TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2005a) wilayah
didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas
spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentu-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget et al. 1977 dalam Rustiadi et al. 2005a) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1, yaitu: 1. Wilayah homogen (uniform/ homogenous region); 2. Wilayah nodal (nodal region); 3. Wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, berdasarkan fase kemajuan perekonomian, Glasson (1977) mengklasifikasikan region/wilayah menjadi : 1. Fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/ homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2. Fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan.
3. Fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Nodal (pusat-hinterland )
Homogen Sistem Sederhana
Desa - Kota
Budidaya - Lindung Wilayah
Sistem/
Sistem ekonomi: Agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Fungsional
Sistem ekologi: DAS, hutan, pesisir
Sistem Komplek
Sistem Sosial - Politik: cagar budaya, wilayah etnik
Umumnya disusun/ dikembangkan berdasarkan: Perencanaan/ Pengelolaan
• •
Konsep homogen/fungsional: KSP, KATING, dan sebagainya Administrasi-politik: propinsi, Kabupaten, Kota
Gambar 1 Kerangka klasifikasi konsep wilayah (Sumber : Rustiadi et al. 2005a) Menurut Rustiadi et al. (2005a) wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut homogen, sedangkan faktor- faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artifisial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang
bersifat
artificial
adalah
homogenitas
yang
didasarkan
pada
pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh
wilayah homogen artificial adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan (peta kemiskinan). Sedangkan wilayah fungsional menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya, yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatua n. Berdasarkan struktur komponen-komponen yang membentuknya, wilayah fungsional dapat dibagi menjadi : 1. Wilayah sistem sederhana (dikotomis) yang bertumpu pada konsep ketergantungan atau keterkaitan antara dua bagian atau komponen wilayah. 2. Wilayah sistem kompleks (non dikotomis) yang mendeskripsikan wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagian di dalamnya bersifat kompleks. Konsep wilayah nodal, kawasan perkotaan- perdesaan dan kawasan budidaya - non budidaya adalah contoh wilayah sederhana. Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan/permukinan, sedangkan plasma adalah daerah belakang (peripheri/ hinterland), yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional. Pusat wilayah berfungsi sebagai : 1) tempat terkonsentrasinya penduduk, 2) pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri, 3) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland, 4) lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan wilayah hinterland berfungsi sebagai : 1) pemasok/ produsen bahan-bahan mentah dan atau bahan baku, 2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi, 3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur, 4) penjaga fungsi- fungsi keseimbangan ekologis. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pengembangan Wilayah Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah
bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development). Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Fancois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut Rondinelli (1985) dan Unwin (1989) dalam Adell (1999) bahwa teori pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota. Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke pedesaan. Menurut Stohr (1981) dalam Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan mengacu pada pandangan ekonomi neo-klasik. Pembangunan dapat dimulai hanya dalam beberapa sektor yang dinamis, mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim dengan urbanisasi (pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor industri). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (kesetimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan
hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar. Namun demikian kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Selain itu respon pertumbuhan di pusat tidak cukup menjangkau wilayah hinterland karena hanya untuk melengkapi kepentingan hirarki kota (Mercado, 2002).
