14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir serta proses pembangunan merupakan perubahan sosial budaya (Tjokroamidjojo dan Mutopadidjaya, 1980).
Jadi pembangunan bermakna perubahan, yang
mengarah pada peningkatan kesejahteraan manusia, peningkatan standar hidup, perbaikan pendidikan dan kesehatan serta keadilan dalam berbagai kesempatan adalah unsur-unsur yang esensial dalam pembangunan ekonomi.
Pendapatan
perkapita tanpa disertai dengan adanya transformasi sosial dan struktur ekonomi belum dipandang sebagai pembangunan. Karena mengukur pembangunan adalah sulit, karena menyangkut aspek-aspek bukan material, sehingga pengukuran pembangunan sering dipersempit dengan pembangunan ekonomi. Menurut
Todaro
(2000),
pembangunan
merupakan
suatu
proses
multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Sedangkan menurut Budiharso (2001), pembangunan merupakan suatu usaha untuk menyediakan banyak alternatif yang sahih bagi setiap warga negara untuk mencapai aspirasi yang paling humanistic. Selanjutnya Todaro (2000), menyatakan terdapat tiga tujuan inti dari pembangunan, yaitu : (1) Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kehidupan yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan, (2) Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang semuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan material melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan, dan (3) Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan,
15
bukan hanya terhadap orang atau negara bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan Jhingan (2004), menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai kenaikan jangka panjang dari kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang ekonomi pada penduduk dan kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan serta idiologis yang diperlukan.
Adapun ciri yang menandai
pertumbuhan ekonomi dapat dikemukakan sebagai berikut : (1) laju pertumbuhan penduduk dan produk per kapita, (2) peningkatan produktivitas, (3) laju pertumbuhan struktural yang tinggi, (4) urbanisasi, (5) ekspansi negara maju, dan (6) arus modal dan orang antar bangsa atau wilayah.
Ciri-ciri pertumbuhan
ekonomi modern sebagaimana tersebut di atas adalah saling mengait, semuanya tejalin dalam urusan sebab akibat. Pembangunan juga sebagai “the process of improving the quality of all human lives” yang dibatasi dengan tiga aspek (Todaro, 1977), yaitu : a. Mempertinggi tingkat penghidupan bangsa, yaitu tingkat pendapatan dan konsumsi pangan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya melalui proses pembangunan ekonomi. b. Menciptakan keadaan yang dapat membantu pertumbuhan rasa harga diri melalui pembangunan sistem dan lembaga sosial, politik dan ekonomi yang dapat mengembangkan rasa harga diri dan rasa hormat terhadap kemanusiaan . c. Mengembangkan kebebasan untuk memilih dengan jalan memperluas rangkaian
kesempatan
untuk memilih,
misalnya
dengan
menambah
keanekaragaman jenis barang konsumsi dan jasa yang tersedia. Fenomena umum dari ketidak terpaduan kebijakan pembangunan (Stohr, 1981), adalah : a. Penarikan kembali faktor-faktor produksi dari wilayah-wilayah yang telah diseleksi untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya (nasional atau internasional) b. Produktivitas tenaga kerja manusia wilayah yang merupakan sisa-sisa sumber daya manusia wilayah tersebut adalah sangat rendah, tenaga kerja demikian kurang menguntungkan.
16
c. Kerusakan lingkungan dan ketidak seimbangan hubungan manusia dengan lingkungan akibat frekuensi kepuasan yang berlebihan dari pengambilan sumber daya yang ada di daerah tersebut. d. Memperkenalkan faktor-faktor produksi yang dominan (modal, teknologi, bentuk organisasi dan sebagainya) kepada daerah-daerah yang kurang berkembang. Dengan demikian kenaikan share dari pada aktivitas wilayah menjadi tergantung pada organisasi yang diawasi dari luar (multi-regional atau multi-nasional). e. Ketidak terpaduan struktur sosial dan struktur politik, sehingga berpengaruh terhadap keadaan perekonomian dan pembangunan, terutama bagi orangorang miskin dan golongan penduduk yang kurang efektif. f. Penarikan
kembali
sumber-sumber
ekonomi,
sehingga
melemahkan
perekonomian daerah dan struktur sosial politik. Hal ini akan mengakibatkan wilayah tersebut sangat tergantung pada pihak dan organisasi dari pemerintah pusat. 2.2. Pendekatan Pembangunan 2.2.1. Pendekatan pada Pertumbuhan Ekonomi Sumber yang dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan ekonomi, yaitu : peningkatan modal per tenaga kerja dan penggunaan teknologi (Oliver Blanchard, 2002). Seiring dengan itu kebijakan pembangunan ekonomi selalu ditujukan untuk mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat dan dipandang seluruhnya merupakan usaha pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah.
Parameter
yang digunakan adalah Gross National Product (GNP). Pengukuran ini akan tercermin dari pendapatan per kapita. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukirno (1978), bahwa kebijakan dan perencanaan pembangunan bertujuan menciptakan pembangunan ekonomi yang hasilnya secara merata dapat dirasakan oleh masyarakat, menciptakan pembangunan yang seimbang antar daerah, menciptakan kesempatan kerja semaksimum mungkin, dan melindungi perkembangan perusahaan-perusahaan nasional. Namun ternyata pertumbuhan GNP yang tinggi belum tentu menjamin berkurangnya kemiskinan, karena GNP diambil dari nilai rata-rata pendapatan per
17
kapita, jadi bisa saja orang kayanya sedikit tapi kaya sekali sehingga gap antara orang kaya dan orang miskin tinggi sekali, jadi bisa saja orang miskinnya banyak, sehingga banyak kritikan tentang pengukuran kemajuan pembangunan bila ditinjau hanya dari GNP saja. 2.2.2. Pendekatan pada Penyediaan Lapangan Kerja Pertambahan penduduk dan angkatan kerja di satu pihak dan laju serta arah investasi di lain pihak mempengaruhi masalah pengangguran dan perluasan kesempatan kerja. Pertambahan angkatan kerja juga mempengaruhi tingkat upah (dalam arti nyata) maupun aspek pembagian pendapatan masyarakat. Ditambah pula bahwa pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja serta tingkat fertilitas dari yang bersangkutan juga mempengaruhi tingkat tabungan masyarakat dan investasi untuk perluasan dasar ekonomi (Djojodikusumo, 1975). Sehingga pendekatan pada sumber daya manusia merupakan kunci keberhasilan bagi pembangunan bangsa. Pendapat ini didasarkan kepada, bahwa setiap investasi harus di arahkan bukan hanya untuk meningkatkan ”physical capital stock”, tetapi juga harus memperhatikan juga ”human capital stock” sehingga dapat terjamin kemajuan ekonomi dan stabilitas sosial (Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya, 1980). Dengan
demikian
dalam
mengejar
pertumbuhan
harus
sekaligus
memperhatikan masalah ketenaga kerjaan, seperti : a. Daya serap terhadap tenaga kerja b. Berbasis pada kondisi dan potensi wilayah c. Peningkatan tingkat pendidikan masyarakat d. Peningkatan tingkat kesehatan masyarakat Penyediaan dan perencanaan tenaga kerja antara lain dapat ditentukan dengan analisis input – output.
