TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Pembangunan Peternakan Paradigma pembangunan peternakan adalah terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal.
Untuk mencapai paradigma tersebut dilakukan berbagai misi yaitu 1)
menyediakan pangan asal ternak, 2) memberdayakan sumberdaya manusia peternakan, 3) meningkatkan pendapatan peternakan, 4) menciptakan lapangan kerja peternakan, serta 5) melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya alam, yang secara keseluruhannya selaras dengan program pembangunan pertanian yaitu membangun ketahanan pangan dan mengembangkan sektor agribisnis pertanian (Sudardjat 2000). Selanjutnya pengembangan dibidang peternakan dilakukan melalui strategi pengembangan pilar peternakan utama yaitu 1) pengembangan potensi ternak dan bibit ternak, 2) pengembangan pakan ternak, 3) pengembangan teknologi budidaya.
Ketiga pilar utama peternakan terkait oleh sanitasi dan
kesehatan ternak serta peningkatan industri dan pemasaran hasil peternakan, pengembangan kelembagaan usaha dan keterampilan peternak serta kawasan pengembangan peternakan. Menurut Diwyanto et al. (2000) peternakan di Indonesia pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori sebagai berikut. 1. Usaha peternakan bersifat pre industri dimana usaha bersifat subsisten, semua aktivitas dilakukan oleh peternak, hampir tidak ada peran organisasi pemerintah maupun swasta. 2. Usaha peternakan yang mulai timbul pertimbangan industri atau bisnis. Disini peran pemerintah dalam banyak hal cukup dominan dan hampir tidak ada industri swasta yang terlibat. Contoh usaha ini adalah peternakan kerbau, dan ayam buras. 3. Usaha peternakan dalam tahap ekspansi, dimana peran pemerintah dan swasta cukup besar.
Pada tahap ini peran pemerintah dalam hal penelitian dan
pengembangan cukup dominan walaupun swasta sudah tertarik untuk berusaha seperti contoh pada usaha sapi perah, domba, dan itik.
4. Usaha peternakan tahap industri yang matang, dimana peran swasta sangat dominan serta telah mampu mengembangkan penelitian dan pengembangan untuk mendukung usahanya. Kebijaksanaan
pengembangan
pakan
ternak
diarahkan
untuk
mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku pakan lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku pakan. Kebijaksanaan pengembangan pakan ternak meliputi : a) kebijakan pakan konsentrat, yaitu mengusahakan tersedianya bahan baku pakan konsentrat dengan jumlah dan mutu yang terjamin, mudah diperoleh disetiap waktu dan tempat serta harganya dapat dijangkau oleh peternak, mengusahakan adanya berbagai pilihan produsen pengolah pakan mulai dari pabrik besar sampai pada unit-unit pengolahan pakan skala kecil yang ada di pedesaan, mengusahakan agar dapat dibangunnya silo-silo seperti silo jagung pada sentra produksi jagung, serta mengkaji ulang standar mutu bahan baku pakan dan pakan. b) pengembangan pakan hijauan, yaitu mengoptimalkan lahan-lahan potensial untuk penyediaan bahan pakan hijauan dengan meningkatkan partisipasi peternak, mengembangkan teknologi limbah pertanian dan industri pertanian untuk pakan, mengembangkan jenis-jenis hijauan pakan sesuai dengan kondisi agroklimat setempat, serta mengembangkan tanaman leguminosa lokal sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pakan hijauan yang diberikan peternak (Sudardjat 2000). Secara umum untuk pengembangan pakan memiliki permasalahanpermasalahan, antara lain : a) kebutuhan bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih mengandalkan impor, b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara optimal, c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinyu dan kurang berkualitas, d) penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal, e) pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah, f) penerapan teknologi hijauan pakan masih rendah, g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi data yang kurang tepat, serta h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan (Budiman 2001). Pengembangan peternakan di Sulawesi Selatan memiliki misi a) menyediakan pangan asal ternak yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas, b) memberdayakan sumberdaya manusia peternakan agar menghasilkan produk yang
