2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Wilayah Pesisir Tangerang Kabupaten Tangerang memiliki 5 kecamatan pesisir dari 12 Kecamatan. Kelima kecamatan tersebut memiliki panjang pantai yang mencapai 38,6 km (www: Tangerang, go.id, 2004) dengan luas mencapai 29 % dari luas Kabupaten Tangerang secara keseluruhan. Kelima kecamatan tersebut adalah Kecamatan Kronjo (67,19 km2), Mauk (137,60 km2), Teluk Naga (39,51 km2), Pakuhaji (81,65 km2), dan Kosambi (30,81 km2). Aktifitas di wilayah pesisir Tangerang tergolong beragam dan komplek. Beberapa bentuk aktivitas masyarakat yang masih berlangsung sampai saat ini adalah kegiatan penangkapan ikan, budidaya kerang (Perna viridis), dan wisata pantai.
Selain itu kawasan pesisir Tangerang juga menjadi pemukiman
masyarakat. Wilayah pesisir Kabupaten Tangerang membentang dari pantai Teluk Naga hingga Sungai Cidurian yang berbatasan dengan Kabupaten Serang. Setidaknya bermuara 5 sungai yaitu sungai Mookervart, sungai Sabi, sungai Cirarab, dan sungai Cisadane. Aktifitas di sepanjang sungai ini juga tergolong padat. Kawasan pesisir Kabupaten Tangerang termasuk daerah dataran rendah. Kemiringan tanah wilayah pesisir Kabupaten Tangerang seluruhnya termasuk dalam klasifikasi kemiringan 0 - 3%. Secara geomorfologi wilayah pantai di Kabupaten ini dapat dipisahkan menjadi beberapa satuan morfologi yaitu satuan dataran pantai, yang dibentuk oleh pasir halus-kasar dan lempung, dibeberapa tempat dijumpai endapan pematang pantai yang disusun oleh endapan pasir dan dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai kawasan hunian. Sedangkan satuan rawa bakau dibentuk oleh lempung, lempung organik, lanau, kelulusan air kecil, banyak dijumpai hutan-hutan bakau dan di beberapa tempat tadi dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan tambak. Berdasarkan keadaan geologis, menurut jenis batuannya, Kabupaten Tangerang (termasuk Kotamadya Tangerang) terdiri atas wilayah-wilayah dengan jenis batuan :
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Alluvium seluas 60.694 hektar (49,51%)
Pleistocen vulcanic facies seluas 44.441 hektar (33,81%)
Pliocen sedimentary seluas 16.337 hektar (13,33%), dan
Niocens sedimentary seluas 4.108 hektar (3,35%)
Kabupaten Tangerang mempunyai temperatur rata-rata 27,46oC dengan penyinaran matahari 53,53% dan kelembaban nisbi 84,05%. Sedangkan curah hujan rata-rata adalah 195,21 mm/bulan dengan banyak hari hujan 13 hari tiap bulannya.
Untuk wilayah pesisir, curah hujan berkisar antara 500 - 1.500
mm/tahun. 2.1.1. Perikanan Tangkap Pesisir Tangerang termasuk daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional. Lokasi yang menjadi daerah penangkapan berjarak di atas 4 mil ke utara atau di perairan Pulau Seribu. Jenis ikan hasil tangkapan umumnya ikan pelagis kecil seperti kembung (Rastrelliger sp), tetengkek (Eleutrema tetradactylus), petek (Gazza minuta), ekor kuning (Caesio sp), dan ikan tembang (Sardinella sp). Selain menangkap ikan, sebagian nelayan juga melakukan penangkapan udang (Pennaeus sp), kepiting bakau (Scylla serata), Rajungan (Portunus pelagicus) dan udang-udang karang. Untuk jenis biota moluska yang banyak ditangkap adalah kerang hijau (Perna viridis), kerang darah (Anadara granosa), kerang tutut, kerang macan (Babylonia sp), dan kerang simping (Placuna placenta) (Dinas Perikanan Kab Tangerang, 2006). Kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap gillnet, jarring lingkar, pancing, sero dan bagan.
Sedangkan untuk menangkap udang dan
kepiting banyak digunakan jaring rampus dan jaring angok. Moluska umumnya ditangkap dengan garok dan pengumpul kerang.
Hasil tangkapan kemudian
didaratkan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang ada di Tangerang seperti di Kronjo dan Dadap serta di muara Mauk.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
2.1.2. Perikanan Budidaya Selain sebagai lokasi penangkapan, juga terdapat daerah yang menjadi lokasi budidaya. Kegiatan budidaya yang banyak dikembangkan adalah budidaya kerang hijau. Kerang hijau ditanam di lokasi bagan dengan menggunakan system tali. Tali dipasang antara tiang pancang atau tiang bagan. Masa pembudidayaan (pembesaran) kerang hijau juga bervariasi antara 5-6 bulan dengan ukuran panen mencapai 7-9 cm (PKSPL, 2006). Hasil budidaya di bagan tancap mencapai 5 kwintal sampai 2 ton per panen pada masing-masing bagan. Tingginya produksi ini lebih disebabkan karena melimpahnya bahan organic di perairan tersebut yang sesuai untuk perkembangan hidup populasi kerang. Selain budidaya kerang hijau, di pesisir juga ditemukan aktivitas budidaya udang dan bandeng. Lokasi seperti di Tanjung Tenjo Ayu, Mauk, Tanjung Anom banyak terdapat lokasi budidaya udang (Pennaeus sp) dan bandeng (Chanoschanos).
