebih lebih besar jika dibandingkan dengan garis kemiskinan (poverty line) menurut Badan Pusat Statistik (2006) yaitu sekitar Rp 131.26 ribu per kapita per bulan untuk daerah pedesaan. Rata-rata petani reponden mengusahakan jagung pada luasan 2.22 hektar. Dengan luasan tersebut diperoleh pendapatan sebesar Rp 5.83 juta atau Rp. 1.46 juta per bulan, lebih tinggi daripada UMSP Kalimantan Selatan. Jadi, jika dibandingkan dengan nilai UMSP Kalimantan Selatan, usahatani jagung ini masih layak diusahakan jika luas lahan yang diusahakan minimal 1.5 hektar. Dengan luas lahan tersebut akan diperoleh pendapatan sekitar Rp.771.92 ribu per bulan atau Rp 199.46 ribu per kapita per bulan.
69
VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI Model fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan di dalam analisis ini merupakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang terdiri dari delapan variabel penjelas, yaitu: luas lahan, benih, pupuk organik, pupuk N dan K, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan dummy olah tanah. Ringkasan data dapat dilihat pada Tabel 13 dan secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 2. Tabel 13. Ringkasan Data Pendugaan Fungsi Produksi Standar Deviasi Y Produksi (kg) 10681.17 7801.19 X1 Luas lahan (ha) 2.22 1.42 X2 Benih (kg) 38.21 24.07 X3 7751.71 6814.25 P.organik (kg) X4 Pupuk N+K (kg) 519.77 408.09 X5 64.21 77.23 Pupuk P (kg) X6 Pestisida (liter) 12.03 11.06 X7 777.03 568.28 Tenaga Kerja (jam) X8 Dummy olah tanah X8=1 (24 responden) X8=0 (52 responden) Sumber: Analisis data primer, 2008 Variabel
Simbol
Rata-Rata
Minimum Maksimum 1500.00 0.50 10.00 720.00 120.00 0.00 0.50 130.86
50000.00 10.00 160.00 45000.00 2710.00 480.00 60.00 3770.00
Penelitian ini menggunakan model stochastic frontier dengan metode pendugaan Maximum Likelihood (MLE) yang dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi, dan tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi, intersep dan varians dari kedua komponen kesalahan vi dan ui. Dari analisis ini akan diketahui efisiensi tenis, alokatif dan ekonomis dari petani responden, serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis. Selanjutnyaa akan dilakukan simulasi dengan menaikkan efisiensi alokatif sebagai dasar untuk melihat pengaruh peningkatan efisiensi terhadap daya saing.
70
6.1. Analisis Stochastic Frontier Pembahasan
mengenai
efisiensi
teknis
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya diuraikan berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis fungsi produksi stochastic frontier. Hasil analisis pendugaan model fungsi stochastic frontier ini dijadikan dasar untuk menganalisis efisiensi alokatif dan ekonomis dengan cara menurunkan fungsi produksi menjadi fungsi biaya frontier. 6.1.1. Pendugaan Fungsi Produksi Metode OLS Pendugaan parameter fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode Ordinary Least Square (OLS) memberikan gambaran kinerja rata-rata dari proses produksi petani pada tingkat teknologi yang ada. Pada Tabel 14 disajikan parameter dugaan fungsi produksi rata-rata tanpa retriksi dan dengan retriksi, sedangkan hasil lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Tabel 14. Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS Tanpa Retriksi Parameter t-rasio Dugaan Intersep 5.260 8.210 Luas Lahan (X1) 0.450*) 3.466 Benih (X2) 0.139*) 1.566 Pupuk organik (X3) 0.102*) 2.303 Pupuk N dan K (X4) 0.005 0.089 Pupuk P (X5) 0.032*) 4.824 Pestisida (X6) 0.057*) 1.691 Tenaga Kerja (X7) 0.294*) 3.432 Dummy Olah Tanah (X8) 0.023 0.511 Adj-R Square 0.928 Sumber : Analisis data primer, 2008 Variabel Input
*)
Retriksi Parameter t-rasio Dugaan 5.386 8.238 0.117 1.291 0.101*) 2.214 -0.018 -0.348 0.030*) 4.456 *) 0.065 1.898 0.314*) 3.600 0.010 0.211 0.433
Nyata pada taraf α 0.15
Hasil pendugaan menunjukkan bahwa, fungsi produksi rata-rata tanpa retriksi yang terbentuk cukup baik (best fit) yang menggambarkan perilaku petani di dalam proses produksi. Koefisien determinasi (R2) dari fungsi produksi ratarata yang diperoleh bernilai 0.928. Artinya, input-input yang digunakan dalam
71
model tersebut dapat menjelaskan 92.8 persen dari variasi produksi jagung lahan kering di daerah penelitian. Dari Tabel 14 diketahui bahwa semua tanda parameter pada fungsi produksi tanpa retriksi adalah positif sesuai dengan yang diharapkan. Variabel luas lahan (X1), benih (X2), pupuk organik (X3), pupuk P (X5), penggunaan pestisida (X6) dan curahan tenaga kerja (X7) berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf α 15 persen, sedangkan variabel Pupuk N dan K (X4) dan dummy olah tanah (X8) tidak berpengaruh nyata. Nilai parameter pada fungsi produksi Cobb-Douglas juga merupakan nilai elastisitasnya. Nilai parameter untuk luas lahan adalah 0.450, yang juga merupakan nilai elastisitasnya. Luas lahan memiliki elastisitas tertinggi dibandingkan variabel-variabel lainnya. Hal Ini menunjukkan bahwa perluasan lahan atau ekstensifikasi dapat dijadikan sebagai pilihan untuk meningkatkan produksi jagung. Nilai elastisitas terkecil adalah pupuk N dan K, dimana peningkatan pupuk N dan K sebesar 1 persen hanya dapat meningkatkan produksi jagung sebesar 0.002 persen. Hal ini diduga karena penggunaan pupuk N (dalam bentuk urea) sudah berlebihan. Hasil pada Tabel 14 juga terlihat bahwa dengan retriksi lahan, koefisien determinasi (R2) dari fungsi produksi rata-rata yang terretriksi bernilai 0.433. Artinya, input-input yang digunakan dalam model tersebut dapat menjelaskan 43.3 persen dari variasi produksi jagung lahan kering di daerah penelitian. Variabel pupuk organik (X3), pupuk P (X5), pestisida (X6) dan tenaga kerja (X7) berpengaruh nyata pada α 15 persen, sedangkan variabel benih (X2), pupuk N dan K (X4) dan dummy olah tanah (X8) tidak berpengaruh nyata. Untuk melihat apakah ada perbedaan antara kedua fungsi produksi tersebut maka dilakukan uji varians dengan rumus:
72
Fhit =
( JKG 2 − JKG1 ) / k1 ................................................................ JKG1 /( n1 − k1 − 1)
JKG1 JKG2 n1 k1
= jumlah kuadrat galat fungsi produksi tanpa retriksi = jumlah kuadrat galat fungsi produksi dengan retriksi = jumlah pengamatan contoh = jumlah peubah bebas
(6.1)
Hasil pengujian terhadap kedua fungsi produksi tersebut menghasilkan nilai F hitung (0.556) lebih kecil daripada F0.05 = 2.51, sehingga secara statistik kedua model tidak berbeda nilai parameter. Sehingga untuk analisis selanjutnya akan digunakan fungsi produksi tanpa retriksi. 6.1.2. Model Empiris Fungsi Produksi Stochastic Frontier Tabel 15 dan Lampiran 6 memperlihatkan hasil pendugaan stochastic frontier dengan menggunakan delapan variabel penjelas. Hasil pendugaan menggambarkan kinerja terbaik (best practice) dari petani responden pada tingkat teknologi yang ada. Fungsi produksi stochastic frontier ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengukur efisiensi alokatif dan ekonomis yang diturunkan menjadi fungsi biaya dual. Pendugaan dilakukan dengan metode Maximum Likelihood (MLE). Tabel 15. Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode MLE Variabel Input Intersep Luas Lahan (X1) Benih (X2) Pupuk organik (X3) Pupuk N dan K (X4) Pupuk P (X5) Pestisida (X6) Tenaga Kerja (X7) Dummy Olah Tanah (X8) Log-likelihood OLS Log-likelihood MLE LR Sumber : Analisis data primer, 2008 *)
Nyata pada taraf α 0.15
Parameter Dugaan 5.412 0.448*) 0.144*) 0.087*) 0.003d) 0.021*) 0.043*) 0.317*) 0.046*) 33.815 37.224 6.818
t-rasio 8.189 3.632 1.841 1.802 0.077 3.081 1.334 3.831 1.166
73
Variabel-variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi batas (frontier) petani responden ditemukan sama dengan fungsi produksi rata-rata, yaitu: variabel luas lahan (X1), variabel benih (X2), pupuk organik (X3), pupuk P (X5), penggunaan pestisida (X6), tenaga kerja (X7) dan variabel dummy oleh tanah (X8) berpengaruh nyata pada taraf α 15 persen, sedangkan variabel pupuk N dan K (X4) tidak berpengaruh nyata terhadap produksi jagung. Parameter dugaan pada fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan nilai elastisitas produksi batas dari input-input yang digunakan. Hasil pendugaan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa elastisitas produksi batas dari variabel luas lahan ditemukan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf α 15 persen, dengan nilai sebesar 0.448. Angka ini menunjukkan bahwa penambahan lahan sebesar 10 persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung di daerah penelitian dengan tambahan produksi sebesar 4.48 persen. Selain itu hasil pendugaan di atas juga dapat menjelaskan bahwa elastisitas produksi luas lahan pada fungsi stochastic frontier lebih kecil dari elastisitas produksi luas lahan pada fungsi produksi rata-rata, yang bernilai 0.450. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan pada fungsi produksi stochastic frontier kurang elastis dibandingkan dengan fungsi produksi rata-rata. Dengan demikian, petani masih rasional jika mempunyai keinginan untuk menambah rata-rata penggunaan lahan. Hasil ini menunjukkan bahwa usahatani jagung masih dapat ditambah luas lahannya dengan memanfaatkan lahan yang selama ini belum dimanfaatkan di Kabupaten Tanah Laut. Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Laut Tahun 2006, lahan kering yang selama ini belum dimanfaatkan mencapai 23.65 ribu hektar.
