2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau
transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau besar di tengah daratan (Scialabba 1998). Wilayah pesisir mempunyai fungsi, bentuk, dan dinamika yang beragam, serta tidak dibatasi oleh batas spasial yang ketat. Sementara itu Chua (2006) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai bagian daratan yang berada di sepanjang garis pantai dan berbatasan dengan air laut. Oleh karena itu wilayah pesisir adalah suatu kawasan tempat terjadinya interaksi antara daratan dan perairan. Sebagai akibatnya, secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan alam baik yang berasal dari daratan maupun dari laut. Pengaruh daratan antara lain aliran air tawar dan sedimen ke pesisir yang mengakibatkan terbentuknya delta, wetlands dan mudflats. Sebaliknya, pasang surut dan arus laut mendorong air asin jauh masuk ke wilayah daratan. Kekuatan alam lainnya yang juga berlangsung di wilayah pesisir dan berpengaruh nyata adalah angin, suhu, badai, dan curah hujan. Interaksi antara proses-proses fisika, kimia, dan biologi di wilayah peralihan tersebut menciptakan sistem sumberdaya yang menghasilkan barang dan jasa yang unik dan kondusif untuk kehidupan manusia. Chua (2006) juga menjelaskan bahwa aktivitas manusia adalah faktor ke tiga yang mempengaruhi keterpaduan dan kesehatan wilayah pesisir. Di suatu kawasan pesisir yang tidak terdapat komunitas manusia, proses alami dapat menjaga kondisi wilayah tersebut tetap pristine. Terdapat dua istilah yang umum dipakai, yaitu coastal zones dan coastal area (Scialabba 1998). Bentuk coastal zones lebih dimaksudkan pada definisi berdasarkan wilayah geografis dimana suatu peraturan pengelolaan diberlakukan. Sementara itu coastal area lebih luas penggunaannya pada wilayah pesisir yang belum ditetapkan sebagai wilayah untuk tujuan pengelolaan. Secara geografis, wilayah pesisir memiliki suatu keunikan tertentu, dalam arti bahwa di tempat ini dapat dibangun pelabuhan dan berbagai fasilitas penunjangnya sehingga dapat menangkap setiap peluang keuntungan dari
kegiatan-kegiatan ekonomi yang terjadi, baik kegiatan ekonomi primer maupun sekunder. Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), tingginya nilai ekonomi suatu kawasan pesisir juga disebabkan oleh daya tariknya yang besar untuk kegiatan wisata. Wilayah pesisir secara biologis juga merupakan tempat yang mempunyai produktivitas paling tinggi dan paling kaya dengan berbagai habitat. Selain itu, sejalan dengan berlangsungnya jaman, kawasan pesisir merupakan suatu tempat yang dapat bertahan terhadap berbagai pengaruh peristiwa alam, seperti badai angin dan gelombang pada skala yang bervariasi. Chua (2006) menyebutkan bahwa lebih dari setengah penduduk dunia hidup di kawasan yang lebarnya 100 km sepanjang garis pantai. Angka ini kemungkinan akan meningkat lagi menjadi 75 % penduduk dunia akan hidup di kawasan pesisir pada tahun 2020. Menurut kesepakatan umum, definisi wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu: batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore) (Dahuri et al. 1996).
Akan tetapi penetapan batas-batas suatu
wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan, artinya batas wilayah pesisir dapat saja berbeda antara satu dengan negara yang lain.
Hal ini dapat difahami karena adanya perbedaan kondisi
lingkungan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sistem pemerintahan. Sorensen dan Mc Creary (1990) sebagaimana yang dikutip Dahuri et al. (1996) mengkompilasi beberapa definisi wilayah pesisir dengan kesimpulan: (1)
Batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara arbitrer dari rata-rata pasang tertinggi (mean high tide), dan batas ke arah laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurisdiksi provinsi;
(2)
Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan manusia (kegiatan pembangunan fisik) yang dapat
13
menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir.
Oleh karena, itu batas wilayah pesisir ke arah darat untuk
kepentingan perencanaan dapat sangat jauh ke arah hulu.
Jika suatu
program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan (wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan; (3)
Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah, tergantung pada isu pengelolaan yang dilakukannya.
2.2
Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Mengadopsi definisi regional science dari Mayhew (1997 dalam Rustiadi et
al. 2003), pengembangan wilayah dapat didefinisikan sebagai “suatu aktivitas pembangunan yang menganalisis secara interdisiplin yang mengkhususkan pada integrasi analisis-analisis fenomena sosial dan ekonomi wilayah, mencakup aspekaspek
perubahan,
antisipasi
(peramalan)
perubahan-perubahan
hingga
perencanaan pembangunan di masa yang akan datang dengan penekanan pada pendekatan kuantitatif”.
Sementara itu, pengelolaan wilayah pesisir terpadu
didefinisikan oleh European Commission (EC 1999) sebagai berikut: “ICZM has been defined as a dynamic, continuous and iterative process designed to promote sustainable management of coastal zone. ICZM seeks, over the long-term to balance the benefits from economic development and human uses of the coastal zone, the benefits from protecting, preserving and restoring coastal zones, the benefits from minimising loss of human life and property, and the benefits from public access to and enjoyment of coastal zone, all within the limits set by natural dynamics and carrying capacity”. 2.2.1
Pengembangan wilayah Menurut McCann dan Shefer (2004), pengetahuan kewilayahan berkaitan
dengan analisis penomena perkotaan dan kedaerahan (urban dan regional). Tujuannya adalah untuk mengenal lebih baik struktur dan fungsi suatu kota atau
14
wilayah sambil memperhitungkan fenomenanya yang dimensi multifaset, baik ekonomi, sosial, politik, atau lingkungan. Suatu pengertian tentang bagaimana kota dan wilayah melakukan kegiatan dan fungsinya agar dapat menghasilkan kontribusi pembuatan kebijakan yang lebih baik, sehingga dapat memperbaiki kualitas standar hidup penduduk di kota atau wilayah tersebut. Peran dari infrastruktur publik dalam pengembangan wilayah sangatlah komplek sekali karena melibatkan pengadaan barang milik publik, keberadaan generasi eksternal, pembuatan keputusan politik, dan lamanya masa berlalu (The role of public infrastructure in regional development is a highly complex issue involving aspects of public good provision, the generation of externalities, political decision-making, and long time-periods), sebagaimana dinyatakan oleh Lynde dan Richmond (1992) serta Gramlich (1994) dalam McCann dan Shefer (2004), infrastruktur modal milik masyarakat dapat berperan penting dalam melengkapi proses produktivitas sektor swasta regional. Hal ini disebabkan oleh karena infrastruktur menunjukan berbagai karakter barang publik dimana jasa dari modal milik umum didistribusikan secara bebas kepada para produser swasta. Oleh karena itu, karena produk marjinal dari jasa-jasa tersebut biasanya bersifat positif,
maka harus dipertimbangkan sebagai suatu komponen integral dari
kumpulan fungsi produksi regional. Menurut Rustiadi et al. (2003), di Indonesia terdapat berbagai konsep nomenklatur kewilayahan, seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”, “area”, “ruang”, dan beberapa istilah sejenis, banyak dipergunakan dalam berbagai konteks permasalahan yang sering saling dapat dipertukarkan pengertiannya dan walaupun masing-masing memiliki penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Secara yuridis sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 24/92 tentang Penataan Ruang, pengertian “wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis berserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan pengertian dari “kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama ditekankan pada pengertian “lindung” dan “budidaya”. Sementara itu, pengertian “daerah tidak dijelaskan secara eksplisit dalam UU 24/92 tersebut, namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.
15
Menurut Winoto (1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Berdasarkan hal ini, wilayah dapat didefinisikan, dibatasi, dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut. Dengan demikian, pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu perencanaan area geografis tertentu yang akan menguntungkan baik bagi individu nelayan, petani, masyarakat dan wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang dikembangkan. Hoover dan Giarratani (1985) mengelompokkan wilayah ke dalam dua bentuk, yaitu wilayah homogen dan wilayah fungsional.
Wilayah homogen
dibatasi oleh keseragaman atau kesamaan ciri yang dimilikinya, sementara wilayah fungsional didasarkan pada interaksi yang terjadi dalam suatu wilayah, khususnya dilihat dari keterkaitan aspek ekonomi. Untuk lebih tepat lagi, Winoto (1999/2000) juga menyatakan bahwa pengembangan wilayah dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu berdasarkan aspek fungsional, aspek kehomogenan, dan aspek administrasi.
Aspek fungsional meliputi tempat pemusatan penduduk,
pemusatan pasar, pemusatan pelayanan, pusat industri dan perdagangan, dan pusat inovasi.
Bentuk spesifik dari wilayah fungsional ini disebut wilayah nodal,
dimana dapat dianggap sebagai suatu sel dengan satu inti dan dikelilingi oleh plasma. Dalam kenyataan sehari-hari, nodal ini dapat diibaratkan sebagai kota, yang dikelilingi oleh wilayah pedesaan; dimana seluruh pusat kegiatan dan pelayanan terdapat di dalamnya dan didukung oleh wilayah pedesaan yang merupakan daerah pemasok bahan-bahan mentah, tenaga kerja, tempat pemasaran produk-produk yang dihasilkan di kota, dan sebagai tempat penyeimbang ekologis. Keberhasilan suatu program pengembangan wilayah (lebih spesifik lagi yang berkaitan dengan ekonomi wilayah dan perdesaan), juga sangat dipengaruhi oleh virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat.
Virtue ini bisa
didefinisikan dari berbagai sudut pandang karena sifatnya yang normatif.
16
Perumusan suatu virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat kehomogenan masyarakat, baik dilihat dari pendidikan, etnis (sosial budaya), agama, dan pandangan politis dari setiap komponen masyarakat ini.
Begitu beragamnya faktor yang
mempengaruhi perumusan virtue ini, maka virtue ini baru dapat timbul setelah terbentuk suatu komunitas masyarakat yang saling mengetahui keinginan masingmasing sehingga dapat menemukan suatu resultan dari berbagai keinginan atau ide-ide yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks pengembangan wilayah, tentu
saja
harus
menemukan
resultan
virtue
tersebut
kemudian
mengintegrasikannya ke dalam rencana yang akan diterapkan. Artinya proses perencanaan itu dapat saja berlangsung timbal balik, rencana induk yang sudah ada diintegrasikan ke dalam virtue yang sudah terbentuk, atau virtue-virtue yang ada dalam masyarakat diintegrasikan ke dalam perencanaan. Menurut Winoto (1998/1999), adanya kaitan antara kegiatan pembangunan dengan sistem nilai masyarakat dapat dijelaskan sebagi berikut: pembangunan (baik sebagai suatu proses maupun sebagai suatu cara perwujudan) mengemban tugas kemanusiaan dan tugas kehidupan.
Dengan kata lain, pembangunan haruslah dapat
mengkomodasi berbagai harapan masyarakat, antara lain harapan tentang kehidupan yang lebih baik, keadilan yang lebih terjamin, rasa memiliki yang kian meningkat, kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi kemanusiaannya yang semakin terbuka, ketahanan masyarakat dan bangsa yang semakin kuat, dan kepercayaan diri sebagai manusia maupun sebagai bangsa yang semakin meningkat. Harapan-harapan inilah yang menjadikan setiap anggota masyarakat dan/atau kelompok masyarakat (dengan segala perbedaan latar belakang dan kepentingannya) perlu senantiasa terlibat dan ikut berproses dalam menentukan arah serta prioritas pembangunan pada setiap tahapan yang dilakukan. Untuk suatu masyarakat yang homogen (contoh kasus ekstrim adalah masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya), kemungkinan virtue yang ada dalam masyarakat berlaku umum. Namun demikian, virtue ini sangatlah kaku dan tidak kenal kompromi, sehingga suatu perencanaan pengembangan wilayah yang mencakup kawasan seperti ini haruslah menyesuaikan diri dengan virtue yang berkembang dimasyarakat.
17
Contoh kasus yang heterogen adalah kelompok masyarakat di kawasan pesisir, dimana terlibat berbagai jenis kegiatan manusia sesuai dengan bidang garapannya masing-masing, mulai dari nelayan, pedagang, industriawan, PNS, dan lain lain.
Keragaman mata pencaharian juga mengakibatkan terjadinya
interaksi yang lebih intensif diantara berbagai aktivitas yang dapat menghasilkan dampak positif dan negatif. Menurut Winoto (1998/1999), tidak pernah ada kesepakatan virtue siapakah yang harus dijadikan dasar dalam mengimplementasikan prioritas pelaksanaan pembangunan; selain itu juga tidak ada jaminan bahwa keadilan akan terwujud bila salah satu virtue masyarakat atau kelompok masyarakat dipilih atau dipaksakan sebagai dasar penentuan prioritas pembangunan. Namun demikian, berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu dimana program pembangunan lebih banyak ditetapkan dari atas (top-down), maka virtue universal masyarakat diharapkan akan lebih banyak tertampung dalam program pembangunan yang disusun secara bottom up. Tentu saja terdapat virtue yang bersifat universal bagi seluruh anggota masyarakat antar wilayah dan antar waktu. Sebagai contoh, falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”, yang tercantum dalam pita yang dicengkeram burung garuda, adalah suatu virtue yang lahir setelah terjadinya pertikaian antar suku, antar wilayah, antar agama, dan antar kondisi sosial budaya, yang telah berlangsung sangat lama (sejak mulai tercatatnya sejarah adanya kerajaan-kerajaan di Indonesia samapi jaman penjajahan Belanda dan Jepang).
Virtue ini sangat
disadari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang lebih mencintai perdamaian untuk melewati kehidupan yang aman dan tenang. Sebenarnya virtue “Bhinneka Tunggal Ika” ini dapat dipertahankan untuk melewati periode waktu yang panjang dalam sejarah, seandainya kebhinnekaan setiap kelompok masyarakat dan antar wilayah ini dapat diikat dan dipadukan oleh sesuatu yang saling dibutuhkan mereka, yaitu antara lain: kedamaian dan ketenangan menjalani kehidupan; jaminan aksesibilitas antar wilayah, baik barang, jasa, dan orang; jaminan kebebasan mengemukakan pendapat dan menjalankan keyakinannya masing-masing. Diagram virtue universal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
18
SUKU/ BANGSA
ASPEK AGAMA
ASPEK WILAYAH SPASIAL
VIRTUE UNIVERSAL AKSESIBILITAS BARANG, JASA, MANUSIA
ASPEK SOSEK BUDAYA
POLITIK & KEAMANAN
Gambar 2.1.
Dasar pemikiran terbentuknya virtue universal
Dari diagram Gambar 2.1 di atas tampak bahwa virtue universal harus mencakup sebagian atau seluruh kepentingan dari setiap unsur yang membentuk ekosistem tersebut (suku bangsa; agama; sosial-ekonomi budaya; aksesibilitas barang, jasa, dan manusia; aspek spasial perwilayahan; serta aspek politik dan keamanan). Begitu tali pengikat kebhinnekaan ini dilanggar, baik oleh tetangga sebelah, kampung sebelah, agama lain, atau bahkan oleh regim pemerintahan yang otoriter, mulailah virtue itu tidak ditaati lagi, dan barangkali perlu diramu suatu virtue baru sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Pada saat ini, aspek kepentingan golongan atas dasar latar belakang politis sangat menonjol, sebagai alat pemersatu atau pemecah virtue.
