2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kawasan Pesisir Menurut Bengen (2002), definisi dan batas wilayah pesisir yang digunakan di
Indonesia adalah wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir adalah estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu, berpasir, berlumpur), dan pulau-pulau kecil. Secara prinsip, ekosistem pesisir mempunyai fungsi pokok bagi kehidupan manusia yaitu penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Bengen, 2002). Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan yang dapat terjadi di kawasan pesisir juga sangat kompleks, sehingga diperlukan suatu perencanaan dan pengelolaan secara terpadu agar kegiatan pemanfaatan yang dilakukan di kawasan pesisir dapat berjalan optimal dan berkelanjutan (Dahuri et al.,2004). Estuaria Salah satu kawasan atau daerah yang termasuk dalam kawasan pesisir adalah daerah estuaria. Menurut Nybakken (1992), estuaria adalah suatu badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka, jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang surut air laut yang bercampur dengan air tawar dari buangan air daratan. Berdasarkan geomorfologi estuaria, sejah geologi daerah, dan keadaan iklim yang berbeda, maka terdapat beberapa tipe estuaria. Tipe-tipe estuaria tersebut, yaitu (Nybakken, 1992):
5
1. Estuaria daratan pesisir (coastal plain estuary). Pembentukannya terjadi akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai. Contoh estuaria daratan pesisir, yaitu di Teluk Chesapeake, Maryland dan Charleston, Carolina Selatan. 2. Estuaria tektonik. Terbentuk akibat aktivitas tektonik (gempa bumi atau letusan gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada saat pasang. Contohnya Teluk San Fransisco di California. 3. Gobah atau teluk semi tertutup. Terbentuk oleh adanya beting pasir yang terleta sejajar dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut. Contohnya di sepanjang pantai Texas dan pantai Teluk Florida. 4. Fjord merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glesier yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut. Contohnya di Alaska, Kanada, Norwegia. Menurut Nybakken (1992), estuaria juga dapat dikelompokkan berdasarkan kondisi salinitasnya yaitu estuaria positif dan estuaria negatif. Estuaria positif atau estuaria baji garam membentuk suatu kesinambungan mulai dari estuaria dengan sedikit pencampuran dan baji garam yang sangat menonjol, tidak mencolok atau menonjol, sampai homogen atau sempurna karena menghasilkan salinitas yang sama secara vertikal dari permukaan sampai ke dasar pada setiap titik. Estuaria negatif dibentuk dari air laut yang dating, masuk ke permukaan, dan sedikit mengalami pengenceran karena pencampuran dengan denga air tawar yang jumlahnya sedikit. Kecepatan penguapan pada estuaria ini tinggi sehingga air permukaan menjadi hipersalin. Kawasan Segara Anakan termasuk ke dalam tipe estuaria semi tertutup yang berupa goban atau laguna, karena letaknya di pantai selatan Jawa yang terhalang oleh Pulau Nusa Kambangan di Samudera Hindia. Laguna dalam istilah geografi, adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan hanya
6
menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan perairan laut. Sifatnya jauh lebih tertutup dibandingkan dengan teluk, apalagi selat (Sukaryanto, 2004). Daerah tertutup tersebut memiliki ekosistem mangrove yang masih cukup baik di Pulau Jawa. Menurut Nybakken (1992), estuaria merupakan daerah miskin akan flora, kecuali di daerah tropis karena adanya vegetasi mangrove. Hal ini didukung oleh melimpahnya sinar matahari yang mendorong berkembangnya vegetasi mangrove.
2.2. Ekosistem Mangrove Pengertian ekosistem mangrove Hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken 1992), sedangkan menurut Saenger et al., (1983) in Aksornkoae (1993) mendeskripsikan mangrove sebagai karakteristik formasi tanaman litoral tropis dan sub tropis di garis pantai yang terlindung. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini. Walsh (1974) in Nybakken (1992) melaporkan bahwa 60-75 persen garris pantai daerah tropik di bumi telah ditumbuhi oleh bakau, jadi peranannya sudah jelas. Gambaran yang jelas dari asosiasi mangal dibuat oleh Greeks pada tahun 325 Sebelum Masehi. Menurut Bengen (2002), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut berlumpur. Santoso (2006), menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove secara keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas : (1). Satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclusive mangrove), (2) spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non mangrove (non-exclusive mangrove), (3) biota yang berasosiasi
7
dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) prosesproses yang dalam mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut, serta (6) masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan gtergantung pada mangrove. Penyebaran dan zonasi mangrove Asosiasi mangal tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik. Mereka mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang, bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjauhkan akarnya. Pantai-pantai ini tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Mereka berkembang baik khususnya dalam daerah estuaria tropik dan mencakup daerah yang terbesar. Menurut Chapman (1977) in Suryadiputra et al., (1999), sebagian sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi. Karakteristik habitat hutan mangrove, yaitu : (Bengen 2002) a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlumpung, atau berpasir. b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang tergenang hanya pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. d. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 ‰) hingga asing (mencapai 38 ‰). e. Banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung.
