II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Perwilayahan Pembangunan dan Pembangunan Wilayah Tinjauan pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pendekatan secara komprehensif, mendalam dan terperinci, sehingga dapat menghasilkan suatu rangkuman penelitian yang terukur dan terarah. Kemudian dikembangkan menjadi proposisi-proposisi untuk mengarahkan penelitian ini menjawab permasalahan penelitian dimaksud. Bertolak dari maksud tersebut, tinjauan pustaka diarahkan pada beberapa tinjauan yaitu: pertama) tinjauan terhadap pandangan-pandangan pemikiran teoritis yang digunakan sebagai landasan teori pada penelitian ini. kedua) mengemukakan beberapa studi atau penelitian sejenis yang dapat menunjukkan berbagai fenomena dan rujukan analisis terhadap pengembangan kawasan sentra produksi pada wilayah kepulauan. Dengan demikian pembangunan yang seimbang atas dasar kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah dalam bingkai negara kepulauan (archipelagic state) dapat mewujudkan azas pemerataan berdasarkan kekuatan potensi ekonomi lokal yang berbasis local spesific wilayah. Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan dapat memenuhi taraf kesejahteraan masyarakat, dimana pembangunan itu sendiri tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok saja tetapi juga mempunyai kebutuhan lainnya yang sangat banyak jumlahnya (Adisasmita, 2005). Sementara pembangunan wilayah muncul atau berkembang karena adanya ketidakpuasan dari pakar
20
ilmu sosial ekonomi terhadap rendahnya perhatian dan analisis ekonomi yang berdimensi spasial. Menurut Misra (1977), pembangunan wilayah merupakan ilmu pengatahuan yang bukan hanya merupakan pendisagregasian pembangunan nasional tetapi pembangunan wilayah terletak pada perlakuan terhadap dimensi spasial. Perlakuan tersebut menyebabkan keterbelakangan suatu wilayah yang dipengaruhi oleh rendahnya tingkat aktivitas perekonomian wilayah, misalnya daya tarik wilayah, kondisi sumberdaya alam maupun manusia serta rendahnya insentif yang ditawarkan. Insentif dapat bervariasi dari infrastruktur sampai pada persoalan kenyamanan dan keamanan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan menurut Abustan (1998), pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan usaha yang luas cakupannya serta tidak terbatas pada pengembangan daerah pusat (growth) saja tetapi pengembangan tersebut harus meliputi daerah belakangnya (hinterland). Di sisi lain menurut Azis (1994), daya tarik suatu wilayah dapat dilihat dari berbagai keuntungan yang bersumber dari gejala spasial (spatialjuxtaposition), seperti sejauh mana suatu kebijakan dapat mempengaruhi atau menciptakan
berbagai
kebijakan
serta
insentif
yang ditawarkan
untuk
mengembangkan wilayah-wilayah terbelakang. Jenis insentif yang paling tepat untuk suatu wilayah ditentukan oleh sifat kegiatan ekonomi yang ingin dibuatnya. Meskipun kadang-kadang kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan kadang-kadang insentif tersebut tidak diciptakan tetapi insentif tersebut sangat perlu untuk diciptakan dan infrastruktur harus diusahakan menjadi semakin memadai, karena berhubungan dengan adanya
21
unsur keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) dan pengembangan sektor unggulan (key sector) wilayah tersebut. Bila ditinjau dari aspek lokasi (location) maka pembangunan yang tidak didasarkan pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah serta keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) akan sulit untuk memacu atau mendorong
setiap
wilayah
meningkatkan
perekonomian
produktivitas ekonomi wilayahnya. Keterkaitan
atau
aktivitas
antarwilayah (interregional
linkages) maupun potensi lokal (local spesific) wilayah merupakan faktor positif, baik ditinjau secara politis maupun dari segi kepentingan integrasi ekonomi wilayah (daerah) maupun nasional serta turut mempengaruhi wilayah (periphery) di sekitar wilayah pusat pertumbuhan (growth pole) yang lambat perkembangan perekonomiannya. Menurut
Budiharsono
(2001),
pembangunan wilayah tidak hanya
terletak pada perlakuan dimensi spatial, tetapi setidaknya perlu ditopang oleh enam pilar analisis yaitu: analisis biogeofisik, sosiobudaya, kelembagaan, Lingkungan, lokasi, dan ekonomi seperti Gambar 1.
Sumber: Budiharsono, 2001 Gambar.1 Enam Pilar Penopang Pembangunan Wilayah
22
Analisis ekonomi merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi wilayah sehingga perlu dilakukan sebagai upaya pemanfaatan tata ruang wilayah yang berbasis pada potensi lokal (local spesific). Bila dianalisis secara mendalam sebenarnya pertimbangan-pertimbangan dalam membuat konsep perwilayahan seperti yang dikemukakan oleh Nijkamp (1979), yaitu dengan menggabungkan konsep perwilayahan seperti: 1. Homogenous Region, yaitu pengelompokan wilayah yang didasarkan pada unsur kedekatan dengan karakteristik yang sama atau hampir
bersamaan
seperti pertanian, peternakan dan perikanan sehingga didalam pembangunan wilayah dapat dirumuskan dengan kebijakan atau pola program yang sesuai dengan potensi wilayah-wilayah yang bersangkutan. 2. Konsep Nodal Region atau Kosep Polarized Region, yaitu konsep yang lebih banyak menekankan pada aspek distribusi dan transportasi atau lebih tegasnya konsep ini lebih banyak diterapkan dengan memperhatikan tingkat keterkaitan antar masing-masing sub wilayah. 3. Administration Region, yaitu konsep perwilyahan yang lebih difokuskan pada wilayah administrasi. Pada saat wilayah yang telah didasarkan sesuai pada otonomisasi daerah. McCann (2001), mengartikan wilayah sesuai dengan konsep poles de croisance atau konsep Growth Poles seperti yang dikemukakan oleh Perroux (1950), yaitu wilayah sebagai kutub pertumbuhan atau pusat pertumbuhan. Penekanan wilayah oleh McCann lebih pada pengertian kutub pertumbuhan dalam ruang ekonomi. Dimana ruang ekonomi sebagai unit yang paling dominan atau yang memegang peran utama pada pengembangan wilayah.
23
Adanya kecenderungan terkonsentrasinya aktivitas pembangunan karena fasilitas pelayanan yang lebih lengkap pada wilayah tertentu untuk sektor-sektor tertentu seperti perdagangan, perindustrian, jasa, transportasi dan komunikasi di wilayah pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan antarwilayah (regional disparity) yang semakin melebar di wilayah tersebut. Bila perwilayahan pembangunan didasarkan pada prinsip pemusatan (agglomerasi) maka pusat perekonomian wilayah atau
aktivitas
ekonomi
terkonsentrasi di pusat wilayahnya sendiri. Sedangkan
seluruhnya
wilayah pinggiran
(periphery) aktivitas ekonomi wilayahnya akan berada pada wilayah yang lebih kecil dengan aktivitas ekonomi yang sangat rendah di wilayahnya juga. Menurut Christaller (1933), dan Reksohadiprodjo (2001), perwilayahan pembangunan pada wilayah pusat (kota/growth centres) lebih cepat mengalami kemajuan karena didukung oleh ketersediaan tanah yang produktif. Dengan demikian apa yang disebut dengan tempat sentral (central palace) pada hakikatnya adalah pusat wilayah (kota). Sehingga muncul berberapa anggapan yang disampaikan oleh Christaller dan Losch (1940), seperti: 1. Hanya ada dua kegiatan yaitu kegiatan di wilayah central/pusat/kota dan di wilayah pheryperi/pinggiran/desa. 2. Kegiatan di wilayah pinggiran yaitu pemakaian ekstensif tanah untuk pertanian serta tidak ada ekonomi aglomerasi 3. Kegiatan
tempat central/pusat merupakan
pemakaian intensif tanah dan
sifatnya ekonomi aglomerasi 4. Masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut saling membutuhkan hasil kegiatan masing-masing
24
5. Kualitas tanah sama dan ongkos transport proposional dengan jarak 6. Kegiatan pada wilayah pinggiran dan permintaan terhadap hasil pusat/kota berdistribusi yang sama Berbagai aktivitas kegiatan pembangunan suatu wilayah seperti di atas harus didasarkan pada berbagai perencanaan pembangunan wilayah. Menurut Sukirno (1976), perlu dilakukan beberapa pendekatan yang lebih dikenal dengan pendekatan perwilayahan berdasarkan administrasi seperti: 1. Perencanaan dan pembangunan ekonomi wilayah lebih mudah dilaksanakan karena berbagai kebijakan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari suatu wilayah administrasi tersebut. 2. Wilayah yang batasnya ditentukan dengan berdasarkan pada satuan administrasi lebih mudah untuk diamati atau dianalisis, hal ini berkaitan dengan berbagai data yang telah lama dilakukan. Berkaitan dengan Sukirno maka dalam era globalisasi dewasa ini, prinsip efisiensi dalam alokasi sumberdaya (resources alocation) yang optimal akan berkembang menjadi berbagai alokasi produk (product alocation) yang menjangkau pasar secara luas seperti yang dikemukakan oleh Porter (1990), sebagai berikut: 1. Memasuki pasar global maka tidak ada lagi pembatas dalam alokasi sumberdaya dan alokasi pasar 2. Kegiatan ekonomi menjadi Stateless, tidak ada batas negara artinya yang menggunakan tidak harus yang menghasilkan. 3. Adanya pemahaman tentang Resources Basedless artinya perencanaan dan pembangunan wilayah sudah tidak bergantung pada asal faktor produksi.
25
Menurut Hidayat (2000), ada beberapa alasan pokok mengapa pembagunan daerah atau wilayah pada era otonomi perlu dilakukan yaitu : 1. Political equlity 2. local accountability 3. local responsiveness Ketiga unsur di atas
sangat penting
bagi upaya peningkatan
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di daerah. Namun dari ke tiga alasan pokok diatas sering yang menjadi perhatian utama adalah political equity karena ingin menyenangkan masyarakat setempat tanpa memperhatikan alasan pokok lainnya. Pembangunan wilayah pada era otonomi daerah seharusnya dapat mengembangkan dan mempercepat daya serta laju pertumbuhan yang kuat dalam lingkungan wilayahnya dan dapat mendorong perkembangan wilayah disekitar yang relatif lebih terbelakang (Adisasmita, 2005). Sedangkan menurut Ariani dan Saliem (2002), dalam era globalisasi dan perdagangan bebas yang sangat kompetitif, Indonesia akan menghadapi tantangan berat dalam merumuskan kebijakan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Untuk itu dalam kondisi demikian, ketersediaan pangan ditingkat wilayah baik nasional maupun regional harus dapat dipacu serta lebih berorientasi pada pasar internasional
dengan mendahulukan kepentingan nasional melalui percepatan
pembangunan wilayah dengan local spesific yang dimiliki wilayah tersebut. Wacana-wacana
tentang
konsep
pembangunan
wilayah
atau
pengembangan wilayah bukan merupakan hal baru, namun implementasi model pembangunan wilayah yang lebih berorientasi pada otonomi relatif masih terbatas
26
di Indonesia. Secara umum konsep dasar pembangunan ini telah diperkenalkan oleh Tiebout (1956), Isard (1960), dan Rusastra (2004), dimana konsep dasar paradigmanya sebagai berikut: 1. Sinergisme hubungan antar wilayah pusat maupun wilayah belakang (hinterland),
membutuhkan dukungan kelembagaan (pemerintah daerah)
sehingga terjadi re-distribusi sumberdaya dan komoditas berdasarkan prinsip ekonomi. 2. Akumulasi modal dapat diatasi melalui mekanisme pasar sehingga terjadi realokasi modal dengan sasaran manfaat sosial yang lebih optimal. 3. Terjadinya kemunduran (diminishing return) di pusat pertumbuhan (growth pole) pada suatu waktu tertentu akan menjadi kenyataan, sebagai akibat dari berkembangnya wilayah-wilayah terbelakang (hinterland). Harun (2005), mengemukakan bahwa pembangunan wilayah sebaiknya tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan wilayah yang didasarkan atau dipengaruhi oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi oleh economic of scale dan economic of scope dari kawasan pengembangan yang dirancang. Pengembangan wilayah yang diharapkan adalah dengan memperhatikan karakteristik, realitas dan eksistensi perkembangan kawasan pengembangan di daerah tersebut. Ohlin (1933), dan Sjafrizal (1998), mengatakan bahwa pembangunan wilayah bila didasarkan pada sudut pandang Teori Lokasi (Export-Base Models) maka pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (region) akan lebih banyak ditentukan oleh keuntungan lokasi yang selanjutnya dapat digunakan oleh wilayah tersebut sebagai kekuatan ekspor.
27
Menurut Hikam (1997), wilayah yang memiliki keuntungan lokasi dapat menentukan wilayahnya sebagai kawasan produksi yang didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti: 1. Wilayah tersebut merupakan pusat kegiatan industri dan perdagangan. 2. Wilayah tersebut memiliki kekuatan dalam mendorong (push) kegiatan ekonomi daerah belakangnya (hinterland). 3. Wilayah tersebut memiliki kualitas infrastruktur yang memadai untuk mendukung kegiatan ekonomi. Adam (1994), mengemukakan secara konseptual masalah-masalah yang dihadapi setiap wilayah bersumber dari perbedaan karakteristik ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah. Dengan membiarkan setiap wilayah membangun wilayahnya sendiri-sendiri maka keseimbangan pembangunan yang diharapkan akan sangat mengandung resiko yang cukup besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Untuk itu pembangunan wilayah memerlukan intervensi dengan menyusun pola pembangunan terpadu baik ditingkat daerah maupun pusat. Menurut Ursula (1957), bahwa pembangunan ekonomi wilayah sangat berkaitan dengan kemampuan atau kapasitas potensi lokal yang dimiliki oleh wilayah tersebut baik di wilayah pusat (pole/core) maupun wilayah belakangnya (periphery). Sedangkan Jhingan (1975), menyatakan perkembangan ekonomi wilayah sebagai suatu perubahan yang terjadi pada faktor-faktor ekonomi yang menentukan pertumbuhan wilayah. Faktor-faktor ekonomi tersebut dapat mendorong dan mempercepat perubahan perkembangan ekonomi wilayahnya.
28
Harmon dan Mayer (1986), Mustopadidjaja (1996), berpendapat bahwa pembangunan wilayah harus berpatokan pada beberapa hal yaitu: 1. Prakarsa dan pengambilan keputusan harus dilakukan secara bertahap dan memenuhi kebutuhan yang diletakkan pada masyarakat itu sendiri (partisipatoris). 2. Adanya kemampuan dari masyarkat wilayah itu
untuk mengelola dan
memobilisasi sumber-sumber yang ada (local spesific). 3. Karakteristik wilayah. 4. Penekanan pada social learning antara birokrat dengan masyarakat. 5. Adanya jaringan (networking) antara birokrat dengan masyarakat atau dengan lembaga swadaya masyarakat. Menurut Lincolin (1999), perbedaan karakteristik atau kondisi wilayah membawa implikasi pada corak pembangunan yang diterapkan berbeda pada wilayah-wilayah tersebut. Peniruan pola kebijakan yang diadopsi mentah-mentah dari keberhasilan pembangunan wilayah lain belum tentu berhasil pada wilayah lainnya. Pola kebijakan seperti ini biasanya tidak berhasil bila diterapkan pada wilayah kepulauan seperti Indonesia (archipelagic state/archipelago). Oleh sebab itu kebijakan pembangunan yang diterapkan pada suatu wilayah harus sesuai dengan kondisi potensi, kebutuhan dan masalah wilayah yang bersangkutan. Untuk itu berbagai penelitian yang mendalam tentang potensi atau kapasitas wilayah harus dilakukan sesegera mungkin sehingga berguna dalam menentukan pola kebijakan perencanaan pembangunan wilayah tersebut khususnya wilayah kepulauan (archipelago) yang berbeda dengan wilayah daratan (continental).
29
Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang proses perkembangan pembangunan ekonomi wilayah ditinjau dari aspek kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah sehingga sulit memberikan gambaran tentang pola perkembangan pembangunan wilayah di suatu negara. Namun secara global dapat dikatakan bahwa regionalisasi kegiatan ekonomi suatu wilayah berhubungan erat dengan pola perkembangan peranan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dalam keseluruhan kegiatan ekonomi disetiap wilayahnya. Menurut Streeten (1981), kurangnya perhatian masyarakat dan bahkan mungkin tidak mau menerima perubahan kegiatan ekonomi yang dianjurkan pemerintah, seolah-olah mereka menolak niat baik pemerintah untuk meningkat taraf hidup mereka. Streeten melihat penolakan masyarakat terhadap perubahan yang diingini pemerintah karena masyarakat memandang dari sisi lain. Hal ini menurutnya berkaitan dengan modal yang harus dikeluarkan oleh masyarakat yang bila pada suatu waktu pada kenyataannya hasil yang diperoleh tidak dapat diharapkan sehingga pada akhirnya masyarakat harus mengorbankan harga diri mereka
dengan terpaksa harus menjual harta benda mereka, karena adanya
kesalahan mengidentifikasi masalah oleh pemerintah atau pembuat kebijakan. Dengan demikian pembangunan wilayah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi bagaimana keikutsertaan masyarakat dalam penentuan proses pelaksanaan pembangunan di wilayahnya sehingga apa yang masih menjadi keraguan di kalangan masyarakat menjadi suatu kepastian dapat dapat meningkatkan taraf hidup serta tidak mengkuatirkan kelangsungan hidup mereka sehari-hari.
