Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
PENGKAJIAN INTEGRASI SAPI-PADI/JAGUNG DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH (Assessment of Integrating Cattle-Rice/Corn in the Dry Land Areas at Central Kalimantan) BAMBANG NGAJI UTOMO, AMIK KRISMAWATI dan ERMIN WIDJAJA Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah
ABSTRACT The problems on farming system in dry land were unfertile soil, low of organic matter and highly acidity. The role of organic fertilizer or compost became very important because the productivity is lower without organic fertilizer, while the excessive use of inorganic fertilizer not only increase production cost, but also decrease soil productivity. The organic fertilizer stock still limited and was supplied from another province. Actually, two main problem faced by Central Kalimantan Government were: a) feed supply, b) rice of other food crops supply. The problems could be overcome simultaneously by crop livestock system. The synergism of this pattern could be realized by food crops waste utilization as feed and cattle manure the organic fertilizer. The study was conducted in dry land of Rodok village, Dusun Tengah District, Barito Timur Residency. The purpose of this study were: 1). To find out of characteristic information of the location, 2). To know the adaption of high yielding varieties of paddy and corn in dry land, 3). To find out the technology component of paddy or corn livestock system in dry land. The model of OFR actifity was used in this study. The prior activity used PRA/RRA to know the location characteristic. The technology which has been introduced as follows: adaptive tecnology test of corn (V1 = Sukmaraga; V2 =Lamuru, V3 = Semar 10) and paddy (V1 = Towuti, V2 = Situbagendit, V3 = Situpatenggang). The doses of fertilizer were: P1 = 100 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 3.000 kg compost, P2 = 200 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 1.500 Compost, P3 = 250 kg urea + 125 kg SP36 + 75 KCl and P1 = 100 kg urea + 50 kg SP36 + 50 kg KCl + 2.000 kg compost, P2 = 200 kg urea + 50 kg SP 36 + 50 kg KCl + 1.000 compost, P3 = 250 kg urea + 150 kg SP 36 + 100 kg KCl for corn and paddy respectively. The other tecnology which has been introduced as farm manure process, straw fermentation process for feed and stable group management. The observed parameter to evaluate the study covered: soil, crops, livestock and integrated resources management system aspect. The result of this study showed that the soil fertilizer was low due to lower macro element and highly acidity. The avalibility of human resources, institution support, farmer institution, farming system institution, information and service facilitaties making the possibility for increasing the productivity of farming system in location. The corn adaptive varieties was Semar-10 and the best fertilizer was P2 = 200 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 1.500 kg compost. The result showed that combination gave corn seed yield as much as 6.83 ton/ha with R/C ratio 2.72. The paddy adaptive varieties was Situpatenggang and the best fertilizer was P2 = 200 kg urea + 50 kg SP 36 + 50 kg KCl + 1.000 kg compost. The result showed that combination gave paddy seed yield as much as 4.65 ton/ha with R/C ratio 2.12. The average body gain for female and male cow were 0,28 kg/cow/day and 0,48 kg/cow/day resfectively by grass and cow straw application. The lack of vigoreus male cow caused the reproduction activity was disturbed. The cow care by stable make easily to collect the faeces and reached average 7,5 kg fresh weight/cow/day. Key words: Cattle, paddy, corn, integrated, manure, straw fermentation ABSTRAK Masalah yang dihadapi pada sistim usahatani di lahan kering adalah tanahnya tidak subur, miskin bahan organik dan tingginya tingkat kemasaman. Peranan pupuk organik (pupuk kompos) menjadi sangat penting, sebab tanpa adanya pupuk organik produksi menjadi sangat rendah, sedangkan penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan, selain meningkatkan biaya produksi, juga menyebabkan menurunnya kualitas tanah. Namun ketersediannya juga langka, terkait dengan rendahnya populasi ternak sapi, akibatnya pupuk organik sebagian masih didatangkan dari luar Kalimantan Tengah. Dengan demikian, dua masalah penting yang dihadapi Pemda Kalimantan Tengah adalah (a) penyediaan sapi/bakalan dan (b) penyediaan beras dan pangan lainnya. Dua masalah tersebut secara simultan dapat diatasi dengan model usahatani terintegrasi (Crop Livestock System). Sinergisme pola ini adalah pemanfaatan limbah pertanian tanaman pangan sebagai pakan ternak dan
268
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
limbah ternak (kotoran) sebagai pupuk organik. Kegiatan dilaksanakan di lahan kering Desa Rodok, Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten BaritoTimur. Kegiatan dilakukan secara “on farm research” dan diawali dengan karakterisasi lokasi pengkajian melalui PRA/RRA. Teknologi yang diintroduksikan adalah penggunaan varietas unggul melalui uji adaptasi, untuk tanaman jagung (V1: Sukmaraga, V2: Lamuru dan V3: Semar-10) dan padi (V1 = Towuti, V2 = Situbagendit, V3 = Situpatenggang). Perlakuan pemupukan untuk jagung terdiri dari : P1 = 100 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 3.000 kg kompos, P2 = 200 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 1.500 kompos, P3 = 250 kg urea + 125 kg SP36 + 75 KCl. Perlakuan pemupukan untuk tanaman padi P1 = 100 kg urea + 50 kg SP36 + 50 kg KCl + 2.000 kg kompos, P2 = 200 kg urea + 50 kg SP 36 + 50 kg KCl + 1.000 kompos, P3 = 250 kg urea + 150 kg SP 36 + 100 kg KCl. Teknologi lain yang diintroduksikan adalah pengolahan pupuk kandang, pengolahan jerami fermentasi untuk pakan ternak dan manajemen kandang kelompok. Parameter pengkajian meliputi aspek tanah, tanaman, ternak dan sistim pengelolaan sumberdaya secara terpadu. Lahan tempat pelaksanaan pengkajian memiliki kesuburan tanah rendah antara lain dicirikan dengan kandungan bahan organik dan unsur hara terutama unsur makro rendah dan tingkat kemasaman yang tinggi. Ketersediaan SDM, kelembagaan