19
Aspek
wilayah
perlu
dimasukkan
dalam
kegiatan
perencanaan
pembangunan suatu kawasan adalah karena sebagaimana definisi Winoto (1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Artinya, dibatasi dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut. Pada intinya, suatu perencanaan pembangunan suatu wilayah haruslah mencakup individu manusia, masyarakat, sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di wilayah tersebut (termasuk yang harus dipertimbangkan adalah virtue universal dan partial dari masyarakatnya). Di dalam setiap upaya pengembangan wilayah, harus menjadi persyaratan adanya konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan telah digunakan oleh the World Commision on Environment and Development pada tahun 1987. Istilah ini akan mendapat pengertian yang berbeda dari setiap orang yang mempunyai keahlian berbeda pula.
Menurut Serageldin (1994),
seorang sosiologis akan memandang setiap persoalan pembangunan dari kacamata manusia sebagai aktor kunci, dimana bentuk organisasi sosial yang ada sangat krusial dalam mencari solusi apakah suatu kegiatan pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan atau tidak.
Kurangnya perhatian terhadap faktor-faktor
sosial ini telah menyebabkan suatu proses pembangunan dalam bahaya dari kurang efektifnya proyek yang dilakukan.
Sementara itu disebutkannya pula
bahwa dari aspek ekonomi, suatu kegiatan berkelanjutan haruslah mencari semaksimal mungkin keuntungan untuk kesejahteraan manusia diantara kendalakendala modal yang tersedia serta teknologi yang digunakan. Pandangan seorang ekologis berbeda pula, yaitu menekankan pada penyelamatan subsistem ekologi yang terpadu ditinjau sebagai kritisi untuk keseluruhan stabilitas ekosistem global. Sebagian berargumentasi pada penyelamatan seluruh ekosistem, meskipun sebagian kecil yang berpandangan kurang ekstrim juga bertujuan pada pemeliharaan dan adaptasi sistem penyangga kehidupan alami.
Faktor-faktor
yang diperhitungkan adalah fisik, bukan uang, dan disiplin yang berlaku pada biologi, geologi, kimia, dan umumnya pengetahuan alam.
20
Istilah pengembangan wilayah tentu saja berkaitan erat dengan perencanaan pembangunan wilayah/daerah.
Menurut Idrus et al. (1999), pembangunan
wilayah merupakan kegiatan pembangunan yang perencanaan, pembiayaan, sampai
pada
pertanggungjawabannya
dilakukan
oleh
pusat
sedangkan
pelaksanaannya dapat melibatkan daerah dimana tempat kegiatan tersebut dilaksanakan.
Pembangunan daerah sendiri berindikasi bahwa kegiatan
pembangunan yang segala sesuatunya dilaksanakan dan dipersiapkan di daerah, seperti
perencanaan,
pembiayaan,
sampai
pada
pertanggungjawabannya.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka perencanaan pembangunan wilayah/daerah dapat diartikan sebagai suatu proses persiapan penyelenggaraan pembangunan suatu wilayah atau daerah. Sementara itu, Anwar dan Setia Hadi yang dikutif Idrus et al. (1999) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya alam. Menurut Hoover dan Giarratani (1985), perkembangan suatu wilayah dapat dilihat pada aspek pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, dan perubahan struktur ekonomi. Nasution (1990) menambahkan bahwa mengukur perkembangan suatu wilayah adalah relatif sulit, tetapi beberapa pakar perencanaan dan pengembangan wilayah telah menyepakati beberapa tolok ukur penilaian suatu kegiatan pembangunan, yaitu dilihat dari aspek: (1) pertumbuhan ekonomi; (2) distribusi pendapatan; (3) tingkat kemiskinan; (4) persentase pengangguran; serta (5) kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumberdaya alam. Menurut Rustiadi et al. (2003), setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat pengembangan wilayahnya.
Secara praktikan, pemahaman
filosofis demikian sukar diterapkan sehingga perlu dicarikan berbagai tolok ukur yang multidimensional. Oleh karena itu, munculnya permasalahan-permasalahan tersebut memaksa pakar 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur yang hanya berdasarkan pada GNP semata, tetapi harus juga disertai beberapa tolok ukur lain
21
yang intinya terkait dengan aspek ekologi, ekonomi, dan budaya. Ilustrasi dari tolok ukur pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.2. Ekologi
1
3
S
D 2
Budaya
Ekonomi
Gambar 2.2. Indikator pembangunan berkelanjutan (Rustiadi et al. 2003) Keterangan: (1) Bagian 1: culture-ecology interface: didefinisikan bahwa pembangunan merupakan fungsi yang terintegratif dari nilai-nilai budaya yang menyatu terhadap ekosistem. Indikator yang termasuk dalam ukuran perubahan etika lingkungan, komitmen untuk menjaga keseimbangan politicalcultural dan eco-tourism; (2) Bagian 2: culture-economy interface: menggambarkan fungsi tujuan di dalam termin nilai-nilai non market dan keputusan untuk menjaga konservasi lingkungan untuk tujuan budaya. Nilai-nilai kultural ekonomi lebih tinggi, demikian juga refleksinya terhadap politik, institusi, dan struktur hukum; (3) Bagian 3: Economy-ecology interface: menggambarkan fusngsi tujuan di dalam termin dari nilai-nilai ekonomi dan cost benefit analysis. Indikator dari pembangunan berkelanjutan diukur dari cadangan konservasi alam dan ekonomi capital yang ditunjukkan oleh produksi (keinginan) flow of environmental dan ekonomi yang baik serta pelayanan untuk generasi saat ini dan yang akan datang. Misalnya kesuburan tanah, keragaman budaya, dan ekosistem kesehatan sebagai indikator kualitas lingkungan. Untuk mengukur pengembangan suatu wilayah, maka beberapa indikator dapat digunakan sebagai penakar positif tidaknya dampak suatu program pembangunan wilayah.
Dinilai positif jika indikator-indikator tersebut
menguntungkan, khususnya bagi individu nelayan, petani, masyarakat dan wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang dikembangkan. Dinilai negatif
22
jika dampaknya merugikan unsur-unsur terkait tersebut. Kadang kala, positif dan negatifnya suatu dampak pengembangan wilayah belum dapat dilihat dalam jangka waktu yang pendek. Contoh kasus adalah penemuan senyawa freon yang dapat digunakan sebagai refrigeran (bahan pendingin) dalam mesin-mesin pembeku dan sebagai bahan penekan pada alat pembentuk aerosol. Baru sekitar 20 tahun kemudian disadari orang bahwa freon ternyata dapat memecahkan lapisan ozon yang menyelimuti bola bumi dari sinar ultra violet. Contoh-contoh lain tentu saja masih sangat banyak, antara lain hilangnya keragamanan hayati karena kegiatan pengembangan wilayah yang tidak didahului studi AMDAL terlebih dahulu, baik dalam bentuk reklamasi lahan untuk kegiatan industri dan pemukiman, maupun pengembangan lahan untuk kawasan persawahan. Dengan demikian, pada dasarnya indikator-indikator umum keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu program pengembangan wilayah dapat dinilai secara ekonomi, sosial, dan ekologi.
Sebagaimana yang diuraikan oleh Serageldin
(1994), bahwa tujuan ekonomi dari pembangunan yang lestari lingkungan adalah: pertumbuhan (growth), kesamarataan (equity), dan efisiensi (efficiency); tujuan sosialnya adalah: pemberdayaan (empowerment), partisipasi (participation), mobilitas sosial (social mobility); keeratan sosial (social cohesion), identitas budaya (cultural identity), dan pengembangan kelembagaan (institutional development); serta tujuan ekologinya adalah: keterpaduan ekosistem (ecosystem integrity),
daya
dukung
(carrying
capacity),
keanekaragaman
hayati
(biodiversity), dan isu global. Menurut Serageldin (1994) juga bahwa seorang ekonom akan melihat pembangunan yang lestari lingkungan itu agak berbeda, yaitu tujuan ekonominya adalah: pertumbuhan dan efisiensi; tujuan sosialnya kesamarataan dan pengurangan kemiskinan; sedangkan tujuan ekologinya adalah pengelolaan sumberdaya alam. Menurut Idrus et al. (1999), keberhasilan perencanaan pembangunan sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Di beberapa negara, perencanaan pembangunan dapat berhasil dengan baik antara lain ditentukan oleh beberapa hal seperti: (1)
Dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya;
(2)
Realistis, sesuai dengan kemampuan sumberdaya alam dan dana;
23
(3)
Kestabilan politik dan keamanan dalam negeri;
(4)
Koordinasi yang baik;
(5)
Top down dan bottom up planning;
(6)
Sistem pemantauan dan pengawasan yang terus menerus;
(7)
Transparan dan dapat diterima oleh masyarakat. Untuk melihat apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai atau tidak dalam suatu
kegiatan pembangunan, maka perlu ditentukan berbagai perubahan dari komponen-komponen tersebut.
Tentu saja untuk unsur-unsur yang bersifat
positif, maka perubahan haruslah bergerak ke arah posistif, dan sebaliknya untuk unsur-unsur yang bersifat negatif maka perubahan haruslah bergerak ke arah negatif.
Sebagai contoh, untuk kesamarataan haruslah semakin baik/banyak,
tetapi untuk kemiskinan semakin sedikit. 2.2.2
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu Menurut Dahuri (2003), pengelolaan suatu kawasan secara berkelanjutan
mencakup 3 aspek, yaitu aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Suatu kawasan pembangunan secara ekonomis dianggap berkelanjutan (an economically sustainable area/ecosystem) jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa (good and services) secara berkesinambungan (on continuing basis), memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali (a manageable level), dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor (extreme sectoral imbalances) yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sekunder, atau tersier. pembangunan
secara
ekologis
dianggap
Sedangkan suatu kawasan
berkelanjutan
(an
ecologically
sustainable area/ecosystem) manakala berbasis (ketersediaan stok) sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya dapat diperbaharui (renewable resources), tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources) yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai. Dalam konteks ini termasuk pula pemeliharaan keanekaragaman hayati (biodiversity), stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeo-
24
kimia, dan kondisi iklim. Sementara itu, suatu kawasan pembangunan dianggap berkelanjutan secara sosial (a socially sustainable area/ecosystem), apabila kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity); terdapat akuntabilitas dan partisipasi politik. Chua (2006) menyatakan bahwa upaya pengelolaan pesisir terpadu dimulai tahun 1965 dengan pembentukan Komisi Pengembangan dan Konservasi Teluk San Francisco (San Francisco Bay Conservation and Development Commission). Tahun 1972, Amerika Serikat mengeluarkan Undang-undang Pengelolaan Pesisir Terpadu, sebuah monumen legislasi yang memberi semangat negara bagiannegara bagian lainnya di kawasan pesisir untuk melakukan hal yang sama. Tahun 1978, Konferensi Wilayah Pesisir diselenggarakan untuk pertama kalinya di San Francisco. Berbagai konsep pengelolaan terpadu telah dikemukakan oleh berbagai kalangan dan para ahli.
Konsep yang secara umum berarti “pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya; guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan McCreary 1990; IPCC 1994). Lebih jelas Chua (2006) menyebutkan bahwa tujuan dari konsep pengelolaan pesisir terpadu adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pesisir dalam bentuk kemampuan suatu kawasan untuk pemanfaatan sumberdaya pesisirnya yang berkelanjutan serta dapat memberikan jasa yang dihasilkan dari ekosistem di kawasan tersebut.
25
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya,
dan
kegiatan
pemanfaatan
(pembangunan)
secara
terpadu
(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelajutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi, yaitu dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 1996). Menurut Ellsworth et al. (1997), konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini sudah dilaksanakan cukup lama. Di Kanada sejak tahun 1960-an telah terjadi perubahan paradigma pembangunan dimana keterlibatan masyarakat lebih banyak dari sebelumnya.
Antara lain dimulai dengan upaya untuk mempengaruhi
formulasi politik tingkat tertinggi melalui berbagai aktivitas masyarakat seperti program bersih pantai yang dimotori oleh kelompok-kelompok advokasi lingkungan. Setelah itu, aktivitas dengar pendapat menjadi sering dilakukan pada saat suatu program pembangunan akan dibuat. Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini sudah menjadi kebijakan global yang didukung oleh lembaga keuangan internasional, sebagaimana dinyatakan oleh Hatziolos (1997) bahwa tahun 1993, Bank Dunia (World Bank= WB) secara formal mendukung program Integrated Coastal Zone Management (ICZM) yang terbentuk atas kreasi Tim Biru (sekelompok ahli lingkungan di Departemen Lingkungan WB). Target utama dari dukungan ini adalah untuk: 1) mengintervensi pelatihan dan kreasi kesadaran lingkungan; 2) penanaman modal; dan 3) partnership.
Kemudian WB melakukan pengumpulan informasi,
menganalisis, dan mensosialisasikan konsep ICZM dikalangan staf dan para nasabahnya tentang apa bedanya dengan konsep tradisional, pendekatan sektoral terhadap pengelolaa lingkungan, dan dukungan WB yang tersedia dan paling efektif dalam mempromosikan ICZM. Hasil dari aktivitas ini adalah dukungan WB terhadap pelaksanaan Agenda 21 di Rio de Janeiro, dalam bentuk sponsor pada kegiatan seminar, lokakarya, dan konferensi, serta dilanjutkan dengan lokakarya pelatihan yang diorganisasikan di berbagai negara di Afrika, Asia, Timur Tengah, dan Karibia. Berdasarkan pada perbandingan di antara konsep ICZM dengan implementasinya serta konsep ICAM (Integrated Coastal Area Management) dan implementasinya, maka Scialabba (1998) mengembangkan
26
suatu kesepakatan untuk membuat Panduan ICM, sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.1. Panduan ini memperkuat konsensus tersebut tetapi juga mengakui bahwa keterpaduan vertika dan horizontal tidak akan berhasil tanpa pembangunan kapasitas individu sektor untuk mengakomodasi dampak trans-sektoral. Menurut Chua (2006), di Indonesia terdapat satu ekosistem besar kelautan (large marine ecosystem, LME), yang meliputi luas area sebesar 400.000 km2, kedalaman rata-rata 2.935 m dan kedalaman maksimal di atas 6.500 m (Palung Jawa, serta produktivitas primernya antara 150-300 gC/cm2/tahun). Pada LME ini terdapat 500 spesies koral pembangun terumbu, 2.500 spesies ikan, 47 spesies mangrove, dan 13 spesies rumput laut. Tingginya aktivitas ekonomi di LME ini ditunjukkan dengan isu yang berkembang, yaitu kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, modifikasi habitat dan pemukiman, serta eksploitasi sumberdaya hayati yang tidak berkelanjutan. Hubungan antara komponen-komponen dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan menurut Hatziolos (1997) dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Aspek Ekonomi o o
Pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth) Efisiensi modal (capital efficiency)
Aspek Ekologi
Aspek Sosial: o o o o
Kesamaan hak (Equity) Mobilitas sosial (Social mobility) Partisapasi (Participation) Pemberdayaan (Empowerment)
o o o
Keterpaduan ekosistem (Ecosystem integrity) Keragaman sumberdaya alam (Natural resources biodiversity) Kapasitas daya dukung lingkungan (Carrying capacity
Gambar 2.3. Hubungan antara berbagai komponen dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (Hatziolos 1997)
27
Tabel 2.1
Kumpulan konsensus dari panduan ICM
Tujuan ICM
Untuk memandu kegiatan pembangunan di wilayah pesisi yang secara ekologis berkelanjutan Prinsip ICM didasarkan pada prinsip-prinsip Pertemuan Puncak Rio de Janeiro dengan tekanan khusus pada prinsip kesamaan antar generasi, prinsip tindakan pencegahan, dan prinsip denda bagi pencemar. ICM secara alami adalah holistik dan interdisiplin, khususnya yang beraitan dengan ilmu pengetahuan dan kebijakan Fungsi ICM memperkuat dan mengharmoniskan sektor-sektor yang terkait dalam pengelolaan kawasan pesisir. ICM memelihara dan melindungi biodiversiti dan produktivitas ekosistem pesisir serta mempertahankan nilai-nilai keaslian/indigenous (amenity values). ICM mempromosikan pembangunan ekonomi rasional dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan serta memfasilitasi resolusi konflik yang terjadi di kawasan pesisir Keterpaduan Suatu program ICM mencakup seluruh wilayah hulu dan hilir, Spatial dimana pemanfaatannya akan menghasilkan dampak pada sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir serta ke perairan yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak sampai ke wilayah daratan di kawasan pesisir tersebut. Program ICM juga mencakup seluruh wilayah perairan yang berada di dalam zona ekonomi ekslusif, dimana pemerintah pusat memiliki tanggungjawab untuk mengurus dibawah kewenangan Konvensi Hukum Laut {(the Law of the Sea Convention dan the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)}. Keterpaduan Upaya penanggulangan fragmentasi sektoral dan antar Horizontal pemerintahan yang terjadi sekarang ini dalam pengelolaan dan vertical wilayah pesisirmerupakan tujuan utama dari ICM. Mekanisme kelembagaan untuk mencapai koordinasi yang efektif diantara berbagai sektor yang aktif di wilayah pesisir serta diantara berbagai tingkatan pemerintahan di wilayah pesisir adalah merupakan dasar terhadap penguatan dan rasionalisasi proses pengelolaan pesisir. Dari berbagai opsi/pilihan yang tersedia, mekanisme koordinasi dan harmonisasi harus dibuat agar sesuai dengan kekhususan setiap pemerintahan. Penggunaan Dengan adanya kondisi yang komplek dan ketidakpastian yang ilmu terdapat di kawasan pesisir, maka ICM harus dibangun pengetahuan berdasarkan pengetahuan (alam dan sosial) yang tersedia. Teknikteknik seperti prakiraan resiko, valuasi ekonomi, prakiraan kerentanan, akuntansi sumberdaya, benefit-cost analysis, dan monitoring berdasarkan outcome harus dibangun ke dalam proses ICM seperlunya. Source: Cicin-Sain, Knecht and Fisk (1995) dalam Scialabba (1998).
