II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sumberdaya Mineral Dan Pembangunan Ekonomi Wilayah Fenomena “Penyakit Belanda” atau ”Dutch Desease” yakni fenomena
yang menggambarkan daerah yang kaya dengan sumber daya alam namun mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban, sebenarnya bukan karena apa yang disebut sebagai “kutukan sumber daya” (resource curse) namun lebih karena ketidak-mampuan institusi dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut sehingga menimbulkan konflik yang pada akhirnya menggerogoti manfaat yang seharusnya dinikmati tersebut. Hal ini telah dilakukan di Norwegia dari tahun 1969 sampai 2001 negara ini mampu mengoptimalkan produksi sumberdaya
mineralnya
dalam
rangka
memperkuat
sistem
tatakelola
pemerintahan, hukum, perekonomian, norma sosial, pertanian dalam arti yang luas, industri serta usaha jasa sehingga Norwegia dapat terhindar dari kutukan sumberdaya (Larsen, 2006). Keberadaan sumberdaya alam juga sering menimbulkan tidak stabilnya struktur ekonomi, bahkan pada daerah dengan sumberdaya alam sedikit. Pada sisi lain daerah dengan sumberdaya alam yang kaya, ketidakstabilan ini semakin rapuh dan memicu konflik tehadap sumber daya alam yang lebih luas. Bahkan dalam skala tertentu perselisihan yang tidak ada hubungannya dengan sumber daya alam seperti masalah keluarga, bisa saja kemudian disalahkan pada keberadaan sumber daya alam dan timpangnya akses terhadap sumber daya alam. Hal ini sering terjadi pada beberapa daerah di Indonesia dimana sumber daya mineral yang dikelola oleh kuasa pertambangan menimbulkan gejolak sosial yang cukup hebat pada masyarakat ( Fauzi, 2006). Mengacu pada Fauzi (2006) ada beberapa hal yang dapat dilakukan daerah untuk menghindari dan mencegah terjadi konflik atas akses dan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya mineral dan kaitannya dengan lingkungan. Pertama mereka melakukan apa yang disebut sebagai factor movement policy atau kebijakan pergerakan faktor produksi. Melalui program yang disebut sebagai solidarity alternative atau alternatif solidaritas, penerimaan dari berbagai sektor dikoordinasikan sedemikian rupa untuk mempermudah dampak penerimaan dari
18 industri pertambangan terhadap industri lain, khususnya industri primer yakni pertanian dan perikanan-kelautan. Kedua sektor ini amat rentan terhadap goncangan yang terjadi yang disebabkan oleh tumbuhnya industri pertambangan di daerah yang awalnya didominasi oleh sektor pertanian. Tenaga kerja pertanian kemudian lebih banyak terserap pada sektor pertambangan yang kemudian sektor ini terabaikan sehingga ketika tambang habis mereka tidak siap untuk kembali ke sektor pertanian. Semestinya sektor pertambangan menjadi komplemen bagi sektor pertanian, bukan sebagai substitusi. Artinya keduanya harus dikembangkan secara simultan melalui alternatif solidaritas ini. Kebijakan faktor “movement policy” ini kemudian dibarengi juga oleh kebijakan yang disebut sebagai ”spending effect policy”. Mekanisme penyakit Belanda timbul karena adanya spending effect, yakni belanja publik yang sangat besar yang dihasilkan dari sektor pertambangan, akibatnya belanja publik untuk sektor primer menjadi terbengkalai sehingga menimbulkan keterpurukan pada sektor pertanian dan perikanan. Oleh karenanya untuk mengatasi dampak tersebut diperlukan kebijakan pengeluaran melalui disiplin fiskal. Pembayaran utang dilakukan secepat mungkin dan menetapkan mekanisme pendanaan (fund) di berbagai peluang investasi seperti pasar modal dan sebagainya (hal yang sama kini dilakukan oleh negara-negara Asia Tengah). Kebijakan ketiga yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit Belanda dan kutukan sumber daya adalah melalui spill-over loss policy dengan cara menganjurkan akumulasi pengetahuan tenaga domestik ketimbang asing dan dibarengi dengan investasi di bidang riset dan eksplorasi. Kebijakan ini dibarengi pula kebijakan di bidang pendidikan dan penelitian. Penerimaan dari sumber daya alam disalurkan untuk pendidikan dan penelitian serta pengembangan sehingga terjadi akumulasi pengetahuan khususnya dalam hal pengelolaan ekonomi sumberdaya alam. Kebijakan berikutnya yang sangat mendukung untuk keluar dari penyakit Belanda dan kutukan sumber daya adalah kebijakan tenaga kerja (labor policy) dan kebijakan industri. Norwegia misalnya menetapkan sistim negosiasi upah yang terpusat (centralized wage negotiation system) untuk menghindari adanya konflik dan perbedaan upah yang tajam antarsektor pertambangan misalnya.
