2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Batasan Wilayah Pesisir 2.1.1
Pengertian Wilayah Pesisir Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh prosesproses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan perencanaan (Soegiarto, 1976; Dahuri, 1996). 2.1.2
Batasan Wilayah Pesisir Dahuri (1996), mengemukakan bahwa pertanyaan yang seringkali muncul
dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah bagaimana menentukan batas-batas dari suatu wilayah pesisir (coastal zone). Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara wilayah daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu : batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Berdasarkan kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone)
atau pengelolaan keseharian (day-to-day
management). Wilayah
perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya di pesisir. Oleh karena itu, batas wilayah pesisir kearah darat untuk kepentingan perencanaan (Planning zone) dapat sangat jauh ke arah hulu, misalnya kota Bandung untuk kawasan
12
pesisir dari DAS Citarum. Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan pengelolaannya (wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas dari pada wilayah pengaturan (Dahuri, 1996). Batas wilayah pesisir menurut Pernetta dan Milliman (1995) disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta dan Milliman, 1995)
2.1.3
Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir Dengan garis pantai terpanjang kedua didunia setelah Kanada, yaitu
81.000 km serta wilayah laut yang luasnya mencapai 5,8 juta km 2, maka tidak mengherankan bahwa secara potensial, Indonesia memiliki sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Secara garis besar, potensi pembangunan kelautan Indonesia tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) dan (3) jasa-jasa lingkungan (evironmental services). Kelompok pertama, sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan dapat pulih mencakup ekosistem mangrove, wilayah pesisir, rumput laut dan padang lamun, serta sumberdaya perikanan, yang secara potensial sangat besar dan
13
beragam jenisnya. Sebagai ilustrasi, Indonesia memiliki luas ekosistem mangrove sebesar 2,4 juta km2 dan wilayah pesisir seluas 75.000 km2 (Dahuri, et.al., 1996). Sementara itu, di wilayah perairan Indonesia terdapat sedikitnya 7 marga dan 13 spesies lamun (seagrass) dengan sebaran mencakup di wilayah perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Irian jaya. Sedangkan untuk sumberdaya perikanan, negara kita sudah lama diakui sebagai salah satu negara yang memiliki potensi perikanan terbesar di dunia. Data terakhir menunjukkan bahwa potensi lestari sumberdaya perikanan nasional adalah 5,649 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan sebesar 40% (FAO, 1997). Berbagai jenis sumberdaya hayati laut beserta perairan pesisir yang luas sangat potensial untuk dikembangkan melalui usaha mariculture (budidaya laut). Usaha tersebut dapat digolongkan menjadi dua kegiatan, yaitu budidaya tambak (brackish water ponds) dan budidaya laut (mariculture). Kelompok kedua, sumberdaya alam yang tidak dapat pulih, yang meliputi seluruh jenis mineral dan gas, dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu Kelas A (Mineral Strategis ) seperti minyak bumi, gas alam dan batubara; Kelas B (Mineral Vital) seperti emas, timah, nikel, dan bauksit, dan kelas C (Mineral Industri) seperti granit, kaolin, pasir dan bahan pembangunan lainnya. Sebagai ilustrasi, Indonesia memiliki cadangan migas yang besar dan terbesar di kurang lebih 60 cekungan (basins) yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan lautan seperti Kepulauan Natuna, Selat Malaka, Pantai Selatan Jawa, Selat Makassar dan Celah Timor (Ditjen Migas, 1996) Selain kedua sumberdaya tersebut diatas, yang tidak kalah pentingnya adalah sumberdaya jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, seperti pariwisata, perhubungan laut, pemukiman dan sebagainya. Potensi kawasan pesisir sebagai kawasan wisata bahari hampir tersebar di seluruh kawasan pesisir Indonesia. 2.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT) Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zone Management atau disingkat ICM) merupakan kegiatan manusia didalam mengelola ruang, sumber daya, atau penggunaan yang terdapat pada suatu wilayah pesisir, yakni dengan melakukan pemanfaatan sumber daya alam dan
14
jasa jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta sumber daya alam dan jasa jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya; guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan
ini
dilaksanakan
secara
kontinyu
dan
dinamis
dengan
mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc Creary dalam Dahuri, 2006). 2.2.1. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dimana prinsip keterpaduan memastikan konsistensi dalam implementasi kebijakan terhadap tindakan pengelolaan. Dalam konteks ini Dahuri (2006) membagi keterpaduan (integration) dalam tiga dimensi : 1) Keterpaduan Sektoral Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat
pemerintah
tertentu
(horizontal
integration);
dan
antar
tingkat
pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). 2) Keterpaduan Bidang Ilmu Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa didalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar
15
karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis. 3) Keterpaduan Keterkaitan Ekologis Keterkaitan ekologis (ecological linkages) sangat diperlukan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (PWPT) mengingat bahwa perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Seperti dipahami bersama bahwa wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Disamping itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Chua (2006) membagi prinsip keterpaduan menjadi tiga kategori utama, yaitu keterpaduan sistem, fungsi dan kebijakan, dengan penjelasan sebagai berikut ; 1) Keterpaduan Sistem Keterpaduan sistem pada prinsipnya berupaya untuk menghubungkan dimensi spasial dan temporal dari sistem sumberdaya pesisir dalam hal fisik, seperti perubahan lingkungan, pola penggunaan sumberdaya dan sosial ekonomi. Keterpaduan sistem melihat permasalahan mana yang relevan dalam pengelolaan pesisir yang timbul dari lingkungan, hubungan sosial dan ekonomi. Misalnya,
membangun
sebuah
profil
lingkungan
pesisir
membutuhkan
pengumpulan informasi yang cukup untuk mengintegrasikan berbagai elemen sistem sumberdaya di wilayah tersebut. 2) Keterpaduan Fungsional Keterpaduan fungsional merupakan keterpaduan dalam membagi peran diantara
para
terbangunnya
pemangku keterpaduan
kepentingan peran
dapat
(stakeholders) meminimalisir
dimana tumpang
dengan tindih
(overlaping) dalam pengelolaan wilayah pesisir, dengan keterpaduan fungsional antar stakeholders juga dapat saling melengkapi. Skema zonasi pesisir yang mengalokasikan sumber daya alam untuk penggunaan spesifik adalah contoh
16
dari keterpaduan fungsional yang efektif. Skema ini menentukan jenis dan tingkat kegiatan yang diperbolehkan di zona masing-masing sesuai dengan sasaran dan tujuan ICM, dengan memberikan batasan yang ditetapkan untuk jenis-jenis kegiatan proyek dan program yang boleh diimplementasikan. Pengalaman menunjukkan bahwa keterpaduan fungsional dan koordinasi di tingkat lokal sangat penting dalam meminimalkan konflik dalam mencapai kesepahaman antar stakeholders. Namun, keterpaduan fungsional perlu dibarengi
dengan
alokasi
sumberdaya
keuangan,
undang-undang,
dan
pengembangan strategi pengelolaan pesisir di tingkat lokal maupun nasional. 3) Keterpaduan Kebijakan Keterpaduan kebijakan bertujuan untuk mensinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterpaduan kebijakan membantu merasionalisasi dan mengkoordinasikan kegiatan antar lembaga publik dan dapat saling melengkapi antar program dan proyek. Keterpaduan Kebijakan membuka peluang bagi strategi pengelolaan pesisir dalam menghadapi tantangan
perubahan,
dengan
tetap
menyelaraskan
terhadap
tujuan
pembangunan ekonomi nasional. 2.2.2. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Ditinjau dari perspektif manajemen, pada dasarnya ada empat unsur pertanyaan pokok yang harus dijawab secara tepat didalam proses perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir. Pertama, dimana berbagai macam kegiatan manusia
(pembangunan)
harus
ditempatkan
diwilayah
pesisir.
