9
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Pesisir dan Klasifikasi Garis Pantai
2.1.1
Definisi Wilayah Pesisir dan Garis Pantai Hingga saat ini masih belum ada definisi wilayah pesisir yang benar-benar
baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore). Selain itu, menurut kesepakatan umum di dunia bahwa termasuk yang menjadi wilayah peralihan antara daratan dan lautan dalam batasan wilayah pesisir adalah: a) batas wilayah pesisir ke arah darat yaitu jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti; pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, dan b) batas ke arah laut yaitu batas yuridiksi wilayah propinsi atau state di suatu negara, atau secara alamiah mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat, seperti; penggundulan hutan, pertanian dan pencemaran (Dahuri et al. 1996) Guariglia et al. (2006) menerangkan bahwa garis pantai (coastline) didefinsikan sebagai batas antara permukaan darat dan permukaan air. Faktorfaktor yang perlu diperhatikan hubungannya dengan keseimbangan dinamika alami perubahan garis pantai diantaranya adalah faktor; hidrografi, iklim, geologi, dan vegetasi. Berkenan dengan berbagi faktor tersebut, untuk mendokumentasikan dan memetakan perubahan lokasi suatu garis pantai maka dikenal beberapa proksi yang menjadi fitur bagi terminologi batas darat-air sebagai garis pantai. Ini bergantung pada data yang digunakan, acuan pendekatan, serta lokasi pantai tersebut berada atau pun instansi bersangkutan. Beberapa proksi yang dikenal terkait dalam memetakan perubahan sebuah garis pantai misalnya; garis vegetasi (vegetation line), garis basah dan/atau kering
10
(wet-dry line), garis air pasang (High Water line, HWL) dan rerata tinggi air pasang (Mean High Water, MHW) (Morton and Miler, 2005 ; Harris et al. 2006 ; Fletcher et al. 2010). Daerah (areal) pantai serta garis pantai (batas darat-air) dalam kawasan pesisir memiliki keragaman fitur masing-masing. Gradasi masing-masing fitur bagi pantai (areal) maupun garis pantai (batas) adalah secara temporal, spasial atau pun gabungan keduanya. Konsep bagian gradasi fitur inilah yang membedakan berbagai definisi mengenai pengertian pesisir, pantai, dan garis pantai pada masing-masing disiplin ilmu. Termasuk kepentingan pengelolaan dalam kawasan pesisir yang umum dikenal sebagai daerah banyak kepentingan (multipurpose). Untuk maksud simplikasi dan penyamaan konsep sehubungan dengan pendekatan metodologi yang digunakan dalam analisis. Cakupan pengertian bagi istilah pesisir, pantai, serta garis pantai, selanjutnya mencakup seperti pada Gambar 2, sebagai berikut:
Garis Pantai: Istilah ini digunakan merujuk pada fitur garis (polyline) yang menjadi batas
langsung antara permukaan air dengan permukaan darat (gabungan tanah dan vegetasi) berdasarkan hasil deliniasi keduanya (darat-air) dalam metode ekstraksi data citra (Landsat). Dengan demikian dalam istilah ini mencakup pula garis yang menjadi batas antara darat dengan air tawar dan payau (misalnya oleh sungai, kolam, dan tambak dalam kawasan pantai) yang teridentifikasi berhubungan langsung dengan air laut berdasarkan hasil ekstraksinya menurut resolusi dataset Landsat yang digunakan (30 meter).
Pantai: Istilah pantai digunakan untuk merujuk pada fitur areal (polygon) di mana ke
arah darat (landward) dan ke arah laut (seaward) masing-masing dibatasi berjarak 1 km dari garis pantai berdasarkan bereferensi rerata muka laut (MSL) yang bersumber dari peta RBI Bakosurtanal. Pada kedua areal ini berlangsung gradasi dari tiap fitur geo-fisik yang menjadi bagian pengamatan masing-masing variabel kerentanan, seperti: jenis bentang dan tutupan lahan geomorfologi, elevasi (slope),
11 tinggi capain gelombang, pasang surut, serta muka laut ke arah darat, termasuk daerah berlangsungnya proses erosi dan akresi bagi perubahan garis pantai.
Pesisir: Secara umum istilah ini ditujukan untuk kawasan lebih luas bagi lokasi
berlangsungnya gradasi yang menjadi fitur pantai (areal) dan garis pantai (batas) dalam wilayah administrasi dan pengelolaan, baik secara antropologi maupun lingkungan.
Gambar 2
2.1.2
Diagram batasan bagi wilayah pesisir, pantai, dan garis pantai yang digunakan dalam penelitian untuk pengamatan gradasi fitur dalam variabel kerentanan pantai (Sumber: modifikasi dari berbagai sumber)
Jenis Garis Pantai dan Klasifikasi Pantai Bird (1970) dalam Hermanto (1986) membagi garis pantai dalam dua
kelompok besar berdasarkan faktor pengaruh gerakan tektonik, gerakan eustatik dan kombinasi keduanya, yaitu: a) garis pantai naik – merupakan jenis garis pantai yang mengalami pengangkatan, biasanya lurus dan datar disebabkan oleh wilayah daratannya mengalami pengangkatan, serta b) garis pantai turun – merupakan jenis garis pantai yang mengalami penurunan, biasanya memiliki bentuk yang tidak lurus disebabkan oleh daratannya mengalami penurunan.
12
Davies (1964) dalam Finkl (2004) menerapkan pengklasifikasian pantaipantai di dunia berdasarkan kisaran pasang surut menurut energinya mempengaruhi morfologi pantai. Pengklasifikasin tersebut diperluas oleh Hayes (1979) dalam CECW-EG (1995) untuk membagi lima kategori pantai, yaitu; a) pantai microtidal dengan kisaran pasut < 1 m, b) pantai low-mesotidal, kisaran pasut antara 1 – 2 m, c) pantai high- mesotidal, kisaran pasut antara 2 – 3,5 m, d) pantai low-macrotidal, kisaran pasut antara 3.5 – 5 m, serta e) pantai macrotidal, yakni kisaran pasutnya > 5 m.
