2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, ke
arah daratan meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sendimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Soegiarto, 1984; Beatley et al., 1994). Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa “Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut”; sedangkan “Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna”. Sumberdaya alam pesisir dan laut, dewasa ini sudah semakin disadari banyak orang bahwa sumberdaya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Di sisi lain, konsekuensi logis dari sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum (open acces) maka pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut dewasa ini semakin meningkat di hampir semua wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung melebih daya dukung sumberdaya (over exploitation). Ghofar
(2004),
mengatakan
bahwa
perkembangan
eksploitasi
sumberdaya alam laut dan pesisir dewasa ini (penangkapan, budidaya, dan ekstraksi bahan-bahan untuk keperluan medis) telah menjadi suatu bidang kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar (market driven) terutama jenisjenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mendorong eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dalam skala dan intensitas yang cukup besar. Sedangkan menurut Purwanto (2003), mengatakan bahwa ketersediaan stok sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris hilang dari perairan Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan
14
jumlah armada penangkapan, penggunaan alat dan teknik serta teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Secara ideal pemanfaatan sumberdaya
ikan
dan
lingkungan
hidupnya
harus
mampu
menjamin
keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha perikanan pantai yang ekonomis dan produktif. Keberlanjutan fungsi ekologis akan menjamin eksistensi sumberdaya serta lingkungan hidup ikan (Anggoro, 2004). Wilayah
pesisir
memiliki
nilai
ekonomi
tinggi,
namun
terancam
keberlanjutannya. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan terpadu pada hakekatnya
adalah
suatu
proses
pengontrolan
tindakan
manusia
atau
masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono, 2000). Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan (Bengen, 2004). Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosialekonomi-budaya
dan
aspirasi
masyarakat
pengguna
wilayah
pesisir
(stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. Dalam dimensi keterpaduan ICM (Integrated Coastal Management atau pengelolaan secara terpadu) meliputi lima aspek, yaitu (a) keterpaduan sektor, yaitu antara berbagai sektor pembangunan di wilayah pesisir, seperti perikanan (budidaya), pariwisata, pertambangan migas, perhubungan dan pelabuhan, pemukiman, pertanian pantai; (b) keterpaduan wilayah/ekologis, yaitu antara daratan dan perairan (laut) yang masuk dalam suatu sistem ekologis, (c) keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintah, yaitu dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder yang terdapat di wilayah pesisir dan juga adanya keterpaduan antara pemerintah pada berbagai level, seperti pusat, propinsi, dan kabupaten; (d) keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu, yaitu dengan
15
melibatkan berbagai disiplin ilmu terkait dengan pesisir dan lautan, seperti ilmu sosial-budaya, fisika, biologi, keteknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan; (e) keterpaduan antar negara, yaitu kerja sama dan koordinasi antar negara dalam mengelola sumberdaya pesisir, terutama yang menyangkut kepentingan seluruh umat manusia (Cincin-Sain, 1993). 2.2
Strategi Pengembangan Wilayah
2.2.1
Pengembangan Wilayah dalam perspektif Development from Below Pendekatan konsep pengembangan wilayah yang berbasis pada
kekuatan ekonomi dan sumber daya lokal, merupakan suatu respon terhadap pendekatan
yang
bersifat
top-down.
Mekanisme
pola
ketergantungan
(dependency) serta struktur hubungan produksi dan distribusi yang berbeda antara core dan periphery, yang sangat kontras dengan pemikiran sistem integrasi pusat-pusat dalam suatu lingkup sistem jaringan, tidak memungkinkan terjadinya proses „penjalaran‟ atau yang dikenal dengan trickling down effects. Berkaitan dengan dependency serta distorsi yang terjadi antara wilayah core dan periphery (kesenjangan wilayah), Myrdall (1957), Hirschman (1958), dan Friedmann (1966), mengatakan bahwa ekonomi wilayah yang terintregasi dan terkait dengan basis ekonomi dunia yang tidak seimbang akan menimbulkan dua kecenderungan fenomena. Pertama, aktivitas pembangunan yang mengarah pada gejala polarisasi atau backwash effect. Kedua, leakages atas pemanfaatan sumber daya vital suatu wilayah untuk kepentingan metropolis (core atau leading region) maupun negara lain. Permasalahan juga ditekankan pada kesulitan untuk menstimulasi keterkaitan ekonomi antara industri-industri di pusat dengan daerah belakangnya, serta ketimpangan oportunitas yang dimiliki dalam segi skala ekonomi, potensi perubahan struktur sumber daya manusia dan teknologi oleh core dan periphery. Gejala yang umum terjadi adalah mobilitas kapital, tenaga kerja dan sumber daya terakumulasi di kutub-kutub pertumbuhan (growth pole) sementara akibat pengaruh leakages eksternal maupun internal yang terjadi, wilayah periphery makin tertinggal. Bertolak dari konsepsi pemikiran bahwa leakages atas proses produksi lokal akan meminimisasi pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, teori “development from below” mensyaratkan adanya suatu tahapan dalam internalisasi sumber daya untuk menghasilkan produk bagi pemenuhan konsumsi masyarakat lokal, misalnya melalui cara pengembangan industri padat karya skala kecil, atau secara ekstrim dapat dikatakan melakukan perubahan di dalam
16
institusi dan keterkaitan hubungan struktur ekonomi. Hal ini didukung pendapat Hirschman (1958), bahwa pengembangan wilayah atas suatu periphery hanya dapat dilakukan dengan melindunginya dari pengaruh polarisasi wilayah. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi wilayah, usaha internalisasi yang dilakukan dalam bentuk komponen elemen-elemen produksi (sumber daya maupun investasi) dimaksudkan untuk memaksimalkan efek mulitiplier lokal terhadap sektor-sektor perekonomian wilayah melalui kontrol backwash effects yang terjadi dengan bertumpu pada karakter dasar wilayah tersebut. Proses internalisasi potensi lokal wilayah merupakan awal bagaimana suatu wilayah dapat berkembang. Menurut perspektif teori ini, terdapat berbagai strategi pendekatan pengembangan wilayah, yaitu pendekatan pengembangan territorial, fungsional, dan pendekatan minapolitan. Secara umum pendekatanpendekatan
tersebut
memfokuskan
pada
upaya
melepaskan
diri
dari
ketergantungan terhadap wilayah pusat. Pendekatan-pendekatan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah saat ini, yakni kebijakan pengembangan ekonomi dan pembiayaan usaha kelautan dan perikanan (Kemenko Ekonomi, 2010) yang tertulis dalam strategi utama pembangunan 2010-2014, dimana pembangunan harus berdimensi kewilayahan (pengklasteran) dan ditopang oleh penguatan ekonomi lokal. Berikutnya akan dibahas mengenai pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan melalui sistem pengklasteran (minapolitan). 2.2.2
Konsep Pengembangan Minapolitan Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang penting
bagi hajat hidup masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, industri di sektor perikanan memiliki keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnya. Ketiga, industri perikanan berbasis sumberdaya lokal atau dikenal dengan istilah resources-based industries dan keempat, Indonesia memiliki keunggulan
(comparative
advantage)
yang
tinggi
di
sektor
perikanan
sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber daya ikannya. Dengan potensi tersebut sumber daya perikanan sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif untuk menjadi sektor unggulan. Walaupun sektor perikanan memiliki peran dan potensi sebagai prime mover ekonomi nasional, akan tetapi sampai saat ini peran dan potensi tersebut masih terabaikan dan belum teroptimalkan dengan
17
baik. Keunggulan komparatif yang kita miliki belum mampu untuk kita transformasikan menjadi keunggulan kompetitif. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya kinerja sektor ekonomi berbasis perikanan serta munculnya berbagai permasalahan yang membutuhkan sebuah penanganan yang cepat dan tepat. Beberapa permasalahan yang sering dihadapi seperti biaya produksi yang
masih
tinggi,
lemahnya
permodalan,
lemahnya
kemampuan
pembudidayaan ikan, baik benih, pakan, penyakit, pengelolaan lingkungan budidaya dan penanganan pasca panen. Selain itu dengan semakin terbukanya pasar pada masing-masing negara menjadi tantangan bagi pembangunan perikanan
nasional.
