TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah me dan dda an menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis w wi il yang yya an sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan ppe en permasalahan wilayah yang bersangkutan (Riyadi, 2002) ppe er Dalam pengembangan wilayah, perlu terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan yang strategis yang dapat memberikan keuntungan ekonomi ppe en wilayah (strategic land-use development planning). Perencanaan penggunaan wi w il lahan lla ah yang strategis bagi pembangunan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya uup pa mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan (Sitorus, 2004). Hal ini penting untuk mengetahui potensi pengembangan wilayah, daya dukung dan ppe en manfaat ruang wilayah melalui proses inventarisasi dan penilaian keadaan/kondisi ma m lahan, potensi, dan pembatas-pembatas suatu daerah tertentu (Djakapermana, lla ah 2010). 20 Menurut Rustiadi et al. (2009) pembangunan harus dipandang sebagai proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas pro struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping stru tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan teta pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ppe n harus hha ar mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial sso os secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan indiviual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya kke ei uuntuk un nt bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. m a Menurut Anwar dan Rustiadi (2000) sektor prioritas merupakan sektor bbasis bas ba a yang memiliki potensi optimal dalam pembangunan daerah. Sektor prioritas atau at ata ta sektor strategis merupakan sektor yang memberikan sumbangan besar dalam
9 per perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spasialnya, mengingat bes besarnya sumbangan sektor prioritas dalam perekonomian wilayah maka program pem pembangunan diarahkan kepada sektor ini untuk memperoleh hasil pembangunan yan yang optimal. Suatu perencanaan pembangunan selalu memerlukan adanya skala ppr i prioritas sebagai akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dimana dari sudut ddi im dimensi sektor pembangunan suatu skala prioritas didasarkan atas pemahaman bah bba a bahwa : (1) setiap sektor memiliki sumbangan yang langsung maupun tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan baik lla an ppe en penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional dan lain-lain, (2) setiap sektor m memiliki e keterkaitan dengan sektor-sektor lain dengan karakteristik yang berbedabeda, bbe ed dan (3) aktivitas sektoral menyebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas terpusat dan terkait dengan sebaran bbe eb sumber daya alam, buatan (infrastruktur) dan sosial yang ada. Atas dasar ssum su u pemikiran tersebut, disetiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat ppe em strategis sebagai akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian sst tra wilayah serta keterkaitan sektoral spasialnya. Perkembangan sektor strategis wi w il tte er tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung secara signifikan, dim dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi perkembangan sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak ber luas di seluruh wilayah sasaran (Rustiadi et al. 2009). lua Pembangunan Pertanian Menurut Rustiadi et al. (2009) pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial serta antar wi w il pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral ppe el menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembanguan m e sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam sse eh pembanguan wilayah. kkerangka ke er Tujuan utama dari program pembangunan pertanian adalah menaikkan produksi per ha dan per orang, serta berkesinambungan dalam jangka waktu yang ppr ro lama. lla am Pembangunan dalam arti ini mempunyai tujuan ekonomi dan tujuaan
10 eko ekologi. Tujuan ekologi dan ekonomi bersifat saling menunjang tidak bersifat kom kompetitif. Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan membutuhkan per perhatian terhadap integritas dan sistem ekologi (Wiradisastra, 2006). Peran sektor pertanian yang merupakan dasar bagi kelangsungan pem pembangunan ekonomi berkelanjutan diharapkan mampu memberikan pemecahan ppe r permasalahan bagi bangsa Indonesia, hal tersebut dikarenakan sektor pertanian me m e mempunyai empat fungsi yang sangat fundamental bagi pembanguan suatu ban bba a bangsa yaitu (1) mencakup pangan dalam negeri, (2) penyediaan lapangan kerja dan dda an usaha, (3) penyediaan bahan baku industri, dan (4) sebagai penghasil devisa bba ag negara (Dillon, 2004). bagi Komoditas Unggulan Menurut Badan Litbang Pertanian (2003), komoditas unggulan merupakan me m