8
Ada beberapa adaptasi yang dilakukan pohon mangrove, sesuai dengan kondisi lingkungannya, yaitu : (Bengen, 2002) a. Adaptasi terhadap kadar O2 yang rendah, terdapat pada bentuk perakaran tipe cakar ayam yang mempunyai pneumatophore (misalnya Avicennia spp, Xylocorpus spp, Sonneratia spp), untuk mengambil O2 dari udara daan tipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhizphora spp). b. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi, ditunjukkan dengan adanya sel-sel khusus dalam daun untuk menyimpan garam, struktur daun yang tebal dan kuat, serta banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam, dan adanya stomata khusus untuk mengurangi penguapan. c. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dilakukan dengan mengembangkan struktur akar yyang ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove terbagi atas beberapa zonasi yang palin umum yaitu : a. Daerah yang menghadap ke arah laut dari mangal Pasifik sebagian besar didominasi oleh satu atau lebih spesies Avicennia. Bagian pinggir Avicennia biasanya sempit, karena benih Avicennia tidak dapat tumbuh dengan baik pada keadaan yang teduh atau belumpur tebal yang biasanya terdapat di dalam hutan. Yang berasosiasi di dalam zona ini dan tumbuh pada bagian yang menghadap ke arah laut adalah pohonpohon dari genus Sonneratia, yang tumbuh pada daerah yang senantiasa basah b. Di belakang pinggiran Avcennia terdapat zona Rhizophora, yang didominasi oleh satu atau lebih spesies Rhizphora. Pohon-pohon ini adalah komunitas mangal yang paling khas karena mempunyai akar tunggang yang melengkung yang mengakibatkan daerah ini sukar ditembus manusia. Spesies Rhizophora sering kali tinggi dan berkembang pada daerah intertidal yang luas, dari tingkat tergenang
9
pada setiap pasang naik sampai daerah yang tergenang hanya pasang purnama tertinggi. c. Di depan yang menghadap ke daratan, zona berikutnya adalah zona Brugueira. Pohon-pohon genus Brugueira berkembang pada sedimen yang lebih berat (tanah liat) pada tingkat air pasang purnama yang tinggi. d. Zona mangal yang terakhir, yang kadang-kadang adanya, adalah zona Ceriops, suatu asosiasi dari semak yang kecil-kecil. Bila ada, maka ini adalah zona yang variabel dan kenyataannya dapat bergabung dengan pohon-pohon dari zona Bruguiera. Sukardjo (1984) in Yuniar (2000) menyatakan bahwa setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya, diantaranya tanah, genangan air pasang, salinitas, erosi perubahan lahan pesisir, fisiografi, kondisi sungai dan aktivitas manusia. Pada tepi-tepi laut yang ombaknya relatif tenang, umumnya tumbuh dengan lebat jenis api-api (Avicennia spp) dan bakau (Rhizophora spp) yang perakarannyamembantu menstabiilkan wilayah pantai. Zonasi dapat juga diputuskan oleh kondisi lokal seperti penguapan air dari tanah yang mengakibatkan terjadi hipersalinitas. Hipersalin cenderung mematikan bakau, membentuk daerah gundul. Perkembangan maksimal hutan bakau ditemukan pada daerah-daerah dengan curah hujan tinggi atau pada daerahdaerah di mana sungai-sungai memberikan air tawar yang cukup untuk mencegah perkembangan kondisi hipersalin. Zonasi juga dibatasi oleh gerakan pasang-surut. Bila kisaran pasang kecil, maka zona intertidal juga terbatas, seperti halnya hutanhutan bakau. Kebanyakan hutan-hutan yang luas berkembang pada pantai-pantai yang mempunyai kisaran pasang-surut vertikal yang besar (Nybakken 1992). Hutan Mangrove di Segara Anakan Kawasan Segara Anakan Cilacap merupakan mangrove terluas di Pulau Jawa yang masih tersisa. Ekosistem mangrove ini selain cukup luas juga mempunyai ciriciri atau kekhasan tersendiri yang berbeda dengan formasi mangrove di Pantai Utara Jawa yang umumnya berbentuk deretan vegetasi tipis membujur searah
10