2.2
Kenaikan Muka Air Laut Permukaan laut adalah rerata ketinggi muka laut terhadap daratan.
Ketinggian rerata muka air tersebut dipengaruhi oleh aksi angin, gelombang serta pasang surut yang diamati dan dicatat selama beberapa waktu (hari, bulan, atau tahun). Dalam sejarah geologi tercatat bahwa selama periode jutaan tahun telah terjadi perubahan-perubahan vertikal daratan terhadap lautan. Pada periode kirakira jutaan tahun yang lalu terjadi penurunan muka air laut kurang lebih 100 meter terhadap muka laut sekarang. Sedangkan pada zaman es terjadi kenaikan kira-kira 40 meter (Pethick, 1989). Fluktuasi muka air laut dapat disebabkan oleh perubahan elevasi mutlak muka air laut yaitu perubahan yang disebabkan oleh adanya pemuaian. Dikenal pula fluktuasi oleh perubahan elevasi nisbi, yaitu perubahan yang disebabkan oleh adanya gerakan tektonik atau faktor-faktor alam lainnya, seperti: tekanan atmosfer, densitas air laut, gempa dan lain-lain. Fluktuasi air laut mutlak memiliki jangkauan yang luas atau bersifat global, sedangkan perubahan muka air laut nisbi biasanya bersifat sangat lokal (Soemarwoto, 1992). Menurut Sutisna dan Manurung (2002) bahwa penyebab kenaikan muka air laut dapat digolongkan menjadi 3 faktor, yaitu: 1) Faktor Global. Penyebab utama kenaikan muka air laut faktor global adalah ekspansi termal dari lapisan permukaan laut dan mencairnya glatcier. Penyebab lainnya adalah kondisi muka air laut yang dipengaruhi oleh iklim. Perubahan kedudukan muka
13 air laut akibat faktor global inilah yang menjadi kekhawatiran utama pada abad ke-21 karena bisa berdampak tenggelamnya dataran pantai yang rendah, 2) Faktor Regional Faktor ini pada umumnya ditimbulkan oleh aktifitas tektonik dalam suatu region yang meliputi daerah yang relatif luas, misalnya yaitu pergeseran lempeng tektonik, 3) Faktor Lokal Efek lokal terutama dipengaruhi oleh proses subsidensi akibat perubahan masa tanah sekitar akibat kegiatan manusia diatasnya serta perubahan fluida di bawah tanah. Terjadinya subsidensi pada efek lokal selanjutnya masih harus memperhatikan efek dari distorsi yang sifatnya sangat lokal, yaitu: penurunan sangat lokal akibat adanya ketidakstabilan tempat benchmark serta rebounce penambahan masa lokal seperti penambahan konstruksi bangunan dermaga dimana stasiun pasut (pasang surut) ditempatkan. Pengamatan temperatur global sejak abad ke-19 menunjukkan adanya perubahan rerata temperatur global yang menjadi indikator adanya perubahan iklim global. Rerata kenaikan rerata temperatur global ini antara Tahun 1906 hingga Tahun 2005 adalah sebesar 0.74
o
C. Rerata temperatur global
diproyeksikan akan terus meningkat sekitar 1,8 – 4,0 oC di abad ini. Bahkan menurut kajian IPCC (2007) diproyeksikan berkisar antara 1.1 – 6.4 oC. Hal ini tentunya berdampak pada laju kenaikan muka laut (Susandi et al. 2008). Di laporan lain IPCC (2007) dalam Ojeda-Zújar et al. (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan pengukuran dari satelit altimeter Topex/Poseidon laju kenaikan muka laut global adalah 3,1 mm/tahun ± 0,7. Sedangkan berdasarkan keragaan numerik, pada akhir abad 21 diperkirakan kenaikan muka muka laut akan meningkat antara 18 cm (berdasarkan skenario emisi gas rumah kaca) hingga 58 cm (berdasarkan tanpa penanganan terhadap emisi gas rumah kaca). Sebaran geografis arah gejala kenaikan muka laut global (mm/thn) berdasarkan pengamatan satelit altimeti Topex/Poseidon serta distribusi geografis arah gejala pemuaian termal (mm/tahun) dari tahun 1993 hingga 2003 ditampilkan pada Gambar 3. Pada Gambar 3 terlihat bahwa secara umum perairan Indonesia memiliki arah gejala yang relatif tinggi berdasarkan kedua data.