19 Kebijakan industri di Norwegia melakukan pemeliharaan dan peningkatan (knowhow) di bidang aktifitas industri. Kegiatan lebih ditekankan pada pengetahuan, technological progress dan human capital. Kebijakan lain yang tidak kalah penting adalah meniru apa yang telah dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin (Chili, Peru dan Brasil) dalam mengembangkan ekonomi mereka berbasis mineral belakangan ini. Setelah mengabaikan sumber daya alam mereka selama kurun waktu yang cukup lama dan menyadari adanya kebijakan yang keliru (misguided policy), negara-negara Amerika Latin kemudian memulai titik balik mereka pada tahun 1990an. Bank Dunia mencatat bahwa titik balik tersebut dipicu oleh berbagai reformasi di bidang investasi (khususnya di bidang pertambangan) dan peningkatan keamanan (security) di bidang investasi pertambangan. Hal yang lebih utama lagi adalah Amerika Latin mengembangan tata kelola yang kuat dengan mengakomodasi kepedulian lingkungan khususnya yang menyangkut masalah hutan lindung dan kawasan konservasi. Jika memang nilai tambang di kawasan konservasi ini lebih rendah dari nilai jasa lingkungan yang ada di kawasan tersebut maka mereka tidak akan melakukan penambangan dan pemerintah memanfaatkan hutan lindung tersebut melalui mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan atau Payment for Environmental Services (PES). Dengan menggunakan mekanisme PES dan didukung oleh kelembagan yang kuat, bisa saja tambang tidak dilakukan di hutan lindung namun jasa lingkungan dari hutan lindung juga bisa mensejahterakan masyarakat sekitar. Jika ini dilakukan memang ada beberapa keunggulan yang diperoleh yakni selain keuntungan ekologis berupa terjaganya fungsi-fungsi ekologis kawasan hutan, juga manfaat ekonomi bisa diperoleh sekaligus. Tambang dan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kita miliki pada hakekatnya adalah anugerah Tuhan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Namun demikian diperlukan strategi pemanfaatan yang bijak melalui langkah-langkah kebijakan sehingga konflik atas sumber daya tersebut bisa diraup dan sumber daya alam dan jasa lingkungan bukan menjadi kutukan namun lebih menjadi berkah bagi penduduk yang ada di sekitarnya ( Fauzi , 2006).
20 Disisi lain kekuatan kepemimpinan (leadership) pemerintah dalam mengontrol Gross Domestic Product (GDP), investasi sumberdaya manusia, kesejahteraan melalui pendapatan per kapita memiliki hubungan yang erat antara ketergantungan sumberdaya mineral sebagai ukuran terhadap rasio ekspor minyak dan sumberdaya mineral melalui persentase keseluruhan ekspor. Model ini telah ditempuh oleh beberapa negara timur tengah seperti Irak, Libya dan Arab Saudi dalam menyusun strategi distribusi pendapatan negara atas pengelolaan sumberdaya mineral melalui kekuatan leadership pemerintah (Leonard, 2003).
2.2.
Hak dan Rezim Kepemilikan Salah satu unsur penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
kaitannya terhadap kelembagaan adalah masalah hak dan rezim kepemilikan. Hal ini didasarkan pada kondisi dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai barang publik, dimana hal kepemilikan tidak terdefinisi dengan jelas. Kondisi tersebut akan menimbulkan masalah kelembagaan pada unsur hak kepemilikan dan biaya transaksi. Definisi akses yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada (Peluso, 1996) yang mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai – hak untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the right to benefit from things). Akses dalam definisi Peluso mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (a bundle of powers) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (a bundle of rights). Sehingga bila dalam makalah properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam makalah tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya termasuk dalam hal ini, namun tidak terbatas pada relasi properti. Kekuasaan menurut (Peluso, 1996) terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaring kekuasaan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi Peluso ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan
21 dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumber daya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu. Individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumber daya pada ruang dan waktu yang berbeda (Peluso, 1996). Hak dan rezim kepemilikian (property rights), menurut (Fauzi, 2006), adalah klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dhasilkan dari sumberdaya tersebut. Hak kepemilikin dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick dan Olewiler, 1998). Karakteristik tersebut menyangkut ketersediaan manfaat, kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat ekslusivitas dari hak, dan durasi penegakan hak (enforceability) (Perman et al., 1996). Selanjutnya (Fauzi, 2010) mengatakan bahwa perlu juga dicermati bahwa meski hak kepemilikan menyangkut klaim yang sah, hak tersebut tidak bersifat mutlak. Hak kepemilikan sering dibatasi oleh dua hal, yakni hak orang lain dan hak ketidaklengkapan (incompleteness). Bisa saja kita tidak berhak melakukan penambangan mineral di pekarangan rumah kita, namun pihak lain dapat melakukannya. Ketidaklengkapan hak kepemilikan disebabkan oleh mahalnya biaya enforcement. Misalnya untuk kasus kehutanan, jika hutan ditebang ilegal, hak negara atas hutan dibatasi oleh mahalnya mengawasi hutan tersebut dan melakukan penegakan hukum atas tindakan ilegal tersebut. Lebih jauh lagi Barzel (1993) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa konsep hak kepemilikan terkait erat dengan biaya transaksi yang dikemukakan oleh Coase. Biaya transaksi sendiri diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, mentransfer dan melindungi hak, jika biaya transaksi nol, hak kepemilikan terlengkapi, namun biaya transaksi tinggi, sangatlah sulit untuk menetapkan hak pemilikan karena potensi manfaat atas sumberdaya atau aset tidak akan diketahui. Dengan kata lain hak kepemilikan akan terkukuhkan jika kedua belah pihak (pemilik dan pihak lain yang tertarik memiliki aset), memiliki pengetahuan penuh atas nilai dari aset tersebut.
