PERILAKU PETERNAK SAPI POTONG DALAM PENJUALAN SAPI BETINA PRODUKTIF (KASUS PADA SENTRA PRODUKSI SAPI BALI DI SULAWESI SELATAN) (Beef Cattle Farmers Behaviour in Sales Cow Productive (Cases in Sentra Production of Bali Beef Cattle in South Sulawesi)) Palmarudi Mappigau, Siti Nurani Sirajuddin, Kasmiyati Kasim, Veronika Lestari, dan Sitti Rohani Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalenrea, Makassar
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Barru dan Gowa yang merupakan sentra produksi sapi Bali di Sulawesi Selatan, yang difokuskan untuk mengungkapkan besarnya peluang peternak sapi potong untuk berprilaku dalam penjualan sapi betina produktif didasarkan atas komponen perilaku (sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus yang dilakukan melalui metode survei. Sebanyak 197 orang petani ternak digunakan sebagai sampel, dan data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peternak memiliki peluang yang besar untuk berperilaku dalam penjualan sapi betina produktif. Hal tersebut karena walaupun peternak menyakini konsekwensi menjual sapi betina produktif serta menghindari penjualannya (sikap), namun tekanan sosial yang memaksa peternak untuk tidak menjual sapi betina produktif rendah (norma subjektif) dan peternak sangat mudah untuk melakukan penjualan sapi betina produktif (kontrol perilaku yang dirasakan). Penelitian ini memberikan implikasi terhadap penerapan teori TPB dalam bidang peternakan serta menjadi informasi bagi para praktisi dalam merusmuskan kebijakan untuk mencegah pengurasan populasi sapi betina produktif di wilayah sentra produksi Kata kunci : sapi betina produktif, perilaku peternak, sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan PENDAHULUAN Seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat dan kesadarannya akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan, maka kebutuhan permintaan daging sapi menjadi semakin meningkat. Sementara laju peningkatan populasi ternak sapi potong didalam negeri sebagai bahan baku produksi daging tidak dapat mengimbangi laju permintaannya sehingga ketersediaan daging dalam negeri selalu mengalami kekurangan. Salah satu faktor penyebabnya adalah pengurangan popolasi sapi induk yang semakin tinggi sebagai akibat desakan untuk mencukupi permintaan (Kuswaryan et al. 2003). Avianto dan Ritinov (2010) melaporkan bahwa secara nasional diperkirakan sekitar 150-200 ribu ekor sapi betina produktif dikeluarkan setiap tahunnya di wilayah sentra produksi. Sementara itu, di Sulawesi Selatan, yang merupakan salah satu wilayah sentra produksi sapi Bali di
303
Indonesia, persentase pengurangan populasi (pemotongan, pengeluaran ternak dan kematian) mencapai 13,29% sedangkan persentase pertambahan populasi ( pemasukan sapi, kelahiran baik hasil IB maupun kawin alam) mencapai 7, 42 % , sehingga laju penurunan populasi per tahun adalah – 4,59 % (Sonjaya, 2005). Sampai saat ini, berbagai upaya kebijakan telah ditempuh pemerintah (pusat dan daerah) untuk penyelamatan sapi betina produktif, baik secara makro (kebijakan pelarangan pemotongan dan pembatasan pengeluaran sapi betina produktif) maupun secara mikro (kebijakan pemberian dana insentif pada peternak), namun pemotongan sapi betina produktif di RPH dan perdagangan sapi betina produktif antar pulau dan pasar hewan di wilayah sentra produksi masih terus berlangsung dan bahkan sulit untuk dikendalikan (Sonjaya dan Idris, 1996; Sunari, Avianto, dan Ritinov, 2010; Diwiyanto, 2011; Sukanata et al., 2011; dan Sonjaya,2012). Masih sangat sedikit sekali penelitian tentang penyebab pengeluaran/pengurasan populasi sapi betina produktif di wilayah sentra produksi sapi potong. Hafid dan Syam (2001) dan Soejosopoetro (2011) menemukan bahwa penyebab utama penurunan populasi sapi potong adalah seringnya terjadi kasus pemotongan sapi betina yang masih produktif di RPH, dan jumlah pemotongan sapi betina produktif tersebut sudah melampaui ambang batas keamanan dalam kelestarian dan pengembangan populasinya. Selanjutnya, ditemukan bahwa penyebab dari pemotongan sapi betina produktif adalah karena banyak RPH hanya berorientasi keuntungan, dan alasan utama jagal memotong sapi betina produktif adalah sulit mencari sapi kecil untuk dipotong, sapi jantan sudah