28
Salah satu bentuk dukungan WB untuk program ICZM di Indonesia adalah terselenggaranya
program
COREMAP
(Coral
Reef
Rehabilitation
and
Management Project), yang dilaksanakan dibawah koordinasi LON-LIPI. Tujuan dari pelaksanaan proyek ini adalah memandu pendekatan berbasis masyarakat terhadap perlindungan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu untuk menciptakan keuntungan dari pemanfaatan yang berkelanjutan. Proyek ini juga bertujuan untuk penguatan kebijakan dan kapasitas kelembagaan pada tingkat nasional dalam menolong pengimplementasian konsep ICZM di tingkat lokal (Hatziolos 1997). Dari pengalaman Bank Dunia menunjukkan bahwa inisiatif
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan supaya berkelanjutan maka negaranegara yang menerapkan program tersebut haruslah melakukan beberapa hal berikut: (1)
Keterpaduan dengan perencanaan pembangunan yang lebih besar, baik pada tingkat nasional maupun regional;
(2)
Mempunyai dukungan kelembagaan, peraturan perundang-undangan, dan keuangan serta terhubung dengan sektor swasta;
(3)
Mempunyai dukungan dari mayoritas komunitas lokal;
(4)
Melaksanakan program pemantauan dan evaluasi (monitoring dan evaluation);
(5)
Melakukan koordinasi yang efektif diantara stakeholders.
Sebagai kesimpulan, Hatziolos (1997) menyatakan bahwa implementasi konsep ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan aspek legal dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan investasi, penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi-bagi pengalaman pembelajaran. Cicin-Sain dan Knecht (1998) menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu bertujuan untuk mewujudkan pembangunan wilayah pesisir dan laut yang berkelanjutan, mengurangi kerusakan daerah pantai dan kerusakan sumberdaya alam lainnya serta juga mengelolaan proses-proses ekologi, sistem kehidupan pendukungnya dan kelimpahan biota di daerah pesisir dan laut.
29
Menurut Pickave et al. (2004), ICZM secara umum dikenal sebagai perangkat yang paling efektif untuk menggabungkan suatu upaya konservasi dengan pemanfaatan berkelanjutan suatu sumberdaya pesisir dan lautan dalam suatu perencanaan wilayah pesisir. Sejak tahun 1996, negara-negara Eropa telah mengembangkan berbagai program pengelolaan wilayah pesisir yang bertujuan untuk mencapai suatu pengembangan berkelanjutan di seluruh pesisir Eropa. Tiga direktorat jenderal (Direktorat Jenderal Lingkungan, Direktorat Jenderal Pengembangan Wilayah, dan Direktorat Jenderal Perikanan) telah bekerjasama dalam suatu proyek yang bertujuan untuk menguji model kerjasama pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan untuk menstimulasi suatu diskusi terbuka diantara berbagai stakeholders yang terlibat dalam perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan wilayah pesisir. Hasil dari proyek ini akan dijadikan bahan bagi lembaga-lembaga di lingkungan Uni Eropa untuk berdialog dengan para stakeholders. Dari program ini kemudian diproduksi dua dokumen penting ICZM, yang pertama adalah strategi Eropa tentang implementasi ICZM di seluruh negara-negara pantai Eropa; dokumen kedua adalah Rekomendasi Pengelolaan Kawasan Pesisir, yang sekarang telah diadopsi dan diimplementasikan dan didasarkan pada tiga prinsip penting, yaitu pendekatan ekosistem, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan adaptif. Kewajiban lanjutan bagi setiap negara tersebut adalah melakukan inventarisasi sumberdaya alamnya serta menganalisis siapa pelaku utama dari pengelolaan wilayah pesisir di negaranya serta aspek hukum dan kelembagaan yang mempengaruhinya. Berdasarkan kegiatan kerjasama pengelolaan pesisir terpadu tersebut maka penyusunan strategi pembangunan nasional untuk mengimplementasikan ICZM. Salah satu strategi yang harus dimasukan adalah sistem yang memadai untuk mengumpulkan dan menyediakan informasi dalam format yang sesuai dan kompatibel bagi seluruh tingkatan para pembuat keputusan, mulai dari tingkat pusat (nasional), regional, dan lokal.
Untuk tingkat Eropa, pertemuan baru
diselenggarakan pada bulan Oktober 2002 di Brussel, dimana ditentukan sebuah kelompok kerja yang mengurusi masalah data dan indikator (WG-ID = Working Group Data and Indicator).
30
Di Indonesia, sebagaimana juga dengan di Eropa, keterpaduan pengelolaan suatu sumberdaya alam saat ini sedang digiatkan oleh Pemerintah Indonesia sejak disyahkannya Konvensi Hukum Laut 1982 dan diratifikasi dengan UU No 17/1985, meskipun UU ini baru berlaku sejak tanggal 16 November 1994. Tahun 1993, untuk pertama kalinya masalah pembangunan sumberdaya kelautan dicantumkan secara resmi dalam GBHN 1993 dalam BAB IV. F. Ekonomi. 13.e yang mengamanahkan supaya “organisasi dan kelembagaan kelautan perlu dikembangkan agar makin terwujud sistem pengelolaan yang terpadu secara efektif dan efisien sehingga mampu memberikan pelayanan dan dorongan berbagai kegiatan ekonomi disektor kelautan” (Djalal 2000). Hal ini didasarkan pada pengalaman bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan pembangunan dinilai banyak pihak berlangsung tidak sehat dan telah menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, serta dampaknya bagi peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tidak signifikan. Dalam pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu, terdapat 3 (tiga) derajat keterlibatan stakeholder yang saat ini diterapkan di lapangan, sebagaimana dikemukakan oleh Pomeroy et al. (2004). Ketiga derajat dan nama untuk Comanagement, yaitu”consultative co-management”, “collaborative or cooperative co-management”, and “delegated co-management”. Pomeroy et al. (2004) juga mengutip Pomeroy dan Berkes (1997) serta Berkes et al. (2001) yang membedakan derajat peran dalam co-management di antara pemerintah dan komunitas sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.4. Tabel 2.2
Derajat dan nama istilah dalam co-management Consultative
Collaborative
Delegated
Government
co-management
co-management
co-management
People have
has the most
Government
Government and
Government lets
most control
control
interacts often
the stakeholders
formally organised
but makes all
work closely and
users/stakeholders
decisions
share decisions
make decisions
Sumber: Pomeroy dan Berkes (1997); Berkes et al. (2001) dikutip oleh Pomeroy et al. (2004)}.
31
Government-based management
Government centralised management
Community-based management Co-management Community self-governance and self-management Informing Consultation Cooperation Communication Information exchange Advisory role Joint action Partnership Community control Inter-area coordination
Gambar 2.4. Derajat interaksi diantara pemerintah dan komunitas dalam comanagement {Pomeroy dan Berkes (1997); Berkes et al (2001) dikutip oleh Pomeroy et al. (2004)} Aspek positif dari suatu CBM menurut Carter (1996) adalah: (1)
Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam;
(2)
Mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik;
(3)
Mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis;
(4)
Responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan lokal;
(5)
Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada;
(6)
Mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta
(7)
Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.
32
Sebagai kesimpulan, Hatziolos (1997) menyatakan bahwa implementasi konsep ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan aspek legal dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan investasi, penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagibagi pengalaman pembelajaran. Dalam implementasi ICZM, pelaksanaan program tidak selalu berjalan mulus. Tingkat keberhasilannya tergantung pada seberapa besar integrasi setiap komponen stakeholders dan fasilitas yang tersedia. Konflik yang sering terjadi diantara para stakeholders disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) perencanaan tidak disosialisasikan ke semua stakeholder, sehingga tidak semua aspirasi yang berkembang di mayarakat dapat diakomodasi; (2) pembagian peran dalam pelaksanaan program tidak sesuai dengan hasil kesepakatan saat perencanaan; (3) adanya intervensi pihak luar untuk mengatur pelaksanaan implementasi program, dengan berbagai tekanan yang hanya diketahui oleh beberapa orang tertentu; serta (4) sumberdaya manusia dan perangkat sosial yang ada belum memadai. Pengalaman Thailand dalam pelaksanaan ICZM menunjukkan bahwa untuk mencapai kesuksesan dalam implementasi ICZM diperlukan partisipasi lima sektor, yaitu: komunitas lokal, kewenangan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, para ilmuwan, dan investor (Sudara 1999). LSM harus memegang peranan penting dalam penyediaan kesempatan bagi seluruh sektor untuk berkomunikasi.
Setiap
sektor
harus
mempunyai
kesempatan
untuk
mengemukakan pendapatnya dan bertukar fikiran dengan sektor lainnya. Setiap keputusan yang akan diambil berkaitan dengan kawasan pesisir dimana mereka telibat didalamnya harus diambil berdasarkan keinginan bersama. Peran para ilmuwan dan akademisi dalam hal ini adalah manakala semua permasalahan dan kepentingan sudah dapat diidentifikasi, maka kemudian dengan keahlian mereka dilakukan formulasi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir.
Perencanaan
tersebut harus mencakup semua kepentingan setiap sektor yang telah dikemukakan sebagaimana juga dengan ukuran mitigasi untuk implementasinya. Penerapan sistem co-management harus menghasilkan kepuasan bersama dan keberlanjutan pengelolaan.
33
Burak et al. (2004) memberi contoh tentang implementasi konsep ICZM di Turki yang mengalami keterlambatan karena kegagalan politis dan kelembagaan yang berkaitan dengan implementasi dari keputusan yang rasional tentang pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Lebih dari 20 peraturan
perundang-undangan telah diterapkan dan menghasilkan lebih dari 15 lembaga, yang meghasilkan berbagai keputusan yang bias karena adanya kemajemukan dan terpecah-belahnya suara saat proses pengambilan keputusan. Terjadinya konflik sebagai akibat pengembangan ekonomi di wilayah pesisir juga terjadi di Turki dan memicu terjadinya degradasi sumberdaya alam. Berbagai program yang telah dikembangan dan menjadi penyebab terjadinya degradasi lingkungan adalah ekoturisme dan berbagai proyek rumah peristirahatan di kawasan pesisir, pengembangan marikultur, preservasi dan konservasi sumberdaya alam, urbanisasi, pengembangan industri, navigasi, dan transportasi sejak tahun 1980-an (Tuba 2002 dalam Burak et al. 2004). Salah satu contoh implementasi ICZM yang paling berhasil di Kawasan Asia Tenggara adalah dalam bidang wisata bahari.
Menurut Wong (1998),
berdasarkan distribusinya, maka wisata bahari di Kawasan Asia Tenggara didominasi oleh Indonesia dan Philippina karena kekayaan pulau dan garis pantainya.
Kelompok wisata bahari tersebut terdiri dari wisata bahari yang
berstatus merintis (pioneer), sudah bangkit, dan sudah mapan. Wisata bahari yang berstatus mapan diantaranya Bali, Penang, Phataya dan Phuket. Berstatus bangkit diantaranya Lombok di Indonesia; Rayong, Hua Hin dan Ko Samui di Thailand; Langkawi, Kuantan, Tioman dan Kota Kinabalu di Malaysia; dan Cebu di Philipina. Sedanglan yang berstatus merintis antara lain Biak, Manado, Ujung Pandang, Flores, Kepulauan Seribu, Lampung, Bintan, Bangka Belitung, dan Nias di Indonesia; Pangkhot di Malaysia; Krabi di Thailand; serta Boracai, Palaman, dan Samal di Philipina. Di Indonesia, setelah terjadinya bencana tsunami di Wilayah Aceh dan Nias tahun 2004, semakin terasa betapa konsep ICZM itu belum dipahami secara merata di seluruh daerah dan perlu segera diimplementasikan. Kejadian bencana tsunami tersebut masih mungkin terulang kembali di daerah pesisir wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, diharapkan semua komponen yang terkait
34
(stakeholders) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan harus sudah siap dan sigap untuk menghadapinya, sehingga kerugian yang diderita dapat diantisipasi seminimal mungkin. 2.2.3
Pengelolaan wilayah Jakarta dan sekitarnya secara terpadu Sebagai Daerah Khusus Ibukota, Jakarta seharusnya menjadi contoh dalam
upaya meningkatkan keserasian dan keterpaduan pembangunan serta pemecahan masalah bersama di wilayah JABOTABEK.
Upaya kearah keterpaduan
pelaksanaan pembangunan di wilayah DKI Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya telah mulai dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Pemerintah DKI Jakarta. Hal ini dibuktikan dengan dibuatnya Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965-1985. Secara rinci, flowchart yang menguraikan kejadian terbentuknya Badan Kerja Sama Pembangunan JABODETABEKJUR (meliputi latar belakang, gagasan awal, dan sejarah) dicantumkan dalam Gambar 2.5. Dalam Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965-1985, salah satu pasalnya menyebutkan bahwa pengembangan pembangunan yang ada di wilayah DKI Jakarta juga diarahkan ke wilayah BOTABEK dan perlunya kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Untuk mendukung kelancaran dilakukannya integrasi pelaksanaan pembangunan di wilayah BOTABEK, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1974, jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 tentang Perubahan Batas Wilayah DKI Jakarta. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang 16 Desa dari Provinsi Jawa Barat masuk menjadi wilayah Provinsi DKI Jakarta dan 1 Kelurahan yaitu Kelurahan Benda masuk ke wilayah Kota Tangerang. Penyelesaian lebih lanjut dan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1974 ini diselesaikan oleh Tim Pelaksana Penetapan Batas-batas Wilayah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 (Anonimous 2006a).