berdaya saing tinggi di pasar domestik maupun global, c) menciptakan peluangpeluang usaha untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, d) menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis dan agroindustri peternakan, dan e) memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya pendukung peternakan (Dinas Peternakan Sulawesi Selatan 2001a). Program strategis pembangunan peternakan di Sulawesi Selatan meliputi tiga hal yaitu 1) peningkatan ketahanan pangan, diarahkan pada upaya-upaya peningkatan dan pengembangan usaha-usaha peternakan skala kecil dalam penyediaan sumber protein hewani dan menunjang ketahanan pangan, 2) pengembangan agribisnis, diarahkan untuk pengembangan komoditas ungggulan yang bersifat komersial, memiliki daya saing yang tinggi serta mendukung ekonomi wilayah di pedesaan, dan 3) pengamanan penyakit hewan, upaya untuk mencegah, membantu dan menanggulangi penyakit hewan yang ada baik penyakit bersifat ekonomis maupun penyakit yang bersifat strategis (Dinas Peternakan Sulawesi Selatan 2001b). Berbagai permasalahan dalam pembangunan peternakan di Sulawesi Selatan, adalah : 1) kecenderungan penurunan populasi khususnya sapi dan kerbau karena makin tingginya pemotongan betina produktif serta faktor keamanan juga sangat berpengaruh dimana minat sebagian peternak untuk memelihara ternak menurun, 2) skala usaha kecil, umumnya skala usaha masih terbatas pada skala usaha sambilan dan hanya sebagian kecil yang menjadikan usaha pokok dan cabang usaha sehingga untuk bersaing dengan daerah lain yang menjadikan komoditasnya sebagai usaha pokok kurang kompetitif, 3) kualitas produk peternakan masih rendah, 4) terbatasnya permodalan, 5) lemahnya kelembagaan terutama di tingkat kelompok tani dan peternak (Dinas Peternakan Sulawesi Selatan 2001b).
Sumberdaya Pakan Pakan atau makanan ternak adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan digunakan oleh ternak. Secara umum bahan makanan ternak adalah bahan yang dapat dimakan, tetapi tidak semua komponen dalam bahan makanan ternak tersebut dapat dicerna oleh ternak.
Bahan makanan ternak mengandung zat
makanan dan merupakan istilah umum, sedangkan komponen dalam bahan
makanan ternak tersebut yang dapat digunakan oleh ternak disebut zat makanan (Tillman et al. 1989). Bahan makanan ternak terdiri dari tanaman, hasil tanaman dan juga yang berasal dari ternak atau hewan (Tillman et al. 1989). Karena ternak umumnya tergantung pada tanaman sebagai sumber makanannya, maka Parra dan Escobar (1985) mengelompokkan pakan berdasarkan produk utamanya yaitu pakan yang berasal dari produk tanaman untuk manusia dan tanaman untuk makanan ternak, dengan klasifikasi seperti terlihat pada Gambar 1. Produk Utama (Primary Production)
Tanaman untuk Makanan Manusia
Limbah Industri Pertanian
Limbah Industri Pertanian Berserat Rendah
Limbah Industri Pertanian Berserat Tinggi
Tanaman untuk Makanan Ternak
Limbah Pertanian
Limbah Pertanian Berserat
Hijauan Alami
Hijauan Budidaya
Hijauan Lainnya
Produksi Ternak
Gambar 1 Sumberdaya pakan berdasarkan produk utama tanaman (Parra dan Escobar 1985). Menurut Jayasuriya (2002), sumberdaya pakan dapat dikategorikan dalam empat kelompok sebagai berikut. 1. Pakan dengan serat tinggi dan protein rendah. Jenis pakan yang tergolong dalam kelompok ini adalah limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung dengan karakteristik kandungan serat yang tinggi (>700 g dinding sel/kg bahan kering) dan kandungan protein yang rendah (20-60 g protein kasar/kg bahan kering).
2. Pakan dengan serat tinggi dan protein tinggi. Pakan yang termasuk kategori ini adalah beberapa limbah industri pertanian (agroindustrial byproducts) seperti dedak padi dan dedak jagung, termasuk pula limbah pertanian seperti limbah kacang tanah dan pucuk ubi kayu.
Karakteristiknya adalah kandungan
seratnya antara <400 - >700 g dinding sel/kg bahan kering dengan kandungan protein >60 g protein kasar/kg bahan kering. 3. Pakan dengan serat rendah dan protein rendah. Pakan yang termasuk dalam kategori ini adalah pakan dengan serat dan protein yang rendah, akan tetapi memiliki kandungan energi yang cukup tinggi seperti molases serta limbah industri pengolahan buah-buahan sehingga banyak digunakan sebagai sumber energi. 4. Pakan dengan serat rendah dan protein tinggi. Pakan kategori ini biasa disebut sebagai pakan konsentrat. Konsentrat dapat berasal dari bahan pangan atau tanaman serealia (jagung, padi atau gandum), kacang-kacangan (kacang hijau, kedelai), atau yang berasal dari hewan seperti tepung daging dan tepung ikan. Dilain pihak, Simbaya (2002) membagi sumberdaya pakan ternak ke dalam empat golongan, yaitu hijauan (forages), limbah pertanian (crop residues), limbah industri pertanian (agroindustrial byproduct) dan pakan non konvensional (non convensional feed). Forages adalah semua jenis hijauan pakan, baik yang sengaja ditanam maupun yang tidak.