diantar pulaukan, tidak paham kalau memmotong sapi produktif melanggar undang-undang, harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan tetapi harga dagingnya sama. Kelemahan dari penelitian tersebut adalah tidak mempelajari penyebab pemotongan sapi betina produktif secara utuh, RPH/jagal dianggap sebagai satu-satunya pelaku pemotongan sapi betina produktif dan mengabaikan peranan peternak sebagai pelaku yang paling hulu dari proses kegiatan pemotongan sapi betina produktif. Konsekwensinya, penelitian tersebut juga tidak dapat mengungkapkan penyebab pemotongan sapi betina produktif di non RPH serta penyebab sapi betina produktif diperdagangkan antar pulau dan di pasar hewan, padahal menurut Sonjaya (2012); Sukanata, Suciani, Budiartha (2011) selain pemotongan, pengeluaran ternak sapi betina produktif untuk diperdagangkan antar pulau juga memiliki andil yang besar terhadap pengurasan sapi betina produktif di wilayah sentra produksi sapi potong Penjualan sapi betina produktif tergantung pada perilaku peternak, yang ditentukan oleh norma (norms), keyakinan (beliefs) dan sikap (attitudes) mereka terhadap penjualan sapi betina produktif. Oleh karena itu, pemahaman mengenai perilaku peternak tersebut adalah penting untuk mengetahui alasan mengapa peternak melakukan tindakan penjualan sapi betina produktif serta menjelaskan faktor-faktor yang memicu perilaku peternak tersebut (Herath, 2010). Selama ini, perilaku peternak dalam menjual sapi betinak produktif masih dipahami secara umum yakni karena alasan desakan kebutuhan ekonomi, seperti untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Setyono,2011), atau membutuhkan dana tunai untuk kebutuhan hidupnya (Adnan (2012). Namun, pemahaman tersebut masih perlu dibuktikan secara empirik, mengingat hasil evaluasi terhadap kebijakan/program pemerintah untuk penyelamatan betina produktif yang dilaporkan Ilham (2006) dan Melles (2008) menunjukkan bahwa banyak program pemberian insentif (dana) terhadap para peternak yang gagal untuk menekan penjualan sapi betina produktif atau sulit untuk diaplikasikan dalam jangka panjang karena terkendala jumlah
304
anggaran yang tersedia dari APBN dan APBD serta terkendala oleh pendampingan dan pengawasan terhadap penggunaan anggaran tersebut pada tingkat petani ternak yang jumlahnya mencapai jutaan rumah tangga. Selanjutnya, dari banyak hasil studi empirik yang dilakukan terhadap perilaku petani, perilaku petani dalam berusaha tani tidak hanya dipicu oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh banyak aspek yang lain, yakni karakteristik petani (Vanslembrouck et al, 2002;. Sheikh et al, 2003.), karakteristik rumah tangga pertanian (Potter dan Gasson, 1988), dan karekteristik usahatani (Solano et al, 2003). Dengan demikian, penelitian mengenai perilaku peternak dalam penjualan sapi betina lokal (sapi Bali) produktif di wilayah sentra produksi dapat memberikan manfaat bagi para pengambil kebijakan dalam perumusan kebijakan penyelamatan sapi betina produktif yang lebih tepat sasaran melalui pendekatan terhadap pengendalian perilaku peternak. Bagi ilmu pengetahuan, teori perilaku (Theory Planned Behaviours, TPB) belum pernah diaplikasikan dalam konteks perilaku peternak dalam penjualan sapi betina produktif, dan pengintegrasiannya dengan teori sosial ekonomi peternakan sapi potong akan dapat lebih memperkaya kerangka teori TPB. selanjutnya, penelitian ini bermanfaat bagi peternak dalam merubah perilakukanya dari perilaku penjualan sapi betina produktif kepada perilaku pengembangan usaha sapi potongnya. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengungkapkan besarnya peluang peternak untuk berprilaku dalam penjualan sapi betina produktif di wilayah sentra produksi sapi potong lokal (sapi Bali) di Sulawesi selatan dengan menganalisis komponen perilaku (sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan). KAJIAN PUSTAKA Perilaku dari peternak dalam penjualan sapi betina produktifnya, dapat didekati dengan teori perilaku yaitu Theory of Planned Behavior (TPB). Theory of Planned Behavior terdiri dari dua antasenden yakni intensi berperilaku (intention behaviour) dan kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control). Intensi untuk berprilaku menunujkkan seberapa keras