35
36
Mengingat kerjasama antara Provinsi DKI Jakarta dengan Jawa Barat dianggap telah mendesak untuk dilaksanakan, maka dengan Keputusan Bersama Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Barat No. 6375/A-1/1975 dan 2450/A/K/BKD/75 dibentuk Badan Persiapan Daerah untuk Pengembangan Metropolitan JABOTABEK. Untuk melaksanakan kerjasama dimaksud maka keluarlah Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat dan Gubernur DKI Jakarta No. 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 tentang Pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK dan Peraturan Bersama Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor D.IV-320/d/II/76 dan 197.Pem.121/SK/76 tentang Kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (JABOTABEK) yang disyahkan dengan Keputusan Mendagri Nomor: Pem. 10/34/16282 tanggal 26 Agustus 1976 (Anonimous 2006a). Badan ini diketuai oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dibantu Kelompok Pembantu Pimpinan dan Sekretariat Badan yang dipimpin oleh seorang Sekretaris. Status Badan yang dibentuk oleh Keputusan Bersama ditingkatkan dengan Peraturan Bersama Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1990 dan 2 Tahun 1990 tentang Perubahan Pertama Peraturan Bersama Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 yang disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1991 tertanggal 13 Nopember 1991. Tugas pokoknya mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan atas dasar hal wewenang dan kewajiban Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II serta urusan yang tumbuh dan berkembang di JABOTABEK.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan status
kelembagaan dan memberikan eselonering untuk menjamin pengembangan karier bagi pejabat dan staf yang ada di dalamnya, dengan Peraturan Bersama Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 8 dan 7 Tahun 1994, telah ditetapkan Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK, yang disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 107 Tahun 1994, sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.6 (Anonimous 2006a).
37
38
Pembentukan organisasi dan tata kerja Badan ini berpedoman kepada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 1994 tentang Pedoman Pembentukan Organisasi dan Tata kerja Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK.
Tugas pokoknya menyusun dan menetapkan rancangan
kebijaksanaan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerjasama pembangunan di wilayah JABOTABEK (Anonimous 2006a). Sekretariat dipimpin oleh Kepala Sekretariat dan diberikan Eselonering IIIA. Sekretariat berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua Forum. Tugas pokok Sekretariat adalah menyiapkan bahan penyusunan dan penetapan rancangan meliputi koordinasi analisis perencanaan, analisis pelaksanaan, analisis evaluasi penyusunan program dan laporan serta memberikan layanan teknis administratif kepada Forum Kerjasama.
Dengan keluarnya Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, maka Kotamadya DT II Depok yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor dan wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta menjadi bagian dalam kerjasama regional ini.
Selanjutnya dengan terbitnya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 87, pada Rapat Kerja
Forum
Badan
Kerjasama
Pembangunan
JABOTABEK
yang
diselenggarakan pada tanggal 2 Maret 2000, ditandatangani Kesepakatan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, serta Bupati/Walikota Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok tentang Tindak Lanjut dan Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor, Pemerintah Kabupaten Tangerang, Pemerintah Kota Tangerang, Pemerintah Kabupaten Bekasi, pemerintah Kota Bekasi (JABOTABEK), dan Pemerintah Kota Depok (Anonimous 2006a). Setelah ditandatanganinya Kesepakatan Bersama tentang Peningkatan Kerjasama, Sekretariat BKSP JABOTABEK bersama-sama dengan unsur terkait dari Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bekerja sama membahas upaya peningkatan lembaga kerjasama ini, mengingat permasalahan di JABODETABEK
39
sudah sangat kompleks. Maka disepakatilah bahwa Eselonering Sekretariat BKSP JABOTABEK perlu ditingkatkan mengingat Dinas/Instansi yang dikoordinasikan memiliki eselon yang lebih tinggi (Anonimous 2006a). Dengan terbentuknya Provinsi Banten berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 dan posisi strategis Kabupaten Cianjur pada kawasan penanganan tata ruang, konservasi dan penyeimbang pembangunan di daerah Puncak sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dipandang perlu untuk mengikutsertakan Provinsi Banten dan Kabupaten Cianjur. Keikutsertaaan Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam Badan Kerjasama dituangkan dalam Keputusan Bupati Cianjur Nomor 065/Kep.296Pem/2002 tentang Keikutsertaan Pemerintah Daerah dalam Badan Kerjasama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK). Maka disusun rancangan Keputusan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok, Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi dan Bupati Cianjur tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (JABODETABEKJUR) di mana dalam rancangan tersebut Badan sebagai wadah kerjasama antar Daerah, merupakan lembaga koordinasi yang mewakili kepentingan Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Forum dan disetarakan dengan Eselon II b (Anonimous 2006a). Sebagai
payung
dalam
pelaksanaan
kerjasama
antar
Daerah
JABODETABEKJUR maka pada tanggal 16 Juni 2005 yang difasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri telah ditandatangani Kesepakatan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Bupati/Walikota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur tentang Kerjasama Antar Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur . Salah satu isinya menegaskan untuk melanjutkan dan meningkatkan kerjasama pembangunan antar daerah di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Kabupaten Cianjur dengan ruang lingkup kerjasama meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom yang
40
saling keterkaitan, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan yang memberi manfaat kepada kesejahteraan masyarakat antara lain mengenai keselarasan, keserasian dan keseimbangan di dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan dasar Kesepakatan Bersama tanggal 16 Juni 2005 tersebut, kemudian disusun draft Peraturan Bersama tentang peningkatan Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK (Anonimous 2006a). Beberapa kali pertemuan dengan Instansi Pusat dan Daerah terkait maka disepakatilah draft akhir yaitu Peraturan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Bupati/Walikota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bupati Cianjur tentang Pembangunan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur, yang kemudian ditandatangani pada saat pelaksanaan Rapat Kerja Forum I pada tanggal 14 September 2006 di Hotel Horison Bandung (Anonimous 2006a). 2.3
Pengelolaan Perikanan Terpadu dan Berkelanjutan Kegiatan perikanan laut, dimanapun dilaksanakan, sangat tergantung pada
sumberdaya yang terdapat di suatu kawasan pesisir. Kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan di wilayah laut dangkal (laut teritorial), sangat dipengaruhi kegiatan pengelolaan sumberdaya di daratan dan di kawasan pesisir. Sebagai contoh, pengelolaan lahan pertanian yang kurang baik di daerah hulu akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas perairan di kawasan pesisir yang menjadi muara daerah aliran sungai yang melalui kawasan pertanian tersebut. Penurunan kualitas perairan ini otomatis akan mempengaruhi kehidupan sumberdaya ikan secara keseluruhan, yang dimulai dari rantai makanan tingkat primer (plankton) sampai ke sumberdaya ikan karnivora dengan ukuran yang besar. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam di daratan dan kawasan pesisir tidak hanya mempengaruhi kegiatan perikanan di kawasan laut dangkal saja tetapi juga mempengaruhi kegiatan perikanan lepas pantai (samudera), hal ini baru dilihat dari aspek rantai makanannya saja. Aspek lain yang juga sangat dipengaruhi oleh penurunan kualitas air adalah perkembangbiakan ikan menjadi sangat terganggu. Ikan menjadi tidak subur, yang ditunjukkan oleh penurunan
41
jumlah telur, tingkat penetasan telur menurun, serta tingkat kelulusa hidup anak ikan pun menjadi sangat terganggu. Kebanyakan perikanan tangkap berbasiskan pada stok ikan pantai; perikanan tangkap lainnya mengusahakan stok ikan lepas pantai yang sebagian fase kehidupannya di perairan pantai, umpamanya di daerah asuhan atau daerah tempat mencari makan. Stok ikan juga mengandalkan produktivitas primer di kawasan pesisir sebagai bagian penting dari rantai makanannya.
Akuakultur
pantai juga sangat tergantung pada kawasan pesisir dalam hal kebutuhan ruang dan sumberdaya (FAO 1996). Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang diselenggarakan tahun 1992, memberikan suatu panduan baru yang lebih baik bagi pengelolaan sumberdaya laut. Rezim Hukum Laut ini memberikan hak dan tanggung jawab kepada negaranegara pantai untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di dalam zona ekonomi eksklusif setiap negara yang meliputi sekitar 90 % dari kegiatan perikanan dunia. Berkembangnya kegiatan perikanan di seluruh dunia yang merupakan dampak dari meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan-proteinnya, telah menimbulkan berbagai kondisi tangkap lebih di beberapa kawasan perairan pantai, serta terjadinya perselisihan diantara beberapa negara yang berkaitan dengan kegiatan perikanan. Kejadian-kejadian seperti ini oleh PBB telah direspon dengan dilakukannya serangkaian konperensi internasional yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan, sebagaimana diuraikan secara lengkap dalam Integration of Fisheries into Coastal Area Management (FAO 1996). Dimulai dengan pertemuan Komite FAO untuk perikanan (COFI) pada bulan Maret 1991, yang merekomendasikan bahwa sudah mendesak diperlukanya pendekatanpendekatan baru dalam pengelolaan perikanan, yang meliputi aspek konservasi dan lingkungan serta petimbangan aspek sosial ekonomi.
Disini FAO telah
meminta dikembangkannya suatu konsep perikanan yang bertanggungjawab dan menguraikan sebuah tatalaksana untuk membantu dalam perkembangan penerapannya. Pada bulan Mei 1992, Pemerintah Meksiko bekerjasama dengan FAO telah mengorganisasikan sebuah konferensi internasional mengenai
42
Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab, yang berlangsung di Cancun dan menghasilkan Deklarasi Cancun, yang merupakan pusat perhatian dalam Pertemuan Tingkat Tinggi UNCED di Rio de Janeiro Brazilia pada bulan Juni 1992, yang mendukung penyiapan sebuah Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF). Konsultasi teknis FAO mengenai Penangkapan Ikan di Laut Lepas yang dilakukan bulan September 1992 telah merekomendasikan lebih lanjut untuk memperluas draft tatalaksana tersebut sehingga mencakup kegiatan perikanan tangkap di samudera. Proses penyusunan Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab terus berlangsung melalui berbagai pertemuan internasional yang dimotori oleh berbagai badan dunia dibawah PBB. Isi dari dokumen Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab tersebut terdiri atas lima artikel pengantar, yaitu: Sifat dan Ruang Lingkup; Sasaran-sasaran; Hubungan dengan perangkat internasional lainnya; Pelaksanaan, Pemantauan, dan Pemutakhiran; serta Kebutuhan Khusus Negara Berkembang. Artikel pendahuluan ini diikuti oleh sebuah artikel tentang asas umum yang mendahului enam artikel tematik mengenai: Pengelolaan Perikanan; Operasi Penangkapan Ikan; Pembangunan Akuakultur; Integrasi Perikanan kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir; Praktek Pasca-panen dan Perdagangan; serta Penelitian Perikanan. Perjanjian untuk Memajukan Kepatuhan terhadap Langkah-langkah Pengelolaan dan Konservasi Internasional oleh Kapal Penangkap Ikan di laut lepas, merupakan bagian integral dari Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab ini (FAO 1996). Konsep keberlanjutan pengelolaan perikanan lebih ditekankan pada pertimbangan bio-ekonomi.
Dengan kata lain, pengelolaan perikanan telah
dianggap sebagai penjaminan pertanggungan jawab dari eksploitasi sumberdaya yang efisien secara ekonomi dan ekologi (Owens 1994 dalam Kasimis dan Petrou 2000). Menurut Dahuri (2003), karakteristik geografi Indonesia serta struktur dan tipologi ekosistemnya yang didominasi oleh lautan telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai mega-biodiversity terbesar di dunia, yang merupakan justifikasi bahwa Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia. Fakta ini
43
menunjukkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang amat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dalam membangun Bangsa Indonesia. Atas dasar inilah maka konsep Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab harus segera dilaksanakan di Indonesia sebelum terlambat dan sulit untuk diperbaiki kembali. 2.3.1
Kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia Mengingat luasnya kawasan perairan (potensi perairan tawar sebesar 24,53
juta ha dan laut sebesar 5,8 juta km2, Dahuri 2003), Indonesia sudah sepantasnya memiliki suatu kebijakan pengelolaan perikanan yang baik. Meskipun sejak awal berdirinya Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau, tetapi kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu belum memprioritaskan sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai penggerak pembangunan bangsa. Hal ini baru direalisasikan melalui Keppres No.355/M/1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004 tentang pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) yang kemudian namanya diubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) berdasarkan Keppres No. 145/1999, serta menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui Keppres No. 165/2000 (Anonimous 2003a). Untuk mewujudkan semua harapan tersebut di atas, DKP menyusun visi pembangunan kelautan (Anonimous 2007a), yaitu: "Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang lestari dan bertanggung jawab bagi kesatuan dan kesejahteraan anak bangsa". Sedangkan misinya adalah: 2)
Peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya.
3)
Peningkatan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.
4)
Pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan.
5)
Peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan.
6)
Peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya bahari bangsa Indonesia.
44
Untuk mencapai misi tersebut, DKP telah membuat beberapa program kerja sebagaimana disampaikan dalam Lokakarya Refleksi Kebijakan Revitalisasi Kelautan dan Perikanan, yang diselenggarakan tanggal 15 Januari 2007. Dalam melaksanakan revitalisasi perikanan, DKP menetapkan beberapa komponen utama yang dipandang sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi sehingga program revitalisasi berdampak positip bagi masyarakat. Komponen-komponen tersebut (Anonimous 2007a) adalah : (1) perlu adanya pemantapan regulasi, baik di tingkat daerah; (2) perlu adanya kejelasan dukungan pembiayaan, baik pemerintah pusat, daerah, swasta, dan masyarakat; (3) Perlu adanya perencanaan pemasaran dalam rangka menjamin kepastian pasar produk atau komoditas yang dihasilkan; dan (4) perlu adanya kegiatan penyuluhan dan pendampingan dalam rangka diseminasi teknologi dan informasi. Pelaksanaan program revitalisasi akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bilamana komponen-komponen utama atau komponen esensial ditunjang oleh komponen-komponen berikut: (1) perlu ada rencana komprehensif serta rencana pengembangan komoditas atau produk di tingkat pusat dan daerah; (2) perlu adanya kawasan yang jelas sebagai kawasan basis (contohnya pelabuhan perikanan), kawasan usaha, serta kawasan pengembangan; (3) perlu melibatkan swasta dalam program revitalisasi mengingat bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang kapasitas yang terbatas; (4) perlu ditunjang oleh industri pendukung misalnya galangan kapal, dok, pakan, benih, baik dalam bentuk unit usaha terpisah atau terpadu; (5) perlu dikembangkan industri pengolahan hasil yang secara terus menerus menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi pelaku ekonomi; (6) perlu dilaksanakan riset secara terus menerus dalam rangka menghasilkan teknologi dan informasi baru bagi peningkatan efisiensi usaha; dan (7) perlu pengembangan sumberdaya manusia terutama pada sektor swasta melalui pendidikan dan pelatihan (Anonomous 2007a). 2.3.2
Pelabuhan perikanan Menurut Kramadibrata (2002), pelabuhan adalah tempat berlabuhnya kapal-
kapal yang diharapkan merupakan suatu tempat yang terlindung dari gangguan laut, sehingga bongkar muat dapat dilaksakan untuk menjamin keamanan barang.