dengan garis pantai. Daerah hutan mangrove Segara Anakan ini terbentang di daratan estuaria mlai dari sebelah barat dengan batas muara Sungai Citandui ke timur dengan batas Sungai Donan. Lebar hutan mangrove ini ke arah daratan mencapai beberapa kilometer, dan berbatasan dengan daerah persawahan. Luas keseluruhan Segara Anakan (termasuk hutan mangrove, goba serta batang-batang sungai) meliputi meliputi 24.000 ha (Hardjosuworno et al., 1982) sedangkan menurut Napitupulu dan Ramu (1982) luas seluruh goba Segara Anakan dan lingkungannya 32.000 ha. Menurut Haditenejo dan Abas (1982), 22.512 ha yang pada tahun 1942 masih berupa tegakan hutan yang baik telah berkurang menjadi 20.621 ha. Kemudian pada tahun 1982 luas hutan mangrove tersebut tinggal 14.000 ha, yang terdiri dari hutan yang rusak, tanaman muda, dan jenisjenis yang ridak ekonomis penting. Dan sekarang luas hutan mangrove di Segara Anakan telah mencapai 8.506. Itupun merupakan tanaman mangrove muda, karena ada upaya penghijauan terus-menerus yang dilakukan berbagai pihak. Sedangkan hutan mangrove dengan batang kayu yang besar sudah habis ditebang warga. Beberapa spesies mangrove yang dapat ditemukan di Segara Anakan adalah Rhizophora mucronata, R. Conjugate, Bruguiera gymnorhiza, B. Parviflora, Ceriops candoleana, C. Roxburghiana, xylocarpus granatum, X. Molluccensis, Avicennia officinalis, A. Marina, Sonneratia alba, S. Ovata, S. Acida, Aegiceras corniculatum, Cynomerta ramiflora, Pit hacellobium umbellatum, Heritiera littoralis, Cerbera manghas,dan
Nypha fruticans serta tumbuhan lain yang berasosiasi dengan
tumbuhan mangrove seperti Acrostichum aureu, Acanthus ilicofilius dan Derris heterophylla (Silvius dan Eva 1990). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove (Annisa 2004) : a. Gangguan fisik-mekanis 1. Abrasi pantai atau pinggir sungai 2. Sedimentasi dengan laju tak terkendali 3. Banjir yang menyebabkan melimpahnya air tawar
11
4. Gempa bumi (tsunami) 5. Konversi mangrove untuk pemukiman, industri, pertanian, pertambangan, sarana angkutan, dan penggunaan lahan non kehutanan. b. Gangguan kimia 1. Pencemaran air, tanah, dan udara 2. Hujan asam c. Gangguan biologis 1. Invasi Acrostichum aureum (piay) dan jenis semak belukar lainnya Fungsi Mangrove Secara garis besar fungsi mangrove mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Menurut dahuri et al.,(2004) fungsi ekologis dari mangrove diantaranya, perakarannya yang kokoh memiliki kemampuan untuk merendam pengaruh gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantao dari erosi, gelombang pasang dan angin taufan. Hutan mangrove juga merupakan daerah mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa hewan perairan seperti udang, ikan, dan kerang-kerangan. Manfaat sosial ekonomi hutan mangrove bagi masyrakat sekitarnya adalah sebagai sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan turunannya, antara lain kayu bakar, arang, bahan bangunan, obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin dan tempat rekreasi. Kawasan Segara Anakan sebagai daerah ekosistem mangrove yang unik dan khas memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata mangrove.
2.3. Ekowisata Pesisir Kawasan pesisir selain mempunyai sumberdaya alam yang sangat tinggi, di beberapa daerah pesisir juga memiliki nilai estetika dan keunikan yang tinggi, sehingga cocok untuk dikembangkan menjadi wisata. Kegiatan wisata yang dapat
12
dilakukan di daerah pesisir seperti memancing, diving,surfing, dan juga dengan mengunjungi ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun, dan juga terumbu karang.
2.3.1. Konsep dan prinsip pengembangan ekowisata Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan (Fandeli & Muchlison 2000). Menurut The Ecotourism Society (Eplerwood 1999 in Fandelli 2001), menyebutkan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu: 1) Mencegah dan menanggulangi dari aktivitas wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan budaya 2) Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. 3) Pendapatan langsung untuk kawasan Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. 4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan
pengembangan
ekowisata.
Demikian
pula
di
dalam
pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. 5) Meningkatkan penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. 6) Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk
13
pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. 7) Menjaga daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. 8) Meningkatkan devisa buat pemerintah. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.
