II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Wilayah Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses
pembangunan
dapat
diartikan
sebagai
upaya
yang
sistematis
dan
berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upayaupaya pembangunan harus diarahkan pada “efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) (Anwar, 2005; Rustiadi et al., 2007) dalam memberikan panduan pada alokasi segala sumberdaya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human, man-made maupun social), baik pada tingkatan nasional, regional, maupun lokal. Dalam kerangka pembangunan Nasional di Indonesia, pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993, pembangunan daerah diarahkan untuk memacu
pemerataan
pembangunan
dan
hasil-hasilnya
dalam
rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggerakkan prakarsa dan peranserta masyarakat dalam pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Pemerataan dan keberimbangan dapat diwujudkan melalui pembangunan daerah yang mampu mengembangkan potensi-potensi pembangunan sesuai kapasitasnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Anonim, 2004). Menurut Pravitasari (2009), paradigma baru pembangunan menuntut adanya keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan, atau growth with equity. Strategi demikian juga merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan terhadulu, yang dikenal dengan istilah tricle down effect. Strategi tricle down effect mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pemerataan. Kenyataannya di
10
banyak negara termasuk Indonesia, teori ini gagal menciptakan kemakmuran untuk semua. Sebagaimana konsep temuan Kuznets (1945): kurva U-terbalik yang mengatakan bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, tumbuhnya perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan) 2.2
Indikator Pembangunan Wilayah Indikator
adalah
ukuran
kualitatif
dan/atau
kuantitatif
yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Rustiadi (2009) membagi tiga kelompok cara dalam menetapkan indikator pembangunan, yaitu: (1) indikator berbasis tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya , dan (3) indikator berbasis proses pembangunan (Gambar 2).
Gambar 2. Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah. Indikator berbasis tujuan pembangunan merupakan sekumpulan cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran
11
operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al., 2009). Deskripsi indikator-indikator pembangunan wilayah ke dalam kelompokkelompok indikator berdasarkan klasifikasi tujuan pembangunan, kapasitas sumberdaya pembangunan dan proses pembangunan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/ pendekatan pengelompokannya. Basis/ Pendekatan
Kelompok
Indikator-indikator Operasional a. Pendapatan wilayah (1) PDRB (2) PDRB per Kapita (3) Pertumbuhan PDRB b. Kelayakan Finansial/Ekonomi (1) NPV (2) BC Ratio
1. Produktivitas, Efisiensi dan Pertumbuhan (Growth)
(3) IRR (4) BEP c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif /Kompetitif (1) LQ (2) Shift and Share d.Produksi-produksi Utama (tingkat produksi, produktivitas, dll) (1) Migas
Tujuan Pembangunan
(2) Produksi Padi/Beras (3) Karet (4) Kelapa Sawit a. Distribusi Pendapatan (1) Gini Ratio (2) Struktural (vertikal) b. Ketenagakerjaan/Pengangguran 2. Pemerataan, Keberimbanga n dan Keadilan (Equity)
(1) Pengangguran Terbuka (2) Pengangguran Terselubung (3) Setengah Pengangguran c. Kemiskinan (1) Good-service Ratio (2) % Konsumsi Makanan (3) Garis Kemiskinan (Pendapatan setara beras, dll)
12
Tabel 2. (lanjutan) Basis/ Pendekatan
Kelompok
Indikator-indikator Operasional d. Regional Balance (1) Spatial Balance (primacy index, entropy, index Williamson) (2) Sentral Balance (3) Capital Balance
(4) Sector balance 3. Keberlanjutan (Sustainability)
a. Dimensi Lingkungan b. Dimensi Ekonomi c. Dimensi Sosial a. Knowledge (Education) b. Skill (Keterampilan) c. Competency
1. Sumberdaya Manusia
d. Etos Kerja/Sosial e. Pendapatan/Produktivitas f. Kesehatan g. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)
Sumberdaya 2. Sumberdaya Alam
a. Tekanan (Degradasi) b. Dampak c. Degradasi
3. Sumberdaya Buatan/ Sarana dan Prasarana
Proses Pembangunan
a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas terhadap fasilitas a. Regulasi/Aturan-aturan Adat/Budaya (norm)
4. Sumberdaya Sosial (Social Capital)
b. Organisasi Sosial (network)
1. Input
a. Input Dasar (SDA, SDM, Infrastruktur, SDS)
2. Proses/ Implementasi 3. Output
c. Rasa percaya (trust)
b. Input Antara c. Total Volume Produksi
4. Outcome 5. Benefit 6. Impact
Sumber: Rustiadi, et al. (2009) 2.3
Wilayah Perbatasan Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak
pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Kawasan perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan
13
langsung dengan negara tetangga dengan fungsi utama mempertahankan kedaulatan negara dan kesejahteraan masyarakat. Wilayah yang dimaksud adalah wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan atau Kecamatan yang bagian wilayahnya secara geografis bersinggungan langsung dengan garis batas negara (atau wilayah negara) dan/atau yang memiliki hubungan fungsional (keterkaitan). (Anonim, 2011). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Kawasan perbatasan adalah suatu kawasan yang merupakan bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan. Wilayah perbatasan menurut buku utama rencana induk pengelolaan perbatasan negara merupakan wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, dan batas-batas wilayahnya ditentukan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Wilayah perbatasan di Indonesia secara umum dicirikan antara lain oleh : (1) letak geografisnya berbatasan langsung dengan negara lain, bisa propinsi, kabupaten/kota maupun kecamatan yang memiliki bagian wilayahnya langsung bersinggungan dengan garis batas negara. (2) kawasan perbatasan umumnya masih relatif terpencil, miskin, kurangnya sarana dan prasarana dasar sosial dan ekonomi serta (3) kondisi pertumbuhan ekonomi wilayahnya relatif terlambat dibandingkan dengan wilayah lain di negara lain. Nurdjaman dan Raharjo (2005) menyatakan bahwa perbatasan negara adalah wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara lain, dan batas-batas wilayahnya ditentukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Bappenas (2005) menyatakan bahwa wilayah perbatasan adalah wilayah geografis yang berhadapan dengan negara tetangga, dimana penduduk yang bermukim di wilayah tersebut disatukan melalui hubungan sosio-budaya dengan cakupan wilayah administratif tertentu setelah ada kesepakatan negara yang berbatasan. Kawasan perbatasan Indonesia terdiri atas perbatasan kontinen yang berbatasan langsung dengan negara lain yakni: Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Republik Demokratik Timor
14
Leste (RDTL) serta perbatasan maritim yang berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, RDTL, dan PNG. Setiap kawasan perbatasan memiliki ciri khas masing-masing dan potensi yang berbeda antar satu kawasan dengan kawasan yang lainnya. Potensi yang dimiliki kawasan perbatasan yang bernilai ekonomis cukup besar adalah potensi sumberdaya alam (hutan, tambang dan mineral, serta perikanan dan kelautan) yang terbentang di sepanjang dan di sekitar kawasan perbatasan. Meskipun demikian, wilayah perbatasan selalu menjadi wilayah yang hampir luput dari perhatian pemerintah dalam proses pembangunan sehingga masyarakat wilayah perbatasan menjadi masyarakat yang termarginalkan. Menurut Nurdjaman dan Rahardjo (2005) secara umum kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan wilayah perbatasan menghadapi tantangan antara lain mencakup delapan aspek kehidupan sebagai berikut: (1) aspek geografis yang meliputi kebutuhan jalan penghubung, landasan pacu dan sarana komunikasi yang memadai untuk keperluan pembangunan wilayah perbatasan antar negara. (2) aspek demografis, yang meliputi pengisian dan pemerataan penduduk untuk keperluan sistem hankamrata termasuk kekuatan cadangannya melalui kegiatan transmigrasi dan pemukiman kembali penduduk setempat; (3) aspek sumberdaya alam (SDA), yang meliputi survei dan pemetaan sumberdaya alam guna menunjang pembangunan dan sebagai obyek yang perlu dilindungi pelestarian dan keamanannya; (4) aspek ideologi, yang meliputi pembinaan dan penghayatan ideologi yang mantap untuk mengenal ideologi asing yang masuk dari negara tetangga; (5) aspek politik, yang meliputi pemahaman sistem politik nasional, terselenggaranya aparat pemerintah yang berkualitas sebagai mitra aparat hankam dalam pembinaan teritorial setempat; (6) aspek ekonomi, yang meliputi pembangunan wilayah kesatuan ekonomi yang dapat berfungsi sebagai penyangga wilayah; (7) aspek sosial budaya, yang meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang memadai untuk mengurangi kerawanan di bidang keamanan, serta nilai budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing; (8) aspek hankam, yang meliputi pembangunan pos-pos perbatasan, pembentukan aspek pengamanan sabuk pengaman (security
15
belt), dan pembentukan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai serta perangkat komando dan pengendalian yang mencukupi. 2.4
Disparitas Menurut Chaniago et al. (2000) disparitas atau kesenjangan dapat diartikan
sebagai suatu kondisi yang tidak seimbang atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan.