74
Sementara elastisitas produksi batas dari variabel pupuk P (X5) dan curahan tenaga kerja (X7) ditemukan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung dengan nilai masing-masing 0.021 dan 0.317. Angka ini juga ditemukan berbeda nyata pada taraf α 15 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah penggunaan pupuk P dan curahan tenaga kerja masingmasing sebesar 10 persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung di daerah penelitian dengan penambahan produksi sebesar 0.21 persen dan 3.17 persen. Hasil ini juga dapat menjelaskan bahwa nilai elastisitas produksi pupuk P dan curahan tenaga kerja pada fungsi produksi stochastic frontier lebih besar daripada elastisitas produksi pada fungsi produksi rata-rata. Ini menunjukkan bahwa petani masih rasional untuk menambah penggunaan input penggunaan input pupuk P dan tenaga kerja untuk meningkatkan produksinya. Hal ini juga diperkuat fakta bahwa rata-rata penggunaan pupuk P (SP-36) ditingkat petani adalah 41.39 kg per hektar, sedangkan rekomendasi adalah 100 kg per hektar. Benih (X2), pupuk organik (X3) dan penggunaan pestisida (X6) ditemukan berpengaruh nyata pada α 15 persen, dengan nilai masing-masing elastisitasnya adalah 0.144, 0.087 dan 0.043. Hal ini menunjukkan bahwa jika masing-masing input benih dan curahan tenaga kerja ini dinaikkan sebesar 10 persen sedangkan input lainnya tetap maka produksi jagung akan meningkat masing-masing sebesar 1.44 persen, 0.87 persen dan 0.43 persen. Variabel dummy olah tanah (X8) ditemukan berpengaruh nyata pada taraf α 15 persen. Jika dilakukan pembajakan sedangkan input lainnya tetap, maka produksi jagung akan meningkat sebesar 0.046 persen. Namun menurut petani, pembajakan sebaiknya tidak dilakukan pada setiap akan tanam jagung karena sifat lahan kering di lokasi penelitian yang hanya memiliki lapisan bahan organik
75
yang tipis pada permukaan tanah. Sehingga pembajakan hanya dilakukan antara 2 – 3 tahun sekali. Variabel pupuk N dan K (X4) ditemukan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi jagung dan juga ditemukan bahwa elastisitas produksi pupuk N dan K pada fungsi produksi stochastic frontier lebih kecil dari elastisitas produksi pada fungsi produksi rata-rata. Ini diduga karena penggunaan pupuk N diduga sudah berlebihan. Menurut anjuran PPL, dosis penggunaan pupuk N per hektar adalah 180 kg (setara dengan 400 kg pupuk urea), sedangkan rata-rata penggunaan pupuk N per hektar oleh petani di daerah penelitian telah mencapai 201.38 kg (setara dengan 447.51 kg pupuk urea). Sebaliknya rata-rata penggunaan pupuk K ditingkat petani hanya 24.83 kg per hektar (setara dengan 41.39 kg pupuk KCl). Dosis ini masih lebih rendah dibandingkan dengan dosis anjuran PPL yaitu adalah 60 kg per hektar (setara dengan 100 kg pupuk KCl). Jadi agar lebih optimal penggunaan input-inputnya sebaiknya penggunaan pupuk urea dikurangi sedangkan penggunaan pupuk KCl ditambah. 6.2. Analisis Efisiensi Teknis 6.2.1. Sebaran Efisiensi Teknis Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Sebaran Efisiensi teknis dari model yang digunakan ditampilkan pada Tabel 16, sedangkan nilai efisiensi teknis per individu responden disajikan pada Lampiran 7. Nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan efisien jika lebih besar dari 0.8 karena daerah penelitian merupakan sentra produksi jagung di Kalimantan Selatan. Dengan melihat sebaran nilai efisiensi teknis per individu responden, jumlah petani yang memiliki nilai efisiensi teknis lebih besar dari 0.8
76
adalah 89.48 persen. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar usahtani jagung yang diusahakan petani responden telah efisien secara teknis. Tabel 16. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Responden
0.61 - 0.70 0.71 - 0.80 0.81 - 0.90 0.91 - 1.00 Jumlah Rata-rata Minimum Maximum
Indeks Efisiensi Teknis Jumlah Persentase (%) 4 5.26 4 5.26 22 28.95 46 60.53 76 0.886 0.614 0.970
Sumber : Analisis data primer, 2008 Tabel 16 menunjukkan bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis dari fungsi stochastic frontier adalah 0.887 dengan nilai terendah 0.614 dan nilai tertinggi 0.970. Berdasarkan nilai rata-rata efisiensi pada model tersebut dapat dikemukakan bahwa secara rata-rata petani responden masih memiliki kesempatan untuk memperoleh hasil potensial yang lebih tinggi hingga mencapai hasil maksimal seperti yang diperoleh petani paling efisien secara teknis. Dalam jangka pendek, secara rata-rata petani jagung di daerah penelitian berpeluang untuk meningkatkan produksinya sebesar 8.66 persen (1 – 0.886/0.970) dengan menerapkan ketrampilan dan teknik budidaya petani yang paling efisien. Rata-rata petani responden di daerah penelitian telah mencapai efisiensi teknis, maka jika petani berkeinginan untuk meningkatkan produksi, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan teknologi budidaya jagung. Teknologi yang dapat diintroduksikan diantaranya: penggunaan benih unggul yang lebih cocok dengan kondisi agroklimat dan mekanisasi pertanian. Penelitian Subandi et al. (2005) yang dilakukan di Kabupaten Tanah Laut menunjukkan bahwa jagung varietas Lamuru, Sukmaraga dan Semar-10 memiliki produktivitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan menggunakan benih Bisi-2 di
77
tingkat petani. Produktivitas benih Bisi-2 di tingkat petani hanya 3.93 ton per hektar, sedangkan dengan menggunakan varietas Lamuru, Sukmaraga dan Semar-10, produktivitas dapat ditingkatkan menjadi masing-masing 5.24, 6.49 dan 6.28 ton per hektar di tingkat petani. Penggunaan alat tanam mekanis (ATB1-4R-Balitsereal) mampu meningkatkan produktivitas jagung varietas Lamuru dan menurunkan biaya produksi antara 2.09 – 5.35 persen sehingga keuntungan petani meningkat karena penghematan upah tenaga kerja. 6.2.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis petani responden dengan menggunakan model efek inefisiensi dari fungsi produksi stochastic frontier. Hasil pendugaan model efek inefisiensi teknis dapat dilihat pada Tabel 17. Hasil pendugaan model efek inefisiensi teknis pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa faktor-faktor umur, pendidikan, pengalaman dan keanggotaan kelompok tani berpengaruh tidak nyata pada α 15 persen dalam menjelaskan inefisiensi teknis di dalam proses produksi petani responden. Ini sejalan dengan nilai σs2 yang tidak berbeda nyata (Tabel 18). Nilai σs2 = 0.099, menunjukkan variasi produksi jagung yang disumbangkan oleh efisiensi teknis sebesar 9.9 persen. Umur (Z1). Faktor umur dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis petani. Hasil pada Tabel 16 menunjukkan bahwa umur tidak nyata mempengaruhi inefisiensi teknis pada tingkat α 15 persen. Umur berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis atau berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknis petani. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Seiring dengan peningkatan usia petani, kemampuan bekerja yang dimiliki, daya juang dalam berusaha, keinginan dalam menanggung resiko dan keinginan menerapkan inovasi-inovasi baru juga semakin berkurang.
78
Tabel 17. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Variabel Konstanta Umur (Z1) Pendidikan (Z2) Pengalaman (Z3) Keanggotaan Kelompok Tani (Z4) Sumber : Analisis data primer, 2008 *) Nyata pada α 0.30
Nilai Dugaan -0.165 0.002 -0.065 0.009 -0.276
t-Rasio -0.207 0.201 -0.543 0.558 -0.592
Selain itu, seiring dengan meningkatnya umur, petani cenderung beralih ke usahatani lain seperti usahatani karet dan kelapa sawit. Usahatani karet selain hanya memerlukan tenaga kerja relatif lebih sedikit daripada usahatani jagung (sekitar 2 – 4 jam kerja per hari), juga karena penerimaan yang lebih besar (sekitar Rp 3.3 juta per hektar per bulan), sehingga merupakan investasi yang baik di hari tua. Namun, petani responden yang mulai beralih ke usahatani tanaman perkebunan jumlahnya relatif sedikit, hanya sekitar 11 orang. Hal ini karena untuk beralih ke usahatani tanaman perkebunan seperti karet memerlukan modal yang relatif besar. Bantuan modal dari pemerintah daerah untuk pengembangan usaha perkebunan hanya untuk tanaman kelapa sawit dengan jumlah yang terbatas. Ini menyebabkan sebagian besar petani masih bertahan pada usahatani jagung. Hal inilah yang menyebabkan faktor umur tidak berpengaruh nyata terhadap efek inefisiensi teknis. Hasil yang hampir sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Mynt dan Kyi (2005) tentang efisiensi teknis usahatani padi sawah beririgasi di Myanmar. Menurut Mynt dan Kyi (2005), umur berpengaruh positif terhadap inefisiensi untuk petani skala kecil dan skala besar, sedangkan untuk petani skala menengah ditemukan sebaliknya. Sedangkan pada penelitian Kebede (2001), ditemukan bahwa umur berpengaruh negatif terhadap inefisiensi.
79
Pendidikan (Z2). Faktor pendidikan adalah jumlah waktu (tahun) yang dihabiskan petani untuk menjalani masa pendidikan formalnya. Variabel ini dianggap sebagai proxy dari kemampuan manajerial petani. Semakin lama pendidikan petani diduga semain mendorong petani untuk efisien dalam proses produksi dan penggunaan input-input produksi. Tabel 16 menunjukkan bahwa lama pendidikan berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat inefisiensi petani pada α 15 persen dengan tanda yang diperoleh negatif. Tanda tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Fenomena ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditempuh petani maka semakin tinggi kemampuan mereka untuk mengadopsi teknologi dan dapat menggunakan input secara proporsional sehingga akan meningkatkan kinerja dalam berusahatani jagung. Hal ini sama dengan penelitian Mynt dan Kyi (2005), Tzouvelekas et al. (2001) dan Kebede (2001). Menurut Kebede (2001), pendidikan meningkatkan kemampuan petani untuk mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang berguna tentang input-input produksi. Pengalaman (Z3). Pada beberapa penelitian sebelumnya, pengalaman dianggap sebagai proxy dari umur petani, khususnya pada sistem pertanian tradisional. Namun, Kebede (2001) menemukan bahwa petani yang berumur relatif tua tidak selalu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari petani yang lebih muda, sehingga pemisahan variabel dan pengalaman petani sebagai variabel yang berdiri sendiri dianggap relevan. Tabel 17 terlihat bahwa pengalaman petani berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis namun tidak nyata pada α 15 persen. Hal ini menunjukkan semakin berpengalaman, petani semakin tidak efisien dalam berproduksi dan dalam menggunakan input-input produksi. Hasil temuan ini diduga oleh beberapa faktor. Pertama, semakin lama mereka berusahatani jagung dan modal sudah
80
terkumpul, semakin mereka berusaha mengganti komoditas jagung dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti karet dan kelapa sawit. Ini terjadi umumnya pada petani yang memiliki lahan kurang dari 2 hektar. Hal ini mengakibatkan perhatian petani tidak lagi tercurah seluruhnya pada usahatani jagung. Pada beberapa petani responden, tanaman jagung hanya ditanam sebagai tanaman sela yang ditanam diantara tanaman karet dan kelapa sawit yang belum menghasilkan. Kedua, maraknya pertambangan emas ilegal dan batu akhir-akhir ini di sekitar daerah penelitian, terutama di sekitar Desa Tanjung. Keadaan ini mendorong petani menjadi buruh penambang untuk menambah pendapatan. Dengan menjadi penambang, petani memiliki kesempatan untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp 30 ribu – Rp 50 ribu per hari. Petani menambang emas selama beberapa hari dan baru kembali ke desanya saat akan melakukan kegiatan budidaya jagung, seperti: tanam, memupuk, menyemprot dan panen. Ini menyebabkan petani jarang melakukan pengontrolan terhadap areal tanaman jagungnya sehingga pemeliharaan tanaman jagung tidak optimal. Selain itu, meskipun petani berpengalaman, belum tentu menjalankan atau menggunakan teknologi usahatani jagung yang telah dikuasai atau yang diperoleh. Keanggotaan dalam Kelompok Tani (Z4). Faktor keanggotaan dalam kelompok tani berpengaruh negatif namun tidak nyata terhadap inefisiensi teknis pada taraf α 15 persen. Ini menunjukkan bahwa keanggotaan petani dalam kelompok tani akan meningkatkan efisiensi penggunaan inputnya. Petani yang menjadi anggota kelompok tani akan dapat: (1) meningkatkan pengetahuan melalui pendidikan non formal, (2) meningkatkan kemampuan manajerialnya, (3) meningkatkan aksesibilitas terhadap teknologi dan inovasi baru, dan (4) meningkatkan aksesibilitas terhadap bantuan kredit dan bantuan lainnya, karena umumnya disalurkan melalui kelompok tani. Adanya manfaat-manfaat dari