2.3.2. Ekowisata berbasis masyarakat Pada masa lalu, pertimbangan dan perhatian tentang dampak sosial ekonomi industri pariwisata terhadap masyarakat lokal atau setempat sangat kurang. Soal distribusi pendapatan dan kekayaan juga kurang disadari. Kemampuan masyarakat lokal untuk mengontrol pengembangan pariwisata agak lemah karena pengembangan pariwisata sendiri sangat pesat dan massal (Spillane 1994). Partisipasi harus meberdayakan masyarakat untuk menjadi salah satu penentu tahapan-tahapan proyek, namun sekaligus juga membelajarkan mereka untuk memiliki tanggungjawab maupun komitmen dan hasil maupun resiko yang mungkin dicapai melalui proyek (Damanik dan Weber 2006). Masyarakat tidak dapat dipisahkan dari bagian pembangunan karena selain elemen pemerintah, masyarakat di kawasan ekowisata juga memiliki peranan besar karena dengan mengikutsertakan dalam ekowisata akan memberaikan dampak postitif. Dari segi lingkungan dan ekonomi, jika masyarakat lokal tidak dilibatkan sumberdaya dipastikkan akan rusak dan nilai jual kawasan beserta investasinya akan hilang. Selain itu munculnya partisipasi masyarakat tradisional dalam mempelajari, mendiskusikan dan membuat strategi untuk mengontrol atau
14
memperoleh kontrol dalam proses pembuatan keputusan untuk pembangunan dianggap sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan pariwisata yang selama ini terjadi. Namun sebelum benar-benar memberdayakan masyarakat lokal dalam ekowisata, penting dilakukan sosialisasi tentang konsep ekowisata yang sesuai sekaligus pendamping terhadap masyarakat dalam merancang ekowisata di wilayahnya (Fandeli, 2001). Selain itu strategi melibatkan peran serta masyarakat setempat juga bertujuan untuk (Gunawan 1995): 1. Menginformasikan kepada penduduk setempat tentang apa yang akan terjadi dan menjaga dialog dengan mereka. 2. Menghargai pendapat dan melibatkan masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan. 3. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan tabiat pariwisata/industri pariwisata serta dampaknya terhadap daerah setempat. 4. Mendorong hubungan antara wisatawan dengan penduduk setempat. 5. Melindungi masyarakat setempat dari dampak negatif kegiatan ekowisata.
2.3.3. Atraksi/kegiatan ekowisata mangrove Salah satu daerah yang dapat menjadi tujuan kegaitan ekowisata adalah ekosistem mangrove. Nilai estetika, pendidikan dan penelitian serta potensi keragaman hayati merupakan alasan ekosistem mangrove layak dijadikan tujuan wisata. Wahab (1988) in Harahap (2004), menyatakan penawaran pariwisata dapat berupa alamiah atau buatan manusia, yaitu : a. Sumber-sumber alamiah 1. Iklim : udara lembut, bersinar matahari, kering dan bersih 2. Tata letak tanah dan pemandangan alam : daratan, pegunungan yang berpanorama indah, danau, sungai, pantai bentuk-bentuk yang unik pemandangan yang indah, air terjun, daerah gunung berapi, gua, dan lain-lain.
15
3. Unsur rimba : hutan-hutan lebat, pohon-pohon langka, dan sebagainya. 4. Flora dan fauna : tumbuhan unik, memancing, berburu, bersafari foto binatang buas dan liannya. 5. Pusat-pusat kesehatan : sumber air mineral, kolam lumpur, dan sebagainya b. Hasil karya buatan manusia 1. Yang berciri sejarah, budaya, dan agama : monumen-monumen dan peninggalan bersejarah, tempat-tempat budaya, biara-biara keagamaan dan sebagainya. 2. Prasarana-prasarana : prasarana rumah(rumah sakit, pusat-pusat perbelanjaan dan kantor pemerintahan), prsarana wisata (tempat-tempat
rekreasi
dan
olahraga,
tempat-tempat
penginapan wisata dan lain-lain) 3. Sarana pencapaian dan alat transportasi penunjang 4. Sarana pelengkap seperti jalan tracking untuk memudahkan wisata, dan juga perahu. 5. Pola hidup masyarakat yang sudah menjadi salah satu khasanah wisata yang sangat penting. Seperti upacara adat yang unik dan langka Ekowisata mangrove termasuk ke dalam wisata alam, dan suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut : 1.
Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem, gejala alam serta formasi geologi yang menarik.
2.
Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
3.
Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
16
Kegiatan ekowisata mangrove ini dapat menjadi salah satu alternatif yang efektif untuk menanggulangi permasalahan lingkungan di ekosistem mangrove seperti tingkat eksploitasi yang berlebihan oleh masyarakat dengan menciptakan alternatif ekonomi bagi masyarakat, sehingga akan menumbuhkan rasa memiliki pada masyarakat yang dapat mendukung keberadaan ekosistem mangrove tersebut (Lamakarate 2004). Pengelolaan Kegiatan Ekowisata Mangrove Suatu kegiatan yang dilakukan tentunya memerlukan pengelolaan yang baik, agar kegiatan tersebut dapat berlangsung secara terus menerus. Begitu juga dengan kegiatan ekowista di kawasan ekosistem mangrove di Segara Anakan. Diperlukan suatu pengelolaan yang terencana agar kegiatan ekowisata yang dilakukan di ekosistem mangrove tersebut tidak merusak ekosistem tersebut. Wisatawan saat ini sangat peka terhadap permasalahan lingkungan. Menyesuaikan dengan kondisi positif ini, konsep-konsep pariwisata dikembangkan sehingga timbul inovasi-inovasi baru dalam kepariwisataan. Salah satu konsep pariwisata yang sedang marak ialah ekowisata, dengan berbagai teknik pengelolaan seperti pengelolaan sumber daya pesisir yang berbasiskan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu, dimana dalam konsep pengelolaan ini melibatkan seluruh stakeholder yang kemudian menetapkan prioritas–prioritas. Dengan berpedoman tujuan utama, yaitu tercapainya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Konsep ekowisata ini dinilai cocok untuk dikembangkan di Indonesia, dengan beberapa alasan yang melandasinya, pertama; Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan ekowisata bertumpu pada sumberdaya alam dan budaya sebagai atraksi. Namun disisi lain Indonesia juga mengalami ancaman terbesar dari degradasi keanekaragaman hayati baik darat maupun laut, sehingga memerlukan startegi yang tepat dan alat/sarana yang tepat pula, guna melibatkan kepedulian banyak pihak, untuk menekan laju kerusakan alam. Kedua pelibatan masyarakat, konsep ini cocok untuk mengubah kesalahan-kesalahan dalam konsep pengelolaan
pariwisata
terdahulu,
yang
lebih
bersifat
komersial
dan
17
memarginalisasikan masyarakat setempat, serta mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Namun lebih dari itu, demi keberhasilan usaha ini tidak semua kawasan
yang
memiliki
mangrove
memiliki
potensi
pariwisata
untuk
dikembangkan, yang mana dapat ditentukan atas faktor-faktor berikut: 1. Lokasi harus memenuhi kategori seperti keunikan dan dapat dijangkau 2. Perencanaan ekowisata dan persiapan oleh masyarakat untuk menjalankan ekowisata sebagai usaha bersama, 3. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan kegiatan ekowisata, 4. Interpretasi atas alam dan budaya yang baik, 5. Kemampuan untuk mencipakan rasa nyaman, aman kepada wisatawan, dan juga usaha pembelajaran kepada wisatawan, 6. Menjalin hubungan kerja yang berkelanjutan kepada pemerintah dan organisasi-organisasi lain yang terlibat. Dilemanya ialah kegiatan pariwisata tidak melulu menghasilkan hal-hal yang indah atau ideal, bahkan sangat sering hal-hal negatif dalam lingkungan dan masyarakat karena kegiatan pariwisata yang terlalu intensif dan secara bersamaan tidak terkelola dengan baik, dan akhirnya membunuh sumber daya yang melahirkan pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dengan memperhatikan lingkungan, masyarakat dan pergerakan perekonomian yang terjadi sebelum dan selama ekowisata dijalankan. Ekowisata mampu memberikan kontribusi secara langsung melalui konservasi, yang berupa penambahan dana untuk menyokong kegiatan konservasi dan
pengelolaan
lingkungan,
termasuk
didalamnya
penelitian
untuk
pengembangan. Selain itu, pengunjung/wisatawan membantu dalam usaha perlindungan dengan memberikan informasi atas kegiatan ilegal dan membantu dalam memformulasikan semacam “buku petunjuk” pengunjung selama melakukan kunjungan atau berwisata. Sedangkan kontribusi ekowisata secara tidak langsung melalui konservasi berupa meningkatnya kesadaran publik terhadap konservasi pada tingkat lokal,
18
nasional bahkan internasional. selain itu, pendidikan konservasi selama berwisata menjadi bagian pengalaman yang terbentuk selama wisatawan ber-ekowisata, yaitu dengan melibatkan wisatawan secara langsung terhadap kegiatan pelestarian sekaligus meningkatkan kualitas produk ekowisata yang ditawarkan.