II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Sapi Potong di Indonesia Jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia terdiri dari sapi lokal dan sapi impor yang telah mengalami domestikasi dan sapi yang mampu beradaptasi dengan kondisi iklim dan cuaca di Indonesia. Sapi tersebut (lokal maupun impor) sudah merupakan hasil persilangan dan cocok untuk dibudidayakan di Indonesia. Jenis sapi tersebut menyebar di wilayah Indonesia diantaranya sapi Bali, peranakan ongole (PO), dan sapi Madura. Sedangkan bangsa sapi impor adalah sapi Ongole, Limousine, Charolais, brahman, dan Australian Commercial Cross. Menurut Hafid (2005), salah satu sapi jenis Brahman yang banyak digunakan di Indonesia adalah sapi Brahman cross (BX). Di Indonesia sapi BX mulai diimpor sejak tahun 1973. Sapi BX merupakan hasil persilangan antara sapi Brahman dengan sapi hereford-shorthorn (HS). Sapi ini memiliki keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi makanan jelek serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi impor lain yang umum digemukkan di Indoneisa adalah sapi Australian Commercial Cross (ACC). Menurut Ngadiyono (1995), sapi ACC merupakan sapi hasil persilangan sapi – sapi di Australia yang tidak diketahui dengan jelas. Persilangan dapat berupa sapi Shorthorn cross (SX), BX maupun sapi - sapi yang cenderung masih mempunyai kesamaan darah brahman. Pengamatan di Indonesia mirip sapi hereford dan shorthorn yakni tubuh lebih pendek dan padat, kepala besar, telinga kecil dan tidak menggantung, tidak berpunuk dan gelambir, dan kulit berbulu di sekitar kepala. Menurut Australian meat and livestock corporation (1991), diacu dalam Hafid (2005), sapi ACC merupakan campuran bos indicus (sapi brahman) dan bos taurus (sapi british, short, hereford) sehingga mudah beradaptasi terhadap lingkungan sub optimal seperti brahman dan mempunyai pertumbuhan yang cepat seperti sapi british (pertumbuhan yang cepat dengan sistem feedlot). Hafid dan Hasnudi (1998) membuktikan bahwa sapi bakalan ACC akan sangat menguntungkan jika digemukkan selama 60 hari (1,61 kg/hari), jika dibandingkan dengan 90 hari.
8
2.2 Industri Penggemukan Sapi (feedloting) Menurut Hafid (2005), rendahnya produktivitas peternakan di indonesia yang masih bersifat subsisten dan mengandalkan peternakan rakyat menyebabkan tidak terpenuhinya permintaan terhadap komoditas hasil ternak, khususnya kebutuhan daging sapi. Hal ini mendorong berkembangnya industri feedloting di Indonesia dengan bakalan impor yang berasal dari Australia dan New Zealand. Kegiatan impor juga tidak hanya dalam hal mendatangkan bakalan sapi saja, tetapi juga berupa karkas dan daging beku yang jumlahnya terus meningkat. Menurut Purwanto (2000), penggemukan sapi adalah suatu usaha pemeliharan sapi yang bertujuan untuk mendapatkan produksi daging berdasarkan pada peningkatan bobot badan tinggi melalui pemberian makanan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat mungkin. Secara umum penggemukan sapi dapat dilakukan secara dikandangkan (feedlot fattening) dan dipadang rumput (pasture fattening). Pada umumnya industri fattening di indonesia dilakukan secara feedlot dengan pemberian makanan konsentrat berupa biji-bijian dalam jumlah besar dan ad libitum dengan lama penggemukan antara 90 – 180 hari. Menurut Basuki (2000), diacu dalam Hafid (2005), tujuan pemeliharaan sapi sistem feedlot adalah untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan sapi dikurangi biaya produksi yang terdiri dari biaya bibit (bakalan), pemeliharaan bakalan, biaya pakan, upah tenaga kerja, dll. Dalam biaya variabel, biaya pakan dapat mencapai 70 – 80 persen sehingga efisiensi penggunaan pakan penting diperhatikan dan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas karkas dan daging yang dihasilkan. Pemeliharaan dengan sistem feedlot, sapi dipelihara dengan menggunakan konsentrat tinggi untuk meningkatkan produksi dan kualitas tinggi. Dalam fase penggemukan, pertumbuhan mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas daging. Semakin tinggi tingkat perlemakan yang melebihi permintaan pasar mengakibatkan rendahnya persentase daging yang dihasilkan, dan sebaliknya. Komposisi dan proporsi karkas sangat tergantung pada bangsa (breed), umur, jenis kelamin, dan makanan (Aberle et al., 2001).