Untuk analisis impak dapat menggunakan
koefisien-koefisien yang dihasilkan dari tabel tersebut, dengan demikian total koefisien tenaga kerja dapat diketahui. 2.2.3. Pendekatan pada Keterkaitan Antar Sektor Tolok ukur keberhasilan pembangunan juga dapat dilihat dari keterkaitan antar sektor, pernyataan ini ditegaskan oleh Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju
18
(2007) bahwa kegagalan pemerintah (governance failure) di masa lalu adalah kegagalan di dalam menciptakan keterpaduan sektoral yang sinergis di dalam kerangka pembangunan wilayah. Pemerintahan yang sentralistik pada saat itu seringkali lembaga-lembaga (instansi) sektoral di tingkat wilayah/daerah hanya merupakan perpanjangan dari lembaga sektoral di tingkat nasional/pusat, dengan sasaran pembangunan, pendekatan, dan perilakunya tidak sinergis dengan institusi-institusi di tingkat daerah. Akibatnya, lembaga pemerintah daerah gagal memahami dan menangani kompleksitas pembangunan yang ada di wilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat sebagaimana mestinya. Selanjutnya Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju (2007), menambahkan bahwa dalam kacamata sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis.
Wilayah yang
berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang dinamis. Pada umumnya setiap daerah pasti memiliki keterbatasan sumberdaya, oleh karena itu dalam merencanakan pembangunan memerlukan skala prioritas sektor mana yang perlu didahulukan.
Menurut Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju
(2007), sektor-sektor yang diprioritaskan untuk dikembangkan terlebih dahulu adalah (1) sektor-sektor yang memiliki sumbangan langsung maupun tidak langsung paling besar terhadap pencapaian sasaran pembangunan, (2) sektorsektor yang memiliki banyak keterkaitan dengan sektor lainnya di wilayah tersebut, dan (3) sektor-sektor yang aktivitasnya lebih marata penyebarannya. Analisis keterkaitan adalah analisis untuk mengukur tingkat ketergantungan antar sektor dalam ekonomi dan sejauhmana sektor tertentu dipengaruhi sektor lainnya. Mekanisme keterkaitan antar sektor, tidak hanya terbatas pada tahap kaitan langsung (kaitan pertama) output sektor yang digunakan pada tahap pertama sebagai input, kaitan ini merupakan kaitan kedua (tidak langsung). Analisis mengenai keterkaitan ini akan mengarah kepada telusur keterkaitan yang bersifat ke depan (forward linkages) dan keterkaitan ke belakang (backward linkages) antara satu sektor dengan sektor lainnya. Tingkat keterkaitan ke depan biasanya disebut derajat kepekaan dapat diturunkan indeks derajat kepekaan.
19
Tingkat keterkaitan ke belakang yang disebut daya penyebaran dapat diturunkan indeks daya penyebaran. Indeks derajat kepekaan dan indeks daya penyebaran dapat digunakan untuk menganalisa dan menentukan sektor kunci (key sector) yang akan dikembangkan dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah (BPS, 1995).
2.2.4. Pendekatan pada Keterkaitan dengan Aspek Lingkungan Peningkatkan perekonomian yang disesuaikan dengan sumberdaya yang dimiliki (resources based approach) merupakan bagian yang mendasar dalam pembangunan, agar pembangunan tersebut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masa kini saja melainkan juga memikirkan keberlanjutananya di masa yang akan datang. Walaupun dalam pelaksanaannya sering menghadapi banyak kendala (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro, 1977) antara lain : 1. Adanya pendapat bahwa bertambahnya pencemaran terhadap lingkungan terjadi sedikit demi sedikit, sehingga tambahan pencemaran tidak berpengaruh dan manusia tetap dapat hidup. 2. Adanya pihak-pihak yang menentang kebijakan yang memperhatikan aspek lingkungan karena merasa kegiatannya dibatasi. 3. Adanya pihak yang berpegang teguh pada hal-hal tradisional dan menentang adanya perubahan. 4. Adanya pihak-pihak yang menolak pembagian insentif ekonomi yang dimaksudkan untuk perlindungan lingkungan karena menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat. Pembangunan yang demikian dikenal dengan istilah pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan tiga pilar kehidupan yaitu ekonomi, sosial, dan ekologis.
Oleh karena itu, konsep
berkelanjutan tersebut dapat diartikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sistem sosial, dan keberlanjutan ekologis. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa
20
mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya juga.
2.3. Kebocoran Wilayah (Regional Leakage) Pembangunan yang dilaksanakan di suatu wilayah pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut tanpa melupakan tujuan pembangunan yang lebih luas atau nasional. Kegagalan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan akan terlihat apabila laju pertumbuhan ekonomi meningkat, namun tingkat pendapatan masyarakat tidak meningkat atau tetap rendah.
Ini mengindikasikan bahwa kegiatan pembangunan di wilayah
tersebut belum mampu menciptakan spread effect di wilayah tersebut. Kegiatan pembangunan seringkali kurang dapat ditangkap secara lokal dan regional, sehingga penduduk setempat hanya menjadi penonton. Hal ini dapat terjadi karena berbagai hal, seperti sumberdaya manusianya yang belum siap menerima
perubahan,
kebijakan
pemerintah
yang
kurang
mendukung
perkebangan wilayah tersebut, memerlukan dana yang cukup besar serta dukungan pendanaannya yang sulit di akses oleh masyarakat di wilayah tersebut, sumberdaya alam yang tidak mendukung, dan lain-lain. Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat ditandai dengan tingginya keterkaitan ke belakang (backward linkage) sedangkan keterkaitan ke depannya (forward linkage) cenderung rendah dan juga berkaitan dengan rendahnya dampak pengganda (multiplier effect), karena nilai tambah (value added) yang semestinya ditangkap wilayah tersebut justru manfaatnya diambil wilayah lain. Beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat kebocoran wilayah, antara lain (Anwar, 1995) : a. Sifat Komoditas Komoditas yang bersifat ekspoitatif umumnya yang natural resources mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistim produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktifitas ekonomi suatu
21
komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lain. b. Sifat Kelembagaan Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan (owners), karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor pemilikan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata, namun sering terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara Indonesia atau warga negara asing dalam mengambil keputusan atau kebijakan akan berbeda jika dibandingkan dengan yang berasal dari daerah setempat. Pada umumnya tingkat kebocoran suatu wilayah dapat dilihat dari komposisi impornya, baik impor sebagai input antara maupun sebagai input dari komponen permintaan akhir.
Biasanya untuk mengukur tingkat kebocoran wilayah
digunakan rasio input antara yang berasal dari impor dengan total input yang berasal dari luar daerah lebih mementingkan profit sedangkan yang berasal dari daerah setempat yang dipentingkan selain profit, juga sosial budaya yang ada di daerah tersebut harus lebih terjamin kelangsungannya. 2.4. Efek Pengganda (Multplier Effect) Multiplier adalah koefisien yang menyatakan kelipatan dampak langsung dan tidak langsung dengan dampak langsung dari meningkatnya permintaan akhir sesuatu sektor sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor di wilayah tersebut (Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju, 2007).
Analisis multiplier
merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk menentukan tingkat ketergantungan dari beberapa sektor ekonomi. Suatu sektor dengan koefisien pengganda yang besar mencerminkan sektor tersebut mempunyai hubungan yang kuat dengan sektor lainnya.
Ada beberapa tipe multiplier, yaitu : output
multiplier, total value added multiplier atau PDRB multiplier, income multiplier, tax multiplier, employment multiplier, dan land use multiplier.