Kesenjangan
pembangunan
adalah
suatu
kondisi
ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, sanitasi dan lain-lain). Kesenjangan pembangunan yang terjadi dapat menyebabkan munculnya berbagai permasalahan, baik masalah sosial, politik, ekonomi maupun masalah lingkungan. Penelitian mengenai disparitras telah banyak dilakukan diantaranya oleh Giannetti, Mariassunta . 2002. Menyatakan bahwa daerah-daerah khusus dengan sektor canggih pada awal periode sampel memiliki pendapatan perkapita yang lebih serupa, sementara daerah-daerah khusus dengan sektor-sektor tradisional tertinggal. Qing, Yu dan Kaiyuen, TSUI. 2005. Hasil empiris menunjukkan bahwa di antara semua faktor signifikan secara statistik, PDB per kapita dan dikotomi desa-kota adalah dua variabel yang paling penting yang mempengaruhi kesenjangan fiskal, dengan kontribusi total 60%. Faktor-faktor yang relatif penting lainnya adalah struktur ekonomi dan kepadatan penduduk. Epifani, Paolo. dan Gancia, Gino A. 2005. Menyatakan secara khusus, migrasi dari pinggiran ke inti dapat mengurangi kesenjangan pengangguran di jangka pendek, tetapi memperburuk mereka dalam jangka panjang. Chen, Anping dan Groenewold, Nicolaas. 2010 menganalisis efektivitas dari berbagai kebijakan oleh kedua pemerintah daerah dan pusat dalam mengatasi disparitas, dan menemukan bahwa kebijakan mengurangi biaya migrasi internal yang efektif dalam mengurangi kesenjangan output per kapita tapi tidak begitu dengan biaya besar ke pantai. Kebijakan yang meningkatkan produktivitas pertanian di wilayah pedalaman yang paling mungkin untuk kedua mengurangi kesenjangan dan membuat kedua daerah yang lebih kaya. Fan, Shenggen et al. 2011. dengan
16
mempertimbangkan tiga unsur strategi dalam mengatatasi kesenjangan jangka panjang: infrastruktur, investasi sosial dan perlindungan, dan reformasi tata pemerintahan. Goletsis, Y. dan Chletsos, M. 2011. Mengidentifikasi kesenjangan regional dan pola pertumbuhan daerah merupakan faktor penting yang mempengaruhi perumusan kebijakan. Indikator tunggal, biasanya PDB berbasis, pendekatan telah mengungkapkan kekurangan yang signifikan. Dihampir semua negara berkembang, pada kawasan pedesaan memiliki tingkat kesehatan, sanitasi, perumahan dan penyediaan air minum yang berada pada tingkat yang sangat rendah (Gilbert, 1974). Hal ini sejalan dengan hipotesis yang dikembangkan oleh Kuznets (1954) bahwa pada awalnya disparitas akan meningkat dan selanjutanya akan menurun sejalan dengan proses pembangunan, namun tidak mungkin sama dengan nol. Disparitas dalam suatu pembangunan adalah hal yang tidak mungkin dihapuskan sama sekali, namun tetap harus dikurangi. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antar kelompok maupun antar daerah dapat selalu terjadi. Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau meningkat sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan. Lebih lanjut, apakah kesenjangan tersebut menyebabkan hal-hal yang tidak bisa di tolerir lagi. Kesenjangan yang terus terjadi merupakan awal dari timbulnya konflik finansial, ekonomi, sosial politik yang berakhir pada terjadinya krisis multi dimensi (Anwar 2005). Untuk mengatasi terjadi krisis multi dimensi yang diakibatkan oleh kesenjangan pembangunan, Todaro dan Smith (2003) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan kesenjangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Penelitian mengenai kesenjangan atau disparitas pembangunan sudah banyak dilakukan sebelumnya dengan berbagai metode. Fujita dan Hu (2001), identifikasi disparitas pembangunan antar wilayah dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode Indeks Williamson untuk melihat disparitas antar wilayah secara keseluruhan dan Indeks Theil untuk menguraikan disparitas wilayah
17
kedalam disparitas antar wilayah pengembangan dan antar wilayah didalam wilayah pengembangan. 2.5
Faktor Penyebab Disparitas Pembangunan Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas
antar wilayah. Faktor-faktor ini terkait dengan variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah. Menurut Murty (2000), faktor-faktor utama tersebut adalah sebagai berikut: 1) Faktor Geografi Pada suatu wilayah atau daerah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah akan berkembang lebih baik. 2) Faktor Sejarah Tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. 3) Faktor Politik Instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbagai bidang terutama ekonomi. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan keraguan dalam berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang, bahkan mungkin saja terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. 4) Faktor Kebijakan Disparitas antar wilayah juga bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekankan
pada
pertumbuhan
ekonomi
dan
membangun
pusat-pusat
pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar
18
