2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kawasan Pesisir dan Wilayah Pantai 2.1.1. Kawasan Pesisir Menurut Dahuri (2003), definisi kawasan pesisir yang biasa digunakan di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen 2001). Apabila ditinjau dari garis pantai (coastal line), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu : batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore) (Dahuri 2003) Menurut Adrianto (2005), kawasan pesisir dan laut memiliki arti yang sangat strategis dan penting bagi Indonesia mengingat sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia. Indonesia memiliki panjang pantai 95.000 km dan luas wilayah laut kurang lebih 5,8 juta km2 (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2009), kawasan pesisir merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang unik dan kompleks. Kompleksitas ditunjukkan oleh keberadaan berbagai pengguna dan berbagai entitas pengelola wilayah yang mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di kawasan pesisir. Dengan mempertimbangkan karakteristik tersebut, maka muncul suatu konsep pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management). Pengelolaan wilayah terpadu adalah salah satu pendekatan yang bisa dilakukan
dalam
mengatasi
kekompleksitas
karakteristik
kawasan
pesisir.
Keterpaduan itu mengandung tiga dimensi penting yaitu : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri 2001) Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, didarat maupun dilaut, serta adanya hubungan yang saling berinteraksi antar habitat tersebut. Secara prinsip, ekosistem pesisir mempunyai fungsi pokok bagi kehidupan manusia yaitu penyedia sumberdaya alam,
penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa wisata (Bengen, 2001). Dari sudut ekologis, ekosistem pesisir mempunyai kemampuan terbatas terhadap masukan limbah. Hal ini sangat bergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui kemampuan asimilasi perairan pesisir, maka kerusakan ekosistem dalam bentuk pencemaran akan terjadi. Dalam suatu kawasan pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir Indonesia dideskripsikan atas dasar komunitas hayati dan penggenangan oleh air (Kartawinata dan Soemodihardjo, 1976; Nontji, 1987 in Dahuri, 2003). Berdasarkan sifatnya, ekosistem pesisir bersifat alami (natural) dan buatan (man made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terumbu karang (coral reef), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (seagrass bed), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna, delta dan ekosistem pulau kecil. Ekosistem pesisir tersebut ada yang terus menerus tergenangi air dan ada pula yang hanya sesaat. Sedangkan ekosistem buatan antara lain tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan pemukiman (Dahuri 2003). Sumberdaya di kawasan pesisir juga memiliki potensi yang sangat pesat sehingga sering disebut bahwa sektor perikanan merupakan raksasa yang sedang tidur (the sleeping giant), diperkirakan stok sumberdaya perikanan nasional sebesar 6,4 juta ton per tahun (Adrianto 2005) yang terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih. Sumberdaya yang dapat pulih antara lain sumberdaya perikanan (ikan, molusca, plankton, bentos, krustacea, mamalia laut), rumput laut, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Pada kelompok sumberdaya yang dapat pulih ini, hidup dan berkembang berbagai macam biota laut, sehingga dengan keanekaragaman sumberdaya tersebut diperoleh jasa-jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata. Sumberdaya yang tidak dapat pulih yaitu minyak dan gas, pasir, mineral, bijih besi, timah dan bauksit serta bahan tambang lainnya (Dahuri et al. 2004).
