6 II. II.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan darat, apabila
dilihat dari garis pantai, wilayah pesisir memiliki dua batasan, yang terdiri dari garis pantai yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan garis pantai yang tegak lurus dengan garis pantai. Tetapi untuk batasan garis pantai yang sejajar dengan garis pantai menurut Bengen (2001) lebih mudah dalam hal pengelolaannya. Menurut Soegiarto (1976) di Indonesia batasan wilayah pesisir. diklasifikasikan berdasarkan potensi sumberdaya di wilayah tersebut serta karakteristik wilayah tersebut. Sedangkan defenisi wilayah pesisir berdasarkan Rapat kerja National Proyek MREP tahun 1994 dalam Dahuri et al. (1996) menetapkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan lautan, yang berarti membagi dua bagian wilayah antara darat dan laut, untuk wilayah darat pada wilayah pesisir, daratan yang dimaksud adalah daratan yang masih dipengaruhi oleh keadaan air laut, sedangkan untuk laut adalah kawasan laut yang dipengaruhi oleh wilayah darat. Menurut Dahuri et al. (1996) dalam perencanaan wilayah pesisir perlu melihat batasan melalui dua sisi, sisi pertama lebih mengarah kepada pendekatan adaminstrasi sedangkan sisi kedua lebih mengarah kepada pendekatan ekobiogeografis. Dalam pendekatan administrasi, daratan sebagai batasan wilayah pesisir, desa dan kecamatan karena dalam hal pengelolaan batasan ini sangat mempengaruhi didalam mengambil kebijakan. Sedangkan untuk batas kearah laut, batasan telah tertuang didalam kebijakan pemerintah pada UU No 33/2004, tentang wilayah laut untuk propinsi sejauh 12 mil dari garis pantai, sedangkan untuk wilayah administrasi Kabupaten 1/3 dari wilayah yang telah ditetapkan untuk propinsi. Wilayah ini dapat dijadikan sebagai satu kawasan pada satu batas administrasi pemerintahan, maupun wilayah lintas batas administrasi sesuai dengan kepentingan pengelolahan wilayah pesisir. Pendekatan eko-biogeografis meliputi kondisi ekologi, biologi serta ekosistem wilayah (darat dan laut) dan semua jenis biota yang hidup didalamnya, serta kondisi geografis wilayah yang menentukan faktor alam yang membentuk
7 dan mempengaruhi evolusi dan perubahan wilayah tersebut. Wilayah ini dapat didasarkan atas karakteristik eko-biogeografis yang sama dan relatif homogen dalam satu kawasan tertentu, tapi dapat juga didasarkan atas metode sedimen sel yaitu karena pengaruh dinamika alam seperti angin, sedimentasi, arus pasang surut dan arus pantai terhadap pola perubahan garis pantai. Wilayah ini sangat tergantung dari penelitian awal untuk menentukan batas wilayah. II.2.
Ekosistem Di Wilayah Pesisir Ekologi adalah ilmu yang mempelajari rumah tangga mahluk hidup serta
kajian hubungan timbal balik dengan sesamanya dan dengan benda-benda mati sekitarnya. Ekologi mempunyai satuan pokok yang disebut ekosistem. Ekosistem adalah satuan kehidupan dari satu komunitas berbagai jenis makluk hidup dan benda mati yang saling berinteraksi dalam membentuk suatu sistem. Ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi yang didalamnya terdapat berbagai fenomena kehidupan menurut prinsip tatanan dan hukum alam atau ekologi, seperti keseimbangan, kompetisi dan evolusi (Odum 1976) Wilayah ekosistem pesisir ada yang secara terus menerus tergenangi air dan ada pula yang hanya sesaat. Di wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumber daya pesisir. Berdasarkan sifatnya, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, industri dan pemukiman. Di dalam wilayah pesisir, ekosistem-ekosistem tersebut saling berinteraksi. Sistem ini dapat terjaga dengan baik apabila pemanfaatannya sesuai dengan daya dukung dari sistem tersebut (Dahuri et al 1996) . Kondisi ekosistem harus dipertahankan, walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik karena setiap biota yang ada dan hidup di dalamnya menjadi tua dan mati lalu untuk selanjutnya digantikan oleh biota lainnya. Namun bila ada gangguan yang melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses
8 pemulihannya akan memakan waktu yang sangat panjang (dapat sampai berpuluh bahkan beribu tahun). Lama waktu pemulihan ekosistem ini akan tergantung pada: 1. Kondisi atau tingkat kerapuhan ekosistem. 2. Lamanya terjadi gangguan. 3. Frekuensi terjadinya gangguan ini (misalnya terjadi secara berulang-ulang). Tingkat kerapuhan suatu ekosistem sangat tergantung pada kondisi parameter pendukungnya seperti keadaan vegetasi dan satwa, kondisi topografi, tanah, iklim dan keterlibatan manusia di dalamnya. Pendekatan ekologis terhadap ekosistem, dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran maupun untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia terutama pada tingkat jumlah pemakaian yang berlebihan (eksploitatif). Salah satu jenis ekosistem di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas di pesisir atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini merupakan salah satu unsur yang dominan dalam ekosistem di wilayah pesisir. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Selain itu, hutan mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang berfungsi sebagai pelindung dari gempuran ombak (Bengen 2001). Beberapa penelitian menyatakan bahwa kedangkalan pantai sangat dipengaruhi oleh penyebaran dan luas hutan mangrove. Makin dangkal dan landai suatu pantai, penyebaran hutan mangrove akan semakin luas dan semakin baik pula. Daya adaptasi mangrove yang khas adalah kemampuannya untuk dapat terus hidup di perairan yang dangkal (Witjaksono 2002). Dilihat dari aspek biologis, hutan mangrove sangat penting dalam memelihara kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati di wilayah pesisir. Secara bioekologis dalam ekosistem hutan mangrove banyak terdapat hewan muda yang sedang tumbuh dan berkembang, karena selain kaya akan unsur hara, dalam hutan mangrove hewan muda tersebut juga terlindung dari predator. Selain itu, ekosistem ini adalah daerah asuhan (nursery ground) dan perkembangbiakan (spawning ground) bagi beberapa hewan perairan. Oleh karena
9 itu, ekosistem hutan mangrove dapat dipandang sebagai suatu unit fungsional dari seluruh sistem estuaria (Bengen 2001). II.3.
Fungsi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara daratan dan lautan,
mempunyai fungsi pokok yang dapat diklasifikasikan berdasarkan manfaat dari wilayah pesisir tersebut, yaitu: (1) manfaat ekologis (2) manfaat ekonomi dan. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing manfaat. II.3.1. Manfaat Ekologis Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir secara berkelanjutan adalah cara pengelolaan kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsional yang tercakup dalam empat fungsi pokok wilayah pesisir bagi manusia. Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara dan air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa kenyamanan (amenity services) yang disediakan oleh ekosistem alamiah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan. Ekosistem alamiah juga menyediakan sumber daya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi. Wilayah pesisir berfungsi sebagai penyedia sumber daya alam, sehingga pemanfaatan sumber daya pesisir harus dilakukan dengan cermat agar efeknya tidak merusak lingkungan sekitar. Sumber daya pesisir terdiri dari sumber daya yang tak dapat pulih (non-renewable resources) dan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources). Kriteria pemanfaatan untuk sumber daya yang dapat pulih (renewable resources) adalah bila laju ekstraksinya tidak melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu (Clark 1996). Kemampuan wilayah pesisir dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, mengakibatkan wilayah (perairan) pesisir sering dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah. Oleh karena itu harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak melebihi kapasitas daya asimilasinya. Daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima limbah
10 dalam jumlah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Dahuri et al .1996). II.3.2. Manfaat Ekonomi Sumberdaya alam seperti hutan, ikan dan sebagainya merupakan sumberdaya yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa. Menurut Fauzi (2000b), pengelolaan semberdaya alam yang baik dapat menambah kesejahteraan umat manusia. Sebaliknya, pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Secara sosial ekonomi, manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan wilayah pesisir serta sumber daya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, terutama mereka yang termasuk dalam golongan ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Kualitas dan jumlah permintaan terhadap sumberdaya alam ditentukan oleh jumlah penduduk dan standar (kualitas) kehidupannya. Oleh karena itu, selain mengendalikan jumlah penduduk, kebijakan penting lainnya adalah mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin. II.4.
Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Dalam penelitian ini lahan didefinisikan berdasarkan definisi wilayah pesisir
untuk daratan. Sedangkan spesifikasi dari lahan sebenarnya lebih mengarah kepada suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land resources) adalah kondisi dan sumber daya yang dapat dieksploitasi manusia. Kemudian Soepardi (1977) menambahkan bahwa tanah (soil) adalah bahan mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan. Pada dasarnya tanah merupakan komoditi yang mempunyai nilai yang meningkat terus menerus karena tanah itu luasannya tetap selain itu tanah juga memliki potensi estetika, nilai politik, fisik dan sosial. Nilai-nilai ini dimiliki oleh sumberdaya tanah apabila mempunyai manfaat atau potensi untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan. Penawaran akan lahan jumlahnya akan selalu tetap, sementara permintaan akan lahan terus meningkat. Selain itu, sifat keterbatasan
11 tanah berhubungan dengan sifatnya yang mudah untuk ditransfer (Bambang 1982). II.4.1. Penggunaan Lahan Menurut Anderson dalam Suburi (1999) penggunaan lahan adalah bentuk penggunaan kegiatan manusia terhadap lahan (aktivitas manusia di atas lahan) termasuk keadaan alamiah yang belum terpengaruh oleh kegiatan manusia. Aktivitas tersebut menyebabkan terjadinya penggunaan lahan yang sangat beraneka ragam sesuai dengan peruntukannya. Barlowe (1978) membagi penggunaan lahan menjadi sepuluh kelas sebagai berikut: (1) lahan pemukiman, (2) lahan industri dan perdagangan, (3) lahan bercocok tanam, (4) lahan peternakan dan penggembalaan, (5) lahan hutan, (6) lahan mineral/pertambangan, (7) lahan rekreasi, (8) lahan pelayanan jasa, (9) lahan transportasiasi, dan (10) lahan tempat pembuangan. Kelas penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis penggunaan, yaitu: Pemukiman dan Industri. Meliputi sebagian besar penggunaan lahan di perkotaan, tetapi hanya sebagian kecil dari penggunaan lahan seluruhnya. Pertanian. Meliputi areal tanaman pertanian, yaitu pangan dan perkebunan yang merupakan porsi terbesar dari penggunaan lahan seluruhnya. Padang Rumput dan Penggembalaan. Meliputi penggunaan lahan untuk peternakan termasuk komplek peternakan. Perhutanan. Meliputi penggunaan lahan untuk hutan industri, hutan lindung dan belukar. Lain-lain. Meliputi penggunaan lahan untuk tempat rekreasi, jalan raya, pertambangan, pembuangan sampah dan lainnya. Selanjutnya
Barlowe
(1978)
menjelaskan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi permintaan akan lahan didasarkan atas kegunaannya seperti untuk perumahan dipengaruhi urbanisasi, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, perubahan distribusi umur penduduk, tingkat dan keadaan pendidikan, perubahan formasi pemilik rumah. Industri atau perdagangan dipengaruhi oleh jenis, besar, bentuk dan lokasi usaha, dan adanya pasar potensial. Pertanian dipengaruhi pola konsumsi produk pertanian, produktivitas lahan dan permintaan lahan non
12 pertanian. Rekreasi dipengaruhi jumlah populasi, tingkat pendapatan, waktu senggang, sarana transportasiasi, penggunaan non rekreasi. Menurut Dahuri et al. (1996), ekosistem wilayah pesisir memiliki potensi ekonomi dan ekologi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan dan penggunaan lahan di wilayah pesisir perlu direncanakan dengan matang. Di Indonesia, penggunaan lahan di wilayah pesisir meliputi kehutanan, pertanian, perikanan budidaya, pemukiman dan perkotaan serta pariwisata. Untuk itu, perlu pedoman umum dalam penggunaan lahan di wilayah pesisir agar tidak mengganggu ekosistem wilayah pesisir yang ada di sekitarnya. II.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan Perkembangan penguasaan dan penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya (Roll 1983). Perubahan jumlah penduduk, pengetahuan dan teknologi mengakibatkan perubahan dalam keinginan, selera atau standar kebudayaan dan ideologinya. Perubahan-perubahan tersebut
mengakibatkan
perubahan
dalam
tata
kehidupan
dan
sistem
perekonomian yang mendasari perubahan penguasaan dan penggunaan lahan (Murphy 1974). Perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem di wilayah pesisir. Dampak yang terlihat dapat dilihat pada pengembangan usaha pertanian, dimana kegiatan kontruksi seperti saluran irigasi, drainase dan penebangan hutan dapat menggangu pola aliran alami daerah tersebut. Gangguan lain dapat dilihat pada penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Ada empat faktor utama yang menentukan suply lahan untuk berbagai kegunaan, yaitu : (1) sifat fisik tanah, (2) ekonomi, (3) institusi dan (4) teknologi. Sifat fisik tanah seperti sinar matahari, temperatur, hujan dan sistem pengaturan air, topografi dan drainase, lapisan permukaan tanah dan mineral dibawahnya, dan lokasi tanah dan keberadaan fasilitas-fasilitas seperti pasar dan angkutan. Faktor ekonomi seperti permintaan, harga, persaingan yang mempengaruhi persediaan sumber daya lahan. Peranan lembaga atau institusi meliputi aspek dari budaya dan tindakan kita seperti, budaya dalam masyarakat, pemerintahan, hukum,
13 pendapatan masyarakat dan konsep hak kekayaan. Sementara dari sisi teknologi berkaitan dengan kemampuan kita untuk memanfaatkan teknologi yang tersedia agar penggunaannya maksimal (Barlowe 1978). Alih fungsi lahan merupakan permasalahan yang sifatnya global dan lokal. Permasalahan alih fungsi lahan meliputi tiga aspek yaitu: (1) Efisiensi alokasi dan distribusi lahan dari aspek ekonomi, (2) Alih fungsi yang terkait dengan pemerataan dan keadilan, dan (3) Keterkaitan dengan degredasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Oleh karena itu perlu pemecahan secara parsial sehingga diperoleh hasil yang spesifik dari setiap bentuk alih fungsi lahan tersebut, misalnya alih fungsi lahan produktif dan non-produktif kepada peruntukan pertanian, perikanan budidaya dan konservasi. Perubahan penggunaan lahan (alih fungsi lahan) tidak dapat dihindari dan merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial ekonomi masyarakat. Hal ini tercermin dari perubahan pemanfaatan sumberdaya lahan dan terjadinya pergeseran fungsi-fungsi tertentu ke bentuk fungsi lain baik lahan produktif maupun lahan tidak produktif. Menurut aliran struktural, perubahan pola spasial (tata ruang) disebabkan oleh switching sirkuit kapital dari orientasi produksi dan akumulasi menuju investasi kapital dan dana konsumsi yang mapan, sampai pada investasi riset dan teknologi serta pengeluaran sosial (seperti pendidikan dan kesehatan) untuk reproduksi tenaga kerja. Sedangkan aliran rasionalisme justru menempatkan individu konsumen yang berpikir dan bertindak rasional sebagai penyebab perubahan pola spasial tersebut. Artinya, pemilik kapital akan menggunakan modalnya sesuai dengan tuntutan pasar atau kehendak konsumen, baik dalam pilihan lokasi dan bentuknya maupun soal harga dan kemudahan lainnya (Pahl 1979). Parengkuan (1991) menyatakan masalah ketersediaan lahan semakin parah dengan adanya kasus-kasus seperti lahan-lahan yang semula telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu, pada saat akan di implementasikan sering telah digunakan oleh jenis kegiatan lainnya. Perubahan guna lahan mudah saja terjadi yang kemudian disahkan pada evaluasi rencana berikutnya (Winarso 1995). Keadaan ini tentu tidak benar, bahkan sering pula menyulut ketidakpuasan masyarakat karena perubahan yang terjadi tidak sesuai dengan rencana yang telah
14 diketahui masyarakat. Perubahan juga mempunyai dampak yang besar terhadap pengeluaran publik, terutama jika perubahan itu untuk guna lahan yang lebih komersial seperti daerah wisata dan lain sebagainya. Ade et al. (1999). Pada dasarnya perubahan penggunaan lahan yang terjadi diwilayah pesisir ,lebih kepada masalah nilai ekonomi lahan (land rent). Untuk menghambat laju konversi lahan-lahan di wilayah pesisir
ada beberapa konsep yang dapat
dilakukan salah satunya dengan menerapkan konsep perencanaan wilayah pesisir secara terpadu. II.4.3. Konsep Sewa Lahan (Land Rent) Menurut Pearce dan Turner (1990) pengertian land rent berkaitan dengan aliran penerimaan bersih (benefit) yang diturunkan dari lahan tersebut. Semakin bertambah baiknya lingkungan maka harga lahan akan semakin meningkat. Perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga lahan yang bersangkutan. Pada dasarnya, harga lahan merupakan nilai lahan di pasar lahan yang bersumber dari total land rent atas masing-masing sifat intristik yang dimiliki lahan. Sifat intristik yang dimiliki lahan tidak semata-mata aspek fisik lahan seperti kesuburan tapi juga aspek-aspek lain seperti faktor lokasi, sosial dan kependudukan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa meningkatnya harga lahan per satuan luas lahan di suatu lokasi merupakan manifestasi dari peningkatan land rent di lokasi yang bersangkutan. Land rent menurut ekonom neo-klasikal seperti Alfred Marshall, merupakan pendapatan yang dapat diturunkan dari kepemilikan lahan dan hasil limpahan sumberdaya lain di alam. Di luar pengertian land rent, maka dapat saja melakukan menyewa (rent) sumberdaya lainnya (seperti menyewa sesuatu dengan cara membayar uang untuk menggunakan setiap barang yang dimiliki seperti rumah, kendaraan, dan lainnya), yang apabila telah selesai waktu pemakaiannya, maka barang-barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan keadaan fisik yang sama seperti sebelumnya (Ricardo 1975). II.4.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan Ada dua faktor utama yang mempengaruhi penggunaan lahan yakni faktor supply dan faktor demand (permintaan). Faktor penawaran sebagai dijelaskan
15 sebelumnya di tentukan oleh empat hal yaitu sifat fisik tanah , ekonomi, institusi dan teknologi . Demand dipengaruhi oleh situasi yang berkaitan dengan faktor demografik, (seperti komposisi umur, jenis kelamin),
tingkat pendapatan,
konsolidasi lahan, pengaturan tata ruang, kebijakan perencanaan lingkungan serta periode waktu seperti
waktu yang diperlukan untuk pembangunan dan
peningkatan jasa seiring dengan waktu (Barlowe 1978). Dari keempat faktor utama yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, kecendrungan terjadi perubahan penggunaan lahan diIndonesia lebih diakibatkan faktor ekonomi dan Institusi. II.5.