14
A
Gambar 3
2.2.1
B
Sebaran geografis sepanjang tahun 1993-2003 menurut rekaman data pengamatan satelit TOPEX/Poseidon untuk (A) arah gejala kenaikan muka laut global dan (B) pemuaian termal lautan (Sumber; USCCSP, 2009)
Kenaikan Muka Air Laut di Indonesia Menurut Diposaptono (2009) bahwa terdapat enam faktor yang berkaitan
dengan perubahan muka laut di Indonesia sebagai dampak perubahan iklim global. Dua faktor merupakan proses penyebab, meliputi; 1) pencairan es di kutub, dan 2) proses pemuaian air laut akibat pemanasan global. Sedangkan 4 faktor lainnya merupakan faktor yang bersifat mempengaruhi perubahan muka air laut, mencakup: 3) dampak perubahan kerak bumi akibat aktivitas tektonik, 4) penurunan tanah akibat gempa atau aktivitas seismic dan pemampatan tanah akibat kondisi tanah yang labil, 5) penurunan tanah akibat aktivitas manusia, misal pengambilan air tanah, ekstraksi gas dan minyak, atau pembebanan dengan bangunan, serta 6) adanya variasi akibat fluktuasi iklim seperti fenomena La Nina yang membawa aliran air hangat dari Samudra Pasifik ke Indonesia. Ditambahkan bahwa keenam faktor ini penting diketahui di dalam agenda adaptasi dan mitigasi. Bukti kenaikan muka laut relatif di beberapa perairan Indonesia berdasarkan perekaman data satelit altimetri Topex telah diamati oleh Nurmaulia et al. (2005) mencakup lokasi wilayah perairan seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Pengamatan mereka selama 10 tahun (10 Agustus 1992 - 23 Juli 2002) menunjukkan indikasi rerata kenaikan muka laut wilayah perairan Indonesia sekitar 8 mm/tahun, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 diketahui pula
15 bahwa jika dibandingkan berbagai zona dalam wilayah perairan Indonesia maka zona yang memiliki arah gejala kenaikan muka laut tertinggi adalah perairan Laut Jawa yakni sebesar 11 mm/thn.
Gambar 4
Cakupan zona perairan kajian fenomena kenaikan muka laut yang dilaporkan di Indonesia oleh Nurmaulia et al. (2005).
Sebagai tambahan, Nurmaulia et al. (2005) mencatat adanya hasil rerata Sea Level Anlomay (SLA) yang berbeda berdasarkan penggunaan kedua keragaan (contohnya untuk daerah kajian seperti Samudera Hindia 1, Laut Maluku dan Laut Bangka) yang mengindikasikan kesalahan keragaan (mismodeling) pasut global. Mereka merekomendasikan bahwa untuk daerah yang sifatnya lokal diperlukan resolusi pasang surut yang lebih baik. Tabel 1
Estimasi laju kecepatan (velocity rates) kenaikan muka laut untuk beberapa daerah perairan laut Indonesia berdasarkan hasil perbandingan pengamatan menggunakan 2 jenis keragaan pasang surut global (GOT00.2 dan FES2002). (Sumber: Laporan Nurmaulia et al. (2005)
No
Daerah Kajian
1
Samudera Hindia 1
Estimasi trend linier pada GOT00.2 (mm/tahun)
Estimasi trend linier pada FES2002 (mm/tahun)
8,7
7,9
2
Samudera Hindia 2
8,3
8,3
3
Laut Jawa
11,1
11,1
4
Laut Bangka
5,99
5,48
5
Laut Maluku
8,55
6,63
6
Laut Banda
8,76
8,76
16
2.2.22
Dampak k Kenaikan n Muka Laut Samyahaardja (2001)) meneranggkan bahwa dengan meemperhatikaan skenario
kenaaikan muka air laut akibbat pemanaasan global (global warrming), makka dampak kenaaikan muka laut tidak hanya terjaadi di kota--kota yang langsung bberhadapan denggan pantai, melainkan juga daeraah kota hin ngga di peedalaman yang masih terpeengaruh olehh sifat-sifat laut. Adapuun dampak--dampak yaang dapat diiperkirakan bagi daerah tersebut adalahh; a) genanggan di lahan rendah dann rawa, b) errosi pantai, c) geelombang besar dan baanjir, d) kennaikan muk ka air sungaai, e) intrusii air garam sunggai dan air taanah, f) kennaikan mukaa air sungai, g) perubahhan deposit sendimen, sertaa h) perubahhan pasangg dan ombaak. Secara umum u berbagai dampaak tersebut dapaat digambarkkan seperti dalam diagrram yang diitunjukkan pada p Gambbar 5.
Gam mbar 5
Diagram beberapa damppak perubaahan air laaut terhadapp kawasan B of Seea Level Rise R 2000, center for panntai (Sumbber; Data Book Gloobal Enviroonment Research, NIES ES, Environm men Agencyy of Japan, 2000 (Samyahhardja, 20011)).
17 2.3
Perubahan Garis Pantai
2.3.1 Perubahan Muka Laut dan Kestabilan Pantai Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa sehubungan dengan dampak kenaikan muka laut terhadap erosi pantai, sedikitnya 70 persen dari pantai berpasir di dunia diketahui mengalami pemunduran (erosi) sehingga menjadi sebuah problem global. Pada prinsipnya tiga kandidat penyebab erosi global yang berlangsung diseluruh dunia tersebut yaitu; a) kenaikan muka laut, b) badai akibat perubahan iklim, dan c) gangguan lingkungan berasal dari manusia. Namun, tidak terdapat indikasi nyata dari keberlangsungan peningkatan badai selama kurun waktu seratus tahun terakhir. Demikian pula gangguan manusia terhadap lingkungan tidak sama besar di seluruh dunia dan beragam secara regional. Dengan demikian kandidat penyebab yang sangat mungkin hanya tinggal kenaikan muka laut. Sehingga penentuan apakah kenaikan muka laut itu meningkat atau tidak menjadi sangat penting.
2.3.2 Monitoring Perubahan Garis Pantai Terdapat sejumlah teknik untuk mendeliniasi batas darat-laut (air) yang digunakan dalam mengekstrak garis pantai. Zhao et al. (2008) menerangkan bahwa secara umum teknik-teknik ini dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, yaitu ; a) Pengukuran dengan survei lapang. Teknik ini dapat menghasilkan pengukuran dengan akurasi yang tinggi, kelemahannya membutuhkan tenaga dan waktu yang banyak serta terkadang pendekatan ini dibatasi oleh kesulitan akses; b) Teknologi altimeter modern menggunakan radar altimeter atau laser altimeter. Metode ini sangat potensial namun kekurangannya detektor yang diperlukan sangat sulit didapatkan; c) Pengukuran menggunakan citra foto udara. Metode ini menyediakan hasil yang cukup informatif, kelemahannya frekuensi data akuisisi yang rendah dan prosedur fotogrametrik serta akuisisi data juga pemetaan citranya yang mahal serta membutuhkan waktu yang sangat banyak;
18
d) Interprestasi citra satelit. Metode ini dapat memonitor cakupan wilayah yang luas dengan pengulangan sehingga bisa menyediakan data yang sesuai secara temporal bagi kajian-kajian fenomena dinamika garis pantai.