Termasuk di dalamnya rumput dan
leguminosa, baik leguminosa menjalar, perdu maupun pohon.
Hartadi et al.
(1993) mengemukakan bahwa forages atau hijauan pakan adalah bagian tanaman terutama rumput dan leguminosa yang dipergunakan sebagai pakan ternak. Biasanya hijauan mengandung serat kasar sekitar 18% dari bahan keringnya. Hijauan makanan ternak bersumber dari padang rumput alam atau dengan melakukan penanaman hijauan makanan ternak. Jenis dan kualitas hijauan dipengaruhi oleh kondisi ekologi dan iklim di suatu wilayah (Simbaya 2002). Ketersediaan hijauan pakan ternak di Indonesia tidak tersedia sepanjang tahun, dan hal ini merupakan suatu kendala yang perlu dipecahkan. Musim penghujan produksi hijauan berlimpah, dan sebaliknya pada musim kemarau mengalami kekurangan. Hijauan pakan yang tersedia di pedesaan adalah rumput unggul, rumput lapangan dan leguminosa (Diwyanto et al. 1996).
Pengembangan ternak khususnya ternak ruminansia masih tergantung pada kecukupan
tersedianya
pakan
hijauan
baik
jumlah,
kualitas
dan
kesinambungannya sepanjang tahun. Hijauan pakan yang digunakan untuk ternak ruminansia sering mengalami kekurangan terutama di musim kering dengan mutu yang rendah. Selain itu penggunaan lahan untuk tanaman pakan masih bersaing dengan tanaman pangan karena tanaman pakan belum menjadi prioritas (Sajimin et al. 2000). Limbah pertanian adalah pakan yang bersumber dari limbah tanaman pangan dan produksinya sangat tergantung pada jenis dan jumlah areal penanaman atau pola tanam dari tanaman pangan di suatu wilayah (Makkar 2002).
Produksi limbah pertanian dapat diestimasi berdasarkan asumsi dari
perbandingan antara produk utama dengan limbahnya. Estimasi produksi limbah pertanian dapat menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan angka konversi (rasio) yang digunakan. Untuk mengetahui produksi limbah pertanian di suatu wilayah dapat diperkirakan berdasarkan luas areal panen dari tanaman pangan tersebut (Jayasuriya 2002). Jenis limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang kedelai, jerami kacang tanah dan pucuk ubi kayu (Djajanegara 1999). Menurut Djajanegara (1999), beberapa kendala pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan adalah pada umumnya memiliki kualitas rendah dengan kandungan serat yang tinggi dan protein dan kecernaan yang rendah, akibatnya bila digunakan sebagai pakan basal dibutuhkan penambahan bahan pakan yang memiliki kualitas yang baik (konsentrat) untuk memenuhi dan meningkatkan produktivitas ternak. Kendala lainnya adalah produksi limbah pertanian bersifat musiman yaitu melimpah saat panen dan jumlah limbah pertanian yang dapat dikumpulkan oleh perternak terbatas karena tidak memiliki fasilitas untuk penyimpanan. Menurut Soetanto (2000), untuk mengatasi masalah pakan secara umum dapat dilakukan tiga pendekatan. Pertama, memperluas keragaman sumber pakan dengan melakukan upaya pemanfaatan lahan tidur untuk penanaman hijauan makanan ternak, pemanfaatan limbah pertanian dan industri, dan menghidupkan kembali tanah-tanah pangonan. Selain itu dengan melakukan sistem pertanian
lorong dan intensifikasi lahan pekarangan dengan memanfaatkan leguminosa perdu. Kedua, meningkatkan kualitas pakan melalui peningkatan kualitas pakan basal, peningkatan nilai nutrisi protein serealia dan upaya menghilangkan senyawa antinutrisi dalam pakan. Ketiga, memperbaiki sistem pemberian pakan dengan upaya yang dilakukan adalah perbaikan formulasi ransum ternak yang sesuai dengan daerah tropis dan manajemen pemberian pakan untuk ternak. Untuk memanfaatan limbah pertanian dan industri pertanian sebagai pakan perlu diperhatikan beberapa hal yaitu : a) jumlah yang tersedia (kuantitas) untuk dapat digunakan sebagai pakan, b) distribusi yaitu jarak antara lokasi produksi limbah tersebut dengan tempat pemeliharaan ternak (pedesaan), c) infrastruktur yang
berhubungan
dengan
transportasi
dan
fasilitas
penanganan
dan