Namun salah satu kendala dari kegiatan tersebut adalah system
pengelolaan lahan yang menyebabkan makin menurunnya produktivitas lahan budidaya. 2.1.3. Pariwisata Selain kegiatan penangkapan dan budidaya, sebagian wilayah pesisir Tangerang juga merupakan daerah yang potensial untuk pariwisata.
Lokasi
pariwisata yang selama ini berkembang dan banyak di kunjungi adalah Tanjung Pasir dan Pulau Laki. Kegiatan wisata di kedua lokasi ini cukup baik dan selalu ramai dikunjung setiap hari libur dan akhir pekan. Pengembangan aktivitas wisata dikawasan pesisir Tangerang belum begitu intensif. Keadaan ini disebabkan karena keterbatasan lahan untuk pengembangan. Lahan yang ada relatif sempit dan sebagian dimiliki oleh masyarakat. Sektor pariwisata merupakan salah satu potensi biofisik yang dimiliki Kabupaten
Tangerang.
Pengembangan kawasan pariwisata di kabupaten ini
diarahkan pada pariwisata yang potensial, yaitu kawasan wisata pantai dengan obyek-obyek wisata seperti : Pulau Cangkir, Tanjung Kait, Tanjung Burung, Arukan/Muara dan Salembaran Jati.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Kawasan wisata pesisir yang potensial di Kabupaten Tangerang antara lain adalah : 1.
Kawasan
pariwisata
pantai
di
Kecamatan
Teluk
Naga
yang
pengembangannya dilakukan secara terpadu (antara kawasan pemukiman dan wisata terpadu Kapuk Naga Indah) yang pengembangan dan pengelolaannya dilakukan oleh PT. Kapuk Naga Indah (KNI). 2.
Kawasan pariwisata Pantai Tanjung Kait dan Pantai Sangira Indah di Kecamatan Mauk. Pantai Tanjung Kait telah ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik, dari tempat ini kunjungan dapat dilanjutkan ke pulau-pulau terdekat seperti Pulau Laki, Pulau Air dan Pulau Idam, sedangkan Pantai Sangira Indah (Karang Serang) sementara ini dibiarkan tidak dikelola, padahal sebelumnya sudah dibangun villa-villa dan hotel yang dikelola oleh swasta.
3.
Kawasan pariwisata Pantai Dadap di Kecamatan Kosambi.
4.
Kawasan pariwisata Pulau Cangkir di Kecamatan Kronjo. Di pulau ini terdapat obyek wisata sejarah, yaitu makam Pangeran Jaga Laut, sedangkan
obyek
wisata
pantainya
belakangan
ini
keadaannya
mengkhawatirkan karena pantainya banyak yang tererosi. 5.
Kawasan pariwisata Tanjung Pasir. Lokasi ini sebenarnya merupakan tempat latihan pendaratan Angkatan Laut (AL), pada saat sedang tidak ada latihan wilayah ini ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik. Selain lokasi wisata ini, wisatawan dapat meneruskan perjalanan wisatanya dengan menyeberang ke Pulau Untung Jawa yang terletak dalam gugusan pulau-pulau Seribu.
2.1.4. Ekosistem Pesisir 2.1.4.1. Mangrove Habitat hutan bakau di Kabupaten Tangerang sudah semakin menipis, meskipun masih dijumpai diantara hamparan tambak dan pemukiman. Jenis-jenis hutan bakau yang umum dijumpai di lokasi penelitian antara lain Avicennia, Rhizophora dan Sonneratia dengan kepadatan tidak merata dan cenderung rendah. Mangrove tersebar antara Mauk sampai Padaleman dengan ketebalan antara 5-20
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
m (PKSPL-IPB 2006) . Beberapa kecamatan yang mempunyai habitat hutan bakau adalah Kecamatan Kronjo, Mauk dan Teluk Naga. Kerusakan hutan bakau di Tangerang umumnya disebabkan konversi penggunaan lahan seperti menjadi lahan tambak dan lahan pemukiman /industri. Kondisi mangrove di sekitar lokasi penelitian di Teluk Kronjo seperti Gambar 2.