Kesesuaian Lahan Menurut Sitorus (1985) kesesuiaan lahan adalah penggambaran tingkat
kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu, penggambaran ini dilakukan dengan menganalisis dalam bentuk klasifikasi kesesuaiaannya. Sedangkan hasil penilaian dapat dipergunakan sebagai dasar pemilihan didalam merencanakan aktivitas kegiatan diatasnya. Sedangkan di wilayah pesisir, aktivitas penggunaan lahan sering berdampak negatif terhadap potensi ekologi yang terkandung didalamnya, hal ini sering terjadi pada konversi hutan mangrove menjadi tambak. Untuk itu analisis kesesuian lahan diwilayah pesisir harus mengkaji ekologis didalammnya. II.5.1. Kesesuaian Lahan Untuk Tambak Lokasi merupakan langkah awal yang perlu diperhatikan dalam budidaya. Dalam pemilihan lokasi tambak ini tidak hanya untuk menentukan kecocokan lahan sebagai media saja, tetapi juga untuk mendukung modifikasi desain tambak, tata letak tambak, pembuatan konstruksi tambak, dan manajemen yang akan diterapkan (Afrianto dan Liviawaty, 1993). Selanjutnya dijelaskan bahwa ada 4 aspek utama yang perlu diperhatikan sebagai kriteria dalam penentuan lokasi tambak, seperti aspek ekologis, tanah, biologis dan sosial ekonomi. a. Aspek Ekologis. Ditinjau dari segi ekologis, keadaan alam sumber air dan iklim di Indonesia sangat menunjang usaha budidaya tambak walaupun secara ekologis kondisi lingkungan menunjang. Secara ekologis paling sedikitnya ada 7 faktor yang perlu
16 dipertimbangkan untuk menentukan tingkat kesesuaian lokasi tambak, yaitu: a. Iklim dan suhu lingkungan Informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim dan suhu lingkungan di suatu tempat sangat membantu untuk menentukan lokasi lahan yang memenuhi syarat, parameter iklim yang perlu diperhatikan oleh petani tambak adalah data hujan dan angin. a) pasang surut air, b) salinitas, c) arus air, d) pola hujan,e) rembesan , f) polusi e) kuantitas dan kualitas air yang merupakan kebutuhan mutlak bagi tambak. Sumber air yang digunakan untuk mengairi tambak harus memenuhi syarat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan tersedia sepanjang tahun. Menurut Boyd (1991) Ada 6 (enam) parameter kualitas air yang perlu diperhatikan bagi pertambakan, yaitu: Bersih, Derajat Keasaman (pH), Daya Mengikat Asam (DMA), Produktivitas primer, Tingkat sedimentasi yang rendah dan Kelarutan oksigen (DO) dalam air tinggi. b. Aspek Tanah Tanah merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produktivitas tambak, sebab tanah mempunyai kemampuan untuk menyerap atau melepaskan zat hara tanaman yang dibutuhkan oleh fitoplankton atau vegetasi air lainnya yang hidup di dalam tambak. Di samping itu, tanah juga merupakan komponen utama dalam pembuatan petakan tambak, pematang, saluran air dan pintu air serta mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas air. c. Aspek Biologi Dilihat dari aspek biologi ada lima kriteria didalam analisis kesesuaiaan lahan untuk budidaya tambak yang meliputi sebagai berikut: a. Sumber Benih b. Sifat Organisme yang akan dibudidaya c. Organisme lain d. Vegetasi di sekitar Tambak e. Kelestarian Lingkungan d. Aspek Sosial Ekonomi. Dalam budidaya tambak masalah aspek sosial dipelihat dari beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut. a. Lokasi peruntukan dan status lahan b. Transportasi c. Tenaga kerja d. Ketersediaan alat dan bahan e. Ketersediaan pasar dan harga yang stabil
17 II.5.2. Kesesuaiaan Lahan Untuk Pemukiman Pemukiman merupakan tempat dimana sejumlah penduduk tinggal dan melakukan kegiatan sehari-harinya. Untuk keperluan tersebut diperlukan tanah untuk mendirikan bangunan seperti rumah, septic tank, jalan, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya. Karena bangunan-bangunan tersebut didirikan di atas tanah maka sifat-sifat tanah pun perlu diperhatikan. Sifat-sifat tersebut antara lain adalah klasifikasi tanah berdasar atas besar butir dan sifat geologi, potensi mengembang dan mengerut tanah, tata air atau drainase tanah, tebal tanah sampai ke hamparan batuan, kepekaan erosi, bahaya banjir, lereng, daya menyangga tanah (daya dukung tanah), potensi terjadi korosi, lapisan organik, mudah tidaknya tanah digali, dan sebagainya. II.5.3. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Untuk Sawah Irigasi Lahan untuk irigasi memerlukan syarat-syarat yang berbeda dengan lahan tanpa irigasi, sehingga perlu disusun kriteria-kriteria khusus untuk tujuan ini. Di bawah ini dikemukakan kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Arsyad (1989), yang banyak digunakan dalam survai tanah untuk irigasi oleh Institut Pertanian Bogor. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Untuk Irigasi (Land Classification for Irrigation) terutama bertujuan untuk menetapkan penggunaan tanah dan air secara tepat, meliputi perencanaan (design) sistem jaringan irigasi dan drainase, luas usaha tani, kebutuhan air untuk irigasi, dan untuk menentukan ongkos-ongkos pembayaran kembali kredit serta operasi dan pemeliharaan. II.5.4. Analisis Kesesuaian Lahan Tegalan Untuk
tanaman
upland
(tanaman
pertanian)
faktor–faktor
yang
mempengaruhi kesesuaiaan lahan untuk tegalan meliputi a. Kedalaman efektif tanah b. Ketebalan gambut c. Ketebalan peaty mineral d. Ukuran partikel atau tekstur dari bahan mineral e. Lereng f. Drainase g. Defisiensi kesuburan
h.