penyimpanan, d) kesinambungan produksi, dan e) teknologi yang tersedia dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan efisiensinya (Preston 1986). Tingkat adopsi suatu inovasi teknologi pakan dalam pengembangan pakan sangat kompleks. Namun satu hal yang sering diabaikan adalah kurangnya pemahaman terhadap persepsi peternak dibanding dengan para peneliti. Soetanto (2001) mengidentifikasi beberapa penyebab kegagalan program-program di bidang pengembangan pakan seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Persepsi peneliti dan peternak tentang sumberdaya pakan Kriteria
Peneliti
Peternak •
Padang rumput
Pakan jerami
Mengurangi pakan konsentrat
Dapat diberikan jika kekurangan hijauan
•
• •
•
Jerami amoniasi
Teknologi sederhana
•
•
Silase
Pakan untuk musim kemarau
•
•
Sumber : Soetanto (2001)
Tidak memiliki lahan khusus untuk penanaman rumput Lahan prioritas untuk tanaman pangan Jerami untuk ternak kerja Tidak punya jerami dan sulit dikumpulkan Tidak ada waktu Memerlukan input dan peralatan dalam pembuatannya Tidak punya cukup rumput Tidak ada waktu untuk membuat Menambah biaya
Limbah Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia Limbah tanaman pangan memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat digunakan sebagai makanan ternak. Karakteristik limbah tanaman pangan secara umum dengan kualitas nutrisi yang rendah sehingga memiliki keterbatasan dalam penggunaannya sebagai pakan ternak (Shanahan et al. 2004). Jerami padi merupakan salah satu limbah tanaman pangan yang terdapat dalam jumlah melimpah dan mudah diperoleh untuk dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Karakteristik jerami padi ditandai dengan tingginya kandungan serat kasar dan rendah kandungan nitrogen, kalsium serta fosfor. Hal ini mengakibatkan daya cerna jerami padi rendah dan konsumsi menjadi terbatas, akan tetapi masih potensial digunakan sebagai sumber energi (Leng 1980). Upaya meningkatkan nilai manfaat jerami padi sebagai pakan telah dilaporkan beberapa peneliti.
Ternak sapi yang mendapat pakan dengan
perlakuan jerami padi ditambahkan urea 4% menunjukkan pertambahan berat badan dan konversi ransum nyata lebih baik dibandingkan dengan pakan jerami dengan penambahan kombinasi 2% urea dan 3% kapur (Xuan Trach et al. 2001). Xuan Trach (2004) melaporkan bahwa teknologi peningkatan nilai nutrisi jerami padi dengan perlakuan penambahan urea sebagai pakan ternak sapi pada kondisi peternakan rakyat dapat meningkatkan produktivitas ternak dengan tingkat konsumsi dan pertambahan berat badan yang lebih baik dibandingkan dengan jerami padi tanpa penambahan urea. Tingkat adopsi peternak dan penerapan teknologi tersebut dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi seperti pola pikir dan perilaku peternak, serta pemahaman terhadap manfaat yang dapat diperoleh dengan menerapkan teknologi tersebut. Penelitian penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia dilaporkan Bestari et al. (1999), bahwa pemberian pakan hijauan silase jerami padi yang ditambahkan mikroba rumen kerbau pada sapi peranakan ongole jantan yang sedang tumbuh dapat memberikan nilai gizi dan nilai manfaat ransum yang lebih baik daripada jerami padi tanpa pengolahan, dan setara dengan pakan hijauan rumput gajah. Pemberian pakan silase jerami padi yang ditambahkan mikroba rumen kerbau pada sapi peranakan ongole jantan yang sedang tumbuh