komoditas
andalan
yang
memiliki
posisi
strategis
untuk
dikembangkan di suatu wilayah yang penetapannya didasarkan pada berbagai ddi iikk pertimbangan baik secara teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ppe er ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya, eek ko manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat). Ditambahkan pula m a ol le (Bachrein, 2003) bahwa penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah oleh menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas me yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama di yan wilayah lain adalah komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi wil teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan tek kompetitif. Selain itu kemampuan suatu wilayah untuk memproduksi dan kom memasarkan komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim di wilayah me m e tertentu juga sangat terbatas. tte er Penentuan komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih ppe em keunggulan kke eu
komparatif
dan
kompetitif
dalam
menghadapai
globalisasi
perdagangan (Hendayana, 2003). Menurut Bachrein (2003), penetapan komoditas ppe er unggulan perlu dilakukan sebagai acuan dalam penyusunan prioritas program uun ng pembangunan oleh penentu kebijakan mengingat berbagai keterbatasan ppe em sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia, ssu uum m
11 ma maupun sumberdaya lahan. Selain itu, keberhasilan pencapaian tujuan dan sas sasaran pembangunan juga diharapkan akan lebih baik karena kegiatan yang dij dijalankan lebih terfokus pada program yang diprioritaskan. Batasan wilayah dal dalam penetapan komoditas unggulan biasanya merupakan wilayah administrasi bai baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten. Berbagai metode telah dikembangkan dan digunakan dalam penetapan kkomoditas ko kom om unggulan daerah. Metode yang paling umum digunakan yaitu metode Lo L o Location Quotient (LQ) (Hendayana, 2003). Metode ini lebih bersifat analisis dda as yang dapat memberikan gambaran tentang pemusatan aktifitas atau sektor dasar bba basis as saat ini. Selain metode LQ, Bachrein (2003) menambahkan perlunya analisis lanjutan untuk mendapatkan komoditas unggulan daerah yaitu analisis aan na supply, analisis ekonomi, dan analisis kualitatif keunikan komoditas. Analisis ssu up supply bertujuan untuk melihat kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan ssu up berbagai komoditas yang dihasilkan berdasarkan trend produksi dan luas panen. bbe er Analisis keunggulan kompetitif untuk semua komoditas yang diunggulkan An A n dilakukan dengan perhitungan rasio penerimaan/biaya (Revenue Cost Ratio). ddi il Analisis kualitatif dilakukan dengan memperhatikan orientasi pasar, daya saing, An A n sse er tingkat komersialisasi komoditas. serta Lahan Sawah Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk manahan/menyalurkan air, ditanami padi pem sawah tanpa memandang darimana diperolehnya status lahan tersebut. saw Berdasarkan sumber air yang digunakan dan keadaan genangannya, lahan sawah Be dapat dda ap dibedakan menjadi: (1) lahan sawah irigasi dan (2) lahan sawah non irigasi. Lahan sawah irigasi terdiri dari lahan sawah irigasi teknis, lahan sawah irigasi La L a setengah teknis, lahan sawah irigasi sederhana, lahan sawah irigasi desa/non PU sse et ttadah ta ad hujan, sawah lebak, dan sawah pasang surut. Lahan Sawah Non irigasi terdiri dari lahan sawah tadah hujan, lahan sawah pasang surut, lahan sawah lebak, tte er polder dan sawah lainnya serta lahan sawah yang sementara tidak diusahakan. ppo ol (BPS ((B BP dan Departemen Pertanian, 2007). Lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat ma m a
12 lan langsung
berhubungan
dengan
perihal
penyediaan
pangan,
penyediaan
kes kesempatan kerja bidang pertanian, penyediaan sumber pendapatan bagi daerah, sar sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana pelestarian keb kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana pariwisata. Ma Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu wahana ppe l pelestari lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai sarana ppe en pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati (Rahmanto et aal. l. 2004). Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat sseiring se ei dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Pemerintah didorong untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ppe er dan dda an meningkatkan pendapatan untuk membiayai infrastruktur dan pelayanan publik ppu ub sementara pada saat yang sama mencoba untuk membatasi penggunaan lahan lla ah pertanian. Dengan demikian alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat aak ki kecenderungan tersebut (Lichtenberg dan Ding, 2008). Iqbal dan Sumaryanto, (2007) mengatakan bahwa jika di suatu lokasi tterjadi erj alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Lahan pertanian yang paling rentan terhadap jug alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh : (1). Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan leb penduduk atas lahan juga lebih inggi, (2) Daerah persawahan banyak yang pen lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan, (3) Akibat pola pembangunan di llo ok masa m a sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari dda ar pada wilayah lahan kering, dan (4) Pembangunan sarana dan prasarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di ppe em wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu wi w il (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. ((t te Berdasarkan sintesis data dan informasi dari sejumlah hasil penelitian dan data dda aat yang dipublikasikan oleh sejumlah lembaga terkait, diperkirakan luas lahan sawah ssa aaw w yang terkonversi tidak kurang dari 110.000 hektar/tahun. Namun demikian,
13 sam sampai saat ini belum ada data yang akurat tentang besaran alih fungsi lahan saw sawah tersebut. Hal ini terkait dengan pemantauan dan pencatatannya yang belum ter terlembagakan dengan baik. Kendala yang dihadapi terletak pada terbatasnya ang anggaran untuk melaksanakan kegiatan tersebut dan kesulitan untuk menyamakan me metode pengukuran dari berbagai lembaga terkait karena perbedaan sudut ppa n pandang dan kepentingan. Perbedaan tersebut terkait dengan tugas pokok dan ffungsi fu un masing-masing lembaga yang bersangkutan (Bappenas, 2010). Evaluasi Sumberdaya Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup ppe en pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuannya secara potensial kke ea akan aak ka berpegaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Dari keempat faktor fisik ffi isi tersebut, tanah memegang peranan sangat penting dalam mendukung is pertanian. Data mengenai tanah tersebut dapat diperoleh melalui ppembangunan pe em kegiatan survei dan pemetaan tanah dengan tujuan untuk mendelineasi kke eg penyebaran, mengetahui karakteristik dan potensi pemanfaatannya (Soil Survey ppe en Di D iv Division Staff, 1993). Pemanfaatan lahan merupakan proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi dan minyak serta ma infrastruktur perumahan dan fasilitas publik. Kegiatan pemenuhan kebutuhan inf tersebut menuntut tersedianya lahan. Namun karena ketersediaan tanah relatif ter tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk teta dan tingkat konsumsinya. Dalam kaitan ini, respon terhadap lahan dapat berupa (a) ((a a) ekstensifikasi, bila masih mungkin ketersediaan lahan yang bersifat elastis, (b) intensifikasi, dengan ketersediaan lahan yang tidak elastis dan digantikan iin nt perannya oleh tekonologi, dan (c) kombinasi kedua hal tersebut. Terhadap ppe er keseimbangan antara permintaan dan penawaran lahan, sistem umpan balik kke es penggunaan lahan dapat mengalir dalam dua arah, yaitu menghasilkan perbaikan ppe en kkesejahteraan ke kes e
atau
justru
menurunkan
produktivitas
dan
mengganggu
keberlanjutan produksi (Nasoetion, 1995). Peningkatan kebutuhan akan lahan ini kke keb e ttelah te ela la mengakibatkan terjadinya persaingan penggunaan lahan sektor pertanian
14 den dengan sektor lain di luar pertanian (non pertanian). Dalam kondisi ini diharapkan set setiap keputusan penggunaan lahan hendaklah merupakan hasil dari suatu per perencanaan tataguna lahan. Perencanaan yang baik akan menempatkan sum sumberdaya lahan ke dalam penggunaan yang lebih produktif dan pada waktu yan yang sama melestarikannya untuk kepentingan di masa yang akan datang. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. IInti In nt evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe ppe en penggunaan lahan yang akan ditetapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). ddi im Se S el Selanjutnya Djaenudin et al. (2003) menyebutkan bahwa evalusi lahan merupakan ssu suatu ua pendekatan atau cara menilai potensi sumberdaya lahan. Hasil evaluasi llahan la ah memberikan informasi dan arahan penggunaan lahan serta nilai produksi yang yya an mungkin diperoleh. Pada dasarnya evaluasi lahan dilakukan dengan cara mencocokkan (matching) antara kualitas lahan (land qualities) dan karakteristik me m lahan (land characteristics) dengan persyaratan tumbuh