45
Suatu lokasi di pantai dapat memenuhi persyaratan ini dengan kedalaman air dan besaran kolam yang cukup untuk ukuran tertentu, sehingga hanya dibutuhkan adanya suatu dermaga (wharf) tempat ditambatkannya suatu perahu. Pelabuhan seperti ini disebut pelabuhan alam.
Tipe tempat lain yang dibentuk dan
diperuntukan bagi berlabuhnya kapal adalah pelabuhan buatan, dimana alur masuh dan kolam pelabuhan, dan pemecah gelombang harus dibangun secara penuh. Diantara kedua tipe pelabuhan ini ada juga yang termasuk pelabuhan semi alam. Mengacu pada definisi yang tercantum dalam International Maritime Dictionary, Murdiyanto (2004) membuat padanan untuk istilah harbour dengan bandar, yaitu suatu pelabuhan alam yang tidak selalu memiliki fasilitas buatan. Istilah port dipadankan dengan pelabuhan, dalam arti pelabuhan buatan. Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa suatu pelabuhan dapat digambarkan sebagai suatu tempat dimana berlangsung mekanisme transportasi barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari laut, dan sebaliknya.
Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu
pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pelayanan yang diberikan oleh pelabuhan didasarkan pada hasil dari pengalaman dalam jangka waktu yang lama. Dalam kaitannya dengan kapal ikan, terjadinya antrian akan sangat mempengaruhi nilai dari muatannya tersebut, terkait dengan proses lelang (Dubrocard dan Thoron 1998). Hal ini tidak hanya waktu tunggu yang penting tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan, dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar. Kramadibrata (2002) membuat definisi pelabuhan dilihat dari subsistem angkutan, yaitu pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi kelancaran angkutan muatan laut dan darat. Menurut UU No 31/2004 tentang perikanan, definisi pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang
46
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Untuk mengatur pelaksanaan UU No. 31/2004 tentang perikanan tersebut, telah
dikeluarkan
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan (DKP 2006), yang mengatur beberapa hal berikut: 1)
Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan;
2)
Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional;
3)
Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta;
4)
Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional dan peraturan pelaksanaannya;
5)
Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study, investigation, detail design, construction, operation dan maintenance (SIDCOM);
6)
Selain
pemerintah,
pihak
swasta
dapat
membangun
dan
mengoperasionalkan pelabuhan perikanan; 7)
Klasifikasi pelabuhan perikanan dibagi ke dalam 4 kelas, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI);
8)
Setiap
pembangunan
pelabuhan
perikanan
wajib
terlebih
memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan.
dahulu Lokasi
pembangunan pelabuhan perikanan ditetapkan oleh bupati/walikota setempat;
47
9)
Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan. Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam penyelenggaraan pelabuhan perikanan;
10)
Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan: a.
Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar ke luar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok meliputi: (1) pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin; (2) tempat tambat seperti dermaga dan jetty; (3) perairan seperti kolam, dan alur pelayaran; (4) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong, jembatan; dan (5) lahan pelabuhan perikanan.
b.
Fasilitas fungsional, yaitu fasilitas yang berfungsi untuk meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan, yang terdiri dari: (1) tempat pelelangan ikan sebagai tempat pemasaran hasil perikanan; (2) navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas; (3) suplai air bersih, es, listrik; (4) pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring; (5) penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu; (6) perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan; (7) transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; serta (8) pengolahan limbah seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL).
c.
Fasilitas penunjang, adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan, yaitu: (1) pembinaan nelayan, seperti balai pertemuan nelayan,; (2) pengelolaan pelabuhan, seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu; (3) sosial dan umum, seperti tempat peribadatan, dan MCK; (4) kios IPTEK; serta (5)
penyelenggaraan
tugas
pemerintahan
seperti
keselamatan
48
pelayaran, K3, bea dan cukai, keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina ikan. Menurut Lubis (2002), fungsi pelabuhan perikanan dapat dikelompokan menjadi dua, yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas. Berdasarkan pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan adalah: 1)
Fungsi maritim, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat (terjadinya) kontak bagi nelayan dan/atau pemilik kapal, antara laut dan daratan melalui penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga;
2)
Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan melakukan transaksi pelelangan ikam;
3)
Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Dari pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan menurut Lubis (2202) adalah:
1)
Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan lebih ditekankan sebagai (tempat) pemusatan sarana dan kegiatan pendaratan dan pembongkaran hasil tangkapan di laut;
2)
Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari kerugian pasca tangkap;
3)
Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapatka harga yang layak bagi nelayan maupun pedagang. Berbeda dengan Lubis (2002), Murdiyanto (2004) membagi fungsi
pelabuhan menjadi 2, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus.
Fungsi umum
merupakan fungsi yang juga dimiliki oleh tipe pelabuhan yang lainnya (pelabuhan umum, pelabuhan niaga), yang meliputi: (1) jalan (alur) masuk pelabuhan dengan kedalaman air yang cukup; (2) pintu atau gerbang pelabuhan dan saluran navigasi yang cukup aman dan dalam; (3) kedalaman dan luas kolam air yang cukup serta terlindung dari gelombang dan arus yang kuat untuk keperluan kegiatan kapal di dalam pelabuhan; (4) bantuan peralatan navigasi baik visual maupun elektronis
49
untuk memandu kapal agar dapat melakukan manuver di dalam areal pelabuhan dengan lebih mudah an ama; (5) bila dipandang perlu, dapat mendirikan bangunan penahan gelombang (breakwater) untuk mengurangi pengaruh atau memperkecil gelombang dan angin badai di jalan masuk dan fasilitas pelabuhan lainnya; (6) dermaga yang cukup panjang dan luasnya untuk melayani kapal yang berlabuh; (7) fasilitas yang menyediakan bahan kebutuhan pelayaran seperti BBM, pelumas, air minum, listrik, sanitasi dan kebersihan, saluran pembuangan sisa kotoran dari kapal, penanggulangan sampah, dan sistem pemadam kebakaran; (8) bangunan rumah dan perkantoran yang perlu untuk kelancaran dan pendayagunaan operasional pelabuhan; (9) area di bagian laut dan darat untuk perluasan atau pengembangan pelabuhan; (10) jalan raya atau jalan kereta api/lori yang cukup panjang untuk sistem transportasi dalam areal pelabuhan dan untuk hubungan dengan daerah lain di luar pelabuhan; (11) halaman tempat parkir yang cukup luas untuk kendaraan industri atau perorangan di dalam pelabuhan sehingga arus lalulintas di kompleks pelabuhan dapat berjalan dengan lancar; (12) fasilitas perbaikan, reparasi dan pemeliharaan kapal seperti dok dan perbengkelan umum untuk melayani permintaan sewaktu-waktu. Fungsi khusus dari pelabuhan perikanan menurut Murdiyanto (2004) diturunkan dari karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk (highly perishable). Sifat ini menhendaki pelayanan khusus berupa perlakuan penanganan, pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan yang tepat.
Fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi fungsi khusus pelabuhan
perikanan ini adalah: (1) fasilitas pelelangan ikan yang cukup luas dan dekat dengan tempat pendaratan; (2) fasilitas pengolahan ikan seperti tempat pengepakan, pengemasan, dan cold storage; (3) pabrik es; dan (4) fasilitas penyediaan sarana produksi penangkapan ikan. Murdiyanto (2004) menjelaskan bahwa klasifikasi pelabuhan didasarkan pada cakupan peruntukannya, yakni: 1)
Pelabuhan Perikanan Tipe A (atau Pelabuhan Perikanan Samudera, PPS) diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan samudera yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan perikanan jarak jauh sampai ke perairan ZEEI dan perairan internasional,
50
mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 200 ton per hari atau 73.000 ton per tahun, baik untuk pemasaran dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan tipe A ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 60 GT sebanyak 100 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 30 ha. 2)
Pelabuhan Perikanan Tipe B (atau Pelabuhan Perikanan Nusantara, PPN) diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan Nusantara yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan perikanan jarak sedang sampai ke perairan ZEEI, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 50 ton per hari atau 18.250 ton per tahun, hanya untuk pemasaran dalam negeri. Pelabuhan perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran sampai 60 GT sebanyak 50 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 10 ha.
3)
Pelabuhan Perikanan Tipe C (atau Pelabuhan Perikanan Pantai, PPP) diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 20 ton per hari atau 7.300 ton per tahun, untuk pemasaran di daerah sekitarnya atau untuk dikumpulkan dan dikirim ke pelabuhan perikanan yang lebih besar.
Pelabuhan perikanan tipe C ini
dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 15 GT sebanyak 25 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas seluas 5 ha. 4)
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), berskala lebih kecil dari PPP baik ditinjau dari kapasitas penanganan jumlah produksi ikan maupun fasilitas dasar dan perlengkapannya. Kapasitas penanganan ikannya sampai dengan 5 ton per hari, dan dapat menampung kapal berukuran 5 GT sebanyak 15 unit
51
sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas seluas 1 ha. Di Indonesia, penentuan awal terbentuknya suatu kawasan menjadi daerah perikanan pada mulanya kemungkinan besar ditentukan hanya oleh adanya aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, baik itu berupa kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan, maupun pemasaran, baik kegiatan sendiri-sendiri maupun bersamaan. Oleh karena itu, kemungkinan besar tidak memperhitungkan berbagai variabel yang diperlukan bagi suatu perencanaan pengembangan daerah perikanan secara ilmiah, baik dilihat dari sumberdaya ikan, prasarana dan sarana penangkapan dan pendaratan ikan, serta potensi pasarnya. Oleh karena itu, tidak semua pusat-pusat pendaratan ikan yang ada di Indonesia mempunyai prospek pengembangan yang menggembirakan bilamana diteliti secara mendalam dan ilmiah. Menurut Lubis (2003), salah satu alasan perlunya dibangun pelabuhan perikanan di suatu daerah adalah berkembangnya kegiatan perikanan laut di daerah tersebut. Disamping itu, alasan lain yang juga mendukung adalah: 1)
Semakin meningkatnya kebiasaan penduduk untuk makan ikan;
2)
Masih besarnya potensi sumberdaya ikan yang ada di perairan;
3)
Semakin meningkatnya (kegiatan) industri perikanan;
4)
Adanya (dukungan) politik dalam rangka pengawasan perairan; serta
5)
Semakin meningkatnya pendapatan penduduk per kapita. Lubis (2003) juga berpendapat bahwa sebagian besar pelabuhan perikanan
di Indonesia belum berfungsi optimal (70 %) dan umumnya belum dilengkapi fasilitas modern.
Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hal tersebut, antara lain: (1) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola dan pelaku; (2) Masih belum sadarnya para pelaku (nelayan, pedagang, pengolah) dalam memanfaatkan pelabuhan perikanan dengan sebaikbaiknya sebagai tempat pendaratan, pemasaran, maupun pembinaan mutu hasil tangkapannya; (3) Masih belum adanya kemauan dari pemerintah sendiri untuk
52
membantu para nelayan dalam memanfaatkan potensi perairan, baik dalam manajemen pemberian kredit maupun dalam pemberian subsidi; (4) Belum adanya jaminan keamanan bagi para nelayan, baik di laut maupun di darat; (5) Masih belum tersedianya berbagai fasilitas yang memang diperlukan oleh nelayan atau pedagang di pelabuhan perikanan atau juga rusaknya beberapa fasilitas di pelabuhan tanpa adanya perbaikan dalam jangka waktu yang lama; (6) Belum tersedianya prasarana dan sarana transportasi yang baik yang dapat menjamin mutu ikan sampai ke daerah konsumen; (7) Masih banyak nelayan yang terikat dengan para tengkulak sehingga terjadi ketergantuangan harga jual hasil tangkapannya; dan (8) Belum berjalannya fungsi koperasi secara baik sehingga tidak dirasakan manfaatnya oleh nelayan. Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), suatu pelabuhan perikanan dapat dipertimbangkan sebagai suatu tempat dimana terjadi mekanisme perpindahan barang yang berasal dari daratan ke arah laut dan sebaliknya. Aktivitas yang dilakukan dalam suatu pelabuhan secara jelas dapat dibagi 2, yaitu pelayanan kapal, dan pelayanan muatan yang akan dibawa atau dibongkarnya. Pengelolaan suatu pelabuhan tergantung pada apa yang dimilikinya (kapasitasnya) dan apa yang diminta oleh para pelanggannya. Kasus terjadinya keterlambatan bongkar muat suatu kapal adalah menunjukkan bagaimana keadaan kualitas pelayanan pelabuhan tersebut. Pada saat suatu kapal tiba di suatu pelabuhan, sudah harus dipertimbangkan kemungkinan adanya biaya tunggu di pelabuhan. Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), pelayanan bongkar muat kapal merupakan faktor utama dari jasa pelayanan pelabuhan. Kualitas pelayanan ini diukur dari keterlambatan yang ditentukan oleh kapasitas pelabuhan dan jumlah permintaan. Suatu pelabuhan dapat digambarkan sebagai suatu mekanisme transportasi barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari laut, dan sebaliknya. Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pada saat suatu pelayanan bongkar muat kapal dilakukan, telah terdapat suatu spesifikasi yang telah disesuaikan dengan kondisi kapal dan muatannya.
Hal ini merupakan hasil analisis dari pengalaman pemberian
pelayanan bongkar muat kapal yang cukup lama.
53
Dalam kasus situasi kapal ikan, Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa tidak hanya waktu tunggu yang penting tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan, dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar. Namun secara formal, analisis terhadap situasi ini sangat mirip dengan teori antrian dan kemacetan. Dengan perkataan lain, kualitas pelayanan diukur dalam dua bentuk gambaran, pada saat kapal datang di pelabuhan secara acak (dengan kata lain kualitas ditentukan oleh harga yang diperoleh, dan hal ini pada gilirannya ditentukan oleh proses kedatangan dari kapal ikan). Mengutip Lubis (1989) dan Vigarie (1979), Lubis (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen yang harus mendasari analisis geografi dalam merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan. Ketiga komponen tersebut terdiri dari foreland, fishing port, dan hinterland, yang dalam Bahasa Perancis ketiganya disebut tryptique portuaire. Jika ketiga komponen tersebut dikelola dengan baik, maka pengembangan pelabuhan perikanan terpadu dapat dicapai. Menurut Kramadibrata (2002), para perencana dan perancang pelabuhan harus mengarahkan pemikirannya pada fungsi pelabuhan, yaitu sebagian dari fungsi angkutan yang mampu melaksanakan tugasnya, bukan hanya dimasa sekarang tetapi juga mampu berperan di masa mendatang. Perkembangan terakhir dari pengelolaan pelabuhan perikanan yang berkelanjutan adalah dimasukannya aspek eco-port, artinya pelabuhan dikeloka sedemikian rupa sehingga masyarakat sekitar pelabuhan dan para pemanfaat lainnya dapat menggunakan pelabuhan tersebut sebagai tempat yang nyaman untuk berwisata. Salah satu pelabuhan perikanan yang sudah menerapkan sistem pengelolaan
seperti
ini
adalah
http://www.fishingportdouglas.com.au/).
Port
Douglas
di
Darwin-Australia
Di pelabuhan ini, hampir semua
kegiatan wisata air dapat dilakukan dan dikelola secara professional, mulai dengan fasilitas akomodasi (hotel berbintang 4,5 dan motel) sampai ke fasilitas sport fishing (mancing di laut).
Di Indonesia, tampaknya belum sampai ke taraf
komersial, meskipun kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat juga sudah biasa dilakukan dan dihadapi oleh pengelola pelabuhan.