Salinitas i. Persentase Na dapat dipertukarkan j. Bahaya subsiden dan Kualitas air
18 II.6.
Data Envelopment Analysis Produktivitas Penggunaan Lahan Menurut Fauzi dan Anna (2005), dalam bukunya permodelan sumberdaya
perikanan dan Kelautan, Data envelopment analysis merupakan metode pendekatan nonparametric yang cukup baik untuk aplikasi yang luas dan mudah dilakukan berkaitan dengan defenisi ekonomi teknologi yang terfokus pada kapasitas output dan input. Pendekatan yang berorientasi pada pendekatan input dan output ini dikemukakan pertamakali oleh Carnes et al. (1978) dan kemudian dikembangkan oleh Fare et al. (1994). DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian dari pengambil keputusan (Korhonen et al dalam Fauzi & Anna 1998), teknik ini didasarkan pada pemograman matematis untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala, DEA bertujuan mengukur keragaan relatif dari unit analisa pada kondisi keberadaan multiple input dan output. Selain kemampuan DEA dalam mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu, DEA dapat digunakan dalam mengakomodasi multiple outputs dan multiple inputs, serta tingkat input atau output yang riil maupun nondiskret. DEA juga dapat menentukan tingkat potensi maksimal dari effort atau variable input secara umum dan laju utilisasi optimalnya. Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio pembagian antara output dan input. Dalam menggunakan metode DEA ini, pengukuran efisinesi ini menjadi tidak tepat apabila berhadapan dengan data multiple input dan output yang berkaitan dengan sumber daya, faktor aktivitas dan lingkungan yang berbeda. Meskipun pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat diatasi dengan menggunakan pengukuran efisiensi relative yang dibobot yaitu pembagian antara jumlah output yang sudah dibobot dan jumlah input yang sudah dibobot. Namun, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. keterbatasan tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA , dimana efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan.
19 Oleh karena itu, didalam DEA efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relative efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100% . secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan 10 dan dengan kendala yang diberikan pada Persamaan 11 dan 12. Pemecahan masalah pemograman matematis diatas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum, sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah keefisiensi. Jadi jika nilai = 1, unit ke-m tersebut dikatakan efisien relative terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai lebih kecil dari 1 maka unit lain dikatakan lebih efisien relative terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimalkan unit m. Salah satu kendala dari pemecahan persamaan diatas adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit di pecahkan melalui pemograman linier. Namun, dengan melakukan linieritas, persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan linier. Sehingga pemecahan melalui pemograman linier dapat dilakukan. Linierisasi persamaan di atas menghasilkan persamaan 12 dan dengan kendala yang diberikan pada persamaan 13, 14,dan 15. Salah satu manfaat dilakukan linierisasi adalah kita dapat melakukan pemecahan pemograman linier diatas dengan pemecahan dual, sebagaimana ciri yang dimiliki oleh program linier, pemecahan baik primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama, namun pemecahan dengan dual seringkali lebih sederhana, sebab dimensi kendala berkurang. Primal dan dual variable dari persamaan diatas dapat dilihat pada persamaan 16 dan dengan kendala pada persamaan 17, 18,dan 19. Hasil analisis DEA dapat dijabarkan dalam bentuk grafis apa yang disebut efficiency frontier, dari enam unit yang menghasilkan dua jenis output y1 dan y2. Pada gambar berikut, titik E1 sampai E6 menggambarkan unit pada efficiency frontier dengan DEA, titik-titik E1, E3 dan E4 menggambarkan unit yang efisien karena tepat berada di efficiency frontier, sekaligus menjadi “amplop” (envelope) yang menutupi seluruh set data yang ada. Unit E5 dan E6 berada dalam “Envelop” tersebut sehingga dikatakan tidak efisien. Amplop data ditutup ke horizontal akses dengan E4Y1, sementara ke vertikal aksis ditutup dengan E1Y2.
20
Y2 E1 Y2’
E5’ E5” E2’
E5
E3 E4 E6
E6’
Y1’
Y1
Sumber : Fauzi , Ana (2004) Gambar 1 Grafik Effisiensi Frontier Dari gambar di atas terlihat bahwa kelompok terdekat (perunit) untuk unit E5 adalah E1 dan E2, dan target efisien dari E5 adalah E5’. Target tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan output E5 secara proporsional (pro rata) antara Y1 dan Y2. peningkatan tersebut diperoleh dengan pembobotan unit E1 dan E2. Namun, jika misalnya output Y2 tidak dapat ditingkatkan, pilihan target efisisen berikutnya dari E5 adalah titik E5 yang sepenuhnya mengandalkan peningkatan output Y1. Sementara itu untuk unit E6, target efisien telah didomonasi oleh E4 sebab dengan output Y1 yang sama, E4 memiliki output Y2 yang lebih banyak dari E6. Pengukuran efisiensi dengan DEA sebagaimana pengukuran efisiensi lain, terkait dengan aspek produksi dari aktivitas ekonomi yang diamati. Dari sisi teoritis, fungsi produksi berkaitan dengan return to scale yang menghubungkan bagaimana output bereaksi terhadap perubahan input. Didalam model DEA yang dikembangkan oleh CCR, efisiensi diukur dengan asumsi bahwa fungsi produksi besifat constant return to scale (CRS) artinya, jika input dinaikkan dari dua kali lipat, misalnya output juga meningkat secara proporsional (dua kali lipat). Model ini sangat bersifat linier dan sangat mudah diformulasikan serta dikerjakan dalam program linier. Namun model yang didasarkan pada constant return to scale ini tidak selalu tepat bila diaplikasikan pada aktivitas produksi yang mengalami non constant return to scale. Beberapa fungsi produksi, seperti produksi perikanan,
21 bersifat decreasing return to scale. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, model asal dari CCRS ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Banker et al. (1984) dan dikenal dengan model BCC DEA, yang memungkinkan kita melakukan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return to scale. Kedua pendekatan DEA tersebut merupakan pendekatan dasar yang digunakan dalam analisis DEA. II.7.
Konsep Valuasi Ekonomi Valuasi ekonomi merupakan suatu pemberian nilai kuantitatif terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar ada atau tidak. Akar konsep ini sebenarnya berlandaskan pada ekonomi neo-klasikal (neoclassical economic theory) yang menekankan pada kepuasan dan keperluan konsumen (Fauzi 2000a). Konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total ini pada dasarnya sama dengan manfaat bersih (net benefit) yang diperoleh dari sumberdaya alam. Di dalam konsep ini, nilai yang dikonsumsi oleh seorang individu dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama use value (nilai guna) dan non-use value (Nilai Tidak Guna) (Krutila, 1967). Menurut Fauzi (2000a), komponen pertama, yakni use value pada dasarnya diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan (berburu, memancing, rekreasi, dsb). Nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya ikan dan kayu yang bisa dijual maupun untuk konsumsi langsung. Use value secara lebih rinci diklasifikasikan kembali kedalam direct use value (nilai kegunaan langsung) dan indirect use value (nilai kegunaan tidak langsung). Direct use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya seperti penangkapan ikan, pertanian, dan lainnya baik secara komersial maupun non komersial. Sementara indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Termasuk di dalam kategori indirect use value ini misalnya fungsi pencegahan banjir dan nursery ground dari suatu ekosistem.
22 Komponen non-use value adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Non-use value bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Secara detail, kategori non-use value ini dibagi lagi kedalam sub-class yakni: Existence Value, Bequest Value dan Option Value. value Penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsic dari sumberdaya alam. Bequest value atau nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang. Sementara, option value diartikan sebagai nilai pilihan untuk memanfaatkannya. Option value, mengandung makna ketidakpastian. Nilai ini merujuk pada nilai barang dan jasa dari sumber daya alam yang mungkin timbul sehubungan dengan ketidakpastian permintaan di masa mendatang. Jika kita yakin akan preferensi dan ketersediaan sumber daya alam di masa mendatang, maka nilai option value kita akan nol. Sebaliknya jika tidak yakin, maka nilai option value-nya akan positif. Misalnya kita mau membayar "premium" (nilai opsi) agar opsi untuk mengkonsumsi barang dan jasa dari sumber daya alam tetap terbuka. Quasi-option dan existence value merupakan konsep yang kurang jelas, karena tidak ada definisi yang pasti. Pearce dan Turner (1990) mendefenisikannya sebagai nilai yang dimiliki seseorang atau sumberdaya alam yang mewakili penilaian orang atau spesies lain. II.8.