81
keanggotaan petani tersebut menyebabkan petani jagung di daerah penelitian yang menjadi anggota kelompok tani cenderung lebih efisien secara teknis. Jumlah petani responden yang menjadi anggota kelompok adalah 67.11 persen, sedangkan sisanya bukan anggota kelompok tani. Alasan petani tidak menjadi anggota kelompok adalah karena menganggap tidak ada manfaatnya atau konflik dengan ketua kelompok sebelumnya. Petani non kelompok tani ini ternyata juga memiliki akses terhadap modal dan sarana produksi melalui avalist. Avalist selain menyalurkan kredit dari bank, juga meminjamkan uangnya kepada petani non kelompok tani dengan persyaratan yang hampir sama dengan petani yang mendapat pinjaman dari bank. Ini juga merupakan salah satu alasan dari sebagian petani untuk tidak menjadi anggota kelompok lagi. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa varians dan parameter γ model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier. Dari Tabel 18 dapat diketahui bahwa parameter γ dugaan yang merupakan rasio dari varians efisiensi teknis (ui) terhadap varians total produksi (εi), diperoleh bernilai 0.892 dengan standar deviasi 0.150. Tabel 18. Varians dan Parameter γ dari Model Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Nilai Dugaan Varians dan Parameter γ 2 2 2 σs = σv + σu 0.099 γ = σu2 / σs2 0.892 Sumber : Analisis data primer, 2008
Simpangan Baku 0.140 0.150
t-Rasio 0.708 5.956
Secara statistik, nilai yang diperoleh tersebut nyata dari nol pada α = 0.01. Angka ini menunjukkan bahwa 89.2 persen dari variabel galat di dalam fungsi produksi menggambarkan efisiensi teknis petani atau 89.2 persen dari variasi hasil diantara petani responden disebabkan oleh perbedaan dari efisiensi teknis
82
dan sisanya sebesar 10.8 persen disebabkan oleh efek-efek stochastic seperti pengaruh iklim, cuaca, serangan hama penyakit serta kesalahan pemodelan. Pada proses produksi komoditas pertanian biasanya lebih dipengaruhi oleh peranan efek stochastic (vi) yang tidak terwakili pada model daripada efek-efek non stochastic seperti efek inefisiensi teknis. Fenomena tersebut membuktikan bahwa hampir semua variasi dalam keluaran dari produksi batas dianggap sebagai akibat dari tingkat pencapaian teknis efisiensi yang berkaitan dengan soal manajerial dalam pengelolaan usahatani. Beberapa hasil penelitian yang menggunakan analisis stochastic frontier memperoleh nilai parameter γ yang mendekati satu. Penelitian Daryanto (2000) terhadap petani di Jawa Barat memperoleh nilai parameter γ yang berkisar antara 0.8 – 0.99 untuk setiap musim tanam dan jenis irigasi. 6.3. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Penggunaan input-input produksi yang efisien pada usahatani jagung akan mengarah pada pertumbuhan tanaman yang optimal sehingga produksi yang dihasilkan dapat maksimal. Namun pada kenyataannya petani seringkali menggunakan sejumlah input produksi dengan ukuran tertentu berdasarkan faktor kebiasaan. Petani kurang memperhatikan proporsi penggunaan input dengan harga input dan produk marginal yang dihasilkan. Efisiensi alokatif dan ekonomis diperoleh melalui analisis dari sisi input produksi yang menggunakan harga input yang berlaku di tingkat petani. Fungsi produksi yang digunakan sebagai dasar analisis adalah fungsi produksi stochastic frontier. Fungsi produksi stochastic frontier diturunkan dengan menggunakan persamaan (3.17), sehingga (isocost frontier) sebagai berikut:
diperoleh fungsi biaya frontier
83
ln C = -3.667 + 0.941 ln Y + 0.421 ln P1 + 0.136 ln P2 + 0.082 ln P3 + 0.003 ln P4 + 0.020 ln P5 + 0.040 ln P6 + 0.298 ln P7 + 0.043 D
............................................................................
(6.2)
dimana : C Y P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 D
= = = = = = = = = =
biaya produksi jagung (Rp) hasil produksi jagung (kg pipilan kering) harga rata-rata (sewa) lahan, yaitu Rp 400 ribu per hektar harga rata-rata benih jagung, yaitu Rp 2789.47 per kg harga rata-rata pupuk organik, yaitu Rp 200 per kg harga rata-rata pupuk urea dan KCl, yaitu Rp 1965 per kg harga pupuk SP-36, yaitu Rp 1967 harga rata-rata pestisida, yaitu Rp 42 503.91 per liter harga (upah) tenaga kerja, yaitu Rp 5000 per jam dummy pengolahan tanah, dimana harga pengolahan tanah adalah Rp 325 ribu per hektar
Inefisiensi usahatani diasumsikan akan meningkat dengan kenaikan biaya produksi.
Berdasarkan hasil penurunan fungsi biaya dual frontier pada
persamaan (6.2), dapat dihitung nilai efisiensi alokatif dan ekonomis pada penelitian ini. Sebaran nilai efisiensi alokatif dan ekonomis petani responden disajikan pada Tabel 19 dan Gambar 4. Tabel 19. Sebaran Efisiensi Responden
0.30 - 0.39 0.40 - 0.49 0.50 - 0.59 0.60 - 0.69 0.70 - 0.79 0.80 - 0.89 0.90 - 1.00 Total Rata-rata Minimum Maksimum
Teknis,
Efisiensi Teknis Jumlah % 0 0.00 0 0.00 0 0.00 4 5.26 4 5.26 22 28.95 46 60.53 76 100.00 0.887 0.614 0.970
Sumber : Analisis data primer, 2008
Alokatif
dan
Efisiensi Alokatif Jumlah % 0 0.00 12 15.79 45 59.21 15 19.74 4 5.26 0 0.00 0 0.00 76 100.00 0.566 0.433 0.770
Ekonomis
Petani
Efisiensi Ekonomi Jumlah % 1 1.32 38 50.00 35 46.05 2 2.63 0 0.00 0 0.00 0 0.00 76 100.00 0.498 0.369 0.605
84
Penelitian ini menemukan bahwa nilai efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis masing-masing sebesar 88.7 persen, 56.6 persen dan 49.8 persen. Petani yang memiliki nilai efisiensi alokatif lebih besar dari 0.7 adalah masingmasing 5.26 persen. Petani yang memiliki nilai efisiensi alokatif yang lebih kecil daripada 0.7 jumlahnya cukup besar yaitu 94.74 persen. Tidak ada petani yang memiliki efisiensi ekonomis di atas 0.7. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani belum mencapai tingkat efisiensi yang diharapkan. Akibatnya keuntungan petani rendah karena terjadi inefisiensi biaya. Efisiensi alokatif petani responden berada pada kisaran 0.433 sampai 0.770 dengan rata-rata 0.566. Hal ini berarti, jika rata-rata petani responden dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif yang paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 26.50 persen (1 – 0.566/0.770), sedangkan pada petani yang paling tidak efisien, mereka akan dapat menghemat biaya sebesar 43.77 persen (1 – 0.433/0.770).
70 60 50 TE AE EE
40 30 20 10 0 0.0 - 0.1 0.1 - 0.2 0.2 - 0.3 0.3 - 0.4 0.4 - 0.5 0.5 - 0.6 0.6 - 0.7 0.7 - 0.8 0.8 - 0.9 0.9 - 1.0
Gambar 4. Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Petani Responden Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier
85
Efek gabungan dari efisiensi teknis dan alokatif menunjukkan bahwa efisiensi ekonomis petani responden berada pada kisaran 0.369 – 0.605. Hal ini berarti, jika rata-rata petani responden dapat mencapai tingkat efisiensi ekonomis yang paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 17.69 persen (1 – 0.498/0.605), sedangkan pada petani yang tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 39.01 persen (1 – 0.369/0.605). Jadi, berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa penanganan masalah inefisiensi alokatif lebih utama jika dibandingkan dengan masalah inefisiensi teknis dalam upaya pencapaian tingkat efisiensi ekonomis yang lebih tinggi. Y f(xi;β)
•
•
A
Px/Py
B
X2 Gambar 5.
X1
X
Kondisi Produksi yang Efisien Secara Teknis dan Inefisien Secara Alokatif
Fenomena efisiensi teknis yang tinggi namun efisiensi alokatif yang rendah dapat dijelaskan pada Gambar 5. Titik A dan B sama-sama berada pada pada fungsi produksi frontier nya sehingga di kedua titik ini telah efisensi secara teknis. Namun di titik A belum efisien secara alokatif sedangkan titik B telah efisien secara alokatif karena di titik B terjadi persinggungan antara kurva fungsi produksi frontier dengan garis rasio harga input-outputnya (Px/Py). Keuntungan maksimum tercapai jika produk marginal (PM) sama dengan rasio harga input-
86
output (Px/Py). Agar tercapai efisiensi alokatif maka penggunaan input X harus dikurangi dari X1 menjadi X2, sehingga akan tercapai keuntungan yang maksimum. Salah satu penyebab inefisiensi alokatif adalah penggunaan pupuk N (pupuk urea) yang berlebihan. Petani menggunaan pupuk N (pupuk urea) secara berlebihan karena: (1) harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga pupuk lainnya. Harga rata-rata pupuk urea adalah Rp 1210 per kg sedangkan harga SP-36 Rp 1675 dan KCl Rp 2725. Ini menyebabkan petani mengurangi penggunaan SP-36 dan KCl dan menggantinya dengan urea, dan (2) anggapan petani bahwa tanaman jagung yang subur adalah tanaman yang memiliki pertumbuhan vegetatif yang baik dan daunnya berwarna hijau. Pupuk urea menyebabkan variabel N dan K tidak berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf α 15 persen (lihat Tabel 15). Penggunaan pupuk N yang berlebihan menyebabkan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi. Untuk itu perlu dilakukan pengalokasian penggunaan pupuk N secara tepat. Tabel 20. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Responden Setelah Penurunan Penggunaan Pupuk N
0.30 - 0.39 0.40 - 0.49 0.50 - 0.59 0.60 - 0.69 0.70 - 0.79 0.80 - 0.89 0.90 - 1.00 Total Rata-rata Minimum Maksimum
Efisiensi Alokatif Jumlah % 0 0.00 3 3.95 52 68.42 16 21.05 4 5.26 1 1.32 0 0.00 76 100.00 0.581 0.449 0.804
Sumber : Analisis data primer, 2008
Efisiensi Ekonomi Jumlah % 1 1.32 29 38.16 46 60.53 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 76 100.00 0.512 0.381 0.590
87
Penurunan penggunaan pupuk urea dari rata-rata 447.51 kg per hektar menjadi 400 kg per hektar (turun 10.62 persen), ternyata mampu meningkatkan rata-rata tingkat efisiensi alokatif dari 0.566 menjadi 0.581 atau meningkat sebesar 2.65 persen, seperti terlihat pada Tabel 20. Ini berarti terjadi penghematan sebesar
2.65 persen. Efisiensi ekonomi yang merupakan efek
gabungan dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif juga mengalami peningkatan. Rata-rata efisiensi ekonomis meningkat dari 0.498 menjadi 0.512, atau naik sekitar 2.81 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dengan mengalokasikan penggunaan input secara tepat sesuai dengan harga inputnya akan menyebabkan peningkatan efisiensi alokatif. Peningkatan efisiensi alokatif ini akan menyebabkan penurunan biaya, sehingga keuntungan petani akan meningkat. Penggunaan input 400 kg per hektar bukanlah alokasi yang optimum secara ekonomi. Keuntungan maksimum tercapai jika nilai produksi marginal (NPM) sama dengan harga input (Px). Dengan demikian, alokasi penggunaan input yang optimum dapat diketahui. Namun angka yang dihasilkan umumnya tidak realistis karena kelemahan-kelemahan yang ada pada fungsi produksi Cobb-Douglas. Penyebab lain dari fenomena efisiensi alokatif yang rendah adalah informasi harga input dan output yang tidak sempurna dan penggunaan harga rata-rata dalam perhitungan. Menurut Morrison dan Balcombe (1992), informasi harga baik input maupun output di sektor pertanian cenderung tidak sempurna, sehingga keragaman harga input dan output tidak cukup digambarkan dengan harga rata-rata biasa.