2. 1.2 Wilayah Pantai Bagian kawasan pesisir yang paling produktif adalah wilayah muka pesisir atau pantai. Pantai merupakan suatu kawasan pesisir beserta perairannya dimana daerah tersebut masih terpengaruh baik oleh aktivitas darat maupun laut. Garis pantai merupakan suatu garis batas pertemuan (kontak) antara daratan dengan air laut. Posisinya bersifat tidak tetap, dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai terletak antara garis surut terendah dan air pasang tertinggi (Bengen 2001). Menurut Dahuri (2003) pantai biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan pionir yang memiliki ciri-ciri antara lain 1) sistem perakaran yang menancap dalam; 2) mempunyai toleransi tinggi terhadap kadar garam, hembusan angin, dan suhu tanah yang tinggi, serta 3) menghasilkan buah yang dapat terapung. Pantai yang terbuka biasanya memiliki kondisi lingkungan yang kurang bersahabat, yakni kondisi fisik yang tidak stabil akibat fluktuasi suhu, salinitas dan kelembaban yang tinggi. Ada tiga zonasi dimana organisme hadir dalam jumlah besar, yaitu 1) zona bagian atas dihuni oleh kepiting (Ghost-crab) dari genus Ocypode, Amphipoda, dan krustasea dari famili Talitridae; 2) zona pertengahan yang dihuni oleh moluska genus Donax dan beberapa spesies isopoda; dan 3) zona yang lebih rendah dihuni oleh spesies keong (Gastropoda), kepiting (Hippid Crab), dan bulu babi (Echinoid). Disamping itu pantai juga penting sebagai habitat bagi penyu dan burung laut untuk bertelur. Dahuri (2003) menjelaskan pantai-pantai yang terdapat di Indonesia secara morfologi dapat dibagi dalam beberapa bentuk, yaitu: 1. Pantai terjal berbatu Biasanya terdapat di kawasan tektonis aktif yang tidak pernah stabil karena proses geologi. Kehadiran vegetasi penutup ditentukan oleh 3 faktor, yaitu tipe batuan, tingkat curah hujan, dan cuaca. 2. Pantai landai dan datar Pantai jenis ini ditemukan di wilayah yang sudah stabil sejak lama karena tidak terjadi pergerakan tanah secara vertikal. Kebanyakan pantai di kawasan ini ditumbuhi oleh vegetasi mangrove yang padat dan hutan lahan basah lainnya.
3. Pantai dengan bukit pasir Pantai ini terbentuk akibat transportasi sedimen clastic secara horizontal. Karena adanya gelombang besar dan arus yang menyusur pantai (long shore current) yang dapat menyuplai sedimen yang berasal dari daerah sekitarnya. Sedimen yang telah mengalami pengeringan kemudian terbawa oleh angin yang kuat sehingga terakumulasi di tebing membentuk bukit pasir yang tinggi. Perubahan berlangsung cepat dan terjadi di daerah yang kering, maka bukit pasir biasanya miskin tanaman penutup. 4. Pantai beralur Proses pembentukan pantai ini lebih ditentukan oleh faktor gelombang daripada angin. Proses penutupan yang berlangsung cepat oleh vegetasi menyebabkan zona supratidal tidak terakumulasi oleh sedimen yang berasal dari erosi angin. 5. Pantai lurus di dataran pantai yang landai Pantai tipe ini ditutupi oleh sedimen berupa lumpur hingga pasir kasar. Pantai ini merupakan fase awal untuk berkembangnya pantai yang bercelah dan bukit pasir apabila terjadi perubahan suplai sedimen dan cuaca (angin dan kekeringan). 6. Pantai berbatu Pantai ini dicirikan oleh adanya belahan batuan cadas. Komunitas organisme pada pantai berbatu hidup di permukaan. Bila dibandingkan dengan habitat pantai lainnya, pantai berbatu memiliki kepadatan mikroorganisme yang tinggi, khususnya di habitat intertidal didaerah tropis dan subtropis. 7. Pantai yang terbentuk karena adanya erosi Sedimen yang terangkut oleh arus dan aliran sungai akan mengendap di daerah pantai. Pantai yang terbentuk dari endapan semacam ini dapat mengalami perubahan dari musim ke musim, baik secara alamiah maupun akibat kegiatan manusia yang cenderung melakukan perubahan terhadap bentang alam.