9
2.3 Komposisi Karkas Sapi Pengertian karkas sapi adalah bagian sapi setelah dipotong/dipisahkan dari kepala, kulit, kaki bagian bawah, dan jeroan. Penelitian Hafid (2005) yang berjudul Kajian Pertumbuhan dan Distribusi Daging serta Estimasi Produktivitas Karkas Sapi Hasil Penggemukan, bertujuan untuk mengkaji distribusi daging dan produktivitas karkas sapi potong. Objek penelitian yaitu Jenis sapi Australian Commercial Cross (ACC) dan Brahman Cross (BX) dengan mengklasifikasikan sex class (jenis kelamin), steer (jantan kastrasi), heifer (betina muda), cow (induk afkir). Masih menurut Hafid (2005), komposisi karkas sangat penting dalam produksi sapi potong dan pemasarannya. Karkas memberi spesifikasi yang berbeda dalam komposisi daging, lemak, dan tulang serta distribusinya di dalam karkas. Suatu karkas mendekati produktifitas optimum jika komposisi jaringan dari potongan komersial memenuhi spesifikasi pasar. Ia juga menunjukkan bahwa bangsa sapi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan distribusi komponen karkas dan potongan komersial karkas, sedangkan kategori jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap potongan chuck, cuberoll, silverside, topside, knuckle, dan flank. Estimasi geometri terhadap spesifikasi pasar tradisional dan pasar khusus juga menunjukkan perbedaan diantara cow, heifer, dan steer. 2.4 Penelitian Terdahulu Tentang Tataniaga Penelitian yang dilakukan oleh Rustijarno (2006) mengenai potensi dan peluang pemasaran ternak sapi potong di Kecamatan Srandakan, menggunakan metode survei dan melakukan analisis secara deskriptif. Objek penelitian adalah peternak rakyat dengan skala rumahan dimana merupakan usaha yang cukup dominan bagi warga kecamatan setempat. Para peternak sepakat untuk membentuk kelompok tani agar mempermudah proses pemasaran dari ternak sapi yang diusahakan. Dalam sistem pemasarannya, lembaga – lembaga yang terlibat adalah peternak, blantik, pedagang pengumpul, penjagal, dan pedagang daging, dengan pihak yang memegang peranan penting adalah blantik. Blantik merupakan pedagang perantara yang wilayah kerjanya meliputi tingkat dusun desa sampai
10
lintas kabupaten, sehingga memiliki posisi tawar yang kuat. Penjualan sapi terjadi langsung di kandang penggemukan dan dilakukan antara petani dan blantik dengan mekanisme yang telah disepakati. Sistem penentuan harga yang berlaku adalah dengan sistem taksiran harga dan tidak ada standarisasi harga. Keuntungan tataniaga menunjukkan bahwa kelompok ternak mendapatkan keuntungan Rp.10.000,- per ekor ternak yang dijual kepada blantik. Blantik mendapatkan keuntungan sebesar 28,50 persen, pedagang pengumpul 17,10 persen, penjagal 29,65 persen, dan pedagang daging sebesar 24,75 persen untuk setiap unit sapi yang dipotong. Penjagal mendapatkan keuntungan terbesar dari hasil penjualan non karkas. Penelitian Ratniati (2007) dengan judul Analisis Sistem Pemasaran Ternak Sapi Potong PT. Great Giant Livestock Company (GGLC) yang berlokasi di Lampung Tengah menganalisis saluran pemasaran, fungsi – fungsi pemasaran, struktur biaya, besar biaya, marjin pemasaran, R/C ratio, farmer’s share dan struktur, perilaku dan pelaksanaan pasar. Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survei pada sistem pemasaran ternak sapi potong dari PT. GGLC hingga ke konsumen. Metode pengumpulan data untuk analisis saluran pemasaran dan lembaga pemasaran dilakukan dengan pengambilan sampel, dimana wilayah yang dikaji adalah Bandar Lampung, Bogor, dan DKI Jakarta. Sedangkan sampel individu berjumlah 16 responden yang mewakili setiap lembaga yang terlibat yang terdiri dari pedagang penerima, pedagang pemotong/pengecer, agen, dan pedagang pemborong. Berdasarkan hasil pengamatan, pada wilayah Bandar Lampung terdapat 8 saluran pemasaran, wilayah Bogor terdapat 6 saluran pemasaran, dan wilayah Jakarta terdapat 5 saluran pemasaran. Margin pemasaran dihitung dengan satuan Rp/kg bobot hidup, sehingga tidak semua saluran dikaji nilai marginnya, karena saluran yang dihitung marginnya adalah saluran yang menggunakan satuan tersebut di tingkat produsen maupun di tingkat pengecer. Nilai farmer’s share pada pemasaran sapi cukup besar dengan rata – rata di setiap saluran diatas 90 persen, sehingga bagian yang didapat perusahaan cukup besar. Sistem penentuan harga yang dilakukan produsen (PT. GGLC) sangat mempengaruhi pembentukan harga pada lembaga pemasaran berikutnya. PT.