88
VII. ANALISIS DAYA SAING DAN PENGARUH EFISIENSI TERHADAP DAYA SAING Efisiensi merupakan salah satu akar penentu daya saing. Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah karena produk tersebut mampu diproduksi secara efisien. Suatu produk yang diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga keuntungan akan makin meningkat. Dinamika lingkungan strategis menciptakan peluang baru sekaligus tantangan
baru.
Karena
perubahan
pasar
sangat
cepat
maka
dalam
pengembangan peningkatan produksi jagung harus mampu mengantisipasi pasar secara cermat dan tepat sehingga dapat memanfaatkan keunggulan komparatif dalam memproduksi dan melihat produk yang mempunyai keunggulan kompetitif tinggi. Pada bab ini, dengan menggunakan PAM akan dilihat daya saing usahatani jagung per hektar secara umum dan daya saing usahatani jagung jika nilai efisiensi alokatif dinaikkan. Efisiensi alokatif dinaikkan dengan cara mengubah alokasi penggunaan pupuk urea (pupuk N). 7.1. Analisis Daya Saing Tabel PAM digunakan untuk menganalisis daya saing komoditas jagung. Dari Tabel PAM dapat diketahui nilai PCR dan DRCR yang merupakan kriteria keunggulan kompetitif dan komparatif suatu komoditas. Hasil penyusunan Tabel PAM dapat dilihat pada Tabel 21. PCR (Private Cost Ratio) adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR menunjukkan ukuran efisiensi secara finansial. Nilai PCR menggambarkan berapa banyak sistem produksi usahatani jagung dapat dihasilkan untuk membayar semua faktor domestik yang
89
digunakannya, dan tetap dalam kondisi kompetitif. Nilai PCR adalah 0.56, ini berarti bahwa berarti sistem produksi usahatani jagung mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. Tabel 21. Tabel PAM Usahatani Jagung per Hektar di Kabupaten Tanah Laut Musim Tanam I Tahun 2006-2007 Tradable Input
Faktor Domestik
Profit
Privat 6 745 200 1 796 424 Sosial 7 057 700 2 365 753 Divergences -312 500 -569 330 Sumber : Analisis data primer, 2008 Keterangan : PCR = 0.56, DRCR = 0.61
2 771 741 2 860 981 -89 240
2 177 036 1 830 966 346 069
Penerimaan
Berdasarkan nilai PCR pula, dapat dikatakan bahwa komoditas jagung mempunyai keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan satu unit nilai tambah pada harga-harga privat hanya memerlukan kurang dari satu unit input domestik. Dengan kata lain bahwa daerah Kalimantan Selatan khususnya Kabupaten Tanah Laut memiliki kemampuan secara ekonomi dalam membiayai dan memproduksi jagung secara efisien dan secara finansial jagung yang dihasilkan dapat bersaing di pasar domestik dan internasional. Namun keuntungan maksimal dapat diperoleh apabila sistem produksi jagung mampu meminimumkan nilai PCR, dengan cara meminimumkan biaya faktor domestik atau memaksimalkan nilai tambahnya. DRCR (Domestic Resources Cost Ratio) adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya. Nilai DRCR merupakan kriteria keunggulan komparatif dari usahatani jagung dan menunjukkan kemampuan sistem produksi jagung dalam membiayai faktor domestiknya pada tingkat harga sosial. Semakin rendah nilai koefisien DRCR berarti daerah Kabupaten Tanah Laut mampu bertahan walaupun tanpa bantuan pemerintah karena memiliki sumber daya domestik yang diperlukan bagi pengembangan komoditas jagung.
90
Nilai DRCR adalah 0.61 yang berarti bahwa untuk menghasilkan 1 satuan nilai tambah diperlukan 0.61 satuan biaya input domestik yang kesemuanya dinilai dengan harga-harga bayangan. Sumber daya domestik tersebut antara lain lahan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman jagung, ketersediaan input benih, pupuk dan tenaga kerja. Dengan kata lain bahwa daerah Kabupaten Tanah Laut memiliki
keunggulan
komparatif
dalam
usahatani
jagung
dan
mampu
memanfaatkan sumber daya domestik yang ada untuk menggantikan jagung impor guna memenuhi kebutuhan sendiri. Berdasarkan nilai PCR dan DRCR, jagung di daerah penelitian memiliki daya saing terhadap jagung impor di pasar lokal. Ini sesuai dengan kondisi daerah penelitian. Jagung di daerah penelitian memiliki daya saing dari sisi waktu dan harga. Hasil panen jagung hampir dipastikan terserap pasar terutama untuk pakan ternak ayam. Kebutuhan pakan ternak di daerah penelitian telah mencapai 6 ribu ton per bulan atau 72 ribu ton per tahun, sedangkan produksi hanya mencapai 52 ribu ton per tahun. Selain untuk kebutuhan daerah itu sendiri, jagung juga dikirim ke provinsi lain seperti Kalimantan Timur dan Jawa Timur. Selain kedua daerah tersebut, jagung ini juga berpotensi untuk dikirim ke daerahdaerah lain yang memiliki waktu panen jagung berbeda. Di sisi harga, harga jagung ini daerah penelitian lebih murah. Bila mendatangkan jagung daerah daerah lain (P. Jawa) maka harga jagung akan lebih mahal Rp.100 – Rp.200 per kg. Harga jagung di daerah penelitian juga lebih murah daripada harga jagung impor. Dengan harga FOB jagung US$ 121 per ton di negara eksportir, harga jagung impor di tingkat petani di daerah penelitian adalah Rp 1425 per kg. Selain dari sisi harga, mendatangkan jagung dari luar juga menimbulkan masalah adanya ketidakpastian pasokan karena jalur transportasi laut yang rawan pada saat-saat tertentu karena faktor cuaca.
91
Namun demikian, diperlukan beberapa kebijakan yang operasional untuk mendorong daya saing potensial ini menjadi daya saing nyata, diantaranya: (1) menghilangkan atau mengurangi berbagai distorsi pasar yang menghambat perkembangan usahatani jagung, seperti penghapusan bea masuk impor sarana produksi pertanian, (2) berbagai kebijakan atau program dalam bidang penelitian dan pengembangan sehingga ditemukan varietas jagung yang sesuai dengan kondisi lahan setempat sehingga tingkat produktivitasnya meningkat, dan harga benih terjangkau, dan (3) menyediakan infrastruktur fisik maupun ekonomi sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas sentra-sentra produksi jagung terhadap pasar baik input maupun output. Peningkatan kualitas jagung juga perlu dilakukan. Berdasarkan standar mutu jagung impor, jagung di Tanah Laut umumnya memiliki Standar Mutu III, yaitu kadar air 18 persen dan butir rusak/kotoran 5 persen. Meskipun dengan kualitas tersebut jagung masih dapat diterima oleh pasar lokal, namun akan menjadi kendala jika jagung tersebut akan diekspor ke luar negeri. Jagung dalam bentuk pipilan dikatakan memiliki Standar Mutu I jika: kadar air maksimum 14 persen, butir warna lain maksimum 1 persen, butir pecah maksimum 1 persen dan kotoran maksimum 1 persen. Sehingga untuk kepentingan jangka panjang, diperlukan penyuluhan sejak dini tentang kualitas jagung pipilan kering tersebut agar petani mengetahui standar ekspor guna mengantisipasi produksi jagung melimpah secara lokal dan nasional. Akan tetapi kondisi sosial dan demografi mereka belum siap atau masih mempelajari teknologi standar dimaksud. Selain itu juga diperlukan kegiatan promosi. Promosi merupakan berbagai kegiatan untuk mengkomunikasikan produk dan sekaligus membujuk pelanggan potensial untuk membelinya. Kegiatannya dapat melalui pameran atau expo, pembuatan brosur/poster, pembuatan baliho, iklan-iklan melalui media cetak dan
92
elektronik yang berskala nasional. Dalam promosi yang perlu ditonjolkan adalah spesifikasi produk dan jaminan kualitas serta jaminan pelayanan yang memuaskan bagi calon konsumen, seperti ketepatan kualitas dan ketepatan waktu produk yang dikirim. Adanya pemberian discount, seperti cash dan/atau trade discount juga merupakan bagian dari promosi. 7.2. Pengaruh Efisiensi terhadap Daya Saing Pada Bab VI dikemukakan bahwa efisiensi ekonomis rata-rata petani jagung adalah 0.498 dengan kisaran 0.369 sampai 0.606. Rata-rata tingkat efisiensi ekonomi ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan dugaan sebelumnya, dimana tingkat efisiensi ekonomi usahatani jagung diharapkan di atas 0.7 mengingat Kabupaten Tanah Laut merupakan sentra produksi jagung. Tingkat efisiensi ekonomis yang rendah ini dikarenakan efisiensi alokatif yang rendah. Salah satu penyebab rendahnya efisiensi alokatif ini adalah penggunaan pupuk urea yang berlebihan. Jika dosis pupuk urea dikurangi menjadi 400 kg per hektar, maka akan menyebabkan penurunan biaya (terjadi penghematan biaya) sehingga efisiensi alokatif meningkat dari 0.566 menjadi 0.581 atau meningkat 2.65 persen. Dari Tabel 21 dan Tabel 22 terlihat bahwa jika efisiensi ekonomis ditingkatkan menjadi 0.581 maka baik keuntungan privatnya maupun keuntungan secara ekonomi akan naik. Keuntungan privat meningkat sekitar 2.77 persen sedangkan keuntungan secara ekonomi meningkat sekitar 4.81 persen. Kenaikan keuntungan ini karena ada penurunan biaya baik tradable input sebesar 3.20 persen (privat) dan
3.53 persen (sosial). Artinya dengan
peningkatan efisiensi maka akan terjadi penghematan sehingga keuntungan yang diperoleh pun akan meningkat.
93
Peningkatan efisiensi alokatif ternyata juga menurunkan perbedaan (divergence) antara biaya dalam harga privat dan harga bayangan/sosial. Divergence merupakan penyimpangan karena distorsi kebijakan dan kegagalan pasar. Penurunan divergence menunjukkan bahwa semakin efisien, divergensi akibat distorsi kebijakan atau kegagalan pasar dapat ditekan. Tabel 22. Tabel PAM Usahatani Jagung per Hektar Jika Efisiensi Alokatif Ditingkatkan Menjadi 0.581 di Kabupaten Tanah Laut Musim Tanam I Tahun 2006-2007 Tradable Input
Faktor Domestik
Profit
Privat 6 745 200 1 738 937 Sosial 7 057 700 2 282 160 Divergences -312 500 -543 224 Sumber : Analisis data primer, 2008 Keterangan : PCR = 0.55, DRCR = 0.60
2 768 866 2 856 574 -87 707
2 237 397 1 918 966 318 431
Penerimaan
Tabel 22 memperlihatkan bahwa dengan peningkatan nilai efisiensi alokatif dari 0.566 menjadi 0.581 menjadikan tingkat daya saing meningkat pula. Hal ini ditunjukkan dengan nilai PCR dan DRCR yang makin turun. Nilai PCR turun dari 0.56 menjadi 0.55, sedangkan DRCR turun dari 0.61 menjadi 0.60. Penurunan nilai PCR dan DRCR disebabkan penurunan tradable input karena penurunan penggunaan pupuk urea. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat efisiensi maka daya saing jagung akan semakin meningkat pula, meski peningkatannya kecil. Efisiensi ekonomis yang masih rendah (rata-rata 0.498) dikarenakan alokasi penggunaan pupuk urea yang tidak tepat. Perbedaan harga antara pupuk urea dengan pupuk KCl dan SP-36 diduga menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk KCl dan SP-36, dan menggantinya dengan menambah penggunaan pupuk urea. Dalam rangka meningkatkan efisiensi, petani hendaknya menggunakan proporsi input yang tepat.
