2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah 2.1.1
Pengertian tentang Pengembangan Wilayah Richardson
(1979)
berpendapat
bahwa
pengertian
tentang
pewilayahan
(regionalisation) dan lingkup wilayah (region) tidak dapat didefinisikan secara baku karena kriteria yang digunakan sangat tergantung dari lingkup rancangan studi yang akan disusun. Cakupannya dapat beragam mulai dari pusat pemukiman kecil, hingga wilayah yang sangat luas mencakup beberapa pulau, bahkan negara (Raymond, 1996). Menurut Poernomosidi (1981) pengertian tentang wilayah, kawasan, dan daerah adalah sebagai berikut: 1) Wilayah (region) dapat diartikan sebagai batasan geografis yang mempunyai karakter penggunaan tertentu, seperti wilayah pertanian (budidaya), wilayah hutan, atau wilayah padat penduduk. 2) Kawasan dapat meliputi beberapa wilayah karena batasnya ditentukan oleh suatu fungsi tertentu, seperti kawasan pengembangan pertanian yang mencakup wilayah pertanian dan industri hasil pertanian. 3) Daerah adalah wilayah dengan batas administrasi pemerintahan (formal). Perbedaan juga terjadi pada istilah pembangunan (development) yang sering digunakan secara rancu dengan kata pengembangan. Kedua istilah ini mempunyai pengertian sebagai berikut (Poernomosidi, 1981): 1) Pembangunan adalah upaya untuk mengadakan/membuat/mengatur sesuatu yang belum ada. 2) Pengembangan adalah upaya untuk memajukan/memperbaiki/meningkatkan sesuatu yang telah ada. Richardson (1979) dan Glasson (1992) mendefinisikan wilayah secara formal adalah suatu kesatuan alam yang mempunyai keterkaitan yang menjadi pengikat. Suatu wilayah dalam pengertian geografi, merupakan kesatuan alam (homogeneous region) yang mempunyai kesamaan (commonalities) dan ciri geografis yang khas, antara lain
8
wilayah
ekonomi
yang
berkaitan
dengan
suatu
proyek
pembangunan
dan
pengembangan. Menurut Raymond (1996), wilayah perencanaan (planning region) pada dasarnya adalah wilayah geografis yang memungkinkan perencanaan dan penerapan program pengembangan wilayah sesuai dengan permasalahan dan kondisi spesifik di wilayah itu. Kesimpulan ini memperkenalkan pengertian tentang wilayah fungsional (functional region), yaitu suatu wilayah dengan keadaan alam yang tidak sama tetapi memungkinkan berlangsungnya bermacam-macam kegiatan/fungsi yang saling mengisi dalam kehidupan masyarakat (Glasson, 1992; Porter, 1998). Dalam kaitannya dengan perencanaan pengembangan, pengertian wilayah formal dan wilayah fungsional menghasilkan dua macam pendekatan yang berguna, yaitu (Johara, 1999): 1) Perencanaan wilayah formal (teritorial) memperhitungkan mobilisasi terpadu dari semua sumberdaya manusia dan sumberdaya alam dari suatu wilayah tertentu yang dicirikan oleh perkembangan masyarakatnya sehingga terbentuk menjadi beberapa kelompok sosial. Strategi yang melandasi perencanaan wilayah formal ini menggunakan pendekatan dari bawah ke atas (bottom up), serta menekankan pada pelayanan aspirasi masyarakat. 2) Perencanaan wilayah fungsional memperhitungkan lokasi berbagai kegiatan/fungsi ekonomi dan perdagangan, serta pengaturan secara ruang dari berbagai simpul (pusat) dan jaringan. Strategi pengembangan dari atas ke bawah (top down) melandasi perencanaan wilayah fungsional ini. Pewilayahan adalah proses perancangan wilayah yang sangat tergantung dari maksud penyusunan, kriteria yang digunakan, dan data yang tersedia. Dalam hal ketersediaan data yang tidak memadai maka perancangan wilayah akan menghasilkan batas-batas yang kabur (misty boundaries). Oleh karena itu sering digunakan pendekatan kuantitatif untuk mengelompokkan berbagai sub-wilayah. Pengembangan metode kuantitatif dipelopori oleh Berry (1961) yaitu metode Analisis Faktor (The Factor Analysis) yang kemudian dianggap terlalu rumit, sehingga dikembangkan metode Nilai Indeks Terbobot (The Weighed Index Number) oleh Boudeville (1966) yang lebih banyak digunakan. Pada dasarnya perancangan membagi wilayah formal yang ada dengan menggunakan karakter dan kriteria spesifik yang ditentukan. Proses
9
perancangan juga memperhatikan faktor fungsi, keterkaitan, dan ketergantungan antar sub-wilayah, yang ditinjau dari dua aspek dasar yaitu (Raymond, 1996): 1) Analisis Aliran (Flow Analysis), dilakukan dengan observasi lapangan yang melihat kenyataan tentang intensitas aliran kegiatan penduduk. Hal ini akan menggambarkan daerah pusat (dominant center) dan daerah penunjang (surrounding sattelites). Dari tingkat intensitas yang ditampakkan maka dapat ditentukan batas-batas wilayah ditinjau dari sisi kriteria tertentu. Kriteria aktivitas yang digunakan dapat berupa aktivitas ekonomi (angkutan barang atau penumpang, jalan raya, atau kereta api), atau motivasi (belanja, sekolah, bekerja, atau informasi). 2) Analisis Gravitasi (Gravitational Analysis), disusun tentang kegiatan yang secara teoritis dilakukan oleh penduduk. Analisa ini menggunakan asumsi bahwa kekuatan interaksi antara dua kutub (poles) ditentukan oleh besarnya massa (jumlah penduduk) dan berbanding terbalik dengan jauhnya jarak. Wilayah perencanaan yang disusun dengan kriteria formal maupun fungsional pada hakekatnya tidak terkait pada wilayah administrasi pemerintahan. Namun demikian, Smith (1965) menekankan pentingnya orientasi wilayah administrasi dalam penerapan program pengembangan. Dalam kenyataannya, perancangan wilayah seringkali tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan secara tegas. Untuk menghindari kerancuan yang bisa berakibat fatal pada penerapan program pengembangan wilayah, maka pewilayahan tidak dapat disusun dengan melandaskan pada salah satu kriteria murni namun harus disusun secara komprehensif, lentur dengan beberapa kompromi. Hal ini terjadi terutama antara pewilayahan berdasarkan kriteria formal atau fungsional, dan administrasi. Raymond (1996) menyatakan bahwa pewilayahan dapat ditinjau secara subyektif atau obyektif. Untuk keperluan studi dan penelitian, pewilayahan dipakai sebagai alat untuk menganalisis secara subyektif atas dasar kriteria yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan pendekatan ini dapat dideskripsikan wilayah formal, fungsional, administrasi, dan
kawasan pengembangan
ekonomi
secara terinci, sehingga
memudahkan penyusunan rekayasa pengembangan wilayah secara memadai (ideal). Namun pendekatan subyektif membutuhkan ketersediaan data yang memadai untuk dapat menganalisis masing-masing kriteria secara tepat dan akurat. Dalam
10
kenyataannya, data yang dibutuhkan sesuai format studi seringkali tidak tersedia, sehingga pewilayahan biasanya disusun berdasarkan ketersediaan data wilayah administrasi dengan tetap memperhatikan dan memperhitungkan prinsip-prinsip dasar subyektif (teoritis) (Glasson, 1992).
2.1.2
Konsep Pengembangan Wilayah Program pengembangan wilayah akan berhasil dan berkesinambungan jika
dilandasi pandangan yang holistik tentang proses perekonomian. Pengembangan wilayah daerah pertanian di perdesaan harus ditempuh melalui pemberdayaan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan sumberdaya spesifik daerah itu, seperti sumberdaya tenaga kerja, iklim, atau lahan, untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang memenuhi persyaratan pasar. Petani di perdesaan, seringkali menghadapi paradoks, yakni peningkatan produksi (termasuk akibat panen musiman) yang justru menurunkan pendapatan petani akibat terjadinya kelebihan pasokan (excess supply). Oleh karena itu, rekayasa pada subsistem usahatani, antara lain melalui perbaikan infrastruktur pertanian, harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk penyelarasan pasar dalam peningkatan produksi petani sesuai dengan kelanggengan permintaan (Saragih, 2001). Pada hakekatnya, pengembangan wilayah dimaksudkan untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan (Carroll dan Stanfield, 2004): 1) perekonomian usahatani dengan agroindustri dan agroniaga, 2) perekonomian perdesaan dengan perkotaan, 3) tingkat kemakmuran antar wilayah, dari sisi ekonomi (pendapatan dan biaya hidup), maupun sisi sosial (fasilitas pendidikan, kesehatan, dan rekreasi). Tingkat kemakmuran suatu wilayah yang dimaksudkan tidak hanya dilihat dari rendahnya angka pengangguran, namun sejak tahun 1960-an telah diperluas dengan tolok ukur yang lebih komprehensif. Hal ini mulai disadari karena rendahnya tingkat kesejahteraan hidup umumnya terkait dengan masalah ketidak-seimbangan demografi, ketertinggalan pembangunan, atau tingginya biaya produksi (Blunden et al., 1973; McCrone, 1973; Triutomo, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh USAID (2006) pada 17 proyek pengembangan wilayah perdesaan terpadu yang dibiayai oleh berbagai organisasi donor dunia selama
11
30 tahun terakhir menunjukkan faktor-faktor keberhasilan (atau kegagalan) suatu proyek pengembangan, adalah: 1) Kelembagaan. Desentralisasi dan keterlibatan masyarakat merupakan hal yang utama agar proyek pengembangan dapat berjalan lancar dan langgeng, oleh karena itu: a. Pendekatan top-down dalam pengembangan wilayah perdesaan telah mengalami kegagalan.
Pemerintah
Pusat
dan
lembaga
donor
harus
membatasi
keterlibatannya pada penetapan kebijakan, sehingga menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal untuk mengembangkan daerahnya. b. Rasa
memiliki
harus
ditumbuhkan
kepada
Pemerintah
Daerah
dan
organisasi/lembaga/masyarakat lokal, terutama untuk menetapkan visi dan strategi daerah. Hal ini sekaligus dimaksud untuk menampung aspirasi, kebiasaan, dan budaya lokal. c. Unit-unit kerja yang telah ada sebaiknya secara aktif dilibatkan dalam implementasi program. Unit-unit kerja yang masih lemah dan tidak efektif justru menjadi kuat saat diikutsertakan dalam program pengembangan daerahnya. 2) Perencanaan dan pelaksanaan proyek. Perencanaan yang tidak tepat sering menjadi sebab dari terjadinya kegagalan program, terutama simplifikasi pada diagnosa permasalahan dan optimisme yang berlebihan terhadap solusi yang telah (apriori) ditentukan. Pelaksanaan proyek yang dilaksanakan secara bertahap, fleksibel, serta dimungkinkannya penyesuaianpenyesuaian, akan berjalan langgeng. Ketidakpastian dan perubahan akibat dari pengembangan itu sendiri membutuhkan fleksibilitas. 3) Penciptaan jaringan. Proyek pengembangan dirancang secara terfokus, namun tidak boleh mengabaikan adanya dinamika dari berbagai program lain yang sedang berjalan secara bersamaan. 4) Kesinambungan. Tidak langgengnya suatu proyek pengembangan juga dapat disebabkan oleh: a. Ketergantungan pada agen technical assistance, tanpa dibarengi pelatihan, persiapan, dan pengalihan kepada tenaga lokal.
12
b. Biaya perawatan yang mahal yang harus dibiayai masyarakat pada saat proyek berakhir akibat penggunaan peralatan yang terlalu canggih. c. Unit Kerja atau Lembaga (Pengelola) tidak membaur dengan masyarakat. d. Jangka waktu pelaksanaan dan pengembangan proyek yang relatif pendek. e. Tidak ada rasa ikut memiliki pada masyarakat lokal yang tidak dilibatkan. Carroll dan Stanfield (2004) menyimpulkan bahwa program pengembangan wilayah harus memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu: 1) Berorientasi pada keterpaduan dan menyeluruh (system approach). 2) Berbasis sumberdaya yang tersedia di wilayah lokal (local specific). 3) Cakupan wilayah mempunyai batas-batas yang jelas. Program pengembangan fungsional (functional program) bertujuan untuk mengatasi kendala khusus (yang utama) bagi pengembangan wilayah di suatu wilayah perdesaan. Program demikian lebih terarah dan mudah dilaksanakan karena tujuannya spesifik serta mampu memberikan manfaat dalam waktu yang singkat (Lele, 1975). Program pengembangan fungsional umumnya bersifat komprehensif walaupun terfokus pada beberapa fungsi, misalnya pembangunan infrastruktur, pengadaan pinjaman khusus petani, atau pemasaran hasil pertanian. Pada hakekatnya, pendekatan pewilayahan fungsional dapat mencakup kota, wilayah, atau sekelompok negara yang saling terkait dalam keterpaduan lingkup bisnis yang rumit. Pendekatan secara fungsional tidak terikat pada batas wilayah administrasi pemerintahan (formal). Hal ini juga telah tertanam pada manajemen pemerintahan pasca otonomi daerah yang tidak sekedar menekankan pada batas-batas geografis dan aturan yang berlaku untuk satu wilayah administrasi tertentu, tetapi lebih ke arah pencapaian tujuan organisasi (boundaryless organization) (Thoha, 2001). Integrated Area Development (IAD) merupakan program pengembangan wilayah fungsional yang berbasis pewilayahan multi-sektoral dan plural. Program ini digunakan untuk pengembangan yang meliputi areal pertanian yang luas untuk tanaman dengan masa tanam pendek dan panjang, tunggal dan tumpangsari (Misra et al., 1978). Program ini juga dirancang untuk meliputi infrastruktur jaringan irigasi, drainase, dan layanan penunjang/pendukung, seperti riset, pemasaran, dan kelompok tani. Hakekat dari pola pengembangan IAD mencakup faktor jaringan (network), bisnis/agroniaga (economic
13
activity), dan peran serta masyarakat (social). Dasar pemikiran penerapannya menekankan pada upaya integrasi sumberdaya dan keterkaitan pasar (niaga) dengan berpatokan (UN, 1989): 1) Fokus pada wilayah yang dicakup. 2) Mencakup beberapa komponen fungsi dan sektor. 3) Menerapkan partisipasi masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pada pelaksanaan proyek. IAD digunakan untuk pengembangan wilayah perdesaan, sebagai mekanisme untuk meningkatkan partisipasi lokal guna mendapatkan distribusi manfaat ekonomi yang adil. Program IAD telah diterapkan oleh banyak negara berbasis pertanian di AsiaPasifik, termasuk Malaysia dan Filipina, untuk pengembangan wilayah sub-regional. Pendekatan ini muncul sebagai reaksi dari pendekatan-pendekatan sektoral yang sempit, sebagaimana dapat dilihat dari dua tujuannya, yaitu (UN, 1989): 1) Mempercepat pertumbuhan dari wilayah tertinggal untuk memperbaiki ketimpangan regional. 2) Memaksimalkan manfaat bagi daerah-daerah miskin sehingga dicapai keseimbangan dalam masyarakat. Pendekatan program IAD membagi wilayah dalam beberapa sub-wilayah untuk mempertajam analisa dalam perancangan. Dalam kenyataan, seringkali ditemui banyak perbedaan nyata dalam satu sub-wilayah, misalnya sub-wilayah yang terdiri dari daerah pertanian dan industri, sehingga tidak dapat disarikan kesamaan tingkat penghasilan masyarakat. Untuk mengatasi hal itu pendekatan dilakukan dengan melakukan penelusuran hubungan keterkaitan spesifik antar simpul (nodes/poles) yang ada di dalam wilayah atau sub-wilayah tersebut, sehingga menjadi realistis (Richardson, 1979). Penerapan konsep IAD dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsional yang memperhitungkan lokasi berbagai fungsi (kegiatan) ekonomi yang dikelompokkan dalam beberapa Satuan Kawasan Pengembangan (SKP). Pengaturan SKP dapat dilakukan secara ruang sesuai fungsinya, mencakup jaringan (network) dari beberapa simpul yang merupakan Satuan Wilayah Ekonomi (SWE) tertentu (Poernomosidi, 1981).
14
Secara diagramatis proses pengembangan suatu wilayah secara fungsional dengan pendekatan IAD ditunjukkan oleh Gambar 1. Proses diawali dengan menata struktur pewilayahan sesuai fungsi yang akan dianalisis. Uraian keterkaitan dari beberapa simpul kegiatan ekonomi merupakan Satuan Wilayah Ekonomi yang tertentu secara fungsional. Penyebaran simpul-simpul kegiatan ekonomi di beberapa wilayah dikelola secara sistematis (termasuk koreksi dari alur simpul) setelah dilakukan analisis dan sesuai dengan alur keterkaitannya. Melalui cara ini diperoleh keterkaitan yang sinergis dan efisien, sehingga dapat diperoleh peningkatan nilai tambah bagi keseluruhan proses.
Non Formal
Terkait
Terpadu
Gambar 1 : Proses Pengembangan Kawasan secara Fungsional (Poernomosidi, 1981).