22 Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa didalam sumberdaya alam sebagaimana dijelaskan oleh (Fauzi, 2006), antar sumberdaya (resource) dan rezim kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan dengan jelas, satu sumberdaya bisa saja mempunyai hak kepemilikan. Hak kepemilikan sumberdaya alam tersebut pada umumnya terdiri dari: state property dimana klaim kepemilikan berada ditangan pemerintah. Private property dimana klaim kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi). Common property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Lebih lanjut lagi suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak kepemilikan, sumberdaya seperti ini dikatakan open access (Grimma dan Barkers, 1989). Dengan pemahaman diatas, perbedaan antara hak kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya semakin jelas. Dengan mengambil contoh dua tipe akses yang berbeda (open access) dan akses terbatas (limited access) maka secara umum ada beberapa kemungkinan kombinasi. Tipe pertama adalah tipe dimana hak pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tipe kedua adalah dimana sumberdaya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatannya yang berlebihan bisa dihindari. Tipe ketiga adalah kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumberdaya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumberdaya akan cepat terkuras habis. Pendapat para ahli diatas dapat diformulasi dalam suatu grand teori (state of the arth) yang diawali oleh Peluso (1996) menyatakan bahwa ada keterbatasan antara hak kepemilikan dan akses. Keterbatasan ini digambarkan dalam konsep keterpaduan antara pendapat Long (1996) melalui pendeketan aktor, Peluso (1996) pendekatan akses analisis dan Fauzi (2006) dengan pendekatan properti right. Konsep keterpaduan ini akan dilengkapi oleh dua unsur yaitu kebijakan konservasi
yang
membingkai
ketiga
keterpaduan
konsep
dan
unsur
23 pengembangan ekonomi adalah mencerminkan penerapan konsep. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9 terkait dengan keterpaduan konsep tersebut. Actor Approach (Long, 1996)
Access Analysis (Peluso, 1996)
Policy of Conservation
Economy Growth (commodity chains)
Property Right Regimes ( Fauzi, 2006) Kekuasaan
menurut (Peluso, 1996) Gambar 9. Skema Keterpaduan Konsep terdiri atas elemenelemen material, budaya dan ekonomiSering kali pada sumberdaya yangyang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai politik berhimpun sedemikian rupa hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh tidak pada satu orang membentuk “bundel atau kelompok yang sama. Hal inikekuasaan” yang kemudian menyebabkan konsep tenurial (bundle of powers) dan “jaring ini sering dijelaskan dengan prinsip bundle of rights (sebundel hak-hak). Ostrom kekuasaan” (web of dan Schlager (1996) mengatakan bahwapowers) hak-hakyang ini dapat diuraikan menjadi: kemudian menjadi 1) Hak atas akses (rights of access): adalah hak untuk memasuki suatu penentu akses ke wilayah tertentu; sumber daya 2)
Hak pemanfaatan (rights of withdrawal): adalah hak untuk mengambil sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam seperti untuk memancing ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya;
3)
Hak pengelolaan (rights of management): adalah hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi;
4)
Hak pembatasan (rights of exclusion): adalah hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akes ini dari seseorang ke orang lainnya (atau lembaga/kelompok lain); dan
5)
Hak pelepasan (rights of alienation): adalah hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya. Adapun hubungan antara penguasaan sumberdaya terhadap posisi aktor disajikan pada tabel berikut.
24 Tabel 3. Kumpulan Hak dan Posisi Aktor
Acces Withdrawal Management Exlusion Alienation
Owner
Proprietor Outorized Claimant
Outorized User
Outorized Entrant
X X X X X
X X X X
X X
X
X X X
Selanjutnya Long (2002) menyatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan aktor, interaksi antar aktor kelembagaan, hak kepemilikan, proses dan kebijakan dapat dijelaskan melalui matriks antar komponen yang saling mempengaruhi sebagaimana terdapat pada (Gambar 10) berikut ini.
Sumber : Long (2002)
Gambar 10. Pendekatan Aktor 2.3.
Konflik Penguasaan Lahan Sebagai bagian Perilaku Kelembagaan Pandangan post modernism adalah konflik harus diposisikan sebagai
potensi yang harus dikelola secara optimal yang telah bersifat kodrati dalam diri manusia
sebagai
mahluk
yang
sempurna
(memiliki
akal).
Pendekatan
penyelesaian konflik dengan melihat manusia bukan lagi obyek (bukan subyek penderita) tetapi merupakan bagian dari sistem disetiap lembaga telah menjadi pedoman bagi lembaga yang telah menempatkan aspek manusia sebagi pemecah masalah namun juga akan menimbulkan masalah.
25 Konflik dalam perspektif interaksionis merupakan stimulan ketika suatu kelompok masyarakat bersifat statis bahkan munkin apatis terhadap dinamika serta fenomena pemanfaatan sumberdaya dengan lebih mementingkan hak akses maka seyogyanya ada seseorang yang memilki kapasitas untuk mempertahankan dan memelihara konflik pada tingkat yang optimal dengan tujuan dapat menciptakan suasana yang dinamis serta inovatis terhadap perubahan-perubahan yang sedang datang baik dari pesaing maupun dari internal kelembagaan itu sendiri. Perbedaan
dan
pertentangan
kepentingan
dalam
pengalokasian
sumberdaya sering muncul sehingga hirarki pengambilan keputusan tidak jadi barmakna yang baik karena pertentangan atau konflik tersebut muncul adanya perbedaan pandangan, idiologi bahkan harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan merupakan tantangan bagi pengelolaan suatau lingkungan kelembagaan dalam menyerap dan mengolah serta mendistribusikan kembali perbedaan tersebut dalam suatu informasi yang baik dalam mencapai kesepakatan sebagai satu dari begitu banyak alternatif yang disepakati (Mitchell dan Dwita, 2007). Menurut Own (1991:13) dalam Wahyudi (2011), konsep kelembagaan yang menempatkan organisasi sebagai perhatian utama adalah bagian dari konsep klasik sedangkan saat ini manusialah yang menjadi perhatian dan penentu maju mundur sistem kelembagaan adalah pandangan neo-classic. Artinya perilaku kelembagaan adalah suatu pandangan ilmu pengetahuan yang menerangkan, mengerti dan memprediksi perilaku manusian dalam lingkungan secara formal.
2.4.
Pemetaan Potensi Sumberdaya Ekonomi Wilayah melalui Perubahan Peruntukan Kawasan Potensi ekonomi daerah didefinisikan sebagai segala sumberdaya dan
instrumen yang dimiliki daerah yang terukur (datanya tersedia) serta diperhitungkan mampu mendorong kemajuan perekonomian daerah. Sumberdaya dan instrumen tersebut meliputi: 1.
Sumberdaya alam (natural capital: SDA).
2.
Sumberdaya manusia (human capital: SDM).
3.
Sumberdaya sosial (social capital: SDS).
26 4.
Infrastruktur dan fasilitas public (man-made capital: INF).
5.
Penataan ruang (spatial ordering: TTR),
6.
Penganggaran belanja (budgeting: BUD).
7.