memberikan pengaruh yang terbaik terhadap nilai kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan NDF bila dibandingkan dengan pakan hijauan rumput gajah maupun jerami padi. Pengolahan jerami padi yang difermentasi dengan starbio menunjukkan komposisi nutrien jerami padi mengalami peningkatan kualitas dibanding jerami padi yang tidak difermentasi. Dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi, jerami padi yang difermentasi dengan probiotik starbio mengalami peningkatan kandungan protein kasar. Komposisi serat jerami padi tanpa fermentasi nyata lebih tinggi dibanding dengan jerami padi yang difermentasi dengan starbio (Syamsu 2001a). Dalam aplikasi di lapangan pada peternakan rakyat menunjukkan rata-rata konsumsi bahan kering pakan terdapat perbedaan nyata antara jerami padi fermentasi (4.41 kg/ekor/hari) dengan jerami padi tanpa fermentasi (3.35 kg/ekor/hari) pada ternak sapi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa jerami padi yang difermentasi dengan probiotik mempunyai palatabilitas yang lebih tinggi dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi. Pertambahan berat badan sapi dipengaruhi oleh faktor kualitas pakan, serta kemampuan ternak untuk memanfaatkan pakan tersebut. Rataan pertambahan berat badan harian menunjukkan bahwa sapi Bali yang diberi jerami padi fermentasi memberikan respon pertambahan berat badan harian yang lebih tinggi (0.37 kg) dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi (0.25 kg). Pertambahan berat badan yang lebih tinggi pada jerami fermentasi dipengaruhi oleh konsumsi pakan yang juga tinggi (Syamsu et al. 2003). Teknologi fermentasi jerami padi dengan litter ayam dapat meningkatkan kualitas protein kasar jerami padi, konsumsi bahan kering dan pertambahan berat badan ternak sapi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jerami padi yang difermentasi dengan urea (Quoc Viet dan Duc Kien 2001). Dilain pihak, Syamsu (2001b) menyatakan bahwa penambahan manure ayam memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar protein kasar jerami padi. Kadar protein kasar antara tanpa penambahan manure ayam dan 10% manure ayam tidak menunjukkan perbedaan, tetapi kedua perlakuan tersebut lebih rendah dibanding dengan penambahan manure ayam 20 dan 30 %. Protein kasar jerami padi dapat meningkat dengan penambahan manure ayam sebagai starter (Suryani 1994).
Perlakuan
biologis
dapat
menyebabkan
ikatan
lignoselulose
dan
lignohemiselulose pada jerami padi merenggang dan akhirnya putus (Komar 1984) dan putusnya ikatan tersebut disebabkan oleh mikroorganisme yang terdapat pada manure ayam (Laconi 1992). Haryanto et al. (2004) menyatakan bahwa peningkatan nilai nutrisi jerami padi dapat dilakukan melalui bioproses fermentasi menggunakan probiotik sebagai pemacu pemecahan komponen lignosellulosa di dalam jerami padi tersebut. Pemberian jerami padi fermentasi dengan probion sebagai pakan domba dapat meningkatkan produktivitas domba dibandingkan dengan pemberian pakan secara tradisional. Dilain pihak, Martawidjaja dan Budiarsana (2004) melaporkan bahwa jerami padi yang difermentasi dengan probion dapat menggantikan rumput raja sebagai pakan dasar untuk ternak kambing PE betina fase pertumbuhan. Pemberian jerami padi fermentasi secara terpisah dari konsentrat menghasilkan respon pertumbuhan dan konversi pakan yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk ransum komplit. Peningkatan nilai nutrisi daun ubi kayu dengan teknologi silase dilaporkan oleh Chhay Ty dan Rodríguez (2001), menunjukkan bahwa dengan penggunaan aditif cairan limbah industri sirup dapat menurunkan pH silase dari awal fermentasi (pH 6.10) dan setelah difermentasi selama 14 hari menjadi 3.73. Dengan demikian silase daun ubi kayu dapat disimpan dalam beberapa waktu untuk selanjutnya digunakan sebagai pakan ternak. Dilain pihak, penggunaan hay daun ubi kayu dengan ransum basal jerami padi dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan pada ternak sapi (Vongsamphanh dan Wanapat 2004).
Analisis Perumusan Strategi Strategi adalah alat untuk mencapai tujuan, dalam perkembangannya konsep mengenai strategi terus berkembang (Rangkuti 2002). Karena strategi adalah alat untuk mencapai tujuan, maka strategi harus memiliki sifat antara lain menyatu (unified) yaitu menyatukan seluruh bagian, menyeluruh (comprehensive) yaitu mencakup seluruh aspek, dan integral (integrated) yaitu seluruh strategi akan cocok atau sesuai seluruh tingkatan (Wahyudi 1996).