2.1.3
Keruangan Wilayah Pemahaman struktur keruangan wilayah dapat dilakukan melalui dua komponen
dasar pembentuknya yaitu: pola penyebaran penduduk dan pola penyebaran pembangunan kesejahteraan. Pola penyebaran pemukiman menggambarkan konsentrasi penduduk sebagai indikator dimensi spasial wilayah dalam aspek nonfisik. Pola penyebaran kesejahteraan secara langsung maupun tidak langsung menggambarkan pembangunan ekonomi wilayah. Pemahaman spasial ekonomi wilayah ini menunjukkan potensi yang dapat dikembangkan dan bermanfaat bagi pengembangan wilayah, termasuk pembangunan sumberdaya manusianya. Salah satu pendekatan keruangan perencanaan yang digunakan dalam pembangunan wilayah adalah konsep pusat-tepi (center periphery) dari John Friedman (1966) yang membedakan antara wilayah pusat yang teratur, dinamis dan memiliki kapasitas tinggi untuk menyerap perubahan inovatif, dan daerah tepi yang statis dan mempunyai ketergantungan substansial. Ada empat jenis wilayah (region):
15
1) Wilayah inti merupakan konsentrasi ekonomi metropolitan dengan kapasitas inovasi dan perubahan yang tinggi. Wilayah pusat ini memiliki jaringan dari metropolis sampai ke perdesaan (hamlet); 2) Wilayah peralihan adalah daerah tepi dari pusat. Wilayah ini mengandung sumberdaya yang dapat dikembangkan; 3) Wilayah batas sumberdaya merupakan daerah-daerah tepi yang digunakan untuk pemukiman baru; 4) Wilayah peralihan tidak berkembang adalah daerah-daerah yang mengalami stagnasi atau daerah-daerah yang mengalami kemunduran. Wilayah yang pertama dan kedua umumnya menjadi wilayah pikat, yaitu wilayah yang dapat menarik penduduk sekitarnya karena memiliki potensi ekonomi yang baik. Wilayah ketiga yaitu wilayah batas sumberdaya dapat juga menjadi sumber migran bagi wilayah-wilayah sekitarnya apabila tidak dijaga keseimbangan daya dukung lingkungan terhadap tambahnya penduduk. Wilayah yang paling parah keadaannya dan merupakan sumber migran bagi wilayah-wilayah terdekat adalah wilayah keempat yaitu wilayah peralihan tidak berkembang (Friedman, 1966). Perkembangan suatu wilayah mengalami empat tahap evolusi ruang, yaitu: Tahap Pra-industri; Tahap Mula Industrialisasi; Tahap Transisi; dan Tahap Mantap. Menurut Friedman, tahap Pra-industri ditandai dengan adanya keseimbangan dari sejumlah pusat-pusat pewilayahan yang kecil, tidak saling tergantung, dan tersebar di wilayah yang luas. Dalam keadaan ini ekonominya cenderung statis dan kemungkinan berkembang sangat kecil. Tahap Mula Industrialisasi (incipient-industrialization), ditandai dengan munculnya primate city yang mendominasi suatu wilayah yang luas. Primate city ini memanfaatkan dan mengeruk sumberdaya dari daerah tepinya, sehingga perekonomian daerah tepi akan banyak dipengaruhi dan terikat. Pada Tahap Transisi primate city tetap berperan dalam wilayah yang luas itu walaupun mulai tumbuh beberapa pusat pertumbuhan yang mengurangi pengaruhnya. Tahap terakhir, yaitu Tahap Mantap baik dari segi keruangan maupun taraf industri. Dalam tahap ini sudah ada sistem dasar dari suatu pewilayahan. Sistem pewilayahan yang secara fungsional memiliki saling ketergantungan ini mempunyai manfaat di bidang efisiensi lokasi, potensi pertumbuhan yang maksimal, dan derajat keseimbangan inter-regional
16
yang tinggi. Ketimpangan sosiologis, ekonomi maupun teknologi, akan ikut memacu migrasi penduduk, termasuk urbanisasi (Friedman, 1966). Senada dengan konsep pusat-tepi dari Friedman, Perroux (1950) juga mengamati adanya suatu mekanisme yang menyebar-luaskan aspek-aspek pengembangan ekonomi yang disebut kutub pertumbuhan (growth pole). Pengertian kutub pertumbuhan menurut Perroux : “Kutub pertumbuhan adalah pusat (fokus) dalam wilayah ekonomi yang abstrak yang memancarkan kekuatan yang menarik. Tiap pusat mempunyai pusat penarik dan pendorong dalam atau terhadap pusat-pusat yang lain.” Pengertian ini kemudian dikembangkan oleh Boudeville (1966) dari dan untuk segi geografi menjadi: “Sebuah kutub pertumbuhan adalah suatu aglomerasi geografis dari berbagai sektor dan kegiatan dalam sistem yang kompleks. Kutub pertumbuhan ini merupakan wilayah yang memiliki industri propulsif (industri pendorong).” Adanya beberapa wilayah pusat dan daerah tepi yang dapat membentuk berbagai kutub pertumbuhan, maka dimungkinkan terjadinya ketimpangan regional atau perbedaan keadaan antar wilayah. Akibat selanjutnya adalah timbulnya gejala polarisasi, dan tiap-tiap kutub dengan kekuatan tarik-dorongnya menimbulkan perpindahan penduduk dari tepi ke pusat atau sebaliknya (Misra et al., 1978). Program khusus yang mengkaitkan urbanisasi dengan tata wilayah dan tata perdesaan diperlukan agar selalu ada keseimbangan yang serasi antara wilayah pusat dengan daerah tepi. Program ini akan sangat bermanfaat dan mendukung pembangunan wilayah yang menjadi pusat pengumpulan berbagai potensi dan daerah perdesaan yang banyak memiliki sumberdaya alam. Konsep mengenai daerah nodal oleh Friedman telah dikembangkan oleh Harry Richardson yang menyatakan bahwa ciri dari perekonomian ruang adalah ketidakhomogenannya. Tampak bahwa terdapat aglomerasi kegiatan ekonomi dan distribusi penduduk pada lokasi-lokasi tertentu. Aglomerasi-aglomerasi ini terlihat dari adanya beberapa daerah yang penduduknya lebih padat, terutama pada daerah yang memiliki kegiatan industri, ke arah itu arus penduduk, barang-barang dan jasa-jasa, komunitas
17
dan lalu-lintas bergravitasi. Pusat (nuclei) terdapat di suatu wilayah di mana kegiatankegiatan bisnis, komersial dan sosial berlangsung. Hal ini terlihat pada peta kepadatan arus lalu-lintas intra wilayah. Polarisasi merupakan akibat dari adanya kegiatan ekonomi dari poles. Gejala polarisasi yang paling penting adalah terjadinya peningkatan ketimpangan antar wilayah dengan adanya keterkaitan dan interaksi diantaranya. Konsep wilayah penggerak pertumbuhan (generative region) dalam kenyataannya justru tidak mampu menyebarkan dampak pembangunan apalagi memperkecil kesenjangan, bahkan menimbulkan dampak yang sebaliknya. Namun, sebaliknya, suatu wilayah tidak mampu untuk memacu pertumbuhannya sendiri tanpa berhubungan dengan wilayah lainnya (isolasi). Hal ini menjadi landasan penting dalam perencanaan pengembangan wilayah yang mampu membangun secara seimbang, menjadikan pentingnya permodelan dan teknik pengukuran pengaruh, serta keterkaitan antar wilayah (Raymond, 1996; Misra et al., 1978).
2.2 Konsep Tata Ruang Konsep pengembangan wilayah adalah perencanaan yang didasarkan pada proses perekonomian wilayah secara menyeluruh dan terpadu (comprehensive & integrated development). Konsep pengembangan ini dalam implementasinya didukung dengan konsep tata ruang wilayah yang merupakan model corridor and radial concentric development, yaitu pengendalian pembangunan oleh masyarakat yang diarahkan dengan investasi yang ditanamkan oleh Pemerintah dalam corridor (infrastruktur) prioritas. Tata ruang merupakan suatu kombinasi dari penyebaran pemukiman dan pembangunan ekonomi wilayah. Komposisi ini berbentuk struktur keruangan wilayah yang kompleks dan memberi arti khusus bagi penampilan spasial wilayah tersebut. Pada hakekatnya tata ruang (ruimtelijke ordering atau spatial order) berarti pengaturan geografis, dilandaskan antara lain pada rencana pengembangan wilayah. Menurut istilah geografi regional, ruang merupakan wilayah yang mempunyai batas geografi, berupa batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan, diterjemahkan dalam tata guna lahan (land use) yang merupakan bagian dari tata ruang, yang mengatur penggunaan tanah (Johara, 1999).
18
Tata ruang sebagai organisasi spasial menampakkan adanya unsur pengaturan dan nilai/status ruang-ruang di pewilayahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hierarki suatu daerah adalah aktivitas manusia, fasilitas yang ada untuk melakukan aktivitas, sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia. Penataan ruang mempunyai arti yang penting dalam pengembangan wilayah, terutama karena adanya tata ruang yang jelas, disusun dan disepakati bersama akan mampu untuk (Craig, 2003): 1) Memberikan kepastian usaha bagi semua pihak yang terkait. 2) Melindungi keberadaan lahan pertanian yang sering tergeser karena dinilai tidak kompetitif. 3) Menghindarkan pertentangan (conflict) melalui proses penyusunan yang transparan, disertai dengan langkah sosialisasi dan integrasi tata ruang. Semua kegiatan ekonomi terkait erat dengan ruang dan lokasi, oleh karena itu perencanaan ekonomi harus didahului dengan perumusan kebijakan pengembangan wilayah, diterjemahkan dalam penataan ruang, dan program pembangunan daerah. Penataan ruang mempunyai dampak biaya yang sangat luas, terutama dengan timbulnya jaringan infrastruktur yang ditetapkan. Ketersediaan dana pembangunan Pemerintah perlu diperhitungkan dalam menyusun perencanaan tata ruang. Sebaliknya, perencanaan tata ruang yang buruk akan berakibat pada penataan ulang (re-zoning) dan relokasi, sehingga menimbulkan biaya ekonomi dan sosial yang tinggi di berbagai sektor, termasuk produksi dan industri pertanian (Craig, 2003). Strategi pengembangan wilayah (regional planning) melalui konsep tata ruang diarahkan kepada pengaturan wilayah dalam keruangan yang bersifat menyeluruh, terpadu, dan regional (comprehensive, integrated, and regional development). Hal ini dilakukan untuk menggali dan memanfaatkan potensi geografi dan sumberdaya yang ada, khususnya di wilayah perdesaan. Kombinasi yang unik dari berbagai sumberdaya yang ada di suatu daerah membentuk kompetensi wilayah tersebut untuk fungsi ekonomi tertentu (Warpani, 1980). Seringkali pengembangan wilayah menghadapi beberapa persoalan dan kendala yang mencakup beberapa aspek, yaitu kebijakan penggunaan dan strategi pengembangan lahan yang ada (Riyadi, 2001). Setiap daerah mempunyai sistem pengolahan sumberdaya alam, tenaga kerja, dan produksi, yang merupakan kegiatan pengembangan setiap daerah dalam usahanya untuk
19
mencukupi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya secara maksimal. Kekurangan dan kelebihan di masing-masing daerah menjadi penyebab terjadinya kegiatan eksporimpor antar daerah (Warpani, 1980). Pemilihan kawasan strategis yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan di kabupaten/kota berpengaruh besar pada penataan ruang, karena prioritas penataan wilayah dipilih sesuai arah pengembangan wilayah itu. Pemanfaatan dan peruntukan sumber air menjadi salah satu acuan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah. Pengembangan sumberdaya air pada wilayah sungai yang ditujukan bagi peningkatan manfaat guna memenuhi kebutuhan air baku untuk berbagai keperluan (diantaranya untuk pertanian) dilaksanakan sesuai tata ruang (FAO, 2000). Undang-undang No. 24/1992 dan No. 119/1992, tentang Penataan Ruang memberikan perlindungan khusus untuk para petani sehamparan dan mengamanahkan bahwa tata ruang adalah pola dan wujud struktural pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan. Penataan ruang juga merupakan salah satu instrumen dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena itu harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan daya dukung alami ruang tersebut dalam mengkonservasi air dan menjalankan fungsi-fungsi ekologisnya, terutama dalam kaitannya dengan daya tampung (ruang sebagai wadah) dan daya dukung lingkungan (ruang sebagai sumberdaya alam). Kemampuan alami tersebut sangat ditentukan oleh komposisi biotik dan abiotik serta penutupan lahan di atasnya serta jenis tanah, jenis geologi, kondisi hidrologi, kemiringan lahan, serta faktor klimat (Künzel, 1996). Pengelompokan dalam penataan ruang dilakukan berdasarkan fungsi utama kawasan. Hal ini dimaksud untuk membagi ruang yang bisa dimanfaatkan sumberdayanya dan ruang yang harus dijaga kelestariannya. Melalui perencanaan tata ruang, dampak negatif lingkungan yang mungkin terjadi dapat diantisipasi dan dihindari dalam rangka tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu perencanaan keruangan wilayah harus bersifat menyeluruh, terpadu, dan memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan, yaitu: 1) Faktor ekonomi, berkaitan langsung dengan kegiatan pembangunan (faktor penyebab), direpresentasikan oleh kebutuhan konversi lahan (pemukiman, pertanian
20
dan industri) yang selalu berubah. Setiap peralihan penggunaan lahan harus dihitung besarnya kadar pencemaran lingkungan yang ditimbulkan. 2) Faktor ekologis, berkaitan dengan kemampuan alamiah untuk mendukung kegiatan pembangunan yang berlangsung serta dampaknya (faktor akibat). 3) Faktor alokasi ruang secara proporsional, yaitu terpenuhinya syarat minimal alami dari suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Hal ini diperhitungkan sebelum dilakukan konversi lahan untuk kepentingan pembangunan. 4) Faktor pendekatan keterpaduan, yaitu keterpaduan dalam konsep penataan ruang wilayah yang terjadi antar sektor pembangunan serta keterpaduan vertikal (skala lokal, regional dan nasional). 5) Faktor pendapatan penduduk, yaitu upaya untuk meningkatkan pendapatan di berbagai sektor dengan tetap menjaga kualitas lingkungan pada setiap skenario pembangunan yang dirancang. Lima faktor di atas pada hakekatnya menggambarkan keterkaitan antara tata ruang dengan dampak yang terjadi akibat pembangunan terhadap lingkungan. Dampak negatif yang mungkin terjadi harus diantisipasi dan dihindari dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam upaya pelestarian lingkungan ini, disadari sepenuhnya bahwa perencanaan secara nasional harus didukung oleh implementasi pada tingkat lokal (Brody, 2003). Menurut Marsudi (1992) dan Johara (1999), pengkajian tata ruang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai teori yang telah dikembangkan, antara lain: Teori Lokasi oleh Von Thünen sebagai landasan bagi teori-teori penggunaan tanah (pertanahan) modern, Model Gravitasi, Analisis Input Output, dan Teori Kluster. Teori-teori ini dikembangkan untuk penggunaan pada situasi yang berbeda.
2.2.1
Teori Lokasi (Location Theory) Setiap kegiatan manusia selalu memerlukan lokasi tanah dan kondisi lingkungan
yang baik. Dalam hal ini harga memegang peranan yang penting dan menentukan pemilihan serta intensitas persaingan untuk mendapatkan tanah. Motivasi ekonomi manusia adalah untuk dapat mencapai target keuntungan yang maksimum, biaya transpor minimum dari penggunaan tanah di lokasi yang memadai. Untuk itu, maka
21
diperlukan pemahaman tentang kebijakan lokasi dan struktur spasial yang menyangkut pola penggunaan tanah, lokasi industri dan interaksi spasial. Konsep
dasar
dari
Teori
Lokasi
memerlukan
kajian
struktur
spasial
terhadap sistem jaringan nodal dan hierarki, blok diagram, bangunan normatif konsep pendekatan spasial ekonomi. Wacana teori ini tidak lepas dari interaksi aspek sosial, fisik dan ekonomi. Teori Lokasi masuk ke bidang ilmu ekonomi sejak Von Thünen mengembangkan teorinya sekitar tahun 1880. Teori Lokasi kemudian diperkenalkan secara utuh oleh Walter Isard pada tahun 1952, sehingga konsep pemilihan lokasi produksi mulai disadari pengaruhnya terhadap efisiensi, serta mulai masuk dalam ilmu ekonomi. Von Thünen pada dasarnya mengembangkan Teori Lokasi secara keruangan. Lingkaran lokasi yang disusunnya merupakan daerah yang efisien sebagai lokasi kegiatan usaha tertentu dalam daerah tersebut. Teori yang dimulai oleh Launhardt diteruskan oleh Weber yang membahas teori tempat lokasi yang kemudian berkembang pesat. Akhirnya Hotelling mengembangkan teori yang merupakan sumbangan penting dalam perkembangan keseimbangan keruangan. Sejak Isard berhasil mengintegrasikan Teori Lokasi jalur Von Thünen dan Launhardt/Weber dan mengintroduksikan peralatan yang dikenal dalam ekonomi, maka Teori Lokasi lebih diterima di kalangan ahli ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya tampaknya teori tentang tempat lokasi dan ketergantungan lokasi menyatu dalam bentuk yang disebut mikro ekonomi spasial. Sebaliknya teori yang dirintis oleh Thünen menjadi landasan bagi teori pertanahan modern (Johara, 1999). Teori Lokasi maupun Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (Growth Theory) sependapat tentang adanya tahapan perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah perdesaan. Transformasi struktural wilayah perdesaan melalui industrialisasi untuk menumbuhkan produktivitas sumberdaya manusia, dapat dilakukan terutama dengan pengaturan tata ruang dan infrastruktur (prasarana) yang progresif di wilayah perdesaan. Peter Hall menyimpulkan bahwa perencanaan dan penataan dalam pengembangan wilayah merupakan upaya perancangan investasi usaha dan masyarakat melalui penataan ruang dan penciptaan fasilitas menjadi insentif yang positif untuk investasi.
22
Menurut Claudius Petit, hal itu menunjukkan bahwa perencanaan tata ruang harus dilakukan oleh dan untuk masyarakat di wilayah itu sendiri (Gillingwater, 1975). Teori Lokasi untuk industri (Industrial Location Theory) menyatakan bahwa investor yang akan membangun suatu industri, secara rasional dan komprehensif mempertimbangkan dan memilih lokasi yang mampu menghasilkan keuntungan maksimal. Dengan pola pikir ini, maka pelaku industri akan tertarik pada lokasi yang paling kompetitif dalam hal upah tenaga kerja, biaya energi, ketersediaan pemasok, fasilitas komunikasi, pendidikan dan diklat, kualitas pelayanan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (Smith, 1973; Glasson, 1992; Arsyad, 1999; Dirdjojuwono, 2004).