2.2. Pariwisata dan Ekowisata 2.2.1. Pariwisata Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata (Yulianda 2007). Pariwisata merupakan kegiatan perpindahan atau perjalanan orang secara temporer dari tempat mereka biasa bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan (Holloway dan Plant 1989 in Yulianda 2007). Kenikmatan dari perjalanan ini merupakan suatu jasa yang diberikan alam kepada manusia, sehingga manusia merasa perlu untuk mempertahankan eksistensi alam (Yulianda 2007). Dalam UU No 9 Tahun 1990 (Menteri Dalam Negeri 1990), ada beberapa istilah yang berhubungan dengan kegitan pariwisata antara lain: 1. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. 2. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata 3. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusaha objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. 4. Kepariwisataan
adalah
segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
penyelenggaraan pariwisata 5. Usaha pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan objek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain yang terkai di bidang tersebut. 6. Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. 7. Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
Menurut Hellyward (2008) berdasarkan objek dan daya tariknya, wisata dapat berupa : 1. Ciptaan Tuhan yang Maha Esa (The Creation Of God) yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna seperti pemandangan alam, panorama indah, hutan rimba dengan tumbuhan hutan tropis, kekayaan laut serta binatang-binatang langka dan unik. 2. Karya manusia (The Creation Of Human Being) yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni dan budaya, pertanian, wisata air, wisata petualangan, taman rekreasi dan tempat hiburan. 3. Sasaran wisata minat khusus seperti berburu, mendaki, gunung, gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, ombak pantai, tempattempat ibadah, tempat ziarah dan lain-lain. Menurut Munasef (1995) ;Sulaksmi (2007) in Rahmawati (2009), kegiatan pariwisata terdiri dari tiga unsur, diantaranya : 1. Manusia (man) yang merupakan orang yang melakukan perjalanan dengan maksud menikmati keindahan dari suatu tempat (alam). 2. Ruang (space) yang merupakan daerah atau ruang lingkup tempat melakukan perjalanan. 3. Waktu (time) yang merupakan waktu yang digunakan selama dalam perjalanan dan tinggal di daerah tujuan wisata. Menurut Kelly 1996; Sulaksmi 2007 in Rahmawati 2009 mengklasifikasi bentuk wisata yang dikembangkan berdasarkan pada bentuk utama atraksi atau daya tariknya yang kemudian ditekankan pada pemasarannya. Bentuk wisata tersebut antara lain : ekowisata (ecotourism), wisata alam (nature tourism), wisata petualangan (adventure tourism), wisata berdasarkan waktu (gateway and stay) dan wisata budaya (cultural tourism).
2.2.2. Ekowisata Ekowisata menurut The Ecotourism Society (1990) in Fandeli (2000) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan
penduduk. Ekowisata merupakan suatu kekuatan dalam konservasi pesisir di suatu negara dimana pengembangan ekowisata ini membutuhkan kontrol berdasarkan daya dukung suatu kawasan pesisir yang akan dikembangkan agar tetap alami dan tidak terjadi kerusakan akibat over exploitasi serta dapat mengatasi masalah lingkungan. Konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan: (1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, (2) Melindungi keanekaragaman hayati, (3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan (4) Memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, suatu konsep pengembangan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi (Yulianda 2007): a. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. b. Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi. c. Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi (conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan. d. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan. e. Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan. f. Menjaga keharmonisan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam. g. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan. h. Kontribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat). Ekowisata sebagai suatu bagian logis dari pembangunan berkelanjutan, memerlukan pendekatan berbagai disiplin. Perencanaan yang hati-hati (baik secara fisik maupun pengelolaan) dan pedoman-pedoman serta peraturan tegas yang dapat menjamin pelaksanaan yang berkelanjutan. Hanya dengan melalui keterlibatan lintas
sektoral ekowisata akan dapat benar-benar mencapai tujuannya, yaitu pemerintah dan pengusaha swasta, masyarakat lokal dan LSM, semuanya memiliki peranan penting (Lascurain 1995; Kajian Potensi Wisata Bahari di Pulau Bunguran Kab. Natuna 2006 in Ermawan 2008). Dengan demikian, ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan, melainkan menjual filosofi. Hal ini membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar. Meskipun pasar sangat menentukan pengembangan ekowisata, namun konsep pengelolaan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar ekowisata. Oleh karena sifat sumberdaya dan ekosistem pesisir dan lautan alami sering rentan dan dibatasi oleh daya dukung, maka pengembangan pasar yang dilakukan menggunakan pendekatan product driven, yaitu disesuaikan dengan potensi, sifat, perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya yang tersedia, seperti in situ, tidak tahan lama (perishable), tidak dapat pulih (nonrecoverable), dan tidak tergantikan (non-substitutable) diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya (Yulianda 2007). Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan (Fandeli 2000; META 2002 in Yulianda 2007) : a.