94
Disisi pemerintah, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, pemerintah hendaknya lebih menekankan pada kebijakan di sektor input, seperti memberikan subsidi untuk input asing sehingga dapat menurunkan harga input asing di pasar domestik menjadi sama dengan harga dunia. Dengan demikian diharapkan harga input di tingkat petani, diantaranya pupuk KCl dan SP-36, dapat diturunkan. Kebijakan di sisi input sulit dilakukan pada input-input tertentu seperti pupuk. Kebijakan subsidi pupuk untuk pertanian memang akan membuat harga pupuk di tingkat petani akan turun sehingga menguntungkan petani, tapi jika tidak ada mekanisme dan pengawasan yang baik akan membuat pupuk bersubsidi rentan untuk disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk dijual ke perusahaan-perusahaan perkebunan atau pengolahan kayu. Subsidi yang seharusnya diperuntukkan petani menjadi tidak tepat sasaran. Input yang memungkinkan untuk disubsidi adalah benih jagung. Pemerintah Daerah telah mensubsidi benih jagung sebesar Rp 25 ribu per kg untuk musim tanam 2006/2007, dan kebijakan ini selayaknya tetap dilanjutkan. Kebijakan lain yang dapat dilakukan adalah kebijakan di sisi output. Harga jagung Musim Tanam I tahun 2006-2007 ditetapkan sebesar Rp 1400 per kg jagung pipilan kering. Harga ini merupakan ketetapan pemerintah berdasarkan kesepakatan antara pemerintah, pedagang pengumpul avalist yang tergabung dalam KAJATA, peternak dan petani. Tingkat harga ini masih bisa ditingkatkan seiring dengan peningkatan harga pupuk dan obat-obatan. Peningkatan harga jagung akan menyebabkan jagung menjadi tidak kompetitif dari sisi harga. Dalam jangka panjang, perbaikan insfrastruktur transportasi harus dilakukan. Pengiriman jagung terutama ke Jawa selama ini langsung
menggunakan
truk.
Truk
umumnya
menyeberang
dari
Jawa
menggunakan kapal jenis Roro dengan membawa barang-barang dagangan,
95
kemudian kembali ke Jawa dengan memuat hasil-hasil produksi pertanian dari Kalimantan Selatan termasuk jagung. Sistem pengangkutan seperti ini membuat biaya pengangkutan rata-rata menjadi mahal. Biaya pengangkutan akan semakin mahal apabila terjadi hambatan dalam pelayaran kapal akibat pendangkalan alur Barito atau cuaca buruk. Menurut WTO (2004), adanya pengangkutan input dan output (logistic services) yang baik dan kompetitif akan meningkatkan efisiensi ekonomi dan daya saing secara keseluruhan. Insfrastruktur yang baik akan membuat biaya angkut akan turun sehingga diharapkan petani akan memperoleh harga output yang lebih baik dan harga input akan dapat ditekan akibat adanya efisiensi pengangkutan. Disisi konsumen, total harga yang dibayar konsumen akan lebih rendah.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung lahan kering dan tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis petani
jagung
di
Kabupaten
Tanah
Laut
serta
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya. Selain itu juga menganalisis daya saing usahatani jagung. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Produksi jagung secara nyata dipengaruhi secara positif oleh penggunaan luas lahan, benih, pupuk organik, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan dummy olah tanah. Sedangkan pupuk N dan K tidak berpengaruh nyata. Peningkatan produksi dengan ekstensifikasi masih bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering yang belum digarap. 2. Rata-rata petani jagung di daerah penelitian telah efisien secara teknis, tetapi belum efisien secara alokatif dan ekonomis. Hal ini karena penggunaan input yang berlebihan sehingga kurang efisien. Penggunaan pupuk N sesuai rekomendasi akan menyebabkan kenaikan efisiensi alokatif dan ekonomis. Faktor umur, pendidikan, pengalaman dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat efisiensi teknis petani. 3. Komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dan dianggap mampu membiayai input domestiknya. 4. Peningkatan efisiensi alokatif, dengan cara menurunkan penggunaan pupuk N menjadi sesuai rekomendasi, menyebabkan daya saing meningkat.
97
8.2. Saran Kebijakan Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, maka dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Mengingat produksi jagung diantaranya dipengaruhi secara nyata oleh luas lahan garapan dan kondisi areal yang masih memungkinkan, maka disarankan untuk melakukan ekstensifikasi penanaman jagung guna meningkatkan produksi. Untuk itu petani perlu dirangsang untuk memperluas lahan garapannya. Caranya diantaranya dengan insentif harga input dan output. Penetapan harga output sebesar Rp 1400 per kg masih dirasakan rendah bagi petani. 2. Untuk meningkatkan efisiensi ekonomis disarankan kepada petani untuk lebih menfokuskan
pada
peningkatan
efesiensi
alokatif
yaitu
dengan
memanfaatkan input secara proporsional sesuai kebutuhan sehingga terjadi penghematan biaya. 3. Karena petani telah efisien secara teknis maka untuk meningkatkan produksi perlu dilakukan introduksi teknologi baru antara lain penggunaan benih unggul yang lebih tinggi produktivitasnya dan lebih cocok dengan kondisi agroklimat setempat dan mekanisasi pertanian. 4. Pemerintah agar lebih terfokus kepada lagi dalam membantu petani dengan mengeluarkan kebijakan input-output yang menguntungkan petani. Dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomis dan daya saing, pemerintah hendaknya lebih menekankan pada kebijakan di sektor output dengan memberikan
ketetapan
insfrastruktur transportasi.
harga
yang
lebih
tinggi
dan
memperbaiki
98
8.3. Saran Penelitian Lanjutan 1. Penggunaan model fungsi produksi yang lain seperti fungsi produksi translog, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pada fungsi produksi Cobb Douglas, dan memasukkan variabel biaya lain-lain (biaya pengangkutan dan pasca panen). 2. Memasukkan faktor-faktor yang menjadi penyebab inefisiensi yang lebih sesuai, diantaranya: pendapatan total rumahtangga petani, pendapatan di luar usahatani, dependency ratio, luas total lahan garapan (termasuk tanaman selain jagung) , teknologi dan sumber modal. 3. Menentukan penggunaan input yang optimum secara ekonomi dengan memperhatikan kondisi agroklimat lahan usahatani sehingga tercapai efisiensi usahatani.
4. Membandingkan tingkat efisiensi dan daya saing jagung di dua musim tanam untuk melihat kemungkinan untuk memperluas luas tanam per tahun melalui peningkatan frekuensi penanaman per tahun.
99
DAFTAR PUSTAKA Aigner, D.J., C. A. K. Lovell and P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics, 6 (1) : 21-37. Amang, B. 1993. Ekonomi Perberasan, Jagung dan Minyak Sawit di Indonesia. Dharma Karsa Utama, Jakarta. Asian Development Bank. 1992. Competitive and Comparative Advantage in Tea: Indonesia and Sri Lanka. In: Comparative Advantage Study of Selected Industrial Crops in Asia. Draft Final Report RETA 5382. The Pragma Corporation, Falls Church. Badan Pusat Statistik. 2006. Berita Resmi Statistik No. 47/IX, 1 September 2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Laut. 2006. Tanah Laut dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik, Kabupaten Tanah Laut, Pelaihari. Battese, G. E. 1992. Frontier Production Function and Technical Effeciency: A Survey of Empirical Applications in Agricultural Economics. Journal of Agricultural Economics, 7 (1) : 185-208. Bakhshoodeh, M. and K. J. Thomson. 2001. Input and Output Technical Efficiencies of Wheat Production in Kerman, Iran. Journal of Agricultural Economics, 24 (3) : 307-313. Binici, T., V. Demircan and C. R. Zulauf. 2006. Assessing Production Efficiency of Dairy Farm in Burdur Province, Turkey. Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics, 107 (1) : 1-10. Bravo-Ureta, B. E. and A. E. Pinheiro. 1993. Efficiency Analysis of Developing Country Agriculture: A Review of the Frontier Function Literature. Agricultural and Resource Economics Review, 22 (1) : 88-101. Coelli, T. 1996. A Guide to FRONTIER Version 4.1: A Computer Program for Stochastic Frontier Production and Cost Function Estimation. Centre for Efficiency and Productivity Analysis, University of New England, Armidale. Coelli, T., D. S. P. Rao and G. E. Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publishers, Boston. Cooper, D. R. dan C. W. Emory. 1996. Metode Penelitian Bisnis. Jilid 1. Erlangga, Jakarta.
100
Curtiss, J. 2001. Technical Efficiency and Its Consequences Upon the Competitiveness of Czech Agriculture in Late Transition. In: Frohberg, K (eds). Proceedings of IAMO/ATB Workshop: Approaching Agricultural Techology and Economic Development of Central and Eastern Europe, 2nd – 3rd July 2001. Institut fűr Agrartechnik Bornim e.V., Postdam-Bornim. http://www.atb-potsdam.de/TA/IAMO/Buch_27.pdf. Accessed: March 31, 2008. Daryanto, H. K. S. 2000. Analysis of the Technical Efficiency of Rice Production in West Java Province, Indonesia: A Stochasic Frontier Production Function Approach. Ph.D Thesis. University of New England, Armidale. Debertin, D. L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company, New York. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian, Jakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut. 2004. Gerakan 100 Ribu Ton Jagung di Kabupaten Tanah Laut. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten Tanah Laut, Pelaihari. _______________________________________________. 2006. Profil Usaha Agribisnis Jagung Kabupaten Tanah Laut. Pemerintah Kabupaten Tanah Laut, Pelaihari. ________________________________________________. 2007. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten Tanah Laut, Pelaihari. Doll, J. P. and F. Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Application. Second Edition. John Willey and Sons, New York. Emilya. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Serta Dampak Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Komodias Tanaman Pangan di Propinsi Riau. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Erwidodo, Hermanto dan H. Pudjihastuti. 2003. Impor Jagung: Perlukah Tarif Impor Diberlakukan? Jawaban Analisis Simulasi. Jurnal Agro Ekonomi, 21.(2) : 175-195. FAO, 1999. The Competitiveness of the Czech Agro-Food Sector In The Context of EU Accession. Project Report 1. VÚZE, Praha. Farrell, M. J. 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of Royal Statistic Society, Series A : 253-81. Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi ke-2. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
101
Greene, W. H. 1993. The Econometrics Approach to Efficiency Analaysis. In: Fried, H.O., C. A. K. Lovell and S. S. Schmidt (Eds). The Measurement of Productive Efficiency. Oxford University Press, New York. Hidayani, S. 2004. Kajian Daya Saing Komoditas Karet Kalimantan Selatan. Tesis Magister Pertanian. Program Pascasarjana, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Imron, A. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Kinerja Pasar Jagung dan Produk Turunannya di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jondrow, J., C. A. K. Lovell, I. S. Materov and P. Schmidt. 1982. On Estimation of Technical Inefficiency in the Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Econometrics, 19 (1) : 233-238. Kadariah dan C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Kariyasa, K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga Dasar Beras Indonesia di Pasar Dunia. Analisis Kebijakan Pertanian, 1 (4) : 315330. Kariyasa, K., B. M. Sinaga dan M. O. Adnyana. 2004. Keterkaitan Pasar Jagung, Pakan, dan Daging Ayam Ras di Indonesia. Forum Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, 22.(4).: 307-327. Kebede, T. A. 2001. Farm Household Technical Effeciency: A Stochastic Frontier Analysis, A Study of Rice Producers in Mardi Watershed in the Western Development Region of Nepal. Master Thesis. Department of Economics and Social Sciences, Agricultural University of Norway, Norway. http://www.ub.uib.no/elpub/NORAD/2001/NLH/thesis01.pdf. Accessed: December 14, 2006. Kumbakhar, S. C. and C. A. K. Lovell. 2000. Stochastic Frontier Analysis. Cambridge University Press, Melbourne. Krugman, P. R. and M. Obstfeld 2000. Internasional Economics. Addison-Wesley Publishing Company, Boston. Lau, L. J. and P. A. Yotopoulos. 1971. A Test for Relative Efficiency and Application to Indian Agriculture. The American Economic Review, 61 (1) : 94-109. Mahfudz, G., Y. Azis dan H. Heryani. 2004. Perencanaan Bisnis Membangun Desa Mandiri Melalui Agribisnis Jagung di Kabupaten Tanah Laut. Laporan Akhir. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tanah Laut, Pelaihari.