penunjang, kelembagaan petani, fasilitas usahatani, fasilitas penyuluhan dan pelayanan serta ketersediaan teknologi memungkinkan produktivitas usahatani di lokasi pengkajian bisa lebih ditingkatkan lagi. Varietas jagung yang adaptif adalah Semar-10 dengan dosis pemupukan P2 = 200 kg urea + 100 kg SP 36 + 100 kg KCl + 1.500 kg kompos menghasilkan 6.83 ton/ha jagung pipilan kering dengan R/C rasio 2.72. Sedangkan varietas padi yang adaptif adalah Situpatenggang dengan dosis pemupukan P2 = 200 kg urea + 50 kg SP 36 + 50 kg KCl + 1.000 kg kompos menghasilkan 4,65 ton/ha gabah kering dengan R/C rasio 2,12. Rata-rata pertambahan berat badan ternak yang diberi rumput dan jerami jagung dalam kisaran normal 0,28 kg/ekor/hari untuk sapi betina dan 0,48 kg/ekor/hari untuk sapi jantan. Kelangkaan pejantan mengakibatkan aktivitas reproduksi ternak terganggu. Pemeliharaan sapi dengan kandang kelompok memudahkan dalam koleksi kotoran dan dalam jumlah banyak, rata-rata 7,5 kg/ekor/hari berat basah. Kata kunci: Sapi, padi, jagung, integrasi, pupuk kandang, jerami fermentasi
PENDAHULUAN Wilayah Kalimantan Tengah seluas 154.000 km2, di antaranya terdiri dari lahan kering yang merupakan wilayah terbesar dengan luas 7,7 juta hektar, berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka peningkatan produksi pertanian. Komoditas yang diusahakan petani di lahan kering Kalimantan Tengah dan juga merupakan program pemerintah daerah, untuk tanaman pangan adalah padi dan jagung, selain itu juga ada kedelai, ubi kayu dan ubi jalar, sedangkan untuk ternak yaitu sapi, kambing, ayam kampung, ayam potong dan bebek (FACHRI et al., 2002). Permasalahan yang dihadapi adalah sistim usahatani yang diterapkan masih tradisional, umumnya belum tersentuh teknologi, adanya masalah sosial, ekonomi dan budidaya, SDM dan kendala klasik berupa modal. Kondisi ini diperparah dengan keadaan lahan kering itu sendiri, umumnya mempunyai karakteristik: (1) tingkat kemasaman tinggi, (2) kurang subur/miskin bahan organik, (3) tanah didominasi jenis podsolik merah kuning, (4) curah hujan tinggi berkisar antara 2500-3000 mm dengan bulan kering terjadi 2-3 bulan/tahun, dan (5) tingkat erosi tinggi. Pengolahan lahan untuk
memperbaiki struktur tanah memerlukan pupuk organik yaitu pupuk kandang/kompos. Permasalahan yang dijumpai adalah kelangkaan pupuk kandang. Pupuk kandang bahkan harus didatangkan dari luar Kalimantan Tengah, yaitu Kalimantan Selatan, yang harganya relatif mahal, Rp.12.500,-/zak yang berisi + 30 kg (UTOMO et al., 2002). Kenyataan di atas berakibat pada penambahan biaya produksi usahatani yang ditanggung dan sekaligus mengurangi pendapatan petani, walaupun poduksinya tinggi namun biaya saprodi tinggi. Sulitnya memperoleh pupuk kandang ada korelasi dengan lambatnya perkembangan populasi ternak di Propinsi Kalimantan Tengah, yang sampai saat ini masih mendatangkan sapi dari luar sekitar 10.000–13.000 ekor/tahun (DINAS KEHEWANAN KALIMANTAN TENGAH, 2001), sehingga ternak sapi kurang memberikan kontribusi pada usahatani. Kondisi tersebut dikhawatirkan penggunaan pupuk anorganik (pupuk kimia) menjadi terlalu tinggi takarannya, sehingga meningkatkan biaya produksi. Penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dalam jangka waktu yang panjang menurut HARIYANTO et al. (2002) dipastikan menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan karena terjadinya perubahan struktur dan
269
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
tekstur tanah yang berakibat pada penurunan kesuburan lahan dan berkurangnya potensi ketersediaan unsur hara yang dapat diserap tanaman. Dengan demikian, dua masalah penting yang dihadapi pemerintah daerah Kalimantan Tengah, yaitu (a) penyediaan sapi bakalan, dan (b) beras serta pangan lainnya. Hal tersebut sebenarnya dapat diatasi secara simultan yaitu dengan menerapkan pola integrasi atau dikenal dengan nama “Crop Livestock System (CLS)”. Pola ini sesuai diterapkan karena berkaitan pula dengan adanya kompetisi penggunaan lahan di mana pengembangan komoditas tidak bisa lagi secara monokultur. Pada prinsipnya konsep CLS adalah meningkatkan efisiensi usaha dengan memanfaatkan input produksi dari dalam (“internal input”). Tujuan pengkajian ini adalah mendapatkan informasi karakteristik lokasi pengkajian, mengetahui varietas unggul padi dan jagung yang adaptif untuk lahan kering, mendapatkan informasi produktivitas ternak sapi di lahan kering, mendapatkan komponen teknologi pemupukan dengan pupuk anorganik dan kompos dan mendapatkan alternatif model usahatani terpadu padi-jagung dengan ternak sapi di lahan kering. MATERI DAN METODE Lokasi dan kooperator Kegiatan pengkajian dilaksanakan pada tipologi lahan kering di Desa Rodok, Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur. Di daerah tersebut sudah terbentuk kelompok tani dengan nama “Bali I”. Pemilihan lokasi studi didasarkan pada pertimbangan prioritas pembangunan pedesaan yang memiliki tipologi lahan kering, berusaha di bidang pertanian sebagai mata pencaharian utama dengan pola usahatani dominan adalah padi dan jagung, ada ternak sapi serta memiliki tanah. Selain itu, akses menuju lokasi sangat lancar, informasi struktur pendukung tersedia dan jarak ke lokasi relatif dekat. Karakterisasi lokasi pengkajian Pengkajian integrasi ternak sapipadi/jagung di lahan kering adalah kegiatan
270