Wisata alam merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.
b.
Wisata budaya adalah wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.
c.
Ekowisata
merupakan
wisata
berorientasi
pada
lingkungan
untuk
menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam (pesisir meliputi pantai dan lautan, pegunungan, kawasan konservasi) dan industri kepariwisataan. Beberapa karakteristik ekowisata yang membedakannya dengan wisata konvensional antara lain (Damanik dan Weber 2006) : a.
Semua kegiatan wisata berbasis pada pelestarian alam
b.
Penyedia jasa wisata tidak hanya menyiapkan atraksi tetapi juga menawarkan peluang bagi mereka untuk lebih menghargai lingkungan
c.
Objek daya tarik wisata merupakan basis kegiatan wisata
d.
Kegiatan wisata ditujukan pula untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan bagi pelestarian objek dan daya tarik wisata dan membantu pengembangan masyarakat setempat secara berkelanjutan
e.
Perjalanan wisata menggunakan alat transportasi dan akomodasi lokal
f.
Berupa wisata berskala kecil, dalam arti jumlah wisatawan maupun usaha jasa yang dikelola Menurut Yulianda (2007), kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan
konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu wisata pantai dan wisata bahari (Tabel 1). Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga, menikmati pemandangan dan iklim. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut. Tabel 1. Kegiatan ekowisata bahari yang dapat dikembangkan Wisata Pantai Wisata Bahari 1. Rekreasi pantai 1. Rekreasi pantai dan laut 2. Panorama 2. Resort / peristirahatan 3. Resort / peristirahatan 3. Wisata selam dan wisata snorkling 4. Berenang, berjemur 4. Selancar, jet ski, banana boat, perahu kaca, 5. Olahraga pantai (voli pantai, jalan kapal selam pantai, lempar cakram, dll) 5. Wisata ekosistem lamun, wisata pulau, wisata 6. Berperahu nelayan, wisata pendidikan, wisata pancing 7. Memancing 6. Wisata satwa (buaya, penyu, paus, mamalia, 8. Wisata mangrove burung, lumba-lumba, duyung)
Sumber : Yulianda (2007) Pengembangan ekowisata harus dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem mencakup tiga prinsip dasar yaitu meliputi prinsip konservasi, prinsip partisipasi masyarakat, dan prinsip ekonomi. Prinsip konservasi berarti mampu memelihara, melindungi, dan berkontribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam. Prinsip partisipasi masyarakat didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat, serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan. Prinsip ekonomi memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya secara berimbang antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak. Selain itu juga sebaiknya dilandasi dengan prinsip edukasi (mengandung unsur pendidikan untuk mengubah
perilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya) serta prinsip wisata (memberikan kepuasan kepada pengunjung). Menurut Dahuri (2003) sumberdaya hayati pesisir dan lautan seperti populasi ikan hias, terubu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai bentangan alam pesisir unik lainnya, membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menarik dan menakjubkan. Kondisi tersebut menjadi daya tarik bagi wisatawan, sehingga pantas bila dijadikan objek wisata pantai. Pengembangan wisata pantai merupakan upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya taraik wisata pantai tersebut. Wisata pantai merupakan bagian dari wisata pesisir yang memanfaatkan pantai sebagai objek dan daya tarik pariwisata yang dikemas dalam paket wisata. Wisata pantai meliputi semua kegiatan wisata yang berlangsung di daerah pantai seperti menikmati keindahan alam pantai, olahraga pantai, memancing, berperahu, sun bathing, piknik, berkemah dan berenang di pantai. Perkembangannya, jenis kegiatan wisata yang dapat dilakukan di pantai sangat beragam tergantung pada potensi dan arah pengembangan wisata di suatu kawasan pantai tertentu.