Gambar 2. Ekosistem mangrove di sekitar teluk Kronjo 2.1.4.2. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang hanya terdapat di beberapa pulau yang terletak di sebelah utara pantai. Pulau Laki yang terletak di sebelah utara Tanjung Kait mempunyai terumbu karang yang kondisinya sedang hingga buruk. Pantai di pulau ini sendiri mengalami abrasi yang diduga disebabkan aktifitas penggalian pasir di perairan pesisir Tangerang. Jenis komunitas karang yang merupakan jenis yang tahan terhadap tekanan ekologis seperti karang lunak, Porites dan karang masif lainnya, Acropora dan biota penunjang lain seperti sponge. Rumput laut terdapat di antara terumbu karang yang ada di temukan dalam jumlah yang sedikit (PKSPL-IPB 2006). 2.2. Sumberdaya Simping 2.2.1. Sistimatika Simping Simping (P. placenta) merupakan biota sessile yang hidup di hamparan dasar perairan. Simping termasuk kelompok biota invertebrate dengan cangkang yang simetris yang dikenal juga kelompok bivalvia (memiliki dua cangkang). Simping termasuk famili Placunidae dengan jumlah jenis yang cukup banyak.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Klasifikasi dari simping (Placuna sp) menurut Swennen, (2000) adalah sebagai berikut;
Phylum Kelas
: Moluska
: Pelecypoda Subkelas : Pteriomorphia Famili : Placunidae Genus : Placuna Spesies : Placuna placenta (Linn, 1758)
Sampai saat ini telah diketahui lebih dari 6.000 species moluska. Semuanya termasuk juga kelompok clam, cockle, mussel, oyster, dan scallop. Pada umumnya kelompok ini hidup di air asin, tapi banyak juga yang mampu bertahan hidup di air tawar. Placuna sp, sering juga disebut dengan oyster adalah kerang dengan cangkang tipis yang semuanya merupakan anggota dari famili placunidae (Marshall and Wilson, 2005). . Simping termasuk biota yang banyak tersebar di wilayah perairan tropis, maka untuk mengetahui jenis tersebut ada beberapa identitas kunci yang harus diketahui yaitu;
Cangkang bagian kiri relative datar, sedangkan bagian kanan relative cembung.
Cangkang sebelah kanan melebihi dari cangkang bagian kiri dan selalu lewati batas bagian ujung sebelah kanannya.
Cangkang kanan lebih putih, kekuningan, atau kecoklatan. Sering dengan bercak atau titik seperti pigment hitam. Cangkang kiri berwarna merah muda terang atau mengarah ke warna coklat kemerah-merahan.
Tinggi cangkang dapat mencapai diatas 15 cm dengan alur sesuai dengan alur cangkang. P placenta tidak mempunyai alat perekat atau bysus untuk menempel.
Spat simping akan menempel apabila substrat yang terdapat di dasar laut cocok untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu dalam beberapa kondisi simping dapat menggali lubang, atau membenamkan dirinya dalam susbtrat. Placuna placenta dapat menggali dan membenamkan dirinya pada substrat yang berlumpur atau pasir halus.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
2.2.2. Morfologi Kedua bagian klep Placuna sp berbentuk simetris dengan adanya inhalent (media masuk air) di sisi bawah dari apex cangkang. Klep dengan sisi bagian kanan lebih cembung dan berwarna putih mengarah kekuningan, coklat terang dan kehitaman. Klep bagian kiri lebih datar, dan berwarna merah jambu terang atau coklat kemerah-merahan. Simping dapat tumbuh dengan tinggi mencapai 15 cm dan kedua klepnya memiliki 15-17 radial rib (Cragg, et al. 1991 in Shumway, 1991). Morfologi kerang simping seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Biota Kerang Simping (Placuna placenta)
Biota simping menggunakan velum untuk mendapatkan makanan partikel. Partikel yang ditangkap velum masuk saluran pencernaan kemudian disortir di labial palps. Simping tidak memiliki struktur respirasi yang berkembang dengan baik. Cairan hanya diserap oleh tubuh melalui epithelium kecil di velum dan mantel (Cragg, et al. 1991 in Shumway, 1991). 2.2.3. Daur Hidup Simping Fertilisasi eksternal antara spermatozoa dan oocyt terjadi di luar tubuh. Hasil fertilisasi ini kemudian membentuk gastrula yang bercilia, lalu menjadi larva trocophore, kemudian diikuti oleh periode D larva (prodissoconch I dan II). Pada masa ini juga terbentuk umbo, sampai pada tahap pediveliger.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Menurut Darmaraj et al. (2004) pembelahan terjadi setelah 15 menit fertilisasi, kemudian sel berkembang menjadi dua bagian. Saat sel mencapai ukuran 3 mikrometer, secara perlahan mulai terlihat ada dinding sel. Setelah 65 menit, sel berkembang menjadi 4 bagian dan mencapai 32 bagian setelah 4 jam 45 menit. Setelah pemijahan adalah fase larva (pelagic larva) yang berlangsung lebih dari satu bulan. Beaumont and Barnes (1992) telah meneliti bahwa larva hanyut dan akan berkembang selanjutnya pada fase spat. Beberapa spat kemudian turun ke dasar dan menyebar ke lokasi lain kemudian menetap pada perairan yang relatif bersih (Beaumont & Barnes, 1992). Spat menempel sendiri di dasar pada substrat yang padat.
Proses ini juga
membantu spat terhindar dari predator, seperti crab (kepiting). Ketika pertama kali menempel spat kemudian melakukan proses metamerfosa menjadi dewasa. 2.3 Kualitas Habitat Simping Habitat pesisir Kronjo yang menjadi lokasi penelitian memiliki substrat pasir halus, ekosistem mangrove dan daerah penangkapan ikan. Selain menjadi lokasi penangkapan simping, lokasi ini juga menjadi daerah penangkapan kepiting (rajungan).