54
Menurut Mahyuddin (2007), pengembangan pelabuhan perikanan di Indonesia semakin menarik bagi investor untuk dijadikan basis dalam pengembangan industri perikanan. Alasannya yakni: (1) investor semakin sulit memperoleh tanah yang bebas masalah d luar kawasan pelabuhan sehingga areal industri perikanan di kawasan pelabuhan semakin diminati; (2) berdasarkan pasal 41 ayat 3 UU No. 31/2004 tentang perikanan, setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan diharuskan untuk mendaratkan ikan tangkapannya di pelabuhan perikanan; (3) adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa kapal-kapal asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia kecuali kapal-kapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan di Indonesia; dan (4) semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor di pelabuhan mulai dari pelayanan prima, sampai kepada murahnya tarif dalam memanfaatkan fasilitas pelabuhan. 2.3.3
Tempat pelelangan ikan Salah satu sarana yang sebaiknya terdapat di pelabuhan perikanan adalah
tersedianya tempat pelelangan ikan (TPI). Tempat ini merupakan areal dimana nelayan, juragan kapal, tengkulak, dan pembeli dan penjual ikan bertransaksi dan diawasi oleh petugas TPI.
Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan, tempat pelelangan ikan adalah salah satu fasilitas fungsional yang dapat meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan (DKP 2006). Menurut Adrianto (2007), TPI adalah tempat dimana kesepakatan harga jual beli ikan tercapai. Namun demikian beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu harga yang terbentuk tidak mencerminkan supply dan demand yang aktual (quasiauction), transparansi antara harga on-farm dan off-farm masih terbatas. Dengan demikian TPI hanya berfungsi sebagai lembaga ekonomi saja. Tempat pelelangan ikan juga merupakan fasilitas fungsional yang sangat vital dalam rangka mengoptimalkan fungsi pemasaran ikan. Pada gilirannya, jika fungsi pemasaran berhasil maka pendapatan dari jasa pelabuhan perikanan akan
55
juga bertambah. Fungsi pemasaran ikan yang terjadi di TPI digambarkan oleh Adrianto (2007) sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.7
Retail Traders FISHERS
Sales Consumers Fix price transaction
Middle-men LANDING
Auctions and Bidding
Consignment Consignees, wholesalers (larger wholesaler market) Consignees, wholesalers (fishers cooperatives/ association) Auctions and Bidding Middle-men Buying on consignment
Gambar 2.7 Bagan alir fungsi pemasaran yang terjadi di TPI (Adrianto 2007) Dari Gambar 2.7 tampak bahwa aktivitas ekonomi (pemasaran) di TPI dimulai dari proses pendaratan ikan yang dilakukan oleh nelayan, kemudian terjadi proses lelang pertama diantara tengkulak/pedagang besar A (wholesaler, baik dari kelompok nelayan atau koperasi) dengan pedagang perantara A (middle man). Proses pelelangan kedua terjadi antara tengkulak/pedagang besar B dengan pedagang perantara B. Proses pemasaran kemudian terjadi secara eceran di antara pedagang perantara B dengan pedagang eceran yang langsung menjual ikannya kepada konsumen.
Pembayaran kontan terjadi pada saat transaksi antara
pedagang perantara dengan pedagang eceran serta antara pedagang eceran dengan konsumen. Sedangkan transaksi pada waktu lelang dibayar berdasarkan komisi penjualan. Jika kepercayaan sudah ter jadi diantara tengkulak/pedagang besar dengan pedagang perantara dan juga sampai ke pedagang pengecer, pembayaran kadang-kadang dilakukan hari berikutnya.
56
2.3.4
Kelembagaan TPI Untuk dapat beroperasi secara benar dan optimal, maka TPI harus memiliki
lembaga pengelola. Banyak kasus di pelabuhan-pelabuhan perikanan di Pulau Jawa lembaga pengelola TPI dipegang oleh koperasi nelayan (KUD Mina), ada yang berhasil dan ada pula yang gagal total sehingga lembaga tersebut tidak dipercaya lagi.
Contoh kasus yang terhitung berhasil adalah di PPI/TPI
Belanakan di Subang yang dikelola oleh KUD Mina Fajar Sidik. Keberhasilan lembaga pengelola TPI ini telah menjadikannya sebagai acuan dalam pengembangan Terminal Agribisnis/Sub Terminal Agribisnis (TA/STA) produkproduk pertanian. KUD Mina Fajar Sidik didirikan tahun 1958 dan mendapat predikat KUD Mandiri Inti berdasarkan Surat Kakanwil Depkop dan PPK Prop. Jawa Barat tanggal 24 Desember 1994. Jumlah karyawan KUD 50 orang dengan keanggotaan penuh (535 orang), calon anggota (155 orang) dan anggota yang dilayani (3.804 orang), dan uang yang beredar dari hasil transaksi lelang yang terjadi di TPI setiap hari sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta) (Anonimous 2006). Tata cara pelaksanaan lelang di TPI KUD Mina Fajar Sidik dilaksanakan berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 13/2006 tanggal 8 Maret 2006 tentang pelaksanaan penyelenggaraan dan retribusi tempat pelelangan ikan dan berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat no. 10/11 tahun 1998 Jo Prop Jawa Barat no. 8/9 tahun 2000 pelaksanaan lelang dikenakan ongkos sebesar 8 %. Adrianto (2007) mengidentifikasi aliran fungsional yang terjadi di TPI di Jawa Tengah, sebagaimana tampak dalam Gambar 2.8. Dari Gambar 2.8 tampak besaran distribusi dana retribusi, dimana 1,25 % diberikan ke Kas Provinsi (Pemda Provinsi 0,85 % dan Pemda Kabupaten/kota) dan 3,75 % disampaikan ke PUSKUD (yang digunakan untuk dana sosial, pengembangan PUSKUD, tabungan
nelayan,
asuransi
nelayan,
tabungan
bakul,
dana
paceklik,
pengembangan KUD, lelang, dan perawatan TPI). Jika besaran retribusi sebesar 8 %, maka biaya pengelolaan TPI sebesar 3 % dari seluruh transaksi pelelangan. Distribusi dana retribusi pelelangan yang dilakukan di Jawa Timur dan Bali
57
mempunyai variasi yang cukup berbeda, sebagaimana tampak pada Gambar 2.9 dan Gambar 2.10. TPI
1.25%
3.75%
Kas Provinsi
Pemda Provinsi
Pusat KUD
Pemda Kab/Kota
0.85%
Dana Sosial 0.50%
Tabungan Nelayan
Asuransi Nelayan
Dana Paceklik
Lelang 1.0%
0.50%
0.20%
0.50%
0.40%
Pengembangan Puskud
Tabungan Bakul
0.20%
0.25%
Pengembangan TPI
Pengembangan KUD 0.45% 0.15%
Perawatan TPI
Provinsi Jawa Tengah
Gambar 2.8
Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Jawa Tengah (Adrianto 2007)
5% TPI
KUD
DISPENDA
BANK JATIM
ANGGARAN RUTIN 0,75 % 1,25 % ANGGARAN PEMBANGUNAN PROVINSI DINAS KAB/KOTA
3%
TPI/KUD PENGELOLA
Gambar 2.9 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Jawa Timur (Adrianto 2007a)
58
Biaya operasional dan tabungan nelayan
TPI
KUD
Bendaharawan Dinas Perikanan Kabupaten/Kota
Retribusi Provinsi 0.5 %
Retribusi Kabupaten/Kota 0.5 %
Pungutan Paceklik/ Sosial Kecelakaan 1%
BPD Bali
BPD Kabupaten/ Kota
Bendaharawan Khusus Perikanan Provinsi
Bendaharawan Provinsi
Wasdalop 0.5 %
Provinsi Bali (SK Gubernur No 190/1986)
Gambar 2.10
2.4
Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Bali (Adrianto 2007b)
Analisis Perkembangan Aktivitas Pembangunan Setiap aktivitas pembangunan di suatu kawasan dapat diamati tingkat
keberhasilannya dengan berbagai tools.
Dalam penelitian ini, tools yang
digunakan adalah: ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region); land rent, yang meliputi economic rent, social rent, dan environmentlan rent, yang masing-masing dalam istilah Indonesia disebut rente lahan yang mencakup rente ekonomi, rente sosial, dan rente lingkungan. 2.4.1 Ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region) Untuk melihat prospek pengembangan suatu daerah perikanan, konsep yang dikembangkan oleh Symes (2000) tentang daerah yang bergantung pada kegiatan perikanan (daerah perikanan = fisheries dependent regions) sangat bermanfaat bagi aktivitas pengelolaan.
Daerah perikanan ini merupakan barometer bagi
keberhasilan suatu kebijakan perikanan.di suatu kawasan. Menurut Symes (2000), definisi pokok dari daerah perikanan adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang memiliki tingkat resiko tinggi, baik dalam konteks sumberdaya maupun kebijakan, terhadap turunnya intensitas kegiatan
59
perikanan termasuk dampak yang mungkin timbul dari turunnya kesempatan kerja dan pendapatan sektor perikanan. Daerah perikanan dalam konteks ini terkait dengan istilah fisheries dependent region, ketergantungan daerah terhadap perikanan. Menurut Phillipson (2000), definisi daerah perikanan perlu difokuskan dalam konteks struktur ekonomi daerah (regional depencies) dimana sektor perikanan berkontribusi secara sosial dan ekonomi, daripada ketergantungan perikanan (fisheries dependencies).
Ketergantungan daerah jelas berdimensi
regional atau wilayah, sedangkan ketergantungan perikanan memiliki banyak dimensi, mulai dari individu, rumah tangga, hingga ke komunitas. Sebelumnya Otterstad et al. (1997b) dalam Symes (2000) menyatakan bahwa ketergantungan secara ekonomi (economic dependencies) lebih relevan secara langsung terhadap isu daerah perikanan.
Sedangkan variabel sosial memiliki peran dalam
penyediaan indikasi umum dari kesejahteraan sosial (social welfare) dari suatu daerah. Untuk mengklasifikasi apakah suatu daerah termasuk dalam suatu daerah perikanan atau bukan, menurut Phillipson (2000) terdapat tiga sistem indikator yang dapat digunakan, yaitu: 1)
Indikator ketergantungan perikanan (fisheries dependence indices) yang mencakup 3 komponen utama, yakni: a) Indikator ketenagakerjaan perikanan (kontribusi tenaga kerja perikanan dalam total struktur ketenagakerjaan daerah); b) indikator absolut aktivitas perikanan (indikator yang terkait langsung dengan menurunnya kinerja sektor perikanan); dan c) indikator tingkat signifikasi ekonomi dari sektor perikanan terhadap ekonomi daerah.
2)
Indikator ketergantungan ekonomi (economic dependence indices) yang meliputi indikator ketenagakerjaan wilayah, indikator ekonomi wilayah dan industri.
3)
Indikator sosial demografis yang mencakup indikator kependudukan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Penentuan daerah perikanan di Indonesia mempunyai beberapa hambatan.
Menurut Adrianto (2004), paling tidak terdapat 3 persoalan (obstacles) yang perlu
60
diperhatikan.
Pertama, tidak ada sistem data yang langsung dapat dipakai
(straightforward) untuk mengidentifikasi sebuah daerah agar dapat digolongkan sebagai daerah perikanan. Data statistik nasional misalnya belum menempatkan informasi tentang angkatan kerja perikanan dalam sebuah bentuk yang standar. Kedua, masalah level data. Data perikanan saat ini tidak standar antar level sehingga sering ditemukan ketidaksesuaian data antar level.
Secara teoritis,
identifikasi kegiatan perikanan lebih mudah dilakukan di tingkat lokal, sehingga level ketergantungan (level of dependencies) daerah tersebut mudah ditentukan walaupun tidak untuk semua kasus. Ketiga, dalam beberapa hal istilah fisheries dependence dapat menimbulkan kontradiksi. Ketika pengukuran dimaksudkan untuk mengidentifikasi peren penting dari sektor perikanan di suatu daerah, namun hasilnya cenderung tidak meyakinkan karena sektor perikanan seringkali masuk (embedded) ke dalam ekonomi lokal yang kompelks dan beragam (pluriactive). Dalam konteks ini, maka penerapan indeks batas arbitrer (arbitrary threshold index), untuk menggolongkan apakah suatu daerah bergantung secara relatif terhadap sektor perikanan atau tidak, dapat di lakukan. 2.4.2
Land rent, social rent, dan environmental rent Menurut Fetter (1977), asal kata rent atau rente berasal dari kata Bahasa
Perancis tua pada abad 12, yang diambil dari Bahasa Latin rendita dan reddita yang berarti kembali atau hasil panen.
Pada abad yang sama pula terjadi
penggunaan kata tersebut dalam Bahasa Inggris, yang nuansa artinya lebih pada kata penghasilan (revenue atau income). Dari istilah inilah kemudian muncul definisi rente menurut Alfred Marshall yang banyak digunakan oleh para ekonom, yaitu “pendapatan yang diperoleh dari penggunaan lahan dan pemberian alam lainnya”. Namun demikian, dari nuansa teknis hukum definisi yang lebih sesuai adalah: kompensasi yang diterima oleh tuan tanah untuk penyewaan tanahnya (corpus juris). Perkembangan
sejarah
menunjukkan
bahwa
definisi
rent
ternyata
berkembang terus sejalan dengan kemajuan jaman dan berbagai aktivitas yang dilakukan di suatu kawasan. Parikesit (2005) menyatakan bahwa teori awal dari penggunaan lahan berawal dari teori mikro ekonomi. Di antara para ahli, yang
61
paling signifikan berpengaruh adalah Von Thünen dengan teori lokasinya, Weber dengan model lokasi industri, Christaller dan Lösch dengan penjelasan tentang daerah pemasaran dan perencanaan geometrik untuk membentuk kawasan; serta implementasinya terhadap daerah perkotaan dijelaskan oleh Wingo dan Alonso (de la Barra 1989). Pendekatan Von Thünen dan Weber sudah dikenal umum sebagai dua paradigma yang berbeda dimana Von Thunen menggunakan paradigma land use sementara yang kedua paradigma lokasi (Stahl 1987 dikutip oleh Parikesit 1996 dalam Parikesit 2005). Von Thünen melihat bahwa lokasi perdagangan yang penting dan terlibat adalah penurunan biaya output transportasi dengan cara mendekati lokasi pasar, lawannya adalah peningkatan harga input lahan (atau barangkali juga buruh) yang terlibat dalam hal pindah lokasi. Lebih jauh, Von Thünen menyatakan bahwa land rent dirasakan sebagai pendekatan yang paling tepat sebagai sisa, bahwa land rent bukan suatu lokasi yang menentukan (kompetitif), tetapi ditetapkan sebagai suatu hasil (Parikesit 1996 dalam Parikesit 2005). Menurut Rothbard (1997), Fetter merupakan ekonom pertama yang menjelaskan tingkat bunga berdasarkan waktu.
Setiap faktor produksi
memperoleh inkamnya sesuai dengan produk marginalnya, dan setiap rente yang akan datang didiskon, atau dikapitalisasi untuk mendapatkan nilainya sekarang sesuai dengan semua tingkat sosial berdasarkan waktu. Hal ini berarti bahwa suatu perusahaan yang membeli mesin hanya akan membayar nilai saat ini untuk nilai pendapatan yang diharapkan datang di masa yang akan datang, diskon oleh tingkat sosial yang berdasarkan waktu; dan pada saat pemodal menyewa pekerja atau menyewa lahan, dia akan membayar saat ini, bukan suatu faktor produk marginal, tetapi diskon dari produk mariginal yang diharapkan dimasa yang akan datang berasal dari tingkat sosial yang berdasarkan waktu. Menurut Petrucci (2003), dalam suatu ekonomi tertutup non-altruistik, dimana lahan dianggap sebagai suatu input dan juga sebagai asset, serta lahan dan pekerja merupakan suplai yang tidak elastis, suatu pajak atas land rent dihubungkan dengan stok modal dan output per orang yang lebih tinggi dalam kondisi yang stabil. Hasil ini ditemukan oleh Feldstein tahun 1977. Model Von Thunen tentang land-rent dapat dilihat pada Gambar 2.11.