Menurut Nickols (2000), strategi dapat diartikan dalam beberapa hal seperti rencana, pola, posisi, serta pandangan. Sebagai rencana, strategi berhubungan dengan bagaimana memfokuskan perhatian dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai pola, strategi berarti suatu ketetapan yang berdasarkan alasan-alasan tertentu dalam menentukan keputusan akhir untuk memadukan kenyataan yang dihadapi dengan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai posisi, strategi berarti sikap yang diambil untuk mencapai tujuan, dan sebagai pandangan strategi berarti cara memandang bentuk dan acuan dalam mengambil keputusan atau tindakan. Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat (Glueck dan Jauch 1994). Esensi strategi merupakan keterpaduan dinamis faktor eksternal dan faktor internal yang berisikan strategi itu sendiri. Strategi merupakan respon yang secara terus-menerus atau adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal (Rangkuti 2002). Manajemen strategi dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi suatu keputusan sehingga mampu mencapai tujuan obyektifnya. Proses manajemen strategi terdiri atas tiga tahap yaitu perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi. Perumusan strategi adalah mengenali peluang dan ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Implementasi strategi sering disebut tahap tindakan manajemen strategi dengan mengubah strategi yang telah dirumuskan menjadi suatu tindakan. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dari manajemen strategi dengan melakukan tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu meninjau faktorfaktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi, mengukur prestasi dan mengambil tindakan korektif (David 2001). Menurut Wahyudi (1996) tahap perumusan atau pembuatan strategi merupakan tahap yang paling menantang dan menarik dalam proses manajemen strategi. Inti pokok dari tahapan ini adalah menghubungkan suatu organisasi dengan lingkungannya dan menciptakan strategi-strategi yang cocok untuk
dilaksanakan. Proses pembuatan strategi terdiri dari empat elemen seperti dipaparkan sebagai berikut. a. Identifikasi masalah-masalah strategik yang dihadapi meliputi lingkungan eksternal dan internal. b. Pengembangan
alternatif-alternatif
strategi
yang
ada
dengan
mempertimbangkan strategi yang lain. c. Evaluasi tiap alternatif strategi. d. Penentuan atau pemilihan strategi terbaik dari berbagai alternatif yang tersedia. Dalam melakukan perumusan strategi dapat digunakan alat formulasi yaitu analisis SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats). Analisis SWOT adalah analisis identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Hax dan Majluf 1991). Proses penggunaan analisis SWOT menghendaki adanya suatu survei internal tentang strengths (kekuatan) dan weaknesses (kelemahan), serta survei eksternal atas opportunities (peluang/kesempatan) dan threats (ancaman) (Subroto 2003). Analisis SWOT secara sederhana dipahami sebagai pengujian terhadap kekuatan dan kelemahan internal, serta kesempatan/peluang dan ancaman lingkungan eksternal. SWOT adalah perangkat umum yang didesain dan digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan dan sebagai perencanaan strategis dalam berbagai terapan (Johnson et al. 1989). Dilain pihak, Marimin (2004) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan suatu strategi yang didasarkan pada logika. Teknik perumusan strategi yang dikembangkan oleh David (2001), dilakukan dengan tiga tahap pelaksanaan dan menggunakan matriks sebagai model analisisnya. Tiga tahapan kerangka kerja dimaksud adalah tahap input (the input stage), tahap pencocokan (the matching stage) dan tahap keputusan (the decision stage). Uraian setiap tahapan tersebut menurut David (2001) diperlihatkan pada Gambar 2.
Tahap 1. Tahap Input Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)
Matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI)
Tahap 2. Tahap Pencocokan Matriks Threats-Opportunities Weaknesses-Strengths (TOWS)
Tahap 3. Tahap Keputusan Matriks Quantitative Strategic Planning (QSPM)
Gambar 2 Kerangka analisis perumusan strategi (David 2001).
1. Tahap Input Tahap input merupakan langkah pertama yang meringkas informasi input dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi dengan menggunakan matriks evaluasi faktor eksternal dan matriks evaluasi faktor internal. Matriks evaluasi faktor eksternal digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal berkaitan dengan peluang dan ancaman. Tujuan evaluasi eksternal adalah
untuk
mengembangkan
daftar
terbatas
peluang
yang
dapat
dimanfaatkan dan ancaman yang harus dihindari. Seperti yang tersirat dalam istilah terbatas, audit eksternal tidak bertujuan mengembangkan daftar panjang dan lengkap dari setiap faktor kemungkinan yang dapat mempengaruhi akan tetapi mengenali variabel kunci yang menawarkan respon yang dapat dilakukan. Dilain pihak, matriks evaluasi faktor internal digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting.