Masukan material tersuspensi dan tersedimen dari sungai yang
bermuara menyebabkan perairan dekat pantai cenderung memiliki kekeruhan yang relative tinggi. Habitat simping dipesisir Kronjo memiliki rata-rata suhu permukaan tahunan sekitar 28,17 °C (±0,33). Peningkatan suhu sebesar 3oC memberikan pengaruh peningkatan kecepatan pertumbuhan yang lebih cepat.
Placuna
placenta akan memijah saat suhu mencapai 27oC. Untuk perkembangan optimal biasanya pada suhu 28-30oC (Darmaraj, et al, 2004) dan 24,5-30oC (Campbel, 2007). Variasi salinitas tahunan di Tangerang menunjukkan kisaran yang relatif tinggi, dimana rerata salinitas sekitar 32,49 ‰ (±0,84). Salinitas optimal bagi perkembang simping adalah 34-35 ppt (Darmaraj, 2004) tetapi di Philipina dapat mencapai 18-38 ppt (Campbel, 2007). Salinitas yang rendah dari 15 ppt dapat menyebabkan larva mengalami shock (Culliney, 1974).
Sedangkan salinitas
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
diatas 15 ppt secara umum hanya mampu mempengaruhi simping sehingga bergerak menuju perairan yang salinitasnya lebih tinggi (Campbel, 2007). Penelitian Campbel di Philipina (2007) bahwa simping hidup pada tingkat oksigen terlarut antar 2,5-5 mg.l-1. Pada proses pemijahan kandungan oksigen terlarut mencapai 4-5 mg.l-1. Menurut Darmaraj (2004) pada oksigen 2 mg.l-1 masih dapat ditemukan jenis P placenta. Larva simping juga memanfaatkan plankton sebagai makanan dari jenis Isochrysis galbana yang mencapai 5000 sampai 50.000 sel per ml (Culliney, 1974). Spat biasanya memakan I galbana dan Chrosomonas salina. Saat dewasa dan mulai menetap sebagai benthik biasanya memakan plankton dan detritus organik (MacKenzie, 1979). Kelompok dewasa banyak memakan diatom jenis Phaeodactylum tricornutum (Bourne, 1997). Placuna placenta hidup pada habitat berlumpur Campbel (2007). Atau pasir halus di perairan dangkal. Umum biota ini tersebar di sekitar perairan teluk, estuari ataupun di selat. Berdasarkan geografis jenis ini dapat ditemukan dari perairan dangkal pasut terendah (1 meter – 100 meter) (Gallardo et al, 1994). Habitat bentik memainkan peranan penting dalam menjaga keberadaan bentik dalam ekosistem baik sebagai penunjang siklus ekologi maupun sebagai indikator lingkungan (EPA, 2009). 2.4. Struktur Populasi Simping 2.4.1. Kelimpahan dan Distribusi Menurut Elliot (1986) penyebaran dari sebuah populasi menjelaskan hubungan antara keragaman (variance) dan nilai tengah aritmatik ().
Dari
hubungan ini, kemudian dikenal tiga model distribusi yaitu 1) distribusi acak, 2)distribusi yang teratur, dan 3) distribusi mengelompok. Kondisi populasi menurut habitat tempat hidupnya dikenal dengan distribusi spatial. Sedangkan pada distribusi temporal kondisi populasi tercatat menurut waktu (Brower, et al. 1971). Distribusi spatial sangat terkait dengan ruang dimana ekosistem itu berada. Distribusi keruangan sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Namun demikian distribusi ruang dari suatu jenis yang sama dapat berbeda karena adanya perbedaan pangaruh lingkungan.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Simping jenis P placenta umumnya tersebar di habitat berlumpur (Cristophersen, (2005). Seringkali ditemukan lokasi penyebaran simping pada perairan dangkal di pantai yang masih memiliki hutan mangrove.
Placuna
placenta hidup di pesisir pantai dan di habitat sediment yang lunak dari pasang rendah sampai sekitar kedalaman 9 meter (William and Babcock. 2004), atau sampai kedalaman 100 m untuk kelompok scalop (Campbel, 2007). Distribusi populasi simping juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor yang paling dominan mempengaruhi adalah suhu, salinitas dan bahan tersuspensi serta bahan organik (Darmaraj, 2004) dan TSS serta kedalaman perairan (Brey and Clarke, 1993). Wilayah sebaran simping diantaranya adalah di Teluk Aden, India (Darmaraj, 2004), Semenanjung Malaya, pantai selatan China, sepanjang pantai Borneo, Philipina (Gallardo et al. 1994) dan perairan Pantai Jawa. Beberapa jenis moluska lainnya seperti Corbicula tersebar pada perairan pasang surut (intertidal) Brenko (2006). Penyebaran dengan kelimpahan tertinggi umumnya didaerah yang bersubstrat lumpur (muddy) (Seafdec, 2000). 2.4.2. Intensitas Tangkap dan Hasil Tangkap Intensitas tangkap yaitu besar luas operasi tangkapan terhadap operasi alat standar yang ditetapkan sebagai batasan luas operasi tangkapan.