Bila
permasalahan-permasalahan
tersebut
tidak
ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin dapat menghambat peningkatan daya saing sektor perikanan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster. Di beberapa negara, industri yang berbasis klaster telah terbukti mampu menunjukkan kemampuannya secara berkesinambungan dalam menembus pasar. Strategi klaster menawarkan upaya pembangunan ekonomi yang lebih efektif dan komprehensif. Strategi ini memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat antara berbagai stakeholders yang terkait dengan sektor perikanan. Pendekatan klaster dalam pengembangan sumberdaya perikanan (selanjutnya disebut klaster minapolitan) dapat diartikan sebagai suatu bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu (Porter, 2000). Upaya ini dilakukan guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas dengan menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu komoditi. Bentuk pemusatan yang dilakukan adalah dimana dalam suatu kawasan
tersedia
subsistem-subsistem
dalam
agribisnis
perikanan
dari
subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang. Adanya pemusatan aktivitas tersebut dapat mengurangi biaya-biaya terutama biaya transportasi antar subsistem yang terfokus pada komoditas perikanan tersebut. Efisiensi dan efektifitas yang diciptakan, dengan sendirinya akan mampu meningkatkan daya saing produk perikanan baik pada skala domestik maupun internasional. Dalam mengembangkan klaster perikanan (minapolitan), berbagai aspek baik dari subsistem hulu, subsistem hilir maupun jasa penunjang haruslah saling mendukung satu sama lainnya (Friedmann, 1966). Klaster Minapolitan yang baik dicirikan oleh tingginya tingkat keterkaitan berbagai kegiatan yang saling
18
mendukung antara satu pelaku dengan pelaku yang lain. Oleh karena itu untuk mencapai tingkat keberhasilan, beberapa faktor kunci yang harus diperhatikan dalam klaster minapolitan antara lain : pertama, tercipta kemitraan dan jaringan (networking) yang baik. Tercipta kemitraan dan jaringan yang ditandai adanya kerjasama antar perusahaan merupakan hal yang sangat penting karena tidak hanya untuk memperoleh sumber daya, namun juga dalam hal fleksibilitas, dan proses pembelajaran bersama antar perusahaan. Fleksibilitas akan tercipta misalnya dalam hal penentuan jumlah produksi, sedangkan proses pembelajaran bersama, misalnya dalam transfer dan penyebaran teknologi yang dapat meningkatkan keahlian pelaku perusahaan yang ada dalam klaster. Kedua, adanya inovasi, riset dan pengembangan. Inovasi secara umum berkenaan dengan pengembangan produk atau proses, sedangkan riset dan pengembangan berkenaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, tersedianya sumber daya manusia (tenaga kerja) yang handal. Produktivitas SDM merupakan salah suatu indikator keberhasilan dari sebuah klaster. Dengan SDM yang handal dan memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, maka keberadaan kapital maupun kelembagaan dapat dijalankan dengan baik. Ilustrasi tentang pentingnya peran SDM dan kewirausahaan dapat diwakili oleh Negara Singapura dan Jepang. Negara ini mengalami keterbatasan SDA dibandingkan Indonesia namun memiliki SDM yang berkualitas, sehingga kapital dan aturanaturan yang mereka ciptakan dapat menempatkan negara tersebut pada jajaran negara-negara maju. Disamping ketiga faktor tersebut tingkat keberhasilan klaster minapolitan juga ditentukan oleh penentuan lokasi klaster. Penentuan lokasi merupakan keputusan yang didasarkan pada perpaduan dari berbagai faktor yang mempengaruhi seperti ketersediaan sumberdaya (input), biaya transportasi, harga faktor lokal, kemungkinan produksi dan substitusi, struktur pasar, kompetisi dan informasi. Pendekatan klaster minapolitan merupakan suatu strategi yang dapat digunakan dalam meningkatkan daya saing sumber daya perikanan. Untuk mendukung strategi tersebut beberapa hal yang harus diupayakan antara lain pertama, terpenuhinya kebutuhan dasar sebuah klaster seperti terciptanya stabilitas ekonomi makro yang mantap, iklim investasi yang kondusif, dan terjaminnya penyelenggaraan hukum yang efisien dan dapat dipercaya. Kedua, peningkatan kompetensi SDM dari masing-masing pelaku dalam klaster hendaknya dilakukan dengan cara pengembangan keterampilan dan kecakapan
19
baik
melalui
pelatihan
maupun
kegiatan
produktif
lainnya.
Ketiga,
mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan. Adanya kelembagaan tersebut akan mampu meningkatkan akses pelaku terhadap informasi terkait dengan permodalan, teknologi dan inovasi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja klaster. Keempat, diperlukan identifikasi dan pemetaan karakterisasi wilayah dalam menentukan lokasi untuk klaster perikanan. Penentuan lokasi klaster tersebut merupakan keputusan yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas. Bila beberapa hal di atas dapat tercipta dengan baik, niscaya klaster minapolitan dapat berkembang dengan baik dan dengan sendirinya daya saing sumber daya perikanan dapat meningkat baik itu di dalam negeri maupun internasional. Pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat adalah salah satu penyebab meningkatnya kebutuhan produk perikanan. Sementara pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan budidaya laut merupakan alternatif yang cukup memberikan harapan. Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia yang memiliki 81.000 km garis pantai dan penduduk yang telah terbiasa dengan budaya pantai dengan segala pernik-perniknya. Kegiatan budidaya laut dan pantai berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun. Dasar hukum minapolitan adalah Permen KKP No.12 tahun 2010 tentang minapolitan, dan Kepmen KKP No.32 tahun 2010 tentang penetapan kawasan minapolitan. Minapolitan adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi, berkualitas dan percepatan, sedangkan kawasan minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan/atau kegiatan pendukung lainnya. Tujuan dari minapolitan adalah untuk (a) meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk kelautan dan perikanan; (b) meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan
20
pengolah ikan yang adil dan merata; dan (c) mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah. Sedangkan karakteristik kawasan minapolitan meliputi : (a) Suatu kawasan ekonomi yang terdiri atas sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran dan kegiatan usaha lainnya, seperti jasa dan perdagangan; (b) Mempunyai sarana dan prasarana sebagai pendukung
aktivitas ekonomi;
(c)
Menampung
dan
mempekerjakan sumberdaya manusia di dalam kawasan dan daerah sekitarnya; dan (d) Mempunyai dampak positif terhadap perekonomian di daerah sekitarnya. Persyaratan kawasan minapolitan adalah : (a) kesesuaian dengan Rencana Strategis, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) kabupaten/kota, serta Rencana Pengembangan Investasi Jangka Menengah Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan; (b) memiliki komoditas unggulan di bidang kelautan dan perikanan dengan nilai ekonomi tinggi; (c) letak geografi kawasan yang strategis dan secara alami memenuhi persyaratan untuk pengembangan produk unggulan kelautan dan perikanan; (d) terdapat unit produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran dan jaringan usaha yang aktif berproduksi, mengolah dan/atau memasarkan yang terkonsentrasi di suatu lokasi dan mempunyai mata rantai produksi pengolahan, dan/atau pemasaran yang saling terkait; (e) tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesibilitas terhadap pasar, permodalan, sarana dan prasarana produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran, keberadaan lembaga-lembaga usaha, dan fasilitas penyuluhan dan pelatihan; (f) kelayakan lingkungan diukur berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, potensi dampak negatif, dan potensi terjadinya kerusakan di lokasi di masa depan; (g) komitmen daerah, berupa kontribusi pembiayaan, personil, dan fasilitas pengelolaan dan pengembangan minapolitan; (h) keberadaan kelembagaan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan; dan (i) ketersediaan data dan informasi tentang kondisi dan potensi kawasan. 2.3
Budidaya Laut di Kabupaten Kupang Sumberdaya perikanan di perairan NTT dapat diklasifikasikan menjadi
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Khusus perikanan budidaya laut termasuk budidaya kerapu, rumput laut, mutiara dan teripang dengan potensi pengembangan sekitar 12.187 ha dan tingkat pemanfaatan baru mencapai 12,97% (1.580 ha) dan sebagian besar hasil potensi yang ada masih dikelola
21
secara tradisional karena keterbatasan sarana, pengetahuan dan modal. Berikut ini adalah penjabaran jenis, proses dan konstruksi budidaya laut yang diteliti di Kabupaten Kupang. 2.3.1
Budidaya Keramba Jaring Apung Dalam analisis kelayakan usaha budidaya keramba jaring apung (KJA) di
Kabupaten Kupang, dipilih ikan kerapu sebagai obyek/komoditi yang akan dikaji. Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang suka hidup di perairan karang, di antara celah-celah karang atau di dalam gua di dasar perairan. Ikan karnivora yang tergolong kurang aktif ini relatif mudah dibudidayakan, karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi. Untuk memenuhi permintaan akan ikan kerapu yang terus meningkat, tidak dapat dipenuhi dari hasil penangkapan sehingga usaha budidaya merupakan salah satu peluang usaha yang masih sangat terbuka luas. Dikenal tiga jenis ikan kerapu yaitu kerapu tikus, kerapu macan, dan kerapu lumpur yang telah tersedia dan dikuasai teknologinya. Dari ketiga jenis ikan kerapu di atas, untuk pengembangan di Kabupaten Kupang ini disarankan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Hal ini karena harga per kg jauh lebih mahal dibandingkan dengan kedua jenis lainnya. Di Indonesia, kerapu tikus ini dikenal juga sebagai kerapu bebek atau di dunia perdagangan internasional mendapat julukan sebagai panther fish karena di sekujur tubuhnya dihiasi bintikbintik kecil bulat berwarna hitam. a. Penyebaran dan Habitat Daerah penyebaran kerapu tikus di Afrika Timur sampai Pasifik Barat Daya. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru, dan Ambon. Salah satu indikator adanya ikan kerapu adalah perairan karang. Indonesia memiliki perairan karang yang cukup luas sehingga potensi sumberdaya ikan kerapunya sangat besar. Dalam siklus hidupnya, pada umumnya kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m. Telur dan larvanya bersifat pelagis, sedangkan kerapu muda dan dewasa bersifat demersal. Habitat favorit larva dan kerapu tikus muda adalah perairan pantai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun. Parameterparameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu temperatur antara 24–310C, salinitas antara 30-33 gr/kg, kandungan oksigen terlarut > 3,5
22
mg/l dan pH antara 7,8–8. Perairan dengan kondisi seperti ini, pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang.