2.3. Wisata Pesisir Menurut Hall (2001), konsep wisata pesisir mencakup berbagai aplikasi wisata yaitu waktu luang dan kegiatan yang berorientasi pada wisata yang terjadi di zona pantai hingga lepas pantai. Kegiatan yang biasa dilakukan sebagai wisata pesisir adalah rekreasi, berperahu, kapal pesiar, berenang, rekreasi memancing, snorkling dan menyelam. Wisata pesisir terkait dengan konsep wisata pantai, yaitu perjalanan wisata yang dilakukan dari satu tempat dimana orang tersebut tinggal dan bekerja menuju ketempat lain untuk menikmati lingkungan pesisir. Daya dukung kawasan wisata pesisir berbeda dengan kawasan wisata yang lainnya karena kawasan pesisir sangat rentan terhadap perubahan, terutama yang terkait dengan daya dukung ekologi (lingkungan). Ekosistem pesisir sangat berkaitan satu dengan lainnya. Pembangunan atau pengembangan lanskap kawasan wisata pesisir (daratan) dapat mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung sumberdaya pesisir yang ada di lautan. Pencemaran lingkungan dari
kegiatan pembangunan maupun wisata itu sendiri dapat mengubah kehidupan (ekosistem) di daerah pesisir (UNEP 2009) Kegiatan yang terencana dan revitalisasi masyarakat pesisir yang kompatibel dengan lingkungan alam, meminimalkan risiko dari bahaya alam, dan menyediakan akses sumber daya pesisir ke masyarakat untuk digunakan dan dinikmati. Menurut Hall (2001), ada beberapa kegiatan pengembangan wisata pesisir yang perlu dilakukan yaitu melengkapi sarana wisata seperti; akomodasi, restoran, industri makanan dan penginapan serta prasarana mendukung pembangunan wilayah pesisir yaitu kegiatan perdagangan. Beberapa isu pesisir dan lautan yang mempengaruhi daerah wisata dan pesisir baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu: air bersih, habitat pesisir yang sehat, alami, dan aman, serta lingkungan yang menyenangkan. Selain itu, terdapatnya sumberdaya yang melimpah seperti: ikan, kerang, lahan basah, terumbu karang. Faktor-faktor tersebut sangat penting bagi kebanyakan pengalaman wisata. Keamanan dari risiko yang terkait dengan bahaya pantai alam seperti badai, angin topan, tsunami, dan sejenisnya adalah suatu hal yang harus diminimalisir dalam pengelolaan wisata pesisir sehingga akan terwujud wisata pesisir yang berkelanjutan dalam jangka panjang (UNEP 2009) Habitat pesisir dan sumber daya yang terkandung didalamnya harus dilindungi dan bila perlu dipulihkan. Kualitas perairan pantai harus dipertahankan pada tingkat yang cukup tinggi untuk memberikan estetis yang sehat dan lingkungan yang menyenangkan untuk wisata pesisir. Demikian pula, kegiatan wisata yang dilakukan dipesisir harus dipertahankan pada tingkat yang menarik dan fungsional, serta terhindar dari kemungkinan terkena risiko seperti erosi dan peningkatan frekuensi badai pesisir. Pemeliharaan kondisi aman untuk rekreasi berperahu dan rekreasi air, misalnya: jalur air yang ditandai secara memadai, informasi cuaca, layanan penyelamatan, juga sangat penting. Lembaga-lembaga
publik
untuk
pariwisata
khususnya
kurang
memperhatikan masalah-masalah dalam hal pariwisata kelautan dan pesisir. Di kebanyakan negara, biasanya tidak ada koordinasi antara program-program yang mempromosikan dan memasarkan pariwisata dengan orang-orang yang mengelola wilayah pesisir dan laut.