Kedua,
bagaimana menentukan tingkat usaha yang optimal dari setiap kegiatan pembangunan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan optimal adalah suatu tingkat usaha kegiatan pembangunan yang secara sosial ekonomi menguntungkan dan secara lingkungan (ekologis) masih dapat diterima. Ketiga, ”kapan”
dan
”bagaimana”
berbagai
kegiatan
pembangunan
ini
harus
dilaksanakan. Keempat, ”siapa” yang sebaiknya bertanggung jawab atas pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta penegakan hukum dari program pengelolaan ini. Suatu perencanaan pada perinsipnya merupakan skenario yang sistematis dan rasional serta dimaksudkan untuk mencapai sasaran yang
17
diinginkan dan harus didefinisikan secara jelas dan tepat pada awal tahap perencanaan. Guna mendefinisikan secara proporsional, maka pendefinisian ini hendaknya berdasarkan pada permasalahan dan isu dari pengelolaan sumberdaya pesisir. Meskipun permasalahan ini secara rinci bervariasi dari satu wilayah pesisir kewilayah yang lainnya, namun secara garis besar setiap upaya pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia akan mengahadapi empat kelompok masalah berikut (1)
degradasi ekosistem, (2) pencemaran, (3) konflik
pemanfaatan sumberdaya, dan (4) ketidak efisienan pemanfaatan sumberdaya. Sudah barang tentu, akar dari keempat masalah pokok ini harus ditelaah secara cermat. Menghadapi permasalahan pokok ini, maka wajar
bila tujuan
pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk mencapai alokasi sumberdaya secara optimal di antara berbagai penggunaan, serta untuk memelihara kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem pesisir itu sendiri. Analisa permasalahan dan definisi tujuan tersebut menjadi landasan dan tolok ukur utama bagi tahapan berikutnya. Agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan dilokasi yang secara ekologis sesuai, maka kelayakan biofisik (biophysical suitability) dari wilayah pesisir harus diidentifikasikan lebih dahulu. Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik (biophysical requirements)
setiap
kegiatan
pembangunan,
kemudian
dipetakan
(dibandingkan) dengan karakteristik biofisik wilayah pesisir itu sendiri. Dengan cara ini dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) wilayah pesisir. Penempatan kegiatan pembangunan dilokasi yang sesuai, tidak saja menghindarkan kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan (viability) ekonomi kegiatan dimaksud. Penentuan kelayakan biofisik ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) seperti Arc/Info dan Arc View (Kapetsky et al, 1987). Informasi dasar, biasanya tersedia dalam bentuk thematic maps, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biofisik ini tidak saja meliputi karakteristik daratan dan hidrometeorologi, tetapi juga oceanografi dan biologi perairan pesisir.
18
Apabila kelayakan biofisik ini dipetakan dengan informasi tentang tata guna ruang saat ini, maka ketersediaan biofisik (biophysical availability) wilayah pesisir pun dapat pula ditentukan. Selanjutnya, jika informasi tentang potensi penggunaan (the future uses) wilayah pesisir juga tersedia, maka tata ruang yang dinamis pun dapat disusun. Tahap selanjutnya adalah menentukan tingkat usaha optimal dari setiap kegiatan yang diplot pada lokasi yang sesuai menurut tata ruang tersebut di atas. Tahap ini merupakan tugas yang paling menantang bagi para perencana dan pengambil keputusan. Oleh karena tahap ini harus melibatkan paling sedikit 3 pertimbangan: berbagai tujuan yang mungkin saling bertentangan, timbal balik sektoral dan regional baik yang ada di sistem wilayah pesisir ataupun yang diluarnya, dan dinamika waktu. Untuk dapat menentukan kapan dan bagaimana berbagai kegiatan pembangunan dilaksanakan, diperlukan analisis antara lain mengenai: keadaan infrastruktur, potensi, vegetasi, potensi sumberdaya manusia, dan kemampuan administratif
daerah
menentukan
siapa
yang yang
sedang harus
dipertimbangkan.
bertanggung
jawab
Sedangkan atas
untuk
pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi program yang sudah ditetapkan membutuhkan analisis tentang aspek kelembagaan dan hukum yang ada, baik yang formal maupun tidak formal. Dengan demikian, tahapan yang terakhir pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menjamin terlaksananya segenap aktivitas yang sudah ditetapkan pada tahap sebelumnya. Analisis mengenai keadaan sosekbud dan aspek kelembagaan minimal meliputi : statistik kependudukan, pola mata pencaharian, aspirasi penduduk setempat tentang pembangunan wilayah pesisir dan kualitas lingkungan, pola hak pemilikan sumberdaya, dan manajemen sumberdaya
tradisional yang
sudah dianut masyarakat pesisir secara turun temurun. Informasi ini sangat berguna untuk menjamin bahwa penduduk setempat akan diuntungkan oleh setiap proyek pembangunan yang akan berlangsung di wilayahnya. Lebih jauh, hasil analisis ini juga dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam merancang dan membangun suatu perangkat kelembagaan (institutional arrangement) dan metode-metode tepat guna bagi pengelolaan sumberdaya pesisir.
19
Perencanaan pada prinsipnya merupakan suatu yang dinamis dan adaptif. Oleh karenanya, ia harus cukup luwes untuk dapat mengatasi berbagai ketidak menentuan dan perubahan baik yang terjadi didalam atau diluar sistem wilayah pesisir. Dalam konteks ini, suatu program pemantauan devaluasi yang teratur dapat meningkatkan keluwesan dan adaptifitas dari perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir, melalui mekanisme umpan balik (feedback mechanism). Melalui proses perencanaan dan pengelolaan semacam ini pembangunan sumberdaya wilayah pesisir berkelanjutan diharapkan dapat tercapai. 2.3 Strategi Pembangunan Berkelanjutan (Strategy of Development Sustainability) dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga syarat sebagai berikut (1) Untuk sumberdaya dapat pulih (renewable resources), laju pemanfaatan sumberdaya tidak melampaui laju regenerasi sumberdaya tersebut. (2) Untuk sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable resources, laju pemanfaatan sumberdaya tidak melampaui laju penemuan inovasi baru atau substitusinya. (3) Adanya kemampuan mengekang implikasi kegiatan pemanfaatan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan pengolahan limbah (Ginting, 2002). Dengan
demikian,
pembangunan
berkelanjutan
pada
dasarnya
merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Untuk dapat menterjemahkan konsep pembangunan berkelanjutan ke dalam praktek pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara tepat, maka baik
20
aspek ekologi maupun sosial, ekonomi dan budaya harus dipertimbangkan sejak tahap perencanaan dari suatu proses pengelolaan ini, harus diidentifikasi dan selanjutnya disinkronkan dengan kaidah-kaidah dari konsep pembangunan berkelanjutan. Kerangka strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan
Perangkat Kelembagaan
IS
Pemerintah an Kebijakan, Strategi dan Perencanaan
Informasi dan Kepedulian Publik
Legislasi
Mekanisme Keuangan
Pengembangan Kapasistas
Policy and Functional, Sc ientific/ Expert Advice ICM Cycle
Aspek Pemb angun an Berkelan jutan Natural and Manmade Hazard Prevention and Management
Habitat Protection, Restoration and Management
Water Use and Supply Management
Food Security an Livelihood Management
Pollution Reduction and Waste Management
ICM Code
ICM Cycle
Project and P rogram
State of Co asts Reporting MDGs
WSSD
Agenda 21 Target
SDS-SEA
ISO 14001
Partnerships (Public, Civil Society, Corporate and Other Stakeholders
sumberdaya pesisir terpadu dapat terlihat dalam Gambar 3 berikut :
Gambar 3. Kerangka kerja Strategi Pembangunan Berkelanjutan unt uk Wilayah Kelautan Timur Asia ( PEMSEA, 2003)
Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi : (1) Dimensi ekologis, (2) Dimensi Sosial-Ekonomi-Budaya, (3) Dimensi Sosial Politik, dan (4) Demensi Hukum dan Kelembagaan. 1) Dimensi Ekologis Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat disuatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk wilayah pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia: (1) Jasa-jasa
21
pendukung kehidupan, (2) Jasa-jasa kenyamanan, (3) Penyedia sumberdaya alam, dan (4) Penerima limbah (Ortolano, 1984). Berdasarkan keempat fungsi ekosistem diatas, maka secara ekologis terdapat tiga prinsip yang
dapat
menjamin tercapainya
pembangunan
berkelanjutan, yaitu : (1) Keharmonisan spasial, (2) Kapasitas asimilasi, dan (3) Pemanfaatan berkelanjutan. Keberadaan zona konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara; membersihkan limbah secara alamiah; dan sumber keanekaragaman hayati (biodiversity). Bergantung pada kondisi alamnya, luas zona preservasi dan konservasi yang
optimal dalam
suatu kawasan
pembangunan sebaiknya antara 30 - 50 % dari luas totalnya. Sementara itu, bila kita menganggap wilayah pesisir sebagai penyedia sumberdaya alam, maka kriteria pemanfaatan untuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) adalah bahwa laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan dari pada suatu periode tertentu (Clark, 1988). Sedangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih (nonrenewable resources) harus dilakukan dengan cermat, sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya. Ketika kita memanfaatkan wilayah (perairan) pesisir sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi daya asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Krom, 1986 dalam Bengen, 2000). 2) Dimensi Sosial Ekonomi Secara sosial - ekonomi - budaya konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan
suatu
wilayah
pesisir
serta
sumberdaya
alamnya
harus
diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan (proyek) tersebut, terutama mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin
22
kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir
pantai dan penangkapan ikan dengan
menggunakan
berakar
bahan
peledak,
pada
kemiskinan
dan
tingkat
pengetahuan yang rendah dari para pelakunya. Keberhasilan Pemerintah Propinsi Bali dalam menanggulangi kasus penambangan batu karang, dengan menyediakan usaha budidaya rumput laut sebagai alternatif mata pencaharian bagi para pelakunya, adalah merupakan salah satu contoh betapa relevannya prinsip ini bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. 3) Dimensi Sosial Politik Pada
umumnya
permasalahan
(kerusakan)
lingkungan
bersifat
eksternalitas. Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah si pembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin dan lemah. Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta peningkatan frekwensi dan magnitude banjir suatu sungai akibat penebangan hutan yang kurang bertanggung jawab didaerah hulu. Demikian juga dampak pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer yang sebagian besar disebabkan oleh negara-negara industri. Ciri khas lain dari dari kerusakan lingkungan adalah, bahwa akibat dari kerusakan ini biasanya muncul setelah beberapa waktu ada semacam time lag. Contohnya, pencemaran perairan Teluk Minamata di Jepang terjadi sejak tahun 1940-an. Tetapi penyakit minamata dan itai-itai baru timbul pada awal 1960-an (silent spring oleh Carson R, 1963). Mengingat
karakteristik
permasalahan
lingkungan
tersebut,
maka
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya. 4) Dimensi Hukum dan Kelembagaan Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk tidak merusak lingkungan. Dan
23
bagi kelompok the haves dapat berbagi kemampuan dan rasa dengan saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, sembari mengurangi budaya konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten. Serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga dunia. Disinilah peran sentuhan nilai-nilai keagamaan akan sangat berperan. 2.4 Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir Pembangunan berkelanjutan telah menjadi isu global yang harus dipahami dan diimplementasikan pada tingkat lokal. Pembangunan berkelanjutan sering dipahami hanya sebagai isu-isu lingkungan, lebih dari itu pembangunan berkelanjutan mencakup tiga hal kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan yang digambarkan oleh John Elkington dalam bagan triple bottom line sebagai penemuan dari tiga pilar pembangunan yaitu “profit, people, dan planet” yang merupakan tujuan pembangunan. Secara
teoritis
keterbatasan
Negara
berkembang
dalam
mengembangkan perekonomian dapat ditelaah melalui pendekatan teori-teori penghambat pembangunan. Implikakasi teoritis ini sangat berguna dalam menyusun kerangka berfikir dalam melihat persoalan pemberdayaan ekonomi masyarakat suatu daerah. Dari ketiga teori yang menghambat pembangunan, dalam persoalan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Kota Bontang. Pendekatan efek dualisme sosial dan teknologi merupakan pilihan dalam menjelaskan kasus ini. Pilihan ini dijatuhkan mengingat keterlibatan PKT sebagai perusahaan penopang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bontang yang cukup berpengaruh. Pendekatan teori yang menghambat pembangunan ini seperti PKT diharapkan sebagai kutub atau pusat pertumbuhan yang mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi daerah sekitarnya. 2.4.1
Efek Dualisme Ekonomi Salah satu dari ciri negara berkembang, perekonomiannya bersifat
dualistis. Artinya, dalam perekonomian kegiatan ekonominya dapat dibedakan menjadi dua golongan: kegiatan ekonomi modern dan kegiatan ekonomi
24
tradisional. Pada dasarnya ciri perekonomian yang bersifat dualistis tersebut, terutama dualisme sosial dan teknologi, menimbulkan keadaan-keadaan yang menyebabkan mekanisme pasar tidak berfungsi dengan semestinya. Mekanisme pasar ini selanjutnya mengakibatkan sumberdaya yang tersedia tidak digunakan secara efisien. Disamping itu penggunaan teknologi yang terlalu tinggi di sektor modern menimbulkan kesulitan bagi negara untuk mempercepat perkembangan kesempatan kerja di sektor modern. Kondisi inilah yang menyebabkan masalah pengangguran yang dihadapi, dimana kesenjangan antara tingkat pendapatan di sektor-sektor ekonomi modern dengan sektor ekonomi tradisional. Berbagai hambatan yang timbul dari adanya dualisme dari perekonomian yang baru berkembang dari pengaruh sektor tradisional kepada kehidupan masyarakat dan kegiatan perekonomian. Sebagian kegiatan ekonomi yang bersifat dualisme, disatu sisinya menggunakan teknik-teknik yang sederhana dan cara berpikir yang juga sederhana. Konsekuensi penggunaan teknik sederhana menyebabkan produktifitas berbagai kegiatan produktif yang rendah. Dan konsekuensi dari cara berpikir yang sederhana menyebabkan usaha-usaha pembaharuan sangat terbatas. Disamping dualisme ekonomi, dualisme teknologi memiliki akibat yang cukup serius, yaitu: membatasi sektor modern untuk membuka kesempatan kerja. Sektor modern terdiri dari sektor industri dan dalam sektor ini teknik-teknik berproduksi bersifat padat modal. Dalam teknik produksi yang demikian sifatnya, proporsi antara faktor-faktor produksi relatif tetap. Makin tinggi tingkat teknologi makin terbatas kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja dengan tingkat kompetensi yang rendah. Selain terjadinya implikasi buruk dari dualisme teknologi terhadap penciptaan kesempatan kerja, harus pula disadari
bahwa teknologi modern
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Implikasi lainnya adalah kegiatan-kegiatan dalam sektor modern pada umumnya mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat dari sektor tradisional. Hal ini berarti bahwa kesenjangan tingkat kesejahteraan antara kedua sektor itu makin lama makin bertambah lebar.