Kegiatan
penangkapan simping menggunakan alat tangkap dasar (bottom dredge) yang dikenal garok. Pengoperasian alat garok ditarik dengan kapal pada jarak tertentu dengan cara melingkar. Alat garok diturunkan sampai kedalaman 1- 10 m bahkan lebih.
Mulut garok dilengkapi dengan garpu yang terbuat dari rangka besi.
Pengoperasian yang bersifat mengerus dapat merusak dan mengganggu kehidupan biota dasar lainnya (Jones, 1992, Dayton et al. 1995, Jenning & Kaiser 1998 in Jenkis et al 2001). Jumlah hasil tangkapan baik spat maupun populasi dewasa juga dipengaruhi oleh pemilihan ukuran meshsize alat tangkap dan luas area sapuan. Latroute (1978) in Julie, (1999) menemukan bahwa alat tangkap yang digunakan untuk menangkap simping biasanya memiliki mesh size dari 1,3 mm dan 1,05 mm dan 1,7 mm x 2,0 mm. Namun demikian hasil tangkapan yang terkumpul sangat signifikan dari mesh size alat ukuran 3,5 mm x 3,5 mm. Untuk mengoptimalkan
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
penangkapan populasi spat simping sebaiknya dengan mesh size dengan ukuran tersebut. Hasil tangkapan simping ditentukan oleh besarnya intensitas tangkap yang diberikan. Dari pemantauan tercatat, jumlah hasil tangkap berukuran antara 4 cm16 cm dengan rata-rata ukuran yang banyak ditemui sebesar 9 cm. Setiap operasi dapat diperoleh hasil tangkapan antara 20-200 kg. Hasil tangkapan ini terbagi dua yaitu tangkapan kerang yang masih hidup dan yang sudah mati. Hasil tangkapan tersebut kemudian diamati biomas dan jumlahnya. Intensitas tangkap nelayan juga dipengaruhi oleh sediaan stok yang siap panen. Intensitas tangkap bisa tinggi saat kelimpahan tinggi.
Tangkapan kampis (P placenta) di Philipina tinggi saat
tingginya permintaan pasar dari produk olahan simping (Gallardo et al, 2000). Hasil tangkapan garok tidak hanya dari jenis P placenta. Berdasarkan penelitian pendahuluan jenis lain yang ikut tertangkap adalah Anadara sp, Murex sp, Babilonia sp, Papia textilla dan sebagainya.
Selain simping, jenis yang
memiliki kelimpahan tinggi adalah jenis Anadara sp.
Penelitian di Teluk
Kakinada, India selain simping adalah Turitella duplicata, Tonna dolium (Raut, 2004) 2.4.3. Biomassa Menurut Elliot and Hemingway, (2002) biomassa adalah semua material hidup pada suatu kesatuan dalam satu area yang dijelaskan dalam unit, biasanya per unit dari area atau volume. Berat dapat berat basah (hidup/segar), berat kering atau berat abu (ash free dry weigth AFDW). Menurut (Brower, et.al, 1989) biomas adalah berat dari individu-individu dari suatu populasi atau group, dan sering dijelaskan per unit area atau volume. Dalam studi ekologi yang sering dipergunakan adalah berat basah, kering atau abu, yang dapat dikonversi ke nilai kalori. Keberadaan biomas sebagai indikator perubahan stok menunjukkan adanya indikasi perubahan populasi.
Penurunan biomas terjadi karena pengaruh
penangkapan, tekanan lingkungan sehingga populasi tersebut tumbuh, maupun proses biologi lainnya. Biomas awal stok atau potensi stok awal sering dijadikan sebagai indicator terhadap perubahan karena adanya indikasi perubahan populasi
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
dan jumlah tangkapan akibat penambahan jumlah alat tangkap (Maguire and Burnell. 1999). Menurut Brey and Gerdes. (1998) biomas makroinvertebrata makin menurun dengan bertambahnya kedalaman. Beberapa jenis gastropoda lainnya seperti juga menunjukkan hal yang sama, terutama setelah kedalaman lebih dari 30 meter (Brey and Clarke, 1993).
Jenis Scrobicularia plana dan Abra tenuis
mengalami peningkatan biomas pada setiap awal tahun (Casagranda and Boudoureque. 2005). Estimasi produksi dan biomas yang akan digunakan dapat memberikan informasi tentang kemampuan pulih kembali “ turn over”. Dengan pendekatan ini, maka prinsip MSY (tangkapan maksimum lestari) dari populasi tetap diperhatikan (Edmonson and Winber. 1971). Pada tahap selanjutnya yang harus diperhatikan adalah intensitas produksi (unit orang atau unit alat). Pada dasarnya pendekatan terhadap unit alat dan orang akan memberikan informasi tentang alokasi hasil tangkapan.