Pengelolaan pesisir terpadu sering cenderung harus
dilakukan dalam lingkungan atau badan-badan perencanaan. Sementara itu, badanbadan yang berhubungan dengan promosi pariwisata tidak terlibat dengan evaluasi dari efek atau dengan perencanaan dan pengelolaan dampak yang merugikan pariwisata melalui penghindaran, mitigasi, dan strategi kompensasi. Oleh karena itu, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para manajer pesisir adalah bagaimana mengintegrasikan pengembangan wisata di dalam upaya pengelolaan pesisir terpadu, sehingga meningkatkan kemungkinan keberlanjutan wisata pesisir dalam waktu yang panjang.
2.4. Recreation Opportunity Spectrum (ROS) ROS (Recreation Opportunity Spectrum) adalah alat manajemen rekreasi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat di Dinas Kehutanan awal 1980-an untuk mengelola dan melaksanakan pengaturan alam untuk para wisatawan yang berkunjung. ROS fokus kepada identifikasi dan pengelolaan sumberdaya yang tersedia seperti; ruang, fasilitas, kondisi sosial dan ekologi. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai konsistensi dalam pengelolaan rekreasi melalui integrasi rekreasi, perencanaan dan pengelolaan sumber daya. ROS lebih proaktif dan konstruktif mendukung
integrasi
dari
pengalaman
dan
kesempatan
rekreasi
dengan
pertimbangan kondisi ekologi yang diperlukan untuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Recreation Opportunity Spectrum (ROS) merupakan suatu kerangka pemikiran konseptual untuk membantu memperjelas hubungan antara kondisi kawasan, aktivitas dan pengalaman rekreasi (Clark dan Stankey, 1979). Dalam kerangka ini, parameter fisik (physical attribute), pengelolaan (managerial attribute) dan sosial (social attribute) digunakan untuk menguraikan kondisi kawasan rekreasi. Clark dan Stankey (1979) mendefinisikan bahwa ROS merupakan kombinasi dari kondisi fisik, biologi, sosial dan pengelolaan yang memberikan nilai bagi suatu kawasan.
Sementara itu, ROS juga dapat didefinisikan sebagai suatu konsep
pemikiran yang digunakan dalam pengelolaan kawasan alam dan perencanaan kawasan wisata dengan tujuan menghindari terjadinya suatu konflik penggunaan lahan melalui identifikasi kegiatan wisata berdasarkan pada tingkat keberagaman faktor alam, infrastruktur dan pengelolaan yang ada di suatu kawasan.
Penerapan ROS bertujuan untuk mendapatkan keseimbangan dalam pemanfaatan kawasan. Konsep ROS merekomendasikan pembagian zonasi dan kegiatan rekreasi dimana pemanfaatan kawasan diklasifikasikan dan dibagi berdasarkan kondisi lingkungan dan aktivitas rekreasi.
Pemanfaatkan dan
mengembangkan suatu potensi pariwisata harus memperhatikan faktor lingkungan, sosial dan pengelolaan sesuai dengan peruntukan dan tujuan pengembangan suatu kawasan (Gambar 2).
FAKTOR Natural
Environmental conditions
Unnatural
Low density
Social conditions
High density
Undeveloped
Managerial conditions
Developed
The Recreation Opportunity Spectrum
Gambar 2. Pendekatan Recreation Opportunity Spectrum (Sumber: Clark dan Stankey, 1979) Faktor lingkungan (environmental conditions) merupakan kondisi dari suatu kawasan apakah masih bersifat alami atau sudah terdapat campur tangan manusia. Faktor lingkungan suatu kawasan pariwisata sangat penting untuk menentukan jenis dan arah pengembangan wisata di kawasan tersebut. Faktor sosial (social conditions) menggambarkan intensitas pemanfaatan suatu kawasan wisata. Apabila pemanfaatan kawasan wisata telah mencapai tingkat yang tinggi maka untuk pengembangan selanjutnya diperlukan strategi pengelolaan untuk mempertahankan kondisi yang telah ada menjadi lebih baik lagi.