25
2.4.2
Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory) Ide awal tentang pusat pertumbuhan (growth pole) Fancois Perroux
muncul sebagai reaksi terhadap pandangan ekonom pada waktu itu, seperti Casel (1927) dan Schumpeter (1951). Pemikiran ekonomi yang berkembang saat itu menyatakan bahwa transfer pertumbuhan antar wilayah berjalan lancar, sehingga perkembangan penduduk, produksi dan capital tidaklah selalu proporsional antar waktu. Perroux menemukan kenyataan yang berbeda dengan pendapat umum saat itu. Dimana transfer pertumbuhan ekonomi antar daerah umumnya tidak lancar, tetapi cenderung terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu yang memiliki keuntungan lokasi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu yang didorong oleh adanya keuntungan aglomerasi yang timbul karena adanya konsentrasi kegiatan ekonomi ini. Adanya sekolompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu merupakan karakteristik awal dari sebuah pusat pertumbuhan. Karena kegiatan ekonomi tersebut terkonsentrasi pada lokasi tertentu, maka analisis tidak dapat dikaitkan untuk analisis ekonomi nasional, tetapi lebih pada analisis ekonomi regional. Biasanya pusat pertumbuhan ini berlokasi di daerah perkotaan, atau daerah tertentu yang mempunyai ekonomi spesifik seperti daerah pertambangan, pelabuhan, perkebunan, dan lain-lain. 2.4.3
Kajian-kajian Terkait Tentang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Permasalahan utama yang sering terkait dengan pengelolaan sumber
daya di wilayah pesisir adalah lemahnya keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan pengembangan kelautan dan wilayah pesisir. Munculnya masalah tersebut disebabkan oleh lemahnya sistem dan tata cara koordinasi antar stakeholder karena belum didukung dengan adanya sistem hukum yang mengatur kegiatan tesebut. Selain itu, lemahnya kualitas sumber daya manusia yang mempengaruhi proses partisipatif menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini sering berdampak pada munculnya ketidaksepahaman dan konflik penggunaan ruang antar stakeholder dalam rangka menjaga keseimbangan keberlanjutan sumberdaya alam yang berada di sekitar wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, tekait dengan permasalahan-
26
permasalahan tersebut di atas pengkajian kebijakan kelautan secara partisipatif dengan stakeholder dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir sangat diperlukan. Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir yang dilakukan Direktorat Kelautan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Bappenas (www.bappenas.go.id_index.php, 20 Juli 2008) dapat memberikan masukan yang cukup baik. Kajian ini bertujuan pertama mengidentifikasi karakteristik sumberdaya kelautan dan kondisi wilayah pesisir di beberapa wilayah Indonesia, kedua mengidentifikasi dan menelaah berbagai kendala dan permasalahan yang muncul
sehubungan
dengan
upaya
pemberdayaan
masyarakat
dalam
pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir, ketiga mengkaji dan menelaah langkah-langkah strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir melalui proses partisipatif, dan keempat menyusun program dan rekomendasi dalam rangka pengembangan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir. Hasil Kajian ini menemukan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan konsep pendekatan wilayah, yaitu dengan cara menentukan suatu wilayah di kawasan pesisir yang kondisi masyarakatnya miskin, telah terjadi degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, kelebihan tangkap (over exploitation), penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan pencemaran. Strategi pendekatan pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui pendekatan 4 (empat) bina: (1) bina manusia, (2) bina sumberdaya, (3) bina lingkungan, dan (4) bina usaha, yang dirangkaikan dengan metode partisipatoris (participatory approach). Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, maka kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir sesuai dengan peringkatnya/ prioritasnya adalah sebagai berikut: (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir; (b) peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan (3) konservasi dan perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP). Persoalan yang muncul saat ini tidak terlepas dari ketidaktahuan pengambil kebijakan pada persoalan spasial. Dimana para penentu kebijakan sering mengarah preferensi yang bias ke wilayah perkotaan (urban biased). Kegagalan
pembangunan
di
wilayah
perdesaan
sebagai
misal,
telah
27
menimbulkan derasnya proses migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar. Keadaan ini menimbulkan persoalan di kota yang sudah terlalu padat, pencemaran udara, pemukiman kumuh, sanitasi yang kurang baik, dan lainnya yang pada akhirnya menurunkan produktivitas masyarakat kawasan perkotaan. 2.4.4
Konsep Pedesaan Wilayah Pesisir Secara teoritis, ekosistem Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Inner
Indonesia terdiri dari Jawa, Madura dan Bali (JAMBAL); (2) Outer Indonesia terdiri dari pulau-pulau diluar JAMBAL, yang terdiri dari: Kawasan Barat luar Jawa, berorientasi ke daratan (continental) dan Kawasan Timur luar Jawa, memiliki karakteristik maritim. Berdasarkan karakteristik ekosistem makro ini, maka bentuk-bentuk kawasan perdesaan akan terbagi atas tiga mega struktur, yaitu: (1) Kawasan perdesaan inner Indonesia (JAMBAL) yang berorientasi pada basis pertumbuhan pertanian
industri.Konsekuensi
terhadap
mata
pencaharian
dan
bentuk
lingkungan permukiman perdesaan pertanian industri cenderung berbentuk linier sepanjang jalan regional yang menghubungkan suatu noda (kota) dengan noda wilayah lainnya. (2) Kawasan Perdesaan Indonesia Barat yang berorientasi continental agro-estate. Konsekuensi terhadap mata pencaharian dan pola permukiman bervariasi berdasarkan kawasan hulu dan hilir aliran sungai. Kehidupan masyarakat desa-desa hulu sungai (daerah pedalaman) lebih berbentuk kluster (berkelompok), sedangkan pada hilir aliran sungai dan pantai cenderung tersebar. (3) Kawasan Perdesaan Indonesia Timur yang berorientasi maritim. Konsekuensi mata pencaharian dan pola permukiman yang berorientasi maritim, kawasan hutan pedalaman, dataran dan pesisir pantai sering terintegrasikan dalam satu kesatuan komunitas adat, tidak terpisah-pisah seperti pada kawasan continental. Setelah memahami konsep perdesaan, kembali ke tujuan awal. Keterlambatan pengambil kebijakan dalam meningkatkan kapabilitas dan kapasitasnya dalam mengantisipasi persoalan kewilayahan memiliki sumbangan yang cukup besar dalam menciptakan persoalan-persoalan baru. Implikasinya adalah hubungan kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi semakin kompleks
28
dan semakin sulit pemecahannya. Awalnya, berkembangnya kawasan perkotaan diharapkan menjadi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi wilayah keseluruhan yang memberikan tetesan ke wilayah perdesaan sekitarnya (trickle down). Faktanya adalah kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan menyebabkan terjadinya urban biased dan mengalami kekurangan investasi modal, sehingga dampaknya telah menimbulkan kehilangan kesempatan kerja bagi masyarakat perdesaan. Dilain pihak lemahnya posisi tawar masyarakat perdesaan memperburuk situasi ini. Dengan
terjadinya
disparitas
spatial,
pembangunan
kutub-kutub
pertumbuhan di kota-kota besar (growth pole strategy) yang semula diramalkan bakal terjadi penetesan (trickle down effect) dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya ternyata tidak terjadi. Bahkan yang terjadi adalah net effect-nya menimbulkan pengurasan yang besar yang besar (masive backwash effect) dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota. Dengan perkataan lain, melalui strategi kutub pertumbuhan yang urban biased, telah menyebabkan terjadinya transfer neto sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran. 2.5 Pembiayaan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan laut, adalah untuk menghasilkan kelangsungan penyediaan dana untuk mendukung manajemen pengelolaan, pemeliharaan infrastruktur, perbaikan lingkungan, dan meningkatkan koordinasi serta menerapkan regulasi. Kurangnya dana
sering
mengakibatkan
kegagalan
dalam
pelaksanaan
program
pengelolaan. Pihak yang berperan dalam pembangunan secara umum terdiri dari tiga bagian besar yaitu Pemerintah, Masyarakat, dan Pengusaha. Khusus untuk Kota Bontang Pemerintah kota sudah sangat terbantu karena terdapat dua perusahaan besar di Kota Bontang (PKT dan BADAK), disamping itu beberapa perusahaan swasta lainnya. Agar lebih sinergi kegiatan pembangunan di Kota Bontang seyogyanya ada koordinasi diantara pihak tersebut. Disamping itu, Pemerintah Daerah juga memerlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional yang diwujudkan dengan
29
pengaturan,
pembagian
dan
pemanfataan
sumberdaya
nasional
yang
berkeadilan, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sumber-sumber
pembiayaan
pelaksanaan
desentralisasi
menurut
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan nilai-nilai penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan. Pengelolaan sumberdaya pesisir perlu pendanaan yang proporsional sehingga Kabupaten/ Kota dapat memanfaatkan alokasi sumber-sumber pembiayaan dalam rangka disentralisasi. Apabila dalam pengelolaannya meliputi dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota maka pembiayaannya melibatkan dana alokasi propinsi. Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dapat optimal ditunjang dengan sumberdaya nasional (sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan). Mekanisme pembiayaan yang inovatif perlu dikembangkan untuk memastikan program pengelolaan masih dapat diterapkan secara berkelanjutan. Berikut adalah beberapa alternatif pilihan dalam pendanaan yang berkelanjutan. 2.5.1. Anggaran Formal 1) Anggaran Reguler Pemerintah Salahsatu pendekatan konvensional dalam pembiayaan berkelanjutan adalah dari alokasi anggaran pemerintah. Pemerintah umumnya akan melakukan penganggaran belanja rutin terhadap sektor-sektor prioritas dalam proses pembangunan wilayah, melalui instansi tekhnis terkait maupun melalui badan legislasi secara reguler setiap tahun anggaran. 2) Biaya dan Pajak Retribusi. Pendekatan lain yang dapat dilakukan dalam pembiayaan berkelanjutan adalah dengan memberikan beban biaya bagi penggunaan kawasan, biaya perizinan dan biaya layanan. Sistem biaya merupakan mekanisme yang berguna untuk menghasilkan pendapatan untuk pengelolaan lingkungan dan untuk mempertahankan penyediaan layanan secara profesional dan proyek-proyek perbaikan lingkungan lainnya. Namun, infrastruktur atau regulasi juga harus
30
disiapkan untuk menunjang pengelolaan serta penggunaan pendapatan yang dikumpulkan. Di Xiamen (Cina), sebuah sistem perizinan telah diadopsi untuk penggunaan
perairan
pesisir.