baru, sehingga berbagai informasi dasar sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan selanjutnya. Studi karakteristik lokasi pengkajian dilakukan untuk melihat berbagai aspek aktivitas pertanian dan sumber daya serta kelembagaan pendukung. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan langsung dari kegiatan PRA berupa sistem usaha tani, antara lain: komoditas, pola tanam, pasca panen, input dan output produksi; data sosial antara lain: tenaga kerja, mobilitas penduduk, sistem kelembagaan; data biofisik antara lain: topografi, vegetasi dan jenis tanah. Data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi terkait meliputi data: kependudukan, iklim, tataguna lahan, jenis tanah, struktur organisasi lokal. Selain itu, dilakukan pengambilan sampel tanah sebelum kegiatan perlakuan pupuk diberikan untuk mengetahui status kesuburan tanah serta faktor-faktor yang menjadi penghambat pada lokasi pengkajian. Teknologi yang dikaji Sinergisme usahatani terpadu (terintegrasi) adalah memanfaatkan limbah pertanian berupa jerami (padi dan jagung) sebagai pakan ternak dan memanfaatkan kotoran ternak untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Dengan demikian, ada tiga komponen kegiatan yang dilaksanakan, meliputi (1) teknologi budidaya tanaman padi dan jagung, yaitu uji adaptasi varietas unggul dan (2) teknologi budidaya ternak sapi yang meliputi manajemen kandang kelompok, teknologi pengolahan jerami fermentasi dan teknologi pengolahan pupuk kompos. Budidaya tanaman jagung 1. Pola tanam : Monokultur Perlakuan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri dari dua perlakuan, yaitu varietas dan dosis pupuk. Perlakuan varietas jagung terdiri dari: V0 : varietas jagung putih (lokal) V1 : varietas Sukmaraga (komposit) V2 : varietas Lamuru (komposit) V3 : varietas Semar-10 (hibrida)
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Perlakuan dosis pupuk terdiri dari: P1:100 kg Urea + 50 kg SP-36 + 50 kg KCl + 3.000 kg kompos P2: 200 kg Urea + 50 kg SP-36 + 50 kg KCl + 1.500 kg kompos P3: 250 kg urea + 125 kg SP-36 + 75 kg KCl + tanpa kompos Dari dua macam perlakuan tersebut akan diperoleh duabelas macam kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak empat kali, sehingga ada empat puluh delapan kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan dicoba pada lahan seluas 0,1 hektar dengan jarak antar perlakuan (petak) 100 cm, sehingga luas pengkajian adalah + 5,5 hektar. Parameter tanaman yang diamati pada laporan ini hanya difokuskan pada hasil pipilan jagung per hektar. Budidaya tanaman padi 1. Pola tanam: Monokultur Perlakuan: Menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri dari dua perlakuan, yaitu varietas dan dosis pupuk. Perlakuan varietas padi terdiri dari: V0 : varietas Pelita (petani) V1 : varietas Towuti V2 : varietas Situbagendit V3 : varietas Situpatenggang Perlakuan dosis pupuk terdiri dari: P1: 100 kg urea + 100 kg SP-36 + 100 kg KCl + 2.000 kg kompos P2: 150 kg urea + 100 kg SP-36 + 100 kg KCl + 1.000 kg kompos P3: 250 kg urea + 125 kg SP-36 + 75 kg KCl + tanpa kompos Dari dua macam perlakuan tersebut akan diperoleh duabelas macam kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak empat kali, sehingga ada empat puluh delapan kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan dicoba pada lahan seluas 0,1 hektar. Sebagaimana pada tanaman jagung, parameter yang diamati pada tanaman padi difokuskan hanya pada hasil gabah kering panen.
Budidaya ternak sapi Usaha pemeliharaan ternak sapi pada program integrasi tanaman padi/jagung-ternak sapi ditujukan untuk pembibitan, yaitu menghasilkan anak setiap tahunnya dan pupuk (kotoran) untuk hariannya. Oleh karena itu, penerapan teknologi adalah sangat penting untuk mendukung keberhasilan program ini. Teknologi yang diintroduksikan adalah (1) manajemen kandang kelompok (2) teknologi pengolahan pupuk kompos dan (3) teknologi pengolahan jerami fermentasi untuk pakan ternak. 1. Manajemen kandang kelompok Sebagai percontohan dibuatkan kandang kelompok dengan ukuran 4 x 10 meter dengan kapasitas sekitar 12 ekor indukan. Sapi milik angggota kelompok dikelola secara bersama dalam satu kandang. Pengelolaan kandang kelompok berdasarkan hasil musyawarah para peternak yang menitipkan ternaknya di kandang kelompok, di antaranya menyangkut masalah keamanan ternak, kebersihan kandang, pemberian pakan, pengambilan kotoran dan lain sebagainya. Pakan diberikan secara cukup, yaitu pakan jerami yang dicampur dengan rumput. Demikian juga dengan air minum diberikan secara tak terbatas. Pertambahan berat badan ternak dimonitor setiap dua minggu sekali. Parameter yang diamati pada pengelolaan sapi pembibitan meliputi produksi kotoran per hari, kejadian penyakit cacing, pertambahan berat badan ternak dan aspek manajemen pengelolaan. 2. Teknologi pengolahan jerami fermentasi untuk pakan ternak Jerami yang difermentasi adalah hanya jerami padi, sedangkan jerami jagung tidak demikian, karena ketersediaannya terbatas. Teknik pembuatan jerami fermentasi mengacu kepada panduan teknis yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor (HARYANTO et al., 2002). Tempat pengolahan jerami fermentasi dengan ukuran 4 x 10 meter ditempatkan di dekat dengan kandang kelompok untuk memudahkan
271
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
pemberian pakan pada ternak, di samping itu juga lokasinya dekat dengan lahan (penghasil jerami), sehingga menghemat tenaga kerja (tenaga angkut). Pakan jerami jagung dan jerami padi diberikan pada 10 ekor sapi yang dipelihara dalam kandang kelompok, dengan kisaran umur 1,5-2 tahun. Selain itu juga dimonitoring sapi-sapi yang hanya diberi pakan rumput alam saja. Parameter yang diamati mencakup pertambahan berat badan, konsumsi pakan jerami, kandungan nutrisi jerami fermentasi. Teknologi pengolahan pupuk kandang (pupuk organik) Tempat pemrosesan pupuk kandang dibuatkan secara khusus dekat dengan kandang kelompok untuk memudahkan pengangkutan kotoran ternak. Kotoran ternak yang sudah tertimbun di kandang kelompok diangkut ke tempat pengolahan pupuk kandang, kemudian diolah menjadi pupuk kandang dengan teknik pengolahan mengacu kepada petunjuk teknis yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor (HARYANTO et al., 2002). Parameter yang diamati adalah lama proses pembuatan pupuk kandang dan komposisi kimia pupuk berdasarkan analisa laboratorium. Analisa data • Data yang diperoleh berdasarkan informasi dianalisa secara diskriptif. • Analisis tanah, pupuk, pakan ternak berdasarkan pemeriksaan laboratorium. • Analisis teknis agronomis, untuk mengevaluasi penerapan teknologi penggunaan pupuk organik menggunakan ANOVA (Analysis of Variance), sedangkan untuk membandingkan antar rata-rata pengamatan setiap variabel yang diuji digunakan Uji BNJ 5% (GOMEZ and GOMEZ, 1993). • Analisis finansial untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh petani dalam penggunaan pupuk digunakan R/C rasio.