2.2.2
Model Gravitasi (Gravity Model) Model Gravitasi merupakan pendekatan yang fleksibel untuk analisis keterkaitan
dan interaksi antara wilayah pusat dan daerah tepi maupun antar wilayah pusat. Model ini menghitung bobot (tingkat) keterkaitan yang dilandaskan pada dua komponen yaitu besarnya massa (mass) dan jarak antara titik-titik wilayah (nodes). Komponen massa menunjukkan tingkat dominasi ekonomi suatu titik wilayah, sedangkan komponen jarak menunjukkan pertimbangan lain yang lebih bersifat non-ekonomi (Misra et al., 1978). Tingkat simplikasi dalam model ini seringkali dianggap terlalu berlebihan. Keterkaitan antar wilayah merupakan hubungan yang kompleks yang tidak terwakili hanya oleh dua komponen. Namun Richardson berpendapat bahwa Model Gravitasi tetap menjadi model yang secara praktis mampu menunjukkan potensi hubungan antara daerah yang berpengaruh (dominant) terhadap daerah-daerah lain yang dipengaruhinya (dominated). Gambaran tentang potensi ini digunakan untuk penyusunan prediksi yang sangat diperlukan dalam perencanaan perkembangan wilayah. Model Gravitasi menekankan pada kekuatan daya tarik teoritis dari suatu wilayah daripada arus keterkaitannya terhadap wilayah yang lainnya. Namun dengan analisa yang cermat akan tercermin potensi arus keterkaitan dari beberapa wilayah penelitian (Gillingwater, 1975). Permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan Model Gravitasi adalah keterbatasan data, oleh karena itu prinsip wilayah fungsional dan wilayah administrasi harus mampu dipadukan, sehingga diperoleh hasil yang dapat diimplementasikan. Hal
23
ini terkait erat dengan penentuan kriteria pewilayahan yang dijadikan dasar penyusunan wilayah perencanaan (planning region).
2.2.3
Analisis Input Output Analisis Input Output adalah teknik yang digunakan untuk kuantifikasi tingkat
keterkaitan antara wilayah pusat dengan daerah tepi, atau pasangan pusat-pusat wilayah sehingga dapat diidentifikasi tingkat (derajat) keterkaitan dari jaringan yang ada. Analisis ini digunakan untuk identifikasi struktur dan hierarki dari hubungan pewilayahan. Keterkaitan diukur dari besar dan arah arus hubungan fungsional yang terjadi. Hubungan fungsional di dalam wilayah ini dapat ditelusuri dari banyak pendekatan, misalnya arus komoditi intra-regional, pola komunitas dan arus migrasi; kepadatan komunikasi telpon; dan pola perjalanan dari sentra-sentra tenaga kerja ke tempat kerja; distribusi air irigasi ke wilayah pertanian. Kaitan-kaitan ini dapat diikhtisarkan dalam hubungan wilayah dan daerah-daerah nodal dalam suatu kerangka tata ruang yang lebih luas. Kalau daerah tidak sama besarnya dan tidak mengalami tingkat pertumbuhan yang sama, maka sistem regional sebagai suatu keseluruhan akan memperlihatkan tingkat ketidak-seimbangan yang ada, dan satu atau dua daerah yang mendominasi daerah-daerah lainnya. Arus dalam perekonomian nasional sering lebih berkaitan dengan produksi, jaringan infrastruktur interregional, meliputi jaringan transportasi, komunikasi, sistem jaringan sumberdaya manusia, air, listrik, daripada dengan hubungan-hubungan jasa yang mendominasi arus intraregional. Kerangka interregional ini bersifat hierarki. Secara makro, hierarki keterkaitan wilayah ini mengalami perkembangan yang cepat, sehingga mempunyai efek arus balik terhadap lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi karena pada hakekatnya semua industri dan jasa berorientasi pada pasar (Glasson, 1992). Analisis Input Output juga merupakan teknik yang berguna untuk menguraikan dan menggambarkan daya saing dari suatu daerah dalam hubungannya dengan keterkaitan antar wilayah. Dalam analisis ini potensi terjadinya impor diabaikan, atau diasumsikan dalam suatu angka tetap atau faktor yang ditentukan secara empiris atas
24
dasar data masa lalu. Faktor impor pada hakekatnya sangat dipengaruhi oleh tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara dimana analisis ini dilakukan. Dengan segala keterbatasan yang ada, Analisis Input Output tetap merupakan pendekatan yang praktis dan mampu memberikan gambaran yang berguna. Keunggulan Analisis Input Output karena menggunakan pendekatan keseimbangan yang sederhana, bersifat netral dan mampu menyesuaikan dengan pola perekonomian yang ada. Hal-hal ini yang menjadikan Analisis Input Output banyak digunakan. Analisis Input Output berguna untuk meramalkan perekonomian wilayah dalam jangka pendek. Untuk peramalan itu perlu ditambahkan beberapa pendekatan dan asumsi dasar yang sangat menentukan ketepatan dari hasilnya, namun seringkali penetapan asumsi ini yang justru menghambat sehingga Analisis Input Output sulit dilaksanakan. Hal ini diatasi dengan membatasi asumsi dasar pada beberapa faktor penting dengan data yang tersedia. Beberapa manfaat dari Analisis Input Output yang paling berguna adalah prediksi dampak (multiplier effect) dari suatu pola pengembangan, baik terhadap peningkatan ekonomi, pengadaan kesempatan kerja, maupun sasaran-sasaran lain dari rancangan pengembangan wilayah (Glasson, 1992).
2.2.4
Teori Kluster ”Kluster” selain merupakan salah satu teori dalam pengembangan wilayah yang
dilengkapi dengan teknik analisa, juga telah berkembang menjadi istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengembangan kelompok dalam tata ruang, serta mengilhami pengembangan kawasan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip Kluster perlu dipahami dalam merekayasa suatu kawasan pertanian terpadu. Teknik Analisis Kluster pada definisi fungsionalnya adalah alat untuk memilah data yang tidak teratur dari beberapa situasi, menganalisis, mencari derajat kesamaan (dan perbedaannya) serta membagikan dalam kelompok-kelompok. Dengan memperoleh kelompok data yang terstruktur dengan variabel yang ditentukan, maka dapat dilihat peta hubungan dan struktur keterkaitan yang dapat dikembangkan lebih lanjut (Everitt, 1980; Porter, 1998). Lingkup geografis Kluster sering digambarkan sesuai dengan batas wilayah administrasi pemerintahan, namun dalam kenyataannya lingkup Kluster sering melampaui batas formal. Sebagai contoh, penerapan Kluster untuk agroindustri anggur
25
di California (USA) mencakup wilayah yang luas dengan keterpaduan lingkup yang rumit. Lebih dari itu, Kluster industri sepatu terkemuka di Italia mencakup seluruh wilayah negara. Berbeda dengan itu, Kluster patung ukiran kayu berpusat di pulau Bali, dan Kluster perabot kayu kelas ekspor di Jepara mencakup wilayah yang lebih terbatas yang terkonsentrasi pada proses produksi saja. Tampak bahwa lingkup geografis dari Kluster dapat mencakup kota, wilayah, hingga sekelompok negara yang saling terkait. Keterkaitan fungsional di dalam Kluster sering digunakan sebagai upaya untuk mencari cara-cara baru dalam bersaing serta terobosan bagi usahanya. Salah satu contoh adalah Silicon Valley yang tercipta menjadi Kluster yang paling inovatif. Keberhasilan penerapan konsep Kluster terutama tergantung dari kemampuan untuk menerapkan konsep itu sendiri (Gattorna, 1998). Hal ini menjelaskan bahwa manajemen pengelolaan merupakan fungsi yang sangat penting yang akan menentukan keberhasilan suatu Kluster (kawasan). Uraian ini menunjukkan bahwa penataan ruang yang dilandaskan pada kejelian dan keberanian dalam menata keterkaitan fungsional (bukan geografis) merupakan pendekatan yang inovatif (sebagaimana terjadi di Silicon Valley, Amerika). Patut pula disimak keberhasilan perkembangan industrialisasi di Cina yang dikembangkan dengan menekankan pada penataan ruang yang disiplin, penyediaan infrastuktur yang lengkap, dan kemampuan manajemen pengelolaan yang efektif dalam memacu perkembangan industri, termasuk agroindustri (Ho dan Hsieh, 2006).
2.3 Kawasan Pertanian Terpadu Globalisasi melahirkan persaingan bebas dalam wujud pasar bebas yang berdaya saing tinggi (free competitive market), oleh karena itu keterkaitan antara: (1) sektor pertanian, industri, dan perdagangan; (2) berbagai subsistem dalam sektor pertanian; (3) usaha mikro, kecil, menengah dan besar, harus dikembangkan melalui rekayasa bentukbentuk kawasan pertanian terpadu dalam tatanan agroniaga yang wajar (alami). Keberhasilan dan kesinambungan suatu kawasan pertanian yang terpadu membutuhkan prasyarat kesetaraan (bargaining position) dari semua pelaku yang terlibat dalam agroniaganya. Dalam kerangka ini maka keberhasilan pembangunan pertanian sangat
26
tergantung pada kemampuan untuk mewujudkan kesetaraan dalam agroniaga menuju pada pemerataan ekonomi, serta meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Pengembangan suatu kawasan pertanian (Lingard, 2002) berkait erat dan sangat bergantung pada ketersediaan sumberdaya lahan, air, manusia, fasilitas maupun bahanbahan pendukung produksi, serta dukungan atau peran serta penduduk lingkungan sekitar (Craig, 2003). Secara khusus, pertanian merupakan sektor yang paling banyak menggunakan dan membutuhkan sumberdaya air. Oleh karena itu masalah tata ruang dan jaringan irigasi sangat penting bagi pengembangan suatu kawasan pertanian. Data di banyak negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa 80% dari penggunaan air untuk keperluan irigasi, dan sisanya terutama untuk penggunaan peternakan (Lowe, 2001; Journeaux, 2003). Beberapa penelitian yang dilaksanakan di Asian Institute of Technology (Pathumthani, Thailand) telah menunjukkan pentingnya jaringan irigasi dalam pengembangan kawasan pertanian terpadu, sebagai berikut (AIT, 1994): 1) Peningkatan kegiatan dan budidaya pertanian, sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani. Kehadiran industri di wilayah budidaya dan pengembangan jaringan irigasi merupakan upaya yang efektif untuk mencegah urbanisasi. 2) Penurunan biaya budidaya pertanian ditentukan (terutama) oleh tingkat ketersediaan jaringan irigasi, selain kombinasi dari peralatan bantu mekanik dan tenaga kerja tersedia. 3) Ketersediaan jaringan irigasi mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan budidaya pertanian yang dilakukan oleh petani miskin. 4) Perbaikan sistem operasi dan pengelolaan jaringan irigasi skala besar harus diawali dengan penentuan tingkat kebutuhan. Dengan menggunakan model matematik dan data yang disusun, dapat ditentukan skala jaringan yang paling memadai (optimal). 5) Peningkatan efisiensi penggunaan air akan memperluas lahan pertanian beririgasi dengan menggunakan jumlah air yang sama. 6) Pengamatan pada area yang luas menunjukkan bahwa kehilangan air pada irigasi terutama (lebih dari 50%) disebabkan oleh pelimpahan permukaan (surface runoff), layout, kondisi fisik sawah, dan pengelolaan air. Perencanaan jaringan irigasi yang lebih baik akan meningkatkan efisiensi air irigasi.
27
2.3.1
Pola-pola Pengembangan Kawasan Terpadu Pengembangan kawasan terpadu merupakan model yang mengintegrasikan
berbagai komponen ke dalam satu sistem. Hal ini umumnya dapat ditempuh melalui suatu bentuk kemitraan. Ada dua bentuk kemitraan yang lazim diterapkan yaitu kemitraan bisnis (business partnership) dan kemitraan antara Pemerintah dengan Swasta (public-private partnership). Kemitraan dikembangkan dengan berlandaskan pada prinsip saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi, oleh beberapa pihak tertentu yang memiliki kesetaraan posisi tawar (bargaining position) (Sutarman dan Eriyatno, 2001; Haeruman dan Eriyatno, 2001; Sumardjo, 2001). Pola kemitraan bisnis digunakan untuk mengubah keterkaitan yang ada dalam agribisnis menjadi bentuk-bentuk keterikatan antara usaha on farm dengan off farm melalui bentuk-bentuk formal berupa kontrak untuk jangka waktu tertentu, biasanya jangka panjang. Pemilik modal kuat, pengusaha mikro/kecil dan petani disetarakan dengan adanya peran aktif Pemerintah saat dibentuk kerjasama formal oleh para pihak. Pola kemitraan antara Pemerintah-Swasta digunakan dengan keterkaitan yang lebih bebas dalam suatu keterpaduan untuk mencapai tujuan bersama dari pihak-pihak yang bermitra. Secara umum pola-pola pengembangan kawasan terpadu yang telah ada saat ini dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu (Weitz dan Wang, 2004): 1) Pola Rekayasa Pemerintah. Kawasan pertanian ini dirancang-bangun oleh dan berorientasi pada peran kekuatan (power) Pemerintah. 2) Pola Kemitraan Usaha. Kawasan pertanian dengan penguasaan lahan (sebagian atau seluruhnya) dan pembangunan oleh investor industri pengolahan, antara lain bentuk contract farming yang berbentuk kerjasama dari sekelompok petani dengan konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan kepemilikan tetap pada petani. Dalam pola ini pengelolaan usaha (on farm dan atau off farm) diserahkan kepada lembaga profesional dengan suatu perjanjian, dan petani bertindak selaku pemegang saham. Pola ini tidak menguntungkan petani gurem dengan lahan yang sempit (Simatupang, 2000). 3) Pola Komersial. Pola ini dirancang secara komersial dimana pengembangan dilakukan oleh investor Pengembang, melalui mekanisme pasar akan dijual kepada
28
petani,
transmigran,
atau
masyarakat
bisnis
(umum).
Pengembang
tetap
berkewajiban mengelola kawasan (Anonim, 1994). Perkembangan dari pola ke pola yang menunjukkan adanya tiga fenomena yang sangat penting, yaitu (Hawiset, 1998; Maxwell dan Percy, 2002): 1) Peran Pemerintah yang berubah dari peran paternalistik sebagai inisiator, pengatur dan penguasa pada Pola Rekayasa Pemerintah, menjadi lembaga yang mendukung petani pada Pola Komersial. Hal ini sejalan dengan trend perubahan peran Pemerintah dalam kawasan pertanian terpadu. 2) Komoditi yang menjadi obyek, dari tanaman perkebunan (kelapa sawit), menjadi tanaman pangan dengan orientasi ekspor atau substitusi impor. 3) Bentuk pengaturan terhadap keterkaitan, dari suatu bentuk pengaturan oleh Pemerintah menjadi transaksi komersial yang berorientasi pada pasar. 4) Bentuk keterkaitan antara para pelaku dari suatu kemitraan menjadi kebersamaan dalam mengupayakan keterpaduan. Beberapa masalah mendasar yang dihadapi dalam hubungan kemitraan formal adalah (Lewis, 1966; Djarwadi dan Broto, 1999; Widiati, 1999): 1) Ketidaksiapan dan kompetensi yang tidak memadai dari pihak-pihak yang bermitra, antara lain: a. Masih lemahnya kesadaran petani tentang pengendalian mutu yang sesuai dengan kebutuhan pasar, serta masih rendahnya kemampuan petani dalam mengelola usahatani secara efisien dan komersial. b. Keterbatasan kemampuan finansial perusahaan besar sehingga pembayaran kepada petani sering tertunda. 2) Hubungan kemitraan tidak dilandasi dengan kesetaraan para pelakunya sehingga semakin rentan terhadap keberpihakan dan peningkatan kesejahteraan petani. 3) Kemitraan yang dibangun tidak melibatkan masyarakat sekitar secara aktif, padahal dukungan masyarakat di sekitar kawasan harus dapat diakomodasi untuk menjamin kelanggengan dari program. 4) Perkembangan pola kawasan dalam kemitraan menjadi semakin komersial dan perilaku masyarakat industri, yang tidak ramah lingkungan (environmental friendly), tidak dikendalikan secara menyeluruh sehingga menimbulkan degradasi eco-system
29
(lingkungan) yang menjadi sumber konflik baru di masyarakat, baik di daerah yang bersangkutan maupun wilayah pengaruhnya (hinterland). 5) Pengertian kemitraan secara tradisional yang harus terikat dalam suatu kontrak/kerjasama tertulis yang mengikat para pihak telah ditinggalkan (Lowe, 2001). Pola kemitraan beralih menjadi koordinasi bersama pada suatu keterpaduan yang alami dalam suatu tatanan keruangan guna mencapai kerjasama yang efektif menuju efisiensi bersama (Weitz dan Wang, 2004). Pengembangan pola kemitraan dalam komoditi hortikultura seyogyanya mengakar pada adat budaya dan sistem kelembagaan yang dianut oleh masyarakat setempat dan didukung dengan sistem kelembagaan yang representatif. Nampak dari berbagai masalah yang masih selalu timbul, bahwa adat budaya setempat tidak dapat menerima ketidak-seimbangan yang ada dan dalam ketidak-berdayaannya cenderung mengingkari keterikatan (kontrak formal), sehingga menjadi faktor kontra produktif dalam implementasi lembaga kemitraan. Karena itu dalam pengembangan pertanian, khususnya hortikultura, pola kemitraan informal dalam bingkai pasar bebas yang adil dan alami perlu dibangun, di mana sistem kelembagaannya mengikuti norma adat istiadat setempat (Sutrisno et al., 2001; Syukur et al., 2001; Zohar dan Maarshall, 2005). Untuk menghasilkan rekayasa yang teruji dan realistis, maka diamati secara khusus tiga bentuk pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan terpadu yang menggambarkan kemajuan dari rekayasa kawasan terpadu hingga saat ini sebagai acuan (benchmark), yaitu: Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Pola Agropolitan, dan Pola Kawasan Industri berwawasan Lingkungan (Eco-industrial Park). Masing-masing contoh ini menggambarkan karakter pola kemitraan dan latar belakang pengembangan kawasan terpadu yang spesifik. 1) Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Sejak tahun 1977 Pemerintah telah mengembangkan Program Anak-Bapak Angkat dan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dengan bentuk-bentuk derivatif-nya yaitu PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Berbantuan, dan sejak 1986 dikembangkan PIR Transmigrasi. Pola PIR merupakan model kawasan terpadu yang mengintegrasikan
30
beberapa komponen, yaitu kelembagaan, hubungan kerja, sumber dana dan sistem pembayaran, alokasi lahan dan keagrariaan, perbankan dan pengorganisasian. PIR merupakan perwujudan dari tiga pendekatan, yaitu: (1) keterpaduan dalam usahatani (farming approach), (2) komoditi (commodity approach), dan (3) wilayah (regional approach). Pada pola-pola PIR, dianut sistem inti dan plasma yang terdiri dari pelakupelaku ekonomi (independent individuals and firms) yang diatur dalam suatu kerjasama dengan tujuan untuk menciptakan pembagian keuntungan yang adil. Secara kelembagaan, Pola PIR memadukan dua lembaga primer yaitu perusahaan inti dan petani plasma. Perkebunan besar sebagai perusahaan inti yang memberikan dukungan di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran, dengan petani perkebunan sebagai petani plasma yang menghasilkan bahan baku primer hasil pertanian untuk diolah oleh perusahaan inti. Di samping itu terdapat beberapa lembaga sekunder (pembantu) pada pola PIR yaitu Pemerintah Daerah, perbankan, keagrariaan, pekerjaan umum, pertanian, koperasi, transmigrasi, perindustrian dan perdagangan, kehutanan dan perkebunan, dan lembaga lainnya. Hubungan mitra kerja antara dua lembaga primer berlangsung dalam proses produksi yang utuh. Hubungan kerja antar lembaga sekunder yakni kerjasama antar instansi terkait (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) dijalankan menurut fungsinya masingmasing di dalam wadah tim koordinasi PIR (TK PIR). Segala bentuk hubungan kerja dituangkan ke dalam perjanjian formal/resmi, yaitu: a. Perjanjian antara perusahaan inti, petani plasma dan bank yang disebut clearing system, berupa kerjasama produksi antara perusahaan inti dengan petani plasma. b. Perjanjian kredit modal kerja dan penjaminan atas kredit petani plasma. c. Akad kredit (konversi) antara petani plasma dengan pihak bank. Pembiayaan proyek PIR berasal dari dana Pemerintah dan kredit bank. Berdasarkan sumber dananya, maka PIR dapat dibedakan menjadi PIR Berbantuan dan PIR Swadana. Dana dari Pemerintah dapat berasal dari bantuan luar negeri dan dalam negeri (APBN) yang digunakan untuk komponen kredit maupun komponen non kredit. Di dalam pelaksanaannya ketentuan kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan kredit dan komponen non kredit (sosial) yang diatur Pemerintah sangat bervariasi sesuai dengan
31
situasi, kondisi, dan komitmen-komitmen yang disepakati sebelum proyek PIR dibangun. Untuk mencapai tujuan dari pendanaan oleh Pemerintah, maka telah dikeluarkan beberapa acuan teknis, yaitu (Soeripto et al.,1994): a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan - 100% saham dimiliki Koperasi Usaha Perkebunan, b. Pola Patungan Koperasi dan Investor - 65% saham dimiliki Koperasi Petani dan 35% dimiliki oleh investor/perusahaan industri pengolahan, c. Pola Patungan Investor dan Koperasi - 80% saham dimiliki perusahaan dan 20% oleh koperasi yang ditingkatkan secara bertahap, d. Pola Build, Operate, and Transfer (BOT), dimana pembangunan dan operasi oleh perusahaan dan pada waktu yang ditentukan akan dialihkan kepada koperasi, dan e. Pola Bank Tabungan Negara (BTN), dimana perusahaan membangun kebun dan atau pabrik dan pada waktu tertentu dialihkan kepada koperasi melalui Kredit Pemilikan dari BTN. PIR membutuhkan lahan yang cukup luas tetapi harus dapat diperoleh dengan harga penggantian yang murah. Lahan tersebut umumnya berupa tanah terpencil milik negara maupun milik perorangan yang belum dimanfaatkan. Pencadangan lahan untuk PIR ditetapkan oleh Gubernur, setelah dibebaskan dari semua rencana penggunaan. Areal tersebut kemudian diatur tata guna tanahnya yaitu untuk plasma, sarana jalan, sarana sosial, lahan untuk perusahaan inti dan lahan cadangan. Dalam pelaksanaannya, beberapa kendala dijumpai dalam pelaksanaan Pola PIR, antara lain: a. Pengalihan kebun kepada petani plasma umumnya mengalami keterlambatan. b. Petani plasma umumnya tidak mengetahui masa pengalihan kebun dari perusahaan inti kepada petani plasma c. Rata-rata produksi kebun inti (TBS – tandan buah segar/ha) lebih besar dari produksi kebun plasma untuk periode yang sama d. Penerimaan TBS hasil panen kebun inti di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) berlangsung cepat, berbeda dengan hasil petani plasma yang harus menginap. e. Petani plasma merasa dirugikan dalam penentuan harga TBS, rendemen CPO/ PK, dan cara pembayaran.