2.3.3 Data Citra Landsat dalam Monitoring Perubahan Garis Pantai Ruiz et al. (2007) mengatakan bahwa penggunaan data citra dengan resolusi spasial menengah seperti Spot dan Landsat (20-30 m/piksel) sesuai untuk aplikasi monitoring dinamika garis pantai. Penggunaan jenis data citra resolusi menengah memberikan setidaknya dua keuntungan, yaitu 1) ketersediaan yang mudah untuk pengamatan secara deret waktu di mana data Landsat TM bisa diperoleh sejak dekade awal 1980, serta 2) mengurangi biaya dibandingkan penggunaan jenis data beresolusi tinggi. Pemantauan serta pemetaan proses kestabilan yang terjadi pada suatu garis pantai berdasarkan perbandingan rekaman citra satelit secara deret waktu ini dilakukan dengan mengamati pertambahan areal tanah akibat sedimentasi atau pun berkurangnya areal tanah akibat erosi dan abrasi.
2.3.4 Ekstraksi Garis Pantai Menggunakan Data Citra Landsat Ekstraksi atau deliniasi batas darat-laut menggunakan teknik penginderaan jauh data citra Landsat TM dan ETM+ dapat meliputi beberapa teknik, yaitu: interprestasi visual, teknik berbasis nilai spektral (differencing, regresi citra, dan analisis nilai digital), komposit multi-data, serta analisis perubahan vektor (Lipakis et al. 2008). Di bagian lain, beberapa metode penajaman citra mencakup spatial filtering, komposit RGB, rationing, klasifikasi, density slicing, metode BILKO (yaitu sebuah program khusus yang dikembangkan oleh UNESCO untuk menentukan batas darat-laut berdasarkan band infra merah), serta metode algoritma
AGSO
(Australian
Geological
Surveys
Organization)
yang
dikembangkan untuk memetakan citra perairan dangkal. Semua metode pendekatan penajaman citra tersebut berguna dalam membuat batas yang jelas darat-laut sehingga memudahkan dalam digitasi (Hanifa et al. 2007). Pengekstraksian garis pantai dengan metode single band biasa memanfaatkan Band-4, 5, dan 7. Untuk keperluan ini, Band-4 dapat digunakan
19 untuk mengumpulkan informasi batas garis pantai yang diliputi vegetasi, sementara Band-5 dan 7 masing-masing dapat digunakan memperoleh informasi garis pantai yang ditutupi oleh tanah dan bebatuan.
Pendekatan lain adalah
menggunakan metode band ratio (rationing) yaitu antara Band-4 dengan Band-2 (b4/b2) serta Band-5 dengan Band-2 (b5/b2). Dalam metode rationing, batas antara laut dan darat dapat dipisahkan dengan mudah untuk pengekstraksian informasi garis pantai (Winarso et al. 2001). Metode gabungan band (false colour composite RGB) juga banyak digunakan terutama untuk membantu secara visual dalam pengengekstraksian garis pantai. Beberapa gabungan band yang sering digunakan di antaranya; RGB453, RGB-147, RGB-457, dan RGB-321. Adapun jenis band yang sangat sesuai untuk penentuan batas (threshold) level slicing untuk deliniasi garis pantai dengan data citra Landsat TM beresolusi 30 meter adalah Band-5. (Winarso et al. 2001 ; Alesheikh et al. 2007 ; Hanifa et al. 2007).
2.3.5 Koreksi Pasang Surut dalam Ekstraksi Garis Pantai Menurut Harintaka dan Kartini (2009) bahwa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengekstrasian garis pantai menggunakan data citra adalah jenis rekaman data citra itu sendiri yang bersifat sesaat. Agar hasil ekstraksi garis pantai dari data citra dianggap dapat mewakili kondisi garis pantai sebenarnya maka diperlukan data pasang surut daerah perekaman citra.
2.3.6 Metode Penentuan Perubahan Posisi Garis Pantai dan Statistika Penghitungan Laju Perubahan Garis Pantai Laju perubahan garis pantai dapat diartikan sebagai profil suatu garis pantai dalam proses kestabilannya (maju-mundur) setiap tiap tahun. Dalam metode penentuan laju perubahan posisi suatu garis pantai menurut suatu rentang waktu, laju perubahan garis pantai diekspresikan sebagai jarak dari suatu posisi garis pantai mengalami perpindahan dalam tiap tahun (Himmelstoss, 2009). Berkenan dengan hal tersebut, terdapat 2 metode yang berkembang saat di lingkungan SIG terkait penentuan perubahan garis pantai, yaitu: metode singletransect (ST-Method), dan alternatifnya yaitu metode Eigenbeaches (EX and EXT
20
Method) yang lahir melengkapi kekurangan metode single transect (Vitousek et al. 2009). Dalam teknik single transect, laju akresi/erosi dihitung sebagai panjang jarak tiap transect (fitur line) yang bersinggungan dengan masing-masing fiturset garis pantai berbeda. Single transect ini dibuat tegak lurus terhadap baseline yang dibuat baik pada arah seaward maupun landward dari masing-masing fiturset garis pantai menggunakan buffer tool. Contoh penerapan metode single transect dan bagian komponen metode ini dalam penentuan profil perubahan garis pantai ditampilkan pada Gambar 6.