Kota
ini
mengembangkan
skema
laut
menggunakan zonasi yang mengalokasikan wilayah tertentu seperti penggunaan untuk galangan kapal, fasilitas rekreasi, memancing dan kegiatan lainnya yang menggunakan perairan pesisir memerlukan izin dari Biro Perikanan dan Kelautan Xiamen. Demikian juga, pelabuhan yang menyediakan fasilitas penerimaan limbah, dapat membebankan biaya yang sesuai. Biaya yang dikumpulkan dari pengolahan limbah bisa menghasilkan dana besar untuk pemeliharaan dan operasi. Di Bremen Port, biaya lingkungan yang dikenakan pada kapal-kapal di pelabuhan yang menggunakan fasilitas wilayah perairan. Biaya tambahan lingkungan juga dapat dipungut dari semua kargo yang dikelola oleh syahbandar pelabuhan, dengan memberikan kontribusi untuk biaya fasilitas penerimaan (Roos, 1997; Challis, 1997). Di Afrika Selatan, kargo perpajakan yang digunakan sebagai sarana untuk menghasilkan pendapatan untuk mendanai navigasi dan manajemen polusi. 2.5.2. Sektor Publik dan Kemitraan Swasta Kemitraan
swasta
adalah
mekanisme
pembiayaan
yang
dapat
meningkatkan upaya publik dalam pengelolaan lingkungan. Sektor swasta secara keseluruhan
memiliki
sumberdaya
keuangan
dan
keterampilan,
untuk
merancang, membangun dan transfer fasilitas dan layanan untuk memperbaiki lingkungan: misalnya, perencanaan dan operasionalisasi fasilitas pengolahan air limbah, menerapkan pelatihan khusus, dan melakukan survei sumberdaya alam dan lingkungan. Keterlibatan sektor swasta dapat dipercepat melalui penciptaan kebijakan yang dinamis dan lingkungan investasi yang adil sehingga peran sektor publik secara efektif dapat terpenuhi. Pada dasarnya, mengubah isu-isu lingkungan menjadi peluang investasi dapat difasilitasi oleh sektor publik melalui reformasi kebijakan yang mendorong investasi sektor swasta. Kerangka Integrated Coastal Management (ICM) memungkinkan prioritas masalah lingkungan yang memerlukan manajemen/
31
intervensi teknologi untuk diidentifikasi. Proses ICM memungkinkan membangun kesepahaman antara stakeholder dalam membangun suatu kebijakan lingkungan sosial yang kondusif bagi swasta untuk berinvestasi. Adapun bentuk peran pihak perusahaan/ swasta diantaranya adalah ; 1)
Hibah dan Bantuan Pembiayaan ICM dapat diperoleh dari dana hibah dan bantuan dengan
menjalin kemitraan dengan pihak perusahaan/ swasta, namun alokasi dana ini bersifat temporal dan tidak berlangsung secara kontinyu/ berkelanjutan, karena hanya didasari oleh kedermawanan sosial (philantrophy) dan kesukarelaan (charity) dari pihak swasta, tanpa adanya aturan yang mengikat. 2)
Corporate Social Responsibility (CSR) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan secara teoritis dikenal dengan
istilah Corporate Social Responsibility atau CSR. CSR merupakan upaya yang wajib dilakukan oleh suatu perusahaan/ swasta untuk mempertangggung jawabkan dampak operasionalnya terhadap
pembangunan
berkelanjutan
(sustainability development). Dalam hal ini CSR lebih dapat diharapkan dalam pembiayaan ICM secara berkesinambungan, karena sifatnya yang lebih menekankan
pada
kewajiban
perusahaan/
swasta
dalam
membangun
lingkungan dan relasi sosialnya sebagaimana diatur dalam aturan perundangundangan, sekaligus sebagai investasi sosial bagi perusahaan/ swasta dalam membangun pencitraan positif di masyarakat . 2.6 Konsep dan Teori CSR Konsep CSR yang sedang digandrungi saat ini belum memiliki definisi tunggal. Beragam definisi dari berbagai lembaga yang berpengaruh ikut mendefinisikan CSR sebagai berikut : 1)
Bank Dunia CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.
32
2)
World Council for Sustainable Development Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life and the workforce and their families as well as of the local community and society at large
3)
Uni Eropa CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operation and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis. Terdapat tiga pandangan yang perlu diperhatikan corporate dalam menilai
urgensi penerapan CSR. Pertama, CSR merupakan strategi perusahaan yang pada akhirnya
mendatangkan keuntungan. Kedua,
sebagai compliance
(kewajiban), karena akhirnya akan ada hukum yang menekan perusahaan. Ketiga, yang memandang CSR merupakan suatu yang penting karena perusahaan merasa sebagai bagian dari komunitas. Pentingnya CSR juga bisa dilihat dari kecenderungan pelaku bisnis dunia. CSR di pasar modal dunia kian menjadi faktor penentu yang penting. Umpamanya, New York Stock Exchange sekarang memiliki Dow Jones Sustainability (DJSI) untuk aneka saham perusahaan yang dikategorikan mempunyai nilai CSR yang baik. Sudah selayaknya perusahaan melaksanakan CSR dengan kesungguhan dan bukan semata demi menjaga image perusahaan atau sebagai reaksi terhadap
tekanan.