30
2.1.2. Penataan Ruang Wilayah Menurut Asyiawati (2002), bentuk-bentuk penataan ruang wilayah dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. 2. Penataan ruang
berdasarkan
aspek administrasi tata ruang administrasi
meliputi rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan tata ruang kabupaten/ kota. 3. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu seperti kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri, pariwisata beserta sarana dan prasarananya. Sementara Misra (1981), mengatakan pengembangan spatial meliputi dua faktor utama yaitu: 1. Adanya pola pemukiman di dalam wilayah. 2. Adanya tata guna lahan yang dikelola secara optimal dan eksploitasi sumberdaya yang terkendali. Menurut Wikantiyoso (1996), tantangan pembangunan wilayah pusat terletak pada penciptaan keseimbangan wilayah sehingga diperlukan keterpaduan pembangunan ekonomi dengan kebijakan pengembangan tata ruang (spatial) wilayah dalam skala regional. Parlindungan (1993), menjelaskan Undang-undang No.24 tahun 1992 tentang penataan ruang meliputi:
31
1. Pencapaian tata ruang kawasan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang dalam pembangunan. 2. Meningkatkan fungsi kawasan antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat. 3. Menata atau mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif dari pengelolaan lingkungan alam, lingkungan alam buatan dan lingkungan sosial. Undang-undang penataan ruang wilayah nasional maupun provinsi secara makro sudah mulai diperdebatkan sejak Desember tahun 1977 di kota Ambon. Dalam perkembangannya kerangka teoretis penataan ruang wilayah didasarkan pada sejumlah sistem yang telah berkembang sampai dewasa ini. Dalam undang-undang penataan ruang wilayah yang dimaksudkan dengan: 1. Ruang adalah: wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah. Tempat dimana manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. 2. Tata Ruang adalah: wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. 3. Penataan ruang adalah: proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 4. Rencana Tata Ruang adalah: hasil perencanaan tata ruang. 5. Wilayah adalah: ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur-unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. 6. Kawasan adalah: wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.
32
7. Kawasan Sentra Produksi adalah:
wilayah
yang kegiatan ekonominya
terkonsentrasi pada suatu aktivitas ekonomi tertentu dengan
pemanfaatan
ruang serta unsur yang terkait padanya sesuai aspek fungsional dan potensi lokal wilayahnya. Sistematika undang-undang penataan ruang wilayah diatur berdasarkan: 1. Tata Ruang Administratif yakni,
tata ruang nasional,
tata ruang daerah
(provinsi, kabupaten dan kota). 2. Fungsi Kawasan yakni, fungsi yang didasarkan pada aspek kegiatan kawasan yang meliputi, fungsi perdesaan, perkotaan dan fungsi kawasan tertentu dengan memperhatikan aspek keserasian, keselarasan, keseimbangan fungsi budi daya, pengelolaan secara
terpadu dan fungsi lindung
(Parlindungan, 1993) Wilayah kepulauan Provinsi Maluku adalah salah satu wilayah yang penataan ruangnya harus berorientasi pada aspek ruang kelautan (bahari/maritim). Hal ini disebabkan karena laut adalah matra ruang dari pola dasar pembangunan daerah serta menjadi acuan untuk penyusunan berbagai kebijakan pembangunan tentang pemanfaatan ruang wilayahnya. Untuk
mewujudkan
keterkaitan,
keselarasan
dan
keseimbangan
perkembangan wilayah maka salah satu pengembangan kawasan di daerah ini di arahkan pada pengembangan kawasan sentara produksi yang berorientasi pada pemanfaatan kawasan yang disesuaikan dengan aspek sosial budaya, ekonomi dan aspek keuntungan lokasi (locational) berbasis kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayahnya.
33
Provinsi Maluku di era otonomi memiliki beberapa wilayah otonomnya (kabupaten/kota) dengan otonomi yang luas maka sesegera mungkin melakukan berbagai model perubahan arah dan strategi kebijakan dalam pengembangan wilayahnya. Berkaitan dengan hal tersebut Provinsi Maluku secara makro memiliki kemampuan untuk mengembangkan wilayahnya dengan memanfaatkan peluang-peluang yang bersifat lokal, nasional maupun global. Peluang wilayah lokal tersebut seperti kapasitas dan potensi lokal wilayah (local spesific) dengan berbasis pada keunggulan sektoral wilayahnya seperti sektor bahari/maritim. Pada umumnya penataan ruang wilayah diarahkan untuk dapat: 1. Menyusun arahan pengembangan wilayah. 2. Memanfaatkan pedoman pemanfaatan ruang secara terpadu dan menjadi acuan pembangunan. 3. Memadukan keserasian penataan ruang kabupaten, kota dan provinsi. 4. Melakukan revisi terhadap rencana-rencana tata ruang wilayah atau arah dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi wilayah yang tidak sesuai dengan kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah. Sasaran yang dicapai dalam penataan ruang wilayah berfungsi untuk: 1. Merumuskan arahan pengelolaan
kawasan seperti, kawasan lindung,
budidaya/sentra produksi. 2. Merumuskan arahan pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan dan kawasan tertentu. 3. Merumuskan arahan pengembangan kawasan-kawasan yang menjadi prioritas pengembangan selama jangka waktu yang diperlukan.
34
4. Merumuskan arahan kebijakan penatagunaan lahan/tanah, air, udara, hutan, mineral dan sumber daya alam lainnya. Keberhasilan pengembangan kawasan sentra produksi akan memfasilitasi pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota untuk memacu dan menerapkan prinsip-prinsip otonomi yang didasarkan pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific). Orientasi wilayah dengan menerapkan prinsip otonomi haruslah didasarkan pada keunggulan spasial dan potensi lokal wilayah tersebut. Prinsip seperti ini didukung oleh karakteristik setiap wilayah yang heterogen dan memiliki potensi atau keunggulan yang besar antarwilayah (interregional linkages) dengan wilayah lainnya serta intersectoral linkages. Keunggulan potensi local (local spesific) tersebut seharusnya mampu menjadi modal dasar sebagai penggerak utama (prime mover) pembangunan ekonomi wilayah . Penetapan 21 Kawasan Strategis Nasional (KSN) oleh Direktur Penataan Ruang Wilayah dari sudut kepentingan ekonomi nasional belum memperlihatkan peran yang menonjol dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kawasan Strategis Nasional dimaksud hanya memperhatikan berbagai kebijakan pengembangan wilayah pada Kawasan Barat Indonesia dengan penetapan kawasan andalan darat dan laut di Kawasan ini. Dengan penetapan kawasan strategis tanpa memperhatikan potensi jangka panjang wilayah maka sudah tentu akan menimbulkan kecemburuan di antara wilayah khususnya Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia. Kawasan Strategis Nasional sebaiknya tidak diarahkan hanya pada salah satu wilayah tetapi harus didasarkan pada kapasitas atau potensi wilayah yang saling berkaitan antara potensi wilayah andalan laut dengan wilayah darat, antara
35
wilayah timur dengan laut sebagai andalannya dan wilayah barat dengan potensi daratnya. Sehingga wilayah-wilayah ini akan berada pada suatu kawasan yang saling membutuhkan dengan tidak merugikan wilayah lain atau saling menguntungkan. Pengembangan seperti hal di atas biasanya lebih dikenal dengan istilah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) namun sampai saat ini konsep-konsep yang bagus belum dan tidak mendapat respon karena banyak pengambil kebijakan di pusat maupun di daerah tidak memahami betapa pentingnya suatu konsep dalam mengembangkan wilayahnya maupun wilayah di sekitarnya dengan lebih dulu menemukenali atau mengidentifikasi dan menentukan potensi lokal wilayah (local spesific) berbasis karakteristik wilayah itu sendiri.
2.1.3. Konsep Pusat Pengembangan Wilayah Richardson (1978), mengemukakan bahwa pusat pengembangan wilayah meliputi empat unsur yaitu : 1. Harus ada sekumpulan kegiatan atau industri pada suatu tempat atau lokasi tertentu. 2. Mampu menggerakkan atau merangsang pertumbuhan ekonomi yang dinamis. 3. Industri yang berada dalam satu kawasan dan saling terkait antara satu dengan lainnya. 4. Harus ada industri induk. Lokasi geografis seperti wilayah kepulauan dapat memberikan manfaat dan keuntungan antarwilayah (interregional) bila terjadi keuntungan agglomerasi yang diperoleh dari lokasi sumberdaya, tenaga kerja dan fasilitas prasarana
36
lainnya. Menurut Perroux (1955), pusat pengembangan wilayah melalui pemanfaatan Agglomeration Economic yaitu : 1. Scale Economies 2. Localization Economies 3. Urbanization Economies Scale Economies dimaksudkan semacam keuntungan yang dapat timbul dari pusat pengembangan dimana industri yang bergabung di dalamnya dapat menjalankan kegiatan produksi dengan skala besar, karena terjaminnya kebutuhan terhadap bahan baku, maupun pemasaran hasil produksi. Localization Economies yaitu adanya penekanan ongkos produksi, karena adanya saling keterkaitan antar industri, sehingga kebutuhan akan bahan baku dengan ongkos transportasi yang minimum dapat diwujudkan. Sedangkan Urbanization Economies timbul karena adanya fasilitas-fasilitas pelayanan sosial, ekonomi dan lainnya yang dapat dipergunakan secara bersama-sama sehingga ongkos dapat ditekankan. Menurut Wibisono (2005), pusat pengembangan wilayah (regional) di Indonesia menjadi sangat penting karena beberapa alasan yaitu: 1. Alasan politik maksudnya dengan keragaman etnik yang begitu pural, tidak ada isu yang lebih sensitif selain isu kedaerahan. 2. Alasan disparitas pendapatan regional maksudnya pembagian pendapatan yang bersumber dari distribusi pendapatan sumber daya alam yang sangat tidak merata. 3. Alasan dinamika spasial maksudnya daerah harus memegang peran penting dalam kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan masyarakat daerah tersebut.
37
4. Alasan desentralisasi maksudnya bagaimana hubungan antar daerah dapat dilakukan, seberapa besar desentralisasi harus diberikan kepada daerah agar desentralisasi tetap dapat dilaksanakan
secara konsisten dengan tujuan
kesatuan dan persatuan nasional. Sedangkan menurut Weber (1979), Hoover (1948), Mills (1972), dan Juoro (1989), dikatakan bahwa konsep pusat pengembangan ditujukan untuk menjadikan suatu wilayah lebih terkonsentrasi (agglomerasi) dari seluruh aktivitas ekonomi, hal seperti ini terjadi karena: 1. Pendekatan keberagaman (diversity) sumberdaya, skala ekonomi (scale of economies) produksi dan aglomerasi konsumen. 2. Faktor-faktor unik yang dimiliki oleh wilayah tersebut. 3. Adanya kegiatan ekonomi berskala besar (large-scale economies). 4. Adanya ekonomi lokalisasi (localization economies). Model pusat pengembangan wilayah oleh Dixit (1977), lebih ditekankan pada pengertian kota sebagai pusat aktivitas dan lebih bersifat umum. Tema utama dari
penulisannya adalah ukuran pusat pengembangan (optimum size), yang
ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi (economies of scale in production), dan disekonomi (diseconomies) transportasi. Fujita dan Jacques (2002), melihat pusat pengembangan wilayah dari sisi eksternal
terhadap suatu industri
dimana ekonomi urbanisasi (urbanization
economies) sangat dipengaruhi oleh adanya ekonomi lokalisasi yaitu lokalisasi ini merupakan faktor eksternal terhadap aktivitas ekonomi (perusahaan) pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap industrinya. Di sisi lain Warpani (1984), menyatakan bahwa ada tiga hubungan yang dapat diklasifikasikan dalam hal
38
keterkaitan atau ketergantungan antara suatu aktivitas ekonomi disuatu wilayah dengan aktivitas ekonomi lainnya dan wilayah diluar wilayah tersebut. Ketiga macam hubungan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hubungan langsung yaitu; pengaruh yang secara langsung dirasakan oleh sektor yang menggunakan input dari output sektor yang bersangkutan. 2. Hubungan tidak langsung yaitu; pengaruh terhadap suatu sektor
yang
outputnya tidak digunakan sebagai input bagi output sektor yang bersangkutan. 3. Hubungan sampingan yaitu; pengaruh tidak langsung yang jangkauannya lebih panjang daripada pengaruh langsung tersebut diatas. Menurut
Chen
dan
Mattoo
(2004),
mengatakan
perkembangan
perdagangan yang sangat cepat dan lebih bervariasi memberikan dampaknya bagi pengembangan pembangunan perwilayahan. Pembangunan perwilayahan sudah tidak dibatasi lagi antara wilayah perbatasan atau wilayah pinggiran (periphery) dengan wilayah pusat pengembangan(growth center). Hal inilah yang menurut Chen dampak dari adanya perdagangan antarwilayah baik dari dan ke pusat wilayah maupun wilayah pinggiran secara signifikan memberikan dampak yang positif bagi perdagangan yang dilakukan oleh satu wilayah dengan wilayah lain bahkan lebih dari beberapa wilayah disekitarnya. Untuk itu apa yang menjadi harapan Sun dan Cheol (2006), dikatakan bahwa antara pemerintah pusat dan daerah dapat saling memperkuat daya saing antar daerah. Selanjutnya untuk menciptakan daya saing antar daerah diperlukan peran pemerintah
dalam melakukan intervensi
dengan
kebijakan untuk meningkatkan efisiensi setidaknya untuk
membuat reformasi menciptakan iklim
39
investasi di daerah tersebut. Hubungan pemerintah pusat dan daerah berhubungan seperti “saudara kembar” yakni kebijakan yang dibuat akan dilakukan dengan satu tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat, sementara koordinasi antar lembaga pemerintah semuanya harus berjalan dalam satu koordinasi dan setiap lembaga memiliki tujuan yang sama
sehingga tidak perlu khawatir akan terjadi ego
diantara lembaga pemerintah itu sendiri. Alonso (1964), Mills (1972), Muth (1969), dan McCann (2001), melihat adanya peran wilayah penyangga (sub wilayah) dengan pusat wilayah (wilayah utama/kota) dimana dengan adanya wilayah penyangga maka dapat merangsang atau mempengaruhi perdagangan antarwilayah (interregional) disekitarnya. Atas dasar kemampuan atau kapasitas yang sesuai dengan ruang wilayahnya semua aktivitas perdagangan dapat dikelola atau dipusatkan pada suatu wilayah spesifik seperti yang dikenal dengan pengembangan Kawasan Industri Makassar (KIM) di Makassar, Bekasi, Tangerang. Alonso (1966), menyebutnya dengan Central Business District (CBD) yaitu aktivitas perdagangan yang dilakukan terpusat pada suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah seperti ini semua unsur diasumsi homogen kecuali jarak. Konsep seperti ini oleh Thunen hanya terfokus pada satu dimensi saja yakni pada CBD dimana CBD berperan sebagai pengganti kota yaitu sebagai pusat pasar atau pusat perdagangan sebab suatu wilayah akan terbatas pada lahan yang tersedia karena akan digunakan untuk berbagai aktivitas lain selain aktivitas produksi atau perdagangan. Pemahaman pusat pengembangan wilayah seperti diatas sudah sangat sulit diterima, karena perencanaan pembangunan wilayah atas dasar Growth pole tidak dibatasi lagi oleh ruang wilayah pusat wilayah tersebut. Oleh sebab itu
40
menurut Stamer-Meyer (2003), dikatakan pemahaman tentang pengembangan pusat wilayah atas dasar ekonomi lokal dengan pembangunan wilayah itu sendiri (regional) memiliki perbedaan yang sulit ditentukan. Perbedaan pembangunan ekonomi wilayah lokal dengan pembangunan wilayah (regional) cenderung dipahami oleh beberapa orang dengan pembangunan ekonomi regional. Pengembangan pusat wilayah tidak saja pada aspek ekonomi wilayah lokal namun didasarkan juga pada aspek pemberdayaan wilayah regional. Sehingga konsep pemahaman ekonomi lokal atau regional tidak dibatasi lagi oleh tempat dan ruang wilayah. Pemahaman lokal maupun regional diarahkan pada setiap wilayah yang mengembangkan keunggulan sektoralnya sebagai potensi lokal wilayah dan didukung kelengkapan fasilitas pelayanan sehingga mampu mendorong atau memacu perkembangan wilayahnya yang lebih baik. Adisasmita, R. (1997), (2008), Rondinelli (1985), Hadjisarosa (1976), Boudenville (1966), dan Tarigan (2004), mengemukakan beberapa kebijakan pengembangan wilayah yang pernah diterapkan di beberapa negara berdasarkan asumsi karakteristik wilayah daratan dimana rona wilayahnya dianggap sama (homogen) seperti: 1.