daerah (Rustiadi dan Pribadi 2006). Menurut Nurzaman (2002), diduga sejak tahun1980-an, yaitu sejak diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri, kesenjangan wilayah di Indonesia makin membesar, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi, maupun antar wilayah. 5) Faktor Administratif Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena perbedaan kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien. 6) Faktor Sosial Masyarakat yang tertinggal pada umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Mereka masih percaya pada kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya, masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah. 7) Faktor Ekonomi Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah adalah sebagai berikut: a) Faktor ekonomi yang terkait dengan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; b) Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu contohnya adalah lingkaran setan kemiskinan, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya, diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan taraf hidup masyarakat; c) Faktor ekonomi yang terkait dengan kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. Kekuatan pasar
19
bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju; d) Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya. Menurut Tambunan (2003) faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas ekonomi wilayah di Indonesia adalah: 1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang meyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat, sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. 2) Alokasi Investasi Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. 3) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/gaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar provinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antar provinsi dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar provinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar provinsi, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas,
20
mempengaruhi mobilitas atau (re)alokasi faktor produksi antar provinsi. Jika perpindahan faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan, maka pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik. 4) Perbedaan Sumberdaya Alam Antar Provinsi Pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin sumberdaya alam. 5) Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis antar provinsi, terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi. 6) Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga merupakan unsur yang turut menciptakan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antar provinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, material-material lainnya untuk produksi dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi. Hampir sama dengan apa yang dikemukakan di atas, menurut Anwar (2005) beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah adalah: (1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); (2) perbedaan demografi; (3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); (4) perbedaan potensi lokasi; (5) perbedaan dari aspek
21
aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan (6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: (1) Wilayah maju; (2) Wilayah sedang berkembang; (3) Wilayah belum berkembang; dan (4) Wilayah tidak berkembang. Menurut Gama (2007) dibukanya lapangan kerja yang padat dan tetap mempertimbangkan pemerataan fisik dan prasarana pendidikan disetiap wilayah merupakan upaya yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan antar wilayah. 2.6
Urgensi Pembangunan Antar-Wilayah Secara Berimbang Meskipun disparitas antar wilayah merupakan suatu hal wajar yang bisa
ditemui, baik di negara maju maupun berkembang, namun seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Kemiskinan di suatu tempat akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan di semua tempat sedangkan kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan ke semua tempat. Menurut Rustiadi et al. (2009) setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk mengurangi disparitas antar wilayah karena beberapa alasan, yaitu: (1) untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap; (2) untuk mengembangkan ekonomi secara cepat; (3) untuk mengoptimalkan dan mengkonservasi sumberdaya; (4) untuk meningkatkan lapangan kerja; (5) untuk mengurangi beban sektor pertanian; (6) untuk mendorong desentralisasi; (7) untuk menghindari konflik internal dan instabilitas politik distegratif, dan; (8) untuk meningkatkan ketahanan nasional. Untuk
itu
dibutuhkan
pemecahan
melalui
kebijakan
terhadap
permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang. Keberimbangan antar wilayah menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah, dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh.