seseorang memiliki keinginan untuk mencoba, seberapa besar usahanya merencanakan sehingga dapat menampilkan suatu perilaku. Intensi untuk berprilaku ini adalah suatu fungsi dari sikap terhadap perilaku dan norma subjektif dari perilaku. Sikap terhadap perilaku adalah kepercayaan-kepercayaan individu mengenai konsekuensi dari menampilkan suatu perilaku (behavioral beliefs); sedangkan norma subjektif adalah persepsi individu terhadap belief tentang apakah suatu perilaku merupakan perlaku yang tepat atau tidak atau adanya tekanan dari luar untuk menampilkan dan tidak menampilkan suatu perilaku (normative beliefs ). Kontrol perilaku yang dirasakan adalah persepsi seseorang tentang kemudahan atau kesulitan untuk menampilkan suatu perilaku. Persepsi ini merupakan refleksi dari masa lampau individu dan juga halangan/rintangan untuk menampilkan perilaku (Azjen, 1991). Perilaku peternak dalam penjualan sapi betina produkktif dikendalikan/dipicu oleh banyak faktor, yang dapat dikelopokkan terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal atau karakteristik individu antara lain ketrampilan, kemampuan, informasi,, dsb. Faktor-faktor eksternal meliputi situasi dan faktorfaktor lingkungan. (Hall dan Hofer, 1993; Azwar, 2000) . Clark dan Marshall,
305
2002).menyatakan bahwa perilaku peternak ditentukan oleh hubungan antara harapan tentang masa depan, dan perhitungan akan risiko dan imbalannya. Sutrisno (2006) menyebutkan bahwa kegiatan atau perilaku dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah faktor adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat serta faktor pendidikan, pekerjaan, luas dan status kepemilikan tanah, pendapatan, budaya, strata sosial dan informasi. Menurut Armand dan Syahibuddin (1983), beberapa faktor yang mempengaruhi peternak dalam pengambilan keputusan produksi sapi potong antara lain faktor biofisik seperti iklim, biologik dan tanah sementara faktor sosial ekonomi seperti modal, keterampilan dan pengetahuan peternak, pemasaran, kelembagaan dan kebijakan pemerintah. Chilonda dan Van Huylenbroeck, (2001) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengatuhi perilaku peternak dalam mengambil keputusan produksi/ usaha sapi potong kedalam variabel yang berkaitan dengan karakteristik peternak dan usaha ternak, faktor ekonomi, kelembagaan, dan faktor biofisik. Faktor yang terkait dengan karakteristik peternak adalah tujuan memelihara ternak, pengetahuan tentang usaha peternakan, sikap terhadap resiko, pengalaman dan pendidikan. Faktor yang terkait dengan karakteristik usaha ternak adalah : orientasi pasar, sistem produksi, ketersediaan sumberdaya (modal, tenaga kerja, dan pakan), pendapatan dari usaha ternak dan usahatani lainnya, luas dan status kepemilikan lahan, jumlah skala kepemilikan ternak, struktur umur dan jenis kelamin ternak. . Faktor yang terkait dengan ekonomi adalah eksistensi pasar input dan output, tingkat harga input dan output, dan hubungan permintaan dan penawaran. Faktor yang terkait dengan kelembagaan adalah kebijakan pemerintah, ketersediaan infrastruktur fisik, infrastruktur pasar, kelompok tani, sumber pembiayaan, sumber informasi dan layanan penyuluhan, dan biaya transaksi. Faktor yang terkait dengan biofisik adalah penjangkitan penyakit ternak, ketersediaan air, Disamping keempat faktor tersebut, Squires (2003), Jones (2006), dan Pike (2008) menambahkan bahwa perilaku dan pengambilan keputusan pada peternak juga dipicu oleh kharakteristik rumah tangga (jumlah anggota keluarga) dan faktor sosial dan budaya (modal sosial, nilai budaya pada ternak). Dalam beberapa tahun terakhir, studi tentang perilaku petani telah banyak mendapatkan perhatian dari para peneliti (Carr and Tait, 1991; Wilson, 1997; Austin et al., 1998a and b and 2005; Willock et al., 1999a and b; Beedell and Rehman, 2000). Untuk perlaku peternak sapi potong, penelitian sebelumnya oleh Kusna (2002 ) pada peternak sapi potong di Kabupaten Majelengka dalam menghadapi resiko usaha, menemukan bahwa petani ernak cenderung menolak atau enggan terhasdap resiko usaha, dan faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut adalah umur, luas lahan, pendidikan, pengalaman, status kepemilikan ternak, dan karakteristik keluarga. Murhadi (2011), meneliti perilaku