A
Gambar 6
B
Contoh dari (A) penerapan metode single transect dan (B) komponen yang menjadi fiturset dalam metode single transect (Sumber: Thieler et al.2001 ; Himmelstoss, 2009).
Pada perangkat aplikasi SIG seperti ArcGIS dan ArcView, teknik single transect untuk perhitungan laju perubahan garis pantai telah diintegraskan ke dalam ekstension bernama Digital Shoreline Analysis System, disingkat DSAS Ekstension ini dikembangkan oleh Departement Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) dan telah banyak digunakan terutama untuk menghitung laju perubahan garis pantai yang diekstrak dari citra resolusi tinggi (Thieler et al. 2005 ; Himmelstoss, 2009). Beragam metode pendekatan statistika penghitungan laju perubahan garis pantai yang digunakan dalam metode singe transect dijelaskan oleh Dolan et al. (1991) dalam Thieler et al. (2001), mencakup; End Point Rate (EPR), Average of Rates (AOR), Linier Regression, Jacknife, dan Average of Eras (AOE).
21 Laju perubahan garis dalam metode End Point Rate diekspresikan sebagai jarak perpindahan (meter) dari suatu posisi garis pantai dalam rentang waktu pengamatan (tahun). Secara teknis laju perubahan (meter/tahun) ditentukan dengan membagi jarak perpindahan posisi garis pantai bersangkutan (meter) terhadap waktu perpindahan lokasinya (tahun) menurut banyaknya deret waktu yang menjadi lama perubahan (Thieler et al.2001 ; Himmelstoss, 2009 ; Hapke et al. 2010). Secara matematis hal ini diformulasikan sebagai berikut (Moore et al,. 2006 dalam Limber et al. 2007):
di mana RSe adalah perubahan end-point rate; X0 adalah ukuran jarak horisontal antar garis pantai; serta t adalah rentang waktu posisi antar garis pantai yang digunakan untk penghitungan end point rate.
2.4
Kerentanan Davis et al. (2004) menerangkan bahwa upaya memperkecil resiko
terhadap suatu dampak yang mungkin terjadi di masa datang bisa dilakukan dengan melakukan penelitian faktor-faktor resiko yang berperan. Faktor-faktor tersebut dapat dibagai atas: bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), ketahanan (capacity), serta estimasi kerugian (loss estimation). Menurut Kumar et al. (2010) bahwa kerentanan dapat didefinisikan sebagai suatu faktor resiko internal dari subyek atau sistim untuk terekspos suatu bahaya sehubungan dengan kecenderungannya mudah dipengaruhi atau rentan terhadap kerusakan. Saat ini secara umum konsep bahaya (hazard) digunakan untuk merujuk terhadap bahaya terpendam (latent danger) atau faktor resiko eksternal dari sebuah sistim atau subyek yang mengalami. Kebanyakan status kerentanan digambarkan dalam bentuk skala tertentu. Misalnya Office of United Nations Development Relief Organization (UNDRO) mendefinisikan kerentanan sebagai; “The degree of loss to a given element or set of elements at risk resulting from the occurrence of a natural phenomenon of a given magnitude. It is expressed on a scale from 0 (no damage) to 1 (total damage)” (Selvavinayagam, 2008A)
22
2.4.1 Indeks Kerentanan Pantai (CVI) Ramieri et al, (2011) memaparkan sejumlah metode yang telah dikembangkan saat ini terkait dengan penilaian kerentanan pantai terhadap dampak perubahan iklim. Berbagai metode tersebut mencakup pendekatanpendekatan berbasis indeks, Sistim Informasi Geografis (SIG), serta keragaan dinamik komputer. Dalam hal ini Coastal Vulnerability Index (CVI) adalah salah satu metode berbasis indeks yang telah umum digunakan untuk menilai kerentanan pantai terhadap kenaikan muka laut, terutama kaitannya dengan akibat oleh erosi dan/atau genangan (inundation). Metode
CVI
diperkenalkan
oleh
Gornitz
et
al.
(1991)
untuk
mengidentifikasi kawasan-kawasan beresiko terhadap erosi dan/atau kejadiankejadian iklim ekstrim baik yang berlangsung permanen maupun temporal, seperti: badai, banjir, dan lain-lain (Iglesias-Campos et al. 2010). Metode CVI menyediakan dasar numerik sederhana perankingan bagian-bagian dari garis pantai (coastline section) dalam artian potensinya terhadap perubahan untuk digunakan oleh para pengelola mengidentifikasi daerah-daerah yang relatif beresiko tinggi (Gornitz et al. 1997; Gutierrez et al. 2009). Dalam pendekatan metode CVI kerentanan diformulasikan melalui enam jenis variabel yang terbagai ke dalam 2 kelompok; 1) variabel geologi dan 2) variabel proses-proses fisik, seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2
Pembagian kelompok enam varibael input CVI dan masing-masing peranannya dalam penilaian Indeks Kerentanan Pantai (Sumber: Gornitz et al. 1991 ; Thieler and Hammar-Klose, 1999 ; Pendleton et al. 2004A ; 2005B ; Gutierrez et al. 2009).