Metode Valuasi Ekonomi Pada umumnya banyak metode yang dipergunakan dalam menghitung
valuasi ekonomi dari sumberdaya alam dan lingkungan. Akan tetapi metodemetode tersebut merupakan turunan dari metode yang lebih umum berupa analisis biaya manfaat atau Cost-Benefit Analysis (CBA). Sehingga dalam perhitungannya pun metode valuasi ekonomi mempunyai dua pendekatan yakni pendekatan manfaat (benefit) dan pendekatan biaya (cost) (Fauzi, 2000a). Secara rinci, pendekatan valuasi ekonomi dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
23
Valuasi Ekonomi
Nilai dengan Pendekatan Manfaat (Benefit-Based Valuation)
Actual Market Price
- Effect on Production (EOP) - Loss of Earnings (Human Capital Approach)
Surrogate Market
Nilai dengan Pendekatan Biaya (Cost-Based Valuation)
-
Replacement Cost Shadow Project Preventive Expenditure Relocation Cost
- Travel Cost - Wage Differerntial - Property Values
Sumber : Fauzi (2000a) Gambar 2. Metode Valuasi Ekonomi
II.8.1. Valuasi Ekonomi Berdasarkan Manfaat (Benefit-based Valuation) Metode Valuasi berdasarkan sisi manfaat dikelompokkan dalam dua kategori umum, yaitu Actual Market Price atau produktivitas yang berupa Effect of Production (EOP) dan Human Capital Approach (HCA) atau Loss of Earnings Approach (LEA) dan Surrogate Markets (Nilai Pasar Pengganti) atau Complementary Goods. Pendekatan Effect on Production (EOP), pada dasarnya melihat pengaruh produksi sumberdaya alam akibat adanya intervensi terhadap sumberdaya alam. Pendekatan ini melihat bahwa perubahan kualitas lingkungan akan mempengaruhi produktivitas dan biaya produksi yang pada akhirnya mempengaruhi harga dan produksi (Fauzi 2000a). Nilai yang sering diukur adalah nilai kegunaan langsung (Ruitenbeck 1992). Dalam pendekatan Loss of Earnings atau Human Capital Approach (HCA), Selain sumberdaya yang dianggap sebagai asset produksi, tenaga kerja juga dilihat sebagai human capital. Meskipun pendekatan ini tidak mengukur
24 benefit secara langsung, namun pendekatan ini menggunakan nilai minimum untuk mengukur kompensasi yang diberikan apabila kehilangan nyawa atau sakit dan sebagainya. Pendekatan ini sering menjadi kontroversi mengingat adanya faktor etis dan kultural yang sering tidak bisa diukur dengan nilai moneter semata (Fauzi 2000a). Metode Surrogate Market dikembangkan dari teori atribut atau karakteristik Lancaster (1966). Pada dasarnya metode ini menggunakan barang dan jasa substitusi atau komplementer untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak teramati (Fauzi, 2000b). Metode ini terdiri dari: 1. Travel Cost Method (TCM) Metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi. Dengan mengetahui pola ekspenditur, dapat dikaji berapa nilai yang diberikan konsumen pada sumberdaya alam dan lingkungan. Jika biaya ekspenditur nol, maka utilitas marjinal sumberdaya alam tersebut adalah nol. 2. Property Value Approach Metode ini mengkaji nilai amenities dari lingkungan berdasarkan nilai dari aset-aset properti seperti lahan atau rumah. Namun pendekatan ini sering dipadukan dengan teknik statistika sehingga kemungkinan timbul bias cukup potensial. 3. Wage Differential Approach Metode ini menggunakan tingkat upah sebagai tolok ukur kualitas lingkungan. Perbedaan tingkat upah antara pekerja yang bekerja di daerah terpolusi dengan yang tidak terpolusi dapat dilihat dari indikasi tingkat kerusakan lingkungannya. Sama dengan Property Value, pendekatan ini sering dipadukan dengan teknik statistika sehingga sangat sensitif terhadap spesifikasi model. II.8.2. Valuasi Ekonomi Berdasarkan Biaya ( Cost-based Valuation) Sulitnya pengolahan data pada penilaian ekonomi dari sisi manfaat, lebih dikarenakan banyaknya data yang sulit dikonversi kedalam nilai moneter. Alternatif lainnya adalah menilainya dari segi biaya. Dengan demikian biaya
25 menjadi tolok ukur untuk menilai manfaat dari lingkungan (Fauzi 2000b). Beberapa metode yang sering digunakan untuk valuasi berdasarkan biaya, antara lain: 1. Replacement Cost Metode berdasarkan pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk mengganti aset produktif yang rusak akibat dampak lingkungan yang kurang baik. Biaya tersebut digunakan sebagai perkiraan minimum manfaat yang diperoleh untuk memelihara maupun memperbaiki lingkungan. Pendekatan ini bisa digunakan untuk menilai indirect use values pada kondisi dimana data ekologi sulit diperoleh. Akan tetapi pendekatan ini bisa menimbulkan penilaian yang berlebih atas willingness to pay, jika yang tersedia hanya indikator-indikator fisik semata. 2. Shadow Project Prinsipnya sama dengan Replacement Cost, hanya pada metode ini investasi digunakan sebagai acuan turunnya produktifitas akibat kerusakan. 3. Preventive Expenditure Metode ini merujuk kepada metode pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk mencegah terjadi degradasi lingkungan. Metode ini berguna untuk mengukur indirect use values dimana teknologi pencegahan kerusakan lingkungan tersedia. 4. Relocation Cost Metode ini didasari dari pemikiran individu yang merasa terancam dengan kondisi lingkungan yang memburuk, sehingga bermigrasi ke tempat lain. Biaya relokasi menjadi acuan untuk mengukur hilangnya manfaat akibat menurunnya kualitas lingkungan. Pendekatan ini berguna bagi penilaian relokasi massal. Kelemahannya bisa menimbulkan understate karena bisa saja manfaat yang diperoleh di lokasi baru jauh lebih rendah dari lokasi asal. Selain metode diatas, valuasi ekonomi juga mempunyai metode yang berdasarkan pada pendekatan survey. Metode yang paling populer dalam pendekatan ini adalah Contingen Valuation Method (CVM). Pendekatan CVM berdasarkan dari keinginan membayar sekelompok masyarakat (Willingness to Pay) dan keinginan untuk menerima kerusakan suatu lingkungan perairan
26 (Willingness to Accept). Pendekatan memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan, terutama adalah timbulnya bias. Bias terjadi karena adanya nilai yang overstate atau yang understate dari nilai yang sebenarnya. Bias ini muncul dari kesalahan dalam merancang dan menerapkan strategi dan kesalahan dalam rancangan penelitian (Fauzi, 2000b). Masalah yang sering timbul dalam menilai dampak lingkungan adalah minimnya data yang tersedia dan biaya untuk melakukan penelitian secara komprehensif. Menurut Fauzi (2000b), salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan menilai perkiraan benefit dari tempat lain, hasilnya ditransfer untuk memperoleh perkiraan kasar mengenai manfaat dari lingkungan. Metode ini dikenal dengan nama benefit transfer. Berbagai pertimbangan, terutama masalah biaya, manfaat, desain dan koleksi data untuk keperluan di tempat asal perlu dipikirkan secara matang sebelum teknik ini dilaksanakan karena belum adanya kesepakatan baku dalam menggunakan metode ini (Fauzi 2000b). Krupnick (1993) dalam Fauzi (2000c), menyatakan kapan dan dalam situasi yang bagaimana benefit transfer bisa. Metode benefit transfer dapat dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistem yang sama baik dari segi tempat maupun segi karakteristik pasar. Oleh karena itu sulit dilakukan untuk sumberdaya alam wetland (seperti mangrove dan sejenisnya) karena nilai yang diperoleh akan sangat tergantung pada tempat dan karakteristik populasi. Teknik valuasi ekonomi dengan pendekatan tertentu sering tidak berlaku pada kondisi kenyataan dimana sebegitu kompleksnya lingkungan dan sumberdaya alam yang diteliti. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, para peneliti mengembangkan suatu pendekatan yang disebut Multi-criteria Analysis. Pendekatan ini merupakan kombinasi dari pnedekatan dan metode yang terdahulu. Dengan tujuan hasil dari penelitiannya lebih mendekati pada kebenaran dan solusi yang keluar lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan. II.9.