32
Permasalahan di atas juga merupakan akibat dari kebijakan Pola PIR yang memisahkan kepemilikan aset petani plasma dengan perusahaan inti.
2) Agropolitan Konsep Agropolitan merupakan antisipasi dari ketimpangan antara wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan perdesaan sebagai pusat kegiatan sektor primer (pertanian) yang tertinggal. Interaksi ke dua wilayah ini secara fungsional
saling
memperlemah.
Wilayah
perdesaan
mengalami
penurunan
produktivitas, sedangkan wilayah perkotaan sebagai pusat pasar dan pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Perkembangan wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan tidak memberikan efek penetesan (trickle down effect), justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backward effect). Konsep growth pole menganjurkan investasi padat modal di pusat urban dengan harapan akan terjadi penyebaran pertumbuhan (spread effect) sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Namun pengalaman di negara sedang berkembang, kebijakan growth pole telah gagal untuk menjadi pendorong utama (prime mover) ekonomi di wilayahnya. Proses penetesan dan penyebaran yang ditimbulkan tidak cukup menggerakkan perekonomian wilayah itu (Rondinelli, 1985). Friedman dan Douglass (1975), menyarankan bentuk Agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan (rural development) dengan batasan jumlah penduduk antara 50.000-150.000 orang. Strategi pengembangan Agropolitan ini dimaksud untuk menggerakkan ekonomi perdesaan dan penciptaan nilai tambah oleh pelaku lokal di tingkat perdesaan. Kawasan perdesaan didorong untuk tidak hanya menghasilkan bahan primer, tetapi juga bahan pangan olahan. Konsep Agropolitan merupakan pengembangan wilayah perdesaan yang dilakukan dengan mengaitkan pada pembangunan perkotaan (urban development) secara berjenjang. Agropolitan dikembangkan di wilayah perdesaan karena sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama dari masyarakat, selain itu ketersediaan lahan pertanian dan air yang masih banyak tersedia dan dibutuhkan dalam pengembangan Agropolitan.
33
Agropolitan mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan. Pendekatan ini dimaksud untuk mendorong penduduk agar tetap tinggal dan berinvestasi di perdesaan. Persyaratan pemberdayaan (enpowerment) masyarakat perdesaan menjadi kelemahan dari konsep Agropolitan. Dengan posisi tawar (bargaining position) yang lemah, masyarakat perdesaan tidak dapat menikmati nilai tambah dari proses interaksi wilayah. Kelemahan lain dari konsep ini adalah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya konversi lahan pertanian sebagai akibat dari adanya pembangunan infrastruktur dari proses pengkotaan. Hal ini akan menjadikan peran sektor pertanian berkurang secara bertahap. Batas pengembangan Agropolitan ditetapkan dengan memperhatikan tingkat kemajuan dan luas wilayah; ciri agroklimat dan lahan, serta sumberdaya manusia/petani. Wilayah pengembangan di pulau Jawa cukup mencakup satu kecamatan, tetapi di luar Jawa pengembangan Agroplitan perlu lebih luas, mencapai skala kabupaten (district scale). Saat ini penetapan batas Agropolitan cenderung mengarah pada kemudahan operasional oleh karena itu mengikuti batas wilayah administratif. Pengembangan Kawasan Agropolitan diawali dengan penetapan lokasi. Tahap berikutnya adalah penyusunan tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu adalah tahap penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan, sehingga bisa dihindari mengalirnya nilai tambah keluar kawasan yang tidak terkendali. pemukiman yang tidak memusat; aksesibilitas dengan kelas jalan yang sesuai; serta adanya tataruang yang memenuhi kebutuhan pengelolaan kawasan. Penguatan kelembagaan lokal dan sistem kemitraan ditempuh dengan membentuk kemitraan antara petani perdesaan, Investor dan Pemerintah, dalam bentuk public private patnership. Prasyarat utama yang harus dipenuhi adalah terjaminnya keuntungan dari masing-masing pihak secara berkelanjutan. Pengembangan Agropolitan yang berhasil akan dapat membuktikan bahwa suatu wilayah dapat maju tanpa harus bertransformasi menjadi perkotaan atau berpindah dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri/jasa. Agropolitan yang berkembang dicirikan oleh peran sektor pertanian (termasuk agroindustri) yang tetap dominan.
34
Peranan Pemerintah dalam pengembangan kawasan Agropolitan di tahap awal adalah memfasilitasi terbentuknya unit pengembangan kawasan. Perkembangan berikutnya Pemerintah mulai berkurang perannya dan pada tahap akhir, Pemerintah hanya berperan pada sektor publik.
3) Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan Konsep kawasan-kawasan komersial, berupa kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan pergudangan, dan kawasan-kawasan eksklusif komersial lainnya, telah dikembangkan secara internasional dengan mekanisme pasar bebas. Dalam pelaksanaannya pola pengembangan komersial itu telah menghasilkan pengelolaan yang terorganisasi rapi serta memenuhi harapan semua penghuni yang ada, walaupun masih ada beberapa permasalahan sosial dengan masyarakat sekitar (Lown, 2003; Cunningham dan Lamberton, 2005). Kawasan industri yang telah dikembangkan sejak akhir abad ke-19, dipilih sebagai rujukan (benchmark) dalam rekayasa sistem Agroestat karena adanya berbagai kesamaan sasaran. Definisi dari kawasan industri sesuai National Industrial Zoning Committee (USA, 1967) adalah suatu kawasan yang luas dan dikelola oleh lembaga/badan profesional, dengan rancangan tata ruang tersendiri sesuai dengan lokasi, zoning, dan topografinya, didukung dengan ketersediaan aksesibilitas serta infrastruktur untuk aktivitas industri, termasuk pengelohan limbah. Pengembangan suatu kawasan industri (komersial) dilandasi pemikiran untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan biaya infrastruktur dari economic of scale dan pendekatan keterpaduan industri dalam wilayah. Kawasan industri pada umumnya dimaksudkan untuk mempermudah para investor pemilik pabrik/industri memperoleh tanah dengan kepastian hukum yang aman dan jelas, serta kelengkapan sarana, prasarana, dan fasilitas penunjang lainnya. Pewilayahan kawasan industri, diupayakan pada daerah pinggiran kota (sub-urban area) yang tidak produktif, namun didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai untuk dapat mencapai simpul-simpul transportasi. Sarana dan prasarana biasanya dibangun secara bertahap sesuai perkembangan dari kawasan industri itu. Sarana penunjang industri seperti: pemukiman, perkantoran, pasar, ibadah, sekolah, dan fasilitas umum/sosial lainnya, dirancang dalam tata ruang sehingga bersifat menyeluruh dan terpadu.
35
Kawasan industri berwawasan lingkungan (eco-industrial park atau estate), merupakan bentuk pengembangan kawasan industri yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an, yang mem-fokuskan pada lingkungan masyarakat sekitar dan dirancang sebagai suatu keterpaduan bisnis, efisiensi usaha (pasar), dan waste exchange network untuk meningkatkan pengelolaan kelestarian lingkungan. EIP bertujuan untuk menambah manfaat ekonomis dan sosial sambil mengurangi dampak lingkungan, secara bersama-sama. Setiap langkah dirancang sebagai upaya untuk meningkatkan tingkat laba usaha dan mengurangi biaya tambahan dari dampak lingkungan yang ditimbulkan. EIP dirancang untuk melakukan produksi bersih (cleaner production) antara lain dengan pakai-ulang (re-use) dan daur-ulang (recycling) dari bahan baku, aliran distribusi untuk menghemat pemakaian air baku dan tenaga (panas), serta pengolahan limbah secara bersama dari seluruh pabrik/industri yang ada di kawasan. Upaya penghematan bahan baku dan energi, pemanfaatan limbah, serta pengurangan dampak lingkungan dirancang dengan melihat seluruh kawasan sebagai struktur yang utuh dengan tujuan tunggal. Pengusahaan kawasan industri dilakukan oleh pengusaha swasta, sedangkan masing-masing pabrik/industri dan usaha lainnya dalam kawasan mempunyai kepemilikan yang terpisah. EIP mendorong timbulnya kerjasama masyarakat, Pemerintah (Daerah) dan pihak Swasta dalam suatu public-private partnership, sehingga secara langsung juga dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan. Perencanaan yang disusun sejak awal harus menambah alternatif yang akan mencegah terjadinya konflik sosial tetapi justru memberi manfaat kepada seluruh stake holders. Salah satu bentuk yang paling sederhana adalah dalam hal penyediaan fasilitas pendidikan yang hasilnya akan dinikmati oleh semua pabrik/industri dan usaha lainnya berupa pasokan tenaga kerja trampil, selain memberi manfaat pendidikan dan perluasan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kawasan.
2.3.2
Lembaga-lembaga Pendukung
Peran lembaga-lembaga pendukung sangat penting bahkan ikut menentukan keberhasilan dalam membangun keterpaduan pada pengembangan kawasan pertanian. Ada tiga pihak yang mutlak dibutuhkan dan harus terlibat secara aktif dalam membangun keterpaduan ini, yaitu (CADI, 2002):
36
1)
Pemerintah (Pemerintah Daerah), untuk mengamankan pihak yang lebih lemah agar diperlakukan secara adil, melalui keberpihakan dalam bentuk kebijakan.
2)
Bisnis, untuk menampung kepentingan usaha yang menguntungkan.
3)
Masyarakat, untuk menjamin tata laksana yang sesuai dengan budaya yang dianut masyarakat setempat. Disamping itu, secara teknis, pengembangan sektor pertanian harus didukung oleh
beberapa lembaga ekonomi yang perlu direkayasa dan ditumbuh-kembangkan secara sehat, yaitu (Anonim, 1997/1998; Syukur et al., 2001; Gumbira dan Intan, 2001): 1)
Pemerintah (Pemerintah Daerah), berperan dalam menciptakan lingkungan usaha pertanian yang kondusif dan mampu mendukung pengembangan agroindustri yang tangguh, dengan wewenang regulasi yang ada padanya.
2)
Lembaga Keuangan Mikro – berperan dalam mengembangkan alternatif penyediaan modal investasi dan modal kerja, dari sektor hulu sampai hilir. Pembiayaan bukan hanya untuk produsen primer (usahatani), melainkan juga usaha yang ada di hulu (usaha pembenihan, penyediaan obat-obatan/pupuk, dan peralatan pertanian) dan di hilir (usaha distribusi produksi primer, sekunder dan tersier).
3)
Kelompok Tani, berperan dalam mengelola penyediaan bahan baku agroindustri berupa produk hasil pertanian, sehingga tersedia dalam harga, mutu, dan jumlah yang berkesinambungan serta layak secara teknoekonomis.
4)
Lembaga Pemasaran dan Distribusi – berfungsi sebagai mediator yang menghubungkan konsumen pengguna (deficit units) dan produsen (surplus units) yang efektif dan efisien.
5)
Koperasi – sebagai badan ekonomi rakyat berperan dalam menghimpun kekuatan ekonomi anggota untuk kemaslahatan bersama dengan azas kekeluargaan.
6)
Lembaga Pendidikan Formal dan Informal. Lembaga pendidikan formal yang berbasis keilmuan agroindustri dan pendukungnya, serta pelatihan informal yang berbasis pengetahuan praktis, diperlukan untuk mendukung sektor riil di bidang usahatani dan agroindustri.
7)
Lembaga Penyuluhan Pertanian Lapangan – berperan memperkenalkan (desiminasi dan sosialisasi) berbagai program peningkatan produksi hortikultura melalui
37
bimbingan dalam pelaksanaan melalui para penyuluh pertanian lapangan (PPL) di lapangan. 8)
Lembaga Riset – berperan untuk memajukan sektor agro terutama dalam mengupayakan keunggulan mutu dan diferensiasi produk yang sesuai permintaan pasar melalui rekayasa genetika atau bio-teknologi.
9)
Lembaga Penjamin dan Penanggungan Resiko – berperan menghilangkan kekhawatiran para petani budidaya yang ingin masuk ke dalam sektor industri mikro terhadap resiko yang besar di sektor pertanian.
10) Lembaga Arbritator – berperan dalam merumuskan rambu-rambu perniagaan dan kemitraan usaha, serta menyelesaikan konflik kepentingan yang merugikan salah satu pelaku (terutama yang lemah) yang beranggotakan para pemuka daerah dan tokoh yang disegani. Pemerintah (Pemerintah Daerah) dan Lembaga Keuangan Mikro merupakan kelembagaan primer dalam rekayasa kawasan kertanian terpadu, artinya merupakan lembaga yang berpengaruh langsung terhadap keberhasilan dalam penerapannya. Oleh karena itu, secara khusus perlu dibahas tentang Lembaga Keuangan Mikro yang melalui perannya dapat meningkatkan usaha ekonomi skala mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang terkonsentrasi pada sektor pertanian (petani), perdagangan dan industri rumah tangga (84.7%). Pertumbuhan UMKM (2003) sebesar 5.36%, lebih besar dibanding pertumbuhan usaha skala besar (4.04%) membuktikan peran UMKM yang sangat besar dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Pengembangan UMKM terhambat oleh kemampuan permodalannya yang rendah, akibat lemahnya akses kepada lembaga keuangan formal. Sampai saat ini UMKM masih sulit memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan oleh lembaga perkreditan mikro yang ada, hanya 12% UMKM yang mempunyai akses kepada perbankan yang disebabkan oleh beberapa keterbatasan yaitu: 1) Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UMKM. 2) Pencadangan yang berlebihan terhadap resiko kredit UMKM. 3) Biaya transaksi kredit UMKM relatif tinggi. 4) Persyaratan teknis bank (proposal dan agunan) kurang terpenuhi baik. 5) Monitoring dan koleksi kredit UMKM tidak efisien.