peternak dalam beternak sapi potong di Kabupaten Temanggung, menemukan bahwa perilaku peternak dalam beternak sapi potong di Kabupaten Temanggung adalah semi modern. Peternak lebih mempercayai satu narasumber dalam mendapatkan pengetahuan untuk mengubah perilaku beternak sapi potong, yaitu blantik, mantri hewan, teman ataupun kenalan. Sementara itu, Elly dan Salendu (2012) meneliti perilaku petani ternak dalam berproduksi sapi potong di Kabupaten Minahasa, menemukan bahwa perilaku produksi ternak sapi potong dipengaruhi oleh harga ternak sapi, jumlah rumput yang dikonsumsi, jumlah limbah jagung dan jumlah anggota keluarga, perilaku pengalokasian tenaga kerja dipengaruhi oleh upah tenaga kerja, curahan tenaga kerja sebagai buruh tani dan biaya sarana; dan perilaku pengeluaran rumahtangga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, pendidikan formal dan total pendapatan rumahtangga untuk usaha ternak sapi.
306
Kemudian, Tomatala (2004) meneliti perilaku petani ternak dalam pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Cianjur, memukan adanya hubungan antara pemanfaatan media komunikasi dengan perilaku petani ternak. Roessali (2011) ) meneliti faaktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani ternak terhadap program pengembangan ternak sapi potong di Jawa Tengah, menemukan bahwa sebagian besar peternak 63,78% mempunyai respon rendah terhadap pengembangan sapi potong, dan sebesar 86,2% peternak berperilaku netral terhadap risiko beternak sapi. Suryana (2009) meneliti perilaku petani ternak dalam pola kemitraan sapi potong, menemukan bahwa persepsi peternak terhadap pola kemitraan sangat baik karena secara ekonomis memberikan keuntungan yang layak Luanmase (2011) meneliti faktor motivasi petani ternak lokal dan pendatang dalam berusaha sapi potong di Kabupaten Seram Bagian Barat, menemukan karakteristik yang berpengaruh signifikan terhadap motivasi adalah pengalaman peternak, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan pertanian, dan Dummy peternak. Roessali et al (2011) yang meniliti faktor-faktor yang memotivasi petani ternak dalam keputusan pengembangan usaha sapi potong di Jawa Tengah, menemukan bahwa jumlah tenaga kerja keluarga dan harapan untuk meningkatkan pendapatan memiliki pengaruh positif terhadap keputusan petani untuk meningkatkan skala usaha ternak sapi potongnya. Sebaliknya, tingkat pendidikan dan risiko bisnis memiliki pengaruh negatif terhadap keputusan petani untuk meningkatkan skala usaha sapi potongnya. Guntoro (2008) meneliti faktor yang memotivasi petani ternak di Jawa Tengah dalam berusaha sapi potong, menemukan bahwa faktor yang motivasi adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keselamatan, rasa memiliki, penghargaan, dan aktualisasi diri. Ada korelasi positif antara pengalaman beternak, jumlah kepemilikan ternak, alokasi waktu dalam beternak dan jumlah tenaga kerja dengan motivasi. Priyono (2008) meneliti pengaruh modal sosial petani ternak terhadap pengembangan usaha sapi potong, menemukan bahwa ikatan sosial (modal sosial) memiliki pengaruh yang nyata terhadap pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha ternak sapi potong. Semakin tinggi modal sosial, maka berkorelasi positif dengan pendapatan dan efisiensi ekonomi usaha. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Metode Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Gowa dan Kabupaten Barru yang merupakan wilayah sentra produksi sapi potong lokal (sapi Bali) di Sulawesi Selatan. Dipilihnya kedua kabupaten ini sebagai lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa di kedua kabupaten tersebut telah terjadi trend penurunan populasi sapi betina induk, dan telah terjadi penurunan kualitas genetik dan reproduksi akibat ternak yang berkualitas baik tidak tersisakan untuk pembibitan (Sonjaya, 2012; Wello dan Ismartoyo, 2005). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif (studi kasus) yang dilakukan melalui metode survei. Kasus yang dipelajari dalam penelitian ini adalah perilaku peternak dalam penjualan sapi betina produktif pada wilayah sentra produksi sapi potong lokal, di Sulawesi Selatan. Dalam studi kasus seperti itu terdapat tiga tipe penelitian, yaitu tipe ekploratif, deskriptif, dan eksplanatif (Yin, 2000).