272
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik lokasi pengkajian Sumberdaya biofisik 1. Topografi Kecamatan Dusun Tengah, lokasi di mana kegiatan integrasi ternak sapi dengan tanaman pangan (padi dan jagung) dilaksanakan memiliki luas wilayah 100,7 km. Secara administratif terdiri dari delapan belas desa dan satu kelurahan. Topografi wilayahnya adalah datar, bergelombang sampai berbukit yang membujur dari timur ke barat dengan kemiringan 0-65%. Bagian datar meliputi Ampah, Putai, Ampah II dan Tampa, sedangkan yang lainnya adalah bergelombang sampai berbukit. 2. Tanah Tingkat kesuburan tanah di Kecamatan Dusun Tengah adalah sedang dan kurang subur, tersebar di semua wilayah Desa. Untuk mendukung usaha pertanian didukung adanya tata air makro, yaitu di Desa Talohen, Netampin dan Tampa. Tata air mikro ada di Desa Patung, wilayah dusun Pangkan. Sedangkan untuk usaha pertanian tadah hujan dan wilayah rawa tersebar diseluruh wilayah Desa. Luas lahan yang digunakan untuk pertanian dan lain-lainnya adalah 103.149,5 ha, di mana 24,2% daripadanya didominasi untuk perkebunan, sedangkan untuk sawah 14,9%, lainnya diperuntukkan tegalan (8,4%), pekarangan (14,5%), padang rumput (16%), kolam (0,02%) dan lain-lain (49,5%). Penggunaan lahan untuk sektor pertanian, khususnya sub sektor tanaman pangan, dapat dilaksanakan dengan pola intensifikasi dan non intensifikasi. Di samping potensi lahan, ada beberapa potensi lain yang sangat mendukung pembangunan pertanian di Kecamatan Dusun tengah khususnya dan Kabupaten Barito Timur umumnya, yaitu sumberdaya manusia, kelembagaan petani dan kelembagaan penunjang. Jumlah sumber daya manusia yang bergerak di bidang pertanian dan perikanan sebesar 24.769 orang dan sisanya 2.609 orang
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
bergerak di usaha lain. Di antara mereka yang berusaha di bidang pertanian tergabung dalam 232 kelompok tani, yaitu kelompok tani dewasa, kelompok wanita tani dan kelompok taruna tani. Usaha pertanian juga didukung oleh empat macam kelembagaan penunjang, yaitu KUD, LSM, P3A dan KTNA kecamatan. Faktor pendukung pembangunan pertanian di Kecamatan Dusun Tengah ternyata lebih lengkap lagi dengan adanya fasilitas usahatani (traktor, “power thresser”, dll) dan fasilitas penyuluhan dan pelayanan, yaitu BPP padi, BPP ikan, Klinik Hewan, tenaga PPL, tenaga pengamat hama & penyakit, dan tenaga pengawas benih. Keadaan usahatani Ada berbagai komoditas yang dikembangkan petani di Kecamatan Dusun Tengah. Jenis tanaman pangan yang diusahakan untuk padi adalah padi sawah dan padi gogo, sedangkan untuk palawijanya yang utama adalah jagung, kemudian kacang tanah, kedelai, ubi kayu dan ubi jalar. Pada sektor perkebunan yang paling dominan adalah karet (18.120 ha), kemudian kelapa (297 ha), kakao (55 ha), aren (9 ha) dan kopi (3 ha). Adapun jenis ternak yang dipelihara para petani adalah sapi dengan populasi 340 ekor, kerbau 12 ekor, babi 300 ekor, ayam buras 11.735 ekor dan ayam ras 2.932 ekor. Karakteristik rumah tangga petani responden 1. Sumber daya manusia (SDM) Umur rata-rata responden adalah 40,5 tahun, dengan kisaran antara 28 hingga 60 tahun. Berdasarkan komposisi umur, 90% responden dalam usia produktif (15-55 tahun) dan hanya 10% pada usia non produktif (>55 tahun). Dengan demikian, mayoritas responden yang sekaligus adalah kooperator pada kegiatan pengkajian masih relatif kuat untuk melaksanakan kegiatan “on farm”, “off farm” maupun “non farm”. Pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang berpengaruh terhadap perilaku petani dalam mengakses informasi, teknologi, modal maupun pasar. Rata-rata tingkat pendidikan responden adalah SD (60%), sisanya SMA 10%, DII 10% dan tidak sekolah
20%. Dari gambaran terlihat bahwa tingkat pendidikan petani masih didominasi SD, sehingga perilaku dan tata cara dalam mengelola usahataninya relatif sederhana, walaupun pengalaman mereka dalam usahatani di lahan kering cukup lama, rata-rata 12,9 tahun dengan kisaran antara 3 sampai 45 tahun. Ketersediaan tenaga kerja sangat berpengaruh akan keberhasilan sistim usahatani. Tenaga kerja keluarga yang tersedia dalam keluarga responden rata-rata 5,3 orang dengan kisaran 3 sampai 11 orang per rumah tangga petani. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja tersedia cukup untuk rumah tangga petani. Hampir seluruh responden (90%) bekerja di sektor pertanian dan hanya 10% yang mempunyai pekerjaan di luar pertanian (off farm). Seluruh aktivitas difokuskan ke sektor pertanian, khususnya tanaman pangan dan palawija serta perkebunan yang merupakan sumber pendapatan utama mereka. 2. Sistim usahatani responden Sistim usahatani yang diterapkan adalah “mix farming” terdiri dari tanaman pangan, ternak, hortikultura dan beberapa petani menanam sayuran. Untuk tanaman pangan, yaitu padi dan jagung ditanam secara monokultur melalui pola tanam jagung (Juli– September) dan padi (Oktober–Maret). Sinergisme antar sub sektor kurang terlihat. Tanaman pangan dipupuk menggunakan pupuk anorganik, ternak diberi pakan rumput yang tumbuh di sekitar desa, sedangkan limbah pertanian belum dimanfaatkan, terutama sebagai pakan ternak. Sapi digembalakan di lahan pertanian agar kotorannya sekaligus bisa dijadikan pupuk. Tidak ada upaya secara khusus untuk membuat kotoran ternak menjadi pupuk kandang. Tanaman pangan hanya dipupuk dengan menggunakan pupuk kimia (pupuk anorganik). 3. Tanaman pangan Luas lahan yang digunakan responden untuk berusaha di bidang petanian, terutama tanaman pangan, disajikan dalam Tabel 1. Tanaman pangan yang dominan diusahakan adalah padi (100%) dan jagung (70%), sedangkan untuk tanaman palawija, yaitu
273
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
kacang hijau dan kacang tanah, hanya 10% responden yang menanam. Usahatani jagung di lahan kering desa Rodok memberikan keuntungan sebesar Rp.1.397.500,- setiap hektar, dengan nisbah penerimaan dibandingkan total biaya sebesar 1,8. Hal ini berarti bahwa setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.100,- dalam usahatani jagung di lahan kering akan memberikan penerimaan sebesar Rp.180,-. Sedangkan usahatani padi di lahan kering dengan pola petani memberikan keuntungan sebesar Rp.642.500,- dengan nisbah penerimaan dibandingkan total biaya sebesar 1,3. Hal ini berarti bahwa setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.100,- dalam usahatani padi di lahan kering akan memberikan penerimaan sebesar Rp.130,-
Kelembagaan tani responden Kelompok tani BALI I terbentuk pada tahun 1992, saat ini jumlah anggotanya 27 orang. Sebagian besar anggota kelompok berasal dari Bali yang mengikuti program transmigrasi. Ketua kelompok berasal dari penduduk asli (lokal). Kegiatan rutin pertemuan kelompok tani dilakukan sesuai kebutuhan. Penyampaian informasi selain melalui pertemuan, kebanyakan ketua kelompok menyampaikan langsung kepada anggotanya. Untuk mengatasi permasalahan, selain didiskusikan dengan sesama anggota lainnya, sering ketua kelompok mendatangai BPP (Ampah) untuk membantu mencarikan solusi persoalan mereka. Keadaan lahan lokasi kegiatan pengkajian
4. Peternakan Populasi ternak di Kecamatan Dusun Tengah berdasarkan laporan tahun 2002, untuk ternak non unggas masih didominasi oleh sapi potong (340 ekor), kemudian babi (300 ekor) dan kerbau (12 ekor), sedangkan unggas yang dikembangkan adalah ayam buras (11.735 ekor) dan ayam ras (2.932 ekor). Jenis ternak utama yang dipelihara oleh responden adalah sapi, dengan rata-rata kepemilikan adalah 2,1 ekor dengan kisaran antara 1 sampai 4 ekor. Jenis sapi yang dibudidayakan adalah sapi Bali dan merupakan sapi pribadi (85,7%), sisanya sapi bantuan (14,3%). Pada umumnya sapi hanya dikandangkan pada malam hari, siang sampai sore hari dilepas di lahan. Sistim perkawinan dilakukan secara alam dengan menggunakan pejantan. Inseminasi Buatan belum pernah dilaksanakan karena memang belum berjalan di Kabupaten Barito Timur.