38
6) Bantuan teknis masih harus disediakan oleh bank sehingga biaya pelayanan UMKM relatif mahal. 7) Bank belum terbiasa dengan pembiayaan UMKM. Kredit Usahatani (KUT) dan Kredit Umum Perdesaan (KUPEDES) merupakan kredit bersubsidi dari Pemerintah untuk usahatani dan usaha penunjang pertanian lainnya. Salah satu tujuan KUT adalah untuk memacu penerapan teknologi pertanian, khususnya untuk pemilihan input produksi. Kredit program semacam KUT ini adalah alat yang sangat efektif dalam peningkatan produksi melalui program intensifikasi. Tingkat bunga yang rendah dan prosedur yang relatif mudah dalam pelaksanaan penyaluran kredit program telah mendorong adopsi teknologi yang direkomendasikan dan mendorong petani ke arah yang lebih baik. Kredit program adalah langkah awal yang strategis untuk memberdayakan golongan ekonomi lemah untuk mengatasi aksesibilitas mereka terhadap kredit umum. Dalam kredit program ini yang perlu diperbaiki adalah prosedur administrasi yang masih relatif panjang yang menjadi penyebab utama keengganan masyarakat perdesaan untuk berhubungan dengan perbankan (Sudaryanto et al., 2002a). Dikaitkan dengan arah pembangunan pertanian yang menitik-beratkan kepada pendekatan keterpaduan sektor pertanian, maka karakteristik skim permodalan usaha pertanian haruslah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Dapat mengakomodasi besaran kredit yang diperlukan petani skala kecil. 2) Dapat melayani subsistem produksi (budidaya dan pengolahan), juga subsistem lainnya (distribusi dan pemasaran). 3) Bersifat lentur dalam hal waktu pelayanan dan penyaluran sesuai dengan struktur musim di pertanian, khsususnya untuk kredit produksi. 4) Memiliki prosedur pengajuan, penyaluran dan pengembalian yang sederhana dan mudah dipahami maupun dipenuhi. 5) Dapat memberikan pelayanan, monitoring penggunaan pinjaman dan kontrol terhadap penyaluran kredit yang menjamin kredit disalurkan kepada sasaran dalam jumlah dan waktu yang tepat.
39
6) Mampu menumbuhkan penumpukan modal (capital formation) melalui tabungan petani/kelompok tani yang pada gilirannya dapat mengurangi ketergantungan petani kepada sumber pembiayaan dari luar (terutama dari tengkulak). Di Indonesia hingga saat ini belum ada lembaga khusus yang menangani pembiayaan bagi UMKM. Berbagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah dibentuk dengan jenis yang sangat bervariasi, baik dari sisi tujuan pendirian, kelembagaan, budaya masyarakat, kebijakan Pemerintah maupun sasaran lainnya. Secara umum, dua jenis LKM yang bersifat formal dan informal, disamping penyedia pinjaman yang bersifat perorangan dapat diuraikan menjadi: 1) LKM formal terdiri dari: a. Bank, yaitu: Badan Kredit Desa (BKD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BRI Unit. b. Non bank mencakup: Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP), Koperasi (Koperasi Simpan Pinjam/KSP, Koperasi Unit Desa/KUD), dan Lembaga Pegadaian. 2) LKM informal terdiri dari Kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), antara lain: Lembaga keuangan syariah (1992) yaitu Baitul Mal Wa Tamwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPM), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP), dan berbagai bentuk kelompok usaha lainnya. 3) Bentuk lain LKM adalah sumber keuangan perorangan yang sering dimanfaatkan oleh UMKM seperti rentenir dan kolega (pedagang input, output atau pengolah). Di luar lembaga keuangan mikro tersebut di atas masih terdapat beberapa lembaga lain, tapi kemampuan finansial lembaga-lembaga tersebut tidak sesuai dengan jumlah pengusaha skala kecil menengah. Demikian juga Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dipandang belum mampu mengatasi masalah ekonomi secara nyata di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain belum memadainya sumberdaya manusia, dan manajemen, serta jiwa wirausaha (entrepreneurship) yang masih lemah dan permodalan (dana) yang terbatas. Dalam upaya untuk mengatasi masalah jaminan kredit yang masih menjadi kendala bagi UMKM, terutama di sektor pertanian, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No.9/2006 tentang Sistem Resi Gudang. Sistem ini memungkinkan
40
bukti kepemilikan atas barang yang disimpan oleh petani (document of title) di gudang untuk dialihkan, diperjual-belikan dan dijadikan agunan tanpa perlu persyaratan yang lain. Dalam hal itu, penguasaan terhadap barang jaminan berada di tangan pengelola gudang. Dengan Sistem Resi Gudang, maka penjualan komoditi dapat dilakukan sepanjang waktu maupun menunggu sampai harga naik, tanpa ada kekhawatiran bahwa komoditi menjadi turun kualitasnya karena berada dalam pengelolaan pengelola gudang yang dapat dipertanggungjawabkan. Sementara menunggu harga naik, petani pemilik komoditi dapat mengangunkan resinya guna memperolah pembiayaan bagi usahanya. Dari bentuk-bentuk itu, lembaga koperasi yang paling dominan baik dari segi titik layanan (unit lembaga) maupun nasabah (peminjam). Dengan demikian koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam (KSP) yang kegiatan usahanya dikhususkan pada aktivitas simpan pinjam, atau koperasi yang memiliki unit simpan pinjam (USP-Kop), berpotensi menjadi lembaga-lembaga pengelola pendanaan kredit mikro dan kecil, walaupun untuk itu koperasi juga masih terkendala dengan sumber permodalan. Oleh karena itu perlu dibangun keterkaitan antara koperasi dengan sumber keuangan lainnya baik bank maupun non-bank. Pada dasarnya ada tiga fungsi yang harus dilakukan oleh LKM untuk pengembangan UMKM dari sisi pembiayaan, yaitu: 1) Memberikan jaminan atas kredit yang diberikan bank kepada UMKM. 2) Memberikan bantuan teknis kepada UMKM di bidang usaha sesuai kebutuhan. 3) Memberikan kredit kepada UMKM yang belum terjangkau oleh bank. Masalah permodalan LKM diharapkan akan dapat diatasi melalui adanya keterkaitan antara LKM dengan institusi keuangan lainnya (Bank dan BPR). Selain itu, telah ditempuh terobosan dalam pemberian bantuan modal berbentuk Bantuan Perkuatan Dana Bergulir bagi Koperasi Simpan Pinjam di sektor pertanian (Dana Bergulir KSP), sumber dana berasal dari Pemerintah dan disalurkan ke KSP di sektor agribisnis untuk disalurkan kepada anggotanya.
2.3.3
Komoditi Unggulan Hortikultura Kata hortikultura berasal dari bahasa Latin, yaitu hortus yang bermakna kebun dan
colere (cultura) yang berarti menanam (cultivate). Di jaman Belanda, hortikultura
41
diartikan sebagai perkebunan rakyat (tuinbouw), jadi mengandung arti pengusahaan tanaman di kebun seputar tempat tinggal (Ashari, 1995). Tanaman hortikultura jenis sayuran dapat dibedakan dari jenis buah-buahan, berdasarkan (Sutarya et al., 1995): 1) Tempat tumbuhnya: sayuran ada dua jenis yaitu (a) sayuran dataran rendah dan (b) sayuran dataran tinggi. Lahan tumbuh sayuran dataran rendah di Indonesia terbagi menjadi empat jenis, yakni: (a) sawah bekas tanaman padi (60%), (b) sawah khusus sayuran (10%), (c) ladang (25%), dan (d) pekarangan (10%). 2) Berdasarkan tujuannya: usahatani sayuran terbagi dalam 5 macam, yaitu: a. Budidaya pekarangan, digunakan untuk keperluan sendiri. b. Budidaya komersial, untuk dijual ke pasar. Aktivitas usaha dilakukan pada sebidang tanah yang cukup luas. Pemeliharaan tanaman dilakukan secara intensif dengan mempertimbangkan biaya dan perkiraan pendapatan. c. Budidaya agroindustri, sama dengan budidaya komersial, hanya berbeda dalam luas, skala usaha dan transportasi. Aktivitas usaha dilakukan di tempat yang jauh dari pasar dan memerlukan proses/pekerjaan yang lebih kompleks dan bervariasi. d. Budidaya sayuran olahan (agroindustri). Hasil panen diolah lebih lanjut, antara lain diawetkan dalam kaleng. Areal usahatani ini sangat luas dengan menggunakan peralatan mesin pertanian yang canggih. Beberapa aktivitas usaha yang dilakukan dalam pengolahan hasil panen ini dengan proses: (i) pengalengan dengan penggunaan bahan pengawet, (ii) pembekuan untuk diawetkan dengan suhu rendah, dan (iii) dehidrasi melalui pengeringan atau cara lain sebelum disimpan. e. Budidaya yang dilakukan dalam rumah kaca (ruang terkontrol), tujuannya untuk memproduksi sayuran di luar musimnya. Usahatani ini mahal namun prospeknya baik karena dapat mensuplai pasar setiap saat dengan kualitas produk yang tinggi. Sebagian besar dari sayuran dataran rendah (>50%) tidak ditanam sebagai pola tanam tunggal (monokultur) tetapi sebagai tanaman campuran (tumpangsari) atau tanaman sisipan (mixed cropping, intercropping, relay cropping). Beberapa alasan petani menggunakan pola tumpangsari adalah:
42
1) Mengurangi risiko gagal panen. 2) Pemanfaatan tanah yang lebih baik pada satuan waktu yang sama. 3) Keuntungan dari penggunaan sarana produksi dan tenaga kerja. Menurut catatan Direktorat Jendral Hortikultura, Departemen Pertanian (2005), tanaman hortikultura yang berumbi seperti bawang, tumbuh paling baik di tanah jenis aluvial, latosol atau tanah andosol yang ber-pH antara 5.15-7.0, ketinggian maksimum 250 m dpl (di atas permukaan laut), beriklim kering dengan suhu 25-32oC dengan suhu rata-rata tahunan 30oC, curah hujan 300-2.500 mm/tahun, dan cuaca dengan penyinaran matahari >12 jam per hari. Tanaman hortikultura bawang merah yang kekurangan sinar matahari akan menyebabkan pertumbuhan umbi yang kecil. Tanaman ini membutuhkan air yang cukup banyak selama pertumbuhan umbi, karena akarnya yang pendek. Namun, tanaman bawang merah juga tidak tahan terhadap genangan air dan tempat yang selalu basah (Rahayu dan Berlian, 2004). Salah satu resiko dalam usahatani bawang merah adalah kegagalan panen akibat serangan hama. Hama utama yang menyerang tanaman bawang merah adalah ulat bawang atau disebut ulat grayak Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) dan lalat grandong (Lyriomiza Sp), karena sulit dibasmi (Suheriyanto, et al., 2000). Pencegahan hama dan penyakit pada tanaman bawang merah ini dapat dilakukan dengan menggunakan cara manual (fisik), musuh alami (biologi), atau pestisida (kimia). Hama ulat bawang memiliki arti yang sangat penting mengingat tingkat serangannya tercatat mencapai 21% dari total lahan produksi yang ada. Teknologi pengendalian yang paling efektif adalah menggunakan insektisida, dengan dosis yang tinggi. Cara ini dikombinasikan dengan penggunaan perangkap lampu (light trap). Menurut Negara (2003), ulat bawang dapat menyerang tanaman bawang merah sejak fase vegetatif sampai saat panen, dan pada serangan berat dapat menyebabkan kerugian total. Serangan OPT (organisme pengganggu tanaman) yang terjadi hampir setiap musim tanam mendorong petani untuk menggunakan pestisida dan insektisida sebagai tindakan pengendalian, dengan penggunaan yang cenderung terus meningkat dalam frekuensi dan dosis yang digunakan. Perilaku petani ini mengakibatkan peningkatan biaya pada usahatani (Herwanto, et al, 2005).
43
Usahatani dari hortikultura memerlukan penanganan yang lebih intensif dibanding tanaman pangan, sehingga memerlukan modal yang lebih besar pula, namun nilai jual produknya juga lebih tinggi, sehingga memadai. Pola budidaya hortikultura masih bergantung pada musim, karena pada musimnya tanaman mudah dikendalikan dan hasil panennya tinggi. Akibatnya persediaan komoditi menjadi berlebihan di musim panen dan menurun di luar musimnya. Karena itu pada musim panen raya, penawaran jauh lebih besar dibandingkan dengan permintaan, sehingga posisi tawar petani menjadi lemah dan harga turun bahkan seringkali petani terpaksa menjual dengan merugi. Di dalam era globalisasi peluang pasar hortikultura di dalam dan di luar negeri menjadi terbuka dan kompetitif. Sistem perniagaan hortikultura saat ini masih belum efisien, hal ini tampak dari perbedaan harga pada tingkat petani yang sangat rendah dibandingkan dengan harga pada tingkat konsumen. Untuk meningkatkan daya saing komoditi hortikultura harus dilakukan perubahan dari pola usahatani yang tradisional ke pola usahatani yang komersial melalui usaha pertanian terpadu. Mekanisasi (penggunaan teknologi) untuk peningkatan usahatani merupakan alternatif untuk dapat memenuhi persyaratan kualitas produk yang ditetapkan oleh analisa pemasaran menekankan pada teknologi yang bersifat (Austin, 1981): 1) Spesifik daerah setempat yang mampu meningkatkan produksi dan mutu panen. 2) Dapat mengurangi resiko gagal panen dan menekan kehilangan hasil panen. 3) Hemat penggunaan air. Pola produksi hortikultura yang berfluktuasi sesuai musim harus diupayakan agar lebih stabil untuk setiap periode waktu (Gunawan et al., 1997). Komoditi unggulan hortikultura ditandai dengan kemampuan produksi pada off season dengan kualitas yang baik selain dicirikan oleh produktivitas tanaman dan volume produksi yang tinggi dibandingkan dengan komoditi lainnya (Anonim, 2002). Agroindustri hortikultura mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan kawasan pertanian dengan pola Agroestat. Peningkatan agroindustri pada sentra-sentra budidaya akan merealisasi transformasi struktur perekonomian perdesaan dari dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri (agroindustri) yang didukung ketersediaan bahan baku hortikultura secara berkesinambungan (Sudaryanto et al., 2002a).
44
Untuk peningkatan produksi komoditi hortikultura, rekayasa genetika bioteknologi dapat mempercepat masa tanam hortikultura sehingga panen dapat dilakukan lebih cepat. Dalam hal ini perusahaan agroindustri dapat berperan dalam mendiseminasikan kepada para petani (Rustiani et al., 1997). Indonesia yang terletak di kawasan hutan tropik basah, memiliki potensi sumberdaya alam berupa berbagai mikroba yang diperlukan bagi rekayasa genetika (Marx, 1989). Pemikiran tentang komoditi unggulan untuk setiap satuan wilayah mulai digagas dan dicetuskan di Oita, Jepang disebut: One Village One Product. Program ini kemudian (Maret 2002) mulai diadopsi dengan sebutan One Tambon One Product (OTOP) di Thailand, karena penerapannya di wilayah administrasi seluas desa yang disebut “tambon”. Konsep dasar dari OTOP adalah pengembangan dan peningkatan komoditi/produk lokal dengan sinergi dan konsentrasi sumberdaya di wilayah setempat untuk kualitas perdagangan internasional (ekspor). Konsep ini menarik perhatian dunia setelah berhasil memasarkan produk-produk lokal Thailand melalui pameran di Shibuya, Tokyo, Jepang pada September 2002 (JETRO, 2003). Sesuai pertimbangan dari aspek teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan, komoditi unggulan hortikultura yang harus dikembangkan di negara tropis seperti Indonesia antara lain adalah sayuran, khususnya cabai, bawang merah, kentang, kubis dan tomat (Sudaryanto et al., 2002a). Peningkatan luas lahan per tahun rata-rata (secara nasional) dari tanaman sayuran (olericulture), sebagai salah satu jenis tanaman hortikultura, kirakira 3.3%. Sedangkan angka ekspor tahunan sayuran segar dari Indonesia hanya 0.7%, dengan demikian 99,30% dari total produksi sayuran segar digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Keunggulan suatu komoditi tidak hanya ditentukan oleh sifat komoditi itu, tetapi juga interaksi antara komoditi tersebut dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Suatu komoditi yang memberikan pengaruh yang positif (peningkatan nilai tambah, kesejahteraan, kesempatan kerja) terhadap lingkungan yang spesifik pada setiap wilayah pengembangan dapat dikatakan unggul. Pengembangan komoditi unggulan harus berbasis agroindustri karena sebagian besar dari perolehan nilai tambah dibentuk pada mata rantai pengolahan (Anonim, 2002).
45
2.3.4
Agroindustri Sub-sektor agroindustri meliputi kegiatan industri pengolahan dengan bahan baku
hasil pertanian, meliputi proses pengawetan (preserving) dan pengolahan (processing) melalui proses alam atau kimia, penyimpanan, pengepakan, dan distribusi, dan industri pengolahan hasil pertanian, peralatan dan mesin pertanian, input pertanian (pupuk, pestisida dan lainnya) dan jasa-jasa sektor pertanian. Usaha industri pertanian yang dikategorikan dalam agroindustri dapat dibedakan dari usaha non-pertanian karena produk pertanian yang digunakan sebagai bahan baku memiliki karakteristik dan proses produksi yang berbeda-beda dan produk serta budidayanya sangat tergantung pada iklim (musiman), adanya gestation period (tidak tahan lama dan mudah rusak), sangat beragam (bervariasi) dan memakan tempat. Tingkat dan cakupan dari proses pengolahan sangat luas, dari proses pembersihan, penyaringan, dan pengempukan hingga proses penggilingan bahan baku hasil pertanian sampai ke proses pemasakan, pencampuran dan penggorengan yang rumit menjadi makanan kaleng siap saji (Austin, 1992; Gumbira dan Sandaya, 1998, Sudaryanto et al., 2002a, 2002b). Kekhasan agroindustri telah menciptakan kondisi saling ketergantungan dalam agribisnis, sehingga harus didalami empat jalur keterkaitan yang ada berikut ini, yaitu : 1) Rantai Alur Produksi. Perancangan alur kegiatan yang panjang dalam rantai produksi harus dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ketersediaan pasokan bahan baku yang berkesinambungan harus dipersiapkan sejak dari pengadaan benih dan perencanaan tanam di subsistem budidaya. Hal ini penting karena kekurangan bahan baku akan berakibat fatal, dan sebaliknya kelebihan juga akan menjadikan industri pengolahan tidak menguntungkan. Pertimbangan horizontal mencakup industri yang memakai bahan baku yang sama dan substitusi hasil olahan merupakan pesaing yang harus turut diperhitungkan. 2) Kebijakan Makro-Mikro Pemerintah. Kegiatan usaha agro sangat sensitif terhadap kebijakan Pemerintah dalam bidang pertanian, padahal di semua negara berkembang yang berbasis pertanian, kebijakan Pemerintah di sektor ini seringkali lebih bersifat politik karena menyangkut hajat sebagian besar rakyat. 3) Keterkaitan Kelembagaan. Struktur dan pengaturan kelembagaan sangat penting untuk menentukan efektivitas sistem. Petani budidaya adalah lembaga di sektor
46
pertanian yang berperan paling awal, mengelola sumberdaya lahan yang sangat luas dan mampu menciptakan lapangan kerja. 4) Keterkaitan
Internasional.