22
2.4.1. Output Multiplier Output multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di wilayah tersebut. Hubungan antara output dan permintaan akhir dijabarkan sebagai berikut : X = (I − A ) .P d −1
Dimana : X = matriks output 2.4.2. Total Value Added Multiplier atau PDRB Multiplier Total value added multiplier atau PDRB multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan PDRB. Total value added multiplier atau PDRB multiplier berhubungan dengan output secara linier yang dapat diasumsikan dengan persamaan matriks berikut : V = vX
Dimana : V v X
= matriks PDRB = matriks diagonal koefisien PDRB −1 = matriks output, X = (I − A) .P d
2.4.3. Income Multiplier Income multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga di wilayah tersebut secara keseluruhan. Karena : Vj = Wj + Tj
Dimana : Vj = input primer sektor j Wj = pendapatan rumah tangga (income) sektor j Tj = pendapatan prerusahaan sektor j Koefisien Income W j adalah : Wj =
Wj Xi
Sehingga income multiplier dapat dihitung dengan matriks :
W = wX Dimana : W
= matriks income
23
= matriks diagonal koefisien income −1 = matriks output, X = (I − A) .P d
w X
2.4.4. Tax Multiplier Tax multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pajak langsung neto.
2.4.5. Employment Multiplier Employment
multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir
suatu sektor terhadap peningkatan kesempatan kerja. Employment multiplier dapat dihitung jika diketahui koefisien tenaga kerjanya.
koefisien tenaga kerja
dapat dihitung sebagai berikut :
ti =
Li Xi
Dimana : ti Li Xi Sehingga :
= koefisien tenaga kerja sektor i = jumlah tenaga kerja di sektor i = output sektor i
L = LX Dimana : L L X
= matriks jumlah tenaga kerja = matriks diagonal koefisien tenaga kerja −1 = matriks output, X = (I − A) .P d
Karena X = (I − A) .P d , maka L = L(I − A ) .F d −1
−1
Dengan demikian L pada dasarnya dapat diterjemahkan sebagai jumlah tenaga yang diserap yang dipengaruhi oleh permintaan akhir. Karena L adalah matriks, maka matriks L dapat merinci dampak dari penyerapan kerja akibat pengaruh dari masing-masing komponen permintaan akhir. 2.4.6. Land Use Multiplier Land use multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap perluasan penggunaan lahan. Rumus umum untuk menghitung dampak dan multiplier adalah sebagai berikut :
24
Type I : Dampak (H) H iVk : BijVkj
Multipleir (M) =
H iVk Vkj
Dimana : HiVk= dampak peningkatan permintaan akhir sektor i terhadap total input primer k Bi = vektor kolom ke j dari matriks B Vk = vektor baris koefisien teknologi input primer ke-k Vkj = koefisien hubungan langsung pemakaian input primer ke-k untuk sektor-i Type II : Dampak (H) ~ H iVk : q~ijVkj Multiple (M) =
H iVk Vkj
Dimana : q~ij = vektor kolom ke j matrik (I – D)-1 ~ Vkj = vektor baris koefisien teknologi input primer ke-k untuk sektor-i
2.5. Model Input – Output 2.5.1. Penggunaan Model Input-Output (I – O) Untuk perencanaan ekonomi regional dapat menggunakan metode yang telah digunakan oleh Jensen, Mandeville dan Karunaratne (1979), yaitu dengan cara menghitung output multipliers, income multipliers, dan employment multipliers. Pada income multipliers dapat dilihat berapa besar perubahan dari rumah tangga akibat investasi pada salah satu sektor, sehingga impak terhadap pendapatan dapat dilihat dari direct effect, indirect effect, dan induced effect. Dalam menghitung employment multiplier di dekati melalui flow of money yang dinyatakan dalam bentuk satuan-satuan tenaga kerja, sehingga akan diketahui bentuk industri tersebut apakah padat karya atau padat modal. Sedangkan untuk menghitung output multiplier dapat menggunakan beberapa cara tergantung tujuannya, salah satu cara yang bisa digunakan adalah menggunakan linier
25
programming models, dengan model ini dapat menentukan efisiensi dari penggunakan sumber daya di suatu daerah (Richardson, 1977). Saat ini analisis I – O telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian (Rustiadi, Nasoetion, dan Saefulhakim, 2000). Tabel I – O adalah tabel transaksi yang menggambarkan hubungan antara penawaran (supply) dengan permintaan (demand) antara berbagai sektor perekonomian dalam suatu wilayah. Menurut Saefulhakim (2000) pada dasarnya tabel I - O adalah gambaran lebih rinci dari sistem neraca ekonomi wilayah/nasional (neraca konsumsi, neraca akumulasi kapital/investasi, dan neraca eksternal wilayah/ luar negeri).
Tabel I–O dapat digunakan untuk (1)
memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor) terhadap berbagai output sektor produksi, nilai tambah (PDB-PDRB), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, pajak (PAD untuk tingkat daerah) dan sebagainya, (2) mengetahui komposisi penyediaan dan penggunaan barang atau jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan impor dan kemungkinan substitusinya, dan (3) memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan ekonomi. Kelebihan tabel I – O dibandingkan alat analisis lain dalam ekonomi perencanaan dan pembangunan adalah sifat keseimbangan tabel I – O yang termasuk dalam model General Equilibrium (Saputra, 1999). Model dasar input – output yang telah dikembangkan oleh leontief adalah : a. Struktur perekonomian tersusun atas beberapa sektor yang saling berintegrasi melalui transaksi jual beli antara pemenuhan input dengan penjualan produk. b. Output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya dan untuk memenuhi permintaan akhir. c. Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya dari rumah tangga (dalam bentuk tenaga kerja) dari pemerintah (dalam bentuk pajak), penyusutan, surplus usaha, serta impor dari wilayah lain. d. Hubungan antara input dan output bersyarat linier.
26
e. Dalam suatu kurun waktu analisis (yang biasanya dilakukan selama satu tahun) total input sama dengan output. f. Suatu sektor terdiri dari satu atau lebih beberapa perusahaan dan input itu diproduksi oleh satu teknologi. Menurut
Budhiharsono
(1996),
keuntungan
yang
diperoleh
bila
menggunakan tabel I – O dalam perencanaan pembangunan wilayah adalah : a. Dapat menjelaskan dengan baik keterkaitan antara berbagai macam sektor dalam perekonomian nasional atau pun perekonomian wilayah. b. Dapat ditentukan besarnya output dan kebutuhan faktor produksi lain dari satu sektor permintaan akhir. c. Akibat yang ditimbulkan perubahan permintaan, baik yang disebabkan oleh pemerintah maupun swasta terhadap perekonomian dapat diramalkan dengan rinci dan tepat. d. Adanya perubahan teknologi dan harga relatif dapat diintegrasikan kedalam model melalui penyesuaian koefisien. 2.5.2. Metode Membangun Tabel Input-Output Sejak pertama kali dikemukakan oleh Leontief pada tahun 1930-an, Tabel Input-Output (I-O) terus mengalami perkembangan dan menjadi salah satu alat analisis yang populer untuk melihat perekonomian baik tingkat nasional maupun regional. Walaupun ada beberapa kelemahan yang terletak pada asumsi yang digunakan pada analisis Tabel I-0. namun untuk melihat potensi perekonomian suatu wilayah dan keterkaitan antar sektor perekonomian, analisis Tabel I-0 masih merupakan pilihan terbaik dan banyak diminati. Analisis Tabel I-0 hanya melihat kondisi perekonornian pada satu tahun tertentu. Oleh karena itu, idealnya Tabel I-O dibuat setiap tahun. Namun untuk memenuhi keinginan tersebut tidak mudah (bahkan boleh dikatakan tidak mungkin). Hal ini terkait dengan keperluan melakukan survei yang komprehensif untuk seluruh sektor perekonomian yang tentunya memerlukan waktu lama dan biaya yang besar. Berdasarkan kondisi tersebut berkembang metode pembuatan Tabel I-0 dengan pendekatan lain yakni melakukan penyesuaian Tabel I-O yang sudah ada