307
Populasi dan sampel Mengingat ukuran populasinya tidak diketahui dengan pasti dan keberadaannya tersebar secara geografis, maka teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik multi stage cluster sampling. Dari setiap kabupaten dipilih sebanyak 3 kecamatan berdasarkan kepadatan sapi potong tertinggi, yakni Kecamatan Tanete Riaja, Pujananting, Mallusetasi di Kabupaten Barru, sementara di Kabupaten Gowa adalah Kecamatan Manuju, Parangloe, Bungaya. Dari setiap kecamatan terpilih tersebut, ditetapkan dua desa secara random, sehingga keseluruhannya ada 12 desa sebagai wilayah penelitian dengan jumlah petani ternak sapi potong sebanyak 2803 orang. Untuk menentukan besarnya ukuran sampel minimal yang harus diambil dari populasi tersebut, digunakan rumus Slovin (Umar,2004), dimana dengan tingkat kelonggaran 1 %, maka diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak 197 orang petani ternak. Instrumentasi penelitian Data diperoleh melalui obeservasi dan wawancara langsung dengan responden terpilih dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Mengingat pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, maka kesungguhan responden peternak dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian. Untuk itu, kuesioner penelitian diuji dengan menggunakan uji keandalan (test of reliability) untuk menguji kesungguhan jawaban responden. Data yang terkumpul melalui kuesioner diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dengan mengaplikasikan piranti lunak computer dengan SPSS 16.0. Hasilnya anisisis descriptif disajikan dengan rata-rata dan standar deviasi untuk data skala interval atau rasio, dan untuk data skala odinal disajikan dengan persentase dari respon tingkat kesetujuan dan tidak kesetujuan menggunakan skala likert 1 sampai dengan 6 untuk membantu menilai interprestasi data. HASIL DAN PEMBAHASAN Reliabilitas Pengukuran Beberapa konsep atau variable dari penelitian adalah tidak secara sempurna diukur oleh item tunggal, sehingga perlu dilakukan analisis reliabilitas untuk menjamin bahwa pengukuran konsep atau variable adalah memadai atau realibel. Secara umum yang digunakan mengukur reabilitas adalah konsistensi internal (Hair et al., 1998). Secara luas yang digunakan mengukur konsistensi internal adalah Cronbach’s alpha. Hasil perhitungan terhadap 16 item dengan SPSS menunjukkan bahwa nilai Cronbach’s alpha dari perilaku dalam penjualan sapi betina produktif adalah 67 %. Perilaku peternak dalam penjualan sapi betina produktif Dalam pengukuran perilaku (TPB), peternak responden diminta untuk menanggapi sebanyak 16 item pernyataanyang menyangkut komponen TPB yakni sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan control perilaku yang dirasakan. Hasil analisis deskriptif untuk pengukuran komponen perilaku tersebut disajikan pada Table 1. Dalam pengukuran perilaku (TPB), peternak responden diminta untuk
308
menanggapi sebanyak 16 item pernyataan yang menyangkut komponen TPB yakni sikap terhadap perilaku, norma subjektif, control perilaku yang dirasakan, dan intensi. Hasil deskriptif untuk pengukuran komponen perilaku disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen perilaku Peternak Dalam Penjualan Sapi Betina Produktif. RataRata SD Memelihara Sapi betina adalah penting bagi kelangsungan 5.1 0.44 usaha sapi potong saya Walaupun menguntungkan bagi saya, saya merasa bersalah 4.28 0.89 jika menjual sapi betina yang masih produktif /masih bisa beranak Jika ada peternak menjual sapi betina produktif, dengan 4.5 1.07 alasan kebutuhan uang, sulit pakan dan tenaga kerja, itu dapat dibenarkan Saya percaya orang-orang yang saya jadikan panutan, 3.77 0.945 menyetujui keputusan saya untuk menjual sapi betina produktif Apakah saya menjual sapi