Jejaring keterkaitan daerah (spatial interaction). Selanjutnya kemajuan instrumen diatas dapat diukur dengan: (1)
pertumbuhan ekonomi daerah (economic growth), (2) produktivitas ekonomi daerah (productivity), (3) pendapatan asli daerah (fiscal capacity), (4) tingkat kemiskinan (poverty), dan pengangguran (unemployment), di daerah Hakim, (2007). Pemetaan
potensi
ekonomi
daerah
didefinisikan
sebagai
sistem
pentransformasian data menjadi basis pengetahuan yang diharapkan mampu mendukung kebijakan pengembangan potensi ekonomi daerah bagi pencapaian kinerja kemajuan sesuai yang diharapkan. Pemetaan Potensi Ekonomi daerah ini terdiri dari : 1.
Inventarisasi data yang tersedia diperhitungkan dapat digunakan sebagai proksi pengukur berbagai sumberdaya dan instrumen yang dimiliki, serta kinerja pembangunan ekonomi yang dicapai oleh setiap daerah.
2.
Mentransformasikan setiap data pada kegiatan ke dalam beberapa variabel indikator daerah tentang tipologi sumberdaya dan instrumen yang dimiliki serta kinerja pembangunan ekonomi yang dicapai;
3.
Menyeleksi variabel-variabel indikator daerah, yang memilki variasi interregional cukup signifikan;
4.
Menyarikan variabel-variabel indikator yang terpilih pada kegiatan ke dalam beberapa indeks komposit indikator daerah;
5.
Membangun model kuantitatif yang dapat menjelaskan struktur keterkaitan serta peran berbagai indeks komposit indikator daerah tentang tipologi sumberdaya dan instrumen yang dimiliki terhadap indikator daerah tentang pencapaian kemajuan ekonomi;
6.
Mensimulasikan model hasil kegiatan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan sumberdaya dan instrumen yang dimiliki dan kbijakan strategis bagi optimalisasi pencapaian kinerja kemajuan ekonomi daerah;
27 7.
Menyajikan informasi hasil analisis ke dalam bentuk tampilan peta spasial; dan
mendokumentasikan
ringkasan
tentang
proses,
hasil,
serta
rekomendasi hasil kebijakan penting, untuk dapat dijadikan basis pendukung dalam proses perumusan kebijakan, penyusunan rencana dan program pengembangan. Perputaran roda perubahan ke arah kemajuan pembangunan terkait dengan peran parapihak, dapat dikelompokkan ke dalam empat pilar utama, yaitu: (1) institusi keilmuan, (2) pemerintah, (3) dunia usaha, dan (4) masyarakat luas. Pembangunan berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan, pemerintah yang semakin bersih dan adil, dunia usaha yang semakin profesional, dan masyarakat luas yang semakin aktif partisipatif produktif. Konsep pembangunan yang terlalu menyederhanakan bahwa semuanya akan ikut mendapat penguatan dengan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi (trickle down effect) tidak mendapat dukungan empirik yang luas (Sen, 1992). Negara Brazil sebagai contoh, yang mencapai kapasitas ekonomi (diukur dengan GNP: Gross National Product, perkapita) yang besarnya 10 kali lipat dari China (1980), tingkat keberdayaan masyarakatnya jika diukur dengan angka harapan hidup berada satu poin lebih dari masyarakat China. Demikian juga Meksiko yang mencapai kapasitas ekonominya hampir 10 kali lipat Srilangka, pencapaian keberdayaan masyarakatnya berada satu poin di bawah Srilangka. Sejalan dengan kajian Clifford Geerzt yang menyimpulkan adanya fenomena keterbelakangan akibat keterisolasian, konsep pengembangan infrastruktur yang memperluas akses secara fisik sampai ketingkat desa, kemudian diyakini banyak pihak sebagai instrumen yang mampu merubah ke arah kemajuan. Namun yang terjadi justru percepatan proses pemiskinan dan penelantaran sumberdaya pedesaan. Fenomena ini yang oleh Myrdal (1979) dalam Rustiadi et al (2009) disebut sebagai pencucian daerah belakang (backwash effect). Kebijakan perubahan peruntukan kawasan konservasi pada umumya dihadapkan dengan pandangan yang berbeda dan selalu menemui jalan buntu dalam perdebatan baik formal maupun informal yang melibatkan seluruh pihak dan lapisan masyarakat yang dipicu oleh perbedaan pengetahuan dan pemahaman,
28 perbedaan nilai, perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian, bahkan sampai pada perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang berkepentingan (Mitchel et al 2007). Oleh karena itu perlu adanya formulasi pemikiran yang dapat mensinergiskan perbedaan tersebut agar menjadi suatu potensi yang dapat dikelola melalui pertimbangan yang komprehensif dan memiliki
orientasi
yang
jelas
bagi
kepentingan
masyarakat.
Adapun
pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain: A.
Pertimbangan hukum dan kelembagaan : -
Perubahan kawasan hutan menghargai perijinan atas kawasan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah, seperti : IUPHHK, penggunaan kawasan hutan.
-
Perubahan kawasan hutan menghargai keberadaan proyek-proyek/aset pemerintah, seperti : realisasi gerhan, reboisasi, dll.
-
Perubahan kawasan menghargai keberadaan atas sertifikat atau buktibukti kepemilikan atas tanah.
-
Perubahan kawasan hutan merupakan bagian dari upaya resolusi permasalahan kemantapan kawasan hutan.
B.
Pertimbangan Ekonomi dan Sosial-Budaya : -
Perubahan
kawasan
hutan
mempertimbangkan
keberadaan
pemukiman dan kebutuhan lahan usahanya dalam luasan yang rasional, utamanya yang telah eksis sejak lama (10 tahun); -
Perubahan
kawasan
hutan
untuk
permukiman
juga
mempertimbangkan keberadaan infrastruktur fisik (fasos, fasum) dan kelembagaan desa (organisasi perangkat desa). -
Perubahan kawasan hutan menghargai keberadaan situs budaya dan obyek-obyek yang menjadi sumber-sumber penghidupan masyarakat.