b. Proses Budidaya Budidaya ikan kerapu tikus ini, dapat dilakukan dengan menggunakan bak semen atau pun dengan menggunakan KJA. Untuk keperluan studi ini, dipilih budidaya dengan menggunakan KJA. Budidaya ikan kerapu dalam KJA akan berhasil dengan baik (tumbuh cepat dan kelangsungan hidup tinggi) apabila pemilihan jenis ikan yang dibudidayakan, ukuran benih yang ditebar dan kepadatan tebaran sesuai. Kriteria benih kerapu yang baik, adalah : ukurannya seragam, bebas penyakit, gerakan berenang tenang serta tidak membuat gerakan yang tidak beraturan atau gelisah tetapi akan bergerak aktif bila ditangkap, respon terhadap pakan baik, warna sisik cerah, mata terang, sisik dan sirip lengkap serta tidak cacat tubuh. Proses penebaran benih sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup benih. Sebelum ditebarkan, perlu diadaptasikan terlebih dahulu pada kondisi lingkungan budidaya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam adaptasi ini, adalah : (a) waktu penebaran (sebaiknya pagi atau sore hari, atau saat cuaca teduh), (b) sifat kanibalisme yang cenderung meningkat pada kepadatan yang tinggi, dan (c) aklimatisasi, terutama suhu dan salinitas. Benih ikan kerapu ukuran panjang 4–5 cm dari hasil tangkapan maupun dari hasil pembenihan, didederkan terlebih dahulu dalam jaring nylon berukuran 1,5 m x 3 m x3 m dengan kepadatan ± 500 ekor. Sebulan kemudian, dilakuan grading (pemilahan ukuran) dan pergantian jaring. Ukuran jaringnya tetap, hanya kepadatannya 250 ekor per jaring sampai mencapai ukuran glondongan (20–25 cm atau 100 gr). Setelah itu dipindahkan ke jaring besar ukuran 3 m x 3 m x 3 m dengan kepadatan optimum 500 ekor untuk kemudian dipindahkan ke dalam keramba pembesaran sampai mencapai ukuran konsumsi (500 gr). Biaya pakan merupakan biaya operasional terbesar dalam budidaya ikan kerapu dalam KJA. Oleh karena itu, pemilihan jenis pakan harus benar-benar tepat dengan mempertimbangkan kualitas nutrisi, selera ikan dan harganya. Pemberian pakan diusahakan untuk ditebar seluas mungkin, sehingga setiap ikan memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan pakan. Pada tahap pendederan, pakan diberikan secara ad libitum (sampai kenyang), sedangkan untuk pembesaran adalah 8%-10% dari total berat badan per hari.
23
Pemberian pakan sebaiknya pada pagi dan sore hari. Pakan alami dari ikan kerapu adalah ikan rucah (potongan ikan) dari jenis ikan tembang, dan lemuru. Benih kerapu yang baru ditebardapat diberi pakan pelet komersial. Untuk jumlah 1000 ekor ikan dapat diberikan 100 gr pelet per hari. Setelah ± 3-4 hari, pelet dapat dicampur dengan ikan rucah. Jenis hama yang potensial mengganggu usaha budidaya ikan kerapu dalam KJA adalah ikan buntal, burung, dan penyu. Sedang, jenis penyakit infeksi yang sering menyerang ikan kerapu adalah : (a) penyakit akibat serangan parasit, seperti : parasit crustacea dan flatworm, (b) penyakit akibat protozoa, seperti : cryptocariniasis dan broollynelliasis, (c) penyakit akibat jamur (fungi), seperti : saprolegniasis dan ichthyosporidosis, (d) penyakit akibat serangan bakteri, (e) penyakit akibat serangan virus, yaitu VNN (Viral Neorotic Nerveus). Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas ikan kerapu yang dibudidayakan dengan KJA, antara lain : penentuan waktu panen, peralatan panen, teknik panen, serta penanganan pasca panen. Watu panen, biasanya ditentukan oleh ukuran permintaan pasar. Ukuran super biasanya berukuran 500 gr – 1000 gr dan merupakan ukuran yang mempunyai nilai jual tinggi. Panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari sehingga dapat mengurangi stress ikan pada saat panen. Peralatan yang digunakan pada saat panen, berupa : scoop, keranjang, timbangan, alat tulis, perahu, bak pengangkut dan peralatan aerasi. Teknik pemanenan yang dilakukan pada usaha budidaya ikan kerapu dalam KJA dengan metoda panen selektif dan panen total. Panen selektif adalah pemanenan terhadap ikan yang sudah mencapai ukuran tertentu sesuai keinginan pasar terutama pada saat harga tinggi, sedangkan panen total adalah pemanenan secara keseluruhan yang biasanya dilakukan bila permintaan pasar sangat besar atau ukuran ikan seluruhnya sudah memenuhi kriteria jual. Penanganan pasca panen yang utama adalah masalah pengangkutan sampai di tempat tujuan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar kesegaran ikan tetap dalam kondisi baik. Ini dilakukan dengan dua cara yaitu pengangkutan terbuka dan pengangkutan tertutup. Pengangkutan terbuka digunakan untuk jarak angkut dekat atau dengan jalan darat yang waktu angkutnya maksimal hanya 7 jam. Wadah angkutnya berupa drum plastik atau fiberglass yang sudah diisi air laut sebanyak ½ sampai ⅔ bagian wadah sesuai jumlah ikan. Suhu laut diusahakan
tetap
konstan
selama
perjalanan
yaitu
19-210C.