betina produktif atau tidak, itu 4.22 1.19 semua tergantung pada saya Keluarga saya medorong dan mendukung keputusan saya 3.87 1.07 untuk menjual sapi betina produktif Motivasi/dorongan saya untuk menjual sapi betina produktif, 3.95 1.26 didasarkan dari ada atau tidak adanya dukungan/dorongan keluarga saya Bagi saya, larangan untuk menjual sapi betina produktif 4.14 1.00 adalah tidak mungkin Sulit bagi saya untuk tidak menjual sapi betina produktif jika pendapatan saya rendah Pengalaman saya akan membuat lebih mudah bagi saya untuk menjual sapi betina produktif Jika saya mau, saya dapat menjual sapi betina produktif
% Setuju 94.47 61.31
72.36
44.72 60.8 53.77 52.76 64,82
4.52
1.32
76,88
3.84
0.78
77.39
4.5
0.82
70,85
Sumber: Olahan data primer, 2012 Dari Tabel 1 tersebut, aspek sikap, mayoritas petenak responden 94.47% menyetujui bahwa memelihara sapi betina adalah penting bagi kelangsungan usaha sapi potong saya, namun rata-rata sebanyak 64,31 % dari mereka yang termasuk pada tipe peternak yang menghindari menjual sapi betina produktifnya, karena menurut mereka “walaupun menguntungkan bagi saya, saya merasa bersalah jika menjual sapi betina yang masih produktif /masih bisa beranak 61.31,% dan sebanyak 72.36 % dari mereka tidak membenarkan, jika ada peternak menjual sapi betina produktif, dengan alasan kebutuhan uang, sulit pakan dan tenaga kerja. Dengan demikian, kebanyakan peternak merespon negatif terhadap penjualan sapi betina produktif karena mereka mengetahui konsekwensi dari penjualan sapi betina produktif bagi pengembangan usaha sapi potongnya. Sementara dari aspek subjektif norma , peternak responden tidak memerlukan persetujuan dari orang yang memiliki pandangan yang penting bagi mereka untuk
309
menjual sapi betina produktifnya, sebagaima ditunjukkan hanya 44.72 % dari peternak yang menyetujui “ pernyataan bahwa keputusannya untuk menjual sapi betina produktif memerlukan dukungan dan dorongan dari orang-orang yang dijadikan panutan” dan bahkan mereka juga tidak memerlukan persetujuan dari keluarganya sebagaimana ditunjukkan hanya 53.77 % yang menyetui pernyataan bahwa keluarga medorong dan mendukung keputusannya untuk menjual sapi betina produktif, mereka sendiri dan paling terasa bahwa apakah atau tidak mereka menjual sapi betina produktif ini akan sepenuhnya terserah mereka sendiri sebagaimana ditunjukkan bahwa sebanyak 60,8 % menyetujui jika menjual sapi betina produktif tergantung pada individu peternaknya. Temuan ini memberikan indikasi bahwa persepsi peternak terhadap rendahnya tekanan sosial memberikan peluang yang besar pada peternak untuk berprilaku dalam penjualan sapi betina produktifnya. Menurut Ajzen dan Fishbein (1980) norma subyektif dapat memberikan tekanan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu. Selanjutnya, dari aspek control perilaku yang direncanakan tampak bahwa peternak responden tidak memiliki hambatan untuk menjual sapi betina produktifnya, yang ditunjukkan sebanyak 70,85 % dari peternak responden mampu menjual sapi betina produktifnya kapanpun mereka inginkan. Temuan ini memberikan indikasi bahwa peternak memiliki peluang yang besar untuk berprilaku dalam penjualan sapi betina produktif, karena persepsi mereka terhadap mudahnya melakukan penjualan sapi betina produktif. Faktor yang memotivasi mereka menjual sapi betina produktif adalah pendapatan yang rendah 76,88 % dan pengalamannya dalam menjual sapi betina produktif ikut berperan dalam menjual sapi betina produktif berikutnya 77,39 %. Menurut Ajzen dan Madden (1986), kontrol perilaku yang dirasakan mempengaruhi niat dan perilaku sedemikian rupa sehingga semakin positif niat perilaku, dan semakin besar kemungkinan bahwa perilaku akan diewujudkan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Didasarkan