Hasil rata-rata analisis tanah awal menunjukkan bahwa kendala utama kesuburan tanah di lokasi pengkajian adalah kemasaman tinggi, ditunjukkan dengan nilai pH rendah dan konsentrasi H+ yang tinggi. Hasil analisis beberapa sifat kimia tanah beserta kriterianya disajikan pada Tabel 2. Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah menunjukkan kapasitas penyangga (buffer) tanah yang rendah, sehingga unsur hara mudah tercuci maupun terfiksasi (SOEPARDI, 1983). Rendahnya pH tanah sangat mempengaruhi ketersediaan unsur hara yang ditunjukkan dengan rendahnya ketersediaan unsur hara N, P dan K. Kandungan K-total tergolong sedang namun tingkat ketersediaannya rendah, hal ini disebabkan ion K+ yang terlepas dari kompleks jerapan tanah diisi oleh ion Al+ dan H+. Menurut SETIJONO (1996), ion K+ yang terlepas dari jerapan tanah akan digantikan oleh ion Al+ dan H+ bila pH tanah rendah.
Tabel 1. Jenis tanaman pangan utama yang diusahakan responden (kooperator) di Desa Rodok, Kecamatan Dusun Tengah, kab. Bartim Tanaman pangan
Rata-rata Luas lahan (ha)
Luas garapan (ha)
Hasil per ha (kg)
Padi
1,38 (0,33-4,43)
1,1 (0,29-2,85)
2.782,4
Jagung
0,98 (0,33-0,71)
1,0 (0,33-2,85)
2.400(NI) 3.000 (I)
NI: Non Intensifikasi; I: Intensifikasi
274
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Tabel 2. Hasil pemeriksaan kimia tanah dari sampel tanah lokasi pengkajian di Desa Rodok, Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur Parameter
Nilai
Kriteria
pH H2O
4,8
Rendah
pH KCl
4,2
Rendah
C – organik (%)
1,64
Rendah
N – total (%)
0,14
Rendah
Rasio C/N
12
Sedang
P – total
37
Sedang
K – total
34,3
Sedang
P – tersedia
0,97
Sangat rendah
Ca-dd
7,18
Sedang
Mg-dd
3,03
Tinggi
K-dd
0,15
Rendah
Na-dd
0,26
Rendah
KTK
11,59
Rendah
KB
84,67
Sangat tinggi
Tekstur
Liat
Keberadaan bahan organik tanah rendah, ditunjukkan dengan rendahnya kandungan Corganik tanah, sehingga perlakuan penambahan bahan organik atau kompos sangat diperlukan untuk meningkatkan KTK tanah, sehingga aplikasi pupuk dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi tanaman. Nisbah C/N rendah menunjukkan proses nitrifikasi berjalan baik, sehingga bila bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah memiliki nisbah C/N tinggi akan menyebabkan terjadinya fiksasi (pengikatan) unsur hara oleh mikrobia tanah untuk sementara waktu (SOEPARDI, 1983). Ketersediaan P rendah dipengaruhi oleh rendahnya pH tanah. MULLEN (1998) menyatakan bahwa pada pH di bawah 6,5 ketersediaan P akan menurun akibat difiksasi oleh Al+ dan H+. Budidaya tanaman jagung (uji adaptasi varietas unggul) Hasil pipilan kering/ha Hasil analisa BNJ 5% menunjukkan varietas Semar-10 berbeda nyata dengan semua
perlakuan sebagaimana disajikan pada Tabel 3 dan memberikan hasil tertinggi, yaitu 6,87 ton/ha. Varietas Semar-10 memiliki hasil tertinggi karena merupakan varietas hibrida yang diikuti dengan aplikasi pupuk yang tinggi. Menurut TJIONGER’S (2001), jagung hibrida lebih responsif terhadap pemupukan yang optimal untuk memperoleh hasil yang tinggi dengan pemberian pupuk 350 kg Urea/ha, 125 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha memberikan hasil 8,5 ton/ha pipil kering pada varietas BISI- 2. Pemupukan kompos 2 ton/ha mampu memberikan hasil tertinggi, hal ini disebabkan meningkatnya KTK tanah dan didukung oleh pasokan unsur hara cepat tersedia dari pupuk kimia, sehingga terjadi proses sinkronisasi yang baik antara pelepasan hara dari pupuk dan saat tanaman memerlukan unsur tersebut (HAIRIAH, 2000). Tabel 3. Pengaruh macam varietas dan dosis pupuk terhadap hasil pipilan kering (ton/ha) Perlakuan
Hasil pipilan kering/ha
V0
3,31 a
V1
4,98 bc
V2
4,97 b
V3
5,15 c
BNJ 5%
0.22
Perlakuan
Hasil Pipilan Kering/Ha
P1
8,13 a
P2
8,50 b
P3
7,92 a
BNJ 5%
0.29
Angka-angka di dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05)
Analisa usahatani jagung varietas unggul Tingkat keuntungan dan efisiensi usahatani merupakan indikator keberhasilan usahatani atau kelayakan teknologi usahatani yang dikelola. Untuk itu perlu dilakukan analisis finansial usahatani jagung varietas Semar-10 yang memperoleh hasil tertinggi, sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
275
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Tabel 4. Hasil analisa ekonomi usahatani jagung varietas Semar-10 di lahan kering Desa Rodok, Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur Uraian Biaya Sarana Produksi Benih Pupuk kandang Pupuk : Urea SP-36 KCl d. Roundup e. Furadan f. Kapur Tenaga kerja Pembersihan lahan Pengolahan lahan Penanaman Pemupukan Pemeliharaan Panen Total Biaya Penerimaan Keuntungan usahatani R/C Ratio
fisik
Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
25 kg 1500 kg 200 kg 100 kg 100 kg 2 liter 2 kg 500 kg
15.000 300 1.500 2.500 2.500 47.500 40.000 750
375.000 450.000 300.000 250.000 255.000 95.000 80.000 375.000
10 HOK 15 HOK 15 HOK 10 HOK 10 HOK 15 HOK