Selama
24
pengangkutan air perlu diberi aerasi. Kepadatan ikan sekitar 50 kg per wadah. Cara pengangkutan yang umum digunakan adalah dengan pengangkutan tertutup dan umumnya untuk pengangkutan dengan pesawat udara. Untuk itu, 1 kemasan untuk 1 ekor ikan dengan berat rata-rata 500 gr. c. Konstruksi Keramba Jaring Apung Untuk pembuatan rakit keramba, diperlukan rakit dapat dibuat dari bahan kayu, bambu atau besi yang dilapisi anti karat. Ukuran bingkai rakit biasanya 6 m x 6 m atau 8 m x 8 m. Untuk mengapungkan satu unit rakit, diperlukan pelampung yang berasal dari bahan drum bekas atau drum plastik bervolume 200 ltr, styreofoam dan drum fiberglass. Kebutuhan pelampung untuk satu unit rakit ukuran 6 m x 6 m yang dibagi 4 bagian diperlukan 8-9 buah pelampung dan 12 buah pelampung untuk rakit berukuran 8 m x 8 m. Bahan pengikat rakit bambu dapat digunakan kawat berdiameter 4-5 mm atau tali plastik polyetheline. Rakit yang terbuat dari kayu dan besi, pengikatannya menggunakan baut. Untuk mengikat pelampung ke bingkai rakit digunakan tali PE berdiameter 4-6 mm. Untuk menahan rakit agar tidak terbawa arus air, digunakan jangkar yang terbuat dari besi atau semen blok. Berat dan bentuk jangkar disesuaikan dengan kondisi perairan setempat. Kebutuhan jangkar per unit keramba minimal 4 buah dengan berat 25-50 kg yang peletakannya dibuat sedemikian rupa sehingga rakit tetap pada posisinya. Tali jangkar yang digunakan adalah tali plastik/PE berdiameter 0,5–1,0 inchi dengan panjang minimal 2 kali kedalaman perairan. Pembuatan jaring kantong, digunakan jaring yang dipergunakan dalam usaha budidaya ikan kerapu, sebaiknya terdiri dari dua bagian, yaitu : (a) kantong jaring luar yang berfungsi sebagai pelindung ikan dari serangan ikanikan buas dan hewan air lainnya. Ukuran kantong dan lebar mata jaring untuk kantong jaring luar lenih besar dari kantong jaring dalam; (b) kantong jaring dalam, yang dipergunakan sebagai tempat memelihara ikan. Ukurannya bervariasi
dengan
pertimbangan
banyaknya
ikan
yang
dipelihara
dan
kemudahan dalam penanganan dan perawatannya. Pemberat berfungsi untuk menahan arus dan menjaga jaring agar tetap simetris. Pemberat yang terbuat dari batu, timah atau beton dengan berat 2–5 kg per buah, dipasang pada tiaptiap sudut keramba/ jaring. Konstruksi keramba jaring apung untuk ikan kerapu dapat dilihat pada Lampiran 1.
25
d. Analisis Pasar Potensi dan peluang pasar hasil laut dan ikan cukup baik. Pada tahun 1994, impor dunia hasil perikanan sekitar 52,49 juta ton. Indonesia termasuk peringkat ke-9 untuk ekspor ikan dunia. Permintaan ikan pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 105 juta ton. Disamping itu, peluang dan potensi pasar dalam negeri juga masih baik. Total konsumsi ikan dalam negeri tahun 2001 sekitar 46 juta ton dengan konsumsi rata-rata 21,71 kg/kepala/tahun. Dengan elastisitas harga 1,06 berarti permintaan akan ikan tidak akan banyak berubah dengan adanya perubahan harga ikan. Tingkat konsumsi ikan bagi penduduk NTT pada tahun 2004 mencapai sekitar 17,14 kg/kapita yang baru mencapai sekitar 68,56% dari standar konsumsi ikan nasional yaitu 25 kg. Negara yang menjadi tujuan ekspor ikan kerapu adalah Hongkong, Taiwan, China, dan Jepang. Harga ikan kerapu di tingkat pembudidaya untuk tujuan ekspor telah mencapai US$33 per kg. Ikan kerapu yang berukuran kecil (4-5 cm) sebagai ikan hias laku dijual dengan harga Rp7.000,00 per ekor sedang untuk ikan konsumsi dengan ukuran 400-600 gr/ekor laku dijual dengan harga Rp70.000,00 per kg untuk kerapu macan dan Rp300.000,00 per kg untuk kerapu bebek atau kerapu tikus (harga tahun 2001). Dalam analisis ini, tingkat harga jual digunakan harga pasaran saat ini yaitu sebesar Rp317.000,00 per kg untuk kerapu tikus. Dengan tingginya permintaan dan harga jual ikan kerapu, maka usaha budidaya ikan kerapu ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan devisa negara melalui hasil ekspor. 2.3.2
Budidaya Rumput Laut Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun
1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan dan usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai (Ditjenkan, 2005). Pengembangan budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif pemberdayaan masyarakat pesisir yang mempunyai keunggulan dalam hal : (1) produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, (2) tersedianya lahan untuk budidaya yang cukup luas serta (3) mudahnya teknologi budidaya yang diperlukan. Rumput laut merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong dalam divisio thallophyta. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang
26
dikenal dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacammacam ada yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (dua-dua terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung
zat
kapur
(calcareous),
lunak
bagaikan
tulang
rawan
(cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Soegiarto et al., 1978). Sejak tahun 1986 sampai sekarang jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Kepulauan Seribu adalah jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii ini juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii. Menurut Dawes dalam Kadi dan Atmadja (1988) bahwa secara taksonomi rumput laut jenis Eucheuma dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieriaceae Genus : Eucheuma Spesies : Eucheuma cottonii Genus Eucheuma merupakan istilah popular di bidang niaga untuk jenis rumput laut penghasil karaginan. Nama istilah ini resmi bagi spesies Eucheuma yang ditentukan berdasarkan kajian filogenetis dan tipe karaginan yang terkandung di dalamnya. Jenis Eucheuma ini juga dikenal dengan Kappaphycus (Doty, 1987). Ciri-ciri Eucheuma cottonii adalah thallus dan cabang-cabangnya berbentuk silindris atau pipih, percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk melindungi gametan. Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu atau hijau kuning. Spina Eucheuma cottonii tidak teratur menutupi thallus dan cabang-cabangnya. Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abau-abu atau merah. Penampakan thallus bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks (Ditjenkan Budidaya, 2004). Secara umum di Indonesia, budidaya rumput laut dilakukan dalam tiga metode penanaman berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan.
27
Ketiga budidaya tersebut adalah metode dasar (bottom method), metode lepas dasar (off-bottom method), dan metode apung (floating method)/longline. Namun dalam penelitian ini, metode longline yang dipakai oleh nelayan/pembudidaya di Kabupaten Kupang. Metode tali panjang (long line method) pada prinsipnya hampir sama dengan metode rakit tetapi tidak menggunakan bambu sebagai rakit, tetapi menggunakan tali plastik dan botol aqua bekas sebagai pelampungnya. Metode ini dimasyarakatkan karena selain lebih ekonomis juga bisa diterapkan di perairan yang agak dalam. Keuntungan metode ini antara lain: (1) tanaman cukup menerima sinar rnatahari, (2) tanaman lebih tahan terhadap perubahan kualitas air, (3) terbebas dari hama yang biasanya menyerang dari dasar perairan, (4) pertumbuhannya lebih cepat, (5) cara kerjanya lebih mudah, (6) biayanya lebih murah, dan (7) kualitas rumput laut yang dihasilkan baik. Saat ini para petani/nelayan di perairan NTT umumnya mengembangkan usaha budidaya rumput laut Eucheuma sp. dengan metode tali panjang, dan tentunya metode ini dapat diterapkan dan dikembangkan oleh petani/nelayan di wilayah lain di Indonesia. Persiapan pembuatan kontruksinya yang meliputi persiapan lahan dan peralatan sebagai berikut : pada budidaya rumput laut metode tali panjang biasanya dilakukan dengan menggunakan tali PE. Ada 4 (empat) nomor jenis tali PE yang digunakan yaitu tali induk (PE 10 mm), tali jangkar (PE 8 mm), tali bentangan (PE 5 mm) dan tali ris simpul (PE 2 mm). Untuk metode tali panjang (longline) digunakan tali PE 10 mm sepanjang 100 m yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar. Setiap 25 m diberi tali PE 8 mm sebagai tali bantu jangkar pada setiap sisi dan pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam.