22
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 dalam salah satu bagiannya mengamanatkan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Salah satu program yang disebutkan pada bagian ini adalah pengembangan wilayah perbatasan yang ditujukan untuk: (1) menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui penetapan hak kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijamin oleh hukum internasional; (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Program pengembangan wilayah perbatasan selanjutnya dijabarkan dalam 6 kegiatan pokok yang tujuan utamanya meningkatkan kedaulatan wilayah NKRI dan kedaulatan ekonomi daerah perbatasan. Percepatan pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis, yang antara lain meliputi ; a)
Mempunyai potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis, dan hankam, serta pengembangan ruang wilayah di sekitarnya,
b)
Mempunyai dampak penting baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya,
c)
Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya,
d)
Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional,
e)
Mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional. Selama ini pendekatan perencanaan pengembangan kawasan perbatasan
lebih banyak ditekankan pada pendekatan keamanan (security approach). Namun seiring dengan perkembangan kajian-kajian tentang kawasan perbatasan bahwa, kawasan perbatasan darat dan laut antarnegara merupakan kawasan yang masih
23
rentan terhadap infiltrasi ideologi, politik, ekonomi, maupun sosial budaya dari negara lain. Di sisi lain, kawasan perbatasan antarnegara masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan
yang
sangat
mendasar
seperti
rendahnya
kesejahteraan masyarakat, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, serta minimnya infrastruktur di sektor perhubungan dan sarana kebutuhan dasar masyarakat. Ketertinggalan pembangunan kawasan perbatasan baik darat maupun laut dengan negara tetangga secara sosial maupun ekonomi dikhawatirkan dapat berkembang menjadi kerawanan yang bersifat politis untuk jangka panjang. Menurut Bappenas (2003), sebagaimana pelaksanaan pembangunan pada wilayah-wilayah lain relatif masih tertinggal, pembangunan wilayah perbatasan menganut pendekatan, antara lain: 1. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic need approach), yaitu kecukupan konsumsi pangan, sandang dan perumahan yang layak huni. 2. Pemenuhan akses standar terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur mobilitas warga. 3. Peningkatan partisipasi dan akuntabilitas publik dalam setiap perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program pembangunan untuk kepentingan masyarakat sendiri. Selain tiga pendekatan yang secara umum diterapkan dalam setiap program pembangunan, hal lain yang perlu memperoleh perhatian adalah konteks sosial budaya, adat istiadat, kondisi geografis dan keunikan komunitas dan kewilayahan yang dimiliki oleh wilayah perbatasan. Lebih khusus lagi, pengembangan kawasan perbatasan ini akan ditekankan pada tiga aspek utama sebagaimana ciri-ciri kawasan perbatasan, yaitu: 1. Aspek Demarkasi dan Delimitasi Garis Batas, yaitu Penetapan batas wilayah negara (demarkasi dan delimitasi) dilakukan untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah negara 2. Aspek Politik, Hukum dan Keamanan. Tingginya potensi kerawanan di perbatasan menyebabkan perlunya perhatian khusus terhadap wilayah ini dalam hal peningkatan kesadaran politik, penegakan hukum, serta peningkatan upaya keamanan. 3.
Aspek Kesejahteraan, Sarana dan Prasarana
24
Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga, terutama wilayah yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Hal ini menyebabkan kesenjangan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Permasalahan di perbatasan yang terkait dengan kesenjangan pembangunan antara lain: a. Rendahnya aksesibilitas yang menghubungkan wilayah perbatasan yang tertinggal dan terisolir dengan pusat-pusat pemerintahan dan pelayanan atau wilayah lainnya yang relatif lebih maju; b. Terbatasnya sarana dan prasarana baik pemerintahan, perhubungan, pendidikan, kesehatan, perekonomian, komunikasi, air bersih dan irigasi, ketenagalistrikan serta pertahanan keamanan; c. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar karena karakteristik geografis masing-masing baik di wilayah kepulauan maupun pegunungan; d. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia; e. Belum optimalnya pembangunan di wilayah perbatasan oleh pemerintah baik Pusat maupun Daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan secara langsung. Disahkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara memberikan secercah harapan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan. Selama ini pembangunan daerah perbatasan berjalan parsial dan tidak terkoordinasi mengingat tidak ada payung hukum yang jelas tentang pembagian kewenangan sehingga baik pemerintah pusat maupun daerah (propinsi maupun kabupaten) tidak dapat menjalankan program pembangunannya dengan optimal. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara secara tegas membagi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten dalam pelaksanaan pembangunan daerah perbatasan.