102
Mathijs, E. and L. Vranken, 1999. Determinants of Technical Efficiency in Transition Agriculture: Evidence from Bulgaria and Hungary. In: Micro Economic Analysis of Rural Housholds and Enterprises in Transition Countries. Working Paper Series 1. EU Phare ACE and the World Bank/ECSSD/DECRG, Phare. Monke, E. A. and E. S. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press, London. Morrison J. and K. Balcombe. 1992. Policy Analysis Matrices: Beyond Simple Sensitivity Analysis. Journal of International Development, 14 (4): 459 – 471. Myint, T. and T. Kyi. 2005. Analysis of Technical Efficiency of Irrigated Rice Production System in Myanmar. Presented in: Conference on International Agricultural Research for Development, Stuttgart-Hohenheim, October 1113, 2005. http://www.tropentag.de. Accessed: December 17, 2006. Noorginayuwati. 1987. Analisis Sistem Surjan di Lahan Pasang Surut: Kasus Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Tesis Magister. Fakultas Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ogundari, K. and S. O. Ojo. 2006. An Examination of Technical, Economic and Allocative Efficiency of Small Farms: The Case Study of Cassava Farmers in Osun State of Nigeria. Journal of Central European Agriculture, 7 (3) : 423-432. Oktaviani, R. 1991. Efisiensi Ekonomi dan Dampak Kebijaksanaan Insentif Pertanian pada Produksi Komoditas Pangan di Indonesia. Tesis Magister Sains. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Park, K. J. 2001. Corn Production in Asia. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pasific Region, Taipei. Pearson, P., S. Bahri and C. Gostch. 2003. Is Rice Profitability in Indonesia Still Profitable?. FPSA Working Paper, February 2003. Stanford University, California. Pearson, P., C. Gostch dan S. Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor, Jakarta. Purmiyanti, S. 2002. Analisis Produksi dan Daya Saing Bawang Merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ramli, R. dan D. K. S. Swastika. 2005. Analisis Keunggulan Kompetitif Beberapa Tanaman Palawija di Lahan Pasang Surut Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 8 (1) : 67-77. Redaksi Agromedia. 2007. Petunjuk Pemupukan. Agromedia Pustaka, Jakarta.
103
Rusastra, I. W. 1996. Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi, dan Perdagangan Internasional Kedelai Indonesia. Dalam: Amang, B. dan M.H. Sawit (Editor). Ekonomi Kedelai Indonesia. IPB Press, Bogor. Rusastra, I. W., B. Rachman dan S. Friyatno. 2004. Analisis Daya Saing dan Struktur Proteksi Komoditas Palawija. Dalam: Saliem et al. (Editor). Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Prentice Hall-Erlangga, Jakarta. Simanjuntak, S. B. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, M. dan Sumaryanto. 2003. Analisis Daya Saing Usahatani Kedelai di DAS Brantas. Jurnal Agro Ekonomi, 21 (1) : 50-71. Solahuddin, S. 1999. Pembangunan Pertanian Era Reformasi. Departemen Pertanian, Jakarta. Subandi., Zubachtirodin dan A. Nadjamuddin. 2005. Produksi Jagung Melalui Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya dan Tanaman Terpadu pada Lahan Kering Masam. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan, 25 Agustus 2005, Bogor. Sumbodo, D. P. 2005. Daya Saing dan Produktivitas Indonesia dan NegaraNegara ASEAN. http://www.apindo.or.id/images/_res/ProductivitasAseanDidik.pdf. Diakses: 15 Desember 2006. Suprapto. 2006. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Produksi Jagung di Propinsi Jawa Timur. Buletin Penelitian No.10 Tahun 2006. Universitas Mercu Buana, Jakarta. Suprihatini, R., B. Dradjat dan B. Sulistyo. 1996. Analisis Daya Saing Teh Hitam Indonesia. Jurnal Pengkajian Agribisnis Perkebunan, 2 (1) : 1-7. Swastika, D. K. S. 1996. The Measurement of Total Factor Productivity Growth Using Production Frontier: A Case of Irrigated Rice Farming in West Java. Jurnal Agro Ekonomi, 15 (1) : 1-19. Teken, I. B. dan S. Asnawi. 1981. Teori Ekonomi Mikro. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tzouvelekas, V., C. J. Pantzios and C. Fotopoulos. 2001. Economic Efficiency in Organic Farming: Evidence from Cotton Farms in Viotia, Greece. Journal of Agricultural and Applied Economics, 33 (1): 34 – 48.
104
Van der Tak, H. G. 1969. The Economic Choice Between Hydroelectric and Thermal Power Developments. Johns Hopkins University Press, Baltimore. WTO. 2004. Logistic Services: Communication from Australia, Hong Kong, China, Liechtenstein, Mauritius, New Zealand, Nicaragua, Switzerland and the Separate Customs Territory of Taiwan, Penghu, Kinmen and Matsu. Council for Trade in Service Special Occasion, 25th June 2004. World Trade Organization, New York.
LAMPIRAN
106
Lampiran 1. Peta Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan
107
Lampiran 2. Data Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Jagung Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Musim Tanam I Tahun 20062007
No.
Y 20 000 9 900 6 800 6 300 8 500 16 500 8 000 13 600 12 525 16 000 7 200 13 000 7 620 7 117 7 316 6 678 7 070 9 123 6 681 3 500 3 800 4 000 16 380 2 987 6 000 4 800
Lahan X1 4.0 1.5 1.5 1.5 1.5 3.0 1.5 2.0 3.0 3.0 1.5 3.0 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 2.0 1.5 1.0 1.0 1.0 3.0 0.5 1.5 1.0
Benih
P.Orgn
X2 60 57 25 22.5 25 42 25 40 49 50 30 30 30 30 30 25 30 40 30 20 20 10 45 10 30 15
X3 10 800 3 825 2 475 2 700 4 500 6 750 4 500 2 700 4 500 4 500 3 000 6 750 2 250 4 500 4 500 4 500 4 500 6 750 4 500 2 250 3 150 2 250 8 235 1 575 6 750 2 250
Pupuk NK X4 1830.00 675.00 420.00 420.00 885.00 1260.00 480.00 1080.00 622.50 795.00 510.00 757.50 360.00 465.00 450.00 405.00 510.00 570.00 510.00 186.40 231.40 273.00 990.00 165.00 397.50 183.00
Pupuk P X5 480.0 90.0 60.0 60.0 120.0 180.0 120.0 180.0 60.0 120.0 60.0 60.0 90.0 60.0 0.0 0.0 60.0 120.0 60.0 3.2 3.2 24.0 180.0 30.0 60.0 24.0
Pestisida X6 38.0 21.6.0 11.8.0 14.0 14.0 36.0 14.0 24.0 24.0 12.0 12.0 37.0 12.0 5.8 10.8 10.6 5.6 27.8 10.8 4.2 4.0 4.0 8.1 2.4 6.0 5.6
Tenaga Kerja X7 1580.46 746.48 571.55 455.28 553.07 1308.42 594.53 926.44 1333.98 1225.56 615.44 983.75 650.41 528.22 532.60 475.72 528.22 717.71 475.72 296.18 294.35 296.55 1056.83 287.88 828.45 331.30
Dummy olah tanah X8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
Umur
Pendidikan
Pengalaman
Z1 45 37 48 28 50 40 50 36 30 59 50 43 50 30 54 32 40 50 32 50 65 55 71 54 35 80
Z2 12 2 6 9 6 6 6 6 6 6 6 6 2 9 9 6 9 6 6 3 3 3 6 6 6 0
Z3 23 19 19 5 19 22 18 19 15 18 3 17 29 18 18 18 18 18 18 6 12 22 28 37 11 28
Kelompok Tani Z4 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0
107
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Output
108
Lampiran 2. Lanjutan
No.