diberi
Konstruksi
rumput laut dengan sistem longline dapat dilihat pada Lampiran 1. Tali bentangan diberi floatting ball (pelampung botol aqua 600 ml) dan pada setiap jarak 10 m. Tali bentang PE 5 mm sepanjang 30 m terdiri dari 120 titik simpul tali ris PE 2 mm dan jarak antara tali simpul ris setiap rumpun ± 25 cm. Untuk pemilihan bibit, dipilih bibit rumput laut yang bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat bercak, tidak terkelupas, dan warna spesifik cerah, umur hari dan berat bibit 200 gr per rumpun; sedangkan untuk penanganan bibit, bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan. Saat mengangkut bibit sebaiknya bibit tetap terendam di dalam air laut atau dimasukkan ke dalam kotak karton berlapis plastik. Bibit
28
disusun berlapis dan berselang-seling yang dibatasi dengan lapisan kapas atau kain yang sudah dibasahi air laut. Agar bibit tetap baik, simpan di dalam keranjang atau jaring dengan ukuran mata jaring kecil dan harus dijaga agar tidak terkena minyak, kehujanan maupun kekeringan. Sebelum dilakukan penanaman, dilakukan pengikatan bibit pada tali simpul ris PE berdiameter 2 mm yang terdapat pada tali ris bentang PE berdiameter 5 mm. Sebaiknya pengikatan bibit dilakukan ditempat terlindung agar bibit yang akan ditanam tetap dalam kondisi segar. Penanaman bisa langsung dikerjakan dengan cara merentangkan tali ris bentang PE berdiameter 5 mm yang telah berisi ikatan bibit tanaman yang diikat pada tali ris utama PE berdiameter 10 mm. Posisi tanaman sekitar 30 cm di atas dasar perairan (perkirakan pada saat surut terendah masih tetap terendam air). Pemeliharaan rumput laut dilakukan dengan cara membersihkan tanaman dari tumbuhan dan lumpur yang mengganggu, sehingga tidak menghalangi tanaman dari sinar matahari dan mendapatkan makanan. Jika ada sampah yang menempel, angkat tali perlahan, agar sampah-sampah yang menyangkut bisa larut kembali. Jika ada tali bentangan yang lepas ikatannya, sudah lapuk atau putus, segera diperbaiki dengan cara megencangkan ikatan atau mengganti dengan tali baru. Pemanenan rumput laut sangat tergantung dari tujuannya. Jika tujuan memanen untuk mendapatkan rumput laut kering kualitas tinggi dengan kandungan karaginan banyak, panen dilakukan pada umur 45 hari (umur ideal), sedangkan untuk tujuan mendapatkan bibit yang baik, pemanenan rumput laut dilakukan pada umur 25–35 hari. Pemanenan budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan dua cara : (1) memotong sebagian tanaman. Cara ini bisa menghemat tali pengikat bibit, namun perlu waktu lama, dan (2) mengangkat seluruh tanaman. Cara ini memerlukan waktu kerja yang singkat. Pelepasan tanaman dari tali dilakukan di darat dengan cara memotong tali. 2.3.3
Budidaya Tiram Mutiara Mutiara merupakan salah satu komoditas dari sektor kelautan yang
bernilai ekonomi tinggi dan memiliki prospek pengembangan usaha di masa datang. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya peminat perhiasan mutiara dan harganya yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Potensi mutiara dari Indonesia yang diperdagangkan di pasar dunia sangat berpotensi untuk ditingkatkan. Saat ini Indonesia baru memberikan porsi 26% dari
29
kebutuhan di pasar dunia, dan angka ini masih dapat untuk ditingkatkan sampai 50%.
Sumber
daya
kelautan
Indonesia
masih
memungkinkan
untuk
dikembangkan, baik dilihat dari ketersediaan areal budidaya, tenaga kerja yang dibutuhkan, maupun kebutuhan akan peralatan pendukung budidaya mutiara. Mutiara yang dibudidayakan di Indonesia, terutama di Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Lampung, Irian Jaya, Sulawesi, dan Halmahera merupakan jenis kerang Pinctada Maxima atau di pasaran internasional dikenal dengan Mutiara Laut Selatan (MLS) atau south sea pearl. Tiram muda jenis Pinctada Maxima mempunyai warna cangkang bervariasi dengan warna dasar kuning pucat, kuning tua, cokelat kemerahan, merah anggur, dan kehijauan. Pada cangkang bagian luar, terdapat garis-garis radier yang menonjol seperti sisik yang berwarna lebih terang daripada warna dasar cangkang. Perusahaan pembudidayaan mutiara di NTT adalah PT. Timor Outsuki Mutiara (TOM) yang bertempat di Kupang. Hal yang terpenting dalam usaha budidaya mutiara adalah ketepatan dalam pemilihan lokasi. Lokasi budidaya kerang mutiara hendaknya berada di perairan atau pantai yang memiliki arus tenang dan terlindung dari pengaruh angin musim, selain itu kualitas air disekitar budidaya kerang mutiara harus terbebas dari polusi atau pencemaran serta jauh dari perumahan penduduk, karena polusi dan pencemaran dapat mengakibatkan kegagalan usaha. Lokasi yang sesuai adalah berupa teluk dan pulau-pulau kecil yang tenang. Dasar perairan yang memiliki karang atau berpasir merupakan lokasi yang baik untuk melakukan budidaya kerang. Kondisi suhu yang baik untuk kerang adalah berkisar antara 25-30oC dan suhu air berkisar antara 27-31oC. Perubahan kondisi suhu yang drastis dapat mengakibatkan kematian spat karena suhu air menentukan pola metabolisme. Untuk memulai usaha budidaya kerang mutiara memang dibutuhkan investasi yang relatif besar, paling tidak 750 juta rupiah sampai 1 miliar rupiah untuk 10.000 jumlah tiram yang dibudidayakan. Bank memberikan kredit untuk perusahaan (misalnya PT), dan tidak untuk kelompok, apalagi secara individu. Kredit yang diberikan oleh bank biasanya digunakan untuk investasi sebesar 70% dan untuk modal kerja sebesar 30%. Selain itu biasanya bank tidak mensyaratkan adanya bantuan teknis yang berkaitan dengan usaha budidaya mutiara dari dinas terkait, misalnya DKP. Fasilitas produksi dan peralatan utama yang dibutuhkan untuk budidaya tiram mutiara (Lampiran 1) ini adalah :
30
1. Rakit Pemeliharaan Rakit apung selain sebagai tempat pemeliharaan induk, pendederan, dan pembesaran, juga berfungsi sebagai tempat aklimatisasi (beradaptasi) induk pasca pengangkutan. Bahan rakit dapat dibuat dari kayu berukuran 7 m x 7 m. selain kayu, bahan rakit dapat pula terbuat dari bambu, pipa paralon, besi, ataupun alumunium. Bahan pembuat ini disesuaikan dengan anggaran, ketersediaan bahan, dan umur ekonomis. Untuk menjaga agar rakit tetap terapung, digunakan pelampung seperti pelampung yang terbuat dari styrofoam, drum plastik, dan drum besi. Agar rakit tetap kokoh, maka sambungan sambungan kayu diikat dengan kawat galvanizir. Apabila kayu berbentuk persegi, maka sambungan dapat menggunakan baut. Pemasangan rakit hendaknya dilakukan pada saat air pasang tertinggi dan diusahakan searah dengan arus air atau sejajar dengan garis pantai. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan rakit apabila terjadi gelombang besar. Agar rakit tetap berada pada posisi semula, maka rakit diberi jangkar berupa pemberat yang terbuat dari semen seberat 50-60 kg. Tali jangkar yang digunakan antara 4-5 kali kedalaman tempat. 2. Keranjang Pemeliharaan Induk Keranjang pemeliharaan induk bisa terbuat dari kawat galvanizir, plastik, atau kawat alumunium. Jika menggunakan bahan dari kawat, sebaiknya keranjang dilapisi atau dicelupkan dengan bahan plastik atau aspal sehingga daya tahan keranjang tersebut lebih lama. Ukuran keranjang 25 cm x 25cm x 60 cm. Ukuran ini dapat bervariasi, tergantung ukuran induk, ketersediaan bahan, biaya, dan kemudahan penanganannya. Satu keranjang pemeliharaan dapat diisi dengan induk ukuran dorso ventral 17-20 cm (DVM) sebanyak 8-10 ekor. Untuk pendederan atau pemeliharaan spat yang baru dipindahkan dari hatchery, digunakan keranjang jaring ukuran 40 cm x 60 cm. Untuk spat ukuran 2-3 cm dipelihara dalam keranjang dengan lebar jaring ukuran 0,5-1 cm. Lebar mata jaring yang digunakan disesuaikan dengan ukuran spat. Semakin besar ukuran spat, maka digunakan jaring dengan mata jaring yang lebih besar pula agar sirkulasi air dapat terjaga dengan baik. 3. Spat Kolektor Bahan yang digunakan untuk tempat penempelan spat atau sebagai substrat disebut kolektor. Spat kolektor dapat terbuat dari berbagai jenis bahan,