-
Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan upaya daerah untuk mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
C.
Pertimbangan Ekologi : -
Pertimbangan ekologi bertujuan untuk membangun keseimbangan jangka panjang interaksi antar komponen sistem lingkungan (abiotik
29 dan biotik), termasuk di dalamnya unsur interaksi sosial manusia untuk dapat mewujudkan kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan; -
Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan aspek keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, sehingga tetap terjaga keberadaan dan kelestariannya.
-
Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan fungsi satu kawasan sebagai bagian dari suatu ekosistem.
-
Mendukung upaya global untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
2.5.
Valuasi Sumberdaya Mineral Sebagai Pendorong Pembangunan Wilayah Sektor usaha pertambangan merupakan sektor primer yang mengolah
(mengambil) sumberdaya alam tak terbarukan. Dalam pelaksanaan kegiatan operasinya, sektor pertambangan tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan sektor yang lain mulai dari sektor primer sampai jasa. Contohnya adalah keberadaan sektor pertanian yang menyediakan bahan makanan kepada para pekerja, sektor industri pengolahan bahan galian, sampai dengan sektor jasa transportasi, perbankan dan sektor lainnya. Sektor pertambangan diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah (growth centre) yang kemudian menumbuhkan kutub-kutub pertumbuhan ekonomi (growth pole), dimana kutub-kutub pertumbuhan ekonomi tersebut dapat mandiri dengan atau tanpa keberadaan sektor pertambangan. Sehingga ketika usaha pertambangan telah selesai karena habisnya cadangan yang bisa ditambang, daerah tersebut masih tetap eksis dan terus berkembang. Dalam kaitannya dengan pembangunan wilayah di derah Kabupaten Bone Bolango dan Provinsi Gorontalo, kegiatan pertambangan yang dilakukan memiliki peranan sebagai berikut : Menumbuhkan keterkaitan (forward dan backward linkage) antara sektor pertambangan dengan sektor ekonomi yang lain, sehingga membentuk pusat pertumbuhan yang berbasiskan sektor pertambangan.
30 Menciptakan multiplier efect, seperti pada tenaga kerja, pendapatan, pajak dan surplus. Mendatangkan pendapatan bagi daerah melalui pembagian royalti serta pajak dan iuran lainnya yang ditetapkan oleh peraturan daerah. Sehingga dapat menjadi tambahan anggaran untuk pembangunan. Menciptakan sektor usaha lain yang bisa mandiri dengan atau tanpa dukungan
dari
sektor
pertambangan
(pembentukan
kutub-kutub
pertumbuhan). Semua usaha di atas tidak dapat berjalan dan berhasil tanpa adanya dukungan pemerintah. Utamanya pemerintah daerah sebagai fasilitator dan regulator untuk menumbuhkan keberlanjutan hasil usaha kegiatan pertambangan. Walaupun kegiatan pertambangan sudah usai, manfaat ekonominya masih terasa dan tetap dapat menggerakkan ekonomi daerah (Suparmoko, 2006). Adapun dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan ini antara lain: A.
Penyerapan Tenaga Kerja Kegiatan penambangan merupakan kegiatan yang padat modal dan padat
pekerja. Akibat yang ditimbulkan dari adanya pembukaan tambang adalah terbukanya lapangan kerja baru. Demikian halnya dengan pembukaan tambang tembaga dan emas akan menimbulkan terbukanya kesempatan kerja baru bagi penduduk baik di sekitar wilayah penambangan, ataupun tenaga kerja di dalam dan luar wilayah Provinsi Gorontalo. Berdasarkan studi kelayakan yang telah dilaksanakan sebelumnya, kebutuhan tenaga kerja secara umum dapat dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain tenaga kerja operasional penambangan dihitung berdasarkan penggunaan peralatan penambangan pada tahun tertentu. Asumsi yang digunakan dalam menentukan kebutuhan tenaga kerja adalah; terdapat 4 kelompok gilir kerja, penambahan 13,5persen untuk menutupi absensi, cuti tahunan, dan ijin sakit. Diasumsikan juga bahwa pelatihan pada properti tertentu adalah 5persen dari total tenaga kerja. Staf dan tenaga kerja tidak tetap diperlukan pada penambangan open pit 3 tahun sebelum produksi dimulai ( Ekawan, 2008).
31 B.
Penerimaan Daerah Dari Pengusahaan Mineral. Penerimaan daerah atas pengusahaan sumberdaya mineral diperoleh dari
pungutan-pungutan negara dalam bidang pertambangan diatur dalam UndangUndang No. 11 Tahun 1967 Pasal 28 dengan pelaksanaannya pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 Pasal 52 sampai 63. Peraturan menyebutkan bahwa pemegang kuasa pertambangan membayar kepada negara berupa iuran tetap, iuran eksplorasi, dan atau iuran eksploitasi dan atau pembayaranpembayaran yang lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yang bersangkutan. Iuran tetap dimaksudkan sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan pemerintah atas kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi maupun eksploitasi. Iuran eksplorasi dan atau iuran eksploitasi merupakan iuran atas hasil produksi yang diperoleh dari wilayah kontak karyanya. Hal ini dapat disimak pada Undang-Undang Pokok Pertambangan Pasal 28 ayat 3, pungutan-pungutan negara tersebut akan dibagikan juga kepada Daerah Tingkat I dan II. Besar pembagian adalah Pemerintah Pusat 30persen dan Pemerintah Daerah 70persen. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 Pasal 62 yang memuat masalah pembagian hasil pungutan negara, kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1992. Hasil yang ditunjukkan setelah adanya revisi menyatakan bahwa besar pembagian hasil pungutan negara adalah Pemerintah Pusat 20 persen dan Pemerintah Daerah 80 persen. Pembagian dari yang 80 persen adalah 16 persen untuk Pemerintah Daerah Tingkat I, 32 persen untuk Pemerintah Daerah Tingkat II tempat lokasi bahan galian, 32 persen lainnya untuk Pemerintah Daerah Tingkat II yang lain yang ada di provinsi tersebut. Selain dari royalti, penerimaan daerah juga diperoleh dari pajak-pajak dan iuran lainnya yang ditetapkan sesuai dengan Perda.