Sebaliknya bila tingkat
pemanfaatannya masih rendah, maka dibutuhkan program untuk memanfaatkan potensi yang ada secara optimal. Faktor pengelolaan (managerial conditions) merupakan faktor–faktor yang menunjukkan bagaimana kondisi pengelolaan di suatu kawasan wisata. Faktor ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan suatu kawasan wisata. Hasil identifikasi faktor–faktor tersebut dapat digunakan untuk menganalisis peluang pengembangan suatu kawasan untuk dijadikan sebagai kawasan wisata
sesuai dengan potensi dan tingkat pengelolaan yang ada. Faktor utama dalam analisis ROS adalah identifikasi parameter kondisi kawasan rekreasi (setting). Parameter kondisi kawasan rekreasi merupakan kondisi keseluruhan dari kawasan rekreasi termasuk parameter fisik, sosial dan pengelolaan sebagai satu kesatuan. Parameter fisik berpengaruh terhadap jenis kegiatan wisata dan pada akhirnya menentukan tipe rekreasi yang dapat dikembangkan. ROS merangkum keragaman dari berbagai parameter kondisi kawasan wisata berdasarkan pengalaman tertentu. Kombinasi dari parameter–parameter tersebut membentuk suatu spektrum yang mengarah pada suatu jenis tipe rekreasi yang dapat dikembangkan bagi kawasan wisata. Berikut parameter kondisi kawasan rekreasi (Recreation Setting Attribute) pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter kawasan rekreasi (Recreation Setting Attribute)
Parameter fisik/lingkungan (Physical Attributes) Sumberdaya alam (perairan dan daratan) Topografi wilayah Oseanografi Kualitas perairan Klimatologi Pembuangan limbah cair dan dampak
Parameter Sosial (Social Attributes) Pendidikan dan tenaga kerja Demografi Presepsi terhadap kawasan wisata Isu dan permasalahan
Parameter pengelolaan (Managerial Attributes) Sarana dan prasarana rekreasi Transportasi dan komunikasi Kebijakan pengelolaan Kondisi Pariwisata Kondisi perikanan
Sumber : Clark dan Stankey (1979) Selain itu ROS merupakan kerangka kerja untuk mengintegrasikan kesempatan rekreasi dan non-kegiatan rekreasi di lahan-lahan masyarakat sehingga para pengelola dapat membuat sebuah keputusan. Pendekatan yang berlaku pada metode ROS ini adalah dengan mengunakan pendekatan kriteria fisik, sosial, dan pengelolaan untuk menggambarkan kondisi yang sudah ada, sehingga dapat menentukan kemampuan dan kesesuaian untuk menyediakan berbagai kegiatan rekreasi. Dari hasil tersebutlah ROS dibagi menjadi empat kelas utama: kondisi empat kelas ini berdasarkan kepadatan lingkungan untuk kegiatan pengaturan. Kondisi fisik, sosial, dan pengelolaan akan berbeda-beda disetiap kelasnya. Berikut keempat kelas yang ada pada ROS berikut dengan pengklasifikasiannya yang terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi kelas ROS Kelas ROS
Keterangan
Primitive
Area ini ditandai dengan belum ada kegiatan yang merusak lingkungan alam yang cukup besar. Pengguna masih tergolong minim. Sistem jalan belum ada. Infrastruktur masih tergolong sedikit dan sederhana. Secara umum, sumber daya masih alami dan belum berubah. Vegetasi berada dalam keadaan alami. Wilayah ini dicirikan oleh lingkungan alam yang belum rusak. Pengguna dengan konsentrasi rendah. Daerah lebih mudah diakses dari kelas primitif, tetapi masih jauh dari keramaian dan jalan raya. Vegetasi, dan sumber daya yang sebagian besar adalah alami tetapi mungkin ada beberapa dampak seperti adanya kegiatan manusia. Wilayah ini dicirikan oleh lingkungan alam yang belum dipengaruhi. Konsentrasi pengguna sudah ada tetapi jarang. Tidak bisa diakses oleh kendaraan beroda empat. Beberapa bagian dari daerah mungkin jauh dari jalan raya. Vegetasi sebagian besar adalah alami tapi wilayah lokal mungkin ada gangguan seperti kerusakan akibat terkena dampak kegiatan manusia. Wilayah ini dicirikan oleh lingkungan alam yang telah berubah secara substansial. Adanya kegitan pemanfaatan sumberdaya. Area biasanya bisa diakses oleh kendaraan bermotor dari daerah mana pun, bisnis, dan struktur lainnya juga telah ada. Lalu Lintas tingkat daerah cukup konstan karena dihuni. Vegetasi dan sumberdaya juga telah mengalami perubahan akibat dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya.