Group
Variabel
Aplikasi Penilaian
A)
Geologi
1) Geomorfologi, 2) Laju Perubahan Garis Pantai, 3) Kelandaian (slope) pantai secara regional,
1) Resistensi terhadap erosi, 2) Trend keberlangsungan erosi , 3) Sensitivitas terhadap proses genangan,
B)
Proses Fisik
4) Perubahan muka laut relative, 5) Rerata tinggi gelombang, 6) Rerata tinggi pasangsurut
4), 5), 6) Kontribusi menyebabkan bahaya erosi dan genangan kawasan pantai dalam skala waktu jam hingga abad
23 Potensi masing-masing variabel mengakibatkan perubahan fisik pantai selanjutnya ditandai menggunakan sistim ranking dengan selang diskrit 1 – 5 (sangat rendah, rendah, moderat, tinggi, dan sangat tinggi). Hasil penerapan ranking masing-masing variabel selanjutnya digunakan untuk penghitungan nilai skor indeks kerentanan. Kerentanan berdasarkan potensi tiap variabel yang ditunjukkan oleh kelas ranking masing-masing variabel merupakan bentuk penilaian kerentanan parsial (kerentanan variabel). Sedangkan penilaian berdasarkan hasil interaksi masing-masing ranking tersebut menjadi nilai skor indeks merupakan bentuk penilaian kerentanan simultan (indeks kerentanan). Pembagian diskrit kategori indeks kerentanan pada skor indeks ditetapkan menggunakan aturan jangkauan kuartil (25%, 50%, dan 75%). Sehingga diperoleh empat kategori indeks kerentanan pantai (1 – 4), berturut-turut mewakili kategori; rendah, moderat, tinggi, dan sangat tinggi, Pendekatan metode CVI memungkinkan para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan memperoleh kemudahan dalam menyoroti serta membuat program-program pengelolaan yang sesuai bagi daerah-daerah mana saja dari kawasan-kawasan pantai yang dinilai memiliki kerentanan tertinggi terhadap dampak kenaikan muka laut. Berkenan dengan relatifitas ranking yang ditentukan oleh kondisi masingmasing data variabel pada tiap kawasan maka dibutuhkan kisaran data dari masing-masing variabel yang sesuai menurut skala penilaian kerentanan (lokal, nasional, regional, maupun global). Untuk penilaian skala lokal, kisaran data tiap variabel yang dibutuhkan cukup dikumpulkan dari kawasan bersangkutan, namun untuk penilaian skala nasional maka range data yang dijadikan acuan ranking berasal dari kisaran data yang mewakili kondisi masing-masing variabel pada cakupan kawasan pantai yang dinilai secara nasional (Pendleton et al. 2005A ; 2005B).
2.4.2 Integrasi Sistim Informasi Geografis (SIG) dan Multi-Criteria Analysis (MCA) dalam Analisis Kerentanan Sebagai sebuah sistim informasi, SIG memiliki kemampuan berbeda dari sistim informasi lain terutama dalam hal mengumpulkan, menyimpan,
24
menampilkan, serta mengkorelasi data spasial dari fenomena geografis untuk dianalisa dimana hasilnya dikomunikasikan kepada pemakai data. Kemampuan aplikasi SIG menganalisis data berorientasi geografis dapat digunakan untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, dan keragaan (Aronoff, 1989 ; ESRI,1990) Youssef et al. (2009) menerangkan bahwa aplikasi SIG merupakan sebuah tool yang powerful untuk digunakan dalam penilaian daerah beresiko dan pengelolaan bahaya-bahaya alami. Peta-peta resiko dan kerentanan yang dihasilkan bisa menjadi suatu penilaian cepat yang membantu para pengambil keputusan terhadap dampak potensi bahaya-bahaya alam sehingga dapat segera memulai
langkah-langkah
yang
sesuai
terhadap
antisipasi
dampak,
penanggulangan dampak yang sedang berlangsung, juga membantu setelah berlangsungnya proses bahaya untuk menilai jumlah kerugian dan kehilangan yang ditimbulkan oleh proses bahaya. Multi-Criteria Analysis (MCA) sering pula diistilahkan dengan Metode Sidik Kriteria Ganda atau disingkat SKG (Susilo, 2006). Roy (1996) dalam Chakhar and Mousseau (2007) secara umum mendefinisikan MCA sebagai alat bantu
keputusan
serta
merupakan
sebuah
perangkat
matematika
yang
memungkinkan perbandingan alternatif-alternatif atau skenario-skenario berbeda dengan banyak kriteria (peubah), kadang-kadang saling bertentangan yang dapat mengarahkan pada sebuah pengambilan keputusan yang bijak. Keputusan yang dihasilkan melalui MCA dapat dievaluasi sewaktu-waktu. Evaluasi dalam MCA mencakup pilihan-pilihan (option) serta kriteria. Terkadang evaluasi yang menyeluruh dilakukan dengan menggabung keduanya, yakni dengan membuat preferensi di antara option-option dan referensi terhadap seperangkat tujuan atau kriteria. Adapun tujuan yang ingin dicapai selanjutnya dinilai dengan membuat kriteria-kriteria, walaupun tidak satupun option yang benar-benar terbaik dari semua tujuan yang dicapai (Zhu et al. 2001 dalam Zhu et al. 2005) Dalam bidang pengambilan keputusan, MCA menyediakan keunggulan menangani jenis data yang banyak (kualitatif maupun kuantitatif) serta jenis peubah dalam satuan berbeda. Penilaian tiap atribut dalam Metode MCA tidak
25 harus dalam bentuk skor, namun bisa dalam satuan apa saja, disebabkan oleh karena metode MCA mencakup prosedur standarisasi atribut (Susilo, 2006). Standarisasi bisa juga mencakup bentuk penilaian rangking dari berbagai pilihan yang ada berdasarkan bagaimana kedekatan tiap pilihan tersebut memenuhi kriteria-kriteria yang tersedia (Graymore et al. 2007). Bergantung pada bagaimana sebuah permasalahan dinyatakan maka rekomendasi akhir yang dihasilkan dengan metode MCA bisa berbagai bentuk. Roy (1996) dalam Chakhar and Mousseau (2007) menerangkan bahwa sedikitnya terdapat 4 tipe hasil akhir dalam cara pernyataan masalah, yaitu; (i) Pilihan (choice); pemilihan perangkat terbatas dari sebuah alternatif. (ii) Sortiran (sorting); penandaan alternatif-alternatif terhadap kategorikategori berbeda yang telah ditentukan terlebih dahulu, (iii) Peringkat (ranking); pengklasifikasian alternatif-alternatif dari terbaik (best) hingga terburuk (worst) dengan posisi yang sama, atau (iv) Deskripsi (description); penguraian alternatif-alternatif dan hasil-hasil tindak lanjutnya. Terkait keunggulan MCA dalam pengambilan keputusan, salah satu bagian dari badan dunia (PBB) untuk perubahan iklim atau The United Nations Framework Convention on Climate Change memasukkan MCA sebagai salah metoda dan tool yang disarankan dalam mengevaluasi dampak bahaya, kerentanan, serta adaptasi terhadap perubahan iklim. Sebagaimana dituangkan dalam laporan berjudul: “Compendium on Methods and Tools to Evaluate Impacts of, and Vulnerability and Adaptation to, Climate Change” (UNFCCC Secretariat, 2005). Secara historis penggunaan integrasi metode MCA dalam analisis-analisis SIG dimulai sejak ahir tahun 1980-an. Hal ini lahir dalam rangka meningkatkan pengambilan keputusan spasial dalam analisis SIG yang melibatkan banyak peubah (multi-criteria). Dalam integrasi MCA-SIG, pengambilan keputusan spasial yang dilakukan adalah merujuk pada aplikasi analisis multi kriteria menyangkut konteks spasial baik terhadap alternatif, kriteria, ataupun elemenelemen lain dalam permasalahan keputusan berdimensi spasial yang jelas (Chakhar and Mousseau, 2007).