India dengan sistem perencanaan pembangunan wilayah yang di dasarkan pada perencanaan tingkat blok. Perencanaan ini memperlihatkan bahwa suatu wilayah yang dipusatkan pada suatu area akan meningkatkan aktivitas pada wilayah tersebut. Dengan demikian akan menciptakan pusat pengembangan wilayah terhadap wilayah pendukung lainnya (sistem zoning). Biasanya kebijakan seperti ini di dasarkan pada keingginan meningkatkan ekonomi perkotaan (konsep pembangunan ekonomi wilayah daratan).
41
2.
Peru, Equador, Kenya dan beberapa negara Afrika lainnya lebih menitik beratkan sistem pengembangan wilayah melalui penciptaan pusat-pusat pasar di setiap wilayahnya yang saling berdekatan. Kebijakan di negara-negara ini juga memperlihatkan penerapan pembangunan yang di dasarkan pada sistem zoning. Dengan sistem ini maka aspek jarak dan ongkos transporatsi dianggap sama (membuktikan bahwa sistem ini menganut sistem kebijakan pembangunan ekonomi wilayah daratan).
3.
Malawi dan Thailand pada sistem jenjang penciptaan pusat pertumbuhan melalui kapasitas atau potensi lokal di wilayahnya. Kebijakan pengembangan wilayah di negara-negara ini lebih ditujukan pada penentuan sektor unggulan wilayah (berbasis potensi lokal wilayah). Bila di lihat dari konsep kebijakan seperti yang di lakukan oleh ke dua negara ini maka keterhubungan dan ketergantungan wilayah menetapkan balancing growth seperti pada teori lokasi model Von Thunen. Dengan demikian konsep ini merupakan sistem zoning yang berlaku pada kebijakan pembangunan wilayah daratan.
4.
Bolivia, Philipina dan Malaysia
lebih menekankan pentingnya sistem
pengembangan wilayah melalui peningkatan fungsi-fungsi pelayanan perkotaan dengan daerah perdesaan. Negara-negara ini jelas menggunakan kebijakan pengembangan ekonomi perkotaan dengan asumsi setiap wilayah akan berkembang bila fungsi pelayanan ditingkatkan. Konsep ini merupakan konsep pembangunan wilayah daratan dan kepulauan. Hal ini berhubungan dengan asumsi semua rona wilayah adalah sama (homogen) tetapi di sisi lain setiap wilayah membutuhkan peningkatan fasilitas pelayanan termasuk pada wilayah kepulauan.
42
5.
Indonesia sebagi negara kepulauan terbesar dalam menunjang pengembangan ekonomi wilayah lebih menekankan pentingnya sistem permukiman. Sistem pengembangan wilayah seperti ini lebih mengutamakan pada usaha untuk menyebar luaskan jumlah penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah yang jarang penduduknya. Aspek atau kebijakan pembangunan yang dilakukan selama ini masih berorientasi pada konsep wilayah daratan dengan sistem zoning yaitu menyebar luaskan penduduk ke wilayah lain maka secara otomatis wilayah tersebut akan terpacu pembangunan ekonomi wilayah setempat. Sistem ini akhirnya belum memperlihatkan kemajuan dalam menciptakan keunggulan
wilayah yang ditempatinya. Aspek ini
cenderung mengabaikan ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat sehingga sering menimbulkan kecemburuan antara pendatang dengan penduduk setempat.
Kebijakan ini menganut asumsi semua wilayah
dianggap sama (homogen). Dengan demikian konsep pembangunan seperti ini tidak didasarkan pada usaha untuk mencari/menemukan/ mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor unggulan berbasis pada keunggulan local spesific spasial sebagai wilayah kepulauan yang heterogen.
2.1.4. Wilayah/Negara Daratan (Continental/Landlock State) versus Wilayah/Negara Kepulauan (Archipelago/Archipelagic State) Pemahaman wilayah/negara daratan (continental/landlock state) dengan wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) mulai diperbedatkan sejak tahun 1824. Indonesia mulai diakui sebagai salah satu negara kepulauan (archipelagic state) pada saat dilakukannya konvensi hukum laut PBB
43
(UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea) ke tiga pada tanggal 30 April 1982 di New York (Arsana, 2007). Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikenal sebagai negara maritim atau bahari karena wilayah laut Indonesia mencakup 75 persen dari luas wilayahnya dan 25 persen wilayah daratan. Syaeful (2008), menyatakan sebutan negara kepulauan (archipelgic state) kepada suatu negara bila negara tersebut memiliki zona ekonomi ekslusif (ZEE) sehingga negara tersebut memiliki wewenang sebagai hak kedaulatan untuk mengelola, mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam baik di laut maupun di bawah dasar laut baik hayati maupun non hayati. Menurut Yakub (2004), dan Syaeful (2008), menggambarkan ciri-ciri atau karakteristik wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) adalah sebagai berikut: 1. Memiliki bentuk yang tidak kompak atau rona wilayah yang tidak seragam (non-contigous shape) 2. Terdiri dari bentuk fragmental (kepulauan) 3. Terpecah (broken shape) 4. Tersebar (scattered shape) 5. Dikelilingi laut atau lingkar laut (sircum marine) Berdasarkan ciri atau karakteristik diatas dan hasil konsesus konvensi UNCLOS di New York, Indonesia disebut sebagai negara kepulauan (archipelagic state) karena bentuk wilayahnya (rona wilayah) tidak kompak (noncontigous shape) dipisahkan oleh laut atau perairan. Dengan demikian ciri wilayah/negara daratan (continental/landlock state) merupakan kebalikan dari ciri
44
negara kepulauan. Hasil konvensi UNCLOS di New York lebih dipertegas bahwa suatu wilayah/negara yang tidak memiliki ZEE maka negara tersebut merupakan wilayah/negara daratan (continental/landlock state). Hal ini berkaitan dengan negara daratan tidak memiliki batas laut teritorial, batas landas kontinen, ZEE dan bentuk wilayahnya yang kompak atau seragam (contigous shape). Sebagai gambaran adanya perbedaan karakteristik antara wilayah/negara daratan
(continental/landlock
state)
dengan
wilayah/negara
kepulauan
(archipelago/archipelagic state) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel. 1. Perbedaan Karakteristik Wilayah/Negara Daratan dengan Wilayah/ Negara Kepulauan Wilayah Daratan
Wilayah Kepulauan Karakteristik Geografis
Rona wilayah sama/ bentuk kompak (homogen/contigous shape) Berbentuk wilayah daratan yang luas (pulau besar/benua)
Rona wilayah tidak sama/ bentuk tidak kompak (heterogen/non contigous shape) Berbentuk kepulauan (fragmental)/(pulau kecil) Terpecah (broken shape) Tersebar (scattered shape) Lingkar laut (sircum marine)
Kepustakaan 1. Hadi, B.S (2008) 2. Adisasmita, R. (2005) 3. Yakub, R. (2004) 4. Monk, Dkk (2000) 5. Sitaniapessy. (2002)
Karakteristik Geologi
Jenis sedimen, metamorfik Memiliki keseragaman geologi
Jenis sedimen, metamorfik dan beku 1. Dirjen Cipta Karya Dep PU. (berkarang) (1992) Tidak semua wilayah memiliki 2. Unpatti (2000) keragaman geologi. 3. Hadi, B. S (2008) Iklim tropik basah (Indonesia)
Karakteristik Sumberdaya Alam (Flora dan Fauna)
Tidak dibatasi garis Wallace, Weber dan Lydeker Hampir semua wilayah memiliki keseragaman flora dan fauna
Dibatasi garis Wallace, Weber dan Lydeker Garis Weber wilayah bagian barat Indonesia Garis Wallace wilayah bagian timur Indonesia Garis Lydeker bagian Maluku dan Halmahera (fauna Asiatis dan Australia) Sumberdaya alam/potensi lokal beragam dan besar
1. Hadi, B. S (2008) 2. Unpatti (2000) 3. Parlindungan , A. P. (1993) 4. Sitanipessy. (2002)
Karakteristik Sosial Budaya dan Kependudukan
Penduduk tersebar merata Memiliki keterkaitan budaya yang sangat dekat Laju urbanisasi dari wilayah pinggiran ke pusat pertumbuhan mengecil/rendah
Penduduk tersebar tidak merata Penduduk terpusat pada pusat aktivitas pelayanan masyarakat Memiliki budaya yang tidak seragam Laju urbanisasi meningkat seiring terpusatnya aktivitas di pusat
1. World Bank (2009) 2. Hadi, B. S (2008) 3. Adisasmita, R. (2008)
45
pertumbuhan.
Karakteristik Aktivitas Ekonomi
Terdapat banyak pusat pertumbuhan dan sistem zone industri Konsentrasi aktivitas ekonomi meningkat di setiap pusat pertumbuhan dan wilayah pinggiran Investasi dan industri berada dihampir setiap wilayah pengembangan Disparitas kesejahteraan antara pusat pertumbuhan dengan zone wilayah pinggiran semakin kecil Pasar dekat Jarak wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah pinggiran dekat
Terdapat satu atau beberapa pusat pertumbuhan Investasi dan industri terpusat di pusat pertumbuhan Konsentrasi aktivitas ekonomi hanya pada pusat pertumbuhan Terjadi disparitas kesejahteraan Pasar jauh Jarak wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah pinggiran jauh Kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang rendah di pusat pengembangan
1. Adisasmita, R. (1997), (2005), (2008). 2. Tarigan, R. (2004) 3. Reksohadiprodjo , S. dan Karseno, A. R. (2001) 4. Budiharsono, S. (2001)
Sumber: Dari Berbagai Kepustakaan dan Dikembangkan oleh Peneliti Adapun perbedaan pengembangan wilayah/negara daratan dengan wilayah/ negara kepulauan berdasarkan konsep pengembangan spasial yang di dasarkan pada konsep pengembangan wilayah dari memperlihatkan adanya
pusat pertumbuhan, desentralisasi dan integrasi
perbedaan konsep pengembangan wilayah daratan dengan
kepulauan. Perbedaan pengembangan wilayah antara wilayah daratan dengan kepulauan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel. 2.
Perbedaan Pengembangan Wilayah/Negara Daratan dengan Wilayah/Negara Kepulauan Berdasarkan Konsep Pengembangan Spasial (Growth Pole, Desentralisasi Teritorial dan Integrasi)
Konsep Pengembangan Spasial (1)
I. Konsep Kutub Pertumbuhan (Growth Pole)
Pengembangan Wilayah Daratan (Continental)
Kepulauan (Archipelago)
(2) Investasi dan industri (aktivitas ekonomi) terpusat di pusat pertumbuhan Otomatis terjadi spread effect ke wilayah ping-girannya (periphery) Wilayah pinggiran (periphery) cepat berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru sebagai wilayah penyangga terhadap pusat pertumbuhan utama Prasarana dan sarana (infrastruktur) tersedia dengan baik Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota generatif Jarak dan infrastruktur dianggap sama untuk seluruh wilayah
(3) Investasi dan industri (aktivitas ekonomi) seharusnya tidak terpusat di pusat pertumbuhan tetapi di beberapa pusat pertumbuhan. Belum tentu terjadi spread effect tetapi sebaliknya cenderung terjadi backwash effect Wilayah pinggiran (periphery) sulit berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru sebagai wilayah penyangga pusat pertumbuhan Prasarana dan sarana (infrastruktur) belum baik bahkan cenderung sulit diperoleh Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota parasitif bahkan ada
Kepustakaan (4) 1. Adisasmita, R. (2005) 2. Tarigan, R. (2004) 3. Richardson, H.W. (1978) 4. Rondinelli. D. A. (1985) 5. World Bank (2009) 6. Daryanto, A. (2003) 7. Porter, M. E. (1990) 8. Okali, D. Okpana, E. dan Olawoye, J. (2001)
46
II. Konsep Desentralisasi Teritorial
III. Konsep Integrasi (FungsiFungsi Spasial)
Wilayah terseleksi berdasarkan zone Muncul istilah kota Megapolitan terdiri dari beberapa kota yang berdekatan (kasus kota Jakarta dengan istilah Jababodetabek) Kota menengah dan kecil saling membutuhkan (generatif) terhadap kota besar/utama begitupun sebaliknya. Investasi dan industri terpencar (spread effect) ke wilayah pinggiran/kota kecil lainnya Migrasi penduduk hampir merata di seluruh wilayah kota besar, menengah dan kecil Distribusi pelayanan dan fasilitas sosial, infrastruktur ekonomi tersedia dengan baik Wilayah pinggiran berpotensi menjadi wilayah yang kuat meningkatkan produktivitas ekonomi secara nasional Semua wilayah dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan
Adanya keseimbangan dan kesinambungan yang baik diantara wilayah disekitarnya (jenjang hirarki) bergerak secara alami Sistem pengembangan wilayah seperti infrastruktur saling terpadu antara satu wilayah (keterpaduan pusat pelayanan) dengan wilayah disekitarnya Pusat-pusat pertumbuhan yang berebeda ukuran (kota besar, menengah dan kecil) tetapi saling membutuhkan Wilayah penyangga mampu menjadi pendukung bagi wilayah pusat Karakteristik fungsional bermacam-macam atau bervariasi Wilayah pusat menjadi elemen yang memiliki keterkaitan sebagai wilayah produksi dan wilayah konsumsi yang mampu menyediakan berbagai
yang enclave Jarak dan infrastruktur tidak sama di semua wilayah Wilayah sulit terseleksi Tidak ada kota megapolitan Wilayah pinggiran selalu bergantung (parasitis) terhadap wilayah pusat Investasi dan industri sulit terpencar (spread effect) dari wilayah pusat ke wilayah pinggiran Penduduk tidak merata di wilayah masing-masing. Terjadi migrasi ke wilayah pusat pertumbuhan Distribusi pelayanan sosial, infrastruktur ekonomi tidak cukup tersedia dengan baik Jaringan/hubungan (networking) antar wilayah di dalam wilayah itu sendiri sangat lemah Wilayah pinggiran sulit bertumbuh menjadi pusat pertumbuhan dan pelayanan ekonomi, sosial, administrasi serta jasa lainnya. Wilayah pinggiran sulit berpotensi menjadi wilayah yang kuat untuk meningkatkan produktivitas ekonomi secara nasional. Tidak semua wilayah dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan Belum ada keseimbangan dan kesinambungan yang baik diantara wilayah disekitarnya (jenjang hirarki) tidak bergerak secara alami, harus ada political will dari penguasa. Lemahnya sistem pengembangan wilayah seperti infrastruktur yang saling terpadu antara satu wilayah (keterpaduan pusat pelayanan) dengan wilayah disekitarnya Hanya ada satu pusat pertumbuhan (ibu kota provinsi) wilayah lain disekitarnya dianggap sebagai wilayah penyangga pusat pertumbuhan Karakteristik fungsional belum dapat diidentifikasi Wilayah pusat menjadi elemen yang memiliki pengaruh kuat sebagai wilayah produksi dan konsumsi tetapi belum mampu menyediakan berbagai
9. Uphoff. N. (1999) 10. Douglas, M. (1998)
47
interaksi fungsional di wilayah sekitarnya. Terdapat hubungan tarik menarik (hubungan timbal balik) antara wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya
interaksi fungsional bagi wilayah sekitarnya Lemahnya hubungan tarik menarik (hubungan timbal balik) antara wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota parasitif bahkan ada yang enclave
Sumber: Dari Berbagai Kepustakaan dan Dikembangkan oleh Peneliti
Berdasarkan perbedaan karakteristik dan konsep pengembangan spasial wilayah daratan dan kepulauan dapat dikatakan Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) bukan negara daratan. Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki salah satu provinsi kepulauan terbesar yaitu Provinsi Maluku. Karakteristik dan pengembangan spasial memperlihatkan Provinsi Maluku adalah wilayah kepulauan (archipelago). Konsep pengembangan spasial wilayah kepulauan seperti yang terlihat pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa Provinsi Maluku identik dengan konsep pengembangan pusat pertumbuhan (growth pole), desentralisasi teritorial (otonomi daerah) dan konsep integrasi berdasarkan fungsi-fungsi spasialnya. Pengembangan wilayah kepulauan seperti terlihat pada karakteristik dan tujuan pengembangan spasial maka sebagai wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu menentukan sektor-sektor apa saja yang berbasis pada potensi lokal (local spesific). Menurut Daryanto (2003), potensi lokal (local spesific) merupakan potensi wilayah yang perlu dikembangkan tidak hanya pada aspek keunggulan komparatif tetapi harus memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi. Dengan demikian setiap wilayah harus tetap mengacu pada wilayah itu sendiri (inward looking) sehingga wilayah tersebut mampu menyesuaikan arah pembangunan wilayahnya sesuai dengan karakteristik lokal (local spesific).