Analisa Degradasi Sumberdaya Lahan Menurut Fauzi dan Anna (2004), degradasi dapat diartikan penurunan
kualitas /kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarukan (dalam bentuk fisik), dimana sumberdaya alam yang dapat diperbaharui ini berkurang kemampauan alaminya dalam beregenarsi sesuai kapasitas produksinya. keadaan ini bisa
27 disebabkan karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia, Fauzi dan Anna (2004) juga mengatakan kebanyakan degradasi yang terjadi di wilayah pesisir dan laut Indonesia akibat aktivitas produksi, penangkapan dan ekploitasi serta aktivitas non produksi, seperti pencemaran akibat limbah domestic maupun industri. Untuk melakukan perhitungan degradasi, analisis lebih mengarah kepada lahan ekonomis yang dilihat dari sisi aspek penggunan lahan pemukiman dan dari sisi aspek lahan Budidaya yang meliputi lahan sawah, tambak, tegalan. Untuk menghitung degradasi lahan menggunakan keseimbangan lahan dan unit rent dari lahan dengan menggunakan Persamaan 20 pada metodologi penelitian . II.9.1. Template dan Model Simulasi Untuk memudahkan analisa degradasi maka dilakukan analisa secara model simulasi dengan menggunakan vensim. Adapun tujuan penggunaan template ini adalah untuk mempermudah pengguna dalam melakukan analisis sumber daya alam pesisir dan laut sehingga dapat lebih efisien baik dari segi waktu , ketelitian dan pola berfikir (system thinking) Perhitungan degradasi lahan di wilayah pesisir mengalamai modifikasi dari perhitungan baasisi mengingat adanya perubahan peruntukan lahan lahan ekonomis dan non ekonomis dalam simulasi template gambar berikut digambarkan keterkaitan lima variable stok yang mempengaruhi degradasi lahan yaitu : potensi lahan ekonomis, stok lahan ekonomi, penggunaan lahan pemukiman, kesuburan lahan dan perkembangan penduduk dan perkembangan penduduk. Sebagaimana terlihat pada gambar, laju degradasi lahan dihitung berdasarkan laju erosi lahan akaibat penggunaan lahan ekonomi dan laju degradasi kesuburan lahan yang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan kegiatan pertanian dan kegiatan non ekonomi seperti lahan pemukiman. Perubahan laju degradasi lahan pada prisipnya dipengaruhi oleh perubahan laju konversi dari potensi lahan ekonolmi menjadi stok lahan ekonomi oleh pertanian dan laju konversi dari lahan ekonomi menjadi lahan pemukiman. Laju konversi yang kedua ini akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir. Pemanfaaatan lahan ekonomi seperti untuk pertanian, akan mempengaruhi tingkat
28 kesuburan lahan yang akan mempercepat proses laju degradasi melalui konversi kesuburan lahan dari berbagai aktivitas. II.10. Pembangunan Berkelanjutan Selama ini pembangunan ekonomi sering kontroversial dengan pelestarian lingkungan. Namun pada tahun 1987 The World Commission on Environment and Development (Brundtland Commistion), sebuah badan komisi di PBB, mendeklarasikan pembangunan berkelanjutan, yaitu "pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kebutuhannya"
kemampuan (WCED
generasi
1987).
mendatang
Deklarasi
inilah
dalam yang
memenuhi
pada
akhirnya
menyelesaikan permasalahan antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Dilihat dari implikasinya, pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan jauh lebih menantang dan kompleks. Menurut Harris et al pembangunan
berkelanjutan
terkandung
tiga
unsur
pokok
(2001), dalam yang
harus
diperhatikan, yaitu unsur ekologi, unsur ekonomi dan unsur sosial. Pembangunan berkelanjutan dilihat dari unsur ekonomi diartikan sebagai kemampuan suatu wilayah dalam menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan. Sedangkan secara ekologis dikatakan berkelanjutan (an ecologically sustainable area/ecosystem), manakala basis (ketersediaan stok) sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, dimana tidak terjadi eksploitasi berlebih, tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan sehingga menimbulkan pencemaran, serta pemanfaatan sumberdaya tak dapat diperbaharui yang dibarengi upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai. Termasuk pula didalamnya pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeo-kimia, dan iklim. Suatu kawasan pembangunan yang secara sosial disebut berkelanjutan (a socially sustainable area/ecosystem), adalah apabila seluruh kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan) semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, tercipta kesetaraan gender (gender equity) dan terdapat akuntabilitas serta partisipasi politik. Dengan demikian tujuan pembangunan berkelanjutan bersifat
29 multidimensi (multi objectives) yaitu mewujudkan kelestarian (sustainability) pembangunan suatu kawasan/ekosistem baik secara ekonomis, ekologis maupun sosial. II.11. Pengelolaan Wilayah Pesisir berkelanjutan Menurut Dahuri (2000), konsep pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir untuk mencapai kesejahteraaan
masyarakat
pesisir dengan
memperhatikan
daya
dukung
lingkungan, sebagai indikator. Fungsi kawasan pesisir adalah (1) menyediakan ruang (space) yang sehat dan nyaman beserta segenap kegiatan pembangunannya, (2) menyediakan sumberdaya alam, baik melalui penggunaan langsung maupun melalui proses produksi atau pengolahan, (3) menyerap atau menetralisir limbah, dan (4) melakukan fungsi-fungsi penunjang kehidupan (life-supporting functions), termasuk siklus biogeokimia, siklus hidrologi dan lainnya. Wilayah pesisir sendiri dapat dilihat dari 3 dimensi yaitu, dimensi ekologis, dimensi ekonomi dan dimensi sosial (Dahuri et al, 1996). II.11.1.
Dimensi Ekologis
Agar pembangunan yang terjadi adalah pembangunan berkelanjutan maka, perlu dilakukan lima langkah pengelolaan. Pertama adalah adanya keharmonisan ruang (spatial harmony), antara ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan
dengan
ruang
untuk
kepentingan
pelestarian
lingkungan,
kesemuanya dituangkan dalam peta tata ruang. Suatu wilayah pesisir dan lautan, baik dalam lingkup kabupaten/kota, propinsi, dan atau nasional, hendaknya tidak dimanfaatkan semua untuk kegiatan pembangunan (development/utilization zone), tetapi harus dialokasikan sebagian untuk zona preservasi dan zona konservasi. Zona preservasi adalah lokasi wilayah pesisir yang mengandung sumberdaya alam (flora, fauna, dan mikroba), warisan budaya dan komponen ekosistem lainnya yang bersifat endemik, langka, atau sangat menentukan kelangsungan hidup ekosistem; dan atau merupakan tempat berlangsungnya proses-proses ekologis penting seperti pemijahan (spawning grounds), pembesaran (nursery grounds), mencari makan (feeding grounds) dan alur ruaya (migratory routes) dari ikan beserta spesies lainnya.
30 Zona
konservasi
merupakan
wilayah
dimana
diperbolehkan
berlangsungnya kegiatan pembangunan, tetapi dengan laju atau pada tingkat yang sangat terbatas, misalnya berupa penebangan kayu mangrove secara selektif, snorkling dan menyelam (diving) di kawasan terumbu karang. Sementara itu, zona pembangunan (utilization zone) adalah kawasan, yang berdasarkan karakteristik biofisiknya, dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan pembangunan termasuk perikanan tangkap, perikanan budidaya (tambak dan marin kultur), kehutanan, pertanian pantai (coastal agriculture), pariwisata, pertambangan dan energi, kepelabuhanan dan transportasi, kawasan pemukiman, kawasan perkotaan (waterfront city, coastal city), dan industri maritim. Menurut Odum (1976) dan Clark (1996), proporsi luasan zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan dalam suatu wilayah pesisir dan lautan idealnya adalah sekitar 20:20:60 persen. Selanjutnya berdasarkan pada karakteristik biofisik serta pertimbangan sosial-ekonomi dan budaya, zona pemanfaatan (pembangunan), yang sekitar 60 persen dari total wilayah pesisir dan laut yang kita kelola, dibagi-bagi menjadi berbagai lokasi kegiatan pembangunan (seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, pertambangan dan energi, kepelabuhanan dan transportasi, dan industri) sesuai dengan daya dukung lingkungan yang tersedia. Kedua, adalah bahwa laju pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (seperti sumberdaya perikanan dan hutan mangrove) tidak boleh melebihi kemampuan pulih (renewable capacity) dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dalam terminologi pengelolaan sumberdaya perikanan, kemampuan pulih lazim disebut sebagai potensi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY), sedangkan dalam pengelolaan hutan mangrove diistilahkan sebagai jatah tebangan yang diperbolehkan (Total Allowable Harvest/TAH). Ketiga, pada saat mengeksploitasi bahan tambang dan mineral (sumberdaya tak dapat pulih) harus melaksanakan cara-cara yang tidak merusak lingkungan (tidak merusak tatanan dan fungsi ekosistem pesisir dan lautan), sehingga tidak mematikan kelayakan usaha (viability) sektor pembangunan (ekonomi) lainnya. Selain itu, keuntungan (economic rent)
dari usaha
pertambangan tersebut sebagian hendaknya diinvestasikan untuk mengembangkan bahan (sumberdaya) substitusinya
dan
kegiatan-kegiatan
ekonomi yang
31 berkelanjutan (sustainable economic activities). Idealnya laju pemanfaatan sumberdaya tidak dapat pulih diatur sedemikian rupa, sehingga sebelum sumberdaya ini habis, sudah ditemukan bahan substitusinya. Keempat, limbah yang dibuang ke lingkungan pesisir dan lautan, maka jenis limbahnya bukan yang bersifat B3 (Bahan Berbahaya Beracun), seperti logam berat dan pestisida, tetapi jenis limbah yang dapat diuraikan di alam (biodegradable) seperti limbah organik dan unsur hara. Meski demikian, laju pembuangan limbah yang dapat terurai tersebut, tidak melebihi kapasitas asimilasi (assimilative capacity) lingkungan pesisir dan lautan. Kelima, manakala kita memodifikasi bentang alam pesisir dan lautan untuk membangun dermaga
(jetty),
pemecah gelombang (breakwaters),
pelabuhan, hotel, anjungan minyak (oil rigs) dan infrastruktur lainnya, maka harus menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah lingkungan pesisir dan lautan, seperti pola arus, pasang surut, sifat geologi dan geomorfologi (sediment budget), serta sifat biologis dan kimiawi, sehingga tidak mengganggu tatanan dan fungsi ekosistem. Dengan kata lain, pembangunan kawasan pesisir dan laut harus sesuai dengan kaidah-kaidah alam (design and construction with nature) (Mc.Harg, 1969). II.11.2.