Saatnya
perusahaan
mulai
menggeser
paradigma
berbisnisnya untuk lebih peduli dan memberikan nilai tambah terhadap lingkungan dan masayarakat. Kepedulian ini harus dilihat sebagai bagian dari strategi perusahaan meningkatkan daya saingnya. CSR pada dasarnya mempunyai tujuan akhir
yakni sustainable
development (pembangunan berkelanjutan). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini dengan memberikan kesempatan
yang
sama
bagi
generasi
mendatang
untuk
mempunyai
kemampuan dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Artinya, ketika terminologi CSR atau tanggung jawab sosial dan lingkungan dikemukakan, maka konsep
33
sustainability merupakan dasar berpijak dari apapun yang dilakukan. Dengan kata lain, silahkan anda berusaha dan silahkan anda mencari keuntungan, tapi tolong jangan korbankan generasi mendatang. Kesadaran berusaha dengan bertanggung jawab merupakan trend yang mendunia saat ini. Diesendorf (2000) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan menyangkut keberlangsungan ekologi (ecological sustainaibility), ekonomi (economic sustainaibility) dan sosial (social sustainaibility). Economic dan social sustainaibility, disatukan menjadi human sustainability. Keberlangsungan ekologi perlu diperhatikan berdasarkan kenyataan bahwa perekonomian dan masyarakat sangat tergantung pada integritas biosfir dan proses ekologi di dalamnya. Keberlangsungan kesejahteraan
ekonomi
manusia.
menekankan
pada
peningkatan
Keberlangsungan
sosial
mencakup
kualitas kesamaan
kesempatan dan kemampuan dari masyarakat untuk mengatasi persoalanpersoalan utama dalam hidupnya. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan yang dapat diukur secara kualitatif. Dalam hal ini yang berubah tidak hanya aspek ekonomi, akan tetapi juga aspek sosial dan lingkungan. Saat ini paradigma bahwa perusahaan melalui kegiatan bisnis berusaha mencari keuntungan semata sudah usang. Kini tujuan keberadaan bisnis adalah tidak hanya mencari keuntungan, tetapi melakukan sesuatu yang lebih baik dengan tujuan memaksimalkan nilai pemegang saham, juga memaksimalkan nilai bagi para pemangku kepentingan (stakeholders). Stakeholder perusahaan ada yang berada di dalam perusahaan (internal stakeholder) dan ada yang berada di luar perusahaan (eksternal stakeholders). Internal stakeholders terdiri dari para karyawan dan seluruh anggota perusahaan. Eksternal stekeholder terdiri dari pemasok, komunitas lokal, masyarakat luas, pesaing, pemerintah, perusahaan lain, dan masyarakat dunia. Tanggung jawab sosial terhadap internal stakeholder harus menjadi prioritas perusahaan sebelum memberikan perhatian kepada eksternal stakeholder. Karyawan harus dilihat sebagai aset dan mitra perusahaan yang harus dihargai dan dipelihara dengan baik serta ditingkatkan kesejahteraannya terlebih dahulu.
34
2.6.1
Sejarah dan Evolusi Pemikiran CSR Konsep CSR mulai dikenal sejak diterbitkannya buku karya Howard
Bowen sebagai founding father CSR dengan judul ”Social Responsibility of Businessman” pada tahun 1953, konsep ini pun menjadi aktual pada tiga dasawarsa kemudian, tepatnya tahun 1987, dimana The World Commision on Environment and Development (WCED) dalam Bruntland Report, telah mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environtmental protection, dan social equity. Konsep sustainability development kian dikukuhkan melalui KTT Bumi di Rio De Janeiro pada tahun 1992 dimana pada forum tersebut ditegaskan bahwa konsep
sustainability
development
yang
didasarkan
pada
perlindungan
lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial merupakan sesuatu yang mesti dilakukan oleh semua pihak, termasuk perusahaan. Konsep CSR kian populer pada tahun 1998, terutama setelah kehadiran buku ”Cannibals With forks; The Triple Bottom Line in 21st Century Business” (1998) karya John Elkington, dimana Elkington mengemas CSR dalam tiga fokus; 3P yang merupakan singkatan dari Profit, Planet dan People. Dan pada tahun 2002 hasil dari World Summit Sustainable Development (WSSD) di Yohannesburg memunculkan konsep Social Responsibility yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environtment sustainability, dari rumusan pertemuan inilah selanjutnya pada tahun 2010 berhasil diberlakukan ISO 26000 sebagai suatu standar operasi dan norma pelaksanaan tanggung jawab sosial dari organisasi-organisasi termasuk perusahaan yang terhimpun dalam Guidance on Social Responsibility. Loss Prevention Not Charity merupakan cara pandang baru guna mencari solusi yang bersifat win-win antara pihak perusahaan dan komunitas lokal. Selain isu-isu kontribusi perusahaan terhadap komunitas dan masyarakat, sebenarnya banyak isu lainnya dalam CSR. Seperti: isu tata kelola yang baik bagi organisasi (good corporate governance), isu tentang hak asasi manusia, isu tentang ketenagakerjaan, isu lingkungan, isu tentang menjalankan bisnis yang tidak curang, dan isu tentang konsumen.
35
Ada tiga hal utama yang merupakan esensi dari pemahaman CSR, yaitu: (1)
CSR
merupakan tindakan
yang
harus
diambil
perusahaan
untuk
mempertanggungjawabkan dampak yang ditimbulkan akibat operasi perusahaan maupun kebijakan yang diambil terhadap lingkungan hidup, internal perusahaan dan eksternal perusahaan. (2) CSR harus beyond compliance to law, artinya: perusahaan harus dan wajib pertama kali mematuhi hukum dan peraturan yang ada. Setelah itu baru melakukan hal-hal baik kepada para stakeholders maupun lingkungan, diluar yang diwajibkan oleh hukum dan peraturan. Pra kondisi inilah yang harus tercipta, perusahaan harus dan wajib mematuhi hukum dan peraturan, sehingga barulah dapat dikategorikan sebagai kegiatan CSR. (3) CSR menuntut pengambil keputusan untuk turut bertanggung jawab juga. Dengan demikian CSR berkaitan erat dengan praktek corporate governance, atau jika pada organisasi, berarti organizational governance. Mengapa governance, karena dalam konsep governance, tanggung jawab dalam pengambilan keputusan (board) adalah hal yang paling utama. Board harus dapat diminta pertanggungjawabannya atas keputusan dan kebijakan yang diambil. Artinya, hal ini sangat terkait dengan akuntanbilitas. Board juga harus mengungkapkan hal-hal penting diketahui para pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal, seperti: laporan kinerja, laporan proses pengambilan keputusan, audit, laporan kegiatan CSR (melalui Sustainable Reporting), dan lain-lain. (Nindita, 2008). Dalam diskusi terbatas di CECT Universitas Trisakti dapat disimpulkan hubungan CSR, sustainability dan sustainable development. Sustainability adalah tujuan akhir yang harus dicapai oleh semua perusahaan. Tujuan akhir tersebut
diantaranya
adalah
menyeimbangkan
antara
kinerja
ekonomi,
kesejahteraan sosial dan peremajaan serta pelestarian lingkungan hidup. Proses mencapai tujuan akhir disebut sebagai sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Sedangkan CSR adalah vehicle (kendaraan) untuk mencapai tujuan akhir tersebut, jadi CSR merupakan bagian dari kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.