48
Porter (1990), mengemukakan bahwa pengembangan ekonomi atau daya saing suatu wilayah biasanya ditentukan oleh faktor produksi, kondisi permintaan pasar dan peranan pemerintah (role of goverment) sebagai faktor penunjang. Menurutnya peran pemerintah diperlukan karena dapat menciptakan kompetensi inti sehingga suatu wilayah dapat dibedakan dari wilayah lainnya melalui daya saing wilayah yang tercipta. Menurut Douglas (1998), dikatakan bahwa pertumbuhan di beberapa wilayah inti (core) mampu mendatangkan
atau
memberikan keuntungan kepada perkembangan wilayah lainnya (periphery). Pembangunan wilayah menurut Okali (2001), lebih ditujukan pada penerapan konsep pembangunan wilayah daratan. Okali dkk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi antara wilayah kota dengan perdesaan adalah arus spasial seperti tenaga kerja, produksi, komoditi, modal dan informasi. Aktivitas yang terciptanya antara kota dengan perdesaan akan menciptakan dinamika pembangunan wilayahnya. Selanjutnya menurut Okali perlunya peran atau intervesi pemerintah dalam meningkatkan aktivitas sektoral di wilayah perdesaan. Menurut Uphoff (1990), sektor yang berbasis potensi lokal seperti pertanian mampu mengatasi masalah krisisis pembangunan ekonomi di Indonesia. Uphoff
melihat kinerja sektor pertanian di Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara lain, Indonesia mampu menjadi negara yang
berhasil
mengimplementasi model pembangunan pertanian sebagai sektor yang berbasis potensi lokal wilayahnya.
49
2.1.5. Peran dan Fungsi Wilayah di Era Otonomi Berbagai
permasalahan
otonomi
daerah muncul
dalam bingkai
pembangunan wilayah. Adanya distorsi hubungan antara pusat dengan daerah dimana pusat terlalu mendominasi berbagai kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya
alam,
ekonomi,
hukum
maupun
politik. Sehingga muncul
penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang dikenal dengan istilah otonomi (Widjaja, 2002). Otonomi daerah sebenarnya bukanlah hal yang baru, secara praktis pemerintahan Orde Baru sudah mengembangkan sistem ini dengan mengurangi wewenangnya, namun kerangka yang diharapkan dapat memacu perubahan pembangunan di daerah tidak sepenuhnya dilaksanakan bagi kepentingan daerah. Selama hampir 18 tahun berbagai diskusi tentang pelaksanaan Otonomi Daerah telah diteliti dan didiskusikan dalam berbagai seminar, undang-undang otonomi yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah daerah,
diharapkan dapat mengembangkan prinsip-prinsip pembangunan di daerah berdasarkan pada kemampuan atau kapasitas atau potensi lokal suatu daerah untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerahnya. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepas pisahkan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan proses pembangunan atas kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan,
50
partisipasi masyarakat (partisipatoris). Dengan demikian upaya-upaya untuk melaksanakan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan seksama dan kerelaan pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini berhubungan dengan tujuan otonomi yang hendak dicapai yakni, pencapaian efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat (Abe, 2001). Menumbuh kembangkan daerah otonom dalam berbagai bidang seperti, kemandirian dan meningkatkan daya saing daerah adalah proses pembangunan untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan pemerataan demi kemandirian wilayah tersebut. Sejalan dengan kemandirian daerah atau wilayah dalam berbagai kesempatan perencanaan pembangunan maka secara terbuka daerah dapat membangun kemitraan dengan publik seperti pihak swasta daerah, pusat atau pihak asing dalam berbagai bidang sosial, ekonomi dan budaya terkecuali keamanan (militer) dengan negara asing. Sesuai dengan kemajemukan sumberdaya manusia (pluralis) dan perbedaan kondisi kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah maka akan terdapat variasi (keragaman) fungsi yang diemban oleh kabupaten/kota bahkan provinsi. Perbedaan kapasitas atau potensi lokal wilayah merupakan nilai tambah (value added) yang belum tentu dimiliki oleh negara lain. Kapasitas atau potensi lokal (local spesific) dan di dukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan wilayah seharusnya menjadi penggerak utama (prime mover) atau faktor pendorong setiap wilayah untuk memacu aktivitas masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Untuk itu perbedaan atau keberagaman kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah dengan dukungan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan wilayah diharapkan akan mempercepat penciptaan
51
pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dengan merangsang sektorsektor ekonomi potensial baik yang sudah maupun yang belum dikelola. Wirawan (2001), menyatakan dalam era otonomi, ekonomi kerakyatan saling berkaitan dengan otonomi yang dimiliki suatu daerah dimana daerah harus berlomba membangun basis ekonomi kerakyatan yang berbasis local spesific. Pengembangan sektor-sektor unggulan yang berbasis local spesific menjadi hal penting bila di dukung dengan ketersedian kemampuan fasilitas pelayanan pusatpusat pengembangan. Kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pusat-pusat pengembangan menjadi salah satu indikator penentuan maju tidaknya suatu aktivitas ekonomi wilayah guna percepatan pengembangan sektor unggulan yang berbasis pada local spesific wilayahnya. Beberapa kasus yang dapat diuraikan dalam membangun ekonomi kerakyatan di era otonomi seperti: pengembangan ekonomi wilayah di Lampung, Sawahlunto, Bantul dan Malang. Masing-masing wilayah mengembangkan ekonomi kerakyatannya berdasarkan spesific local wilayahnya. Lampung mengembangkan
potensi
lokal
wilayahnya
seperti,
sektor
perikanan
(pertambakan) dan sektor perkebunan, Sawahlunto dengan pertambangan batu bara, Bantul dengan ekonomi kerakyatan yang berbasis potensi lokal lebih menonjolkan industri kerajinan gerabah, batik, perak dan penganan kecilnya seperti; gaplek. Kota Malang dengan keuntungan geografis dan keindahan alam penggunungannya mampu memanfaatkan keuntungan potensi lokal (local spesific) di sektor pertanian yang dipadukan dengan keindahan alamnya, sehingga sektor agrowisata menjadi pilihan sebagai sektor yang berbasis potensi lokal wilayah. Sektor agrowisata dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di
52
Malang mampu meningkatkan sektor pertanian (hortikultura), pariwisata dan menjadi pusat pasar buah dan kerajinan cendera mata terbesar di Jawa Timur dan Indonesia.
2.1.6. Pembangunan Ekonomi Wilayah Pembangunan ekonomi wilayah memiliki berbagai aspek yang terus berubah secara dinamis, terencana dan terkoordinasi bila dilihat dari kerangka perencanaan pembangunan ekonomi wilayah,
baik secara regional, nasional
maupun internasional. Pembangunan ekonomi wilayah ditujukkan pada pencapaian sasaransasaran sub sistem pembangunan nasional yang terorganisir secara teritorial atau tata ruang (spatial). Meskipun dalam prateknya pembangunan ekonomi wilayah perlu memberlakukan penjelasan-penjelasan dasar bersifat teori yang memiliki keeratan hubungan antara pembangunan ekonomi wilayah dengan tata ruang. Dengan kata lain proses pembangunan ekonomi wilayah harus memperhatikan pendekatan aspek dimensi tata ruang (spatial) seperti
karakteristik wilayah,
geografis, sumberdaya manusia, interaksi antarwilayah. Todaro (2000), mengatakan pembangunan ekonomi wilayah merupakan proses multidimensial yang menyangkut reorganisasi dan reorientasi sistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Pembangunan disamping untuk meningkatkan pendapatan dan output, pembangunan harus melihat perubahan dalam perubahan sikap masyarakat, struktur sosial, adat dan kepercayaan masyarakatnya (kearifan lokal/local wisdom). Menurut Kartasasmita (1996), pembangunan adalah usaha meningkatkan harkat dan martabat masyarakat melalui kemampuan dan kemandirian lokal
53
wilayahnya. Kemandirian yang dimaksud adalah proses pembangunan yang berpijak pada pembangunan masyarakat dan diharapkan dapat memacu peran serta masyarakat (partisipatoris) dalam proses pembangunan itu sendiri. Proses pembangunan tersebut diharapkan akan mampu melepaskan kondisi masyarakat dari kemiskinan dan keterbelakangan. Selain hal-hal diatas pembangunan ekonomi wilayah tidak dapat dilepas begitu saja dari proses pembangunan yang sudah ada pada saat itu. Peran serta (partisipatoris) masyarakat sebagai pelaku atau pencipta (aktor) kegiatan ekonomi wilayah adalah seluruh masyarakat pada wilayah tersebut dan pihak investor dari luar yang ingin melakukan kegiatan ekonominya di wilayah itu. Namun pada kenyataannya
banyak wilayah di KTI khususnya provinsi Maluku sering
mengalami kendala sebagai akibat dari tidak sinergisnya pembangunan
yang non spatial
perencanaan
dengan tataruang wilayah. Akibat ketidak
sinergisnya perencanaan pembangunan yang demikian menimbulkan berbagai pertentangan antara pusat dengan daerah. Dengan adanya otonomi daerah, maka daerah lebih melihat wilayah dari sudut pandang mereka yaitu dari sudut pendekatan regional. Pertentangan perencanaan pembangunan yang selalu berbasis pada non spatial versus spatial menimbulkan wilayah (daerah) hanya menjadi pusat eksploitasi
sebagai lokasi proyek sektoral,
akibatnya
pembangunan yang diharapkan memberi manfaat pada masyarakat di daerah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pembangunan ekonomi wilayah harus menjadi primadona proses pembangunan dewasa ini di era otonomi. Dengan demikian pemerintah (pusat, daerah, kabupaten/kota), perlu memperhatikan apa yang ingin atau akan dilakukan
54
oleh pihak di luar pemerintah (swasta/investor) termasuk masyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi pemerintah yang memiliki peran cukup penting dalam proses pembangunan sebagai pengatur atau pengendali (regulator). Walaupun demikian pemerintah tidak dapat bertindak semena-mena dalam mengendalikan pembangunan di wilayahnya. Oleh sebab itu pemerintah dapat mengarahkan pembangunan ekonomi wilayah ke arah mana dan bagaimana setiap kegiatan ekonomi wilayah dapat berkembang dan bermanfaat bila tidak ada campur tangan pemerintah. Hal ini disebabkan karena adanya fungsi pemerintah selain sebagai regulator, pemerintah juga berfungsi sebagai stimulator. Dalam kondisi seperti ini proses pembangunan ekonomi wilayah dapat menunjukkan arah perkembangan seperti diharapkan pada kondisi atau sasaran yang ingin dicapai oleh setiap wilayah sehingga setiap wilayah mampu memacu pembangunan di berbagai sektor andalannya. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral adalah pendekatan pembangunan ekonomi dengan memfokuskan perhatiannya pada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ada di wilayah tersebut kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan (less spatial). Sedangkan pendekatan regional adalah pendekatan pembangunan ekonomi yang memfokuskan perhatiannya pada pemanfaatan ruang (spatial) yang satu dengan ruang lainnya dan dapat memanfaatkan perencanaan pembangunan dengan rencana tataruang wilayah. Dengan demikian pada pendekatan regional, pendekatan pembangunan ekonomi wilayah lebih ditekankan pada pemanfaatan ruang wilayah yang berbeda antara
55
satu wilayah dengan wilayah lainnya dan
dapat
menghubungkan
berbagai
interaksi yang terjadi dalam setiap aktivitas atau kegiatan pembangunan di wilayah tersebut. Pengelompokkan sektor-sektor baik pada pendekatan sektoral sering dibedakan berdasarkan kelompok kegiatan pembangunan ekonominya dan berdasarkan pada administrasi pemerintahan wilayah yang menangani sektorsektor tersebut. Dalam hal pembangunan wilayah banyak pengelompokkan didasarkan pada keseragaman kegiatan dan secara administrasi pemerintahan sering berjalan bersamaan atau sejalan. Pada
pendekatan
regional
pengelompokkan
wilayah
dilakukan
berdasarkan batas administrasi pemerintahan wilayah atau didasarkan atas dasar wilayah pengaruh dari suatu pusat pertumbuhan (growth centre). Biasanya pembagian ke dua pendekatan ini berbeda antara satu dengan lainnya. Menurut pendekatan regional perencanaan pembangunan sejalan dengan pembagian wilayah menurut administrasi pemerintahan dan pertumbuhan wilayah tersebut. wilayah
pembagian menurut pusat
Namun ada kalanya
ada bagian dari suatu
yang secara sosial ekonomi berhubungan antara wilayahnya dengan
pusat pertumbuhan yang berada diwilayah lain. Hadjisarosa (1976), mengatakan suatu wilayah dapat berkembang selain karena ada pengaruh wilayah pusat atau pusat pertumbuhan wilayahnya maupun pengaruh pusat pertumbuhan wilayah lainnya, hal tersebut disebabkan karena adanya pusat-pusat pengembangan wilayah yang dipengaruhi oleh adanya simpulsimpul jasa distribusi. Pendekatan sepertii inilah yang disebut Hadjisarosa dengan istilah pendekatan regional (networking distribution).
56
Pendekatan sektoral maupun pendekatan regional perlu dilakukan dalam suatu analisis pembangunan ekonomi wilayah. Dalam pendekatan sektoral seluruh kegiatan ekonomi wilayah dikelompokkan atas sektor-sektor atau kegiatan ekonomi. Sektor-sektor tersebut akan di analisis persektor sehingga dapat dilihat potensi dan peluang dari setiap sektor ekonomi yang ada di wilayah yang bersangkutan. Pendekatan regional perlu dilakukan dalam suatu analisis pembangunan wilayah hal ini disebabkan karena, pendekatan regional berbeda dengan pendekatan sektoral walaupun tujuan akhir yang diharapkan memperoleh kesamaan. Analisis regional dilakukan karena berhubungan dengan analisis atas penggunanaan ruang (space) pada saat itu. Biasanya analisis tersebut dilakukan berdasarkan aktivitas atau kegiatan pembangunan ekonomi dengan pemanfaatan atau penggunaan lahan/ruang serta pengaruhnya di masa yang akan datang. Analisis regional berusaha untuk meramalkan adanya daya tarik (attractiveness), suatu wilayah yang kuat (growth pole) terhadap wilayah lainnya (periphery). Pada dasarnya pendekatan regional didasarkan pada anggapan bahwa pendekatan ini memandang wilayah sebagai kumpulan atau bagian-bagian wilayah yang memiliki potensi/kapasitas/kemampuan dan daya tarik yang berbeda diantara wilayah masing-masing. Dengan melakukan pendekatan-pendekatan ini maka diharapkan adanya perubahan-perubahan besar yang terjadi dan dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi wilayah. Pengaruh positif diharapkan tidak hanya pada wilayah pusat maupun wilayah pinggiran ataupun terhadap wilayah lainnya yang dipisahkan
57
karena adanya batasan administrasi wilayah, tetapi juga mempengaruhi perekonomian regional, nasional maupun global. Pembangunan ekonomi wilayah sudah sepantasnya tidak hanya berdasarkan batas wilayah secara administrasi, pusat (centre/pole) dan pinggiran (periphery) tetapi berdasarkan
pada kebutuhan masyarakat. Perkembangan
pemikiran dan pendekatan pertumbuhan dengan stabilitas (growth with stability) wilayah pada hakikatnya menghendaki pembangunan yang berkeadilan dengan menempatkan sumberdaya manusia, alam dan ketersediaan fasilitas pelayanan pada posisi utama sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pengembangan wilayah. Peningkatan kualitas sumberdaya alam (resource approach) akan menjadikan output bernilai tambah (added value) dan dapat memberikan kontribusi besar bagi laju pertumbuhan pembangunan ekonomi wilayah sehingga menjadi indikator berhasilnya pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi wilayah dan kestabilan kehidupan masyarakat setempat. Hal seperti ini memperlihatkan bahwa wilayah-wilayah terbelakang atau tertinggal akan mempunyai ketergantungan yang kuat pada wilayah-wilayah lain yang lebih maju didalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Untuk itu diperlukan kegiatan pembangunan ekonomi wilayah,
berbagai
sehingga dapat menghilangkan
keterbelakangan (backwardness) yang berarti
mengurangi ketergantungan
(dependency). Prinsipnya pengelolaan pembangunan ekonomi wilayah, harus berpijak pada sistem pengelolaan sumberdaya alam wilayahnya dengan melibatkan peran serta
masyarakat
(participatory),
pemberdayaan
(empowerment)
dan
58
berkelanjutan (sustainable) sehingga pembangunan wilayah tidak hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok semata (basic needs approach) melainkan juga bagaimana
kegiatan pembangunan tersebut dapat dimanfaatkan oleh
kegiatan-kegiatan ekonomi wilayah lainnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi wilayah meningkatkan pembangunan ekonomi lokal berdasarkan kapasitas atau kemampuan lokal wilayah yang bersangkutan. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi lokal dalam sistem ekonomi pasar,
harus dapat memanfaatkan
sumberdaya-sumberdaya
pembangunan lokal untuk mencapai keuntungan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) sebagai upaya, untuk mendorong berkembangnya pembangunan ekonomi lokal yang ada pada saat ini, serta mempertahankan basis ekonomi yang dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan.