62
Rent/Cost 100 cost of fixed non-land inputs 50 30
M 20 km
distance d
50 km Gambar 2.11
Model Von Thunen tentang land-rent (Petrucci 2003)
Untuk lebih mudah mengerti tentang konsep land rent, diagram di bawah ini menjelaskan tentang kaitan antara besarnya nilai suatu kapital dengan jarak, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.12. 2 – Overlay of bid rent curve
Rent
1 - Bid rent curve
A-Retailling
B-Industry/ commerccial
C. Apartements
Gambar 2.12
City limits
Distance
D. Single houses
Konsep land rent (Anonimous 2005)
63
Gambar 2.12 bagian 1 (bid rent curve) menggambarkan toleransi dari aktivitas ekonomi terhadap rent. Dengan menumpang-tindihkan kurva dari semua aktivitas ekonomi perkotaan tersebut (bagian 2), maka pusat pemanfaatan lahan dapat
dibuat
dimana
aktivitas
bisnis
eceran
pada
lingkaran
CBD,
industri/komersial pada lingkaran berikutnya, apartemen di lingkaran berikutnya dan kemudian perumahan tunggal. Hal ini merupakan representasi suatu ruang isotropik (isotropic space). Pada kenyataannya, kombinasi antara atribut-atribut physiographic (tepi perairan, bukit, dan lain lain), sejarah (turisme) dan sosial (suku bangsa, kriminalitas, persepsi) akan mempengaruhi kurva nilai penawaran (bid rent curves) (Anonimous 2005).
Penggunaan lahan oleh karena itu
didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayar dari fungsi ekonomi yang berbeda di daerah perkotaan, seperti kawasan pedagang eceran, industri, atau pemukiman. Lokasi optimal, dimana akses adalah optimal, adalah pusat kegiatan bisnis.
Setiap aktivitas, termasuk daerah pedesaan, berkeinginan untuk
mempunyai aktivitas di sekitar pusat bisnis tersebut. Di bidang ekonomi (khususnya aktivitas produksi), lahan adalah faktor produksi yang sangat penting disamping faktor manusia dan modal (Mubyarto 1979; Northam 1975). Di bidang non ekonomi, lahan memiliki makna struktur penguasaan dan pemilikan. Lahan merupakan tempat dimana terjadi pelbagai kegiatan dengan berbagai manfaat yang akan menentukan tingkat harga dan kompetisi, terutama di daerah perkotaan dimana lahan merupakan input lokal yang langka dan apabila terjadi kapitalisasi dari manfaat nilai lahan yang kepemilikannya diberikan melalui hibah, maka dipastikan tidak akan cukup untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya alamnya (Turner 1993; Husein 1997). Pada saat suatu kota berkembang, lahan yang terpencil sekalipun mulai menunjukkan rente yang jual tinggi khususnya yang memiliki akses yang baik. Hal ini kemudian menghasilkan tingkat densitas dan produktivitas yang tinggi. Oleh karenanya, densitas dan rente mempunyai hubungan yang erat (Anonimous 2005).
Mubyarto (1979) menambahkan bahwa proses urbanisasi dan
industrialisasi merupakan faktor penting yang mendorong kenaikan sewa dan harga lahan; selain itu dengan meningkatnya jumlah penduduk maka nilai lahan
64
akan terus naik dan tidak mungkin turun, karena lahan adalah satu-satunya faktor produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia. Penurunan nilai lahan di suatu kawasan masih mungkin terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) terjadinya suatu bencana alam yang menimpa kawasan tersebut; (2) terjadi bencana dari suatu industri, contohnya kebocoran instalasi nuklir di Siberia; (3) kawasan tersebut menjadi tidak aman, baik karena faktor manusia (perselisihan atau peperangan) maupun wabah penyakit yang berlangsung lama.
Penurunan nilai lahan ini dapat berlangsung lama atau
sebentar. Menurut Husein (1997), penentuan harga lahan di Indonesia dalam banyak kasus dilakukan setelah ada usulan untuk pembebasan lahan dari si pemohon atau pengguna. Sebelum itu hampir tidak diketahui dengan pasti seberapa besar nilai tambah di daerah tersebut, meskipun seandainya harga tanah dapat dimonitor di tiap daerah. Penentuan harga lahan yang terburu-buru dan parsial, per daerah, serta belum mantapnya kerjasama secara sinergis (misalnya antara Dinas Pajak Bumi dan Bangunan dengan instansi pengatur dan pengguna lain seperti BPN, DEPTAN, dan DEPDAGRI) membuat harga lahansecara riil dan potensial belum dapat ditentukan dengan tepat.
Salah satu penyebab utama ketidakmampuan
berkoordinasi tersebut adalah karena nilai lahan yang sangat spekulatif dan subyektif yang mengandung unsur-unsur sosial-psikologis yang sangat dalam dan sulit dihitung. Suparwoko (1994) menjelaskan bahwa lahan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui, dalam arti bahwa lahan tersebut dapat ditingkatkan kesuburannya. Pemanfaatan lahan untuk berbagai macam penggunaan bertujuan untuk menghasilkan barang-barang (atau jasa) kebutuhan manusia yang terus meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Untuk tujuan tersebut seringkali pemanfaatan lahan tidak rasional dan kurang bijaksana dalam jangka pendek, sehingga kurang mempertimbangkan kelestarian sumberdaya lahan tersebut. Akibat pemanfaatan yang tidak rasional tersebut, lahan mengalami penurunan persediaan dan manusia semakin tergantung pada sumberdaya lahan yang rendah kualitasnya.
65
Fauzi (2000) menyebutkan bahwa tekanan pembangunan ekonomi yang dilakukan di negara-negara berkembang khususnya sering menimbulkan dilema bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang harus dibayar untuk suatu proses pembangunan ekonomi.
Lahan yang dikelola masyarakat
sebagai common property dapat disebut dengan open access.
Dalam istilah
ekonomi, lahan tersebut disebut extensive economic margin yang artinya bahwa pengetrapan tenaga kerja dan kapital per satuan lahan adalah sangat rendah dan jika lahannya yang open access tersebut diperluas maka economic return-nya juga sama rendahnya. Menurut Mubyarto (1972), balas jasa (return to land) yang diterima oleh lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi mempunyai kedudukan yang paling penting. Pembayaran atas jasa produksi tersebut disebut sewa lahan (rent). Suparwoko (1989) menjelaskan bahwa sewa lahan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi, yaitu merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total.
Surplus ekonomi dari
sumberdaya lahan dapat disebabkan oleh tingkat kesuburannya. Blair (1991) menyatakan bahwa rent merupakan keuntungan bagi lahan. Pengertian rent dan lahan berbeda dari definisi ekonomi. Lahan merupakan faktor alam dari produksi dan oleh karena itu suplai lahan tidak dipengaruhi oleh harga. Kuantitas lahan tidak dapat ditingkatkan sebagai respon dari harga yang meningkat atau menurun karena menurunnya harga. Lahan meliputi juga bahan bakar, sinar matahari, hujan, dan semua faktor produksi sumberdaya alam. Para ahli ekonomi sangat berhati-hati dalam membedakan antara lahan dan property. Property terdiri dari lahan dan bangunan. Rent merupakan keuntungan bagi lahan dan ditentukan oleh hubungan antara supply dan demand terhadap lahan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.13. Peningkatan harga lahan (rent) tidak diikuti dengan meningkatnya penawaran. Dengan kata lain, lahan merupakan suplai tetap, sehingga perubahan dalam permintaan akan mempengaruhi rent dan bukan kuantitas (K) dari lahan
66
tersebut. Penawaran untuk jenis lahan tertentu, seperti lahan komersial, mungkin dapat ditingkatkan dengan tekanan pasar dan oleh keputusan politik, seperti perubahan zonasi. Meskipun demikian, penambahan lahan untuk tujuan tertentu akan lebih mahal dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya (Blair 1991). Rent
Slahan
Dlahan = VMPL
Kuantitas lahan Gambar 2.13 Kurva penawaran (S) dan permintaan (D) dari lahan (Blair 1991) Permintaan lahan didasarkan atas kontribusi lahan terhadap keuntungan. Produk marjinal suatu unit lahan ekstra (MPi) merupakan output yang dihasilkan dari penggunaan suatu unit lahan ekstra dalam suatu proses produksi. Jika suatu pabrik menjual outputnya dalam suatu pasar yang kompetitif, maka akan menerima suatu harga yang konstan dari setiap unit ekstra yang dijual. Pertanian atau pabrik tidak akan mampu membayar lebih untuk penambahan lahan dibandingkan dengan nilai dari atribut output yang meningkat dari lahan tersebut. Mereka akan membayar sekecil mungkin untuk lahan ekstra.
Jika terdapat
kompetisi diantara produser, maka mereka akan menawar satu sama lain hingga rent lahan sama dengan kontribusi lahan terhadap keuntungan pabrik. Ketika suatu pabrik berjualan dalam suatu pasar yang kompetitif, harga produk tidak dipengaruhi oleh output dari pabrik. Dalam kasus ini, permintaan terhadap lahan sama dengan nilai dari produk marjinal, VMP. Jika semua input non lahan tetap konstan, nilai dari produk marjinal dapat dinyatakan sebagai harga output dikali
67
dengan produk marjinal dari unit lahan tambahan. Dalam bentuk rumus ditulis sebagai berikut: VMPi = Po x MPi dimana: VMPi = nilai produk marjinal dari unit lahan ke-I Po
= net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan
MPi
= produk marjinal dari unit lahan ke-I Fungsi VMP menyatakan kuantitas dari penggunaan lahan dalam produksi
yang meningkat karena produk marjinal dari lahan turun seperti yang dinyatakan pada hukum penurunan produktivitas marjinal.
Ketika VMP lebih besar
dibandingkan dengan market rent untuk suatu unit lahan, pabrik akan menggunakan lebih banyak lahan yang mengakibatkan pada penurunannya MP dan VMP. Nilai VMP akan menurun hingga sama dengan rental rate.
2.4.3
Metode skalogram Skalogram didasarkan pada analisis skalogram dan untuk yang lebih luas
lagi pada Rasch analisis, keduanya digunakan untuk menilai apakah suatu kelompok barang dalam keadaan konsisten, dalam arti bahwa kesemuanya mengukur sesuatu yang sama (Anonimous 1999). Jika semua barang tersebut mengukur
sesuatu
yang
sama,
maka
barang-barang
tersebut
disebut
unidimensional; yang didasarkan pada dimensi tunggal (single dimension). Biasanya, titik awalnya adalah satu kelompok barang yang salah satunya tertarik karena percaya bahwa mengukur konstruksi psikologi (inductive reasoning ability, assertiviness, irritability, ...). Oleh karena itu, barang-barang tersebut dipertimbangkan sebagai suatu definisi operasional dari satu bangunan psikologis (psychological construct). Untuk lebih jelas lagi, Harsono (2001) menyatakan bahwa metode ini digunakan untuk
menentukan peringkat pemukiman atau wilayah dan
kelembagaan atau fasilitas pelayanan, dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan hirarki wilayah. Analisis ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada
68
umumnya semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas serta jumlah jenis fasilitas pada suatu pusat pelayanan, maka semakin tinggi pula hirarki dari pusat pelayanan tersebut.
Dengan analisis ini maka akan dapat
diidentifikasi: (1) Pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang berbeda; (2)
Penentuan dari fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan
kebutuhan beragam sektor dari penduduk; dan (3)
Pengintegrasian atau
pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbeda dan penentuan dari keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan aksesibilitas dan efisiensi. Menurut Budiharsono (2001), konsep pusat pelayanan berawal dari teori yang dikembangkan oleh: (1)
Perroux tentang pusat pertumbuhan dan kutub pertumbuhan dalam ruang ekonomi;
(2)
Boudeville tentang kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan dalam dimensi geografis;
(3)
Walter Christaller dan August Losch tentang ukuran, lokasi, distribusi, dan pengelompokkan kegiatan ekonomi;
(4)
Gunnar Myrdal tentang spread-backwash effects pertumbuhan ekonomi dalam tata ruang;
(5)
Hirschman tentang trickling down dan polarization effects suatu pertumbuhan ekonomi;
(6)
Hagerstestrand den Pottier tentang difusi inovasi dalam tata ruang dan sumbu-sumbu pertumbuhan; dan
(7)
Galpin dan Kolb tentang anatomi sosial dari masyarakat pertanian (Roi dan Patil 1976). Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa konsep pusat pelayanan mempunyai beberapa asumsi, yaitu:
(1)
Penduduk didistribusikan pada berbagai ukuran pemukiman;
(2)
Penduduk mempunyai kebutuhan biofisik sama baiknya dengan kebutuhan sosial ekonomi;
69
(3)
Penduduk menggunakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia untuk kebutuhannya;
(4)
Penduduk membentuk pemukiman dalam bentuk rumah, dusun kecil, desa, dan kota serta memutuskan untuk tingkal bersama selama sumberdaya mencukupi kebutuhan mereka;
(5)
Penduduk menggunakan sumberdaya untuk kebutuhan dasar yang dibatasi atau keinginan yang terbatas;
(6)
Penduduk berpindah ke tempat lain (migrasi) untuk mencari barang-barangdan jasa yang tidak mereka dapati di pemukiman mereka.
2.4.4
Model sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan Menurut Grant et al. (1997), definisi sistem adalah:
(1)
suatu
kumpulan
komponen
fisik
yang
terorganisir
yang
saling
berhubungan dan dicirikan oleh suatu kesatuan fungsi dan terbatas; (2)
suatu kumpulan materi (bahan) yang saling berinteraksi dan sekelompok proses yang secara bersama-sama membentuk beberapa kumpulan fungsi;
(3)
suatu proses yang kompleks dan saling terkait yang dicirikan oleh banyaknya hubungan sebab akibat dan timbal balik. Pada intinya, definisi sistem yang dikemukakan oleh Grant et al. (1997)
tersebut adalah sama dengan para pendahulunya seperti yang telah dikutip oleh Damai (2003) yang mencakup Forrester (1968), Manessch dan Park (1979) dalam Eriyatno (1999), O’Connor dan McDermott (1997), dan juga Sushil (1993). Sedangkan analisis sistem dapat didefinisikan secara lebih langsung sebagai penerapan dari metoda ilmiah terhadap pemecahan yang mencakup sistem yang kompleks (Grant et al. 1997). Hal ini merupakan suatu teori dan teknik untuk mempelajari, menerangkan, dan pendugaan-pendugaan tentang sistem yang kompleks, yang sering dicirikan oleh penggunaan prosedur matematika dan statistika lanjutan serta oleh penggunaan komputer.
70
Model, adalah suatu gambaran miniatur dari suatu realita, yang dibuat sebagai sarana/alat (tool) untuk memecahkan persoalan (Jorgensen 1988). Artinya, model merupakan abstraksi dari realitas, yaitu suatu deskripsi formal dari elemen-elemen penting pada suatu masalah.
Ruth dan Hannon (1997)
menambahkan bahwa model merupakan pusat pemahaman kita terhadap alam dunia, karena melalui model dapat merepresentasikan dan memanipulasi penomena nyata, kemudian mengeksplorasi hasilnya. Deskripsi tersebut dapat berupa sesuatu yang bersifat fisik, matematik, atau bahkan kata-kata.