Usaha
agro
terkait
erat
dengan
perdagangan
internasional. Teknologi informasi telah menjadikan pasar agro makin berkaitan dan bahkan telah menyatu. Pemahaman tentang keterkaitan di atas merupakan hal yang harus dianalisa dalam merancang pola kerjasama agribisnis dalam format kawasan pertanian terpadu, sesuai sifat bahan bakunya yang berupa hasil budidaya pertanian. Lokasi industri, budidaya dan supporting industries (antara lain packaging) harus ditata dalam suatu keterpaduan wilayah guna meningkatkan efisiensi dan nilai tambah dari keseluruhan proses. Kekuatan sinergis dari agribisnis ini hanya akan tercipta kalau keterkaitannya dapat ditata dalam suatu kesatuan (Brown, 1994). Sektor pertanian secara keseluruhan, mencakup rangkaian dari berbagai subsistem mulai dari subsistem penyediaan prasarana dan sarana produksi, antara lain industri pembibitan unggul, subsistem budidaya yang menghasilkan produk pertanian, subsistem industri pengolahan (agroindustri), subsistem pemasaran dan distribusi, serta subsistem jasa-jasa pendukungnya. Sektor pertanian adalah sektor yang paling luas dalam ekonomi masyarakat, karena itu harus dikembangkan bersama-sama dengan masyarakat pengguna secara partisipatif, menjadi sistem yang berkerakyatan dan terdesentralisasi. Pendekatan ini menjamin pola pengembangan yang direncanakan akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk berkelanjutan dan mampu memberikan manfaat yang optimal bagi penggunanya. Masyarakat harus berperan aktif dalam proses pemahaman partisipatif ini antara lain dalam bentuk (Sudaryanto et al., 2002b): 1) Komoditi unggulan yang dikembangkan merupakan pilihan masyarakat, ditetapkan secara bersama sesuai dengan kondisi wilayah. 2) Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembentukan sistem pertanian yang realistis, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara nyata. 3) Sistem pertanian yang dikembangkan sesuai dengan kelembagaan yang ada. Agroindustri pada sentra-sentra budidaya di perdesaan, masih menghadapi kendala strategis yaitu ketidak-tersediaan bahan baku, regulasi dan deregulasi sektor perdagangan yang tidak mendukung (Sudaryanto et al., 2002a). Secara lebih khusus,
47
peran agroindustri sangat penting dalam pengembangan kawasan pertanian terpadu. Industri produk olahan, dalam kenyataannya, mampu menjadi peredam fluktuasi harga hasil usahatani (mentah). Produk-produk hasil industri pengolahan pangan mempunyai kecenderungan stabil dibanding harga hasil budidaya di pasaran bebas yang sangat fluktuatif tergantung jumlah pasokan/panen (supply) dan permintaan (demand). Produk olahan hasil industri tersebut akan mampu memberikan nilai tambah yang besar kepada hasil usahatani karena mempunyai nilai jual yang stabil. Hal ini akan memberikan jaminan tingkat volume dan harga pembelian hasil budidaya pertanian (Hamenda, 2003). Dalam kerangka pasar bebas, investor asing di bidang pertanian akan beralih dari minat untuk mengekspor produknya ke Indonesia beralih kepada penanaman modal pada industri pengolahan pangan di Indonesia untuk ekspor dan pasar dalam negeri yang masih sangat potensial (Spencer dan Quane, 1999) Oleh karena itu, kawasan pertanian terpadu yang berbasis komoditi unggulan harus diarahkan untuk dapat menghasilkan produk olahan (akhir) yang siap dipasarkan dan menjadi ciri khas daerahnya, jadi tidak hanya menjadi pemasok dari hasil budidaya pertanian. Dalam kawasan pertanian harus diupayakan pembangunan industri produk jadi yang berbasis pada komoditi unggulan supaya hasil budidaya pertanian tidak bisa dipermainkan oleh pasar. Terciptanya suatu kawasan agroindustri yang berbasis kepada komoditi unggulan terjadi jika prasarana dan sarana sebagai persyaratan suatu industri dapat dipenuhi oleh Pemerintah. Komoditi unggulan hasil pertanian yang diolah oleh industri dan dipasarkan sebagai produk jadi (siap pakai) unggulan di pasar nasional maupun internasional, dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi lokal karena memanfaatkan keunggulan berbanding (comparative advantage), potensi kreatif masyarakat, dan teknologi lokal yang dapat membentuk keunggulan kompetitif (competitive advantage). Produk unggulan harus berakar pada komoditi unggulan sehingga mempunyai faktor penguat yang kokoh dan berkesinambungan. Dengan demikian masyarakat petani akan terpacu untuk mengembangkan pola pertanian yang berbasis industri. Hal ini akan dicapai bila setiap Kabupaten/Kota mempunyai industri untuk komoditi unggulan dari daerah masing-masing. Tugas Pemerintah untuk memberikan kesempatan kerja bagi setiap warga dan cara yang paling produktif untuk mengurangi pengangguran adalah dengan
48
menciptakan wirausaha yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki seseorang. Petani budidaya yang menghasilkan komoditi pertanian akan mendapatkan manfaat bila mampu memproduksi dan menjual produk hasil olahan (Anonim, 2002; Raj, 2006). Stabilitas harga akan memberikan kepastian dan tingkat keuntungan yang baik (adil) bagi petani sehingga akan terjadi kerjasama secara alami antara petani dan industri, di mana petani akan menyediakan hasil budidaya yang dibutuhkan oleh industri dan industri mendapatkan jaminan pasokan dari petani sesuai jumlah yang dibutuhkan. Dengan demikian akan timbul satu sinergi yang baik antara petani dan industri yang ada di daerah tersebut. Masyarakat petani dengan sendirinya akan giat menanam dan menghasilkan komoditi unggulan yang dipilih bersama yang menjadi salah satu komoditi unggulan nasional.
2.4 Soft System Methodology (SSM) Metodologi dalam penelitian ilmiah merupakan operasionalisasi dari berbagai metode ilmiah yang digunakan untuk menjelaskan jalan pikiran dalam penelitian. Setiap penelitian menggunakan metode yang berbeda, sesuai dengan tujuannya. Obyek penelitian tentang persoalan yang menyangkut kebijakan yang rumit dan bersifat inter-disiplin, dinamis, dan probabilistik, membutuhkan metodologi yang baru. Ketika menghadapi persoalan (soft problem) yang sangat kompleks Checkland (1981) telah berupaya menemukan metodologi pemecahan dan memperkenalkan Soft System Methodology (SSM). Disusul kemudian dengan munculnya paradigma baru yang disebut ‘Berpikir Sistem’ (Systems Thinking) oleh Jackson (2000) untuk menjawab persoalan secara holistik yang dibutuhkan terutama untuk persoalan di bidang sosial, politik, kemanusiaan, biologi, teknologi pengendalian, dan pengetahuan alam. Falsafah ilmu Sistem terdiri dari tiga unsur, yaitu: 1) Sibermatik, berorientasi pada tujuan. 2) Holistik, keterpaduan. 3) Efektif, penerapan yang tepat guna. Flood dan Jackson (1991) juga memperkenalkan metode Total Systems Intervention (TSI) untuk menjawab persoalan yang tidak dapat diangkakan
49
(innumerable) dan multi-facet. Upaya pemecahan persoalan sejenis melalui metode canggih dan coba-coba (trial and error) tidak memadai. Dengan metode ini dapat dipecahkan dengan sederhana dengan hasil yang memuaskan. Metode penelitian dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu riset kuantitatif dan kualitatif yang dapat ditelaah perbedaannya dalam Tabel 1 (Cooper dan Schindler, 2006). Tabel 1 Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dengan Pendekatan Statistik Uraian
Kualitatif
Kuantitatif
Fokus Penelitian
Memahami dan menterjemahkan
Menguraikan, menjelaskan dan meramalkan
Keterlibatan Peneliti
Keterlibatan Peneliti Ahli
Terbatas, mengawasi supaya tidak terjadi rancu (bias)
Manfaat Penelitian
Pemahaman yang mendalam; membangun teori baru.
Menguraikan atau meramalkan; membangun atau menguji teori.
Perencanaan sampel
Nonprobability; Purposive
Probability
Jumlah sampel
Sedikit
Banyak
Rencana Penelitian
o Dapat dikembangkan dan dikoreksi selama pelaksanaan penelitian.
o Ditetapkan dan diputuskan sebelum pelaksanaan penelitian.
o Seringkali menggunakan beberapa metode sekaligus atau beurutan.
o Menggunakan metode tunggal atau gabungan.
o Tidak dituntut konsistensi yang kaku.
o Konsistensi merupakan tuntutan.
o Pendekatan longitudinal.
o Pendekatan cross-section atau longitudinal.
Perkembangan ilmu pengetahuan telah diikuti dengan perkembangan metodologi penelitian sejalan dengan perkembangan bentuk, lingkup dan tujuan penelitian (research) yang telah berkembang pesat. Kelompok ilmu keteknikan (engineering science) menggunakan metode Penelitian Operasional (Operational Research) yang tidak menggunakan hipotesa sebagai fokus penelitian, selain itu kelompok inter-disiplin mulai menerapkan Pendekatan Sistem (System Approach). Perbedaan dari ketiga pendekatan itu tampak pada Tabel 2. Checkland (1981) menyebutkan ada tujuh langkah dalam penerapan SSM (Gambar 2) yaitu: 1) Situasi dari masalah (tidak terstruktur). Pada tahap awal ini peneliti harus mendalami situasi dari persoalan yang dihadapi (problem situation) serta menetapkan beberapa hal, antara lain: lingkup penugasan, pendekatan yang akan diambil, dan para pakar dari beberapa bidang ilmu yang akan dilibatkan.
50
Tabel 2 Karakter Metode Riset dengan Berbagai Pendekatan Pendekatan
Karakteristik Statistik
Keteknikan
Sistem
Tolok ukur keberhasilan
Pengumpulan data dan analisis.
Penyelesaian disain.
Pencapaian tujuan.
Metode penelitian
Teknik pengambilan sampel.
Teknik baku Penelitian Operasional.
Teknik permodelan (hard dan soft).
Fokus
Inferensi.
Optimasi.
Simulasi.
Hasil studi
Analisa faktor, statistik deskriptif.
Solusi optimal.
Permodelan sistem.
Uji model
Validasi.
Sensitivitas.
Verifikasi.
Program komputer
Baku/paket.
Adaptif.
Rekayasa.
Aplikasi
Laboratorium, survei lapang.
Industri, bisnis.
Kebijakan.
Falsafah penelitian
Hipotesis.
Pragmatis.
Holistik.
Orientasi
Peneliti.
Praktisi.
Pengguna.
Teknik analisa
Regresi, Anova, Non Parametrik.
Algoritma, heuristik.
Dinamik, probalistik.
Gambar 2 : Tujuh Langkah Penerapan Soft System Methodology (Checkland, 1981)
51
2) Situasi masalah yang terungkap. Peneliti menentukan pandangan dan pengertian tentang masalah yang terungkap dan celah permasalahan yang bisa diperbaiki, ditingkatkan, atau dipecahkan. 3) Sumber yang relevan untuk penentuan sistem yang dibangun. Pada tahap ini peneliti harus secara cermat memilih sistem, metode, dan teknik yang akan digunakan dalam pendekatan SSM sesuai tujuan penelitiannya. 4) Model konseptual. Dengan adanya langkah ke-tiga diatas maka model konseptual sudah dapat disusun dengan cara berpikir sistem. Pada tahap ini diperbandingkan dan digunakan perbandingan dari model yang telah ada dengan model yang disusun secara inovatif. 5) Perbandingan model dengan situasi masalah yang terungkap. Tahap ini untuk membawa pendekatan kepada kenyataan. Model yang telah disusun (tahap 4) diperbandingkan dengan situasi masalah yang terungkap (tahap 2). 6) Perubahan yang layak dan diinginkan. Model yang telah disusun dan diperbandingkan didiskusikan untuk menentukan langkah perbaikan yang realistis, feasible, dan diinginkan. 7) Aksi untuk memperbaiki situasi masalah. Model diterapkan dalam kenyataan.
2.4.1
Proses Hierarki Analitik (PHA) Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah
teknik yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan yang tidak terstruktur, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun sains manajemen. Metode yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty ini dapat juga digunakan untuk memodelkan problema-problema dan pendapat-pendapat sedemikian rupa, dimana permasalahan yang ada diolah menjadi pernyataan yang jelas yang mudah dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk pengkajian. Hierarki adalah abstraksi struktur suatu sistem, dimana fungsi hierarki antar komponen dan dampaknya pada sistem secara keseluruhan seperti pada Gambar 3. Menurut Saaty (1982) pemecahan persoalan dan pengambilan keputusan dengan teknik PHA ini diterapkan dengan 3 (tiga) tahapan utama, yaitu:
52
Gambar 3 : Diagram Alir Proses Hierarki Analitik (PHA). 1) Penyusunan Hierarki. Sesuai alur dasarnya dibuat prosedur untuk menentukan tujuan utama, kriteria dan aktivitas dalam suatu hierarki sistematis. Masalah yang akan dipecahkan ditentukan atau dipilih sebagai tujuan dalam rangka dekomposisi kompleksitas sistem. Untuk mendefinisikan tujuan secara rinci sesuai dengan persoalan yang akan ditangani, diperlukan diskusi sehingga didapatkan konsep yang relevan. 2) Struktur Hierarki. Struktur hierarki merupakan bagian dari suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antar komponen secara menyeluruh. Struktur ini mempunyai bentuk yang saling terkait, tersusun dari suatu sasaran utama turun ke pelaku (aktor), tujuan-tujuan aktor (sub objectives) dan alternatif keputusan/strategi. Penyusunan hierarki keputusan dilakukan untuk menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan yang teridentifikasi.
53
3) Penyusunan Bobot. Tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan yang ada pada setiap tingkat hierarki keputusan ditentukan melalui penilaian pendapat (judgement) dengan cara komparasi berpasangan (pairwise comparison). Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan satu elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hierarki secara berpasangan, sehingga terdapat nilai tingkat kepentingan. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan terendah (Saaty, 1982).
2.4.2
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) digunakan untuk mengambil
keputusan terhadap beberapa alternatif keputusan. Keuntungan metode MPE adalah nilai skor yang menggambarkan urutan prioritas menjadi besar karena merupakan fungsi eksponensial, sehingga urutan prioritas alternatif keputusan menjadi lebih nyata. Pemilihan tersebut dilakukan berdasarkan beberapa kriteria dengan tahapan-tahapan: 1) Menyusun alternatif keputusan yang akan dipilih. 2) Menyusun kriteria yang penting untuk dievaluasi. 3) Menentukan tingkat kepentingan setiap kriteria. 4) Menentukan skor masing-masing alternatif pada setiap kriteria. 5) Menentukan total skor setiap alternatif dengan rumus sebagai berikut: Total skor = Σ (skorij) krit(j) dimana: skorij = nilai skor dari alternatif ke-i pada kriteria ke-j krit(j) = tingkat kepentingan dari kriteria ke-j i = 1,2,3,…,n j = 1,2,3,…,m n = jumlah alternatif m = jumlah kriteria krit(j) > 0 dan merupakan bilangan bulat Untuk prioritas kepentingan dilakukan dengan membuat urutan total skor masingmasing alternatif dari nilai tertinggi sampai terendah.
54
2.4.2
Teknik Benchmarking Menurut Camp (1989) di dalam Watson (1993), benchmarking adalah suatu proses
positif dan proaktif yang dipakai suatu perusahaan untuk mengkaji bagaimana perusahaan lain menjalankan fungsi tertentu, guna mengembangkan cara perusahaan itu dalam menjalankan fungsi yang sama atau serupa. Salah satu fungsi pokok dari benchmarking adalah menyediakan informasi seberapa jauh kedepan atau ketertinggalan suatu individu bisnis dibandingkan pesaingnya. Teknik benchmarking terdiri dari tiga tahapan, yaitu: 1) Perencanaan benchmarking. 2) Pengumpulan data dan analisis benchmarking. 3) Implementasi benchmarking. Focus sentral dalam perencanaan benchmarking adalah menentukan panduan topik dan mitra benchmarking. Kriteria untuk menentukan panduan topik benchmarking adalah hal-hal yang berimplikasi terhadap biaya, produksi, kualitas dan waktu serta menyangkut seberapa besar kontribusi faktor kunci keberhasilan terhadap suatu organisasi. Mitra yang dapat dipilih adalah benchmarking internal, functional/generic atau competitive. Dalam tahapan pengumpulan data dan analisis benchmarking, kegiatan yang dilakukan adalah: 1) Mengumpulkan dan menentukan faktor kunci keberhasilan. Beberapa faktor kunci keberhasilan dalam suatu usaha ditentukan oleh sumberdaya fisik, keuangan, prestasi kinerja keuangan , produksi, dan koefisien agregat efisiensi. 2) Membandingkan data internal usaha dengan kinerja yang unggul di usaha sejenis (best practice), sehingga dapat ditentukan kesenjangan kinerja, baik yang menyangkut kekuatan maupun kelemahannya. 3) Metode pengumpulan data yang dipakai akan sangat bergantung kepada kualitas, kuantitas dan tingkat akurasinya.