2.1.7. Sektor-Sektor Strategis Pembangunan Wilayah Pertumbuhan sektoral merupakan hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan pertumbuhan pendapatan, dimana pendapatan suatu wilayah merupakan penjumlahan dari setiap sektor yang ada di wilayah tersebut. LIPI (2003), mengklasifikasikan secara sederhana sektor atas beberapa tingkatan yaitu: 1. Sektor primer terdiri dari pertanian dan pertambangan 2. Sektor sekunder terdiri dari manufaktur kadang-kadang memasukan sektor kontruksi/bangunan. 3. Sektor tersier terdiri dari jasa-jasa, perbankan dan lainnya.
59
BPS (2005), secara umum sektor disebut juga lapangan usaha dan diklasifikasikan atas sembilan sektor yaitu: sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor
industri, sektor listrik, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor
pengangkutan, sektor keuangan, sektor jasa-jasa Kesembilan sektor diatas dapat dipecah kedalam beberapa sub sektor seperti sektor pertanian dipecahkan atas empat sub sektor demikian juga bagi sektor keuangan. Bila sektor atau lapangan usaha didasarkan pada sub sektor maka akan meliputi 31 lapangan usaha. Untuk daerah tertentu jasa kereta api berdiri sendiri dalam sektor pengangkutan. Adisasmita (1994), menyatakan sektor-sektor strategis harus dapat memenuhi empat kriteria yakni: 1. Sektor-sektor yang menghasilkan produksi dan mempunyai kontribusi besar bagi PDRB. 2. Sektor-sektor yang diinterpretasikan dapat memberikan lapangan kerja yang besar. 3. Sektor-sektor yang memiliki tingkat keterkaitan yang kuat terhadap pengembangan sektor lainnya. 4. Sektor-sektor yang berpotensi meningkatkan ekspor non migas walaupun sumbangan atau kontribusinya terhadap PDRB relatif kecil namun sektor tersebut memiliki prospek untuk dikembangkan dimasa akan datang. Namun di sisi lain pembangunan sektor ekonomi wilayah masih berorientasi pada sektor-sektor yang proses kegiatan ekonominya memanfaatkan sumberdaya alam kedaratan (landward orientation) sedangkan aspek kelautan (seaward
development) dianggap sebagai penunjang atau penyangga saja.
60
Wilayah kepulauan (archipelago) dimasa depan sebaiknya lebih berorientasi pada pengembangan sektor-sektor strategis dengan memanfaakan sumberdaya kelautan baik di permukaan, di dalam dan yang berada di dasar laut (aspek bahari/maritim). Dengan wilayah laut yang cukup luas dan kaya sumberdayanya maka pengembangan wilayah laut berpotensi dan prospektif mempunyai peluang untuk dimanfaatkan sebagai salah satu sektor strategis yang menentukan kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Peluang ini harus didukung dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di wilayah tersebut sehingga mampu meningkatkan sektor-sektor yang dianggap sebagai sektor strategis.
2.1.8. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Selama satu dasawarsa atau setelah 10 tahun reformasi dilaksanakan, banyak hal yang telah menarik perhatian para ahli,
khususnya dikalangan
ekonom. Akibat dari munculnya permasalahan di bidang ekonomi yang sulit diprediksi sering menimbulkan gejolak ekonomi yang sulit diperkirakan sebelumnya, maka hal tersebut telah menarik perhatian dari kalangan masyarakat perekonomian di tingkat nasional maupun dunia yang hanya tertuju pada bagaimana mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Konsep pertumbuhan ekonomi yang dipakai saat ini sebagai tolok ukur penilaian pertumbuhan ekonomi setiap negara maupun daerah (wilayah) perlu mengetahui faktor-faktor atau sumber-sumber pertumbuhan ekonomi wilayah. Sehubungan dengan itu konsep dasar yang berkaitan erat dengan teori-teori pertumbuhan ekonomi
perlu mendapat perhatian seperti, perubahan yang
mendasar atas struktur kelembagaan ekonomi, sosial, budaya dan administrasi.
61
Berbagai pandangan tentang konsep pertumbuhan ekonomi wilayah sering mendapat kritik dari berbagai pihak, tetapi sampai sekarang konsep ini secara umum masih digunakan. Dimana konsep pertumbuhan ekonomi belum secara jelas membicarakan distribusi pendapatan, hal ini dapat dikatakan karena bila suatu wilayah mempunyai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, belum tentu diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan di masyarakat dan ternyata pertumbuhan ekonomi yang tinggi sering diikuti dengan semakin timpangnya distribusi pendapatan masyarakat pada wilayah tersebut. Dilain sisi ada beberapa pandangan yang menggambarkan kemampuan atau kapasitas dari suatu perekonomian wilayah untuk menghasilkan barang dan jasa, dimana kedua unsur tersebut mempunyai peran penting untuk mencapai tujuan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Samuelson dan Nordhaus (1983), memperkenalkan teori pertumbuhan jalur cepat yaitu, setiap wilayah perlu melihat sektor atau komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan
cepat, baik karena
potensi sumberdaya alamnya maupun karena sektor atau komiditi tersebut memiliki competitive advantage. Secara umum ada beberapa pandangan atau sisi yang menentukan atau mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu: 1. Pandangan dari sisi permintaan (demand side) yaitu, pandangan yang melihat pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah (goverment expenditure),
jumlah uang yang beredar (money
supply) serta investasi swasta (private invesment).
62
2. Pandangan dari sisi penawaran (supply side) yaitu, pandangan yang melihat pertumbuhan ekonomi dari sisi sumberdaya manusia (human resourcess), sumberdaya alam (natural resourcess), teknologi
stock kapital (capital stock) dan
(technoloy shock), dimana
faktor-faktor tersebut sangat
menentukan adanya kemajuan atau mundurnya suatu pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah dengan berbagai kebijakan ekonominya. Pemahaman seperti diatas menunjukkan pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan kemampuan atau kapasitas dari suatu perekonomian wilayah untuk menghasilkan barang dan jasa yang menjadi tujuan utama dalam pembangunan ekonomi wilayah tersebut. Untuk itu
berbagai teori tentang pertumbuhan
ekonomi akan dibahas pada sub-sub bab berikutnya. 2.1.8.1. Teori Harrod – Domar (H – D) Dalam teori
Harrod-Domar (H-D) berusaha untuk
memadukan
pandangan kaum Klasik yang dinilai terlalu menekankan pada sisi penawaran (supply side) dan pandangan Keynesian lebih menekankan pada sisi permintaan (demand side). Harrod-Domar (kaum Klasik) dalam kaitan dengan pandangannya diatas mengatakan bahwa faktor investasi memainkan peran ganda (dual role) yakni disatu sisi, investasi akan meningkatkan
kemampuan produktif (productive
capacity) dan perekonomian Keynesian di sisi lainnya menyatakan investasi akan meningkatkan permintaan (demand creating) didalam perekonomian (Romer, 2001). Pandangan Harrod – Domar menyatakan bahwa, tabungan dan investasi merupakan faktor penentu atau kekuatan sentral (saving and invesment is forces
63
behind economic growth) terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Seandainya
tabungan (S) adalah bagian
dari jumlah tertentu
atau s
dari
pendapatan nasional (Y). Dengan demikian dapat ditulis hubungan tersebut dalam bentuk persamaan sederhana sebagai berikut: S = sY....................................................................................(1) Selanjutnya investasi (I) didefenisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diawali oleh ΔK, dengan demikian dapat kita tulis persamaan kedua yang sederhana sebagai berikut: I = ΔK....................................................................................(2) Persamaan di atas seperti jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung
dengan jumlah pendapatan
nasional
atau output Y seperti yang
diperlihatkan oleh rasio modal – output k maka persamaan ketiga adalah sebagai berikut: K/Y = k atau ΔK/ΔY = k ΔK = kΔY..............................................................................(3) Akhirnya hubungan jumlah dari keseluruhan tabungan nasional (S) harus sama dengan keseluruhan investasi (I). Dengan demikian akan diperoleh persamaan keempat sebagai berikut: S = I......................................................................................(4) Bila dilihat dari persamaan (1) di atas diketahui bahwa
S
=
sY,
persamaan (2), I = ΔK dan persamaan (3), ΔK = kΔY, dimana kita ketahui bahwa persamaan dari I = ΔK = kΔY maka dengan demikian”identitas ”tabungan yang merupakan persamaan modal seperti yang terlihat pada persamaan (4), dengan demikian persamaan berikut selanjutnya dapat dilihat sebagai berikut:
64
S = sY = kΔY = Δk = I......................................................(5) Bila diringkas maka diperoleh persamaan sebagai berikut: SY = kΔY..............................................................................(6) Selanjutnya bila kedua sisi persamaan (6) dibagi dengan Y kemudian dengan k, maka dapat diperoleh persamaan sebagai berikut: ΔY/Y = s/k..............................................................................(7) dimana : (ΔY/Y) = Pertumbuhan ekonomi S
= Tingkat tabungan nasional
K
= ICOR (incremental capital output rasio, ΔK/ΔY atau I/ΔY)
Y
= Output nasional atau GNP,
K
= Stok kapital,
I
= Investasi
Dari persamaan-persamaan tersebut dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (ΔY/Y) ditentukan bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s) dan rasio modal output nasional (k), dimana secara ekonomi hal ini mengandung makna bahwa, suatu perekonomian dapat bertumbuh bila perekonomian harus disertai dengan tabungan investasi yang proposional dari GNP-nya. Perkins et al. (2001), dikatakan bila semakin banyak yang menabung dan melakukan investasi maka semakin cepat / pesat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan demikian hal tersebut dapat
diperlihatkan pada persamaan-
persamaan seperti di atas. Bagi wilayah-wilayah terbelakang (periphery), teori Harrod-Domar perlu menjadi acuan. Mengapa
perlu menjadi acuan, karena biasanya wilayah
periphery memiliki infrastruktur yang rendah, hubungan keluar-masuk dari
65
wilayah yang bersangkutan sangat sulit. Pada kondisi yang demikian biasanya barang modal sangat langka sehingga sulit untuk melakukan konversi antara barang modal dengan tenaga kerja. Kondisi wilayah seperti itu, bagi sektor yang hasil produksinya
tidak layak atau kurang menguntungkan untuk diekspor
(karena biaya angkut tinggi atau produk tidak tahan lama) maka peningkatan produksi mengakibatkan produk tidak terserap di pasar lokal dan mengakibatkan tingkat harga turun drastis sehingga merugikan produsen. Dengan demikian setiap wilayah periphery harus dapat mengatur atau meningkatkan pertumbuhan berbagai sektor secara seimbang karena pertambahan produksi di satu sektor harus dapat diserap oleh sektor lainnya yang tumbuh secara seimbang.
2.1.8.2. Teori Pertumbuhan Solow Hossain dan Chowdhury (2001), selain teori Harrod – Domar (HD), teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu teori ekonomi yang membahas tentang pertumbuhan ekonomi Neoklasik (Neoclasical Growth Theory) banyak yang menyebutnya dengan Teori Pertumbuhan Solow (Solow Growth Theory). Bila
teori pertumbuhan model Harrod – Domar lebih mengutamakan pada
faktor tabungan dan investasi maka dalam teori pertumbuhan model Solow lebih banyak menekankan modelnya pada faktor kapital serta pentingnya faktor-faktor lain seperti tenaga kerja dan pengaruh teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan salah satu model yang sering digunakan oleh para ekonom untuk analisisnya. Hal ini dikarenakan teori Solow merupakan model pertumbuhan yang secara mendasar cukup berbeda dengan teori-teori pertumbuhan terdahulunya dan lebih mudah untuk dipahami untuk analisis-analisis yang digunakan.
66
Asumsi-asumsi dalam
model Solow lebih memusatkan perhatiannya
pada beberapa variabel. Ada empat variabel yang menjadi perhatiannya antara lain. Satu). Variabel Output (Y), dua). Variabel Modal (K), tiga). Variabel tenaga kerja (L) dan empat). Variabel Pengatahuan atau “efektivitas tenaga kerja” (A). Dimana model pertumbuhan Solow mengatakan bahwa pada waktu kondisi tertentu suatu perekonomian harus memiliki sejumlah modal (K), tenaga kerja (L), dan ilmu pengatahuan (A) dimana kombinasi dari faktor-faktor tersebut akan mengahasilkan output (Y). Fungsi produksi model pertumbuhan Solow akan berbentuk sebagai berikut: Y(t) = F (K(t), A(t)L(t)............................................................(1) dimana: (t) = waktu. Beberapa menjadi perhatian
pandangan (fetures) dari
fungsi produksi ini yang perlu
adalah: Pertama). Waktu (t) tidak masuk dalam
fungsi
produksi secara langsung tetapi hanya melalui K, L dan A, dimana output (Y) akan berubah terhadap waktu bila input produksinya berubah. Output yang berubah atau diperoleh dari jumlah modal dan tenaga kerja tertentu akan meningkat terhadap waktu dengan kemajuan teknologi bila adanya kemajuan atau peningkatan dibidang pengatahuan. Kedua). Tenaga kerja (L) dan ilmu pengatahuan (A). AL menunjukkan tenaga kerja yang efektif dan perkembangan teknologi yang dikenal dengan labour augmenting atau Harrod-neutral. Asumsi utama dari model pertumbuhan Solow adalah, difokuskannya pada fungsi produksi dan perubahan ketiga input produksi (Capital, Labour dan Knowledge) terhadap waktu (t).
67
Asumsi penting yang terkait model Solow dengan fungsi produksi adalah, constan return to scale yang dapat dijelaskan kedalam dua input modal (capital) dan tenaga kerja efektif (effective labour). Dengan menggandakan jumlah
modal (C) dan tenaga kerja efektif (L), maka diharapkan akan
menggandakan jumlah produksinya. Secara umum dengan mengalikan kedua penjelas dengan constanta c non negatif akan menyebabkan output berubah dengan faktor yang sama, seperti persamaan berikut ini. F(cK, cAL) = cF(K, AL) untuk semua c ≥ 0 .....................(2) Pada teori pertumbuhan baru (new growth theory), salah satu hal yang paling ditekan adalah pentingnya peran pemerintah. Menurut model ini kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terutama dalam penyediaan atau meningkatkan infrastruktur, membangun serta meningkatkan modal manusia (human capital) dan mendorong faktor penelitian dan pengembangan (research and development). Faktor-faktor
tersebut
sangat
penting
perannya
dalam
meningkatkan
produktivitas masyarakat suatu wilayah, karena pertumbuhan produktivitas dari masyarakat pada gilirannya akan menjadi motor penggerak (prime mover/engine of growth) terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut Model Solow secara mendasar tidak mengidentifikasikan apa yang dimaksudkan dengan efektivitas kerja. Model ini hanya mengatakan bahwa selain faktor tenaga kerja dan faktor modal yang mempengaruhi pertumbuhan maka faktor efektivitas turut berperan dalam proses tersebut, hal ini berkaitan dengan pengatahuan yang abstrak. Dengan demikian faktor pengatahuan merupakan sisi yang harus menjadi perhatian utama di dalam memberdayakan sumberdaya
68
manusia wilayah kepulauan bila ingin mempercepat proses pembangunan selain potensi sumberdaya manusia yang murah dan sumberdaya alam yang melimpah. Schumpeter (1961), menyatakan pertumbuhan ekonomi wilayah sering diartikan
sebagai perkembangan ekonomi atau kemajuan ekonomi., dimana
perkembangan ekonomi adalah suatu perubahan yang spontan dan terputus-putus. Sementara pertumbuhan
ekonomi adalah perubahan jangka panjang secara
perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan jumlah penduduk. Lebih lanjut Schumpeter mengatakan kemajuan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh jiwa usaha (enterpreneurship) masyarakat. Wijaya (2003), mengatakan pertumbuhan ekonomi biasanya tidak menjelaskan secara jelas tentang distribusi pendapatan. Menurutnya dapat saja suatu wilayah mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi ternyata dibarengi dengan semakin timpangnya distribusi pendapatan. Dengan demikian walaupun konsep pertumbuhan ekonomi masih mendapat kritik dari berbagai pihak, konsep ini secara umum masih digunakan.
2.1.9. Teori Lokasi Permasalahan lokasi yang diperuntukkan bagi setiap aktvitas atau kegiatan pembangunan ekonomi wilayah baik secara nasional maupun regional, harus mempertimbangkan secara cermat agar aktivitas pembangunan tersebut dapat berlangsung secara efisien, efektif dan berkelanjutan (efficiency, effectivity and sustainable). Teori-teori lokasi telah lama diperkenalkan terutama pada wilayah Eropa Tengah, dimana pada saat itu secara teoretik berimplikasi pada analisis ekonomi
69
yang berhubungan dengan faktor tata ruang (space) dan faktor jarak (distance). Teori-teori lokasi pada saat ini lebih banyak memusatkan perhatiannya pada perencanaan wilayah, dimana dimensi tata ruang atau dimensi geografis dan landskap ekonomi (economic landscape) dimasukkan sebagai salah satu variabel penting dalam analisis aktivitas ekonomi atau pembangunan. Banyak ahli ekonomi yang melakukan berbagai analisisnya
yang ditujukkan terhadap
perusahan-perusahan individu dengan memasukkan asumsi faktor lokasi terisolasi tanpa melihat faktor adanya persaingan dalam harga atau output. Smith (1776), hanya membahas masalah lokasi secara terbatas. William (1971), membahas adanya perbedaan sewa tanah yang disebabkan karena adanya perbedaan lokasi. Sedangkan Cantillon (1755), dan Chinitz (1970), tidak hanya membahas masalah lokasi tetapi juga membahas pentingnya pasar untuk wilayahwilayah berkembang sebagai akibat dari adanya kemajuan ekonomi. Dari beberapa ahli tersebut di atas dapat dikatakan bahwa para ahli tersebut tidak menulis atau mengemukakan pendapatnya secara jelas dan hanya memberikan pendapatnya secara terbatas. Dengan berkembangnya teori lokasi, aspek tata ruang (spatial) dan lokasi (location) kegiatan aktivitas ekonomi dapat dimasukkan ke dalam analisa ekonomi secara lebih kongkrit. Hal ini mendorong beberapa ahli untuk melakukan kombinasi antara teori lokasi dengan teori ekonomi baik mikro maupun makro. Perkembangan ini selanjutnya
mendorong berbagai analisis
ekonomi tata ruang (spatial) yang kemudian menjadi dasar utama bagi munculnya teori ekonomi regional dengan dasar kajian pada aspek lokasi dan tata ruang terhadap pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah daerah sesuai dengan karakteristik geografis, kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayahnya.