26
Contoh integrasi MCA dan SIG dalam penilaian bahaya dilakukan oleh Mansor et al. (2004) yang melakukan analisis berbasis grid telah untuk mengkaji pengelolaan bahaya kebakaran hutan di District Pekan, bagian Selatan Pahang, Peninsular Malaysia. Mereka menerapkan SIG untuk membangun keragaan penentuan beberapa tingkat zona kerentanan kebakaran (wildfire), sedangkan MCA digunakan untuk penentuan rangking daerah bahaya kebakaran. Contoh kajian lain yang melibatkan integrasi MCA-SIG dalam analisis bahaya yang telah banyak dilaporkan adalah mencakup bidang-bidang, misalnya: analisis dampak elemen kontributor kerentanan total terhadap tsunami (Cavalletti et al. 2003), pengelolaan banjir dan penilaian ketahanan pantai (Risk and Policy Analysts Ltd, 2004), serta penentuan rangking tingkat prioritas adaptasi terhadap beberapa sektor sensitif terhadap perubahan iklim (Füssel, 2009).
2.5
Penelitian Terdahulu tentang Dampak Kenaikan Muka Laut Kenaikan muka laut sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim telah
menjadi perhatian global. Fenomena ini telah mendorong sejumlah studi terkait di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tabel 3 memberikan ringkasan karakteristik sejumlah studi berkenaan dengan perubahan muka laut yang telah dikerjakan di beberapa negara juga Indonesia. Table 3
Kajian
Karakteristik dari beberapa penilaian perubahan muka laut yang telah dilakukan pada berbagai negara dan daerah di Indonesia.
Daerah kajian
Data elevasi
Skenario kenaikan muka laut
Akurasi Elevasi yg dilaporkan
Petapeta yang dipublik asi
Schneider & Chen (1980)
Amerika Serikat
Kontor berjarak 15 & 25 kaki dari peta USGS skala 1:24,000
4.6 & 7.6 m
Ada
U.S. EPA (1989)
Amerika Serikat
Kontur dari peta USGS
0.5, 1, & 2 m
Tidak ada
Tidak ada
Titus et al.. (1991)
Amerika Serikat
Kontur dari peta USGS, deliniasi daerah wetland & data pasang surut
0.5, 1, & 2 m
Tidak ada
Tidak ada
FEMA (1991)
Amerika Serikat
Peta Coastal floodplain
1 ft & 3 ft
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
27
Tang (2001)
Small & Nicholls (2003)
Delta Yellow River, Bagian Utara Propinsi Shangdong, China
Global
Ericson et al.. (2006)
Distribusi 40 daearh delta 40 di seluruh dunia
Rowley et al.. (2007)
Global
Peta kontur skala 1:600,000 berasal dari The Atlas of the Yellow River Delta
Pertambahan elevasi daratan 5 meter
GTOPO30
0.5-12.5 mm per tahun untuk tahun 20002050
GTOPO30
GLOBE (GTOPO30)
1, 2, 3, 4, 5, &6m
Tidak ada
Ketidakpastian berjarak 5 m untuk data elevasi (tidak ditetapkan besaran error metric)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada, namun Elevasi daratan 0 pertambahan hingga 10 meter (untuk elevasi 10 m menentukan “low digunakan dalam elevation pencatatan coastal zone”) keterbatasan data
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
McGranahan et al. (2007)
Global
SRTM
Demirkesen et al. (2007)
Izmir, Turkey
SRTM
2&5m
Ada, tapi tdk ada error metric yg ditentukan
Ada
Demirkesen et al. (2008)
Turkey
SRTM
1, 2, & 3 m
Ada, tapi tdk ada error metric yg ditentukan
Ada
Marfai et al. (2008)
Semarang, Indonesia
Data survey lokal
1.2 & 1.8 m
Tidak ada
Ada
Kafalenos et al., (2008)
U.S. Gulf Coast
NED
2 & 4 ft
Tidak ada
Khrisnasari A, 2009
Keterangan:
Jakarta Utara, Indonesia
Peta skala 1:1000 dari Dinas Pemetaan Propinsi DKI Jakarta
5.7 mm/tahun untuk tahun 2010-2050
Tidak ada, untuk gabungan data PSMSL & Bakosurtanal serta landsubsidence
Ada
Ada
Ada
GTOPO30 adalah sebuah Raster DEM global dengan grid horizontal berjarak 30 arc detik kurang lebih sebanding dengan ukuran 1 kilometer. SRTM adalah data Shuttle Radar Topography Mission data. NED adalah data National Elevation Dataset. (Sumber: Tang, 2001; Marfai et al. 2008; CCSP, 2009; Khrisnasari, 2009)
3.04 m, 3.54 m, 3.75 m (storm surge) untuk 2050 & 2100
28
2.6
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
2.6.1
Wilayah Administrasi Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107°52'-108°36' BT
dan 6°15'-6°40' LS. Batas administratif Kabupaten Indramayu adalah (Bapeda Jabar, 2007) : -
Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa
-
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Sumedang dan Cirebon
-
Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Subang
-
Sebelah Timur, berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon
Luas total Kabupaten Indramayu yang tercatat adalah seluas 204.011 ha. Luas ini terbagi menjadi 31 kecamatan dan 310 desa. Dari kecamatan yang ada terdapat 11 kecamatan yang merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat, Balongan, Indramayu, Sindang, Cantigi, Arahan, Losarang, Kandanghaur, dan Sukra. Luas seluruh kecamatan pesisir Kabupaten Indramayu adalah 68.703 km2 atau 35 % luas kabupaten dengan garis pantai mencapai 114,1 km dan 37 desa pesisir (Bapeda Jabar, 2007).