32 C.
Kontribusi Perusahaan Terhadap Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Perusahaan tetap ada untuk kepentingan stakeholders yaitu mencakup
semua yang mempunyai kepentingan dalam kemakmuran perusahaan yang terdiri dari pemegang saham, karyawan, pemasok, pelanggan dan masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar adalah masyarakat sekitar tambang yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan perusahaan dan ikut menanggung dampak dari kegiatan operasional tambang. Untuk itu diperlukan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (community development) secara komprehensif dan integral dengan penduduk setempat. Karakteristik kegiatan pengembangan masyarakat di sekitar daerah tambang, yaitu : 1.
Kegiatan pertambangan yang mempunyai jangka waktu tertentu dalam beroperasi, dan akan berakhir sesuai jumlah cadangannya serta Kontrak Karya dengan Pemerintah.
2.
Industri pertambangan yang padat modal dan menggunakan teknologi tinggi.
3.
Lokasi kegiatan yang berada di wilayah terpencil dengan infrastruktur yang sangat minim, sehingga diperlukan pembangunan infrastruktur.
4.
Industri pertambangan yang sarat dan erat dengan isu lingkungan. Implementasi dari tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar adalah dengan pengelolaan lingkungan yang baik, Bertanggung jawab terhadap aspek lingkungan dan sosial yang ditransformasikan ke dalam aspek ekonomi wilayah yang ditinggalkan baik setelah eksplorasi maupun setelah penutupan tambang, untuk dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang, hal ini merupakan konsep pembangunan berkelanjutan dan memiliki komitmen yang kuat atas pengembangan komunitas dan wilayah disekitar lokasi kerja tambang. Cakupan wilayah kegiatan pengembangan kelmbagaan masyarakat
(berdasarkan urutan prioritas), yaitu: Desa dan Kecamatan dalam pengaruh langsung pertambangan, Kecamatan di luar pengaruh langsung pertambangan. Program kegiatan pengembangan masyarakat yang akan dikembangkan di daerah sekitar tambang akan mencakup kegiatan sebagai berikut :
33 1.
Pengembangan Agribisnis dan Perikanan.
2.
Pengembangan Kesehatan Masyarakat dan lingkungan.
3.
Pengembangan dan Pelestarian Alam.
4.
Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan.
5.
Pembangunan Infrastruktur.
6.
Pengembangan UKM dan kemitraan.
7.
Penguatan Kapasitas Masyarakat/Pemerintah, Operasional dan Penunjang. Model peningkatan kemandirian ekonomi lokal terhadap tambang beserta
strateginya dapat dilihat pada (Tabel 4) berikut.
Tabel 4. Model Peningkatan Kemandirian Ekonomi Lokal Terhadap Tambang Kuartal I
• Studi pengembangan pertanian/perika nan • Intensif training • Identifikasi lahan • Studi tata ruang
Tambang ± 65persen
Kuartal II • Implementasi studi pertanian/perika nan • Pemanfaatan lahan rehabilitasi • Pengembangan pertanian & perikanan Tambang ± 50persen
Kuartal III
• Pengembangan pertanian • Industri perikanan • Pelayanan/jasa • Pengembangan teknologi agribisnis Tambang ± 35persen Non-tambang ± 65persen
Kuartal IV
• Pengembangan industri pertanian • Pelayanan/jasa • Pengembangan ekspor agribisnis Tambang ± 5persen Non-tambang ± 95persen
Non-tambang Non-tambang ± 50persen ± 35persen Sumber: Kajian DAS Rona Awal Lingkungan di Daerah sekitar Taman Nasionan Bogani Nani Wartabone. TP LAPI ITB 2009 D.
Penggerak Pembangunan Daerah/Wilayah Sumberdaya mineral jika dikelola dengan baik akan menjadi pemicu
pertumbuhan ekonomi wilayah berupa kontribusi Produk Domestik Bruto (PDRB0, tenaga kerja sehingga pengangguran di daerah sekitar pemanfaatan akan berkurang. Sebagai contoh, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LPEM – FEUI pada tahun 2001, Kabupaten Kutai Timur memperoleh 74 persen Produk
34 Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor pertambangan. Secara khusus, PT KPC sebagai perusahaan tambang batubara terbesar di daerah tersebut berkontribusi sebesar 30 persen terhadap total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten. Tercatat
sebanyak
71.000
orang
anggota
masyarakat
setempat
menggantungkan kehidupannya dari perusahaan. Dari jumlah tersebut sebanyak 7.000 orang diantaranya secara langsung menggantungkan hidup kepada tambang. Perlu diperhatikan bahwa semua usaha di atas tidak dapat berjalan dan berhasil tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Utamanya pemerintah daerah sebagai fasilitator dan regulator untuk menumbuhkan keberlanjutan hasil usaha kegiatan pertambangan.
Walaupun
kegiatan
pertambangan
sudah
usai,
manfaat
ekonominya masih terasa dan tetap dapat menggerakkan ekonomi daerah. Manfaat ekonomi yang dimaksud yaitu adanya sumberdaya yang terbarukan telah mengalami transformasi karena adanya dukungan anggaran serta asistensi yang tersistem dalam suatu model kelembagaan. Sehingga nati peran sumberdaya tidak terbarukan uasi maka peran dan penerus pengembangan ekonomi disekitar kawasan pertambangan akan terus berjalan.
2.6.