Jika diasumsikan unit stok stabil, maka upaya
pengelolaan yang harus dilakukan adalah terhadap alat dan sumberdaya manusia yang terlihat dalam aktivitas penangkapan. Jika unit stok mengalami perubahan, maka komponen yang paling memungkinkan di modifikasi adalah hasil tangkap, karena untuk membatasi atau mengurangi jumlah orang yang beraktivitas dalam kegiatan penangkapan ini cenderung lebih lama. 2.4.4. Produksi dan Daya Dukung Produksi merujuk pada akumulasi jaringan biologi dari populasi. Secara spesifik, ini adalah produksi somatic yang berbeda pada reproduksi, yang diawali dengan percampuran gamet (Elliot and Hemingway, 2002). Metode yang banyak digunakan untuk menduga produksi dari populasi dan komunitas adalah melalui input data laju pertumbuhan, dan kelimpahan. (Elliot and Hemingway, 2002). Beberapa formulai yang dikemukan Ricker (1975) bahwa produksi dapat diduga melalui metode grafik Allen (Elliot and Hemingway 2002). Estimasi produksi dari kerang pada fase spat, muda, dewasa sebenarnya sulit diukur, tetapi ini lebih baik dari pada menggunakan pemisahan ukuran.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Produksi dari sebuah populasi untuk suatu periode atau waktu, adalah jumlah dari pertumbuhan sesaat dari semua spesies dalam populasi (Edmonson and Winberg, 1971). Penghitung produksi harus memperhatikan pola emigrasi dan imigrasi. Tidak semua metode penghitungan produksi dapat digunakan pada setiap populasi dan juga tidak untuk komunitas. Jumlah dari biomas populasi akan sama dalam biomas komunitas (Edmonson and Winberg. 1971). Kemampuan pembentukan biomas selama interval waktu di tinggal eksploitasi adalah gambaran dari daya dukung pembentukan biomasa selama di tinggal eksploitasi (Edmonson and Winberg. 1971). Beberapa hasil penelitian dari Cusson and Bourget (2005) menyajikan informasi dari produksi dan biomasa (rasio P/B). Hasilnya menunjukkan bahwa rasio produksi terhadap biomas rata-rata tahunan dapat bervariasi untuk setiap jenis biota benthik. P/B rasio dari jenis Donax serra dari pantai Namibia antara 1,168-1,589/th yang lebih besar yang ditemukan di Afrika Selatan yaitu 0,63-1,06 per tahun (Laudien et al. 2003). Menurut Casagranda and Boudoureque (2005) bahwa nilai P/B akan makin menurun dengan bertambahnya umum atau ukuran biota. P/B rasio dari jenis Abra tenuis yaitu 0,44 per tahun, Abra avota 2,14 per tahun, Abra alba 0,77-3,85 per tahun dan Scrobicularia plana mencapai 0,6 per tahun. Penelitian Brey et al (1993) rasio P/B jenis Macoma calcarea yaitu 0,191 per tahun, Mya truncata 0,145 per tahun dan Terebelides stroemi yaitu 1,042 per tahun. Dalam hal ini bahwa P/B rasio sangat terkait dengan kedalaman dan suhu. 2.4.5. Eliminasi Eliminasi adalah peningkatan atau pengurangan biomas yang ada diperairan setelah eksploitasi.
Eliminasi dapat menambah biomas atau
mengurangi biomas dari potensi lestari. Eliminasi positif yaitu biomas sisa lebih rendah dari biomas yang seharusnya setelah eksploitasi, sedangkan eliminasi negatif yaitu biomas sisa lebih besar dari biomas setelah di tinggal eksploitasi. Evaluasi eliminasi paling banyak digunakan pada biota benthos (Edmondson and Winberg, 1971).
Kemudian disampaikan bahwa sebenarnya eliminasi dapat
disebabkan oleh kematian, pengaruh predator, maupun karena pengaruh pergerakan air dan arus.
Namun demikian, produksi tidak sepenuhnya
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
dipengaruhi oleh eliminasi, karena lebih dipengaruhi oleh tingkat produktivitas. Pada kelompok Cumacea, Isopoda, Amphipoda eliminasi tinggi pada fase larva karena fase ini lebih panjang dari biasanya.
Pada ekosistem danau, eliminasi
dievaluasi karena produksi dapat dipengaruhi oleh waktu pemulihan (turnover time) dan karena longsoran di sepanjang sungai (Håkanson, J dan V V. Boulion. 2004) 2.4.6. Degradasi dan Daya Pulih Dampak dari kegiatan penangkapan biota bentik dapat menimbulkan perubahan dalam struktur populasi.
Studi yang dilakukan oleh Jenkins et al
(2001) ternyata kegiatan penangkapan dengan bottom dregde telah mendorong terjadinya penurunan kelimapahan biota target dan non target (Jenkins et al 2001). Kematian terbesar umumnya terjadi pada fase juvenile atau stadia spat. Analisa degradasi populasi dan daya pulih populasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan kurva Allen. Sedangkan daya pulih dari pendekatan fungsi populasi dan biomasa adalah perubahan ukuran dan biomas tiap kompartemen. Menurut Brey and Clarke (1993) macrobenthic yang memiliki fekunditas tinggi akan memiliki 5-8% tingkat survival dan di perkirakan hanya 4% yang mencapai dewasa. Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan model pendekatan produksi model (Ricker, 1975) yaitu dengan melihat jumlah hasil tangkapan pada stadia spat, muda dan dewasa dari pengambilan/penangkapan simping secara terus menerus.