hasil analisis komponen perilaku , maka dapat disimpulkan : Peternak memiliki peluang yang besar untuk berperilaku dalam penjualan sapi betina produktif. Hal tersebut karena dari aspek sikap, walaupun peternak mengetahui konsekwensi negatif dari penjualan penjualan sapi betina produktif, namun dari aspek norma subjektif, kurangnya tekanan sosial yang memaksa mereka untuk tidak menjual sapi betina produktif dan dari aspek kontrol perilaku yang dirasakan adalah sangat mudahnya untuk melakukan penjualan sapi betina produktif Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan keterbatasan penelitian, maka disarankan : 1. Penelitian ini memiliki keterbatasan yakni hanya menganalisis komponen perilaku peternak dalam penjualan sapi betina produktif. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dapat menguji faktor motivasi yang pemicu dan penghambat yang berpengaruh terhadap perilaku peternak dalam penjualan sapi betina produktif. 2. Bagi peternak, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk memperbaiki perilakunya dalam mengurangi penjualan sapi betina produktifnya
310
3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam menetapkan pola perilaku peternak yang akan dijadikan sasaran sebagai motivator lapangan dalam program penyelamatan sapi betina produktif UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama proses penelitian ini berlangsung hingga selesainya penyusunan laporan ini, Ucapan terima kasih dan apresiasi yang setingi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Hasanuddin dan Bapak Ketua LP2M Universitas Hasanuddin yang telah memberikan bantuan dana penelitian KINERJA. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis juga sampaikan kepada Ibu Ketua Jurusan Sosial Ekonomi dan Bapak Dekan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan dan nominasi kepada penulis untuk medapatkan bantuan dana penelitian KINERJA tersebut. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi pengembangan ilmu sosial ekonomi peternakan dan bagi pengembangan agribisnis sapi potong di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Adnan, S. K, 2012, penyelamatan betina produktif, www.fedcosierra.com/2011/12/penyelamatan-betina-produktif.html
fedco
sieera
Ajzen, I., and Fishbein, M., 1980. Understanding attitudes and predicting social behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Ajzen, I., and Madden, T. J., 1986. Prediction of goal directed behavior: Attitudes, intentions, and perceived behavioral control. Journal of Experimental Social Psychology, 22, 453-474. Chilonda,P and Van Huylenbroeck, G., 2001. A Conceptual Framework for the Economic Analysis of Factors Influencing Decision-Making of Small-Scale Farmers in Animal Health Management Rev. sci. tech. Off. int. Epiz, 20 (3), 687-700 Elly,F.H. dan Salendu, A.H.S, 2012. Analisis Ekonomi Rumahtangga Peternak Sapi Di Kecamatan Sinonsayang Kabupaten MinahasaJurnal Agribisnis dan Pembangunan Masyarakat (AGROPEM), 1(1) : 1 – 9 Guntoro, B., 2008. Motivation and Performance of Beef Cattle Smallholder Farmers in Central Java Indonesia, www.apeec.upm.edu.my/agrex/.../budi%20guntoro-117.pdf. Husein Umar,H., 2004. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Cetakan ke-6. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Herath, C.S., 2010. Motivation as a Potential Vatiable to Explain Farmers’ Behavioral Change in Agricultural Technology Adoption Decissions, Ekonomika A Management, strana 3 (63) Jones, G.E.2006. Modelling Farmer Decision-Making: Concepts, Progress and Challenges, Animal Science, 82 : 783-790:
311