Konsep Dasar Pengelolaan Sumberdaya Alam Terdapat beberapa konsep dan prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Beberapa konsep dasar tersebut antara lain adalah: 2.6.1 Proses dan Pengembangan Wilayah. Prinsip dasar pengembangan wilayah adalah pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya agar diperoleh suatu konvergensi ekonomi antardaerah. Pengembangan wilayah merupakan suatu proses transformasi terhadap berbagai faktor masukan yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan berbagai sumberdaya buatan/penunjang antara lain kapital, prasarana informasi, teknologi dan lingtungan, menjadi keluaran fisik (tata ruang, prasaran/sarana dan lingkungan fisik) dan keluaran nonfisik (sosial, ekonomi dan budaya) secara terpadu dan seimbang, seperti ditunjukkan pada (Gambar 11) berikut ini.
35
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 11. Proses Pengembangan Wilayah
2.6.2
Interaksi Sumberdaya Alam - Ekonomi - Lingkungan Pengelolaan sumberdaya alam pada dasarnya adalah untuk mengadakan
transformasi atau pengalihan dari sumberdaya alam menjadi modal ekonomi. Pada proses transformasi ini terdapat suatu interaksi dengan lingkungan hidup dalam wawasan pembangunan berkelanjutan. Artinya pembangunan berkelanjutan merupakan satu proses perubahan dan pertumbuhan berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi, berwawasan kewilayahan dan lingkungan hidup serta didukung oleh transformasi dibidang teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter potensi sumberdaya lokal denga visi masing individu masyarakat atau kelompok untuk melihat lingkungan sekitar kawasan pertambangan akan lebih maju dan mandiri. Efisiensi dalam arti bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan bagi setiap marginal produk setiap komoditi adalah sama. Berwawasan kewilayahan dalam arti bahwa proses transformasi tersebut harus menghasilkan nilai tambah bagi wilayah terdapatnya sumberdaya alam. Berwawasan lingkungan bahwa segenap biaya pelestarian fungsi lingkugan oleh akibat eksploitasi sumberdaya alam harus
36 dimasukkan ke dalam biaya eksploitasi. Interaksi sumberdaya alam, ekonomi, lingkungan seperti pada (Gambar 12) sebagai berikut :
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 12. lnteraksi SDA - Ekonomi - Lingkungan Hidup dan Tujuan Pembangunan 2.6.3 Sistem Pengembangan Sumberdaya Alam. Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan potensi energi dan sumberdaya mineral untuk mendukung dan mendorong peran ESDM dalam konvergensi ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, dapat disajikan melalui kaitan integral subsistem dalam pengembangan sumberdaya mineral tersebut, yaitu meliputi: l).
Subsistem Pemerintah. Subsistem merupakan subsistem yang menetapkan kebijakan serta regulasi yang diperlukan agar proses transformasi sumberdaya alam dapat mencapai tujuan secara optimal. Tujuan dapat berupa tujuan nasional pada tingkat nasional atau tujuan regional pada tingkat wilayah (provinsi, kabupaten/kota). Dalam subsistem ini Pemerintah mengendalikan kebijaksanaan dan peralatan kebijaksanaan yang meliputi pengaturan standarisasi, perizinan, pengembangan, pengawasan,
pembinaan
evaluasi
dan pengambilan
keputusan. Sebagai penjabaran dari kebijaksanaan pengembangan usaha pertambangan sejalan dengan semangat debirokrasi dan deregulasi untuk
37 mendorong peningkatan investasi dalam upaya pemerataan pembangunan.I). Subsistem produksi - konsumsi (subsistem industri). 2).
Subsistem produksi konsumsi merupakan mata rantai dari hulu (produksi) sampai dengan hilir konsumsi) berikut mata rantai niaga. Subsistem ini merupakan mata rantai penghasil nilai tambah. Peran serta Pemerintah Provinsi
Gorontalo
dalam
menunjang
peran
sektor
pertambangan/penggalian sebagai sektor penyedia bahan baku. Salah satunya adalah dengan mendirikan “customer plant dan blending plant” yang dapat digunakan untuk proses pengolahan khususnya berbagai macam pengolahan bahan galian industri dengan proses yang sama sehingga dapat digunakan oleh banyak perusahaan untuk efisiensi dan efektivitas.
3.6.4
Subsistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada pengembangan sumberdaya mineral pada dasarnya subsistem ini
menyangkut penelitian yang berhubungan dengan mata rantai yang ada di dalam subsistem pemerintah dan subsistem produksi-konsumsi. Tujuannya adalah agar mampu membantu ke dua subsistem tersebut dalam mengambil keputusan dan pemecahan masalah baik dari segi inventarisasi, evaluasi sumberdaya dan pengembangan teknologi. Selanjutnya terjadinya proses transformasi tersebut mungkin untuk menciptakan adanya loncatan produktivitas dalam sektor pertambangan. Saat ini hampir dapat dikatakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan di Indonesia cenderung memperluas kapasitas produksi yang pada akhirnya akan mengalami penurunan atau cadangan tertambang akan habis.
2.6.5
Manajemen Dalam Proses Transfomasi Manajemen menangani berbagai sumberdaya dan output dari proses
transformasi. Sumberdaya meliputi kapital, tenaga kerja, bahan baku (sumberdaya alam), informasi, lingkungan, prasarana dan teknologi serta pasar. Termasuk manajemen terhadap ouput dari proses transformasi yaitu barang dan jasa yang dihasilkannya. Proses transformasi sumberdaya berguna menciptakan konvergensi ekonomi antardaerah atau wilayah. Hal ini dapat dijadikan bagian acuan dalam
38 proses manajemen pemanfaatan sumberdaya tambang agar sistem yang dibangun dapat memberikan dampak pada peningkatan fungsi produksi antara lain sumberdaya teknologi, sumberdaya lingkungan, sumberdaya infrusturktur, sumberdaya pasar, sumberdaya informasi, sumberdaya alam, sumberdaya kapital (investasi) dan sumberdaya manusia. Model ini tertuang pada (Gambar 13).