27
untuk merefleksikan kondisi perekonomian saat ini (updating). Selain itu berkembang
juga
pendekatan
lain
yakni
menggunakan
informasi
perekonomian Tabel I-0 suatu daerah untuk diterapkan pada daerah lain (derivasi). Dengan dua pendekatan tersebut, maka Tabel I-O dapat dimodifikasi setiap tahun dan dapat dibuat di semua daerah (Miller dan. Blair, 1985). Metode Updating dikenal juga dengan sebutan metode survei parsial, karena tidak perlu melakukan survei secara komprehensif seperti pembuatan Tabel I-O metode survei. Metode yang umum digunakan untuk melakukan updating adalah metode RAS. Dengan metode ini data yang diperlukan adalah matrik koefisien input atau koefisien teknologi (sebagai tabel dasar), total output, total permintaan antara dan total input antara masing-masing sektor. Untuk memperoleh total permintaan dan input antara masing-masing sektor biasanya dilakukan survei khusus atau survei parsial. Derivasi Tabel I-0 atau sering juga disebut metode non-survei dilakukan apabila suatu daerah sama sekali belum mempunyai Tabel I-O. Oleh karena itu harus menggunakan Tabel I-0 daerah lain untuk dijadikan sebagai tabel dasar untuk menderivasi. Menurut Saefulhakim (2000) tabel I – O dapat dibangun melalui dua teknik, yaitu : a. Survei (pengamatan lapangan) dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu : 1) Pendekatan Trade Margin Analysis (TMA) dengan melakukan pendekatan kuantitatif input dan output masing-masing sektor melalui pertanyaan/ kuesioner. 2) Pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP) pengumpulan data kuantitatif input dan output perkiraan. b. Metode RAS. Metode ini digunakan untuk membangun Tabel I – O suatu tahun tertentu berdasarkan Tabel I – O tahun yang lain dengan bantuan data PDRB tahun yang akan ditentukan Tabel I – O nya (updating Tabel I – O). Metode RAS juga dapat digunakan untuk menurunkan tabel I – O suatu wilayah melalui Tabel I – O wilayah yang lebih luas. Misalnya Tabel I – O tingkat Kabupaten dapat dibuat dengan menurunkannya dari Tabel I – O
28
tingkat propinsi atau membuat tabel I – O tingkat propinsi dengan menurunkannya dari Tabel I – O tingkat nasional. Tabel I – O disusun berdasarkan tiga asumsi pokok (Saefulhakim, 2000), yaitu : a. Prinsip homogenitas, aktifitas-aktifitas ekonomi yang dikategorikan kedalam suatu sektor tertentu diasumsikan memiliki karakteristik sistem produksi yang homogen yakni struktur input dan output yang homogen dan tidak ada substitusi antar aktifitas lainnya. b. Prinsip Linieritas/Proporsionalitas, proporsi input-input suatu sektor bersifat tetap, tidak bergantung pada skala produksi/output (constant return to scale). c. Prinsip Additivitas, kinerja sistem produksi suatu sektor ditentukan oleh kinerja sistem produksi sektor-sektor lainnya, namun pengaruh dari masingmasing sektor tersebut bersifat additive, bukan interaktif atau multiplikatif. Secara lebih sederhana Tabel input – output terbagi atas empat kuadran sebagaimana pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Tabel Input – Output Input Antara Nilai Tambah
Permintaan Kuadran I Kuadran III
Permintaan Akhir (Yi) Kuadran II Kuadran IV
Xi
Kuadran 1 merupakan gambaran transaksi antar sektor dalam proses produksi, kuadran II menunjukkan matriks permintaan akhir terhadap output masing-masing sektor, kuadran III menunjukkan matriks nilai tambah (value added) masing-masing sektor faktor produksi (kecuali impor), dan kuadran IV merupakan transfer nilai tambah antar institusi. Berdasarkan tabel I – O terlihat jelas bahwa baris merepresentasikan distribusi penjualan output suatu faktor tertentu ke sektor lain.
Sedangkan kolom/lajur mempresentasikan distribusi
pembelian sektor tertentu pada sektor lainnya. Tabel input – output sederhana yang lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
29
Tabel 2. Tabel Input – Output Lebih Rinci Permintaan Antara Permintaan Akhir Sektor Produksi Output 1 ... j ... n (Y) X11 ... Xij ... X1n RT1 KP1 PM1 S1 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... Xi1 ... Xij ... Xin RTi KPi PMi Si ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... Xn1 ... Xnj ... Xnn RTn KPn PMn Sn Kuadran I L1 ... Lj ... Ln
Input Antara
Sektor Produksi
1 2 . i . . n Upah dan Gaji Rumah Tangga Nilai Tambah Lain V1 Impor M1 Total Input I1 Sepanjang baris pada
... Vj ... Mj ... Ij kuadran
Total
E1 ... ... Ei ... ... En
X X1 ... ... Xi ... ... Xn
Kuadran II ... Vn ... Mn Kuadran III ... In I memperlihatkan alokasi penyediaan suatu
sektor lainnya atau sektor itu sendiri. Angka-angka sepanjang baris menunjukkan alokasi output sektor i yang digunakan untuk memenuhi permintaan antara sektor j, dimana permintaan antara adalah permintaan akan suatu input untuk digunakan oleh sektor lain sebagai faktor produksi, termasuk didalamnya permintaan oleh sektor yang bersangkutan. n
∑X j =1
ij
n Xij Yi
+ Yi = X i = 1, 2, ..., n = banyaknya output sektor i yang digunakan oleh sektor j = permintaan akhir terhadap sektor i = RTi + KPi + PMi + Si + Ei = konsumsi rumah tangga = konsumsi pemerintah = pembentukan modal = stok = ekspor
RTi KPi PMi Si Ei
Sektor kolom menunjukkan penggunaan input yang dihasilkan oleh sektor lain untuk kegiatan produksi. n
∑X j =1
n Xij Yi Lj
ij
+ Gj = Xi = 1, 2, ..., n = banyaknya input sektor i yang digunakan oleh sektor j = permintaan akhir terhadap sektor i = Lj + Vj + Mj = upah dan gaji rumah tangga
30
Vj Mj
= nilai tambah lainnya = impor
Kuadran II menggambarkan transaksi permintaan akhir yang berasal baik dari output berbagai sektor produksi maupun impor yang dirinci dalam berbagai jenis penggunaan. Permintaan akhir adalah permintaan yang langsung digunakan untuk konsumsi rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, dan ekspor. Secara keseluruhan komponen permintaan akhir merupakan pengeluaran wilayah. Jadi merupakan komponen perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sisi pengeluaran. Pada kuadran III ditunjukkan penggunaan input primer atau nilai tambah yang terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, pajak tak langsung netto dan penyusutan. Yang dimaksud dengan input primer adalah faktor-faktor produksi yang secara langsung terlibat dalam produksi atau merupakan balas jasa atas pemakaian faktor-faktor produksi yang terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal, dan kewirausahaan. Jumlah seluruh nilai tambah ini adalah PDRB yang dihasilkan seluruh wilayah. PDRB ini akan sama dengan seluruh permintaan akhir dikurangi dengan impor barang dan jasa.
2.5.3. Green Input-Output Perikanan Budidaya Ikan Jaring Apung Green input output budidaya ikan di jaring apung adalah analisis input – output yang telah diperluas dengan memasukkan system alami. Yakni dengan memperhitungkan
aspek
buangan
limbah
sebagai
output
negatif
dari
perekonomian ke sistem alami dan sebagai input dari sistem alami ke perekonomian. Struktur tabel Green input – output dapat dilihat pada Tabel 3.
2.6. Kesejahteraan Pengamatan terhadap kesenjangan kesejahteraan telah menarik perhatian bagi berbagai pihak baik perencana pembangunan, peneliti sosial, politisi maupun masyarakat madani.