Dimensi Ekonomi
Dimensi ekonomis dan dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan sebenarnya merepresentasikan permintaan (demand side) manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah termaksud. Permintaan tersebut tidak hanya dari penduduk yang bermukim di wilayah pesisir dan lautan yang sedang kita kelola melainkan dapat pula berasal dari penduduk luar, seperti kabupaten, propinsi, bahkan negara lain (untuk pasar ekspor). Pembangunan berkelanjutan dari perspektif sosial-ekonomi adalah bagaimana kita mengelola agar permintaan agregat (total demand) terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tersebut tidak melampaui kemampuan wilayah pesisir dan lautan untuk menyediakannya. Implikasinya adalah kita harus mengusahakan peningkatan daya dukung lingkungan wilayah pesisir dan laut melalui penerapan Iptek yang tepat dan benar. Pada saat yang sama, kita pun harus mengendalikan permintaan agregat manusia akan sumberdaya alam dan
32 jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan melalui pengendalian jumlah penduduk, pengendalian
(optimalisasi)
tingkat
konsumsi/pemanfaatan
sumberdaya
alam/kapita, mekanisme pasar dan kebijakan serta program pemerintah (government interventions) secara proporsional. Agar
kebijakan,
program,
dan
kegiatan
pembangunan
untuk
memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, termasuk yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, dapat dikendalikan sesuai dengan daya dukung lingkungan untuk menyediakannya (sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan), maka diperlukan reorientasi konsep ekonomi konvensional (ekonomi neoklasik) yang selama ini menjadi dasar pembangunan ekonomi di hampir seluruh negara-negara di dunia. Reorientasi tersebut terutama mencakup tiga aspek (1) Hubungan antara barang modal dan pembangunan ekonomi Konsep pembangunan berkelanjutan mengenal empat macam barang modal yang menentukan pembangunan ekonomi (kemajuan dan kemakmuran), yaitu: (a) barang modal buatan, (b) sumberdaya alam, (c) sumberdaya manusia, dan (d) modal sosial. Barang modal buatan (manufactured capital) mencakup benda buatan manusia, seperti kapal, tambak, dan lainnya. Dalam konsep ekonomi konvensional, sumberdaya alam (natural capital) hanya berupa lahan, tetapi dalam konsep pembangunan berkelanjutan, sumberdaya alam berupa ekosistem di alam (seperti lahan, air bersih, kayu hutan, ikan, dan mineral) beserta segenap fungsi lingkungan {environmental functions) yang terkandung di dalamnya. Human
capital
(sumberdaya
manusia)
berupa
pendidikan
dan
keterampilan/keahlian (skills) yang dimiliki oleh individu manusia. Modal sosial adalah pengetahuan (knowledge) dan aturan main (rules) yang berkembang di dalam budaya dan kelembagaan suatu masyarakat, seperti sistem hukum, adat istiadat, dan hak kepemilikan (property rights). Selanjutnya paradigma pembangunan
berkelanjutan
menganjurkan
agar
barang
modal
tersebut
dimanfaatkan secara lestari dan dipelihara pada tingkatan (level) yang mampu menunjang kesejahteraan umat manusia dengan mernperhatikan ekosistem alam. Konsep ekonomi konvensional memperlakukan barang modal buatan dan sumberdaya alam sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat saling menggantikan (fully substitutable) (Costanza dan Daly 1992). Pengertian ini menyatakan bahwa
33 tidak ada alasan untuk mengkonservasi sumberdaya alam, sepanjang hasil dari pemanfaatan sumberdaya alam dapat memperbesar barang modal dengan nilai finansial lebih besar. Hal tersebut sama dengan pengurasan (depletion) nilai sumberdaya alam yang dimiliki suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Misalnya anggapan bahwa pemerintah berhak untuk membabat habis hutan mangrove, menguras sumberdaya ikan, dan mereklamasi terumbu karang, sepanjang hasil dari semua kegiatan ini dapat diinvestasikan kembali untuk pembangunan. Untuk memperbaiki teori ini, pembangunan berkelanjutan menawarkan alternatif pemecahan, yaitu: a weak sustainability approach dan a strong sustainability approach. Pendekatan keberlanjutan lemah (a weak sustainability approach) membolehkan
pemanfaatan
atau
pengurasan
sumberdaya
alam,
asalkan
keuntungan dari aktivitas ekonomi, diinvestasikan kembali dalam kegiatankegiatan ekonomi yang berkelanjutan atau barang-barang yang terpulihkan (reproducible capital) (Hartwick 1977; Solow 1986). Syarat dalam pendekatan ini adalah nilai total dari manufactured capital dan natural capital tetap konstan sepanjang masa. Nilai tersebut diperoleh melalui penghitungan menyeluruh dari pengurasan sumberdaya alam (a full accounting of natural capital depletion) (Serafy 1993). Sementara pendekatan keberlanjutan kuat (a strong sustainability approach) menganggap daya substitusi tersebut bersifat terbatas tetapi saling melengkapi, sehingga dapat digunakan secara sinergis. Namun untuk sumberdaya alam yang vital (critical natural capital), seperti daerah pemijahan ikan dan sumber air bersih, hampir tidak dapat disubstitusi dengan barang modal buatan. Pendekatan ini juga meyakini bahwa ada semacam batas terhadap pertumbuhan skala ekonomi makro. Dengan pengertian bahwa sistem (pembangunan) ekonomi tidak mungkin tumbuh terus melampaui batas-batas yang ditentukan sesuai kemampuan regenerasi ekosistem alam. Oleh karena itu, syarat minimal (a minimum necessary condition) bagi kelestarian sumberdaya alam, yaitu untuk sumberdaya dapat pulih maka tingkat pemanfaatannya tidak boleh melebihi potensi lestari (sustainable yield)-nya. Sedangkan untuk sumberdaya tak dapat pulih adalah hasil pemanfaatan sumberdaya ini, diinvestasikan kembali pada usaha-usaha yang menghasilkan subtitusi berupa sumberdaya dapat pulih. Pendekatan ini
34 menyarankan untuk mengimplementasikan program-program: penggunaan energi non-petroleum (seperti energi surya, angin, pasang-surut, dan OTEC); pertanian organik; pengendalian/pembatasan jumlah penduduk; pembatasan konsumsi (moderate consumption); dan keadilan global (international equity) (Dahuri et al .1996).