70
Provinsi Maluku adalah cermin kecil negara Indonesia, dimana luas lautan wilayah ini lebih luas dari wilayah daratannya. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan/maritim (archipelagic state/archipelago) terbesar di dunia. Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah dengan luas lautan terluas di Indonesia. Untuk itu pengembangan wilayah seperti ini diperlukan berbagai konsep/kebijakan yang bertujuan: 1. Mewujudkan saling ketergantungan antar wilayah yang menghendaki adanya keseimbangan diantara pusat wilayah (core region) dengan wilayah lainnya. Hal ini diharapkan dapat
mendorong
terwujudnya ”spesialisasi wilayah”
berdasarkan kapasitas dan potensi lokalnya. 2. Terwujudnya keseimbangan pengembangan pembangunan wilayah kepulauan dengan mengokohkan pentingnya ”laut” sebagai
bagian dari proses
pembangunan yang sama besar manfaatnya dengan wilayah daratan. Rahardjo (1988), mengatakan pembangunan atau pertumbuhan di setiap wilayah tidak terjadi di segala ruang (spatial) akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat atau wilayah tertentu. Dimana setiap wilayah akan memiliki wilayah kutub (pole) yang daya tarik kekuatannya terdapat di kutub-kutub atau pusat-pusat wilayah berbeda antara satu wilayah dengan lainnya.
2.1.9.1. Teori Perroux Pengembangan teori Perroux (1955), sangat berpengaruh terhadap teoriteori lokasi pertumbuhan lainnya seperti teori Schumpeter yang menitikberatkan pertumbuhan
pada pentingnya inovasi-inovasi baru
bagi industri besar.
Sedangkan Perroux melihat inovasi-inovasi baru sangat diperlukan terhadap
71
berbagai kegiatan kewiraswastaan karena akan mempengaruhi atau mendominasi kegiatan-kegiatan ekonomi wilayah lainnya. Perroux memperlihatkan adanya kaitan erat antara, skala, dominasi, dan dorongan-dorongan untuk melakukan penemuan-penemuan baru yang akan menimbulkan
indutri
pendorong/penggerak
(industrie
motrice/propulsive
industry). Pemikiran dasar dari teori ini adalah adanya konsep titik pertumbuhan atau kutub pertumbuhan (pole de croissance/growth poles). Teori Perroux menunjukkan faktor utama pengembangan wilayah (regional) karena adanya interaksi antara industri pendorong yang merupakan urat nadi dari kutub pertumbuhan. Industri pendorong
yang
merupakan urat
nadi dari kutub pertumbuhan menurut Perroux memilki ciri-ciri seperti: 1. Tingkat konsentrasi atau pengaruh yang tinggi. 2. Pengaruh polarisasi lokal yang sangat besar. 3. Teknologi yang sudah maju. 4. Tingkat manajerial yang modern. Jadi industri yang dimaksud merupakan industri yang relatif besar, berkembang dengan pesat dan memiliki kedudukan oligopolistik
serta
mempunyai pengaruh dalam menentukan pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung. Di sisi lain teori Perroux mengatakan bahwa kutub pertumbuhan yang ada, tidak hanya merupakan petunjuk bahwa adanya industri-industri pendorong akan tetapi
kutub pertumbuhan diharapkan
dapat
mempengaruhi wilayah-
wilayah lain disekitarnya. Oleh karena itu pengaruh polarisasi dari industri tersebut memiliki ketergantungan diantara industri-industri lainnya.
72
Perroux dengan teori kutub pertumbuhannya (growth pole) menjelaskan bahwa, perlunya interaksi antara kutub-kutub pertumbuhan dengan wilayah pengaruh. Dengan demikian menurutnya ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dari interaksi-interaksi tersebut yaitu: 1. Dapat menimbulkan ketidak-seimbangan struktural di wilayahnya, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kemakmuran antara kutub pertumbuhan dengan wilayah-wilayah yang terletak disekitarnya (new industrial complex). 2. Adanya pemusatan (agglomerasi) industri pendorong (propulsive industries) dan industri-industri kunci (key industries) sedangkan
tenaga kerja, bahan
mentah dan jasa-jasa lainnya terpencar (polarisasi) keseluruh wilayah pengaruh. 3. Fungsi tempat sentral dari kutub pertumbuhan (growth pole) dapat memperjelas hubungan antara kutub pertumbuhan dengan wilayah pengaruhnya. Untuk itu secara konsepsional tempat sentral tidak identik dengan dengan kutub pertumbuhan. Tempat sentral banyak sekali jumlahnya dan tersusun dalam suatu hirarkhi sedangkan kutub pertumbuhan
hanya sedikit dan terbatas
jumlahnya dalam suatu wilayah. Perbedaan yang cukup menonjol antara kutub pertumbuhan dengan tempat sentral adalah, yang menopang suatu tempat
sentral
pertumbuhan
adalah wilayah komplementernya sedangkan yang
menopang pertumbuhan wilayah pengaruh adalah kutub pertumbuhan. Beberapa kontribusi dari teori kutub pertumbuhan Perroux (growth pole) dalam
bidang pengembangan wilayah seperti, matarantai dari interaksi antar
industri (inter industries linkages) dan teori ketergantungan antar industri yang
73
berasal dari industri pendorong. Walaupun teori ini mempunyai pengaruh yang cukup besar dilain sisi teori kutub pertumbuhan belum dapat dikategorikan sebagai teori tanpa tata ruang (spaceless), karena teori kutub pertumbuhan belum dapat menjelaskan secara rinci tentang pemilihan lokasi optimum suatu industri atau kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian teori Perroux sering kali di tafsirkan scara berlebihan terutama dalam pernyataannya tentang peran industri pendorong di suatu wilayah.
2.1.9.2. Teori Losch Suatu model keseimbangan
tata ruang wilayah (regional spatial),
pertama kali dikembangkan oleh Christaller dan diperluas lagi oleh Losch (1940) dengan membahas atau menguraikan prinsip-prinsip dasar analisa spatial serta menginterpretasikannya kedalam ekonomi spatial dalam bentuk pasar persaingan monopolistik. Losch dalam mengembangkan modelnya, menggunakan beberapa asumsi sebagai kerangka pemikiran yang menunjukkan bahwa teorinya berbeda dengan teori-teori regional yang telah dikembangkan terlebih dahulu. Perbedaan seperti, tidak adanya perbedaan-perbedaan spatial baik untuk sumberdaya alam, tenaga kerja dan modal. Seluruh wilayah dianggap sama (homogen), yang berarti bahwa lokasi usaha/kegiatan ekonomi wilayah dapat ditempatkan dimana saja. Penduduk tersebar merata, kepadatan penduduk uniform, sosial budaya dan ekonomi masyarakat dianggap konstan dan perbedaan pendapatan diabaikan. Selanjutnya menurut Losch,
wilayah pasar (market region) dan
permintaan (demand)
terhadap hasil produksi wilayah yang bersangkutan tidak dipengaruhi oleh lokasi dari kegiatan ekonomi lainnya.
74
Menurut Losch, ada tiga jenis wilayah ekonomi yaitu: 1. Wilayah pasar sederhana 2. Jaringan wilayah pasar 3. Sistem jaringan wilayah pasar Teori Losch (1940), ingin memperlihatkan bahwa suatu wilayah harus melakukan/melihat tahapan-tahapan paling menguntungkan bagi wilayah yang melakukan kegiatan ekonomi berdasar wilayah pasar tersebut. Wilayah pasar sederhana
biasanya sangat bergantung pada perdagangan yang dilakukan,
sedangkan jaringan maupun sistemnya sangat kompleks, walaupun hal tersebut ideal akan tetapi masih sulit dijumpai pada suatu kenyataan, bila wilayah-wilayah tersebut tidak mencerminkan keunggulan dari setiap wilayah pasar. Salah satu aspek dari analisis Losch adalah mengabaikan aspek agglomerasi pada beberapa kegiatan ekonomi dengan tidak memperdulikan adanya titik nodal dalam ekonomi spatial. Pengabaian ini karena Losch beranggapan bahwa bahan mentah sama atau seragam (uniform) dan terdapat dimana-mana di semua wilayah. Richardson (1970), menyatakan teori umum Losch ternyata masih membutuhkan beberapa pengujian lagi sebagai akibat dari beberapa asumsiasumsi dasar yang dipakainya. Ia beranggapan bahwa Losch, memberikan kebebasan setiap wilayah dapat melakukan berbagai kegiatan produksi/ekonomi secara terpisah tanpa memperhatikan kebutuhan antar wilayah sehingga digambarkan kegiatan ekonomi wilayah secara tidak utuh atau memiliki satu kesatuan yang saling melengkapi.
75
Teori Losch yang dikenal dengan teori kerucut permintaan (demand cone) lebih mengutamakan model keseimbangan regional spatial. Losch melihat jika sebuah aktivitas atau kegiatan ekonomi semuanya sama di suatu wilayah maka
aktivitas atau kegiatan ekonomi
dilakukan
di wilayah lain
di wilayah tersebut sama dan dapat
sehingga satu wilayah dianggap dapat mewakili
wilayah lain. Dalam beberapa segi teori Losch belum memuaskan tetapi Losch telah berhasil menjelaskan timbulnya kecenderungan kuat dari setiap wilayah untuk melakukan aktivitas atau kegiatan ekonomi yang cenderung melakukan agglomerasi
karena
adanya penghematan dan ketergantungan antarwilayah
dimana unsur spatial menjadi bagian analisis tata ruang wilayah.
2.1.9.3. Teori Hirschman Konsep teori Hirschman (1958), lebih mengutamakan perhatiannya pada pertumbuhan wilayah tidak seimbang. Dimana secara geografis pertumbuhan ekonomi wilayah akan dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan disuatu wilayah pada satu titik tempat yang menimbulkan dorongan ke arah perkembangan titik-titik atau tempat-tempat wilayah berikutnya. Teori Hirschman melihat fungsi-fungsi ekonomi suatu wilayah, berbeda tingkat intensitasnya untuk setiap tempat yang berbeda pula. Perkembangan suatu wilayah dimulai dari titik originalnya sebelum tersebar (polarisasi) ke berbagai wilayah lainnya. Titik original Hischman dikenal dengan istilah growing point atau growing centre bukan growth pole seperti yang dikemukakan oleh Perroux. Menurut Djojodipuro (1992), teori Hirschman melihat tingkat pembangunan di suatu wilayah cenderung tercapai pada beberapa titik
76
pertumbuhan. Dimana kegiatan atau aktivitas ekonomi lebih berkelompok di tempat-tempat tersebut, karena memiliki berbagai manfaat dalam bentuk penghematan dan kemudahan-kemudahan yang diperolehnya yaitu tersedianya berbagai fasilitas pelayanan yang lebih lengkap dari wilayah lain. Dampak pemusatan (agglomerasi) dapat dilihat juga dari besarnya migrasi penduduk ke pusat titik suatu wilayah sehingga terlihat dari tingkat komplementaritas antara dua tempat wilayah yang saling bergantung tersebut. Dengan demikian tingkat pembangunan yang dicapai pada saat itu cenderung mengalami tingkat perbedaan, namun dalam jangka panjang akan mengalami penurunan tingkat perbedaan pada wilayah-wilayah disekitarnya. Komplementaritas yang kuat akan mengakibatkan terjadinya proses penyebaran pembangunan ke wilayah-wilayah belakang (trickling down), namun sebaliknya
jika
komplementaritas
lemah maka
akan menimbulkan atau
mengakibatkan terjadinya polarisasi. Jika polarisasi lebih kuat dari pengaruh aglomerasi pembangunan maka akan menimbulkan ciri-ciri wilayah perkotaan yang modern tetapi juga menimbulkan terbelakang. Walaupun
pengaruh
ciri-ciri wilayah
aglomerasi
perdesaan yang
yang cukup kuat, Hirschman
masih optimis bahwa pada akhirnya pengaruh trickling down akan dapat mengatasi pengaruh polarisasi yang terjadi pada wilayah-wilayah terbelakang. Trickling down yang terjadi pada wilayah terbelakang harus mampu mendorong percepatan pembangunan wilayah perdesaan. Dengan demikian dalam jangka panjang komplementaritas antar wilayah-wilayah pusat dengan wilayah perdesaan akan menjamin polarisasi pembangunan wilayah keseluruh wilayah disekitarnya. Di sisi lain teori Hirschman menurut Myrdal (1968), masih bersifat
77
konseptual yang memperkenalkan struktur titik-titik pertumbuhan dan wilayah terbelakang. Myrdal mempergunakan istilah backwash effect dan spread effect, yang pengertiannya hampir sama dengan istilah polarisasi dan trickling down. Penekanan perbedaan yang terjadi antara Hirschman dan Myrdal pada analisis Myrdal lebih menekankan pemahaman tentang pengaruh agglomerasi yang lebih kuat dari polarisasi pembangunan. Pesimistis tersebut terjadi karena Myrdal tidak melihat teori Hirschman yang menyatakan bahwa, timbulnya titik-titik pertumbuhan wilayah adalah suatu hal yang merupakan syarat bagi perkembangan pembangunan selanjutnya serta syarat bagi penyebaran pembangunan terhadap wilayah di sekitarnya. Di sisi lain timbulnya kekuatan yang menyebabkan titik balik apabila perkembangan ke arah polarisasi di suatu wilayah sudah terjadi atau berlangsung untuk waktu yang telah lama. Perbedaan antara Hirscman dan Myrdal, teori Hirschman menekankan pendapatnya untuk membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan sehingga dapat menciptakan pengaruh penyebaran pembangunan yang lebih efektif. Sedangkan
Myrdal
menyatakan
pada
langkah-langkah
kebijakan
untuk
memperlemah backwash effect dan mempercepat spread effect agar proses memperkecil ketimpangan regional (disparity regional) antarwilayah
dapat
diperkecil.
2.1.10. Teori Leontief (Model I-O) Upaya untuk
memahami
berbagai permasalahan atau kompleksitas
suatu aktivitas ekonomi suatu wilayah dan kondisi
untuk mempertahankan
keseimbangan antara permintaan dan penawaran oleh Leontief
dikenal dengan
istilah analisis antarindustri. Analisis antarindustri merupakan salah satu teknik
78
baru yang diperkenalkan dengan istilah teknik input-output (I-O). Dasar utama model (I-O) sebenarnya pertama kali dikembangkan oleh Francois Quesnay dalam teori distribusinya yang dikenal dengan Tableu Eqonomique. Budiharsono (2001), mengemukakan konsep dasar yang dikembangkan oleh Leontief dalam model (I-O) sebagai berikut: 1. Struktur perekonomian terdiri dari berbagai sektor dan ada transaksi. 2. Output suatu sektor diperlukan sektor lainnya untuk memenuhi permintaan akhir. 3. Input suatu sektor dibeli oleh sektor lainnya, rumah tangga, pemerintah, surplus usaha dan impor. 4. Adanya hubungan secara linear antara input dengan output. 5. Dalam kurun waktu analisis biasanya 1 tahun total input sama dengan total output. 6. Suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan dan output tersebut diproduksikan oleh satu teknologi (Richardson, 1978 dan Isard, 1975). Keuntungan dari penggunaan teknik (I-O) merupakan salah satu teknik yang
dipergunakan
untuk
menganalisis
perekonomian
suatu
wilayah.