Pembahasan dan interpretasi terhadap hasil pengamatan
tentang kesenjangan kesejahteraan akan berbeda menurut sudut pandang, kepentingan dan ideologi yang dianut oleh masing-masing pihak. Namun,
31
berbagai pihak menyepakati tentang konsepsi kesenjangan kesejahteraan yang berlaku umum. Tabel 3. Tabel Green Input–Output Budidaya Ikan Jaring Apung
Sektor Produksi
Input Antara
Permintaan Antara Sektor Produksi 1 ... j ... n
Permintaan Akhir Output (Y)
X
Output Ekologi N
1 X11 ... Xij ... X1n RT1 KP1 PM1 S1 E1
X1
N1
2
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
.
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
i
Xi1 ... Xij ...
Xin
RTi
KPi
PMi
Si
Ei
Xi
Ni
.
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
.
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
n Xn1 ... Xnj ... Xnn RTn KPn PMn Sn En
Xn
Nn
Upah dan Gaji Rumah Tangga Nilai Tambah Lain Impor Total Input Input Ekologi
L1
...
Lj
...
Ln
V1
...
Vj
...
Vn
Total
Kuadran I Kuadran II M1 ... Mj ... Mn I1 ... Ij ... In R1
...
Rj
...
Kuadran III
Rn
Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua pengertian yang saling berkaitan. Tingkat kepuasan merujuk kepada keadaan individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individuindividu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi
yang tegas tentang
kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Dengan kata lain lingkup substansi kesejahteraan seringkali dihubungkan dengan lingkup kebijakan sosial (Bappenas, 2008).
32
Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu. Tingkat kesejahteraan masyarakat rendah atau bisa disebut juga kemiskinan tinggi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam (Dahuri, 2000). Selanjutnya dikatakan pula bahwa kemiskinan juga disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan dan berkembangnya kriminilitas.
Selain itu juga terkait dengan kurangnya
prasarana umum, lemahnya perencanaan spasial yang berakhir dengan tumpang tindihnya berbagai sektor di suatu kawasan, dampak polusi dan kerusakan lingkungan 2.6.1. Indikator Kesejahteraan A. Output Ekonomi Per Kapita Meskipun penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan. Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan
perkapita.
mencerminkan
Output
kesejahteraan
ekonomi
masyarakat
perkapita karena
dipandang
output
ekonomi
kurang lebih
mencerminkan nilai tambah produksi yang terjadi pada unit observasi, yaitu negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsungnya proses produksi.
33
Menurut Sajogjo (1977), klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu : a. Miskin, apabila nilai per kapita lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk daerah kota. b. Miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk daerah kota. c. Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg untuk daerah kota. B. Pendapatan Rumah Tangga Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka pendapatan rumah tangga digunakan sebagai proksi kesejahteraan karena dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah. Pendapatan rumah tangga dapat diketahui dengan menjumlahkan pendapatan keluarga dari semua sumber pendapatan. Namun, data pendapatan rumah tangga seringkali sulit diperoleh sehingga digunakan informasi tentang konsumsi rumah tangga. Salah satu kelemahan dari konsumsi rumah tangga adalah taksiran yang cenderung berada di bawah angka pendapatan rumah tangga yang sesungguhnya. C. Indeks Pembangunan Manusia Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Hal ini mendorong penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif.
Atas promosi yang dilakukan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) sebagai penilaian yang bersifat komposit atas perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat.
34
1)
Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan Tertinggalnya pembangunan pendidikan di Indonesia akan membawa
dampak buruk bagi Indonesia masa depan. Perlu upaya-upaya dan kebijakan yang nyata dan sungguh-sungguh untuk memeratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Di samping itu diperlukan juga kebijakan pendidikan yang tidak saja ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual, tetapi juga mengembangkan karakter peserta didik. Dengan
demikian
pendidikan
menyiapkan
siswa
untuk
memiliki
kemampuan akademik, dapat beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah, kreatif dalam mencari solusi masalah, dan memiliki watak yang baik. Indikator akses pendidikan antara lain adalah : a. Pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. b. Layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat. c. Penyediaan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan ataupun pendidikan non formal yang bermutu. d. Penyediaan dan pemerataan sarana-sarana pendidikan dan tenaga pendidik. e. Kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik. f. Kesejahteraan
tenaga
pendidik
agar
lebih
mampu
mengembangkan
kompetensinya. g. Manajemen pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan mutu pendidikan. h. Kualitas kurikulum dan pelaksanaannya yang bertujuan membentuk karakter dan kecakapan hidup, sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan secara kreatif dan menjadi manusia produktif.
2)
Akses Masyarakat Terhadap Layanan Kesehatan Kondisi perkembangan kesehatan rakyat yang antara lain tercermin dari
tingkat akses terhadap kesehatan punya pengaruh yang sangat besar terhadap kesejahteraan rakyat. Selain itu, kesehatan bersama pendidikan adalah investasi yang terpenting dalam pengembangan sumberdaya manusia. Padahal, seperti
35
dimaklumi, keberlanjutan bangsa ini di masa mendatang salah satunya ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Oleh karena itu, penyediaan akses kesehatan yang memadai dan merata pada semua lapisan masyarakat merupakan amanat kebangsaan dan tugas sejarah yang besar dan harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Indikator layanan kesehatan antara lain adalah : a. Jumlah, jaringan dan kualitas pusat kesehatan masyarakat. b. Kuantitas dan kualitas SDM tenaga medis. c. Sistem jaminan kesehatan, terutama bagi rakyat miskin. d. Sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat. e. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat yang dimulai sejak usia kanakkanak. f. Pemerataan dan kualitas fasilitas kesehatan dasar. Indikator pelayanan kesehatan yang baik tercermin dari beberapa indikator sebagai berikut: a. Meningkatnya proporsi keluarga yang berperilaku hidup bersih dan sehat; b. Meningkatnya proporsi keluarga yang memiliki akses terhadap sanitasi dan air bersih; c. Meningkatnya cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; d. Meningkatnya cakupan pelayanan antenatal, postnatal dan neonatal; e. Meningkatnya tingkat kunjungan (visit rate) penduduk miskin ke Puskesmas; f. Meningkatnya tingkat kunjungan (visit rate) penduduk miskin ke rumah sakit; g. Meningkatnya cakupan imunisasi; h. Menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit malaria, demam berdarah dengue (DBD), tuberkulosis paru, diare, dan HIV/AIDS; i. Menurunnya prevalensi kurang gizi pada balita; j. Meningkatnya pemerataan tenaga kesehatan; k. Meningkatnya ketersediaan obat esensial nasional; l. Meningkatnya cakupan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi produk terapetik/ obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, produk komplemen dan produk pangan; m. Meningkatnya penelitian dan pengembangan tanaman obat asli Indonesia;
36
n. Meningkatnya jumlah peraturan dan perundang-undangan di bidang pembangunan kesehatan yang ditetapkan; dan o. Meningkatnya jumlah penelitian dan pengembangan di bidang pembangunan kesehatan. 3) Kesempatan Kerja Tingkat pengangguran di Indonesia sangat tinggi. Sejak beberapa tahun terakhir angka pengangguran menunjukkan kondisi yang terus memburuk. Berbagai sasaran pencapaian pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi yang rendah, maupun nilai tukar mata uang yang stabil baru akan berarti apabila masyarakat yang berhak atas pekerjaan dapat memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Kerja merupakan fitrah manusia yang asasi. Ekspresi diri diwujudnyatakan dalam bekerja. Apabila dicermati pergolakan dan ketidakamanan yang timbul di berbagai daerah dan tempat sering bersumber dari sulitnya mencari kerja bagi suatu kehidupan yang layak. Demikian juga beban yang berat yang ditanggung oleh pencari kerja, sering berdampak buruk bagi harmoni dan kebahagiaan rumahtangga. Dengan demikian penciptaan lapangan kerja atau pengurangan berdampak langsung bagi pencapaiaan damai dan juga keadilan. Kebijakan nyata diperlukan untuk menciptakan kesempatan kerja yang luas. Indikator kesempatan kerja antara lain adalah : a. Kepastian hukum, peraturan, dan rasa aman untuk berusaha dan bekerja. b. Hubungan industrial tripartit, yang mendorong terciptanya lapangan kerja yang luas dan menyejahterakan. c. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai, berkualitas, dan dinamis. Kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan mampu menciptakan peluang dan kesempatan kerja yang luas. Akses pencari kerja tidak saja ditentukan oleh kesempatan yang ada, namun juga ditentukan oleh kualitas dan daya saing pencari kerja. Berbagai kebijakan tersebut diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja dalam bentuk peningkatan pendayagunaan kapasitas produktif yang selama ini masih menganggur dan pembukaan usaha atau investasi baru. Sedangkan daya saing sumberdaya manusia diperbaiki melalui perbaikan pendidikan dan
37
kesehatan. Tenaga kerja yang terampil dan memiliki kemampuan tinggi akan memudahkan untuk diserap oleh yang membutuhkannya. D. Produsen Surplus dan Konsumen Surplus Surplus produsen diartikan sebagai seorang produsen mau menyediakan suatu komoditas pada harga-harga yang telah ditentukan oleh biaya marginal produksinya. Surplus konsumen merupakan selisih antara tingkat kesediaan membayar dari konsumen dengan biaya atau harga yang harus dibayarkan atau dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan tersebut. 2.6.2. Kesenjangan Kesejahteraan Pemahaman terhadap konsepsi kesejahteraan menuntut tidak hanya representasi
intensitas
kesejahteraan
agregat,
antarkelompok
tetapi
masyarakat
juga atau
representasi antardaerah.