31
misalnya serabut tali PE, senar plastik, paranet, asbes gelombang, genteng fiber, atau bilah pipa paralon. Jika terbuat dari bahan paranet, serabut tali, atau bahan lain berbentuk serabut, maka harus digunakan kantong untuk meletakkan bahan tersebut. Keranjang jaring dengan kerangka besi atau kawat ukuran 40 cm x 60 cm juga dapat digunakan sebagai wadah kolektor. Potongan paranet atau serabut tali dimasukkan ke dalam kantong-kantong jaring dan diikat erat. Pipa paralon juga dapat digunakan sebagai kolektor. Caranya pipa paralon berdiameter 2-3 inci dipotong sepanjang 30-50 cm, lalu dibelah menjadi dua. Selanjutnya belahan pipa tersebut dijalin dengan tali PE (berdiameter 3-5 mm) sepanjang 40-50 cm. 4. Bak Pencucian Bak pencucian digunakan untuk membersihkan tiram mutiara dari organisma dan parasit lain yang menempel pada tiram mutiara. Organisma dan parasit yang menempel di kulit tiram akan mengakibatkan lambatnya pertumbuhan tiram mutiara. Bak pencucian biasanya terbuat dari fiberglass, tetapi ada juga bak pencucian ini terbuat dari bahan lain yang awet, seperti dari semen, plastik dan bahan lainnya. Bila dilihat dari umur ekonomisnya, masing-masing peralatan memiliki umur ekonomi relatif pendek, terutama untuk keranjang jaring, keranjang kawat, tali tambang, pelampung jalur tambang, dan spat kolektor. Hal ini dikarenakan peralatan dan fasilitas tersebut rentan terhadap korosi air laut. Bahan baku yang dibutuhkan untuk budidaya mutiara ini ada dua macam, yaitu : (1) spat (benih) tiram mutiara jenis Pinctada maxima; dan (2) inti bundar (nukleus) . Kedua jenis bahan baku ini merupakan bahan baku utama yang harus ada dalam proses budidaya tiram mutiara. Inti bundar atau nukleus merupakan benda yang disuntikkan kedalam tiram untuk menghasilkan mutiara. Tenaga kerja untuk budidaya mutiara ini harus memiliki keahlian khusus, terutama untuk melakukan operasi penyuntikan nukleus kedalam tiram mutiara. Ketidaktepatan dalam penempatan nukleus akan mengakibatkan kegagalan panen karena nukleus yang sudah dimasukkan akan dimuntahkan kembali. Untuk tenaga kerja lain, seperti tenaga kerja untuk perawatan tiram mutiara dan tenaga kerja untuk keamanan tidak memerlukan keahlian khusus. Jumlah tenaga kerja untuk keamanan relatif banyak karena budidaya ini rentan terhadap perampokan dan pencurian.
32
Teknologi yang digunakan pada budidaya tiram mutiara ini merupakan kombinasi antara teknologi sederhana dan teknologi modern. Teknologi sederhana yang digunakan dalam budidaya mutiara ini adalah penggunaan fasilitas rakit apung, sedangkan teknologi modern yang digunakan adalah bioteknologi untuk perawatan tiram dari spat sampai tiram siap untuk dioperasi. Teknologi operasi peletakan nukleus pada kerang yang telah cukup umur (ukuran minimal 9 cm) sangatlah rumit dan kompleks. Untuk pengoperasian ini digunakan tenaga kerja asing yang sebagian besar berasal dari Jepang. Proses budidaya tiram mutiara secara garis besar melalui tiga tahapan, yaitu: pengoperasian tiram, pemeliharaan, dan panen. Untuk proses produksi usaha budidaya mutiara ini, spat yang berukuran 700 mµ dipelihara dan dibersihkan, serta diseleksi untuk dibudidayakan. Setelah tiram diseleksi, maka tahap selanjutnya adalah memasukkannya kedalam kolektor. Isi satu kolektor untuk ukuran ini adalah 200-300 buah. Spat yang dipelihara tersebut akan dipelihara selama 2 bulan. Setelah 2 bulan, maka spat akan bertambah menjadi 2-3 cm. Dalam jangka waktu tersebut, ukuran masing-masing tiram tidak selalu sama. Langkah selanjutnya adalah memasukkan tiram ukuran 2-3 cm tersebut kedalam waring (net) yang berisi 20 buah. Tiram mutiara yang telah dipelihara dalam kurun waktu tersebut akan siap dioperasi apabila ukuran minimalnya 9 cm. Rata rata pertumbuhan tergantung pada suhu dan kondisi air. Apabila kondisi air berkurang, maka tiram kemungkinan tidak terjadi pertumbuhan. Setelah satu setengah tahun dioperasi maka tiram sudah dapat menghasilkan mutiara yang siap untuk diperdagangkan. (1) Pengoperasian Tiram Mutiara Cara pemasangan inti mutiara bulat pada tiram mutiara yang telah terbuka cangkangnya, dengan menempatkannya dalam penjepit dengan posisi bagian anterior menghadap ke pemasang inti. Setelah posisi organ bagian dalam terlihat jelas, dibuat sayatan mulai dari pangkal kaki menuju gonad dengan hatihati. Kemudian dengan graft carrier masukkan graft tissue (potongan mantel) ke dalam torehan yang dibuat. Inti dimasukkan dengan nucleus carrier secara hatihati sejalur dengan masuknya mantel dan penempatannya harus bersinggungan dengan mantel, setelah pemasangan inti selesai, tiram mutiara dipelihara dalam keranjang pemeliharaan. Untuk pemasangan inti mutiara setengah bulat (blister), tiram mutiara yang telah terbuka cangkangnya diletakkan dalam penjepit dengan posisi bagian ventral menghadap arah pemasang inti. Inti mutiara blister
33
bentuknya setengah bundar, jantung atau tetes air. Diameter inti mutiara blister berkisar 1-2 cm. Setelah itu sibakkan mantel yang menutupi cangkang dengan spatula, sehingga cangkang bagian dalam (nacre) terlihat jelas. Inti mutiara blister yang telah diberi lem/perekat dengan alat blister carrier ditempatkan pada posisi yang dikehendaki; minimal 3 mm di atas otot adducator. Setelah cangkang bagian atas diisi inti mutiara blister, kemudian tiram mutiara dibalik untuk pemasangan inti cangkang yang satunya. Diusahakan pemasangan inti ini tidak saling bersinggungan bila cangkang menutup. Satu ekor tiram mutiara dapat dipasangi inti mutiara blister sebanyak 8-12 buah, dimana setiap belahan cangkang dipasangi 4-6 buah, setelah pemasangan inti mutiara blister selesai, tiram mutiara dipelihara dalam keranjang pemeliharaan di laut. (2) Proses Pemeliharaan Tiram mutiara yang dipasangi inti mutiara bulat perlu dilakukan pengaturan posisi pada waktu awal pemeliharaan, agar inti tidak dimuntahkan keluar. Disamping itu tempat dimasukkan inti pada saat operasi harus tetap berada dibagian atas. Pemeriksaan inti dengan sinar-X dilakukan setelah tiram mutiara dipelihara selama 2 sampai 3 bulan, dengan maksud untuk mengetahui apabila
inti
yang
dipasang
dimuntahkan
atau
tetap
pada
tempatnya.