Semi-primitive nonmotorized
Semi-primitive motorized
Rural
(Sumber: Clark dan Stankey (1979) Dari keempat kelas tersebut dapat dilihat karakteristik setiap kelasnya, perbedaan tersebut berdasarkan kriteria fisik (sumber dan fasilitas), kriteria sosial (pengunjung dan pengguna) dan kriteria administratif (pengelolaan dan pengaturan pelayanan) seperti yang terlihat pada Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6 yaitu :
Tabel 4. Klasifikasi berdasarkan kriteria fisik (sumber dan fasilitas) Keterangan
Primitive
Remoteness
Besar kesempatan untuk sendiri lebih dari 5 mil dari jalan belum ada pembangunan infrastruktur
Naturalness
pemandangan terganggu
Fasilitas
alam
umumnya tidak ada, ada pun jumlahnya sedikit.
Semi-Primitive non-motorized kecil kesempatan untuk sendiri 5 mil dari jalan sudah ada pembangunan infrastruktur tetapi tidak mengganggu pemandangan munculnya lanskap dan pembangunan infrastruktur jalan kaki yang dipertahankan
(Sumber: Clark dan Stankey (1979)
Semi-Primitive motorized kecil kesempatan untuk sendiri mudah diakses sudah ada pembangunan infrastruktur tetapi tidak mengganggu pemandangan munculnya lanskap tidak dominan, ada pembangunan infrastruktur aksesibilitas dipertahankan atau dipelihara
Rural sangat kecil kesempatan untuk sendiri tinggi perasaan aman dekat jalan utama di dekat sebuah kota
sudah dibangun Infrastruktur, kesan alami tidak terlihat lagi fasilitas modern yang tersedia
Tabel 5. Klasifikasi berdasarkan kriteria sosial (pengunjung dan pengguna) Keterangan
Primitive
Sosial Encounters
kecil kemunginan untuk bertemu dan melihat pengunjung lain secara langsung ukuran kelompok kecil (<3)
Semi-Primitive non-motorized ada kemunginan untuk bertemu dan melihat pengunjung lain secara langsung ukuran grup sosial (<5)
Semi-Primitive motorized ada kemunginan untuk bertemu dan melihat pengunjung lain secara langsung ukuran grup sosial (<5)
Bukti-bukti
ditemukan bekas ditemukan bukti orang yang sumberdaya yang berekreasi rusak akibat ada dulunya kegiatan manusia
ada jalan, kebisingan, serta tempat-tempat rekreasi
Rural tinggi kemunginan untuk bertemu dan melihat pengunjung lain secara langsung ukuran grup sosial sangat bervariasi banyak pengunjung peningkatan jumlah sampah
(Sumber: Clark dan Stankey (1979)
Tabel 6. Klasifikasi berdasarkan kriteria administratif (pengelolaan dan pengaturan pelayanan) Keterangan
Primitive
Perjalanan pengunjung
Pengelolaan
Biaya penggunaan
Semi-Primitive Semi-Primitive Rural non-motorized motorized ada peta ada peta ada peta ada iklan tidak ada guide tempat mudah tempat mudah wisata (pembimbing dicari dicari ada buku wisata) ada guide ada guide panduan wisata (pembimbing (pembimbing wisata wisata tidak ada tidak ada ada memiliki aturan pengunjung pengunjung pengunjung yang jelas yang yang yang ada kegiatan menguasai menguasai menguasai dan patroli kawasan dan tidak ada dan tidak ada memiliki batasan batasan perbatasan tertentu terbatas dalam menggunakan sumberdaya ada hukum yang berlaku tidak ada tidak ada tidak ada ada
(Sumber: Clark dan Stankey (1979)