36
2.6.2
Konsep Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (CSR) CSR mulai mengemuka dalam hasanah bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan kepada masyarakat ketika dunia internasional ramai membicarakan CSR ini, hingga CSR menjadi isu besar bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi dimanapun. Hingga pada akhirnya pelaksanaan CSR di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 2007, Pasal 74 yaitu UndangUndang tentang Perseroan Terbatas. Didalam Undang-Undang ini pada pasal 74 dinyatakan bahwa semua Perseroan Terbatas wajib hukumnya melaksanakan CSR, sehingga tanggung sosial menjadi bagian dari rencana penganggaran perusahaan. Ada dua konteks politik ekonomi Indonesia dalam melihat peran BUMN kurun waktu 1998-2003, yaitu: (1) Kebijakan pemerintah melakukan penataan ulang (reformasi) BUMN yang ditandai dengan dua isu pokok, yakni restrukturisasi dan privatisasi. (2) Kebijakan pemerintah menjadikan usaha kecil sebagai tulang punggung ekonomi paska krisis. Dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Bukan hanya dukungan pada keberadaan usaha kecil dan koperasi tetapi juga BUMN harus mendukung program-program sosial yang lain. Program Bina Lingkungan (BL) yang menjadi dasar praktik tanggung jawab sosial BUMN, merupakan kebijakan sosial BUMN yang menyatu dengan dukungan terhadap usaha kecil dan koperasi yang disebut Program Kemitraan (PK). Kedua aspek tersebut, baik program BL maupun PK, terwadahi dalam suatu ketentuan hukum yang sama, yakni: Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-236/MBU/2003 dan Nomor
: PER-05/MBU/2007, tentang Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL). Serta surat edaran Menteri BUMN Nomor: SE-33/MBU/2003 dan SEN01/MBU.S/2009 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Keputusan Menteri tersebut. Dalam surat edaran ini dijelaskan pula bahwa masing-masing BUMN membentuk unit sendiri yang khusus untuk melaksanakan PKBL. Ada tiga persoalan dalam menerapkan program PKBL. Pertama, Kepmen-236/MBU/2003 menyangkut pembatasan terhadap lima objek bantuan (pendidikan, kesehatan, sarana umum, sarana ibadah, dan bencana alam). Kedua, terkait dengan manajemen program ditingkat BUMN yang masih bersifat
37
top down dan memerlukan persetujuan dari manajemen pusat bagi BUMN. Ketiga, menyangkut minimnya blueprint atau cetak biru kebijakan. Tak jarang pelaksanaan tanggung jawab sosial BUMN hanya didasarkan pada keinginan baik dan dimensi etis, tetapi belum dirumuskan dalam suatu kebijakan tertulis oleh perusahaan BUMN. Adapun perbandingan CSR dan PKBL disajikan pada Tabel 1 berikut ; Tabel 1. Perbedaan - Persamaan CSR dan PKBL Aspek
CSR
PKBL
Dasar Hukum
• Ps. 74 UU No. 40 tahun 2007 • Peraturan Pemerintah (masih dalam Rancangan)
• Ps.2 ayat (1) huruf e dan Ps.88 ayat (1) UU No.19 Tahun 2003 jo. Peraturan Meneg BUMN No.PER05/MBU/2007
Sasaran/ Tujuan
• Menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya setempat secara berkelanjutan (Penjelasan Ps.74 ayat (1)
• Program Kemitraan : Untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri • Program Bina Lingkungan : Pemberdayaan kondisi sosial masyarakat
Obyek Peraturan
• Perusahaan (Perseroan Terbatas) yg • Persero (termasuk Persero Terbuka) menjalankan kegiatan usaha dibidang / dan Perum (Ps.2 ayat (1) dan (2) berkaitan dengan Sumberdaya Alam Peraturan Meneg BUMN No.PER(SDA) (Ps.74 ayat (1)) 05/MBU/2007) • Perusahaan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan SDA, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumberdaya alam (Penjelasan Ps.7 ayat (1)
Sifat Peraturan
Memaksa (wajib dilaksanakan) bagi perusahaan yang terkait SDA dan/atau perusahaan yang usahanya berdampak pada fungsi kemampuan SDA, apabila tidak dilaksanakan, maka dapat dikenakan sanksi (Ps.74 ayat (3)
Terhadap Persero dan Perum, sifat peraturan memaksa (wajib dilaksanakan) karena Program tersebut dijadikan salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan Persero / Perum (Ps. 2 ayat (1) jo. Ps.30 ayat (1) Peraturan Meneg BUMN No.PER-05/MBU/2007)
Lingkup Tanggung Jawab
Terbatas di lingkungan/masyarakat di wilayah kegiatan usaha Perusahaan (Penjelasan Ps.7 ayat (1))
Lebih luas dari lingkup Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 (tidak sebatas wilayah tempat kegiatan usaha Persero atau Perum)
Perlakuan Anggaran
Diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran (Ps.74 ayat (2)
• Maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Kemitraan • Maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Bina Lingkungan.
Sumber : CA RE LPPM IPB, 2011 (makalah paparan Awareness Internal PK T, “Organisasi PKT dalam Pengelolaan Pelaksanaan CSR dan PKBL”)
38
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa secara konsep Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dilaksanakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak jauh berbeda dengan best practices CSR yang dilakukan oleh perusahaan swasta sehingga dapat dikatakan bahwa PKBL merupakan praktek CSR yang dilakukan oleh BUMN. Permasalahan muncul bagi perusahaan milik negara, dikarenakan perusahaan ini ada yang berbentuk Perseroan Terbatas, lantas acuan mana yang harus diikuti dalam hal pelaksanaan tanggung sosialnya, sementara mereka sudah melaksanakan PKBL. Cakupan pelaksanaan PKBL - BUMN diharapkan mampu mendukung mewujudkan 3 pilar utama pembangunan nasional (triple tracks) yang telah dicanangkan pemerintah dan merupakan janji politik kepada masyarakat, yaitu: (1) pengurangan jumlah pengangguran; (2) pengurangan jumlah penduduk miskin; dan (3) peningkatan pertumbuhan ekonomi. Melalui PKBL diharapkan terjadi peningkatan partisipasi BUMN untuk memberdayakan potensi dan kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat dengan fokus diarahkan pada pengembangan
ekonomi
kerakyatan
untuk
menciptakan
pemerataan
pembangunan. Sementara cakupan pelaksanaan CSR disamping mewujudkan 3 pilar tadi, juga berdimensi kepada pewujudan palaksanaan operasi perusahaan yang tidak melanggar HAM, praktek yang jujur, dan dimensi lain yang tercantum dalam ISO 2600, sebagaimana disajikan pada Gambar 4 berikut.
The Environment Labour paractices
Fair operating process
Consumer issues
Human rights
Organizational governance
Social Responsibility
Social Development
Gambar 4. Acuan Pelaksanaan CSR berdasarkan ISO 26000
39
Dengan disahkannya ISO 26000 maka pelaksanaan CSR di dunia harus mengacu kepada indikator-indikator tersebut, termasuk juga adalah perusahaan yang berada dibawah pengelolaan pemerintah Indonesia (BUMN). Sementara jika perusahaan BUMN telah melaksanakan program PKBL, maka sesungguhnya dia sudah melaksanakan bagian-bagian dimensi dari pelaksanaan CSR, tinggal melengkapi dimensi lainnya sesuai dengan ISO 26000.
Clause 4
Two fundamental practices of social responsibility
Seve n principles of social responsibility Social Responsibility Core subject
Accountability Transparency
Human rights
Ethical Behaviour
clause 6
Labour practices
The Environ ment
Fair operating practices
Consumer issues
Community involvement and development
integrating social rersponsibility troughout an organization
The relationship of an organizations characteristics to social responsibility
Voluntary initiatives for social responsibility
Understanding the social responsibility of the organization
Practices for integrating social responsibility throughout an organization
Reviewing and improving an organization actions and practices related to social responsibility
clause 7
Sustaina ble deve lopment
Related actions and expectations
Respect for the rule of law
Respect for human rights
Stake holder identification and engagement
Organizational governance
Respect for stakeholder interests
Respect for internationa l norms of behaviour
clause 5
Recognizing social responsibility
Communication on social responsibility
Enhancing credibility regarding social responsibility
Annex : Examples of voluntary initiatives and tools for social responsibility
Gambar 5. Scematic overview of ISO 26000
Aplikasi CSR di dunia bisnis internasional telah dibangun dari mulai kegiatan yang bersifat promosi (Branding Image) kemudian bersifat sukarela (voluntary) sampai dengan kewajiban karena hukum (obligation). Pelaksanaan CSR Perusahaan multinasional dalam dunia bisnis lintas negara juga memliki variasi yang inovatif dari waktu kewaktu. Namun pada abad sekarang ini isu CSR internasional sangat didominasi oleh permasalahan pemanasan Global (Global
40
Warming). Meskipun banyak negara-negara di dunia yang belum memperkuat kedudukan CSR secara detail kedalam perangkat hukum masing-masing negara, tidak sedikit perusahaan multinasional yang melaksanakan CSR dan menjadikan CSR sebagai bagian dari bisnis mereka. Perusahaan multinasional yang berkedudukan di Amerika Serikat misalnya, seperti perusahaan minyak Exxon Mobile, perusahaan financial Citigroup, perusahaan industry retail Wal Mart, dan perusahaan computer IBM. Exxon Mobile memfokuskan kegiatan CSR-nya kedalam bidang pendidikan, pelayanan kesehatan yakni antara lain sebagai sponsor dari the United Nations Development Programme (UNDP), the United Nations Children's Fund (UNICEF) dalam pemberantasan malaria, lingkungan, HAM, dan kebijakan publik (www.exxonmobile.com). Wal Mart menitik-beratkan CSR-nya pada bidang pendidikan, kesehatan masyarakat seperti sebagai donatur pada American Cancer Society, the American Red Cross, olahraga, lingkungan, bantuan bencana, kegiatan amal, dan kesejahteraan anak (www.csrglobe.com). CSR IBM terfokus pendidikan,
kesehatan,
lingkungan,
dan
pengembangan
(www.csrglobe.com). Sedangkan Citigroup, selain fokus
pada
masyarakat
kepada bidang
kesehatan, lingkungan, dan pengembangan masyarakat, Citigroup juga menaruh perhatian khusus pada bidang kredit usaha kecil (www.csrglobe.com). Bank HSBC yang berpusat di Inggris juga menfokuskan kegiatan CSRnya pada bidang pendidikan, lingkungan seperti sebagai sponsor pada Botanic Gardens Conservation International (BGCI), Earthwatch Institute and WWF , bantuan bencana, pembiayaan, dan kredit usaha kecil (www.hsbc.com). Perusahaan elektronik Toshiba pun berusaha untuk membuat CSR merupakan bagian integral dari operasi bisnis sehari-hari untuk masing masing divisi dan setiap bisnis dan karyawan. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar menurut prioritas tertinggi bagi kehidupan manusia dan keselamatan dan kepatuhan hukum dalam semua kegiatan bisnis, Toshiba Group menitiberatkan CSR pada persoalan hak asasi manusia, pengelolaan lingkungan, peningkatan kepuasan pelanggan dan persoalan kewarganegaraan (www.toshiba.co.jp).