Pembersihan cangkang tiram mutiara dan keranjang pemeliharaannya harus dilakukan secara berkala; tergantung dari kecepatan/kelimpahan organisme penempel. (3) Panen Waktu yang dibutuhkan dari setelah dioperasi (nukleus dimasukkan kedalam kerang) sampai dengan masa panen adalah 1,5 tahun. Jadi jangka waktu dari mulai spat sampai dengan panen dibutuhkan waktu kurang lebih tiga tahun. Dalam satu tahun dapat dilakukan 2-3 kali operasi sehingga dalam satu tahun dapat dipanen lebih dari satu kali. Setelah kerang menghasilkan mutiara, maka kerang dewasa tersebut dapat dioperasi lagi sebanyak 2-3 kali, dengan setiap masa panen menunggu jangka waktu 1 tahun. Jumlah produksi mutiara tergantung pada jumlah kerang yang sudah dioperasi. Setiap kerang akan menghasilkan satu butir mutiara seberat antara 2,5-3 gr. Risiko kegagalan dari budidaya ini cukup tinggi, yaitu rata-rata 30%. Artinya dari 10.000 kerang yang dipelihara dan dioperasi, 3.000 diantaranya
34
akan mati atau gagal panen. Dengan cara pembudidayaan yang benar, maka jenis mutiara yang dihasilkan dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu : round (bundar sempurna), semi round (agak bundar), drop (bentuk tetesan air), oval (lonjong), dan barok (bentuk tidak beraturan). Mutiara yang dihasilkan sangat tergantung dari teknik menyuntik dan kondisi alam selama proses penyuntikan sampai dengan panen. Kapasitas produksi optimum tergantung pada jumlah blok yang dimiliki, setiap blok biasanya berukuran lebar 10 m dan panjang rentang tali 100 m. Untuk setiap blok terdapat 11 buah rentang tali yang berjarak masing-masing 1 m. Rata-rata jarak antar blok 10-15 m dan sangat tergantung pada ketersediaan lokasi. Jumlah kerang berukuran 10 cm yang siap dioperasi sekitar 10% dari jumlah seluruh kerang yang dimiliki. Kerang besar dimasukkan ke dalam kantung jaring berbingkai besi dengan ukuran 40 cm x 70 cm untuk 8-12 kerang. Pengusaha mutiara mengalami kesulitan karena mutiara yang dihasilkan pada satu musim panen tidak seragam baik keseragaman bentuk maupun keseragaman kualitas. Selain itu risiko keamanan dari pencurian dan perampokan merupakan kendala produksi yang seringkali mengakibatkan kerugian sampai miliaran rupiah, bahkan kebangkrutan. 2.3.4
Budidaya Teripang Ketimun laut atau teripang atau trepang adalah istilah yang diberikan
untuk hewan invertebrata timun laut (Holothuroidea) yang dapat dimakan. Teripang tersebar luas di lingkungan laut diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam terutama di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Barat, diberi nama “sea cucumber” karena bentuknya seperti ketimun. Kelompok hewan ini adalah sea cucumbers atau holothurians (disebut holothurians karena hewan ini dimasukkan dalam kelas Holothuroidea). Kelompok timun laut yang ada di dunia ini lebih dari 1200 jenis, dan sekitar 30 jenis di antaranya adalah kelompok teripang. Teripang adalah hewan yang bergerak lambat, hidup pada dasar substrat pasir, lumpur pasiran maupun dalam lingkungan terumbu. Teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan di terumbu karang dan ekosistem asosiasinya pada berbagai tingkat struktur pakan (trophic levels). Teripang berperan penting sebagai pemakan deposit (deposite feeder) dan pemakan suspensi (suspention feeder). Di wilayah Indo-Pasifik, pada daerah terumbu yang tidak mengalami tekanan eksploitasi, kepadatan teripang bisa lebih dari 35 ekor per m2, dimana setiap individunya bisa memproses 80 gr berat
35
kering sedimen setiap harinya (Rustam, 2006). Beberapa spesies teripang yang mempunyai nilai ekonomis penting diantaranya: teripang putih (Holothuria scabra), teripang koro (Microthele nobelis), teripang pandan (Theenota ananas), teripang dongnga (Stichopu ssp) dan beberapa jenis teripang lainnya (DKP, 2006). Filum : Echinodermata Sub-filum : Echinozoa Kelas : Rhodophyceae Sub-kelas : Aspidochirotacea Ordo : Aspidochirotda Famili : Holothuridae Genus : Holothuria Spesies : Holothuria scabra Pemilihan Lokasi Untuk mendapatkan lokasi budidaya teripang yang baik diperlukan pemilihan lokasi budidaya. Kegiatan tersebut merupakan salah satu syarat yang cukup menentukan untuk mencapai keberhasilan suatu usaha budidaya teripang. Hal ini disebabkah lokasi atau tempat pemeliharaan teripang adalah tempat yang secara langsung mempengaruhi kehidupannya. Adapun kriteria pemilihan lokasi budidaya teripang (DKP, 2006; Rustam, 2006) adalah sebagai berikut : (1) tempat terlindung bagi budidaya teripang diperlukan tempat yang cukup terlindung dari guncangan angin dan ombak, (2) kondisi dasar perairan hendaknya berpasir, atau pasir berlumpur bercampur dengan pecahan-pecahan karang dan banyak terdapat tanaman air semacam rumput laut atau alang-alang laut, (3) salinitas dengan kemampuan yang terbatas dalam pengaturan esmatik, teripang tidak dapat bertahan terhadap perubahah drastis atas salinitas (kadar garam). Salinitas yang cocok adalah antara 30–33 gr/kg, (4) kedalaman air untuk teripang hidup pada kedalaman yang berbeda menurut besarnya. Teripang muda tersebar di daerah pasang surut, setelah tambah besar pindah ke perairan yang dalam. Lokasi yang cocok bagi budidaya sebaliknya pada kedalaman air laut 0,40-1,50 m pada air surut terendah, (5) ketersediaan benih di lokasi budidaya sebaiknya tidak jauh dari tempat hidup benih secara alamiah. Terdapatnya benih alamiah adalah indikator yang baik bagi lokasi budidaya teripang, dan (6) kondisi lingkungan perairan sebaiknya harus memenuhi standard kualitas air laut yang baik bagi kehidupan teripang seperti : pH 6,5–8,5, kecerahan air laut 50 cm, kadar oksigen terlarut 4–8 mg/l,
36
dan suhu air laut 20–25°C. Disamping itu, lokasi harus bebas dari pencemaran seperti bahan organik, logam, minyak dan bahan-bahan beracun lainnya. Metode Budidaya Metode yang digunakan untuk membudidayakan teripang (ketimun laut) yaitu dengan menggunakan metode penculture. Metode penculture adalah suatu usaha memelihara jenis hewan laut yang bersifat melata dengan cara memagari suatu areal perairan pantai seluas kemampuan atau seluas yang diinginkan sehingga seolah-olah terisolasi dari wilayah pantai lainnya (DKP, 2006). Bahan yang digunakan ialah jaring (super-net) dengan mata jaring sebesar 0,5–1 inchi atau dapat juga dengan bahan bambu (kisi-kisi). Dengan metode ini maka lokasi/areal yang dipagari tersebut akan terhindar dari hewanhewan pemangsa (predator) dan sebaliknya hewan laut yang dipelihara tidak dapat keluar dari areal yang telah dipagari tersebut (Rustam, 2006). Pemasangan pagar untuk memelihara teripang, baik pagar bambu (kisikisi) ataupun jaring super net cukup setinggi 50-100 cm dari dasar perairan. Luas lokasi yang ideal penculture ini antara 500-1.000 m2 (DKP, 2006). Teripang yang dijadikan induk ialah yang sudah dewasa atau diperkirakan sudah dapat melakukan reproduksi dengan ukuran berkisar antara 20–25 cm, sedangkan benih teripang alam yang baik untuk dibudidayakan dengan metoda penculture adalah yang memiliki berat antara 30-50 gr per ekor atau kira-kira memiliki panjang badan 5-7 cm. Pada ukuran tersebut benih teripang diperkirakan sudah lebih tahan melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Konstruksi penculture dapat dilihat pada Lampiran 1. Faktor makanan dalam pemeliharaan (budidaya teripang tidak menjadi masalah sebagaimana halnya hewan-hewan laut lainnya. Teripang dapat memperoleh makanannya dari alam, berupa plankton dan sisa-sisa endapan karang yang berada di dasar laut. Namun demikian untuk lebih mempercepat pertumbuhan teripang dapat diberikan makanan tambahan berupa campuran dedak dan pupuk kandang (kotoran ayam). Teripang dapat hidup bergerombol ditempat yang terbatas. Oleh karena itu dalam usaha budidayanya dapat diperlakukan dengan padat penebaran yang tinggi. Untuk ukuran benih teripang sebesar 20–30 gr per ekor, padat penebaran berkisar antara 15–20 ekor per m2, sedangkan untuk benih teripang sebesar 4050 gr per ekor, padat penebarannya berkisar antara 10–15 ekor per m2. Pemberian makanan tambahan sebaiknya dilakukan pada sore hari, hal ini