2.6.2 Topo-Geomorfologi Berdasarkan topografinya sebagian besar daerah pesisir Indramayu merupakan dataran atau daerah landai dengan rerata kemiringan tanah 0 - 2 %. Di beberapa daerah di Indramayu diketahui mengalami amblesan disebabkan oleh sifat tanah permukaan yang lunak, mudah menyerap air, sehingga daya dukung rendah. Bahan-bahan jalan yang melewati tanah ini akan mudah rusak seperti dijumpai dijalur jalan dari Indramayu-Karanganyar (Ujung Delta Cimanuk), tempat-tempat jalur jalan negara antara Losarang-Eretan Wetan, di jalur jalan di sekitar Kedokan Gabus-Kroya- Bongas-Kedayakan. Amblesan atau proses yang terjadi apabila di bawah lapisan yang keras dijumpai adanya lapisan kompresibilitasnya tinggi, sehingga apabila beban yang ada di atas lapisan keras tersebut melebihi daya dukung yang diijinkan maka kemungkinan besar akan terjadi perosokan (Bapeda Jabar, 2007).
29 2.6.3 Biofisik Pantai 2.6.3.1 Mangrove Area mangrove yang terdapat di Kabupaten Indramayu relatif sedikit. Pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani Kabupaten Indramayu. Daerah yang relatif banyak dijumpai mangrovenya adalah daerah pesisir di Kecamatan Losarang, Kandanghaur dan Sindang. Sedangkan di Kecamatan Eretan relatif sedikit, kurangnya pengelolaan oleh masyarakat menyebabkan adanya abrasi pantai. Ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu juga mengalami tekanan ekologis. Kerusakan hutan bakau (mangrove) di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu ditengarai kian meluas dari waktu ke waktu. Kondisi itu dimungkinkan akibat terjadinya alih fungsi dari lahan hutan menjadi tambak dan pemukiman, di samping terjadinya perambahan dan penebangan liar. Kabupaten Indramayu yang memiliki garis pantai sepanjang 114 km, kerusakan hutan mangrove yang ada diketahui relatif cukup parah, diantaranya di Kecamatan Juntinyuat, Balongan, Sukra, Krangkeng dan Kecamatan Indramayu. Pemkab Indramayu melalui Kantor Perkebunan dan Kehutanan sejak tahun 2004 lalu, melakukan gerakan rehabilitasi hutan mangrove dengan melakukan penanaman sedikitnya 1,4 juta pohon di wilayah-wilayah yang kondisi hutannya sudah cukup kritis (Bapeda Jabar, 2007)..
2.6.3.2 Terumbu karang Terumbu karang teridentifikasi di pantai utara daerah Majakerta dan pantai di Kecamatan Indramayu serta pulau-pulau yang terdapat di sebelah utara Kota Indramayu seperti Pulau Rakit, P. Gosong, P. Rakit Utara dan Cantikian. Luas terumbu karang di pulau-pulau tersebut sekitar 500 ha. Namun demikian adanya usaha pengambilan karang oleh penduduk setempat sebagai sumber kapur sehingga areal karang tersebut semakin menyempit (Bapeda Jabar, 2007)..
2.6.3.3 Iklim dan Cuaca Di wilayah Indramayu menunjukkan bahwa selama periode 14 tahun (1980-1993) angin umumnya berasal dari barat laut (29,35 %), timur laut (22,01
30
%) dan Utara (18,32 %). Kecepatan angin umumnya (41,35 %) bertiup dengan kisaran antara 3-5 m/det, sedangkan (0,62 %) kecepatan angin sangat lemah yaitu < 1 m/det yang dapat diklasifikasikan pada kondisi teduh (Bapeda Jabar, 2007)..
2.6.3.4 Gelombang Kajian yang dilakukan terhadap wilayah Indramayu dengan metode SMB (Sverdrup Munk Bretch Neider) menunjukkan bahwa umumnya gelombang sesuai dengan arah angin yaitu dari arah barat laut, utara dan timur laut masing-masing sebanyak 22,25 %, 10,88 % dan 20,10 % . Secara keseluruhan yaitu sebanyak 28,40 % tinggi gelombang mencapai antara 0,5-0,8 meter, sedang gelombang teduh dengan ketinggian < 0,3 m sebanyak 28,40 % (Bapeda Jabar, 2007)..