Y 5 408 7 800 20 000 10 670 6 000 9 600 5 000 19 130 16 000 12 000 11 000 6 000 19 200 7 500 9 000 7 500 8 000 8 000 6 750 10 000 7 000 4 000 4 000 1 500 6 000 5 000 7 500
Lahan X1 1.5 2.0 5.0 2.0 1.5 2.0 1.5 3.0 4.0 3.0 2.0 1.5 4.0 1.5 1.5 1.5 2.0 1.5 1.5 2.0 1.5 1.0 1.0 0.5 2.0 1.0 1.5
Benih
P.Orgn
X2 30 37.0 60.0 40.0 22.5 30.0 30.0 75.0 80.0 60.0 40.0 22.5 64.0 16.5 27.0 22.5 20.0 30.0 30.0 40.0 22.5 20.0 16.0 10.0 40.0 20.0 30.0
X3 3 600 3 600 18 000 18 000 4 725 4 500 2 250 13 500 18 000 13 500 9 000 9 000 18 000 4 050 6 750 5 850 5 400 4 500 5 400 6 300 5 850 4 500 3 200 3 150 720 6 750 6 750
Pupuk NK X4 617.00 662.00 1414.00 408.00 315.00 295.60 165.00 498.00 840.00 285.00 420.00 420.00 960.00 161.25 325.20 210.00 165.00 210.00 390.00 240.00 212.00 234.50 390.00 120.00 435.00 210.00 382.50
Pupuk P X5 16.0 16.0 32.0 24.0 45.0 12.8 30.0 24.0 120.0 60.0 60.0 60.0 240.0 60.0 99.6 30.0 30.0 30.0 30.0 60.0 16.0 16.0 30.0 30.0 120.0 30.0 45.0
Pestisida X6 4.6 1.8 6.0 8.4 6.0 7.0 3.2 9.0 20.0 7.4 9.6 4.4 23.2 3.0 12.0 6.0 6.0 9.4 9.0 5.2 6.0 1.0 8.0 0.5 10.0 2.5 5.6
Tenaga Kerja X7 563.13 767.63 1860.00 597.50 489.30 552.48 346.35 810.60 1037.40 560.88 485.45 352.05 1385.02 546.29 506.73 591.12 482.86 470.54 451.71 543.25 620.06 268.00 323.40 130.86 378.00 407.75 418.22
Dummy olah tanah X8 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0
Umur
Pendidikan
Pengalaman
Z1 45 40 47 28 60 40 60 34 40 28 32 39 37 60 39 23 55 56 77 35 35 61 36 47 50 23 24
Z2 4 5 9 6 6 6 6 6 9 6 6 6 9 3 9 6 6 6 3 9 6 9 6 5 4 12 6
Z3 28 28 28 7 5 3 29 13 17 4 10 12 11 10 5 5 30 5 30 1 17 7 8 12 15 3 10
Kelompok Tani Z4 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0
108
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Output
109
Lampiran 2. Lanjutan
No. 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76
Output Y 6 000 4 000 10 000 20 000 50 000 28 000 30 000 19 000 20 000 8 500 5 564 10 000 8 000 11 000 10 000 6 500 26 000 28 000 8 000 4 000 18 000 5 250 5 000
Lahan
Benih
P.Orgn
X1 2.0 2.0 2.0 4.0 10.0 5.0 5.0 4.0 4.0 1.5 1.0 3.0 2.0 2.0 2.0 2.0 4.0 4.0 3.0 1.0 3.0 1.0 1.0
X2 30.0 40.0 30.0 60.0 160.0 85.0 100.0 75.0 75.0 25.0 15.0 50.0 30.0 30.0 60.0 20.0 60.0 68.0 45.0 15.0 45.0 15.0 15.0
X3 6 300 9 000 9 000 9 000 45 000 22 500 22 500 14 400 24 750 6 750 4 500 9 000 6 750 6 750 6 750 3 375 14 400 12 600 13 500 3 150 10 800 4 050 4 500
Pupuk NK X4 420.00 360.00 420.00 626.50 2 710.00 637.50 272.50 874.00 964.00 406.00 196.00 450.00 337.50 379.00 334.00 165.00 1 028.00 930.00 472.50 196.00 501.00 240.00 167.00
Pupuk P X5 60.0 0.0 60.0 32.0 380.0 75.0 80.0 32.0 32.0 38.0 8.0 0.0 0.0 32.0 32.0 30.0 64.0 120.0 0.0 8.0 48.0 60.0 16.0
Pestisida X6 11.6 6.0 5.0 24.0 60.0 10.5 17.5 28.2 33.0 6.5 7.0 12.0 6.5 2.3 3.0 7.5 12.8 46.8 10.0 2.0 13.8 12.0 5.0
Tenaga Kerja X7 421.40 407.40 794.29 1410.08 3770.00 1665.00 1925.00 1538.00 1722.00 500.50 372.88 632.00 502.00 641.00 643.25 669.75 1894.00 1851.50 1252.50 335.50 1065.25 479.88 419.13
Dummy olah tanah X8 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1
Umur
Pendidikan
Pengalaman
Z1 40 72 60 25 60 37 31 40 50 47 42 40 40 57 30 56 44 53 58 47 60 46 55
Z2 3 3 6 6 6 12 8 6 9 6 12 5 2 5 6 3 5 3 0 6 0 1 6
Z3 30 7 5 10 7 5 6 9 20 8 6 7 10 26 2 22 20 16 23 17 5 6 10
Kelompok Tani Z4 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1
109 1
110
Lampiran 3. Listing Program SAS 9.0 untuk Pendugaan Fungsi Produksi Metode OLS Tanpa Retriksi options nodate nonumber; data maize; set analisis; lnY = log(Y); lnX1=log(X1); lnX2=log(X2); lnX3=log(X3); lnX4=log(X4); lnX5=log(X5); lnX6=log(X6); lnX7=log(X7); /*deskripsi variabel*/ label lnY = 'produksi jagung' lnX1 = 'lahan' lnX2 = 'benih' lnX3 = 'pupuk organik' lnX4 = 'pupuk N dan K' lnX5 = 'pupuk P' lnX6 = 'pestisida' lnX7 = 'tenaga kerja' X8 = 'pengolahan tanah'; run; proc reg data=maize; cobb : model lnY=lnX1 lnX2 lnX3 lnX4 lnX5 lnX6 lnX7 X8; /*restrict lnX1+lnX2+lnX3+lnX4+lnX5+lnX6+lnX7=1;*/ run;
111
Lampiran 4. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS Tanpa Retriksi dengan Menggunaan Program SAS 9.0 The SAS System
The REG Procedure Model: cobb Dependent Variable: lnY produksi jagung
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
8
26.44975
3.30622
121.21
<.0001
Error
67
1.82755
0.02728
Corrected Total
75
28.27730
Source
Root MSE
0.16516
R-Square
0.9354
Dependent Mean
9.07930
Adj R-Sq
0.9277
Coeff Var
1.81905
Parameter Estimates DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
5.25987
0.64070
8.21
<.0001
lnX1
lahan
1
0.45048
0.12996
3.47
0.0009
lnX2
benih
1
0.13921
0.08891
1.57
0.1221
lnX3
pupuk organik
1
0.10208
0.04432
2.30
0.0244
lnX4
pupuk N dan K
1
0.00459
0.05084
0.09
0.9283
lnX5
pupuk P
1
0.03172
0.00657
4.82
<.0001
lnX6
pestisida
1
0.05697
0.03369
1.69
0.0955
lnX7
tenaga kerja
1
0.29353
0.08552
3.43
0.0010
x8
pengolahan tanah
1
0.02338
0.04573
0.51
0.6108
Variable
Label
Intercept
112
Lampiran 5. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi dengan Metode OLS Dengan Retriksi Lahan dengan Menggunaan Program SAS 9.0 The SAS System
The REG Procedure Model: cobb Dependent Variable: lnY produksi jagung
Analysis of Variance
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
1.83938
0.26277
9.17
<.0001
Error
68
1.94880
0.02866
Corrected Total
75
3.78818
Source
Root MSE
0.16929
R-Square
0.4856
Dependent Mean
8.43393
Adj R-Sq
0.4326
Coeff Var
2.00724
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
5.38613
0.65385
8.24
<.0001
lnX2
benih
1
0.11683
0.09048
1.29
0.2010
lnX3
pupuk organik
1
0.10059
0.04542
2.21
0.0302
lnX4
pupuk N dan K
1
-0.01771
0.05097
-0.35
0.7293
lnX5
pupuk P
1
0.02972
0.00667
4.46
<.0001
lnX6
pestisida
1
0.06510
0.03431
1.90
0.0620
lnX7
tenaga kerja
1
0.31361
0.08712
3.60
0.0006
x8
pengolahan tanah
1
0.00982
0.04641
0.21
0.8331
Variable
Label
Intercept
113
Lampiran 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Rata-Rata (OLS) dan Fungsi Produksi Stochastic Frontier (MLE) dengan Menggunakan Frontier version 4.1c Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)
instruction file = terminal data file = maize8.dta Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient
standard-error
t-ratio
beta 0 0.52600580E+01 0.64068165E+00 0.82100963E+01 beta 1 0.45049838E+00 0.12996188E+00 0.34663887E+01 beta 2 0.13921022E+00 0.88909182E-01 0.15657576E+01 beta 3 0.10207703E+00 0.44320572E-01 0.23031524E+01 beta 4 0.45405845E-02 0.50841475E-01 0.89308669E-01 beta 5 0.31716937E-01 0.65749038E-02 0.48239393E+01 beta 6 0.56975497E-01 0.33690245E-01 0.16911571E+01 beta 7 0.29354542E+00 0.85525243E-01 0.34322665E+01 beta 8 0.23370815E-01 0.45731212E-01 0.51104734E+00 sigma-squared 0.27277002E-01 log likelihood function = 0.33815252E+02 the estimates after the grid search were : beta 0 0.53990916E+01 beta 1 0.45049838E+00 beta 2 0.13921022E+00 beta 3 0.10207703E+00 beta 4 0.45405845E-02 beta 5 0.31716937E-01 beta 6 0.56975497E-01 beta 7 0.29354542E+00 beta 8 0.23370815E-01 delta 0 0.00000000E+00 delta 1 0.00000000E+00 delta 2 0.00000000E+00 delta 3 0.00000000E+00 delta 4 0.00000000E+00 sigma-squared 0.43377164E-01 gamma 0.70000000E+00
114
Lampiran 3. Lanjutan iteration = 0 func evals = 20 llf = 0.34270750E+02 0.53990916E+01 0.45049838E+00 0.13921022E+00 0.10207703E+00 0.45405845E-02 0.31716937E-01 0.56975497E-01 0.29354542E+00 0.23370815E-01 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.43377164E-01 0.70000000E+00 gradient step iteration = 5 func evals = 42 llf = 0.35872189E+02 0.53992630E+01 0.45122062E+00 0.13982850E+00 0.10162556E+00 0.61794380E-02 0.24147778E-01 0.55088824E-01 0.29526582E+00 0.26767808E-01-0.67296918E-03 0.99505745E-03-0.17520485E-01 0.29992248E-02-0.70507682E-02 0.43843357E-01 0.70090037E+00 iteration = 10 func evals = 61 llf = 0.36721151E+02 0.54040108E+01 0.44978861E+00 0.14112652E+00 0.87104739E-01 0.49930395E-02 0.24479623E-01 0.43047521E-01 0.31982880E+00 0.45293133E-01 0.49681362E-02 0.18376456E-02-0.12481493E-01 0.50023367E-02-0.10200278E+00 0.42384316E-01 0.73928126E+00 iteration = 15 func evals = 83 llf = 0.37012356E+02 0.56475495E+01 0.48967483E+00 0.13707563E+00 0.77894071E-01 0.64913437E-02 0.23687024E-01 0.41277676E-01 0.29529458E+00 0.39245496E-01 0.48537671E-01 0.14336064E-02-0.16870744E-01 0.50160679E-02-0.10991262E+00 0.47090668E-01 0.82231407E+00 iteration = 20 func evals = 156 llf = 0.37152719E+02 0.55244489E+01 0.46857863E+00 0.13912902E+00 0.83408170E-01 0.65028888E-02 0.22919589E-01 0.41240306E-01 0.30467252E+00 0.43953709E-01-0.64776252E-02 0.13519812E-02-0.28531519E-01 0.57309269E-02-0.17090342E+00 0.59911457E-01 0.84159655E+00 iteration = 25 func evals = 264 llf = 0.37217137E+02 0.54396576E+01 0.45248489E+00 0.14413614E+00 0.85028113E-01 0.44783560E-02 0.21452190E-01 0.41580398E-01 0.31479051E+00 0.44829953E-01-0.10342252E+00 0.15847990E-02-0.53966374E-01 0.76210229E-02-0.23559662E+00 0.84801556E-01 0.87621074E+00 iteration = 30 func evals = 353 llf = 0.37224223E+02 0.54127408E+01 0.44759377E+00 0.14423312E+00 0.87165747E-01 0.35062951E-02 0.21144678E-01 0.42774705E-01 0.31676696E+00 0.45411784E-01-0.16427711E+00 0.15465256E-02-0.64872733E-01 0.84993325E-02-0.27191689E+00 0.99254588E-01 0.89254152E+00 iteration = 35 func evals = 461 llf = 0.37224377E+02 0.54121026E+01 0.44761820E+00 0.14415823E+00 0.87329259E-01 0.34691217E-02 0.21153248E-01 0.42745870E-01 0.31666158E+00 0.45487949E-01-0.16459093E+00 0.15633664E-02-0.65367419E-01 0.85211035E-02-0.27562476E+00 0.99340567E-01 0.89226790E+00 iteration = 40 func evals = 546 llf = 0.37224379E+02 0.54118172E+01 0.44756381E+00 0.14418498E+00 0.87363895E-01 0.34778898E-02 0.21152212E-01 0.42758841E-01 0.31664221E+00 0.45451560E-01-0.16494162E+00 0.15709867E-02-0.65388527E-01 0.85053937E-02-0.27571426E+00 0.99404035E-01 0.89236418E+00 search failed. loc of min limited by rounding iteration = 41 func evals = 550 llf = 0.37224379E+02 0.54118172E+01 0.44756381E+00 0.14418498E+00 0.87363895E-01 0.34778898E-02 0.21152212E-01 0.42758841E-01 0.31664221E+00 0.45451560E-01-0.16494162E+00 0.15709867E-02-0.65388527E-01 0.85053937E-02-0.27571426E+00 0.99404035E-01 0.89236418E+00