(2) Keadilan Antar Generasi (Intergenerational equity) Keberlanjutan menurut konsep pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai keadilan antargenerasi yang menjamin bahwa generasi mendatang memiliki warisan barang modal buatan, sumberdaya alam, human capital, dan social capital, dengan kondisi yang paling tidak sama dengan yang dimiliki generasi sekarang. Hal tersebut sukar dicapai, jika proses perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan hanya berdasarkan pada konsep ekonomi konvensional (teori ekonomi neoklasik). Ekonomi neoklasik mendefinisikan keberlanjutan sebagai maksimalisasi kesejahteraan manusia, yang diidentikan dengan maksimalisasi manfaat dari aktivitias konsumsi atau pemanfaatan sumberdaya alam. Indikator kinerja yang digunakan hanya berupa satu indikator tunggal (a measurable single-dimensional indicator). Dalam ekonomi makro, biasanya berupa PDB (Produk Domestik Bruto) atau Gross National Product (GNP). Sedangkan dalam ekonomi mikro berupa NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), atau B/C (Benefit and Cost) Ratio yang dikenal sebagai analisis manfaat dan biaya (cost-benefit analysis). Dalam analisis manfaat dan biaya, suatu kegiatan pembangunan pada umumnya dinilai menggunakan discount rate, yang nilainya sama dengan nilai tingkat suku bunga (interest rate) yang berlaku pada saat dilakukan analisis. Semakin besar nilai discount rate yang digunakan berarti nilai sumberdaya alam di masa depan dianggap semakin rendah. Contohnya, dengan discount rate 10%, maka nilai uang US$ 72 saat ini sama dengan US$ 1 juta pada seratus tahun yang akan datang. Karenanya hampir semua kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam bersifat mencari keuntungan jangka pendek, tanpa mengindahkan kelestarian sumberdaya alam. Jika ingin pembangunan ekonomi berlangsung secara berkelanjutan (on a sustainable basis), maka perlu penyempurnaan kriteria analisis kelayakan
35 kegiatan pembangunan. Penyempurnaan tersebut dapat ditempuh melalui berbagai pendekatan. Pertama adalah penggunaan discount rate serendah mungkin, jika perlu nol persen untuk kegiatan-kegiatan pembangunan yang menyangkut pemnfaatan sumberdaya alam. Kedua dengan cara memasukkan kerusakan lingkungan dan kerugian sosial sebagai komponen biaya dalam analisis manfaat dan biaya. Meski masih mengandung sejumlah kelemahan, namun sudah tersedia teknik untuk menghitung nilai moneter atribut dan fungsi-fungsi lingkungan dari ekosistem alam. Teknik tersebut dikenal sebagai valuasi ekonomi (economic valuation) (Costanza et al., 1997). Ketiga adalah menerapkan prinsip kehatihatian (precautionary principles) untuk kegiatan pembangunan yang dampak negatifnya terhadap ekosistem alam sangat signifikan atau tidak terpulihkan atau dampaknya terhadap ekosistem alam dan kehidupan manusia belum dapat diprediksi. Untuk kegiatan pembangunan semacam ini sebaiknya ditunda. (3) Green accounting dan genuine saving Indikator yang selama ini digunakan dalam mengevaluasi kemajuan ekonomi suatu negara hanya berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi (GDP dan GNP) atau pada aspek pendidikan dan kesehatan saja yang berupa HDI (Human Development Index, tanpa memasukkan indikator kelestarian lingkungan. Akibatnya sebagian besar perencana dan pelaksana pembangunan saat ini hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, tetapi kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Apabila kerangka berfikir semacam ini diteruskan, maka pembangunan berkelanjutan tidak akan mecapai hasil yang optimal. Oleh karena itu, perlu perbaikan kriteria atau cara-cara kita menilai kemajuan ekonomi dari segi makro ekonomi. Penyempurnaan dimaksud dapat ditempuh melalui tiga cara (Harris 2003). Pertama dengan cara mengoreksi statistik pendapatan nasional dan daerah, yaitu dengan
memasukkan
pengurangan
sumberdaya
alam
(natural
capital
depriciation) ke dalam perhitungan GNP, GDP, atau PDRB. Instrumen ini cocok diterapkan untuk sumberdaya yang mudah dihitung valuasi ekonominya. Pendekatan ini menimbulkan implikasi signifikan terhadap kebijakan perdagangan dan makro ekonomi suatu negara, terutama yang bergantung pada ekspor sumberdaya alam. Hal ini disebabkan pengurangan sumberdaya alam dimasukkan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan statistik pendapatan nasional atau
36 daerah. Kedua dengan menyusun satellite accounts yang menghitung semua stok dan fungsi lingkungan dalam bentuk fisik, tanpa mengkonversikan ke dalam nilai uang, kemudian ditambahkan ke dalam statistik pendapatan nasional atau daerah (Lange dan Duchin, 1993). Satellite accounts ini menyajikan gambaran yang lebih lengkap tentang kondisi lingkungan hidup dan kekayaan sumberdaya alam. Ketiga dengan
penghitungan
genuine
saving,
yang
memasukkan
pengurangan
sumberdaya alam sebagai akibat dari pembangunan ekonomi, dalam penghitungan statistik pendapatan negara atau daerah. Pendekatan ini mengungkapkan sesuatu yang seolah-olah sebagai keberhasilan pembangunan, tetapi sebenarnya telah menimbulkan kerusakan sumberdaya alam yang dahsyat, dalam beberapa kasus bahkan menghasilkan "a net negative genuine saving rate" (Dahuri et al. 1996). II.11.3.
Dimensi Sosial
Wujud pembangunan berkelanjutan di suatu wilayah, berdasarkan dimensi sosialnya dicirikan oleh terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha seluruh anggota masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, adanya kesetaraan gender, terjadinya partisipasi dan akuntabilitas politik. Menurut Haq (1995) perspektif sosial dari pembangunan berkelanjutan berkembang dari konsep capabilities, functioning, endowments dan entitlements. Hal ini menunjukan bahwa program-program pendidikan, kesehatan dan gizi masyarakat merupakan representasi dari investasi di bidang sumberdaya manusia yang akan produktif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu Amartya Sen berpendapat pentingnya pergeseran dalam penekanan dari incomes kepada outcomes, dari pertumbuhan pendapatan per kapita kepada perbaikan kualitas kehidupan yang lebih baik. Kedua school of thought ini kemudian membentuk paradigma pembangunan manusia yang dikembangkan oleh UNDP pada tahun 1980-an. Salah satu aspek terpenting penyempurnaan paradigma pembangunan manusia adalah dalam perlakuannya terhadap isu-isu lingkungan. The World Commision on Environment and Development menempatkan kemiskinan dan lingkungan sebagai hubungan sebab akibat dimana kemiskinan merupakan sebab utama dari kerusakan lingkungan.
37 Selanjutnya Chambers dalam Dahuri (2002) menyatakan
bahwa
sustainable development harus dimulai pertama dan utamanya dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan memberdayakan masyarakat miskin. Chambers lebih lanjut menyatakan bahwa " the solution, is to ensure that the poor have adequate command over resources, rights, and livelihoods. For the poor, secure property are essential to the stabilization of ecosystems". Disinilah letak pentingnya konsepsi entitlements dan endowments dari Amartya Sen dalam kerangka pemikiran dan pelaksanaan sustainable development. Dengan demikian dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pentingnya pengembangan kebijakan dan program-program yang berorientasi langsung kepada kebutuhan dasar manusia; pemenuhan dan perlindungan kepada masyarakat miskin; kesetaraan gender; pengembangan hak dan kepemilikan masyarakat terhadap sumberdaya; dan terjadinya partisipasi dan akuntabilitas politik. Tanpa adanya kebijakan dan program tersebut maka pembangunan berkelanjutan akan berakhir pada kegagalan sebagaimana juga yang terjadi pada model pembangunan yang berorientasi hanya kepada pertumbuhan saja. Perwujudan langsung dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan ini setidaknya tercermin dari hal-hal sebagai berikut.: •
Pertama, investasi yang signifikan pada bidang pendidikan, kesehatan, dan pelatihan sumberdaya manusia.
•
Kedua, mendorong terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan masyarakat.
•
Ketiga, adanya kebijakan dan program yang menciptakan kesetaraan gender. Beberapa hasil studi menunjukan adanya hubungan yang positif antara ketidaksetaraan gender dengan tingkat kemiskinan masyarakat. Keadaan ini merupakan fenomena yang lazim dalam kehidupan masyarakat agraris di dunia ketiga, khususnya masyarakat nelayan. Peran dan kedudukan sosial ini selanjutnya menempatkan perempuan di masyarakat nelayan pada kehidupan domestik dan ternyata memiliki fungsi
strategis
dalam
kehidupan
ekonomi
dan
sosial,
yakni
bertanggungjawab dalam kesejahteraan keluarga. Persoalan lemahnya
38 kualitas SDM nelayan yang terjadi sepanjang ini, sejatinya tidak lepas dari lemahnya kedudukan sosial perempuan nelayan dalam masyarakat. •
Keempat, terdapat dan berkembangya partisipasi masyarakat dan akuntabilitas politik. Partisipasi masyarakat akan memberikan dua manfaat dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yaitu: (a) menjamin adanya rasa memiliki terhadap program-program yang dilaksanakan, (b) menjamin bahwa masyarakat yang akan memperoleh manfaat dari program-program yang dilaksanakan tersebut Dalam kerangka lebih luas lagi maka demokrasi merupakan elemen yang harus ada dalam pembangunan berkelanjutan.