20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
200.000 300.000 300.000 200.000 200.000 300.000
6.830 kg
1.400
Budidaya tanaman padi (uji adaptasi varietas unggul) Hasil gabah kering panen Hasil analisa BNJ 5% menunjukkan bahwa pada hasil gabah, tidak ada pebedaan yang nyata antara varietas Situpatenggang dengan Situbagendit, tetapi berbeda nyata dengan Towuti dan varietas lokal. Hasil pengamatan hasil gabah disajikan pada Tabel 5. Hasil analisa BNJ 5% menunjukkan bahwa dosis pupuk 150 kg urea/ha + 100 kg SP-36/ha + 100 kg KCl/ha + 1.000 kg kompos/ha (P2) berbeda nyata dengan dosis pupuk yang lain terhadap hasil gabah. Ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk an-organik dengan dosis tersebut di atas dikombinasikan dengan pupuk organik (kompos) sebanyak 1 ton/ha dapat meningkatkan hasil padi. Pupuk urea, SP-36 dan KCl sangat diperlukan oleh tanaman padi gogo, karena ketersediannya di tanah sangat kurang (ADININGSIH, 1998). Penelitian di beberapa lokasi di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa dosis pupuk 90 kg N + 90 kg P2O5 + 60 kg KCl merupakan takaran
276
3.675.000 9.562.000 5.887.000 2,60
optimum pupuk NPK bagi tanaman padi gogo, dan jika dikombinasikan dengan pupuk kandang atau kapur dapat meningkatkan hasil 25,5-28,20%. Tabel 5. Pengaruh macam varietas dan dosis pupuk terhadap hasil gabah Perlakuan
Hasil Gabah (ton/ha)
V0
3,51 a
V1
3,99 a
V2
4,70 b
V3
4,87 b
Perlakuan
Hasil gabah (ton/ha)
P1
4,09 a
P2
4,44 b
P3
4,27 a
Catatan: Angka-angka di dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji BNJ 5%
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Analisa usahatani padi Dengan memperhatikan aspek produksi, varietas Situpatenggang menjadikan contoh untuk analisa usahtani sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Budidaya ternak sapi Manajemen kandang kelompok Kandang kelompok sudah dimanfaatkan oleh anggota kelompok tani Bali I dengan jumlah sapi yang masuk 10 ekor, sembilan betina dan satu ekor pejantan. Jenis sapi yang dipelihara adalah sapi Bali. Sapi dikandangkan secara terus menerus untuk memproduksi kotoran. Manajemen pengelolaan, terutama memberi makan, membersihkan kandang dan mengambil kotoran, sampai saat ini masih belum ada masalah karena para pemilik sapi masih ada hubungan kekeluargaan. Mereka
memberi pakan secara bergantian, tidak membedakan masing-masing kepemilikan sapi. Pakan yang diberikan adalah sebagian besar rumput alam dan jerami jagung. Jerami jagung diberikan saat panen jagung dan dalam jumlah yang terbatas, karena panen jagung tidak bisa secara serempak dan tidak sekaligus habis dipanen, yaitu secara bertahap. Jumlah kotoran sapi yang dihasilkan per ekor per hari rata-rata 7,5 kg berat basah, sehingga dalam satu hari dari 10 ekor sapi yang dipelihara dalam kandang kelompok mampu menghasilkan kotoran sejumlah 75 kg berat basah dan kalau dibuat pupuk kandang menjadi sekitar 35 kg. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk kompos dalam 1 hektar, sejumlah 2000 kg (2 ton), diperlukan waktu sekitar 114 hari atau hampir 4 bulan. Dari hasil monitoring terhadap penyakit cacing ditemukan Strongylus (20%) dan Strongyloides (10%). Penyakit cacing penting seperti cacing hati (Fasciola sp.) tidak ditemukan.
Tabel 6. Hasil analisa usahatani padi varietas Situpatenggang per hektar di lahan kering Desa Rodok, Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur Uraian
Fisik
Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Biaya Sarana Produksi 25 kg
15.000
375.000
Pupuk kandang
1000 kg
300
300.000
Pupuk : Urea
200 kg
1.500
300.000
50 kg
2.500
125.000
50 kg
2.500
125.000
Benih
SP-36 KCl Roundup
2 liter
47.500
95.000
Kiltop
1 liter
45.000
45.000
Tenaga kerja a. Pembersihan lahan
10 HOK
20.000
200.000
b. Pengolahan lahan
15 HOK
20.000
300.000
Penanaman
15 HOK
20.000
300.000
Pemupukan
10 HOK
20.000
200.000
Pemeliharaan
10 HOK
20.000
200.000
Panen
15 HOK
20.000
Penerimaan Keuntungan usahatani R/C Ratio
300.000 2.865.000
Total Biaya 4.650 kg
1.300
6.045.000 3.180.000 2,12
277
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Untuk reproduktivitas ternak, sapi-sapi betina anggota kelompok Bali I hanya dilayani oleh satu ekor pejantan yang masih muda. Inseminasi Buatan masih belum berjalan. Kondisi ini menyebabkan petani kesulitan mengawinkan sapinya ketika sudah pada birahi. Dari hasil monitoring terhadap pertambahan berat badan ternak, rata-rata pertambahan berat badan hariannya (PBBH) untuk sapi betina 0,28 kg, sedangkan sapi pejantan memiliki rata-rata PBBH lebih tinggi, yaitu 0,48 kg (Tabel 7). Pertambahan berat badan tersebut dicapai dengan hanya diberi rumput alam dan kadang-kadang jerami jagung. Semua responden yang memiliki sapi sudah tersedia kandang. Kondisi kandang umumnya kurang layak, baik dari segi ukuran maupun kebersihan. Untuk menempatkan sapi-sapi dalam