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 13. Kaitan Antara Fungsi Produksi dan Fungsi Manajemen Selanjutnya Gambar 14 menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya harus melalui proses atau mekanisme pengaturan dan tahapan. Agar terjadi suatu proses transformasi diperlukan suatu manajemen agar diperoleh hasil transformasi yang bermanfaat bagi pemenuhan kepentingan umum baik pada skala nasional, regional maupun masyarakat secara optimal. Hal ini membuktikan betapa pentingnya proses manajemen sumberdaya agar instrumen dalam manajemen tersebut dapat berjalan sesuai dengan perencanaan, tujuan, kerangka dasar informasi, indikator yang digunakan serta output yang diharapkan. Manajemen meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), pengawasan (controlling), dan penilaian (evaluating).
39 Pertanyaan paling utama bagi masyarakat yaitu apakah memiliki niat atau visi terhadap keterpaduan konsep pemanfaatan. Hal tersebut diperlukan untuk mencapai optimasi produksi efisiensi untuk mengarahkan tingkat pendapatan masyarakat agar mencapai surplus pasar dan bahkan surplus ekonomi. Adanya proses transformasi tersebut akan memunculkan balikan terhadap output dari input yang telah diproduksi dalam skala ekonomi tertentu.
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 14. Matrik Manajemen Kebijakan Versus Sumberdaya
Sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah daerah dalam bentuk persentase tertentu dari pemerintah pusat yang sumbernya berasal dari daerah yang bersangkutan. Bagi hasil sumberdaya alam di dalamnya termasuk penerimaan dari sektor minyak
40 bumi dan gas alam pertambangan umum, kehutanan dan perikanan disajikan pada Tabel 5 beriku ini. Meskipun Undang-Undang ini telah diterapkan dengan peraturan pemerintah yang baru namun filosofis dari masing-masing peraturan tentang bagi hasil ini relative hampir sama, karena item-item yang dibagi ke daerah tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pertautran pemerintah sebelumnya. Diharapkan nanti peraturan bagi hasil ini akan semakin diperbaiki sesuai dengan kebutuhan dan tantangan ekonomi daerah yang semakin meningkat. Tabel 5. Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
No
Penerimaan
Pusat
Provinsi
Kab/Kota penghasilan
Sumberdaya Alam Non-Migas (%) Kehutanan 1 : - PSDH 20 16 32 - IHPH 20 16 64 - Dana Reboisasi 60 0 40 Pertambangan 2 : - Land rent 20 16 64 - Royalti 20 16 32 Perikanan 3 20*) 0 0 II Sumberdaya Alam Migas (%) 1Penerimaan negara setelah dikurang komponen pajak 84,5 3 6 yang berasal dari minyak bumi. 2Penerimaan negara setelah dikurangi komponen pajak 69,5 6 12 yang berasal dari migas Sumber: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126
Kab/Kota lainnya
I
32 0 0 0 32 0
6
12
41 2.7.
Kewenangan Bidang Energi dan Sumberdaya Mineral di Era Otonomi Daerah Otonomi daerah bidang energi dan sumberdaya mineral bersumber dari
UUD 1945, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pemberian urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No-1451 K/30/MEM/2000 sampai dengan No.l454 K/30/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan dan Kewenangan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat digunakan sebagai piranti acuan awal dan dasar untuk penyelenggaran dan pelaksanaan otonomi daerah di bidang-bidang geologi dan sumberdaya mineral, pertambangan umum minyak dan gas bumi serta listik dan pengembangan energi. Otonomi daerah dalam bidang energi dan sumberdaya mineral kewenangan pemerintah pada kebijakan: meliputi norma, standar, kriteria pengaturan, persyaratan dan pedoman serta kewenangan kesempatan tingkat pelaksanaan terbatas yang bertujuan mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara, menjamin kualitas dan efisiensi pelayanan umum, supremasi hukum, dan menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan pemberdayaan dan kemakmuran rakyat. Skema tersebut telah mampu mensinergikan sebagian kepentingan daerah terutama dalam pemberian izin-izin pertambangan sehingga Pemerintah pusat tidak terlalu jauh lagi mengintervensi kewenangan daerah meskipun dalam konteks pembagian hasil relatif masih dikelolah oleh pemerintah pusat. Selain itu skema diformulasi bertujuan untuk mengurangi konflik kepentingan para pihak dan lebih memberikan ruang gerak buat pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber penerimaan keuangan melalui pemanfaatan sumberdaya tambang terutama berkaitan dengan peningkatan daya dukung kelembagaan yang bersifat normatif untuk mengatur hal-hal yang belum diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah.
42 2.8.
Peran Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral Pasca Otonomi Daerah Secara filosofi otonomi daerah merupakan salah satu faktor/instrumen
dalam pelaksanaan demokrasi suatu sistem desentralisasi. Kewenangan dapat diletakkan kepada daerah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi, penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sebagai penggerak mulai di daerah sektor ESDM pada dasarnya mempunyai peran ganda yaitu sebagai sektor produksi dituntut untuk mampu memberikan kontribusi PDRB dan pengembangan sumberdaya mineral secara regional guna mendukung pengembangan wilayah. Peran tersebut dapat menciptakan kesempatan kerja maupun menciptakan keterkaitan ekonomi berupa permintaan kebutuhan akhir. Beberapa kriteria penilaian aspek sosial ekonomi dalam optimalisasi pemanfaatan energi dan sumberdaya mineral untuk menunjang keseimbangan kemajuan ekonomi antardaerah yang satu dengan yang lain adalah sebagai berikut : a.
Mendukung peningkatan keterkaitan antarsektor dan keterkaitan ekonomi antardaerah.
b.
Mendukung pembangunan dan peningkatan pendapatan daerah (daerah terbelakang),
pendapatan
perkapita
kesempatan
kerja,
kemampuan
kewiraswastaan (produkivitas) dan memperkecil kesenjangan sosialekonomi antardaerah. c.
Menunjang usaha pelestarian fungsi lingkungan nonfisik seperti pendidikan dan kesehatan dalam rangka pengembangan masyarakat (community development) di daerah.
d.
Memenuhi penugasan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan misi strategis dalam rangka menunjang antara lain kestabilan politik.