11
GGLC melakukan sistem standarisasi harga (Rp/kg bobot hidup) berdasarkan klasifikasi ternak sapi berdasarkan umur dan jenis kelamin, dimana harga sapi pejantan lebih tinggi dibandingkan sapi betina. Hal tersebut berbeda dengan penelitian Rustijarno (2006) dimana penetuan harga dilakukan dengan sistem taksiran. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa posisi perusahaan berbeda dengan posisi peternak rakyat, dimana perusahaan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi di pasar. Penelitian mengenai analisis tataniaga kambing PE di Jawa Tengah dilakukan oleh Permadi (2008). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis struktur, perilaku, dan keragaan pasar, margin tataniaga, dan nilai farmer’s share pada tataniaga kambing PE. Lokasi penelitian adalah di Desa Pandanrejo dengan pertimbagan bahwa lokasi merupakan sentra budidaya kambing PE terbesar di Kabupaten Purworejo sehingga dengan harapan bahwa desa ini dapat mewakili kondisi yang sebenarnya dari desa – desa lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan 15 pedagang, struktur pasar yang dihadapi penjual dan pembeli adalah pasar persaingan tidak sempurna sedangkan pasar yang dihadapi pedagang adalah persaingan monopolistik. Saluran pemasaran yang terbentuk secara umum terdiri atas 4 saluran yaitu : saluran I : peternak, pasar hewan, konsumen; saluran II : peternak, calo, pasar hewan, konsumen; saluran III : peternak, pasar hewan, supplier, konsumen; saluran IV : peternak, supplier, konsumen. Berbeda dengan Ratniati (2007), penjualan kambing dilakukan sistem grading / kelas yaitu grade A, B, C, dan D. Harga yang terbentuk otomatis berbeda – beda menurut sistem kelas/grade tersebut. Selain itu, usia juga mempengaruhi harga jual dari kambing PE tersebut. Nilai farmer’s share pada penelitian ini juga terbilang cukup tinggi dengan nilai minimal 80, 65 persen. Penelitian Arifianto (2007) dengan judul Analisis Marjin Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Daging Domba di Kabupaten Majalengka Jawa Barat. Tujuan penelitian ini umunya sama dengan yang dilakukan oleh Ratniati (2007) dan Permadi (2008) yaitu mengidentifikasi pola saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar, dan menganalisis marjin tataniaga. Tetapi yang membedakan adalah peneliti juga melakukan analisis keterpaduan pasar antara pemasok dan
12
pasar pengecer daging domba dengan menggunaka data sekunder berupa peerkembangan harga rata – rata mingguan daging domba. Penelitian ini dilakukan pada tiga pasar berbeda yang terdiri dari pasar pemasok (PTR) dan dua pasar pengecer. Pemilihan responden dilakukan dengan metode sensus di tiap – tiap lokasi pasar, yaitu pedagang pemasok, pedagang besar, dan pedagang pengecer sehingga didapat 9 orang pemasok, 18 orang pedagang besar, dan 24 pedagang pengecer. Saluran pemasaran yang terbentuk dibedakan menjadi dua menurut daerah, dengan pola saluran mirip antar keduanya yaitu Pedagang pemasok - pedagang besar - pedagang pengecer - konsumen. Dari hasil perhitungan marjin tataniaga, diketahui bahwa sebaran marjin kurang merata. Penelitian mengenai analisis sistem tataniaga beras pandan wangi di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dilakukan oleh Anniro (2009) yang bertujuan menganalisis lembaga dan fungsi tataniaga, mengidentifikasi saluran tataniaga dan menganalisis margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya dan struktur pasar sistem tataniaga beras pandan wangi. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena Kecamatan Warungkondang merupakan daerah sentra produksi beras pandan wangi. Berdasarkan penelusuran terhadap lembaga tataniaga dengan teknik snowball sampling, berhasil diidentifikasi 7 lembaga tataniaga dan terdapat 16 saluran tataniaga. Dalam sistem tataniaga beras pandan wangi, terjadi perubahan bentuk pada komoditi dimana produk yang dihasilkan petani berbeda dengan yang diterima konsumen akhir. Petani menjual dalam bentuk malai kering hasil panen, sedangkan konsumen akhir membeli dalam bentuk beras. Proses pengolahan dari malai kering sehingga menjadi beras siap pakai dilakukan oleh lembaga tataniaga yaitu penggilingan dan pabrik beras. Sehingga tengkulak yang membeli hasil panen dari petani harus menjual hasil panen tersebut ke penggilingan atau pabrik beras, tetapi terdapat tengkulak yang menggunakan penggilingan sebagai jasa pengolahan saja. Di samping kedua lembaga tersebut, juga terdapat Gapoktan yang juga melakukan fungsi pengolahan tersebut.
13
Dalam melakukan penghitungan margin tataniaga, Anniro (2009) mensetarakan struktur biaya dengan satuan harga beras siap pakai, sehingga harga dalam bentuk gabah atau malai kering dikonversikan dalam satuan harga beras siap pakai. Analisis struktur pasar dilakukan dengan membagi struktur pasar per lembaga tataniaga dan ditinjau dari sudut pandang lembaga sebagai penjual dan lembaga sebagai pembeli.
14