2.4.3
Metode Penilaian Kelayakan Usaha Kelayakan dari usahatani, agroindustri, dan agroniaga, seperti halnya usaha-usaha
lainnya, harus dinilai dari sisi analisis keuangan dan ekonomi yang memperbandingkan
55
investasi dan biaya yang dikeluarkan dengan manfaat atau nilai-tambah (value added) yang ditimbulkan. Biaya dan manfaat diidentifikasikan, diperbandingkan dan kemudian keduanya harus dinilai. Analisis keuangan dan ekonomi menggunakan asumsi bahwa harga merupakan gambaran nilai (value) (Gittinger, 1986). Penilaian hasil usaha petani biasanya dilakukan secara sederhana sehingga dapat dimengerti oleh petani, oleh karena itu Perhitungan Laba/Rugi dilaksanakan dengan metode cash-basis, artinya penerimaan (cash in) diperlakukan sebagai pendapatan (sales), demikian pula pengeluaran (cash out) diperlakukan sebagai biaya (cost). Metode ini tidak sempurna namun mampu memberikan gambaran tentang usaha petani. Analisis penilaian tingkat laba usaha dilakukan dengan perhitungan:
Laba Usaha =
Penjualan − Biaya x 100% Penjualan
Analisis kelayakan proyek pada dasarnya terdiri dari : 1. Analisis Rasio Finansial. 2. Analisis Waktu Pengembalian dan Titik Impas. 3. Net Present Value (NPV). Kriteria yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan usaha, antara lain dengan melihat nilai Net Present Value (NPV), yang diperoleh dengan jalan mendiskontokan selisih jumlah kas yang masuk ke dalam dana proyek dan kas yang keluar dari dana proyek tiap-tiap tahun, dengan satu faktor persentasi diskonto (discount factor) yang telah ditentukan sebelumnya. Tingkat diskonto untuk menghitung nilai kini (present value) dari selisih aliran kas yang masuk dan keluar dari dana proyek, dapat diperoleh dengan melihat tingkat suku bunga pinjaman jangka panjang yang berlaku di pasar modal atau dengan menggunakan tingkat bunga pinjaman yang harus dibayar oleh pemilik proyek. Jangka waktu pendiskontoan harus sama dengan umur proyek. proyek. Jumlah NPV proyek yang direncanakan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : ⎛ NCF1 NCFn NPV = NCF0 + ⎜⎜ + .......... 1 (1 + r) n ⎝ (1 + r)
⎞ ⎟⎟ ⎠
56
dimana: NCF = Net Cash Flow yang bersangkutan pada tahun bersangkutan. r = tingkat bunga yang dipergunakan n = tahun ke 0, 1, 2, 3, ….. n Apabila dalam perhitungan NPV diperoleh hasil yang positif, maka proyek yang bersangkutan dapat diharapkan akan menghasilkan keuntungan di atas tingkat bunga yang ditentukan, sehingga proyek layak untuk diteruskan. Di lain pihak jika NPV = 0, hal ini berarti laba yang diharapkan dari proyek sebesar tingkat diskonto dimana rencana proyek masih dapat dilanjutkan. Rencana investasi seyogyanya dibatalkan bila diperoleh NPV yang negatif. 1) Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) adalah nilai tingkat bunga (discount rate) yang membuat nilai NPV (Net Present Value) = 0. Rumus yang digunakan adalah : n
( Bt - Ct )
∑ ( 1 + IRR) t =1
t
=0
dimana : (Bt - Ct) = Net Cash Flow, selisih antara arus kas masuk dan keluar pada tahun-t PV1 = NPV negatif pada tingkat bunga i1 = NPV positif pada tingkat bunga i2 PV2 Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (IRR > i), maka suatu usaha/proyek dinyatakan layak, dan sebaliknya jika IRR < i, maka usaha/proyek ditolak. 2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah pembandingan antara Present Value total dari benefit bersih dalam tahun-tahun dimana benefit bersih itu bersifat positif terhadap PV total dari biaya bersih dalam tahun-tahun dimana Bt-Ct bersifat negatif. Rumus yang digunakan dalam menghitung Net B/C adalah : n
( Bt - Ct) [untuk (Bt - Ct) > 0 ] ( 1 - i) t Net B / C = t =n1 (B t - C t ) [untuk (Bt - Ct < 0 ] ∑ t =1 ( 1 + i )
∑
57
Jika Net B/C > 1 maka proyek dinyatakan layak, jika Net B/C = 1, maka proyek mencapai titik impas dan jika Net B/C < 1 maka proyek dinyatakan tidak layak untuk dikembangkan. 3) Pay Back Period (PBP) Pay Back Period (PBP) digunakan guna menunjukkan waktu sebuah gagasan usaha dapat mengembalikan seluruh modal yang ditanamkan. Pengembalian dilakukan dengan pembayaran laba bersih ditambah penyusutan. Rumus yang digunakan guna menghitung PBP adalah : PBP =
Investasi Awal x 1 tahun Penerimaan Periodik
4) Break Even Point (BEP) Break Even Point (titik Pulang Pokok) menunjukkan tingkat penjualan perusahaan yang tidak menghasilkan untung maupun menimbulkan kerugian. Rumus yang digunakan adalah: BEP =
Biaya Tetap (1 - Biaya Variabel / Jumlah Penjualan)
Melalui beberapa analisis tersebut di atas, kemudian dapat dinilai dan disimpulkan kelayakan usaha (komersial) dari keseluruhan konsep yang telah dirancang bangun.
2.5 Konsep Rantai-nilai (Value Chain) Perkembangan pengertian nilai (value) pada tahun 1980-an mengandung arti yang penting dalam mengarahkan upaya-upaya peningkatan nilai bagi konsumen (customer value) dari suatu produk/jasa secara berkesinambungan menuju pada pemenuhan kepuasan konsumen secara prima dan menyeluruh, tidak hanya dari sisi ekonomi saja. Pengertian tentang nilai ini disempurnakan dengan sebutan customer value yang didefinisikan sebagai perhitungan dari manfaat (benefits) dibandingkan dengan pengorbanan (sacrifices) (dalam arti luas) dari konsumen akibat penggunaan suatu
58
produk/jasa dalam rangka memenuhi kebutuhannya (Porter, 1985). Dalam aplikasi, besarnya nilai-tambah yang ditimbulkan dari proses pengolahan dihitung dari nilai produk yang dihasilkan dikurangi biaya bahan baku dan input lainnya. Dewan Produktivitas Nasional (DPN) menyatakan bahwa nilai-tambah adalah selisih antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan barang/jasa dengan biaya untuk pembelian bahan-bahan yang diperlukan guna menghasilkan barang/jasa tersebut. Suatu produk/jasa sampai di tangan konsumen akhir setelah melalui proses yang rumit dan panjang. Proses ini ditempuh melalui proses produksi, distribusi, transportasi, pemasaran, pedagang besar (wholesaler), pengecer, dan lainnya. Konsumen akhir berhubungan secara tidak langsung dengan semua lembaga-lembaga itu. Semua pihak yang terlibat dalam supply chain memberikan tambahan nilai pada produk akhir, serta meningkatkan manfaat ekonomis dari produk melalui proses yang mengeluarkan biaya, walaupun kesemuanya hanya akan dinilai oleh konsumen akhir yaitu sampai sejauh mana kebutuhannya terpenuhi. Sedangkan tingkat keuntungan diperoleh dari kelebihan yang didapat setelah harga dikurangi dengan keseluruhan biaya yang keluar selama proses pengadaan produk/jasa, sehingga keunggulan bersaing diperoleh jika keseluruhan proses dapat menghasilkan nilai konsumen yang sama dengan biaya yang lebih rendah atau penerapan cara yang menghasilkan nilai konsumen yang lebih besar (Porter, 1990). Nilai bagi konsumen (customer value) dapat ditingkatkan melalui tiga cara, yaitu kegiatan-kegiatan yang mampu menciptakan: 1) keunggulan bersaing (competitive advantage), 2) menekan biaya proses, atau 3) mempercepat proses penyediaan produk/jasa ke tangan konsumen. Peningkatan daya saing ini dapat diperoleh dengan menerapkan cara-cara baru dalam melakukan kegiatan, menerapkan prosedur dan teknologi baru, atau menggunakan masukan (input) yang berbeda (Porter, 1990; Pierce dan Robinson, 2000). Masalahnya, konsep nilai-tambah berorientasi internal dan kurang efektif karena analisisnya terlambat dimulai, dan terlalu dini diakhiri. Proses analisisnya dimulai sejak pembelian bahan baku (atau barang setengah jadi) dari supplier, sehingga tidak mencakup kegiatan sebelumnya (previous activities) yang potensial untuk efisiensi. Di
59
lain pihak, proses analisisnya diakhiri saat produk yang dihasilkan dijual kepada unit usaha berikutnya, sehingga tidak mencakup proses pelayanan yang sangat penting untuk peningkatan kepuasan konsumen (Shank dan Govindarajan, 1993). Konsep nilai-tambah dikembangkan oleh Porter (1985) dengan memperkenalkan konsep rantai-nilai (value-chain), yang berorientasi eksternal dan melihat semua unit usaha dalam kaitannya dengan kegiatan penciptaan nilai-tambah dari bahan baku di kegiatan paling hulu, hingga kegiatan pemasaran dan pelayanan purna-jual di ujung yang paling hilir. Konsep rantai-nilai ini dilandasi pengertian bahwa upaya-upaya penurunan biaya dan peningkatan manfaat dari produk/jasa harus dilakukan pada setiap aktivitas sepanjang rantai proses suatu produk/jasa sampai ke tangan konsumen akhir. Pada dasarnya konsep rantai-nilai dilandasi oleh pendekatan sistem (systemic approach), karena itu rantai-nilai dikelola sebagai suatu sistem, bukan sekedar kumpulan kegiatan semata. Rangkaian sistem rantai-nilai ini disebut sistem-nilai (value system) (Porter, 1990). Analisis rantai-nilai dapat menghitung kontribusi nilai-tambah dari setiap aktivitas dalam proses pengolahan suatu produk/jasa, sehingga dapat digunakan untuk menghitung besarnya balas jasa yang layak diterima oleh masing-masing pelaku dalam suatu sistem komoditi. Analisis nilai-tambah pengolahan produk pertanian dapat dilakukan secara sederhana, yaitu melalui perhitungan nilai-tambah per kilogram bahan baku untuk
satu
kali pengolahan yang
menghasilkan satu
satuan produk
tertentu. Metode ini sangat tepat untuk penilaian proses pengolahan produk-produk pertanian, serta dapat mencakup semua jenis pengolahan yang berbeda dalam satu siklus usaha (Hayami et al., 1987; Porter, 1990). Analisis rantai-nilai yang rinci akan menggambarkan peta keseluruhan proses suatu sistem komoditi, sehingga dapat dipakai untuk menghilangkan konflik yang ada di antara unit-unit usaha dalam rangkaian proses, bahkan merubahnya menjadi sinergi. Proses analisis peningkatan sinergi ini sekaligus akan menjamin bahwa aktivitasaktivitas yang ada telah memenuhi semua fungsi yang diperlukan dalam sistem komoditi.
60
2.6 Globalisasi dan Otonomi Daerah Penerapan pola rekayasa kawasan pertanian terpadu tidak dapat dilepaskan dari dua fenomena kecenderungan (trend) perubahan lingkungan strategis yang terjadi saat ini, yaitu: 1) Pada lingkup internasional, perekonomian dunia berorientasi pada mekanisme pasar bebas secara konsisten, privatisasi dan pergeseran peran Pemerintah. Ini berarti harus dicapai kemandirian petani dan bentuk kerjasama antar sektor harus direkayasa melalui suatu keterpaduan sehingga terjadi secara wajar (alami) dan adil. 2) Pada lingkup nasional, terjadi penerapan konsep otonomi daerah yang berintikan desentralisasi
kekuasaan
pemerintahan
pada
tingkat
Daerah
Otonom
Kabupaten/Kota. Proses integrasi globalisasi ke dalam perekonomian dunia, berlangsung secara bertahap, dimulai dengan liberalisasi perdagangan dunia (1950), arus investasi (1960), arus keuangan (1980), hingga kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang telah mengaburkan batas negara (Jomo dan Nagaraj, 2001). Bersamaan dengan itu, iklim demokrasi telah mendorong munculnya amanah otonomi daerah dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pedoman dalam penyusunan Undang-undang No.22/1999 (diperbarui dengan UU No.32/2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.25/1999 (diperbarui dengan UU No.33/2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal mana menandai perubahan politik yang mendasar dalam pemerintahan dimana wewenang dan kekuasaan dalam ketatanegaraan bergeser dari pusat yang sentralistik menyebar ke daerah otonom Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Indonesia.
2.6.1
Globalisasi Globalisasi dapat dideskripsikan sebagai proses peningkatan integrasi dan saling
keterkaitan dalam perekonomian antar negara dalam lingkup internasional dan perekonomian masing-masing negara yang menjadi semakin terbuka, serta hilangnya batas antar negara. Keterkaitan ini ditandai oleh peningkatan arus perdagangan, investasi dan keuangan, juga arus jasa, teknologi, informasi, dan sumberdaya manusia
61
melewati batas wilayah/negara (Nayyar, 2001). Menanggapi globalisasi, kelompok yang optimis mengharapkan terciptanya perdagangan internasional yang menguntungkan, karena harga barang-barang akan mencapai titik terendah. Selain itu, kemajuan teknologi akan memungkinkan produksi menjadi berlimpah, sehingga teori Adam Smith tentang keseimbangan supply-demand dan invisible hand akan bekerja. Pada kondisi seperti itu pihak yang kuat dan lemah bersaing dengan bebas (Rustiani, 1996). Teori produksi neo-klasik menganggap bahwa subsidi pada input atau output (harga) akan meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi produksi. Subsidi diambil dan menggunakan dana yang berasal dari pajak yang tidak dinikmati secara merata oleh para pembayar pajak, selain itu subsidi mengakibatkan penggunaan input secara boros dan berlebihan (Lingard, 2002). Pada saat yang sama, negara-negara maju (developed countries) terus berjuang untuk menghilangkan hambatan-hambatan, baik yang berbentuk tarif maupun non-tarif pada produk industri, jasa, dan terutama produk olahan pertanian (Miles, 2006). Di sisi yang lain, kelompok yang pesimis mengatakan bahwa persaingan sebagai konsekuensi dari liberalisasi perdagangan menyebabkan fragmentasi dan hancurnya usaha-usaha kecil oleh usaha besar yang kuat modalnya. Kondisi ini mendorong timbulnya usaha monopoli dan oligopoli sehingga posisi ekonomi negara berkembang (developing countries) akan semakin sulit. Kerjasama antara pihak yang kuat dengan yang lemah terjadi di dalam posisi tawar yang tidak setara mengakibatkan kegagalan pada semua bentuk kerjasama dan kemitraan. Hal ini menimbulkan ketergantungan pelaku ekonomi kecil secara permanen kepada pelaku ekonomi besar. Pendapat ini menyimpulkan bahwa globalisasi merupakan ancaman terhadap kemandirian, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup perekonomian rakyat, serta mengandung ancaman potensial bagi negara berkembang yang menggantungkan diri pada pertanian, baik sebagai eksportir maupun importir (Goldin dan Knudsen, 1990). Liberalisasi perdagangan dapat mengakibatkan jatuhnya harga komoditi pertanian, hal mana akan berpengaruh pada penggunaan sumberdaya lahan. Persaingan yang ketat dan keinginan untuk meningkatkan produksi sering menjadi alasan bagi investor lokal maupun asing untuk menggunakan sumberdaya lahan yang tidak berkesinambungan dan
62
proses produksi secara tidak layak (impropriate production practices) (FAO, 2006). Pertentangan pendapat tentang penetapan operasionalisasi globalisasi di sektor riil masih terjadi hingga saat ini. Pertemuan 148 negara anggota World Trade Organization (WTO) di Hongkong (2005) berupaya, tetapi belum berhasil merumuskan strategi global untuk melaksanakan pasar bebas antara negara maju dan negara berkembang, terutama mengenai masalah tarif, hambatan (barriers), dan subsidi yang masih terjadi di bidang pertanian. Banyak ahli ekonomi yakin bahwa dihilangkannya hambatanhambatan dalam perekonomian dunia akan mengangkat 500 juta penduduk dari kemiskinan dalam dasawarsa mendatang (Siddiqi, 2005). Globalisasi masih dalam proses yang panjang tetapi bisa menjadi ancaman atau harapan, tergantung dari sisi mana kita memandang dan menghadapinya. Perdagangan bebas yang sudah menjadi kecenderungan harus dimanfaatkan sebagai peluang penguatan daya saing dengan kesadaran terhadap tuntutan konsumen serta pemenuhan standar mutu yang berkaitan dengan lingkungan dan kesehatan. Globalisasi harus dihadapi dengan peningkatan efisiensi dan produksi sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan untuk memperkuat basis pertanian (Siddiqi, 2005). Sejauh ini dampak globalisasi pada kegiatan pembangunan pertanian telah menunjukkan beberapa perubahan mendasar, yaitu (FAO, 2006): 1) Orientasi pembangunan yang bertujuan pada peningkatan produksi menjadi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. 2) Budaya agraris menjadi budaya industri berbasis pertanian. 3) Prioritas kegiatan, yang menekankan pada peningkatan produksi beras, beralih ke pengembangan palawija, hortikultura, perikanan, dan peternakan. 4) Manajemen pembangunan pertanian yang berorientasi komoditi menjadi orientasi fungsional, mencakup keseluruhan rentang agribisnis. 5) Birokrasi
pembangunan
pertanian
yang
terpusat
menjadi
sistem
yang
terdesentralisasi. Pasar bebas yang berkeadilan (Fair Free Trade) Mencermati berbagai pandangan di atas maka harus dibangun desentralisasi produksi dalam suatu integrasi yang dilandasi dengan model fair free trade, yang berarti
63
kelangsungan (sustainability) masing-masing pelaku ditentukan oleh tingkat kompetensi dan independensinya. Hal ini berlaku terutama untuk sektor pertanian, yang dapat dicapai melalui banyak cara, antara lain pembangunan kawasan pertanian yang mampu untuk (Eriyatno et al., 1995; Rustiani, 1996): 1) Meningkatkan frekuensi mata rantai proses dari produsen awal hingga akhir. 2) Berinteraksi yang integral dan efektif antara sektor hulu dan hilir. 3) Berorientasi dan berkonsentrasi pada usaha-usaha di setiap subsektor. 4) Meningkatkan produksi hulu melalui ketersediaan dana. 5) Membangun database (informasi) yang komprehensif dan terjangkau. Pasar bebas memang merupakan pilihan terbaik untuk masa depan, namun perdagangan dalam pasar bebas harus adil (fair). Hubungan perdagangan harus disusun atas dasar prinsip perdagangan, bukan pemaksaan keinginan pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi. Pengurangan subsidi pada negara berkembang yang terus ditekankan oleh negera maju pada hakekatnya akan memperlambat pengembangan ekonomi negara berkembang (Stiglitz, 2005). Sektor pertanian merupakan bagian yang paling sulit dipecahkan dalam negosiasi WTO. Pertemuan di Cancun, Mexico (2003) terhambat oleh pertentangan negara-negara Utara-Selatan. Pada hakekatnya negara maju justru menentang liberalisasi sektor pertanian karena petaninya telah menikmati subsidi yang sangat besar selama ini. Ekonomi pasar bebas menentang pemberian subsidi, namun dalam kenyataannya banyak negara-negara maju masih menerapkan pemberian subsidi, termasuk: Norwegia (71%), Jepang (69%), dan negara-negara Uni Eropa (42%). Akibatnya, terjadi pemborosan karena Jepang membelanjakan 34% dari penggunaan pupuk dunia padahal hanya memproduksi 3% dari total produksi beras di dunia. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menggambarkan besarnya subsidi pertanian dari negara-negara maju saat ini sama besarnya dengan total GDP (Gross Domestic Product) dari seluruh negara-negara di Afrika (Siddiqi, 2005). J.Stiglitz dan A.Charlton berpendapat bahwa pengertian fair trade sebagai social justice, dimana semua anggota WTO yang memiliki GDP atau GDP per kapita yang lebih tinggi membuka akses yang lebih besar kepada negara-negara yang lebih miskin tanpa harus disertai timbal balik (Miles, 2006). Petani di Indonesia pada umumnya tidak
64
mempunyai akses kepada modal, kredit, dan pasar, karena itu pengurangan subsidi harus dilakukan secara bertahap, dan subsidi tidak langsung harus diciptakan. Mengacu pada pengalaman di India menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan infrastruktur disertai dengan peningkatan pendidikan, penyuluhan, dan penyediaan fasilitas kredit pertanian berjalan dengan sangat efektif. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tetap memerlukan peran dan dukungan Pemerintah (Anonim, 1996; Arsyad, 1999). Globalisasi yang berlandaskan konsep fair free trade dengan pengertian ‘pasar bebas yang berkeadilan’ merupakan alternatif yang paling tepat untuk negara berkembang, termasuk Indonesia. Konsep fair free trade dilandasi keseimbangan harga melalui mekanisme supply-demand, namun secara operasional dan pemberlakuannya tetap didukung dengan subsidi tidak langsung dari Pemerintah dan keberpihakan kepada petani. Pelaku ekonomi yang lebih besar dan kuat sudah sewajarnya memberikan kelonggaran lebih kepada pelaku ekonomi yang lebih lemah, sehingga keseimbangan antar pelaku ekonomi di latar belakangi tanggung jawab sosial (asymmetrical).