Tingkat degradasi dapat tetapkan apabila hasil tangkapan telah
mencapai 20% dari hasil tangkapan awal (pertama sekali). Selain karena penangkapan, penurunan populasi juga di pengaruhi oleh predator dan kompetitor. Biota predator yang juga memanfaatkan simping ini sebagai makan adalah bintang laut (Cancer pagurus), dan ikan kerapu (Labrus bergylta). Ikan kerapu biasanya banyak memakan simping yang masih muda (spat) (Oppegard, 2005). Dari hasil perhitungan terhadap benih dari simping, total kematian per hari mencapai 1% karena pemangsaan (Hatcher et al. 1996). Penelitian Posgay (1979) bahwa tingkat kematian yang terjadi secara alami di George Bank Bay mencapai 9,9% per tahun. Kematian ini terjadi karena proses
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
adaptasi, kompetisi dan predasi. Predator alami yang memakan simping saat bersifat larva maupun dewasa adalah kepiting batu (Cancer irroratus), lobster (Homarus sp) (Jamienson and Lundy. 1982), bintang laut (Caddy, 1989), Crasostrea papposus (Medcof and Bourne, 1964). Selain itu juga beberapa jenis ikan seperti ikan sembilang (Platessoides) dan Hippoglosoides. Penentuan daya pulih populasi bentik pada daerah eksploited cenderung lebih sulit karena kegiatan penangkapan berlangsung secara terus menerus. Menurut Collie et, al, (2001) monitoring daya pulih populasi setidaknya dapat dilakukan melalui kelimpahan, biomas, dan produksi.
Salah satu paremeter
tersebut dapat dijadikan indikator penentuan daya pulih populasi. Potensi pulih lebih mudah diamati dari jumlah populasi muda atau spat yang menempel di substrat. Karena memiliki hubungan yang dekat dengan jumlah larva yang ada di masih berada di kolom air (Collie et al. 2001). Penentu daya pulih potensi sumberdaya simping yang tereksploitasi, dapat dijadikan dasar untuk menentukan tingkat eksploitasi yang optimal.
Sebagai
populasi yang ada pada hamparan dasar maka daya pulih ditentukan dengan mempertimbangkan 1) lama waktu eksploitasi sampai menghabiskan jumlah dewasa di daerah tereksploitasi, 2) Lamanya waktu stok didaerah pasca eksploitasi mampu pulih kembali seperti pada waktu sebelum tereksploitasi, 3)Peningkatan tingkat eksploitasi per satuan waktu. Selain itu kemponen lain yang mempengaruhi kemampuan pulih simping sebagai faktor eksternal simping adalah: 1.
Tingkat selektivitas dan intensitas alat tangkap yang
mengganngu atau
merusak dasar perairan. 2.
Potensi pulih kembali pada sediment yang telah mengalami eksploitasi antara lain penggerukan dan pembalikan kembali. Untuk melihat tingkat eksploitasi di evaluasi dari pemanfaatan lahan (land
utulity).
Land utility Index merupakan suatu indek yang digunakan untuk
menentukan daya pulih sumberdaya/biota di perairan. Makin besar LUI, dapat terjadi karena peningkatan luasan area tangkap atau waktu operasi penangkapan. LUI yang besar mengindikasikan terjadinya eksploitasi yang menyeluruh terhadap seluruh kawasan. Begitu juga penambahan waktu operasi dapat menyebabkan
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
terjadinya hal yang sama. Makin kecil LUI dapat dijadikan sebagai indikator bahwa kondisi populasi memiliki ruang yang cukup untuk tumbuh (tinggi dan biomas) menjadi ukuran panen optimal. Biomasa P/B yang dihitung sebagai rasio dari produksi terhadap rata-rata biomas. Untuk itu koefisien dari laju produksi diberikan sebagai penambahan harian sampai pada biomas saat ini. Perkalian biomas dengan koefisien ini akan mendapatkan produksi harian dan perkalian dengan T sebagai produksi untuk waktu (hari ke t) (Edmonson et al. 1971). Dalam
menentukan
daya
dukung
biomas
tereksploitasi
adalah
pengembangan dari kemampuan pulih perhari dikali lama waktu di tinggal (iwk) dan jumlah kelimpahan/biomas sebelum ekspliotasi. Dalam berbagai penelitian ini sifatnya dinamis dan selalu mengalami perubahan. Dalam kontek biomas daya dukung sering disebut sebagai jumlah biomas total yang dihasilkan (Brey et al, 1993). 2.4.7. Analisa Usaha Dalam perspective ekonomi, perubahan kapasitas dalam penangkapan didasarkan pada tingkat hasil maksimum yang menguntungkan yang dapat diukur dari kapasitas dan efektivitas alat. Hasil tangkapan dari setiap operasi tangkapan adalah gambaran dari tingkat potensi yang secara ekonomi dapat dievaluasi (Standal 2005). Usaha penangkapan simping secara ekonomi mampu memberikan keuntungan asal diusahakan sesuai dengan daya dukungnya. Indicator ini dapat dilihat dari tingkat BEP (break event point) yang dapat diraih dari usaha penangkapan (Darseno, 2010).
Sehingga dalam pengembangan sistem bisnis
dapat memberikan nilai manfaat bagi para nelayan.