suatu kandang kelompok, di mana manajemen pengelolaannya dilakukan secara bersama-sama masih sulit diterima oleh petani, kondisi serupa dilaporkan oleh ELLA et al. (2002). Untuk itu diberikan suatu kandang kelompok percontohan, karena biasanya petani akan meniru sesuatu yang baik berdasarkan pengamatan di lapangan. Dengan melihat kelebihan-kelebihan mengenai pengelolaan kandang secara berkelompok dan juga permasalahanpermasalahan yang timbul, para petani akan bisa menilai apakah manajemen kandang kelompok nantinya bisa diterapkan di tempat mereka. Sebagaimana tujuan utama pemeliharaan sapi secara kandang kelompok adalah untuk menghasilkan kotoran, rata-rata produksi kotoran per hari yang dikumpulkan petani pada pengeloaan kandang kelompok sekitar 75 kg berat basah, jumlah ini jauh lebih besar dan mudah mengumpulkannya dibandingkan pada sapi-sapi yang dipelihara secara tradisional kotorannya kececer dimana-
mana dan sulit dikumpulkan. Kotoran ternak, selain untuk pupuk tanaman mereka sendiri, sisanya bisa dijual untuk menambah pendapatan bagi petani. Menurut DIWYANTO et al. (2002) sekitar 40% pendapatan dari sistim usahatani adalah berasal dari penjualan pupuk. Keuntungan lain adanya manajemen kandang kelompok adalah produktivitas ternak dapat terkontrol, terutama dari segi kesehatannya, reproduksinya dan pemberian pakannya. Tingkat produktivitas ternak dapat dilihat dari pertambahan berat badan hariannya (PBBH). PBBH sapi pada pola pemeliharaan petani ternyata lebih rendah (0,28 kg/ekor/hari) dibandingkan dengan pola pemeliharaan yang sama dan jenis sapi yang sama di pulau Bali, yaitu sebesar 0,31 kg/ekor/hari (SUYASA et al., 1998). Namun demikian, PBBH sapi yang ada di lokasi pengkajian masih dalam kisaran normal sebagaimana sapi-sapi yang dipelihara secara tradisional. NITIS dan MADREM (1978) menyatakan bahwa sapi yang dipelihara secara tradisional hanya dapat meningkatkan pertambahan berat badan harian berkisar 0,230,27 kg/ekor/hari. Teknologi pengolahan pakan jerami Jerami yang akan diolah adalah jerami padi, bukan jerami jagung, karena jerami jagung sangat sedikit ketersediaaannya, selain itu, dari kandungan nutrisinya yang relatif sudah tinggi tidak memerlukan perlakuan khusus lagi. Adapun jerami padi karena jumlahnya banyak dan nilai nutrisinya relatif rendah, diperlukan perlakuan khusus tidak hanya untuk meningkatkan nilai cernanya saja tetapi juga untuk meningkatkan daya simpan. Kegiatan pengolahan jerami fermentasi sedang dilaksanakan di lapangan dan belum diaplikasikan pada sapi, sehingga datanya belum bisa dilaporkan.
Tabel 7. Pertambahan berat badan sapi yang diberi pakan rumput dan jerami jagung Jenis kelamin sapi Betina Jantan
Berat badan awal 240,4 171
Rata-rata (kg) Berat badan akhir 254 194
PBBH (kg/ekor/hari) PBB 13,6 23
PBB : Pertambahan berat badan; PBBH : Pertambahanberat badan harian
278
0,28 0,48
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Jerami padi di lokasi pengkajian hampir tidak pernah digunakan sebagai pakan ternak, sehingga diperlukan penjelasan dan percontohan kepada peternak. Pakan yang umum diberikan hanyalah rumput alam dan jerami jagung dan sangat jarang diberikan pakan konsentrat (tambahan). Teknologi pengolahan pupuk kompos (pupuk kandang) Pembuatan pupuk kompos bagi kelompok tani Bali I khususnya merupakan hal yang baru, di mana sebelumnya mereka belum pernah membuatnya, sehingga terlebih dahulu dilakukan percontohan tentang tata cara pembuatan pupuk kandang yang baik dan benar dan dibuatkan bangunan tempat pengolahannya sebagai percontohan. Saat ini kelompok tani Bali I sudah mampu memproduksi sendiri pupuk kompos dengan teknologi introduksi. Bahkan sekarang ini sudah mulai memasarkan walaupun dengan skala yang masih terbatas. Mereka sudah mulai sadar bahwa pembuatan pupuk kandang, selain bermanfaat untuk tanaman mereka sendiri, juga bisa dijadikan sebagai usaha sambilan. Mereka sudah secara rutin membuat pupuk kandang secara gotong royong. Kotoran ternak diperoleh tidak hanya dari kandang kelompok, namun juga dari sapi-sapi yang dikelola secara individu. Pembagian pupuk dan keuntungan dimusyawarahkan bersama. Teknologi pengolahan pupuk kompos ini relatif mudah dilaksanakan oleh petani dan tidak menyita tenaga dan waktu. Waktu pemrosesan pupuk sampai siap digunakan relatif singkat, yaitu 4 minggu dengan komposisi kimia berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium disajikan dalam Tabel 8. Teknologi pengolahan pupuk organik sangat sesuai diterapkan di lokasi pengkajian dengan pertimbangan: (1) kondisi lahan pertanian miskin akan bahan organik dan hal ini sangat memerlukan pupuk kandang (pupuk organik), (2) bahan utama pembuat pupuk organik, yaitu kotoran sapi, tersedia di lokasi, (3) bahan tambahan pembuat pupuk organik seperti serbuk gergaji dan abu mudah diperoleh di lokasi dan (4) tersedia teknologinya.