Perekonomian wilayah dimaksud adalah keterkaitan antarsektoral dimana input suatu sektor (industri) merupakan
ouput
sektor (industri) lainnya
atau
sebaliknya. Teknik ini sering diartikan bahwa dalam keadaan keseimbangan jumlah nilai output agregat dari suatu aktivitas atau kegiatan ekonomi harus sama dengan jumlah antarindustri.
nilai
input antarindustri
dan jumlah nilai output
79
Menurut Arsyad (1999), model (I-O) dapat memberikan informasi yang diperlukan mengenai koefisien struktural berbagai sektor perekonomian selama suatu jangka waktu tertentu dan dapat dipergunakan seoptimal mungkin dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi wilayah. Analisis perekonomian wilayah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan ekonomi wilayah yang
menjadi tujuan utama pembangunan. Oleh sebab itu
pengembangan seluruh sektor perekonomian secara komprehensif dan terkait perlu dianalisis bagaimana keterkaitan antarsektor di wilayah tersebut karena tidak semua sektor dalam suatu wilayah memiliki nilai keterkaitan yang sama. Selain analisis keterkaitan antarsektor menurut Kadariah (1978), menyatakan peningkatan aktivitas sektor utama (leading sector) ekonomi suatu wilayah sangat berpengaruh pada peningkatan arus pendapatan ke wilayah tersebut pada masa depan. Dimana dengan meningkatnya pendapatan masyarakat maka akan meningkatkan tingkat konsumsi, barang dan jasa yang pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas atau kegiatan ekonomi lainnya di wilayah tersebut. Analisis (I-O) yang dilakukan didasarkan pada teori keseimbangan umum (general equilibrium) karena mengintegrasikan permintaan dan penawaran (demand and supply). Analisis ini mampu memberikan gambaran rinci mengenai perekonomian suatu wilayah
dengan mengkuantifikasikan
ketergantungan
(interdependency) antarsektor. Selain itu analisis (I-O) dapat digunakan untuk memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya terhadap keluaran berbagai sektor produksi, nilai tambah (added value) dan sebagainya. Dalam analisis (I-O) teknik ini mampu menjawab bagian di atas dengan memproyeksi peubah-peubah ekonomi dan dapat memberi petunjuk mengenai sektor-sektor
80
yang memiliki pengaruh kuat terhadap pertumbuhan ekonomi serta sektor-sektor peka
terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah baik secara regional,
nasional maupun internasional. Model (I-O)
masih memiliki keterbatasan
dan asumsi-asumsi yang
digunakan dalam penyusunan tabel (I-O). Sehingga tabel (I-O) harus dapat memenuhi unsur-unsur asumsi dasar analisis (I-O) tersebut. Asumsi-asumsi dasar
dalam analisis (I-O)
menurut
Bulmer-Thomas (1982), Budiharsono
(2001), dan Tarigan (2004), yaitu: 1. Homogenitas (homogenity) atau keseragaman. Asumsi ini digunakan untuk menyatakan bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis barang atau jasa yang sama dengan struktur input tunggal. Dengan demikian suatu sektor hanya menghasilkan barang atau jasa melalui satu cara dengan satu susunan input. 2. Proposionalitas (proportionality/linearity) atau kesebandingan. Asumsi ini menyatakan
setiap kenaikan
penggunaan input
selalu berbanding lurus
(proposional) dengan kenaikan outputnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap ada perubahan suatu output pada suatu tingkat akan selalu didahului
oleh adanya perubahan penggunaan input yang seimbang. Jadi
asumsi ini menggambarkan bahwa fungsi produksi Leontief mencerminkan tidak adanya subtitusi antar faktor produksi (elastisitas subtitusi σ adalah nol sehingga koefisien input aij2 selalu tetap). 3. Additivitas (additivity) atau penjumlahan. Asumsi ini menyatakan bahwa efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari
81
efek masing-masing kegiatan atau akibat dari
pelaksanaan produksi di
berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, tabel input-output sebagai model kuantitatif memiliki keterbatasan seperti koefisien input atau koefisien teknis diasumsikan
tetap (konstan) selama periode analisis. Keterbatasan lain dalam
analisis (I-O) adalah banyaknya agregasi yang dilakukan terhadap sektor-sektor yang ada di wilayah tersebut. Hal ini membuat semakin besarnya pelanggaran terhadap asumsi keseragaman atau homogenitas sehingga dapat menyebabkan informasi-informasi
ekonomi lainnya
tidak terungkap dalam analisis yang
dilakukan. Model umum Input-Output menurut Miler and Blair (1985), menyatakan bahwa model Input-Output yang dikembangkan Leontief saat ini memiliki tiga struktur dasar yaitu: 1. Tabel transaksi antarsektor (kuadran I). 2. Sejumlah kolom tambahan permintaan akhir (kuadran II). 3. Sejumlah baris tambahan untuk nilai tambah (kuadran III). Dengan demikian tabel transaksi antarsektor menggambarkan distribusi output yang diproduksi pada sisi baris dan menggambarkan distribusi input bagi tiap sektor produksi pada sisi kolom. Oleh karena itu tabel transaksi antar industri hanya menggambarkan sektor-sektor yang saling berhubungan dalam masalah produksi untuk kurun waktu tertentu. Sedangkan barang-barang yang dikelompokkan kedalam permintaan akhir bersifat eksogen bagi sektor industri. Barang-barang tersebut diminta oleh konsumen akhir
yang dikenal dengan,
rumah tangga (H), pemerintah (G) dan pihak luar negeri (X-M).
82
Permintaan atas barang diproduksi dan bukan
tidak ditentukan oleh jumlah barang yang
merupakan input dalam proses industri. Bagian baris
tambahan dalam model Input-Output dikenal sebagai nilai tambah (added value) merupakan input yang tidak diproduksi oleh sektor-sektor ekonomi dan yang termasuk dalam nilai tambah adalah jasa faktor produksi yaitu, upah, sewa, bunga dan keuntungan pemilik modal. Bulmer-Thomas (1982), seluruh data Input-Output harus dicatat berdasarkan satuan moneter dan merupakan nilai tambah dari masing-masing sektor. Selanjutnya dikatakan bahwa formulasi Leontief pada mulanya lebih menggambarkan
tentang keseluruhan keterkaitan
produksi dalam
model
Input-Output dalam besaran fisik. Untuk itu digunakan ukuran satuan moneter sebagai perbandingan antar sektor dibandingkan dengan ukuran fisik yang pertama kali diformulasikan oleh Leontief. Kerangka tabel Input-Output sederhana Leontief seperti yang disajikan pada Tabel 3. menerangkan X12 sebagai output sektor 1 dan digunakan oleh sektor 2 sebagai input antara dan F1 adalah output sektor 1 merupakan bagian dari permintaan akhir
untuk sektor rumah tangga (H), pemerintah (G) serta
ekspor (X). Dengan demikian baris 1 menggambarkan distribusi total output sektor 1 sebesar X1 ke sektor-sektor produksi dan permintaan akhir sebesar F1. Angka- angka sepanjang kolom menggambarkan susunan input dari masing-masing sektor produksi. Susunan input J terdiri dari X1i (i = 1, 2, 3...) dan yang merupakan input primer adalah V1. Secara umum persamaan yang menyatakan distribusi output adalah: 3
Xi = ∑ Xij + Fi j=1
83
Persamaan susunan input untuk sektor sebagai berikut: 3
Xi = ∑ Xij + Vi j=1
Secara umum kerangka tabel Input-Output sederhana dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kerangka/Model Baku Tabel Input-Output
…
S i Xii … E . … … K . … … T . … … O . … … R j Xji … P . … … A R . … … N O n X … ni T D A U R K A S I Upah & Li … gaji RT Nilai Vi … Tambah Lain Impor Mi … Total Input Xi … Sumber: Budiharsono I N P U T
j
…
N
Xij … … … … Xjj … … Xnj
… Xin … … … … … … … … … Xjn … … … … … Xnn
Lj
… Ln
Vj
… Vn
Kon. RT
Kon. Pemerintah
Pembtk Modal Tetap
Ekspor
i
Permintaan Akhir Stok
Input Antara Sektor Produksi
Total Output
Rhi … … … … Rhj … … Rhn
Kpi … … … … Kpj … … Kpn
Ii … … … … Ij … … In
Si … … … … Sj … … Sn
Ei … … … … Ej … … En
Xi … … … … Xj … … Xn
Mj … Mn Xj … Xn (2001) dan Kuncoro (2004)
2.1.10.1. Analisis Model Input-Output (I-O) Analisis perekonomian suatu wilayah dapat dilakukan melalui model analisis Input-Output (Model I-O). Melalui analisis ini dapat diketahui mekanisme perhitungan
sesuai dengan aspek kepentingan penelitian yang dilakukan.
Biasanya tabel Input-output digunakan
untuk mengetahui berbagai
perekonomian suatu wilayah (Kuncoro, 2004).
aktivitas
84
Mekanisme perhitungan yang dilakukan melalui model (I-O) memiliki berbagai aspek pendekatan. Aspek-aspek tersebut memiliki fungsi dan keeratan analisis
perekonomian
wilayah
tersebut.
Fungsi
dan
keeratan
analisis
perekonomian suatu wilayah meliputi: struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages. 1. Struktur Output Output adalah nilai produksi dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh
aktivitas
kegiatan
perekonomian
suatu
wilayah/daerah.
Dengan
mengetahui besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor maka akan diketahui
sektor-sektor mana yang mampu
memberikan
penerimaan
terbesar dalam pembentukan output secara keseluruhan di wilayah atau daerah itu. 2. Struktur Nilai Tambah Bruto Nilai tambah bruto merupakan balas jasa dari faktor produksi yang tercipta karena adanya aktivitas atau kegiatan produksi. Besarnya nilai tambah bruto dari tiap-tiap sektor biasanya ditentukan dari besarnya nilai produksi (output) yang dihasilkan serta jumlah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dilakukan. Setiap sektor yang memiliki output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah
yang besar pula.
Nilai tambah
yang besar dari suatu sektor
biasanya bergantung pada besarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh sektor tersebut.
85
3. Analisis Angka Pengganda (MultiplierEffect) Analisis pengganda (multiplier) dipergunakan untuk dari
perubahan
permintaan akhir suatu sektor
menilai dampak
terhadap penciptaan output,
pendapatan dan kesempatan kerja. Analisis pengganda (multiplier) meliputi: A. Pengganda Output (Output Multiplier). Analisis pengganda output (output multiplier) bertujuan untuk melihat dampak dari perubahan permintaan akhir suatu sektor terhadap semua sektor yang ada pada setiap satuan perubahan jenis pengganda. Peningkatan output sektor lain tercipta
sebagai akibat dari adanya
efek tidak langsung
dari
peningkatan permintaan akhir sektor (Miller and Blair, 1985). B. Pengganda Pendapatan (Income Multiplier) Analisis pengganda pendapatan (income multiplier) merupakan suatu alat analisis untuk melihat pengaruh dari perubahan-perubahan permintaan akhir oleh suatu sektor terhadap pendapatan disektor tersebut dalam suatu aktivitas atau kegiatan perekonomian yang dilakukan. C. Pengganda Tenaga Kerja (Employment Multiplier) Analisis
pengganda
tenaga
kerja
(employment
multiplier)
memperlihatkan efek total dari perubahan lapangan pekerjaan sebagai akibat adanya satu unit uang mempengaruhi perubahan permintaan akhir dari suatu sektor tertentu. Biasanya analisis pengganda tenaga kerja digunakan untuk melihat peran
dari suatu sektor perekonomian wilayah atau daerah
dalam
meningkatkan besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap dalam aktivitas perekonomian yang sedang dilakukan.
86
4. Analisis Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages) Analisis keterkaitan antarsektor (intersectoral linkages) digunakan dalam suatu analisis input-output untuk melihat keterkaitan antarsektor terutama untuk menentukan strategi kebijakan pembangunan. Analisis keterkaitan antarsektor dikenal dengan dua jenis keterkaitan yaitu: A. Keterkaitan ke Depan (forward linkages) B. Keterkaitan ke Belakang (backward linkages) Keterkaitan ke depan merupakan keterkaitan dari penjualan barang jadi dan dihitung menurut baris. Sedangkan keterkaitan ke belakang
merupakan
keterkaitan dengan bahan mentah dan dihitung menurut kolom (Kuncoro, 2004, dan Rasmussen, 1956).
2.2. Tinjauan Empiris 2.2.1. Kebijakan Pembangunan Wilayah Atas Dasar Geografi Ekonomi Kajian empiris yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan atau pengembangan wilayah, mulai dilakukan setelah adanya ketergantungan perkembangan ekonomi terhadap ruang wilayah tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi suatu wilayah terutama di negara berkembang sangat mempengaruhi perkembangan aktivitas atau kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Kajian tentang pertumbuhan ekonomi wilayah sudah banyak dilakukan oleh para ekonom. Berikut ini disajikan beberapa hasil penelitian atau kajiankajian tentang studi yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu tentang peran serta aktivitas ekonomi dalam mempengaruhi pengembangan
87
ekonomi wilayah di beberapa negara, baik di negara sedang berkembang maupun di negara industri baru. Rona
wilayah
yang
heterogen
membuat
berbagai
kebijakan
pembangunan wilayah di setiap daerah atau negara berbeda satu dengan lainnya. Dengan adanya perbedaan kebijakan pembangunan wilayah, menimbulkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi terjadi lebih cepat atau lebih lambat di beberapa wilayah. Sedangkan pada wilayah lainnya belum tentu mencapai hasil pembangunan dan pertumbuhan seperti yang diharapkan. Biasanya rona wilayah yang heterogen sering menimbulkan ketimpangan (disparity) antarwilayah walaupun dalam suatu wilayah administrasi. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai kebijakan yang dibuat tidak didasarkan pada kapasitas atau potensi lokal wilayah terutama pada wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku. World Bank (2009), dengan pendekatan topografi menyatakan bahwa ”dunia ini tidak datar” sehingga pada skala spasial kekuatan-kekuatan ekonomi tidak tidak bekerja pada suatu tempat yang hampa secara geografis. Kekuatan ekonomi seperti ini
berhubungan dengan kosentrasi penduduk dan produksi.
Konsentrasi penduduk berhubungan dengan migrasi sedangkan produksi berhubungan dengan spasial. Sedangkan kebijakan pembangunan wilayah merupakan
intervensi
pemerintah
untuk
menyebarkan
manfaat-manfaat
pertumbuhan ekonomi wilayah secara merata ke setiap wilayah (daerah). Oleh sebab itu pembuat kebijakan sering berkompromi karena
adanya kesalahan-
kesalahan di dalam mengenali pentingnya geografi ekonomi sehingga akan sangat sulit bagi investor (produsen) untuk membuat suatu keputusan mengenai dimana mereka harus melakukan aktivitas ekonomi secara tepat.