distribusional Representasi
distribusional merupakan muara dari persoalan yang mendasar, yaitu keadilan. Kesenjangan tidak lain adalah suatu representasi distribusional tersebut. Kondisi kesenjangan kesejahtaraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indikator kesenjangan antardaerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis kepada angka varian dalam distribusi statistik. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarkelompok maupun antardaerah selalu terjadi. Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau menaik sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan? Lebih lanjut, apakah kesenjangan tersebut menyebabkan hal-hal yang tidak bisa ditolerir lagi. Secara teoritik kesenjangan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu faktor alam, faktor kultural, dan faktor struktural (kebijakan). Teori-teori mengenai proses kesenjangan pada umumnya menekankan kepada peranan satu atau lebih faktor tersebut.
38
2.7. Budidaya Ikan di Jaring Apung (KJA) 2.7.1. Lokasi Budidaya Lokasi yang tepat untuk budidaya ikan air tawar yang menggunakan metode karamba jaring apung adalah danau, telaga, waduk, atau rawa.
Lokasi
pemasangan karamba jaring apung harus memenuhi aspek teknis dan aspek sosial ekonomis seperti : kedalaman perairan minimal 10 meter, kualitas air memenuhi persyaratan hidup ikan, bebas dari pencemaran air, bukan alur lalu lintas kapal, tidak merusak kelestarian lingkungan, kemudahan transportasi, ketersediaan bahan dan pakan, dekat dengan daerah pemasaran, kemudahan suplai benih, keamanan terjamin, legalitas lokasi budidaya, dan ketersediaan tenaga kerja (Balai Budidaya Air Tawar, 2003). 2.7.2. Kontruksi Kolam a. Bentuk karamba jaring apung Pada umumnya, konstruksi bagian atas karamba jaring apung memiliki bentuk yang sama, yang membedakan hanya ada dan tidaknya bangunan kayu (rumah) yang digunakan sebagai rumah jaga, gudang pakan, peralatan atau untuk tempat berteduh saja. Walaupun tidak terlihat dari permukaan, perbedaan yang jelas adalah dari bagian jaring. Ada karamba jaring apung yang hanya menggunakan 1 lapis jaring, namun ada juga yang menggunakan 2 – 3 lapis jaring tergantung jenis kegiatan dan komoditas budidaya. Contohnya pada karamba jaring apung di Danau Cirata Jawa Barat yang biasanya menggunakan 2 lapis jaring : jaring bagian atas yang terdiri dari 1 petak atau lebih dipergunakan untuk membesarkan ikan mas, kemudian di bawahnya dipasang jaring yang disebut jaring kolor untuk pembesaran nila. b. Ukuran dan bagian-bagian karamba jaring apung Ukuran rangka luar Kolam Jaring Apung (KJA) 15,8 m x 15,8 m (250 m2). KJA terdiri dari 2 lapis. Lapis pertama terdiri dari 4 kolam/jaring, lapis kedua terdiri dari 1 kolor. Lapis pertama diisi 1 jaring ukuran 7 x 7 x 4 m 3 dengan diameter mata jaring 0,75" dan 3 jaring ukuran sama dengan diameter mata jaring 1,0". Lapis kedua (kolor) yang digunakan berukuran sesuai luas rangka luar (15,8 m x 15,8 m) dengan kedalaman 6 m dan diameter mata jaring 1,25".
39
Bagian-bagian karamba jaring apung : 1) Rakit/geladak Rakit berfungsi tempat menggantungkan jaring/karamba, sebagai pijakan/ tempat berjalan orang yang berada di karamba jaring apung, membangun rumah dan semua aktivitas manusia dalam usaha budidaya, seperti memberi pakan, mengangkut dan menyimpan pakan, pengawasan, monitoring, menimbang, mengemas dan panen ikan. Oleh karena itu konstruksi rakit harus kokoh untuk menopang beban yang ada. Bahan pembuat rakit dapat berupa bambu, kayu, paralon atau besi. Rakit berbentuk kubus terdiri 4 petakan. Satu unit rakit berukuran antara 6 m x 6 m hingga 10 m x 10 m dengan ukuran karamba 3 m x 3 m x 3 m. Rakit kemudian dapat diikat satu dengan yang lainnya hingga mencapai ratusan petak. Pada bagian rakit yang dibangun rumah jaga tidak dipergunakan untuk pemeliharaan ikan. 2) Karamba Karamba atau kurungan jaring digunakan sebagai wadah pemeliharaan ikan. Berdasarkan fungsinya karamba terdiri dari : a)
Karamba pendederan, bahan PE ukuran mata jaring 4 mm
b)
Karamba pengglondongan, bahan PE ukuran mata jaring 1 inchi
c)
Karamba pembesaran, bahan PE ukuran mata jaring 1,5 – 2 inchi.
Sebagai pedoman, ukuran mata jaring yang digunakan tidak melebihi jarak kedua mata ikan yang dipelihara. Luas karamba bervariasi dari hanya sebesar 1 petak ukuran 3 x 3 m, sampai ada yang seluas 2 – 4 petak. Pada pembesaran polikultur ikan mas dan nila dipasang 2 karamba pada petakan yang sama, dimana bagian karamba bagian bawah (kolor) lebih luas bisa mencakup beberapa buah karamba bagian atas. Penggunaan karamba berlapis dapat juga untuk 2 jenis ikan yang mempunyai ukuran yang berbeda. Misalnya karamba bagian atas untuk pengglondongan sedang bagian bawah untuk pembesaran.
40
3) Pelampung Pelampung dipilih yang kuat terendam dalam air dan terjemur panas matahari. Pelampung dapat berupa drum isi 200 liter, stryofoam ukuran panjang 80 – 90 cm atau pelampung khusus. Pelampung berfungsi untuk menahan beban yang ada di atas geladak/rakit, jaring dan pemberat di dalam air. Untuk sebuah rakit berukuran 8 x 8 m dengan karamba berukuran 3 x 3 x 3 m3 membutuhkan 9 buah pelampung. Pelampung dipasang tepat di atas rakit/geladak dengan jarak yang sama. Pada satu unit rakit sebaiknya digunakan pelampung dari jenis yang sama sehingga posisi rakit/geladak rata terapung.