Tabel 8. Hasil analisis laboratorium terhadap pupuk kompos produksi kelompok tani Bali I Parameter uji Air
Satuan
Hasil uji
%
11,49
pH
-
6,9
Nitrogen
%
1,09
Phosphor (P)
%
0,01
Kalsium (K)
%
0,07
Magnesium (Mg)
%
0,08
Sulfur (S)
%
0,10
Zat organik (C organik)
%
3,85
C/N ratio
-
3,53
KESIMPULAN DAN SARAN Lokasi pengkajian merupakan lahan kering yang didominasi oleh jenis tanah marginal dengan topografi miring, dan tanah-tanah tua. Tanah-tanah tersebut memiliki kesuburan yang rendah, antara lain dicirikan dengan kandungan bahan organik dan unsur hara terutama unsur makro rendah, tingkat kemasaman tinggi sehingga ketersediaan hara menjadi rendah. Selain itu, ketersediaan unsur makro seperti N tersedia, P tersedia, K tersedia rendah, meskipun kandungan N total dalam tanah tergolong sedang, dan P total sangat tinggi. Untuk basa-basa seperti Na, Ca, Mg tergolong rendah sampai tinggi, Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah tergolong tinggi. Berjenis Podsolik Merah Kuning (PMK) yang didominasi oleh Ultisols, memiliki ketersediaan unsur hara N, P2O5 dan K2O yang bervariasi antara sangat rendah sampai sedang, sehingga perlu penambahan pupuk, baik pupuk organik maupun pupuk anorganik, untuk dapat meningkatkan produksi dan pendapatan yang lebih baik. Ketersediaan sumber daya manusia pertanian, yaitu petani dan rumahtangganya, dan aparat pertanian, kelembagaan penunjang, kelembagaan petani, fasilitas usahatani, fasilitas penyuluhan dan pelayanan serta ketersediaan teknologi sangat memungkinkan produktivitas usahatani di lokasi pengkajian bisa lebih ditingkatkan lagi. Varietas jagung yang paling adaptif adalah Semar-10, dengan dosis pemupukan, urea: 100
279
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
kg, SP36: 100 kg, KCl: 100 kg dan pupuk kompos 1.500 kg, mendapatkan hasil 6,83 ton/ha jagung pipilan kering dengan R/C ratio 2,6. Varietas padi yang paling adaptif adalah Situpatenggang, dengan dosis pemupukan, urea: 200 kg, SP36: 50 kg, KCl: 50 kg dan pupuk kompos 1.000 kg, mendapatkan hasil 4,65 ton/ha gabah kering dengan R/C ratio 2,12. Rata-rata pertambahan berat badan ternak dengan diberikan pakan rumput dan jerami jagung dalam kisaran normal. Reproduktivitas ternak mengalami kendala akibat kurang tersediaanya pejantan dan tidak adanya inseminasi buatan. Ketersediaan ternak sapi di lokasi pengkajian memungkinkan untuk penyediaan pupuk organik secara kontinyu. Dengan sistim dikandangkan (kelompok), kotoran ternak lebih mudah dikoleksi dan dalam jumlah lebih banyak (rata-rata 7,5 kg/ekor/hari). Pengolahan pupuk kandang secara aerob lebih mudah dilaksanakan oleh petani. Ketersediaan pejantan dibutuhkan untuk memacu peningkatan populasi ternak. PRAKIRAAN DAMPAK DAN RENCANA TINDAK LANJUT Introduksi teknologi berupa varietas unggul padi dan jagung serta penggunaan pupuk kandang (organik) dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani, hal ini bisa dilihat dari hasil analisa usahatani. Kondisi ini diharapkan akan bisa mengubah pola pikir petani yang selama ini hanya mengusahakan usahatani secara tradisional. Kotoran ternak, yang selama ini tidak pernah dikelola untuk dijadikan kompos, ternyata mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan produksi. Demikian halnya dalam penggunaan varietas, ternyata varietas unggul lebih tahan terhadap penyakit dan memberikan produksi yang jauh lebih tinggi. Adanya hasil yang demikian, introduksi teknologi dimungkinkan secara bertahap akan diadposi oleh petani yang pada gilirannya mampu meningkatkan pendapatan dan taraf kehidupan mereka. Kegiatan pengkajian ini baru berjalan satu tahun dan merupakan kegiatan baru dan masih
280
banyak hal-hal yang perlu diperbaiki. Pemilihan varietas unggul di antara 3 varietas yang terbaik masih akan diuji lagi dalam skala lebih luas di tahun anggaran 2004 dan perbaikan pengelolaan kotoran ternak sampai pembuatan pupuk komposnya masih perlu dilakukan monitoring untuk meningkatkan kualitas pupuknya dan peluang pemasaran pupuk. Sedangkan untuk ternaknya sendiri teknologi kecukupan pakan, terutama dengan memanfaatkan limbah jerami padi yang diolah secara amonia-fermentasi, masih akan dilanjutkan pada tahun berikutnya (2004). Dengan demikian, akhir dari kegiatan ini suatu paket teknologi yang lengkap tentang pengelolaan tanaman pangan dan ternak secara terintegrasi dan berkelanjutnya dapat dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA ADININGSIH, J.S. 1998. Peranan efisiensi penggunaan pupuk untuk melestarikan swasembada pangan. Inovasi Teknologi Pertanian. Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Buku I. hlm. 151162. DINAS KEHEWANAN KALIMANTAN TENGAH. 2001. Kebijakan dan strategi pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah tahun 20012005. Disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi dan Teku Informasi Pertanian Sub Sektor Peternakan, Tanggal 13-14 Nopember 2001 di Palangka Raya. DIWYANTO, K., BAMBANG R. PRAWIRADIPUTRA dan D. LUBIS. 2002. Integrasi tanaman-ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa, Vol. 12, No. 1. hlm.1-8. ELLA, A., M. SARIUBANG, D. BACO dan S. SAENONG. 2002. Crop livestock system di Sulawesi Selatan: Suatu pendekatan sistim pertanian secara terpadu. Makalah disampaikan pada Apresiasi Teknis Program Litkaji Sistim Usahatani Tanaman Ternak (Crop-Animal Systems), Pasuruan, 28 Mei–3 Juni 2002. FACHRI, S., M.S. MOKHTAR, B.N. UTOMO, AMIK, K., A. HARTONO, SUNARDI dan R. JAYA. 2002. Laporan hasil studi pemahaman sistim usahatani di lahan kering (Kasus Kelurahan Tumbang Tahai Kecamatan Bukit Batu Kota Palangka Raya). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangka Raya.
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
GOMEZ, A.A and K.A. GOMEZ. 1993. Statistical Procedures for Agricultural Research, The International Rice Research Institute, Los Banos. HAIRIAH, K. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. ICRAF, Bogor. HARIYANTO, B., I. INOUNU, I.G.M. BUDI ARSANA dan K. DIWYANTO. 2002. Panduan teknis sistim integrasi padi-ternak. Departemen Pertanian. MULLEN, M.D. 1998. Transformation of Other elements. In: Principles and Applications Soil Microbiology. Prentice-Hall, New Jersey. SETIJONO, S. 1996. Intisari Kesuburan Tanah. IKIP Malang Press, Malang.
SUYASA, NYM., I.A. PARWATHI, S. GUNTORO, SUPRAPTO dan S., Widiyazid. 1998. dampak introduksi paket teknologi probiotik dalam pengembangan sapi potong berwawasan agribisnis dengan pendekatan partisipatif di Bali. JPPTP No. 1. hlm. 51-68. TJIONGERS’S, M. 2001. Jagung Hibrida, Komoditas Andalan Sulawesi Selatan. Abdi Tani. PT. Tanindo Subur Prima, Surabaya. UTOMO, B.N., S. FACHRI, M.S. MOKHTAR, AMIK, K., A. HARTONO, SUNARDI dan R. JAYA. 2002. Peranan ternak pada sistim usahatani lahan kering di Kalimantan Tengah. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner di Bogor, 29-30 September 2002.
281