Kesenjangan Wilayah dan Interregional Linkage Kawasan perdesaan dan perkotaan dibedakan berdasarkan kepadatan penduduk dan aktivitas ekonominya. Kawasan perdesaan mempunyai kepadatan penduduk yang rendah dengan aktivitas ekonomi yang dominan adalah pertanian. Sedangkan kawasan perkotaan mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi dengan aktivitas ekonomi pada sektor jasa. Selain itu fungsi administratif dan pembangunan infrastruktur juga menjadi pembeda antara kawasan perdesaan dan perkotaan (UNDP, 2000). Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusatpusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayahwilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan /massive backwash effect (Anwar 2001 dalam Pribadi 2005). Isard dan Schooler (1959) dalam Mercado (2002) mendemonstrasikan analisis industrial yang komplek mengenai hubungan antara pusat
pertumbuhan dengan lokasi industri,
menunjukkan bahwa investasi di pusat pertumbuhan memberikan optimum skala ekonomi dan minimal biaya transportasi input serta outputnya, sehingga menimbulkan aglomerasi lokasi industri di pusat pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut Friedman (1976) menyebutkan bahwa antara pusat dengan hinterlandnya mempunyai hubungan yang yang minimal sehingga apabila
pembangunan berjalan maka
biasanya hanya terjadi pada satu sisi dimana
hinterland selalu terbelakang, terekspolitasi dan tidak dapat berkembang karena hinterland hanya penunjang perkembangan pusat. Selain itu salah satu implikasi dari penerapan pembangunan dengan pusat pertumbuhan
akan
me nimbulkan dikotomi pembangunan perkotaan dan
perdesaan. Menurut Douglas (1998) dalam Adel (1999), menyatakan bahwa salah satu konsekensi dari konsep dikotomi pembangunan kawasan perdesaanperkotaan adalah terdapatnya pembagian dalam perencanaan, di satu sisi terdapat kebijakan yang urban bias
dimana perencana di perkotaan berpegang pada
pertimbangan bahwa pembangunan di perkotaan merupakan kunci untuk tercapainya intergrasi wilayah. Sedangkan pada sisi lain terdapat kebijakan rural bias dimana perencana pembangunan perdesaan cenderung memandang perkotaan sebagai parasit terhadap kepentingan perdesaan. Hal tersebut menimbulkan kesenjangan wilayah, dalam konteks Indonesia, dapat dilihat antara lain kesenjangan antara Jawa dengan luar Jawa dan antara Kawasan Indonesia bagian Barat dengan Kawasan Indonesia bagian Timur dan antara kawasan perkotaan dengan perdesaan.. Disparitas wilayah dan sektoral karena
terjadinya pengurasan sumberdaya wilayah perdesaan ke wilayah
perkotaan serta sektor industri di perkotaan yang tidak berbasis pada sektor primer, yaitu pertanian, sementara sektor pertanian di perdesaan bersifat enclave terhadap sektor industri.
Disparitas ini dapat dilihat terutama terjadinya
perbedaan tingkat kesejahteraan yang cukup besar antara kota denga n desa. Proses migrasi penduduk dari desa ke kota, ternyata lebih banyak diakibatkan oleh daya dorong (push force) perdesaan dibandingkan dengan daya tarik (pull force) perkotaan. Hal ini terjadi karena menyempitnya kepemilikan lahan pertanian, terkonversi maupun yang berpindah hak kepemilikannya karena maraknya aktivitas investasi dan spekulasi atas lahan di perdesaan. Menurut Anwar (2001) dalam Pribadi (2005) selama ini pertumbuhan angkatan kerja perdesaan yang terus meningkat ternyata tidak diikuti oleh meningkatnya ketersediaan lahan. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003, terdapat peningkatan petani gurem di Pulau Jawa dari 52,7% pada tahun 1993 menjadi 56,5% pada tahun 2003. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah tenaga kerja yang tidak berlahan
(landless laborer) sehingga pada akhirnya terjadi migrasi besar-besaran dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan. Namun demikian angkatan kerja sektor pertanian tidak diimbangi oleh kualitas sumber daya sehingga tenaga kerja migran perdesaan ini hanya sedikit saja yang dapat memperoleh kesempatan kerja di sektor industri modern. Pembangunan sektor modern di perkotaan maupun di dalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier tenaga kerja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas penduduk di wilayah perdesaan. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) bahwa akibat kemiskinan dan ketertinggalan maka penduduk perdesaan secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan meskipun tidak ada jaminan akan mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini pada akhirnya memperlemah kondisi wilayah perkotaan yang sudah terlalu padat sehingga menimbulkan kongesti, pencemaran hebat, pemukiman kumuh, sanitasi buruk, menurunnya kesehatan dan pada gilirannya akan menurunkan produktifitas masyarakat kawasan perkotaan. Menyadari terjadinya kesenjangan wilayah tersebut maka diperlukan reorientasi strategi pembangunan, menjadi strategi keberimbangan. Rustiadi dan Hadi (2006) menyatakan bahwa wilayah bukan merupakan wilayah tunggal dan tertutup, tetapi merupakan suatu kesatuan wilayah yang berinteraksi antara satu wilayah dengan wilayah lain. Pembangunan wilayah yang ideal adalah terjadinya interaksi antar wilayah yang sinergis dan saling memperkuat, sehingga nilai tambah yang diperoleh dengan adanya interaksi tersebut dapat terbagi secara adil dan proporsional sesuai dengan peran dan potensi sumberdaya yang dimiliki masing- masing wilayah. Sedangkan menurut Murty (2000) dalam Pribadi (2006) pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapasitas dan kebutuhannya. Sehingga yang terpenting adalah pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai kapasitasnya. Menurut Tacoli (1998) bahwa konsep pembangunan dalam beberapa dekade terakhir ditujukan pada peubahan hubungan antara sektor pertanian dengan industri. Kebijakan pertumbuhan ekonomi mengikuti satu atau dua pendekatan, yaitu pertama investasi di sektor pertanian berpengaruh pada penyediaan kebutuhan sektor industri dan perkotaan, sedangkan pendekatan kedua
berpendapat bahwa pertumbuhan industri dan perkotaan memerlukan sektor pertanian yang lebih modern. Konsep integrasi fungsional-spasial menurut Rondinelli (1985) dalam Rustiadi dan Hadi (2006) adalah adalah pendekatan dengan mengembangkan sistem pusat-pusat pertumbuhan dengan berbagai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu. Stimulan dari pengembangan regional dimulai dari pendekatan pertanian dibandingkan dengan pengembangan industri. Kawasan perdesaan harus didorong menjadi kawasan yang tidak hanya menghasilkan bahan primer melainkan juga mampu menghasilkan bahan olahan atau industri hasil pertanian. Proses interaksi antara kawasan perdesaan dan perkotaan harus dalam konteks pembangunan interregional berimbang, dimana terjadi proses pembagian nilai tambah yang seimbang dan proporsional. Pembangunan yang berimbang secara spasial menjadi penting karena dalam skala makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan.
Pengembangan Kawasan Agropolitan Menurut Rustiadi dan Hadi (2006)
beberapa strategi pembangunan
perdesaan yang perlu dikembangkan adalah : 1) mendorong kearah terjadinya desentralisasi pembangun-an dan kewenangan, 2) menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dan perkotaan, 3) menekankan pada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan. Salah satu strateginya adalah pembangunan kawasan agropolitan.
Friedman dan Douglass (1975) dalam
Rustiadi dan Hadi (2006) menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang. Agropolitan adalah pendekatan pembangunan kawasan perdesaan yang menekankan pembangunan perkotaan pada tingkat lokal di perdesaan. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) pembangunan agropolitan adalah suatu model pembangunan yang yang mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan sehingga mendorong urbanisasi (pengkotaan dalam arti positif) serta bisa menaggulangi dampak negatif
pembangunan (migrasi desa-kota yang tidak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya, pemiskinan desa dan lain- lain). Pengembangan agropolitan adalah suatu pendekatan kawasan pembangunan kawasan perdesaan melalui upaya- upaya penataan ruang perdesaan dan menumbuhkan pusat-pusat pelayanan fasilitas perkotaan (urban function centre) yang dapat berupa atau mengarah pada terbentuknya kota-kota kecil berbasis pertanian (agropolis) sebagai bagian dari sistem perkotaan dengan maksud meningkatkan pendapatan kawasan perdesaan (regional income), menghindari kebocoran pendapatan kawasan perdesaan (regional leakages), menciptakan pembangunan yang berimbang (regional balanced) dan keterkaitan desa-kota (rural urban linkages) yang sinergis dan pembangunan daerah. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Pengembangan kawasan agropolitan menekankan pada hubungan antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan secara berjenjang. Menurut
Elestianto
(2005)
konsep
agropolitan
ditujukan
untuk