Pelampung yang dapat digunakan untuk
jaring apung dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Bahan Pelampung Jaring Apung 4) Rumah jaga Tidak semua karamba jaring apung memiliki rumah jaga. Bangunan rumah jaga terbuat dari kayu, tripleks atau bilik bambu. Fungsi rumah jaga antara lain sebagai tempat tinggal penunggu karamba jaring apung, gudang pakan, gudang peralatan atau tempat berteduh saja. Petak yang digunakan untuk bangunan rumah jaga tidak dipasangi karamba karena sulit untuk memasang jaring atau melakukan panen. Ukuran bangunan rumah jaga bervariasi tergantung kebutuhan. Rumah jaga jaring apung dapat dilihat pada Gambar 4.
41
Gambar 4. Rumah Jaga Jaring Apung
5) Pemberat Pemberat yang diikatkan pada tali pada bagian bawah karamba berfungsi untuk menahan karamba agar tetap dengan ukuran dan bentuknya (kubus) di dalam dari pengaruh arus. Pemberat dapat berupa batu, besi, timah atau campuran pasir dan semen seberat 3 – 5 kg. 6) Jangkar Jangkar berfungsi untuk menahan karamba jaring apung berada pada tempat. Pengaruh lingkungan yang mempengaruhi karamba jaring apung antara lain arus, gelombang, naik turunnya air dan angin. Jangkar dapat terbuat dari besi, batu, karung pasir, beton atau kayu/bambu (berbentuk jangkar) yang diberi pemberat batu atau karung pasir. Berat sebuah jangkar sekitar 40 – 50 kilogram yang dihubungkan dengan tali jangkar berukuran 3 – 5 cm ke rakit. Jumlah jangkar yang digunakan tergantung dari besar kecilnya ukuran karamba jaring apung dan kondisi perairan di daerah tersebut.
42
2.7.3. Penebaran Benih Jenis ikan yang umum dibudidayakan di jaring terapung air tawar adalah ikan mas dan ikan nila, namun ada beberapa jenis lainnya tetapi jumlahnya tidak begitu banyak, yaitu ikan patin (jambal siam), bawal, dan gurame. Ukuran benih untuk pembesaran ikan mas 10-15 gram dan untuk pembesaran nila 8-10 gram. Benih umumnya disuplai dari petani pembenih Bandung, Cianjur, Sukabumi dan Subang. Benih ukuran 15 gram dapat tumbuh mencapai ukuran konsumsi 250 s/d 300 gram dalam waktu 120 hari. Disarankan padat tebar 2,45 kg/m3 dengan benih ikan mas ukuran 10-15 gram dan 4,45 kg/m3 benih ikan nila ukuran 8 s/d 10 gram. Pilih benih yang sehat dan lakukan aklimatisasi benih saat ditebar. 2.7.4. Pemberian Pakan Pakan yang diberikan merupakan pakan komersial berupa pellet kering. Ukuran pellet dan dosis pakan yang diberikan disesuaikan dengan ukuran ikan di kolam. Tabel 4. Teknik pemberian pakan ikan mas dengan pellet kering Ukuran Pellet Ukuran Ikan (mm) (Gram) Remah 0,1 < 10 Butiran 2,0 10-25 Butiran 3,0 > 25 Sumber : Balai Budidaya Air Tawar (2003) Tipe Pakan
Dosis Pakan (%) 5 3-4 2-3
Frekuensi Pakan/hari 3 4 5
Karena pemeliharaan ikan mas pada KJA hanya mendapatkan suplai pakan dari pellet yang diberikan, maka agar diperoleh pertumbuhan normal dan hasil sesuai dengan target sebaiknya digunakan pakan yang mengandung protein antara 26-28%. Pada pemeliharaan ikan nila di kolor (lapis kedua) tidak diberikan pakan, tetapi hanya memakan remah-remah dari lapis pertama dan peryphyton yang menempel pada jaring. 2.7.5. Pengendalian Hama dan Penyakit Penyakit yang sering menyerang usaha budidaya ikan pada KJA adalah Aeromonas sp., Collumnaris dan herpes virus. Untuk penyakit Aeromonas sp. bisa diobati dengan merendam ikan yang sakit dalam larutan KMNO4 20 ppm selama
43
30 menit, diulang tiga kali dengan interval waktu 2 hari. Collumnaris spp. dapat diobati dengan pemberian OTC 50 mg/kg pakan selama 7 hari, sedangkan penyakit herpes hingga saat ini belum dapat diobati. Hal yang paling mungkin untuk dilakukan jika terserang penyekit herpes adalah panen dini. 2.7.6. Pemanenan Lama pemeliharaan ikan mas dan nila di KJA kurang lebih 4 bulan. Selama pemeliharaan, benih yang ditebar (15 gram) mengalami pertumbuhan hingga mencapai bobot 250-300 gram/ekor. Panen dilakukan dengan cara mempersempit areal jaring dengan menggunakan tali atau bambu (pemberokan). Pemasaran hasil panen dibeli langsung ditempat oleh bandar. 2.7.7. Analisa Usaha Suatu usaha secara umum dikatakan baik apabila usaha tersebut sehat, menguntungkan, dan mampu melakukan investasi-investasi secara jangka pendek dan jangka panjang. Dengan demikian suatu usaha harus layak ditinjau dari aspek finansial, aspek finansial ini terutama menyangkut perbandingan antara pengeluaran (biaya) dengan pendapatan (revenue earning) dari aktivitas usaha, serta waktu didapatkannya hasil (returns). Biaya
adalah
menghasilkan suatu
jumlah
korbanan (input)
produk (output)
yang diperlukan
dalam suatu kegiatan
untuk
produksi.
Berdasarkan pengelompokkannya biaya terdiri dari dua bagian yaitu biaya investasi
dan biaya operasional.
Biaya investasi adalah seluruh biaya yang
dikeluarkan mulai kegiatan itu berlangsung sampai kegiatan tersebut mulai berjalan contohnya : pendirian bangunan, pembelian peralatannya, tenaga kerja yang berhubungan biaya investasi, survey. Sedangkan biaya operasional adalah seluruh biaya yang dikeluarkan selama produksi itu berlangsung : misalnya : pembelian benih, tenaga kerja, bahan bakar, over head cost dan lain-lain. Untuk mengetahui secara komprehensif tentang kriteria layak atau tidaknya suatu aktivitas usaha dapat digunakan lima kriteria investasi, yaitu : Payback Period, Benefit Cost Ratio (BCR), Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR), dan Internal Rate of Return (IRR). Namun tiga kriteria
44
terakhir yang umum dipakai dan dipertanggungjawabkan untuk penggunaanpenggunaan tertentu.
Sebaliknya dua kriteria pertama didasarkan atas salah
pengertian tentang sifat dasar biaya sehingga tidak menyebabkan kekeliruan dalam urutan peluang investasi. Kedua kriteria ini sering tidak dianjurkan untuk dipergunakan (Rustiadi, E.S. Saefulhakim, dan D.R. Panuju, 2007). Unsur-unsur penting dalam analisis kelayakan finansial adalah harga, pajak, subsidi, dan bunga. Dalam analisis finansial, harga yang dipakai adalah harga pasar, pajak diperhitungkan sebagai biaya, subsidi dinilai mengurangi biaya (jadi merupakan benefit). Bunga dalam analisis finansial dibedakan atas bunga yang dibayarkan kepada orang-orang luar dan bunga atas modal sendiri (imputed atau paid to the entily).