Karakteristik suatu
pengeluaran modal adalah untuk mengusahakan manfaat dimasa mendatang. Selain itu investasi juga diharapkan mampu memberikan alternative pekerjaan, peningkatan output, dan ekonomi wilayah (Husnan and Muhammad, 2000). Dalam investasi perikanan yang sering menjadi kendala adalah permodalan seperti perahu, alat tangkap, mesin dan biaya operasional penangkapan.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
2.5. Pengelolaan Simping Pengelolaan simping dapat dilakukan dengan pendekatan berbasis ekosistem (Ecosystem based approach). Pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem terbagi dalam beberapa aspek yaitu 1) proses manajemen, 2) konsepsi lingkungan dan biologi, 3) pertimbangan teknologi, 4) dimensi sosial dan ekonomi, 5) fungsi dan konsep kelembagaan 6) skala waktu dalam proses manajemen perikanan, 7) pendekatan pencegahan (monitoring dan controling), 8) syarat-syarat khusus lainnya yang menyangkut sumberdaya simping. Dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem setidaknya ada 5 prinsip yang harus dipahami (FAO, 2008) yaitu: a. b. c.
Perikanan harus dikelola untuk mengurangi dengan membatasi dampaknya pada ekosistem sejauh mungkin. Hubunganekologis antara hasil tangkapan, spesies tunggal dan berkelompok harus di jaga. Ukuran pengelolaan seharusnya saling sesuai pada seluruh distribusi sumber daya lintas wilayah hukum dan rencana pengelolaan ).
d. e.
Pendekatan kehati-hatian harus diterapkan karena pengetahuan tentang ekosistem tidak lengkap Pemerintahan harus memastikan baik keselamatan manusia dan ekosistem dan keseimbangan. Ukuran pengelolaan sumberdaya moluska menurut (www.dfg.ca.gov,
2002) di bagian Utara California dilakukan dengan pendekatan yaitu 1) pembatasan ukuran alat tangkap, 2) membentuk area perlindungan bagi moluska yang belum dewasa, 3) menetapkan batas ukuran yang boleh ditangkap, 4) memberlakukan sistim musim buka-tutup (close season) 5) melakukan pembatasan tangkapan baik tangkapan harian maupun tangkapan tahunan. Pengukuran dilakukan untuk
dan
monitoring
pengelolaan
mengatur laju kematian
perikanan
konvensional
karena penangkapan
melalui
pengendalian input dan output dan teknik termasuk distribusi spatial. Sehingga dapat diatur input yang perlu diberikan, dengan mempertimbangkan out dari proses pemafaatan sumberdaya perikanan tersebut.
Rekayasa teknologi
diperlukan jika terjadi penyimpangan terhadap sumberdaya yang akan mengancam keberlanjutannya.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Pengelolaan dilakukan agar stok dapat terus tersedia dalam jangka panjang.
Untuk perencanaan yang diperlukan untuk dilakukan adalah 1)
menetapkan kriteria untuk evaluasi stok diantaranya penetapan ukuran tangkap (rekruitment) yang harus lebih dari 6 cm, density (ind/ha) dan hasil tangkap per satuan upaya. 2) menetapkan batas yang boleh ditangkap (TAC/kuota tangkap), TAC dapat ditentukan berdasarkan index lokasi berdasarkan kelimpahan, atau dari hasil analisis indek kelimpahan lokasi dan rekruitment. 3) Pengaturan tingkat tangkapan aktual dan 4) penutupan lokasi tangkapan yang mendekati kritis. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pengelolaan sumberdaya simping harus mengikuti prinsip 1) kelestarian dan kesesuaian habitat, 2) keberlanjutan secara ekonomi dan ekologi, 3) dan terukur.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka pengelolaan harus dilakukan dengan pendekatan 1) pendekatan teknologi penangkapan, 2) pendekatan daya dukung, dan 3) pendekatan konservasi biologi dan ekosistem. Dengan ini diharapkan terciptanya suatu mekanisme pengelolaan yang berkelanjutan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, maka penelitian ini diharapkan menjadi dasar pendekatan pengelolaan perikanan terpadu. Tim R Mc Clanahan and Juan Carlos Castilla (2007) menyusun model pengelolaan perikanan yang berkelanjutan seperti Gambar 4. SUSTAINABLE POLICY AND MANAGEMENT
MANAGEMENT USE/LIMIT -Gear -Time -Space - Species - Size - Effort
Zonasi
Intensitas Tangkap
ENVIRONMENT RESOURCES - Abundance - Structure - Process - Biodiversity Physical Flow Information Flow
HARVESTING
Model Hubungan Sub Komponen Pengelolaan Simping, Modifikasi dari Tim R Mc Clanahan and Juan Carlos Castilla: Fisheries Management: Progres Toward Sustainability (2007)
Gambar 4. Hubungan dari setiap sub komponen dari pengelolaan berkelanjutan
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/
Kerangka model pengelolaan perikanan berkelanjutan (IFM) yang terdiri dari setiap sub komponen diatas, dapat dibangun melalui hasil-hasil penelitian ini. Menurut Tim R Mc Clanahan and Juan Carlos Castilla (2007) hubungan antar komponen di agar menjadi lebih terukuran harus memiliki aliran informasi dan data. Dengan demikian pendekatan pengelolaan berkelanjutan akan menjadi lebih terukur.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/