2. Tahap Pencocokan Tujuan tahap pencocokan adalah menghasilkan strategi alternatif yang layak, bukan untuk memilih atau menetapkan strategi mana yang terbaik. Tahap pencocokan dari kerangka kerja perumusan strategi digunakan matriks TOWS atau lebih dikenal dengan matriks SWOT. Dalam penggunaan matriks SWOT sangat ditentukan oleh informasi yang diperoleh dari tahap input untuk mencocokkan peluang dan ancaman eksternal dengan kekuatan dan kelemahan internal. Mencocokkan faktor-faktor sukses kritis eksternal dan internal merupakan kunci untuk secara efektif menghasilkan strategi alternatif yang layak dan merupakan bagian sulit terbesar untuk mengembangkan matriks SWOT karena memerlukan penilaian yang baik, dan tidak ada satu pun kecocokan terbaik. Oleh karena itu tidak semua strategi yang dikembangkan dalam matriks SWOT akan dipilih. Matriks SWOT merupakan alat pencocokan yang dapat membantu dalam mengembangkan empat tipe strategi yaitu strategi SO (StrengthsOpportunities),
strategi
WO
(Weaknesses-Opportunities),
strategi
ST
(Strengths-Threats) dan strategi WT (Weaknesses-Threats). Strategi SO atau strategi kekuatan-peluang adalah menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang eksternal, dan strategi WO atau strategi kelemahanpeluang
bertujuan
untuk
memperbaiki
memanfaatkan peluang eksternal.
kelemahan
internal
dengan
Strategi yang menggunakan kekuatan
internal untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal adalah strategi ST atau strategi kekuatan-ancaman, dan strategi WT atau strategi kelemahan-ancaman merupakan strategi yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. 3. Tahap Keputusan Teknik untuk mencocokkan yang dijelaskan di atas menghasilkan strategi alternatif yang layak.
Selanjutnya dilakukan tahapan keputusan
dengan menggunakan Quantitative Strategies Planning Matrix (QSPM) atau Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif. Penggunaan matriks ini secara
sasaran menunjukkan strategi alternatif mana yang terbaik untuk dipilih dengan menggunakan informasi dari tahap input dan tahap pencocokan. QSPM adalah alat untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara obyektif berdasarkan faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Secara konseptual tujuan QSPM adalah untuk
menetapkan daya tarik relatif (relative attractiveness) dari strategi-strategi yang bervariasi yang telah dipilih, untuk menentukan strategi mana yang dianggap paling baik untuk diimplementasikan dengan menggunakan penilaian intuitif yang baik dalam menyeleksi strategi alternatif tersebut.
Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) Problem sistem tidak semuanya dapat dipecahkan hanya melalui komponen-komponen yang terukur. Komponen yang tidak terukur sering mempunyai peranan yang cukup besar. Untuk mengevaluasi nilai-nilai sosial dalam masyarakat yang kompleks diperlukan suatu metode yang cocok yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan adanya interaksi antara judgment dengan fenomena sosial itu. Proses hirarki analitik (PHA) dapat digunakan
untuk
memecahkan problema-problema yang terukur maupun yang memerlukan suatu judgement (Saaty 1993). Prinsip kerja PHA adalah membuat bagian-bagian yang sederhana delam suatu hirarki persoalan yang tidak terstruktur, strategis dan dinamik (Marimin 2004). PHA merupakan salah satu teknik pengambilan keputusan yang dapat digunakan dalam penentuan atau perencanaan suatu strategi. memasukkan
pertimbangan-pertimbangan
logis
dari
Alat ini
faktor-faktor
yang
berpengaruh, berikut aktor dan tujuan masing-masing dari suatu permasalahan yang kompleks yang dipetakan secara sederhana menjadi suatu hirarki. Tingkat konsistensi adalah salah satu penentu utama yang merupakan pertimbangan pokok keputusan strategis yang diambil. PHA merupakan model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan dari (Saaty 1993). PHA memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis. Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk
menyusun hirarki suatu masalah dan pada logika, intuisi dan pengalaman untuk memberikan pertimbangan. PHA menunjukkan bagaimana menghubungkan elemen-elemen dari bagian lain untuk memperoleh hasil gabungan. Prosesnya adalah mengidentifikasi, memahami, dan menilai interaksi suatu sistem sebagai satu kesatuan. Tahapan terpenting dalam analisis pendapat adalah penilaian dengan teknik komparasi berpasangan terhadap elemen-elemen keputusan pada suatu tingkat hirarki keputusan (Saaty 1993). Menurut Saaty (1993) penyelesaian persoalan dengan menggunakan PHA dilakukan dengan beberapa prinsip dasar yaitu dekomposisi, menentukan prioritas dan konsistensi logis, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Dekomposisi adalah pemecahan persoalan yang menjadi unsur-unsurnya setelah persoalan tersebut dirumuskan secara baik. Unsur-unsur persoalan yang telah terpecahkan dapat dipecah lagi menjadi unsur yang lebih kecil, sehingga diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang akan ditelaah. 2. Penilaian perbandingan adalah kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap penentuan prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. 3. Menentukan prioritas adalah penentuan eigen vektor dari matriks untuk menentukan prioritas lokal dari setiap pairwise comparison. Oleh karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis di antara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hirarki. Pengaturan elemenelemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis disebut sebagai priority setting. 4. Konsistensi logis adalah tindakan a) mengelompokkan obyek-obyek serupa sesuai dengan keseragaman dan relevansinya, dan b) evaluasi intensitas relasi antar gagasan atau antar obyek yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu, saling membenarkan secara logis.
Prinsip dasar PHA ke dalam langkah penyusunan matriks pendapat meliputi analisis persoalan, penyusunan hirarki, komparasi berpasangan, sintesa prioritas dan pemeriksaan konsistensi (Saaty 1993). 1. Komparasi berpasangan, dilakukan melalui pengisian kuisioner oleh responden. Jika responden bukan seorang ahli, harus dipilih orang yang mengenal dengan baik permasalahan. Kuantifikasi data yang bersifat kualitatif menggunakan nilai skala komparasi 1 sampai 9 (Tabel 2).
Tabel 2 Skala banding secara berpasangan pada proses hirarki analitik Intensitas Pentingnya
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya 1 3
5 7
9 2,4,6,8 Kebalikan
Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan sedikit penting ketimbang yang lainnya menyokong satu elemen atas yang lainnya Elemen yang satu esensial atau Pengalaman dan pertimbangan dengan sangat penting ketimbang elemen kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat disokong, dan dari elemen yang lainnya dominannya telah terlihat dalam praktek Satu elemen mutlak lebih penting Bukti yang menyokong elemen yang satu ketimbang elemen lainnya atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai-nilai antara di antara dua Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan yang berdekatan pertimbangan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Sumber : Saaty (1993).
2. Matriks pendapat individu dengan simbol aij, merupakan pendapat dari hasil komparasi berpasangan ke dalam formulasi pendapat individu membentuk matriks n x n (Gambar 3). C1
C2
•
•
Cn
C1
1
a12
•
•
a1n
C2
1/a12
1
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Cn
1/a1n
•
•
•
1
Gambar 3 Formulasi matriks pendapat individu (Saaty 1993).
3. Matriks gabungan dengan simbol Gij, merupakan matriks pendapat gabungan dan merupakan matriks baru yang elemen-elemen matriksnya berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu dengan rasio inkonsistensi memenuhi syarat yaitu lebih kecil atau sama dengan 10%. Formulasi rata-rata geometrik adalah : m Gij =
Dimana : Gij (aij)k k m
m Π (aij) k=1
k
= variabel matriks pendapat gabungan baris ke-i dan kolom ke-j = variabel baris ke-i kolom ke-j dari matriks pendapat individu ke-i = indeks matriks pendapat individu ke-k yang memenuhi syarat = jumlah matriks pendapat individu yang memenuhi syarat
4. Mensintesis prioritas untuk melakukan pembobotan vektor-vektor prioritas. Menggunakan komposisi secara hirarki untuk membobotkan vektor-vektor prioritas itu dengan bobot-bobot kriteria, dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikutnya, dan seterusnya. 5. Mengevaluasi konsistensi untuk seluruh hirarki.
Langkah ini dilakukan
dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria yang bersangkutan dan menjumlahkan hasilnya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks inkonsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks.
Dengan cara yang sama, setiap indeks
inkonsistensi acak juga dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Rasio inkonsistensi ini harus bernilai 10% atau kurang.