41
Perusahaan Kosmetik ternama L'Oréal memfokuskan kegiatan CSR-nya pada kegiatan pendidikan dan pelatihan The L'Oréal-Unesco Awards, The Unesco - L'Oréal Fellowships, dan The National Initiatives. Selain itu L'Oréal juga fokus pada program kesehatan dan lingkungan (www.csrglobe.com). Program CSR Perusahaan financial Jerman yakni Deutsche Bank AG juga memiliki kesamaan dengan industri perbankan lainnya yaitu berorientasi pada kredit usaha kecil seperti pada program Global Commercial Microfinance Consortium Ltd, dan Deutsche Bank Microcredit Development Fund. Kesenian, lingkungan, pengembangan masyarakat, dan pendidikan juga menjadi titik fokus program CSR oleh Deutsche Bank AG (www.deutsche-bank.de) . Pelaksanaan CSR di Indonesia memiliki domain yang tidak terlalu jauh berbeda satu sama lainnya, meskipun korporasi-korporasi yang melaksanakan CSR tersebut melaksanakan kegiatan bisnis yang berbeda-beda misalnya di sektor perbankan kegiataan CSR banyak difokuskan pada bidang pendidikan seperti yang dilaksanakan oleh Bank Mandiri dan Bank BNI. Beberapa program sosial BNI dalam membantu bidang pendidikan diantaranya pemberian beasiswa setiap tahun, bantuan sarana dan prasarana fisik dan alat tulis bagi sekolah/ kampus, renovasi sekolah, program
kewirausahaan mahasiswa, sarana
pendukung pendidikan nonformal dan program edukasi khusus bagi semua kalangan (www.beritasore.com). Pada bidang pendidikan, Bank Mandiri memiliki sejumlah sub kegiatan seperti beasiswa, pembelajaran mengenai perbankan kepada siswa di daerah terpencil, penyediaan sarana penunjang pendidikan, dan renovasi sekolahsekolah yang rusak. Bank Mandiri juga menaruh perhatian besar pada masalah yang dihadapi oleh masyarakat karena bencana alam. Pada tiga bencana besar yang belum lama terjadi di Indonesia yakni tsunami di Aceh dan Nias, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan tsunami di Pangandaran, Bank Mandiri dengan sigap segera mengulurkan bantuannya (www.jurutulis.com). Pada Sektor pertambangan seperti Pertamina, kegiatan CSR difokuskan pada 4 bagian besar yakni pendidikan, lingkungan, kesehatan dan kemitraan berkelanjutan (www.pertamina.com). Masih disektor yang sama perusahaan
42
pertambangan batubara yakni Bumi Resources menitiberatkan kegiatan CSRnya pada bidang pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat dibidang perikanan, pertanian, dan perkebunan serta pada bidang perbaikan infrasturktur dan pemeliharaan kesehatan (www.bumiresources.com). Tidak sedikit pula korporasi di Indonesia yang sangat memperhatikan implementasi
CSR
yakni
dengan
membentuk
yayasan
khusus
untuk
melaksanakan program CSR secara fokus dan berkelanjutan.Seperti PT. Unilever Indonesia Tbk melalui yayasan Unilever Indonesia yang sangat fokus pada pengembangan ekonomi masyarakat (www.ibl.or.id)
dan PT. HM
Sampoerna Tbk melalui Yayasan Sampoerna foundation yang fokus pada bidang pendidikan (www.sampoernafoundation.org). 2.7 Efek Dualisme Ekonomi Terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir Terpadu Isu yang selalu mucul ketika membicarakan masyarakat pesisir adalah masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi maupun politik, terutama nelayan yang digolongkan sebagai nelayan musiman nelayan yang hanya memiliki perahu tanpa motor atau nelayan buruh. Pada umumnya, 80% masyarakat pesisir masih dalam kondisi miskin dengan tingkat pendidikannya yang rendah. Kemiskinan yang selalu menjadi trade mark bagi masyarakat pesisir dalam beberapa hal dapat dibenarkan dengan beberapa fakta seperti kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, rentannya mereka terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang melanda, dan ketidakberdayaan mereka terhadap intervensi pemodal, dan penguasa yang datang. Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
faktor
struktural
yang
menyebabkan terjadinya kemiskinan nelayan. Mubyarto et al (1984), Mubyarto dan Sutrisno (1988), Resusun (1985), Rizal (1985) dan Zulkifli (1989) menyatakan bahwa faktor struktural ini juga sering kali menjadi alasan untuk
43
timbulnya konflik pada masyarakat pesisir yaitu konflik nelayan tradisional terhadap pemilik alat tangkap moderen seperti pukat harimau. Konflik itu terjadi karena pukat harimau melakukan penangkapan ikan di zona penangkapan nelayan tradisional. Misalnya, salah satu penyebab konflik adalah adanya penabrakan nelayan oleh pukat harimau. Menurut catatan Suhendra (1998) ada sampai 37 kejadian nelayan ditabrak pukat harimau dengan korban meninggal 5 orang, hilang 31 orang, sejak tahun 1993 sampai Juli 1998. Keadaan dan kondisi di atas seringkali memicu terjadinya pengerusakan sumberdaya alam di sekitarnya. Secara umum, ada dua pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis kemiskinan nelayan yaitu pendekatan struktural dan kultural. Beberapa tulisan mengenai masyarakat pesisir dengan pendekatan struktural yang menggambarkan tentang kemiskinan/ kondisi ekonominya. Hasil penelitian Mubyarto et al (1984) menunjukkan bahwa masyarakat pesisir di daerah Jepara sebagian berasal dari golongan sedang, miskin, dan miskin sekali. Selanjutnya dinyatakan bahwa kemiskinan masyarakat pesisir pantai lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur, di mana masyarakat pesisir terbagi atas kelompok kaya dan kaya sekali di satu pihak, miskin dan miskin sekali dilain pihak. Penelitian ini menunjukkan adanya dominasi/ eksploitasi dari masyarakat pesisir kaya terhadap nelayan miskin. Hampir sama atas dasar penelitian di atas Mubyarto dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan masyarakat pesisir di Kepulauan Riau.