memperbaiki kesalahan paradigma pembangunan dengan pusat pertumbuhan dalam meningkatkan pembangunan perdesaan, dimana kritik diarahkan bahwa kesalaha n dalam pembangunan perkotaan mengakibatkan terjadinya dampak pengurasan sumberdaya di wilayah perdesaan, termasuk sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, yang diekspolitasi dan diabsorbsi ke kawasan perkotaan tanpa memberi nilai tambah yang cukup bagi kawasan perdesaan. Agropolitan merupakan pelaksanaan dari pembangunan pusat pertumbuhan, tetapi dalam pespektif yang berbeda. Apabila dalam paradigma pusat pertumbuhan, pembangunan infrastruktur dikonsentrasikan di kawasan perkotaan untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi yang selanjutnya akan terjadi dampak
penetesan ke kawasan perdesaan sebagai akibat dari pembangunan di pusat pertumbuhan, maka dalam konsep agropolitan diarahkan pada pembangunan infrastuktur di kawasan perdesaan dengan tujuan pembangunan fasilitas sekunder industri di kawasan perdesaan. Dengan demikian pusat kawasan agropolitan
diharapkan mampu lebih memberikan dampak positif dan dampak ganda terhadap hinterlandnya. Dalam konsep agropolitan diperkenal kawasan agropolitan, yaitu suatu daerah perdesaan dengan radius pelayanan 5-10 km dengan jumlah penduduk 50150 ribu jiwa serta kepadatan minimal 200 jiwa/km2 . Jasa dan pelayanan yang disediakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setempat. Peran pusat agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian disekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberi kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan dan lainnya), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi) serta sarana pemasaran (pasar, terminal, sarana transportasi dan lainnya). Dengan demikian biaya produksi dan biaya pemasaran dapat diperkecil dengan meningkatnya faktor- faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor- faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan di pusat agropolitan (Harun 2006). Dalam perkembangannya, Friedmann (1996) melakukan modifikasi konsep agropolitan, terutama untuk kawasan perdesaan berkepadatannya tinggi untuk menghasilkan lanskap pengembangan agropolitan yang bermacam- macam, yaitu : 1. Kawasan perdesaan atau pinggiran kota dengan populasi penduduk 10.00015.000 jiwa yang tersebar dalam area 10-15 km2 ; 2. Masing- masing kawasan mempunyai pusat pelayanan yang mudah dijangkau dengan jalan kaki atau bersepeda dari bagian kawasan dalam jangka waktu kurang dari 20 menit; 3. Masing- masing pusat kawasan mempunyai fasilitas dan pelayanan publik, termasuk pasar, sekolah, keseha tan, olahraga, pelayanan pemerintahan, kantor pos dan telekomunikasi, pos polisi, terminal transportasi dll; 4. Masing- masing pusat kawasan terhubung dengan pusat kawasan lain dalam jaringan jalan baik untuk pejalan kaki, sepeda, sepeda motor, bis dan truk; 5. Industri manufaktur kecil yang didistribusikan pada kawasan dan sepanjang jaringan jalan;
6. Tujuan pengembangan agropolitan diciptakan dengan menyesuaikan pada paradigma regional, keseimbangan ekonomi kawasan yang diperoleh sepertiga dari pendapatan pertanian dan aktivitas yang berhubungan dengan pertanian, seperempat dari industri, setengah dari perdagangan dan jasa serta sepertujuh dari pemerintah. Menurut Harun (2004) mengintegrasikan kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan ke dalam distrik agropolitan bertujuan untuk menghindari tumbuhnya kota-kota diluar kendali sistem pengembangan wilayah agropolitan. Upaya ini selain menghindari adanya kesenjangan antara pemukiman yang ada dengan pengembangan kota-kota
tani,
mengintegrasikan
penduduk
lokal
dalam
pengembangan wilayah agropolitan sekaligus meningkatkan upaya meningkatkan fungsi desa dan kota yang ada menjadi kota-kota tani. Menurut Ro ndinelli (1985) dalam Rustiadi dan Hadi (2006), pengembangan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil- hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil- menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi- lokasi permukiman di perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang menghubungkan lokasi- lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah perdesaan dengan pusat kota. Perhatian perlu diberikan terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Perhatian juga perlu diberikan untuk memberikan kesempatan kerja di luar sektor produksi pertanian (off-farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan di kota-kota kecil- menengah di wilayah perdesaan yang bertujuan untuk mencegah orang melakukan migrasi keluar wilayah.
Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Menurut Thoha (1986) dalam Endaryanto (1999) persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh seseorang di dalam memahami informasi mengenai lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi merupakan proses internal dimana seseorang menyeleksi, mengevaluasi dan mengorganisasikan stimuli dari lingkungan. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar tentang situasi. Menurut
Littlejohn (1987) dalam Endaryanto (1999) persepsi
seseorang terhadap suatu obyek bisa tepat dan bisa keliru. Faktor yang terpenting untuk mengatasi kekeliruan persepsi adalah kemampuan untuk mendapatkan pengertian yang tepat mengenai obyek persepsi tersebut. Pembentukan persepsi pada diri seseorang berlangsung melalui tiga mekanisme, yaitu selektifitas, pemaknaan dan interpretasi. Pada mulanya seseorang akan menanggapi secara selektif terhadap setiap rangsangan yang ada. Setelah rangsangan itu diseleksi dan disusun sedemikian rupa, kemudian proses pemberian makna berlangsung dan akhirnya terbentuklah interpretasi secara menyeluruh terhadap rangsangan tersebut (Asngari 1984 dalam Endaryanto 1999). Menurut Gibson dan Ivancevich (1997) dalam Yulida (2002) persepsi sebagai suatu bagian dari sikap, terdapat tiga komponen yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap suatu obyek yaitu, komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berisis ide, anggapan, pengetahuan dan pengetahuan seseorang terhadap obyek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki seseorang akan menghasilkan keyakinan (belief) evaluatif
terhadap obyek tertentu.
Komponen afektif menekankan pada perasaan atau emosi, dengan demikian merupakan evaluasi emosional dalam menilai obyek tertentu. Sedangkan komponen konatif
menekankan pada kecenderungan (tendency) dan perilaku
aktual seseorang untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang dipersepsikan. Partisipasi menurut Davis (1987) dalam Harahap (2001) adalah keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atas bantuan terhadap
kelompok tersebut dalam mencapai tujuan bersama dan turut bertanggungjawab terhadap usaha tersebut. Sedangkan menurut Cohen dan Uphoff (1977) dalam Harahap (2001) partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan
program
dan
pengambilan
keputusan
untuk
berkontribusi
sumberdaya atau berkerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan. Tingkat partisipasi masyarakat menurut Darmawan (2003) dalam Pribadi (2005), didasarkan pada beberapa indikator, yaitu sebagai berikut: 1. Derajat kedalaman keterlibatan individu dalam pengelolaan suatu program pembangunan. Hal ini diindikasikan oleh seberapa besar sumbangan fisik, sumbangan psikologis- mental, ataukah sumbangan energi-keuangan yang diberikan
oleh
individu- individu
dalam
pengelolaan
suatu
program
pembangunan. 2. Derajat keberagaman pihak yang terlibat dalam pengelolaan program. Hal ini diindikasikan oleh keberagaman gender, kelas sosial, ras/etnis, agama, ideolo gi di kalangan individu- individu yang terlibat dalam proses pengelolaan program pembangunan. 3. Proses dialog atau proses komunikasi dalam pengelolaan program. Hal ini ditandai oleh proses pertukaran dan akomodasi gagasan. 4. Kerjasama institusional, yaitu kolaborasi antar pihak di ruang-ruang kekuasaan yang berbeda dalam pengelolaan suatu program. Menurut Koentjaraningrat (1980) dalam Pujo (2003), terdapat dua hal yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut mempunyai kekuatan sendiri yang saling mengisi. Faktor internal merupakan partisipasi yang muncul dari dalam diri manusia sendiri, yang dapat berupa antara lain kepribadian, sikap, umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan, tingkat pendapatan, kesesuaian program dengan kebutuhannya. Sedangkan faktor eksternal merupakan partisipasi karena dorongan, pengaruh, rangsangan bahkan tekanan dari luar, yang dapat berupa antara lain hubungan, pelayanan dan komunikasi dengan pengelola program, kegiatan sosialisasi dan penyuluhan, kondisi lingkungan dan sosial budaya.