Bunga yang dibayarkan kepada orang-orang yang
meminjamkan uangnya pada kegiatan usaha dianggap sebagai cost. Bunga atas modal sendiri tidak dianggap sebagai biaya karena bunga merupakan bagian dari finansial returns yang diterima. Selain kriteria investasi yang digunakan untuk melihat kelayakan finansial suatu usaha adalah jangka waktu pengembalian modal dengan cara menghitung titik impas (Break Event Point). Perhitungan titik impas ini dilakukan untuk mengetahui jangka waktu pengembalian modal usaha atau untuk mengetahui volume produksi (nilai penjualan) minimal yang harus dicapai agar kegiatan usaha tidak mengalami kerugian atau penghasilan penjualan yang diterima dikurangi biaya yang dikeluarkan sama dengan nol. 1. Net Present Value (NPV) NPV merupakan nilai sekarang dari suatu usaha dikurangi dengan biaya sekarang pada tahun tertentu. Seleksi formal terhadap NPV adalah bila nilai NPV bernilai positif berarti usaha tersebut layak dan sudah melebihi Social Opportunity Cost of Capital sehingga usaha ini diprioritaskan pelaksanaannya, bila NPV bernilai 0 berarti usaha tersebut masih layak dan dapat mengembalikan persis sebesar Social Opportunity Cost of Capital, dan bila nilai NPV bernilai negatif maka sebaiknya usaha tersebut jangan diteruskan. NPV menghitung nilai sekarang dari aliran kas yaitu merupakan selisih antara Present Value (PV) manfaat dan Present Value (PV) biaya. Jadi jika nilai NPVnya positif (lebih dari 0) artinya nilai bersih sekarang menggambarkan
45
keuntungan dan layak diaksanakan, namun bila nilai NPVnya sama dengan 0 artinya usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (marginal), sehingga usaha diteruskan atau tidak terserah kepada pengambil keputusan, sedangkan bila nilai NPVnya negatif (kurang dari 0) artinya usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan. Rumus kriteria investasi ini adalah sebagai berikut : n
NPV = ∑ t =1
Dimana :
Bt
=
Ct
=
i t
= =
( Bt − C t ) (1 + i ) t
manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha pada time series (tahun, bulan, dan sebagainya) ke-t (Rp) Biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan suatu usaha pada time series ke-t tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi dan sebagainya (Rp) Merupakan tingkat suku bunga yang relevan Periode (1, 2, 3,……………, n)
2. Net Benefit Cost Ratio (NBC ratio) BC ratio (BCR) merupakan cara evaluasi usaha dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh suatu usaha dengan nilai sekarang seluruh biaya usaha. Seleksi formal BCR adalah bila BCR lebih besar dari 0 (BCR > 0) maka usaha tersebut menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan, namun bila BCR sama dengan 0 (BCR = 0) maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (marjinal) sehingga usaha tersebut dilanjutkan atau tidak terserah pengambil keputusan, sedangkan bila BCR kurang dari 0 (BCR < 0) maka usaha tersebut merugikan sehingga tidak layak untuk dilaksanakan. Rumus BCR dapat ditulis sebagai berikut : n
B/C =
∑ B I (1 + i)
t
∑ C I (1 + i)
t
t =1 n
t =1
t
t
Dimana : B = Nilai seluruh hasil C = Nilai seluruh biaya Net BCR adalah perbandingan antara Present Value manfaat bersih positif dengan Present Value biaya bersih negatif. Seleksi formal Net BCR adalah bila
46
Net BCR lebih besar dari 1 (Net BCR > 1) maka usaha tersebut menggambarkan keuntungan dan layak untuk dilaksanakan, namun bila Net BCR sama dengan 1 (Net BCR = 1) maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (marjinal) sehingga dilaksanakan atau tidaknya usaha tersebut terserah pengambil keputusan, sedangkan bila Net BCR kurang dari 1 (Net BCR < 1) maka usaha tersebut merugikan sehingga tidak layak untuk dilaksanakan. Rumus Net BCR dapat ditulis sebagai berikut : n
NetBCR = ∑ ( Bt − C t ) /(1 + i) t i =1 t=n
( Bt − C t ) t t =1 t − C t > 0) Net B = t = n C (C t − Bt )( Bt − C t < 0) ∑ (1 + i) t t =1
∑ (1 + i) ( B
Dimana : B = nilai seluruh hasil bersih C = nilai seluruh biaya bersih 3. Internal Rate of Return (IRR) Cara lain untuk menilai suatu usaha adalah dengan membandingkan nilai IRR dengan discount rate (suku bunga), yaitu bila IRR lebih besar dari suku bunga yang telah ditetapkan maka usaha tersebut diterima atau bisa dilaksanakan, namun bila IRR lebih kecil dari suku bunga maka usaha tersebut ditolak atau tidak bisa dilaksanakan, sedangkan bila IRR sama dengan suku bunga yang ditetapkan maka usaha tersebut dilaksanakan atau tidak terserah pengambil keputusan. Rumus IRR dapat ditulis sebagai berikut :
IRR = i '+(i"−i ' ) Dimana :
I’ I” NPV’ NPV”
= = = =
NPV ' NPV '− NPV " Tingkat discount rate (DR) pada saat NPV positif Tingkat discount rate (DR) pada saat NPV negatif Nilai NPV positif Nilai NPV negatif
4. Analisis Break Event Point (BEP) Analisis BEP digunakan untuk mengetahui jangka waktu pengembalian modal atau investasi suatu kegiatan usaha atau sebagai penentu batas pengembalian modal. Produksi minimal suatu kegiatan usaha harus menghasilkan
47
atau menjual produknya agar tidak menderita kerugian, BEP adalah suatu keadaan dimana usaha tidak memperoleh laba dan tidak menderita kerugian, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Titik BEP adalah pada saat total penerimaan sama dengan total biaya, yaitu TP = TB, karena TP = TBT + BV. Perencanaan studi kelayakan yang baik akan menentukan keberhasilan usaha selanjutnya. Pada perencanaan studi kelayakan yang dituangkan dalam usaha meliputi : Aspek Umum dan Legalilitas, Pemasaran, Teknik Perencanaan, Manajemen dan Organisasi, serta Keuangan.
Studi kelayakan biasanya
merupakan usaha jangka panjang yang memerlukan investasi yang cukup tinggi. Kajian yang meliputi aspek umum dan legalitas, pemasaran, teknik perencanaan, serta keuangan merupakan
suatu rangkaian yang tertuang
proporsal.
proporsal ini sebagai bahan untuk memberi
Oleh karena itu,
dalam bentuk
gambaran tentang asset dari perusahaan yang akan dibuat guna mendapatkan modal dari lembaga perbankan atau pengusaha lain yang punya modal ingin menanam di perusahaan yang bersangkutan.
TB dan TP TP TB=TBT+BV
BEP
BV
Q Dimana :
TP TB TBT TBV Q BV
= = = = = =
Total Penerimaan Total Biaya Total Biaya Tetap Total Biaya Variabel Volume penjualan Biaya Variabel per unit
48
Hal tersebut butuh perencanaan yang matang agar pelaksanaan berjalan lancar sesuai yang diinginkan. Untuk itu tentunya perlu ada perencanaan biaya. Perencanaan
biaya operasional
produksi adalah
perumusan usaha yang
dilakukan dalam kaitannya dengan menghitung biaya yang diperlukan selama produksi itu berlangsung.
Investasi sifatnya tetap oleh sebab itu biaya
investasi disebut juga biaya tetap (fixed cost) sedangkan biaya operasional sifatnya berubah ubah dan sering pula disebut biaya variabel (variabel Cost). Kedua biaya tersebut diperlukan untuk menghitung keuntungan yang diperoleh dalam kegiatan produksi, laporan keuangan yang menyangkut analisa rugi laba, serta analisa lain seperti : kapan usaha tersebut mengalami titik impas (BEP) serta menghitung RC dan B/C Ratio dan termasuk dalam perencanaan biaya operasional produksi.