Dari
beberapa literatur, Jorgensen (1988) mengelompokan model menjadi: (1)
Model fisik dan model abstrak Model fisik umumnya merupakan replika fisik berukuran miniatur dari obyek yang sedang dipelajari, contohnya antara lain maket bangunan. Hal ini dimaksudkan untuk membantu para peneliti dalam memvisualisasikan apa yang dipelajari tersebut. Tentu saja model fisik pun masih merupakan abstraksi dari realitas jika dikaitkan denga definisi awal mengenai sebuah model. Model abstrak menggunakan simbol-simbol dari alat fisik untuk menggambarkan sistem yang sedang dipelajari. Salah satu contoh model abstrak adalah model matematis yang ditulis dalam bahasa matematika.
(2)
Model dinamis dan model statis Model dapat mencerminkan suatu sistem yang tetap ataupun yang berubah menurut waktu. Sebuah model statis menerangkan suatu hubungan atau sekelompok hubungan yang tidak berubah menurut waktu. Contoh umum termasuk model-model regresi yang tidak mempunyai waktu sebagai sebuah variabel bebas.
Sebuah model dinamis menerangkan suatu
hubungan yang bergantung terhadap waktu, contohnya termasuk modelmodel simulasi serta model regresi yang memasukan waktu sebagai salah satu variabel bebasnya. (3)
Model empiris (korelatif) dan model mekanistis (penjelasan). Model empiris atau korelatif dikembangkan terutama untuk menerangkan atau meringkas sekelompok hubungan tanpa menghiraukan gambaran
71
yang tepat untuk proses-proses atau mekanisme yang bekerja di dalam sistem riil pada setiap kelompoknya.
Sasarannya adalah pendugaan
(prediksi) dan bukan penjelasan. Contohnya adalah sebuah model yang menduga tingkat metabolisme suatu jenis hewan sebagai satu-satunya fungsi dari ukuran (berat atau panjang) tubuh. Dalam model jenis ini hanya keluaran metabolisme yang diukur, sedangkan proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh hewan tersebut tidak digambarkan. Model mekanistis atau model penjelasan dikembangkan terutama untuk menggambarkan dinamika internal dari suatu sistem yang dipalajari secara lebih tepat.
Sasarannya adalah diperolehnya penjelasan melalui
penggambaran mekanisme sebab akibat yang mendasari perilaku suatu sistem. Sebuah model yang mencerminkan tingkat metabolisme hewan sebagai fungsi dari ukuran tubuh, tingkat aktivitas, suhu lingkungan, angin, dan lamanya terkena oleh kondisi ambien merupakan sebuah contoh. Suatu model yang kita lihat sebagai penjelasan pada suatu tingkat detail mungkin kita lihat sebagai korelatif pada tingkat yang lebih detail lagi. Sebuah model yang menggambarkan rekruitmen populasi tahunan sebagai fungsi dari ukuran populasi terlihat sebagai model penjelasan dibandingkan dengan sebuah model yang menggambarkan rekruitmen tahunan hanya sebagai suatu konstanta yang ditentukan dengan merataratakan data historis. Namun demikian, model tersebut terlihat sebagai model korelatif dibandingkan dengan suatu model yang menghitung rekruitmen berdasarkan tingkat kelahiran individu pada umur tertentu di dalam populasi yang pada gilirannya didasarkan pada ranking sosial individu dan status gizi selama musim berkembangbiak. (4)
Model deterministik dan model stokastik Sebuah model disebut deterministik jika tidak mengandung variabel acak. Pendugaan model deterministik dibawah suatu kondisi khusus selalu persis sama hasilnya. Contoh model deterministik antara lain adalah suatu model sederhana yang dikembangkan untuk menggambarkan hubungan antara
72
kebutuhan energi suatu individu (Y, kkal/hari) terhadap suhu ambien (X, o
C), yang ditulis sebagai berikut: Y = 100 – 2X
Sebuah model disebut stokastik jika mengandung satu atau lebih variabel acak. Pendugaan model stokastik dibawah kondisi tertentu tidak selalu menghasilkan nilai dugaan yang persis sama, karena variabel acak di dalam model secara potensial dapat memberikan nilai yang berbeda setiap kali model dipecahkan.
Bentuk umum dari model kebutuhan energi
deterministik adalah sebagai berikut: Y = a-bX Dimana a dan b adalah konstanta. Model tersebut dapat diubah menjadi sebuah model stokastik dengan menggambarkan a atau b sebagai variabel acak. Andaikata b dinyatakan sebagai variabel acak yang mempunyai nilai 2,0 atau 2,5 dengan probabilitas yang sama, maka setiap dilakukan penghitungan pendugaan, harus dipilih secara acak suatu nilai untuk b dari distribusi nilai b yang ditentukan. Pemilihan model mana yang akan digunakan, apakah model deterministik atau stokastik tergantung pada tujuan khusus pembuatan model tersebut. Model deterministik umumnya lebih mudah untuk dibuat karena hanya memerlukan estimasi dari nilai-nilai konstanta; sedangkan model stokastik memerlukan persyaratan suatu distribusi lengkap dari variabel acak. Model deterministik juga lebih mudah digunakan karena pendugaan pada situasi yang diberikan hanya perlu dibuat sekali (karena selalu sama), sementara pada pendugaan model stokastik perlu dilakukan pengulangan secukupnya untuk memperoleh respon rata-rata dari situasi yang diberikan. Selain itu, model stokastik juga digunakan pada pekerjaan yang memerlukan penggambaran keragaman secara eksplisit (baik keragaman yang terkait dengan pendugaan parameter sistem ataupun keragaman yang melekat pada sistem itu sendiri); serta juga pada pekerjaan yang
73
menginginkan pembandingan secara statistik dari pendugaan model untuk berbagai situasi yang berbeda. (5)
Model simulasi dan model analitik Model-model yang dapat diselesaikan secara matematis dalam bentuk yang tertutup disebut model analitik. Model regresi, model teori baku (sebaran) statistik, dan beberapa model persamaan diferensial sederhana adalah merupakan contoh model analitik.. untuk model seperti itu, satu penyelesaian umum dapat diperoleh yang berlaku untuk semua situasi dimana model tersebut mewakili. Suatu model analitik sederhana tentang tingkat pertumbuhan populasi dalam lingkungan yang tidak terbatas (tingkat pertumbuhan eksponensial) dapat digambarkan sebagai berikut: Nt = Noert Dimana: Nt = ukuran populasi pada waktu t No = ukuran populasi awal r = tingkat intrinsik dari penambahan populasi t = waktu model-model yang tidak mempunyai penyelesaian analitik umum harus dipecahkan secara numerik dengan menggunakan satu perhitungan khusus untuk setiap kondisi tertentu. Inilah yang disebut sebagai model simulasi, sebagaimana yang digambarkan dalam adalah model-model ekologis. Sebagai contoh, suatu model yang menggambarkan dinamika populasi karena pengaruh ketergantungan densitas, hubungan kompetisi, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan, dapat disimpulkan dengan menggunakan rumus umum berikut: Nt+1 = f (Nt, Et) Dimana: Nt+1
= ukuran populasi pada waktu t + 1
74
f (Nt, Et)
= fungsi kompleks dari ukuran populasi dan kondisi lingkungan pada waktu t.
Secara filosofis, pemilihan antara model simulasi dan analitik melibatkan keputusan apakah kita mengorbankan realitas ekologi untuk memperoleh suatu model analitik atau mengorbankan kekuatan matematis untuk memasukkannya kedalam realitas ekologi yang lebih tinggi. Dari sudut aplikasi praktis, pertimbangan ini kurang menarik dan dipengaruhi terutama oleh tujuan dari pembuatan model tersebut.
Jika tingkat
ketelitian dimana sistem yang dipelajari untuk memenuhi tujuan tertentu memungkinkan digunakannya suatu model analitik, maka memang seharusnya digunakan model analitik. Tetapi jika tingkat ketelitian yang mencukupi terlalu kompleks untuk dapat disajikan dalam bentuk analitik, maka kita harus menggunakan model simulasi. Dalam hampir semua kasus manajemen sumberdaya alam dan lingkungan, penggambaran dengan model analitik tidak akan cukup, oleh karenanya perlu digunakan suatu model simuasi. Menurut Eriyatno (1999), model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya.
Dengan
menggunakan istilah-istilah yang senada, suatu model dikelompokkannya menjadi tiga, yaitu: 1)
Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal, baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik
2)
Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses.
75
3)
Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis. Contoh dari model matematis adalah persamaan antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu aliran transportasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi. Menurut Fauzi (2000), secara umum yang dikatakan model adalah suatu re-
presentasi dari realitas dunia nyata yang tampil melalui persepsi indera, sebagaimana dicantumkan dalam Gambar 2.14.
tampil melalui persepsi indera (sense)
Dunia luar Pemikir (thinker) Model dari realitas
Penampilan kembali realitas sebagai hasil dari proses berfikir Gambar 2.14. Model sebagai re-presentasi realitas dunia nyata (Fauzi 2000). Secara ringkas, Fauzi (2000) menyatakan bahwa prinsip-prinsip model dan pemodelan adalah: (1)
Model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dan dunia berfikir (thinking) untuk memecahkan masalah;
(2)
Masalah (problem) ada yang bersifat “thinkable” dan ada yang “unthinkable”;
(3)
Pemodelan (modelling) adalah berfikir (thinking) mengikuti sekuen logis; Berfikir merupakan suatu hal yang harus dipelajari. Dua katagori model yang paling umum digunakan (Fauzi 2000) yaitu:
76
(1)
Bahasa: bahasa adalah suatu model yang terdiri dari urutan (sekuen) metafor-metafor untuk menyapaikan perasaan, keinginan, dlsb. Kepada orang lain. Dengan demikian bahasa merupakan suatu sistem penyandian (encoding) pemikiran-pemikiran.
(2)
Agama: agama juga merupakan model untuk pertanyaan-pertanyaan, misalnya kenapa kita hidup, mengapa kita hidup, dlsb. Dengan
demikian
permodelan
merupakan
proses
memformulasikan, memproses, dan menampilkan kembali.
menyerap,
Hasil dari proses
berstruktur ini kita sebut sebagai model. Salah satu tool yang dapat digunakan untuk menggambarkan model adalah stella. Secara formal, model konseptual digambarkan dengan diagram kotak dan panah.
Diagram
model
seperti
ini
sangat
penting
perannya
untuk
memvisualisasikan gambaran sebenarnya serta dengan memfasilitasi komunikasi antara berbagai orang yang berbeda yang tertarik dengan sistem khusus (Grant et al. 1997). 2.5
Beberapa Hasil Penelitian yang Terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Perikanan, dan Pelabuhan. Hasil-hasil penelitian yang berupa thesis dan disertasi yang berkaitan
dengan pengelolaan wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan, ternyata belum begitu banyak. Dalam Tabel 2.3 dicantumkan judul thesis dan disertasi yang dapat diperoleh sejauh ini. Tabel 2.3. Daftar thesis/disertasi yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan di Indonesia No 1
2
NAMA PENULIS/JUDUL Yose Rizal Anwar Kajian Pengembangan Kegiatan Perikanan dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu di Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat Siti Kamarijah Analisis Dampak Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir.
JENIS/TH Thesis/ 2002
INSTITUSI PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB
Thesis/ 2003
PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB
77
Lanjutan Tabel 2.3 No 3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
NAMA PENULIS/JUDUL Urip Triyono Pengembangan Koperasi Desa Pantai untuk Menunjang Pembangunan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Eggi Sudjana Analisis Ekonomi Politik dan Hukum Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan Endang Suparti Tingkat Partisipasi Masyarakat Pengolah dalam Pengelolaan Lingkungan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan (Kasus di PHPT Muara Angke). Frans Asisi Simon Analisis Manfaat Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjungpandan terhadap Masyarakat Pesisir Kecamatan Tanjungpandan Hery Edy Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Malalui Perbankan Mikro Irwan A Strategi Pengelolaan Kualitas Perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara Sandra Dina Juliana Lintang Analisis Pemanfaatan Pesisir dalam Rangka Pengembangan Wilayah Berbasis Pelabuhan (Studi Kasus Pengembangan Pelabuhan Bitung) Asbar Laga Analisis Sistem Pengelolaan Pelabuhan Perikanan (Studi Kasus: Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere Makassar) Bambang Sasongko Pengembangan Organisasi Pengelolaan Pengembangan Kawasan Bahari Terpadu (KBT) Kabupaten Rembang Helmi Yusuf Pengaruh Pembangunan Pelabuhan Perikanan terhadap Kualitas Air dan Persepsi Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Idil Ardi Analisis Sistem Pelabuhan Perikanan di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat
JENIS/TH Thesis/ 2003
INSTITUSI PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB
Disertasi/ 2004
PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB
Thesis/ 2004
PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB
Thesis/ 2004
PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB
Disertasi/ 2004
PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB
Thesis/ 2004 Thesis/ 2004
thesis/ 2005 PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB Thesis/ 2005
Sekolah Pascasarjana ITB
Disertasi/ 2005
PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB
Disertasi/ 2005
PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB
78
Lanjutan Tabel 2.3 No 14
15
16
17
18
19
20
21
No 22
23
NAMA PENULIS/JUDUL Rofiko Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir Teluk Kelabat Kawasan Utara Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung Soebagio Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata Hengky Penerapan Konsep Ekowisata untuk Meningkatkan Daya Saing Pariwisata Pesisir di Kabupaten Pandeglang Banten. Sofyan Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan untuk Pengembangan Ekonomi Sumberdaya dan Regional Pesisir: Suatu Analisis Model Hybrid Syarifah Wirdah Analisis Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pelabuhan Sunda Kelapa DKI Jakarta Bustami Mahyuddin. Pola Pengembangan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Dhona Arianti Strategi Kebijakan Pengelolaan Kualitas Air di Pelabuhan Muara Angke Jakarta Utara Farida Hanim Analisis Kebijakan Pemanfaatan Pelabuhan dalam Kerangka Pengelolaan Lingkungan di PPS Nizam Zachman Jakarta Provinsi DKI Jakarta
JENIS/TH Disertasi/ 2005
INSTITUSI PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB
Disertasi/ 2005
PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB
Disertasi/ 2006
PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB
Disertasi/ 2006
PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB
Thesis/ 2006
PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB
NAMA PENULIS/JUDUL Slamet Subari Optimalisasi Penggunaan Lahan untuk Pengembangan Ekonomi dan Koservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Kabupaten Sidoarjo-Jawa Timur. Suaedi Rancang Bangun Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Secara Partisipatif di Kabupaten Subang
JENIS/TH INSTITUSI Disertasi/2 PS PWD 007 Sekolah Pascasarjana IPB
Disertasi/ 2007
Thesis/ 2007 Thesis/ 2007
PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB
Disertasi/2 PS PWD 007 Sekolah Pascasarjana IPB
79
Dari Tabel 2.3 tampak bahwa sebagian besar topik penelitian yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu lebih diarahkan pada analisis pengelolaan aspek sumberdaya perikanan, lingkungan kawasan pesisir, komunitas di daerah pesisir, pemerintahan, dan interaksi diantara aspek-aspek tersebut yang dilakukan di satu kawasan yang secara administratif berada dalam satu pemerintah daerah, baik satu-satu maupun gabungan dari aspek-aspek tersebut.
Sampai saat ini
belum ditemukan analisis yang diarahkan pada pengelolaan sumberdaya yang berada di bawah pemerintahan daerah yang berbeda, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.
80