115
Lampiran 3. Lanjutan
the final mle estimates are : coefficient
standard-error
t-ratio
beta 0 0.54118172E+01 0.66039320E+00 0.81948409E+01 beta 1 0.44756381E+00 0.12338495E+00 0.36273777E+01 beta 2 0.14418498E+00 0.78294677E-01 0.18415681E+01 beta 3 0.87363895E-01 0.48495160E-01 0.18014972E+01 beta 4 0.34778898E-02 0.45288900E-01 0.76793428E-01 beta 5 0.21152212E-01 0.68648720E-02 0.30812246E+01 beta 6 0.42758841E-01 0.32042263E-01 0.13344514E+01 beta 7 0.31664221E+00 0.82657246E-01 0.38307859E+01 beta 8 0.45451560E-01 0.38967941E-01 0.11663834E+01 delta 0 -0.16494162E+00 0.78916634E+00 -0.20900742E+00 delta 1 0.15709867E-02 0.78299857E-02 0.20063724E+00 delta 2 -0.65388527E-01 0.12045429E+00 -0.54284931E+00 delta 3 0.85053937E-02 0.15245532E-01 0.55789420E+00 delta 4 -0.27571426E+00 0.46541637E+00 -0.59240345E+00 sigma-squared 0.99404035E-01 0.14014640E+00 0.70928711E+00 gamma 0.89236418E+00 0.14970431E+00 0.59608448E+01 log likelihood function = 0.37224379E+02 LR test of the one-sided error = 0.68182543E+01 with number of restrictions = 6 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations =
41
(maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = number of time periods =
76 1
total number of observations = thus there are:
76
0 obsns not in the panel
116
Lampiran 3. Lanjutan covariance matrix : 0.43611918E+00 0.70639729E-01 -0.14673661E-01 -0.19763515E-01 -0.76657840E-02 0.11519537E-02 0.98758993E-03 -0.32126789E-01 -0.54355956E-02 0.15040268E+00 -0.13661711E-03 0.24510532E-01 -0.12028310E-02 0.80837794E-01 -0.32439391E-01 -0.31789248E-01 0.70639729E-01 0.15223845E-01 -0.55635810E-02 -0.23753391E-02 -0.40598303E-03 0.23858617E-03 -0.42838067E-03 -0.55703764E-02 -0.11211214E-02 0.16769579E-01 0.28792492E-04 0.46470130E-02 -0.11247859E-03 0.11627196E-01 -0.50250524E-02 -0.48411594E-02 -0.14673661E-01 -0.55635810E-02 0.61300564E-02 -0.51901772E-03 -0.19281140E-03 -0.49782670E-04 -0.13808995E-03 0.47780960E-03 0.55701235E-03 -0.26555391E-02 0.87346669E-05 -0.31348502E-03 -0.37207090E-04 0.28764741E-03 0.73680011E-03 0.13321538E-02 -0.19763515E-01 -0.23753391E-02 -0.51901772E-03 0.23517806E-02 0.51283981E-03 -0.89194091E-05 0.30421794E-03 -0.26667693E-03 0.10055899E-03 -0.10788973E-01 0.35508167E-04 -0.15559359E-02 0.30500824E-04 -0.66763719E-02 0.21850076E-02 0.19278736E-02 -0.76657840E-02 -0.40598303E-03 -0.19281140E-03 0.51283981E-03 0.20510844E-02 0.43005996E-04 -0.46199041E-03 -0.11284572E-02 0.38228885E-03 -0.34237299E-02 0.44802884E-04 0.89786494E-03 0.30287438E-04 -0.19011436E-03 -0.31531937E-03 -0.20911313E-03 0.11519537E-02 0.23858617E-03 -0.49782670E-04 -0.89194091E-05 0.43005996E-04 0.47126468E-04 -0.10154134E-04 -0.21609649E-03 0.36094761E-04 0.13618915E-02 -0.54654128E-05 0.29760097E-03 -0.67233821E-05 0.87710359E-03 -0.35098727E-03 -0.40213392E-03 0.98758993E-03 -0.42838067E-03 -0.13808995E-03 0.30421794E-03 -0.46199041E-03 -0.10154134E-04 0.10267066E-02 -0.40289440E-03 0.13611609E-04 0.24847011E-02 -0.44724163E-04 -0.86856139E-03 -0.24599257E-04 -0.43615186E-03 0.33978529E-03 -0.92913188E-05 -0.32126789E-01 -0.55703764E-02 0.47780960E-03 -0.26667693E-03 -0.11284572E-02 -0.21609649E-03 -0.40289440E-03 0.68322204E-02 0.62467649E-04 -0.56423266E-02 -0.44497308E-04 -0.19601022E-02 0.11695809E-03 -0.27201547E-02 0.19397892E-02 0.20959984E-02 -0.54355956E-02 -0.11211214E-02 0.55701235E-03 0.10055899E-03 0.38228885E-03 0.36094761E-04 0.13611609E-04 0.62467649E-04 0.15185004E-02 0.54740010E-03 -0.12470987E-04 -0.35271177E-03 0.71764266E-05 -0.39407033E-03 0.21505184E-03 0.30176047E-03 0.15040268E+00 0.16769579E-01 -0.26555391E-02 -0.10788973E-01 -0.34237299E-02 0.13618915E-02 0.24847011E-02 -0.56423266E-02 0.54740010E-03 0.62278351E+00 -0.30377019E-02 0.42814619E-01 -0.62100264E-02 0.28198694E+00 -0.91267445E-01 -0.98333364E-01 -0.13661711E-03 0.28792492E-04 0.87346669E-05 0.35508167E-04 0.44802884E-04 -0.54654128E-05 -0.44724163E-04 -0.44497308E-04 -0.12470987E-04 -0.30377019E-02 0.61308677E-04 0.20207320E-03 -0.38456916E-04 -0.66421206E-03 0.10182039E-03 0.20483363E-03 0.24510532E-01 0.46470130E-02 -0.31348502E-03 -0.15559359E-02 0.89786494E-03 0.29760097E-03 -0.86856139E-03 -0.19601022E-02 -0.35271177E-03 0.42814619E-01 0.20207320E-03 0.14509235E-01 -0.74056914E-03 0.42571692E-01 -0.14249266E-01 -0.12889699E-01
117
Lampiran 3. Lanjutan -0.12028310E-02 -0.11247859E-03 -0.37207090E-04 0.30500824E-04 0.30287438E-04 -0.67233821E-05 -0.24599257E-04 0.11695809E-03 0.71764266E-05 -0.62100264E-02 -0.38456916E-04 -0.74056914E-03 0.23242624E-03 -0.38799800E-02 0.11153107E-02 0.11006295E-02 0.80837794E-01 0.11627196E-01 0.28764741E-03 -0.66763719E-02 -0.19011436E-03 0.87710359E-03 -0.43615186E-03 -0.27201547E-02 -0.39407033E-03 0.28198694E+00 -0.66421206E-03 0.42571692E-01 -0.38799800E-02 0.21661240E+00 -0.56868819E-01 -0.54199110E-01 -0.32439391E-01 -0.50250524E-02 0.73680011E-03 0.21850076E-02 -0.31531937E-03 -0.35098727E-03 0.33978529E-03 0.19397892E-02 0.21505184E-03 -0.91267445E-01 0.10182039E-03 -0.14249266E-01 0.11153107E-02 -0.56868819E-01 0.19641013E-01 0.19905270E-01 -0.31789248E-01 -0.48411594E-02 0.13321538E-02 0.19278736E-02 -0.20911313E-03 -0.40213392E-03 -0.92913188E-05 0.20959984E-02 0.30176047E-03 -0.98333364E-01 0.20483363E-03 -0.12889699E-01 0.11006295E-02 -0.54199110E-01 0.19905270E-01 0.22411382E-01
technical efficiency estimates :
firm year 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eff.-est. 0.90640085E+00 0.92706835E+00 0.90341258E+00 0.90502636E+00 0.94742219E+00 0.92890163E+00 0.91910737E+00 0.96076488E+00 0.80666375E+00 0.94290756E+00 0.90530326E+00 0.90491338E+00 0.88500585E+00 0.92135718E+00 0.94223902E+00 0.93095977E+00 0.91904809E+00 0.84528269E+00 0.88999398E+00 0.78048521E+00 0.84058362E+00 0.90536155E+00 0.94821471E+00 0.94119099E+00 0.71377604E+00 0.92019403E+00 0.74093502E+00
118
Lampiran 3. Lanjutan 28 1 0.84396970E+00 29 1 0.84542132E+00 30 1 0.93938749E+00 31 1 0.85255528E+00 32 1 0.95762243E+00 33 1 0.82264489E+00 34 1 0.96976875E+00 35 1 0.83865417E+00 36 1 0.91496632E+00 37 1 0.95446461E+00 38 1 0.89593726E+00 39 1 0.89656018E+00 40 1 0.94142639E+00 41 1 0.95518260E+00 42 1 0.92066488E+00 43 1 0.90565644E+00 44 1 0.94660901E+00 45 1 0.88509028E+00 46 1 0.94152214E+00 47 1 0.89224804E+00 48 1 0.90102001E+00 49 1 0.81610479E+00 50 1 0.68229538E+00 51 1 0.82484412E+00 52 1 0.92956529E+00 53 1 0.93592812E+00 54 1 0.67667945E+00 55 1 0.62179159E+00 56 1 0.89656610E+00 57 1 0.91521483E+00 58 1 0.84387747E+00 59 1 0.95446259E+00 60 1 0.94320550E+00 61 1 0.86115385E+00 62 1 0.83680975E+00 63 1 0.95435116E+00 64 1 0.96055255E+00 65 1 0.92971946E+00 66 1 0.95587139E+00 67 1 0.96422590E+00 68 1 0.92502030E+00 69 1 0.71106604E+00 70 1 0.94771276E+00 71 1 0.94194044E+00 72 1 0.61447798E+00 73 1 0.89447327E+00 74 1 0.94929849E+00 75 1 0.88916020E+00 76 1 0.91586237E+00 mean efficiency = 0.88679110E+00
119
Lampiran 7. Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Tiap Responden No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Efisiensi Teknis 0.906 0.927 0.903 0.905 0.947 0.929 0.919 0.961 0.807 0.943 0.905 0.905 0.885 0.921 0.942 0.931 0.919 0.845 0.890 0.780 0.841 0.905 0.948 0.941 0.714 0.920 0.741 0.844 0.845 0.939 0.853 0.958 0.823 0.970 0.839 0.915 0.954 0.896 0.897 0.941 0.955 0.921 0.906 0.947 0.885 0.942 0.892 0.901 0.816
Efisiensi Alokatif 0.494 0.513 0.569 0.578 0.458 0.478 0.527 0.452 0.631 0.550 0.552 0.531 0.543 0.566 0.515 0.529 0.559 0.583 0.579 0.649 0.645 0.568 0.528 0.488 0.649 0.603 0.661 0.586 0.551 0.476 0.630 0.613 0.736 0.582 0.648 0.659 0.534 0.534 0.559 0.528 0.495 0.523 0.607 0.611 0.602 0.599 0.572 0.517 0.533
Efisiensi Ekonomis 0.448 0.475 0.514 0.523 0.434 0.444 0.484 0.434 0.509 0.519 0.500 0.481 0.481 0.522 0.485 0.492 0.514 0.492 0.515 0.506 0.542 0.514 0.501 0.459 0.463 0.554 0.489 0.494 0.465 0.447 0.537 0.587 0.606 0.564 0.543 0.603 0.509 0.478 0.501 0.497 0.473 0.481 0.549 0.578 0.533 0.564 0.510 0.466 0.435
120 Lampiran 4. Lanjutan No. 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 Ratarata
Efisiensi Teknis 0.682 0.825 0.930 0.936 0.677 0.622 0.897 0.915 0.844 0.954 0.943 0.861 0.837 0.954 0.961 0.930 0.956 0.964 0.925 0.711 0.948 0.942 0.614 0.894 0.949 0.889 0.916
Efisiensi Alokatif 0.592 0.677 0.507 0.564 0.770 0.713 0.516 0.570 0.577 0.562 0.587 0.592 0.543 0.523 0.510 0.477 0.433 0.551 0.635 0.744 0.478 0.490 0.600 0.592 0.529 0.517 0.489
Efisiensi Ekonomis 0.404 0.559 0.471 0.528 0.521 0.443 0.463 0.522 0.487 0.536 0.553 0.509 0.455 0.500 0.490 0.443 0.414 0.531 0.587 0.529 0.453 0.462 0.369 0.529 0.502 0.460 0.447
0.887
0.566
0.498