tanaman (land use lla ah requirement). rre eq Kesesuaian lahan ádalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk ppe en penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini ata atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri dari iklim, lah tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk status usahatani atau tan komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al. 2003). kom Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut : Ordo, keadaan kesesuaian dib llahan la ah secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang yya an tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N). Kelas, adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo, dimana pada tingkat kelas lahan kke ea yang yya an tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu ; sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang sse es tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Sub-kelas, tter te er tingkat dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan aadalah ad da menjadi sub-kelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi m me e
15 fak faktor pembatas terberat. Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi jumlahnya, ma maksimum dua pembatas. Tergantung peranan faktor pembatas pada masingma masing sub-kelas, kemungkinan kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan ini bisa dip diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai masukan yang diperlukan. Unit, ada adalah tingkat dalam sub-kelas kesesuaian lahan yang didasarkan pada sifat tam tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Semua unit yang berada dda al dalam satu sub-kelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas. Unit yang sat ssa a berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari satu pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan tingkat detil dari ppe en ffa ak faktor pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas tingkat unit tersebut m memudahkan e penafsiran secara detil dalam perencanaan usahatani. Berdasarkan FAO (1976) ada dua pendekatan yang dapat ditempuh dalam melakukan evaluasi lahan, yaitu pendekatan dua tahapan (two stage approach) me m dan dda aan pendekatan paralel (parallel approach). Pendekatan dua tahap adalah proses evaluasi dilakukan secara bertahap, pertama evaluasi secara fisik dan kedua eev va evaluasi secara ekonomi. Pendekatan ini biasanya untuk inventarisasi sumberdaya eev vva lahan lla ah secara makro dan studi potensi produksi. Dalam pendekatan paralel kegiatan eev va evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi dilakukan bersamaan (paralel) atau den dengan kata lain analisis ekonomi sosial dari jenis penggunaan lahan dilakukan secara serempak bersamaan dengan pengujian faktor-faktor fisik. Pendekatan ini sec umumnya menguntungkan untuk suatu acuan yang spesifik dalam kaitannya um dengan proyek pengembangan lahan pada tingkat semi detil dan detil dan den diharapkan hasil yang lebih pasti dalam waktu singkat. dih Ciri dari proses evaluasi lahan adalah tahapan di mana persyaratan yang dibutuhkan suatu penggunaan lahan dibandingkan dengan kualitas lahan. Fungsi ddi ib dari dda ar evaluasi lahan adalah memberikan pengertian tentang hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana kko on perbandingan serta alternatif pilihan penggunaan yang diharapkan berhasil (FAO, ppe er 1976). 119 97 Hasil evaluasi lahan juga dapat merumuskan rencana pemanfaatan lahan yang yya an ekonomis, diterima secara sosial dan ramah lingkungan (Sathish dan Niranjana, 2010). N Ni ir
16 Perencanaan penentuan wilayah pengembangan tertentu dalam proses eva evaluasi lahan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG ada adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang ber bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Untuk keperluan tersebut maka per perlu diketahui peta-peta seperti; peta lereng, peta status lahan dan peta penutupan lah lahan. Operasi selanjutnya adalah menumpangtindihkan (overlay) berbagai peta tte er tersebut sehingga dapat diperolah lokasi yang sesuai dengan persyaratan kko om komoditas yang bersangkutan (Barus dan Wiradisastra, 2000). Dalam rangka untuk memastikan efektivitas perencanaan penggunaan lla ah lahan, informasi tentang kualitas tanah dan karakteristik lahan memainkan ppe peranan er penting. Penerapan teknologi informasi adalah salah satu solusi terbaik di bidang perencanaan bbi id
penggunaan
lahan
dimana basis data
unit
tanah
dipertimbangkan terlebih dahulu. Database unit tanah terdiri dari data spasial dan ddi ip data dda aat atribut, yang keduanya harus mengikuti standar (Quan et al. 2007).