2.6.2
Otonomi Daerah Pokok-pokok pikiran tentang otonomi daerah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dalam rangka menghadapi persaingan global, dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah Otonom secara proporsional. 2) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan azas dekonsentrasi dan desentralisasi. 3) Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah Propinsi, serta Daerah Kabupaten/Kota yang bersifat otonom. Bagian tertentu dari wilayah administrasi Kabupaten/Kota dapat dijadikan Daerah Otonom (Arsyad, 1999; Bratakusumah dan Solihin, 2001). Otonomi daerah diharapkan akan membawa perubahan paradigma pemerintahan, yaitu dari pemerintahan dengan orientasi manajemen yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar, sehingga kepentingan pasar dan publik menjadi pertimbangan utama dalam menangani segala macam persoalan yang timbul. Perencanaan pengembangan wilayah yang menyangkut upaya integrasi multi-sektoral dan multi-level di banyak negara (Kanada, Finlandia) telah dilimpahkan menjadi proses di tingkat
65
regional, propinsi, atau distrik (kabupaten), bahkan di New Zealand termasuk penyusunan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan (Thoha, 2001; FAO, 2006). Desentralisasi kelembagaan Pemerintah dipahami sebagai prasyarat dari terjadinya peran serta masyarakat. Ditinjau dari sisi analisis kebijakan (policy analysis), manfaat yang terpenting dari desentralisasi adalah keputusan yang cepat dan sesuai dengan kondisi lokal. Namun disamping itu sering mengakibatkan terhambatnya penerapan kebijakan nasional dan konflik antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berdampak pada pelaksanaan proyek pengembangan (Weimer dan Vining, 1999; UN, 2000). Perubahan paradigma Pemerintah mendorong dilakukannya reformasi birokrasi (reorientation dan repositioning), baik dalam bidang kelembagaan, sistem dan mekanisme kerja. Faktor-faktor ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam menentukan pola pengembangan agroindustri yang akan memberikan nilai tambah (value added) pada pasar domestik produk pertanian primer dan olahan. Peningkatan menuju perekonomian yang agraris, sangat tergantung keberhasilan dari upaya-upaya untuk (Eriyatno, 2001): 1)
Mendekatkan nilai tambah.
2)
Meningkatkan nilai tukar produk petani.
3)
Menurunkan nilai tunda yang memojokkan petani. Mendekatkan nilai tambah berarti konsistensi dalam memacu kehadiran
agroindustri masuk ke wilayah sentra produksi bahan baku. Disamping itu, nilai tunda terkait dengan keterisolasian desa harus diatasi dengan peningkatan sarana perhubungan dan penyimpanan (gudang) (Sjarkowi, 2000).
2.7 Pengembangan Konsep Kawasan Pertanian Terpadu Keterkaitan petani, sebagai pelaku budidaya, dengan agroindustri yang menggunakan hasil budidaya sebagai bahan baku, telah berlangsung sejak abad pertama. Pada awalnya, pemilik tanah pertanian menyewakan tanahnya kepada petani dan mengambil sebagian (sepertiga hingga separoh) dari hasil produksinya sebagai pembayaran sewa tanah. Cara tradisional yang berbasis prinsip barter ini berlangsung dan berkembang di banyak negara hingga abad ke-19 di Amerika Serikat, Cina dan
66
jajahan negara-negara Eropa. Perkembangan pola kemitraan selanjutnya adalah bentuk contract farming yang lebih teratur dan mempunyai pembagian kerja yang semakin jelas. Definisi contract farming adalah suatu kesepakatan di awal (forward agreement) antara petani dan unit pengolahan dan atau perusahaan pemasaran (disebut: Sponsor) untuk pengadaan dan pengiriman komoditi pertanian dalam waktu tertentu dan teratur, dengan harga yang disepakati. Ada lima model contract farming yang telah dikembangkan, yaitu (Eaton dan Shepherd, 2001): 1) Model Terpusat (Centralized Model) Model ini melibatkan sejumlah industri dan pedagang yang terpusat dan membeli hasil pertanian dari para petani kecil. Hal ini umumnya terjadi untuk produk pertanian yang membutuhkan proses pengolahan yang panjang seperti teh atau sayuran yang diolah, diawetkan, dan dikemas (kaleng/botol). Model ini terkoordinasi baik secara vertikal dengan pengaturan kuota dan kontrol kualitas yang ketat. 2) Nucleus Estate Model Seperti Model Terpusat diatas, tetapi pihak Sponsor memiliki kebun atau sawah yang besar sebagai pemasok utama (buffer). Model ini biasa digunakan pada lokasi pemukiman kembali (resettlement) dan transmigrasi. 3) Multipartite Model Model ini melibatkan banyak organisasi, umumnya perusahaan yang mengelola (dengan model Centralized atau Nucleus Estate) yang bekerjasama dengan beberapa badan/lembaga, seperti: koperasi pertanian dan bank. 4) Model Informal Bentuk ini melibatkan banyak pengusaha dan perusahaan kecil yang membuat kontrak dengan para petani untuk masa satu musim. Model ini membutuhkan dukungan Pemerintah dalam bentuk riset dan pengembangan. 5) Model Perantara (Intermediary Model) Model ini menggunakan sistem pembelian bertangga, sehingga sering menimbulkan masalah dalam pembelian oleh perusahaan besar atau industri, terutama dalam hal mutu dan waktu pengiriman yang tidak sesuai.
67
Model-model bentuk kerjasama (kemitraan) di atas terus dikembangkan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Dari sisi petani budidaya, masalah yang sering dihadapi adalah: 1) Problem dari manajemen Sponsor yang tidak efisien mengakibatkan pengurangan kuota dan tidak semua hasil panen diserap sesuai kesepakatan. 2) Manajemen Sponsor bertindak semena-mena pada posisi monopoli yang kuat, dan pembagian kuota sering menjadi ajang korupsi oleh para staf perusahaan Sponsor. 3) Petani budidaya seringkali mempunyai hutang yang tidak terbayar akibat kegagalan panen dan uang muka ke berbagai pihak (benih, pupuk) yang menumpuk. Dari sisi Sponsor juga masih dihadapi banyak masalah antara lain: 1) Petani seringkali mengingkari kesepakatan dengan menjual hasil produksinya ke pihak lain, terutama karena harga saat itu yang lebih tinggi dengan pembayaran tunai. 2) Petani cenderung melaksanakan sistem budidaya tradisional sehingga tidak dapat memenuhi ketentuan mutu yang dipersyaratkan. 3) Manajemen pengelolaan dari Sponsor yang buruk menyebabkan tidak terlaksananya forum komunikasi dan konsultasi yang baik dengan petani, berakibat petani tidak dapat memenuhi kewajibannya, baik waktu, mutu, maupun volume. 4) Khusus untuk petani dengan lahan sewa, seringkali dihadapi masalah kontrak yang tidak berkesinambungan sehingga menyulitkan stabilnya tingkat pasokan bagi Sponsor. Pola-pola pengembangan wilayah dalam kawasan pertanian terpadu terus dikembangkan. Pola yang baru dikenal dengan konsep Agropolitan. Konsep ini dilandaskan pada pengembangan infrastruktur sebagai sarana penghubung dan pengkait antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan. Infrastruktur yang meliputi jaringan jalan, komunikasi, dan tenaga listrik dimaksud untuk menjadi katalisator penyeimbang distribusi nilai tambah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, serta mencegah terjadinya urbanisasi (Hamenda, 2003; Mutizwa, 1993). Departemen Pertanian (2005) juga telah meluncurkan program Prima Tani sebagai Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian. Lingkup Prima Tani meliputi satu atau dua desa, yang disebut Laboratorium Agribisnis.
68
Tujuan utama dari Prima Tani adalah untuk mempercepat diseminasi dan adopsi inovasi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian, serta untuk memperolah umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna spesifik pengguna dan lokasi. Prima tani diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung antara Badan Litbang sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) sebagai pengguna inovasi. Pola-pola pengembangan kawasan terpadu yang telah ada diatas hingga saat ini tidak cukup memadai untuk menjadikan sektor pertanian terintegrasi maupun sebagai upaya pemberdayaan ekonomi rakyat. Model Nucleus Estate dengan konsep satellite farming di Indonesia diterjemahkan dalam Pola PIR masih menghadapi berbagai kendala dan lingkupnya dirancang hanya untuk produk perkebunan (kelapa sawit) yang hanya meliputi pekebun dalam jumlah yang relatif sedikit dibanding masyarakat petani. Pola Agropolitan tidak berbasis komoditi spesifik, melainkan meliputi semua komiditi dan jasa (multi product) yang ada di wilayah pengembangan karena konsepnya memang ditekankan kepada pengembangan kota untuk mendukung daerah perdesaan sebagai upaya distribusi nilai tambah. Dalam pelaksanaannya Agropolitan juga menghadapi kendala kelembagaan karena dengan adanya Otonomi Daerah, kewenangan Pemerintah Kota dan wilayah Kabupaten disekitarnya dipisahkan secara otonom (Rustiani et.al. 1967). Demikian pula pengembangan Kawasan Industri yang berbasis komersial terbatas untuk berbagai jenis (pertanian dan non-pertanian) dan ukuran industri. Pola pengelolaan Kawasan Industri dapat dipandang paling maju dan terkoordinasi dengan baik, namun karena landasan utamanya adalah komersial maka tidak dapat digunakan sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat marginal di wilayah perdesaan Dengan mempertimbangkan berbagai masalah dan kelemahan dari pola pengelolaan kawasan pertanian terpadu yang telah ada dan dikembangkan hingga saat ini maka dapat disimpulkan bahwa diperlukan pengembangan lebih lanjut yang lebih menyeluruh, termasuk sub-sektor agroniaga, serta berkaitan langsung dengan upaya peningkatan sektor pertanian dan pemberdayaan masyarakat petani di perdesaan. Hal ini menjadi tujuan dari rekayasa sistem Agroestat yaitu menciptakan suatu kawasan pertanian terpadu yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi khususnya di daerah perdesaan (Breschi dan Malerba, 2001).
69
Bentuk Agroestat Hortikultura harus dirancang secara berbeda. Pengembangan Agroestat akan menjadi lebih bermakna sebagai upaya pemberdayaan ekonomi rakyat karena dilandaskan pada model keterpaduan dan memilih hortikultura yang spesifik lokal (Saragih, 2001; USAID, 2006). Komoditi unggulan hortikultura ditetapkan dan disepakati bersama sebagai pilihan masyarakat, sesuai dengan kondisi wilayah, pada hakekatnya merupakan tanaman kebun (tuinbouw) yang melibatkan petani dalam jumlah yang besar serta merupakan potensi masyarakat perdesaan (Porter, 2000; Saragih, 2001; Pietrobelli dan Rabelloti, 2003). Pengembangan kawasan pertanian terpadu yang berlokasi pada sentra budidaya pertanian ini akan menjadikan usahatani terintegrasi secara vertikal dengan agroindustri (Eriyatno et al. 1995; IBRD, World Bank, 2000; Haeruman, 2000; Haeruman dan Eriyatno, 2001; Sadjad et al. 2001). Pada hakekatnya Agroestat yang diperlukan harus direkayasa secara holistik, mencakup seluruh rangkaian nilai tambah (value chain) agribisnis, mulai tahap usahatani, agroindustri, dan agroniaga domestik maupun ekspor (Carroll dan Stanfield, 2004). Sistem Agroestat harus mengambil manfaat dari adanya saling ketergantungan dan keterkaitan multi-dimensi (sosial, budaya, ekonomi) antar-sektor (pertanian, industri, dan perdagangan). Rekayasa ini dimaksud untuk menjadikan struktur sektor pertanian terintegrasi dalam satu manajemen. Pengelolaan menjadi peran yang penting dalam menjalankan operasionalisasi kawasan, dan koordinasi antar para pelaku dengan Pemerintah (Brown, 1994; Lowe, 2001). Metodologi Soft System Methodology (SSM) dengan paradigma Systems Thinking merupakan pendekatan yang layak untuk merekayasa Agroestat sebagai bentuk pengembangan wilayah yang demikian kompleks secara holistik (Checkland, 1981; Jackson, 2000). Rekayasa ini harus memenuhi tiga persyaratan yang mendasar, yaitu (Carroll dan Stanfield, 2004): 1) Berorientasi pada keterpaduan dan menyeluruh (system approach). 2) Berbasis sumberdaya yang tersedia di wilayah lokal (local specific). 3) Cakupan wilayah mempunyai batas-batas yang jelas (regionalisation). Pendekatan rekayasa Agroestat berbasis keterpaduan dengan pewilayahan multisektoral dan plural, sehingga digunakan pola Integrated Area Development (IAD) sebagai program pengembangan wilayah fungsional. Hakekat dari pola pengembangan
70
IAD mencakup faktor jaringan (network), bisnis/agroniaga (economic activity), dan peran serta masyarakat (social). Dasar pemikiran penerapannya menekankan pada upaya integrasi sumberdaya dan keterkaitan pasar (niaga) dengan berpatokan (UN, 1989): 1) Fokus pada wilayah yang dicakup. 2) Mencakup beberapa komponen fungsi dan sektor. 3) Menerapkan partisipasi masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pada pelaksanaan proyek. Pendekatan program IAD membagi wilayah dalam beberapa sub-wilayah untuk mempertajam analisa dalam perancangan. Perbedaan nyata dalam sub-wilayah diatasi dengan
melakukan
penelusuran
hubungan
keterkaitan
spesifik
antar
simpul
(nodes/poles) yang ada di dalam sub-wilayah tersebut (Richardson, 1979). Implementasi dari konsep pengembangan wilayah yang telah disusun atas dasar perekonomian lokal secara menyeluruh dan terpadu, dilakukan dengan konsep tata ruang. Tata ruang merupakan model pengendalian pembangunan, baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun Pemerintah. Tata ruang membentuk struktur keruangan wilayah yang kompleks dan memberi arti khusus bagi penampilan spasial wilayah tersebut (Johara, 1999). Proses peralihan ke arah pasar dan persaingan bebas, menurut Stiglitz (2002) harus dipersiapkan dengan baik dan dilaksanakan secara bertahap, karena itu pengelolaan agroniaga dalam pola Agroestat mengacu pada mekanisme harga sesuai keseimbangan supply-demand. Pengembangan Agroestat tetap menerapkan adanya subsidi tidak langsung dari Pemerintah Daerah dalam bentuk komitmen, penyiapan jaringan infrastruktur, dan regulasi dalam penataan ruang. Peran lain dari Pemerintah yang juga penting adalah menjaga kesetaraan pelaku pasar, terutama petani yang menjadi pelaku yang paling lemah dalam agroniaga pertanian. Penyediaan kredit bersubsidi dari Pemerintah untuk usahatani, khususnya petani, sangat dibutuhkan untuk membebaskan petani dari keterikatan hutang kepada tengkulak, pedagang besar, dan industri. Pemberdayaan masyarakat sebagai landasan pengembangan wilayah diupayakan dengan cara meningkatkan produksi sumberdaya lahan pertanian, sehingga petani
71
budidaya mendapatkan tambahan penghasilan. Peningkatan produksi budidaya yang mampu mendukung agroindustri dengan pasokan bahan baku dalam volume dan harga yang pasti akan mensinergikan usahatani dan agroindustri, meningkatkan nilai tambah dari keseluruhan proses pengembangan kawasan pertanian. Petani juga didorong untuk melakukan proses industri (mikro/rumah tangga) hasil pertanian, sehingga diperoleh nilai tambah secara nyata dari agroindustri oleh petani. Melalui cara ini distribusi nilai tambah dapat berlangsung secara wajar ke semua pihak (Lewis, 1966; Arsyad, 1999; Ary, 1999).
72