Kusna, S., 2002. Kajian Perilaku Peternak Sapi Potong Dalam Menghadapi Resiko Kerugian Usaha (Studi Kasus pada Kelompok Peternak Sapi Potong "Mekar Wangi" di Desa Sindangwangi, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka) : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/14966 Kuswaryan, S., A. Firman, C. Firmansyah, dan S. Rahayu. 2003. Nilai Tambah Finansial Adopsi Teknologi Inseminasi Buatan Pada Usaha Ternak Pembibitan Sapi Potong Rakyat. Jurnal Ilmu Ternak 3(1): 11−17. Luanmase,C.M, 2011.. Motivasi beternak, Karakteristik peternak, Peternak lokal, Peternak transmigran, Motif ekonomi, Motif non ekonomi, Pendapatan. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Melles, W, 2008. Strategi Pencapaian Swasembada Daging Sapi Melalui Penanganan Gangguan Reproduksi dan Pemanfaatan Limbah Pertanian, pidato pengukuhan guru besarnya pada 31 Januari 2009, Besar Dalam Bidang Reproduksi Veteriner Tanggal Pengukuhan : 18-12-2008 Fakultas : Kedokteran Hewan, Unair Murhadi D, 2011. Perilaku Peternak Dalam Beternak Sapi Potong di Kabupaten Temanggung. Thesis Magister, Program Magister Ilmu Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Pike, T. 2008. Understanding Behaviour In A Farming Contex: Bringing Theoretical and Applied Evidence Together From Across Defra and Highlighting Policy Relevance and Implications for Future Research Defra Agricultural Change and Environment Observatory Discussion Paper Priyono. 2008. Studi Keterkaitan Antara Ikatan Sosial Dengan Pendapatan dan Efisiensi Ekonomi Usaha Ternak Sapi Potong Di Kabupaten Banjarnegara. Skripsi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Roessali,W.2011.Analisis Pengembangan Sapi Potong Dalam Upaya Pemenuhan Daging Sapi Di Jawa Tengah, Disertasi: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Roessali,W., Masyhuri, Nurtini,S and Darwanto,D.H.2011. Factors Influencing Farmers’ Decision To Increase Beef Cattle Business Scale In Central Java Province, J.Indonesian Trop.Anim.Agric. 36(1) : 27-35 Sonjaya, H. dan Idris, T. 1996. Kecenderungan Perkembangan Populasi Sapi Potong di Sulawesi Selatan. Forum Komunikasi Pimpinan Perguruan Tinggi Peternakan seIndonesia. 9 – 10 Agustus 1996. Ujung Pandang Sheikh, A. D., T.Rehman,. and C.M. Yates, 2003. Logit models for identifying the factors that influence the uptake of new no-tillage’ technologies by farmers in the rice-wheat and cottonwheat farming systems of Pakistan’s Punjab. Agricultural System (75): 79-95.. Solano, C., L., H.,E. Perez and M. Herrero, 2003. The role of personal information sources on the decision-making process of Costa Rican dairy farmers. Agricultural Systems (76): 318. Squires, V.R. 2003. Social Behaviour in Domestic Livestock: The Basis for Improved Animal Husbandry, Applied Animal Ethology, 1 (2) : 177–184
312
Sutrisno, 2006. Dampak Perilaku Peternak Dalam Konservasi Lahan Terhadap Produksi Dan Pendapatan Usahatani Hutan Rakyat Di Wilayah Perbukitan Kabupaten Bantul. Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Suryana, 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan Pola Kemitraan, Jurnal Litbang Pertanian, 28(1) : 29-37. Soejosopoetro, B. 2011. Studi Tentang PemotonganSapi Betina Produktif Di RPH Malang , J. Ternak Tropika, 12 (1) : 22-26 Sonjaya,H., 2012. Mengkaji Program Sejuta ekor sapi di Provinsi Sulawesi Selatan, dalam saintis-akademis.blogspot.com/. Tomatala, GSJ.2004 Pemanfaatan Media Komunikasi dan Perilaku Peternak Sapi potong Kasus Peternak Sapi Potong di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Tesis, Sekolah Pasca sarjana IPB Bogor Yin, R. K., 2000. Studi Kasus : Desain dan Metode. Cet. III, Terjemahan M. Djauzi Mudzakir. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Wello,B. dan Ismartoyo,2005. Strategi Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi Bali di Sulawesi Selatan: disnaksulsel.info/index.php?option...
313