88
Kondisi alam atau karakteristik serta geografis yang berbeda antar wilayah akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan wilayah. Oleh sebab itu perbedaan seperti diatas, pada skala wilayah (daerah/provinsi) sering mengakibatkan
adanya
percepatan agglomerasi atau menimbulkan
perlambatan polarisasi bahkan sebaliknya. Namun kondisi perbedaan wilayah sering menimbulkan percepatan pembangunan yang bersifat aglomerasi dengan melakukan eksploitasi wilayah pinggiran (periphery) sering memperlambat polarisasi pembangunan ekonomi wilayah lainnya. Meyer-Stamer (2003),
mengatakan pembangunan ekonomi wilayah
lokal berbeda dengan pembangunan lokal atau wilayah (regional). Ada kecenderungan
dari
sebagian
masyarakat
melihat
pembangunan
lokal
berhubungan dengan wilayah administrasi seperti pembangunan kota, kabupaten atau kecamatan. Sedangkan pembangunan wilayah (regional) berkaitan dengan sekumpulan kota-kota yang batasan tertinggi sampai pada jenjang provinsi. Dengan demikian antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan wilayah perlu dilakukan batasan pengertiannya sehingga pengertian lokal pada pembahasan ini hanya pada batasan
wilayah geografis yang lebih kecil
cakupannya dari pengertian region. Banyaknya istilah-istilah yang sering dipakai dalam ekonomi regional berhubungan dengan skala spasial membuat pembuat kebijakan perlu memahami wilayah pengamatannya. Istilah
”daerah” biasanya berhubungan dengan kata
”teritori” (teritorial) sedangkan istilah regional berhubungan dengan kawasan sehingga kawasan dapat dijelaskan sebagai kumpulan atau sekelompok negara tetapi bila diartikan kedalam negara kepulauan ”kawasan” mengandung
89
pengertian sebagai kumpulan atau sekelompok pulau-pulau dalam wilayah tersebut, seperti Provinsi Maluku yang dikenal sebagai kawasan seribu pulau tentunya memiliki kawasan sentra produksi yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah dengan keunggulan sektoralnya. Berbagai studi tipologi wilayah telah dilakukan di beberapa negara maupun di Indonesia antara lain tipologi kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, beberapa kecamatan dan kabupaten di Provinsi Jawa Barat serta beberapa wilayah lainnya di Indonesia. David et al. (1990), menyatakan suatu wilayah memiliki keterkaitan dengan wilayah luar tetapi tidak semua wilayah akan mengalami shock makroekonomi, tetapi bagaimana shock tersebut dapat berguna bagi pembuatan kebijakan yang lebih baik terhadap wilayah tersebut dalam jangka pendek maupun jangka panjang. David dkk, memperkirakan dampak ketidakseimbangan makroekonomi terhadap hasil yang dicapai oleh suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan demikian perlu didorong (push) berbagai pendekatan baik dari bawah (bottom-up) seperti: faktor pasar, produk pasar dan berbagai agen ekonomi yang spesifik dan ketersediaan fasilitas pelayanan dari wilayahnya sendiri. Hay (1979), berdasarkan hasil penelitiannya di Brazil, mengatakan bahwa setiap wilayah (region) memiliki keuntungan lokasi yang berbeda-beda dan hal ini sangat tergantung pada keadaan geografi wilayah setempat. Dengan demikian setiap wilayah dapat meningkatkan pembangunan wilayahnya sesuai strategi-strategi yang disesuaikan dengan keuntungan lokasi (advantage location) yang dimiliki dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan yang dibuat
90
oleh pemerintah pusat. Dengan demikian model ini lebih banyak melihat pembangunan wilayah pada aspek comparative advantage. Otmazgin (2005), menyatakan kedudukan wilayah dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh aspek politik serta ekonomi dari suatu negara. Sebelum dan setelah perang dingin antara Amerika Serikat dengan sekutunya melawan Uni Soviet ternyata perwilayahan (regionalization) selalu difokuskan pada cultural commodities, khususnya pada negara-negara di Asia Timur. Dasar dari perwilayahan ini adalah, budaya dari masyarakat, pendekatan karakteristik wilayah, pasar serta perhatian dari pemerintah seperti besarnya peran lembagalembaga formal dalam mendukung peran serta masyarakat. Sedangkan sejauh ini pemerintah hanya memperhatikan infrastruktur dan insetif bagi sektor industri pada suatu wilayah., tetapi dalam waktu yang sama pemerintah melakukan intervensi dalam proses cultural commodities dengan mempergunakan kekuatan politik. Menurut Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (1992), tipologi wilayah ditentukan berdasarkan potensi sumberdaya alam utama wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian berbagai kebijakan wilayah biasanya dipengaruhi oleh keadaan kondisi atau potensi lokal wilayah tersebut dan hal ini berlaku pula bagi wilayah-wilayah lainnya sebab masing-masing wilayah memiliki karakteristik dan potensi lokal (local spesific) yang berbeda satu dengan lainnya. Walaupun kadangkala ada beberapa wilayah yang memiliki keseragaman (homogen) karakteristik tertentu, tetapi secara umum setiap wilayah memiliki perbedaan (heterogen) karakteristik dalam hal tertentu pula. Tipologi harus
91
didasarkan pada pola keterkaitan parameter yang di ukur dengan ruang (space) wilayah. Wilayah merupakan tempat berbagai aktivitas dilakukan baik untuk berproduksi maupun untuk memperoleh hasil atau pendapatan dari aktivitas yang dilakukan. Oleh karena sifat ruang yang terbatas maka pola penggunaannya perlu menjadi perhatian dalam pembuatan kebijakan wilayah. Banyaknya kebijakan yang dibuat dan tidak sesuai dengan pola penggunaan ruang (spatial) akan menimbulkan kesalahan dalam pengambilan kebijakan. Hal seperti ini sering terjadi karena tidak memperhatikan aspek karakteristik wilayah yang berbeda
tersebut
seperti,
banyaknya kebijakan-
kebijakan yang hanya berpatokan pada asumsi semua wilayah homogen baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Berbagai kebijakan yang keliru masih tercermin dari salahnya pengambilan kebijakan dengan mengasumsikan Indonesia sebagai negara daratan (landlock state) padahal sudah jelas seperti tertuang dalam UUD Negara Indonesia bahwa negara kesatuan republik Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Sebagai wilayah kepulauan tentunya memiliki karakteristik kapasitas atau kemampuan serta potensi lokal (local spesific) wilayah yang berbeda (growth potensial/local spesific/wisdom). Potensi lokal wilayah ini perlu dimanfaatkan atau dikelola sehingga menjadi daya tarik (attractiveness) dalam mempercepat dan meningkatkan daya saing antarwilayah yang saling menguntungkan.
2.2.2.
Dinamika Antarsektor dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Sektoral Wilayah Verner dan Fiess (2001), dalam studi atau kajian yang dilakukannya
dikatakan peran sektor maupun antarsektor sangat berpengaruh
dalam
92
meningkatkan perekonomian wilayah melalui peningkatan Gross Domestic Product (GDP). Hasil temuannya memperlihatkan
adanya peran antarsektor,
khususnya peran sektor pertanian dimana menurutnya untuk jangka panjang sektor pertanian masih merupakan sektor dominan atau sektor pendorong (prime mover sector) terhadap sektor-sektor lainnya sebagai intermediate goods terlebih sektor industri yang beraktivitas pada suatu wilayah. Berdasarkan hasil studi atau kajian yang mereka lakukan dikatakan bahwa, peran negara harus lebih besar atau kuat untuk tetap mempertahankan sektor-sektor unggulan khususnya sektor pertanian sebagai sektor yang harus ditingkatkan nilai tambahnya (value added) sehingga mampu bersaing atau meningkatkan perekonomian atau pertumbuhan negara tersebut. Hasil kajian ini menunjukkan besarnya perkembangan sektor industri perminyakan dan sektor ini sendiri merupakan sektor yang banyak terserap dalam mendorong perkembangan sektor lainnya. Sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan dapat ditemui pada kajian analisisnya dengan melihat dinamika antarsektor, dimana sektor pertanian masih sangat bergantung dari sektor-sektor lainnya seperti sektor industri namun sektor industri itu sendiri masih sangat bergantung pada besarnya sumbangan atau peran serta dari sektor industri perminyakan yang lebih banyak menyumbangkan devisa bagi negara ini. Peran sektor industri perminyakan masih diharapkan sebagai penggerak utama bagi sektor-sektor lainnya, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tetap terjaga atau meningkat. Studi-studi
lain yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu
seperti yang dilakukan oleh Steven dan kawan-kawan, lebih banyak menyoroti
93
kajiannya pada pertumbuhan ekonomi yang terjadi di belahan dunia ketiga. Kajian mereka kali ini melihat tentang besarnya pertumbuhan ekonomi yang meningkat dengan cukup tinggi dan sangat cepat pergerakkannya di belahan benua Asia. Menurut Steven (2001), kunci keberhasilan dari pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat atau besar, diperoleh dari adanya konsep pembagunan yang diprioritaskan sesuai dengan kapasitas atau kemampuan negara. Keuntungan geografis dan karakteristik struktural perekonomian yang begitu besar serta sedikitnya pengangguran yang terjadi akibat dari adanya perubahan perekonomian ke arah yang lebih baik, sehingga laju pertumbuhan ekonomi dapat bertumbuh dengan baik. Disamping itu adanya berbagai strategi kebijakan ekonomi yang ada di negara-negara Asia yang memperlihatkan suasana investasi yang lebih kondusif dari beberapa waktu yang lampau. Selain memperhatikan aspek potensi, karakteristik dan kapasitas wilayah kajian ini di arahkan dengan menyimpulkan besarnya, peranan sektor potensial untuk dikembangkan dengan cepat tanpa mengabaikan peran kebijakan-kebijakan di bidang keunggulan sektoralnya untuk dapat meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi wilayah pada masa-masa yang akan datang. Studi yang dilakukan Gaurav dan Marthin (2002), tentang estimasi tingkat kemiskinan menunjukkan adanya penurunan angka kemiskinan rata-rata 1 persen per tahun. Kajian yang dilakukan memperlihatkan bahwa, perlu adanya penekanan pada faktor keseimbangan dari berbagai aspek yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Tentang besarnya peran sektor pertanian
yang sangat penting
94
digunakan sebagai salah satu ukuran untuk mengukur keberhasilan mengatasi tingkat kemiskinan yang terjadi selain pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Bila dilihat dari letak atau kedudukan geografis atau ruang wilayahnya (spatial) dan perkembangan dari sektor-sektor unggulan atau potensial maka ada ketidakseimbangan
yang
terjadi diantara sektor-sektor
tersebut. Studi ini
menunjukkan sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian mengalami ketimpangan yang cukup mendasar. Bila diperkirakan pertumbuhan ekonomi secara umum meningkat kemiskinan
berdasarkan
tingkat
namun berdasarkan tingkat
tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah cukup mempengaruhi
terhadap tingkat kemiskinan yang tetap tinggi. Hasil kajian selanjutnya menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang terjadi bersumber dari sektor-sektor yang bukan pertanian, studi ini juga memperlihatkan bahwa, tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan karena besarnya tingkat kemiskinan yang ada akibat dari timpangnya pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian. Kajian ini memperlihatkan sektor pertanian
masih memegang peran
penting disamping berperannya faktor spatial atau geografis wilayah dan sebagai faktor yang cukup besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi adalah lemahnya pemberdayaan dan peran sumberdaya manusia di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Dengan demikian sektor pertanian yang merupakan leading sector masih berperan atau berpengaruh dalam meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi India walaupun tidak setinggi seperti yang diharapkan yakni diatas laju pertumbuhan tingkat kemiskinan. Oleh karena itu Gaurav dan Martin merekomendasikan bahwa, sektor pertanian masih tetap merupakan sektor yang
95
berpengaruh besar dalam mengurangi tingkat kemiskinan yang semakin membengkak dan sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah. Sehingga sektor pertanian tidak dipandang lagi sebagai sektor inferior tetapi sebagai sektor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan sektor lainnya. Belajar dari krisis pangan saat ini yang dialami hampir semua negara, menjadikan Indonesia perlu memacu atau mendorong perkembangan ekonomi wilayah berbasis kapasitas dan potensi lokal wilayah dengan mengedepankan keunggulan sektoralnya.
2.2.3. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kebijakan Strategi Pembangunan Ekonomi Antarwilayah Berbasis Potensi Lokal Wilayah Review yang dilakukan oleh Lardy (1999), pada laju pertumbuhan ekonomi China, sejak tahun 1970 memperlihatkan sistem ekonomi pasarnya dari era komunis sampai era reformasi menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan dalam pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik. Perubahan ini menurut Lardy diakibatkan adanya sistem ekonomi pasar yang terus mengalami perubahan Hasil survey yang diambil dari rata-rata pertumbuhan aktual dan sumber-sumber pertumbuhan dengan beberapa spekulasi yang dilakukan menunjukkan pemerintah ingin tetap mempertahankan laju pertumbuhan yang semakin tinnggi menuju pada tingkat overheating. Perkiraan perubahan kebijakan yang dilakukan oleh negara tersebut
pada
awalnya
hanya
dengan
memperkirakan
pengaruh
dari
meningkatnya pertumbuhan output industri baru. Jefferson (1992), dalam kajian tentang berkembangnya industri-industri baru dengan cepat dan memperluas daerah pemasarannya. Perkembangan industriindustri tersebut sangat mendukung percepatan laju pertumbuhan di sektor
96
elektronik, komunikasi sekitar 1.4 persen sampai 7.6 persen. Di sisi lain oleh Lardy (1999), dikatakan selain industri baru di sektor industri elektronik menurutnya, sektor pertanian yang dikembangkan berdasarkan keunggulankeunggulan wilayah (local spesific) mampu meningkatkan produksi komoditinya dengan kualitas yang semakin baik. Dengan demikian oleh Jefferson dikatakan bahwa sektor pertanian dengan spesifikasi yang semakin baik mulai menguasai pasar impor negara lain karena adanya inovasi di sektor tersebut. Selain itu pengembangan sektor pertanian yang dikembangkan disesuaikan dengan kapasitas atau kondisi kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dari wilayah-wilayah tersebut. Hasil kajian yang di lakukan akhirnya memperlihatkan peran inovasi dan ketergantungan pada wilayah pengembangan sesuai dengan kapasitasnya sehingga turut mempengaruhi laju pertumbuhan negara tersebut, selain tabungan masyarakat yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi dari ketiga sektor ini yaitu sektor pertanian, industri baru dan angkutan pada akhirnya diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sektor-sektor ekonomi lain
yang
masih perlu dipacu atau di dorong perkembangannya. Kajian lain yang dilakukan Akita dan Kataoka (2002), memperlihatkan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Perubahan dalam kebijakan pemerintah ini yang menjadi fokus utama terhadap penciptaan kondisi yang lebih kondusif untuk menghasilkan pusat pertumbuhan di masing-masing wilayah. Studi yang dilakukan Akita dan Kataoka memakai tiga wilayah untuk proses pengembangan analisisnya. Hasil studi dari ketiga wilayah kajian tersebut memperlihatkan hasil
97
seperti banyaknya kebijakan
pengembangan wilayah khususnya untuk ketiga
wilayah kajian didasarkan pada beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini peran pemerintah pusat lebih dominan di dalam membuat berbagai kebijakan wilayah dengan menyediakan berbagai fasilitas pelayanan di ketiga wilayah tersebut. Kebijakan pemerintah tersebut
sangat mempengaruhi masing-masing
wilayah dengan karakteristik atau potensi wilayah yang heterogen. Ada empat faktor yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yaitu: 1.
Terjadinya perubahan permintaaan akhir (final demands) seperti, pengeluaran konsumsi pribadi maupun publik di ketiga wilayah kajian karena adanya fasilitas pelayanan yang semakin baik dari ketiga wilayah yang diteliti.
2. Adanya perubahan pada koofisient Input-Output 3. Adanya perubahan ekspor diantara ketiga wilayah kajian yakni secara regional, maupun internasional 4. Impor hanya sebagai bagian substitusi atau pengganti komoditi yang belum dapat dipenuhi oleh ketiga wilayah tersebut. Secara nyata studi atau kajian yang dilakukan oleh Akita dan Kataoka menunjukkan bahwa, keterhubungan antarwilayah yakni wilayah Kyushu, Kanto dan wilayah peristirahatan di dekat wilayah Kyushu (interregional) sangat mempengaruhi industrial linkages dengan banyak faktor yang dipengaruhinya seperti meningkatnya volume perdagangan, kunjungan wisatawan domestik maupun luar negeri sehingga secara signifikan turut meningkatkan permintaan
98
akan penginapan sektor perdagangan, hotel dan restoran di wilayah-wilayah tersebut. Di sisi lain adanya perubahan kebijakan pemerintah dengan menyediakan fasilitas pelayanan sehingga turut mempengaruhi aliran hasil produksi dari dan ke wilayah lainnya. Setiap wilayah masih memerlukan sumberdaya manusia, pengembangan dan penelitian serta pemasaran yang didukung dengan kemampuan ketersediaan pusat pengembangan dengan fasilitasnya sehingga dapat mempercepat pengembangan industri baru dan sektor-sektor pendukung lainnya. Sektor-sektor pendukung lainnya diluar SDM, R&D serta pemasaran diharapkan mampu bersaing diantara sektor-sektor itu sendiri sehingga mampu bersaing dengan wilayah lain untuk menghasilkan komoditi yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Amir dan Nazara (2005), bertujuan untuk menganalisis sektor-sektor unggulan (key sector) terhadap aktivitas perekonomian wilayah di Provinsi Jawa Timur. Kajian-kajian yang dilakukannya untuk mengidentifikasi perubahan struktur perekonomian pada periode yang sama dengan mempergunakan analisis input-output. Kajian Amir dan Nazara mau memperlihatkan apakah terjadi keterkaitan (linkages) antara satu sektor dengan sektor lainnya (intersectoral) perekonomian dan angka penggandanya (multiplier effect). Provinsi Jawa Timur dipilih sebagai daerah kajian karena dianggap dapat mewakili beberapa wilayah yang ada di pulau Jawa. Berbagai macam indikator dipilih untuk kajian di Jawa Timur. Indikator di daerah ini memiliki beberapa kelebihan seperti penduduknya merupakan ketiga terbesar di Indonesia, tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, terdiri dari 29 kabupaten, 8 kota dan 2 kota administratif.
99
Hasil kajian yang dilakukan memperlihatkan bahwa, telah terjadi pergeseran struktur perekonomian terhadap beberapa sektor unggulan dan angka pengganda sektoral. Sumbangan atau peran sektor
industri terutama industri
makanan, minuman dan tembakau sangat dominan dari sisi besaran outputnya serta memiliki angka pengganda yang cukup tinggi dari sektor lainnya terutama sektor pertanian non tembakau yang selama ini menjadi sektor unggulan Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Amir dan Nazara (2005), menunujukkan bahwa dalam kurun waktu 1994 – 2000 telah terjadi perubahan sektor ekonomi wilayah yang mengindikasi adanya pengaruh perubahan sektoral terhadap perekonomian atau perubahan peranan sektor-sektor penting bagi perekonomian Jawa Timur sejak Tahun 1994-2000. Namun disisi lain pengaruh perubahan struktur perekonomiannya masih terlalu kecil tetapi hal tersebut turut mempengaruhi kontribusi output sektor ekonomi, perubahan sektor unggulan dan keterkaitan antarsektor wilayahnya. Selain terjadi perubahan struktur perekonomian, diharapkan titik berat perhatian pemerintah tidak mengabaikan begitu saja peran dari sektor-sektor unggulan wilayah seperti sektor pertanian. Kajian yang dilakukan memperlihatkan sektor perdagangan dan pertanian merupakan sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dengan sangat besar. Untuk itu kedua sektor tersebut harus menjadi acuan atau kajian dengan memanfaatkan ketersediaan fasilitas pelayanan di wilayah Jawa Timur karena kemampuan fasilitas pelayanan semakin lengkap atau tersedia di wilayahnya.