37
disesuaikan dengan sifat hidup atau kebiasaan hidup dari teripang. Pada waktu siang hari teripang tidak begitu aktif bila dibandingkan dengan pada malam hari, karena pada waktu siang hari ia akan membenamkan dirinya dibawah dasar pasir/karang pasir untuk beristirahat dan untuk menghindari/melindungi dirinya dari pemangsa/predator, sedangkan pada waktu malam hari akan lebih aktif mencari makanan, baik berupa plankton maupun sisa-sisa endapan karang yang berada di dasar perairan tempat hidupnya. Waktu yang tepat untuk memulai usaha budidaya teripang disuatu lokasi tertentu ialah 2-3 bulan setelah waktu pemijahan teripang di alam (apabila menggunakan benih dari alam). Benih alam yang berumur 2-3 bulan diperkirakan sudah mencapai berat 20–50 gr per ekor. Pemungutan hasil panen dapat dilakukan setelah ukuran teripang berkisar antara 4-6 ekor per kg (market size). Untuk mendapatkan ukuran ini biasanya teripang dipelihara selama 6-7 bulan, dengan survival yang dicapai kurang lebih 80% dari total penebaran awal. Panen dilakukan pada pagi hari sewaktu air sedang surut dan sebelum teripang membenamkan diri. Panen dapat dilakukan secara bertahap yaitu dengan memilih teripang yang berukuran besar atau juga dapat dilakukan secara total, kemudian dilakukan seleksi menurut golongan ukuran. Pemeliharaan teripang diseluruh lokasi dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa memperhatikan musim angin. Oleh karena teripang dipelihara pada perairan yang dangkal (0,5-1,5 m pada surut terendah), maka pengaruh musim angin termasuk musim utara tidak menjadi permasalahan. Dengan demikian pemeliharaan teripang dapat dilakukan sepanjang tahun. 2.4
Sistem Informasi Geografi Pada pengertian yang lebih luas sistem informasi geografis (SIG)
mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi (ESRI, 1990; Chrisman, 1996). Burrough (1986) memberikan definisi yang agak bersifat umum, yaitu SIG sebagai suatu perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan, menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek–aspek permukaan bumi. DeMers (1997), mendefinisikan SIG sebagai suatu teknologi informasi yang menyimpan, menganalisis, dan mengkaji baik data spasial maupun non spasial. Walaupun agak berbeda dalam definisi tersebut, kedua definisi menyatakan secara implisit bahwa SIG berkaitan
38
langsung sebagai sistem informasi yang berorientasi teknologi, walaupun tidak menyebutkan secara spesifik definisi SIG sebagai suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup: (a) pemasukan, (b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan kembali), (c) manipulasi dan analisis, dan (d) pengembangan produk dan pencetakan. Pengertian SIG diatas perlu ditambahkan pernyataan Jurana (1996) bahwa dalam pengertian yang lebih luas lagi harus dimasukkan dalam definisi SIG selain perangkat keras dan perangkat lunak, juga pemakai dan organisasinya, serta data yang dipakai. Lebih lanjut Maguire and Dangermond (1991)
mengidentifikasikan
bahwa
fungsi
SIG
adalah
pengumpulan,
pembaharuan dan perbaikan data; penyimpanan dan strukturisasi data, generalisasi data, transformasi data, pencarian data, analisis, dan presentasi hasil analisis.
Kemampuan-kemampuan tersebut
umumnya dimiliki oleh
beberapa perangkat lunak SIG, dengan kemampuan yang memuaskan dan mudah digunakan. Beberapa perangkat lunak memiliki perbedaan pada beberapa fungsi seperti output kartografi dan presentasi serta cara analisis. Terdapat dua fungsi utama SIG yaitu kemampuan mencari data (query) dan analisis. Query data dapat menghubungan antara data spasial dan data atribut. Fungsi query pada data spasial adalah pencarian data/lokasi dan overlay (tumpang tindih) beberapa peta. Pencarian lokasi dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan seperti buffer (daerah penyangga), dan informasi yang terdapat di wilayah buffer tersebut. Overlay peta dapat menggunakan objek (feature) pada 2 atau lebih peta (layer). Fungsi overlay ini dapat digunakan untuk beberapa lokasi yang dipilih, seperti menentukan tipe penutupan vegetasi tertentu, jenis tanah, dan kepemilikannya. Hubungan antara data spasial dan atribut ini dapat pula menentukan obyek dengan kriteria titik seperti lokasi yang menghasilkan macam bahan pencemar. Berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan SIG adalah (1) operasi titik (point operation), yaitu tipe analisis dengan memasukan beberapa formula aljabar dan overlay beberapa layer data; (2) operasi
tetangga
(operation
neighbourhood)
yakni
tipe
analisis
yang
menghubungkan titik pada suatu lokasi di permukaan bumi dengan semua informasi
atributnya,
dengan
lingkungan
disekitarnya,
sebagai
contoh
39
menentukan kesesuaian lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan; (3) analisis jaringan (network analysis) yakni tipe analisis yang menghubungkan beberapa tampilan data (feature) berupa garis, seperti menentukan jalan dengan jarak terdekat di antara dua kota. Alat untuk melakukan analisis-analisis seperti tersebut di atas telah tersedia pada beberapa perangkat lunak SIG. Pada aplikasi penggunaan ketiga tipe analisis tersebut, sepenuhnya tergantung kepada keterampilan pengguna untuk menentukan tipe analisis mana yang akan di pakai. Beberapa perangkat lunak SIG menyediakan fasilitas bahasa pemrograman makro yang dapat diintegrasikan pada semua bentuk pekerjaan SIG. Dengan bahasa pemrograman tersebut pengguna dapat membuat aplikasi rutin untuk tujuan tertentu. Produk atau output SIG dapat berupa peta (berwarna atau hitam putih), tabel, angka statistik, dan laporan. 2.5
Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung
2.5.1
Kesesuaian Lahan Proses
penentuan
pemanfaatan
ruang
sangat
bergantung
pada
penentuan lokasi yang secara biogeofisik sesuai sehingga dapat menjamin kelangsungan kegiatan pada lokasi yang sesuai, tidak saja mencegah kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan ekonomi kegiatan tersebut. Tahap pertama dalam proses pemanfaatan ruang adalah penentuan kelayakan biogeofisik dari wilayah pesisir dan laut. Pendugaan kelayakan biogeofisik dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biogeofisik setiap kegiatan, kemudian dipetakan (dibandingkan dengan karakteristik biogeofisik wilayah pesisir itu sendiri). Dengan cara ini kemudian ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) peruntukan di wilayah pesisir dan laut. Penentuan
kelayakan
biogeofisik
ini
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan teknologi SIG seperti arc view (Kapetsy et al., 1987). Informasi dasar biasanya dalam bentuk peta tematik, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biogeofisik ini tidak
saja meliputi karakteristik
daratan dan
hidrometerologi seperti kelerengan, tutupan lahan, peruntukan lahan, dan lainlain tetapi juga oseanografi dan biologi perairan pesisir dan laut seperti pasang surut, arus, kedalaman, ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan lainlain. Berdasarkan fungsinya, ruang dapat dikelompokkan menjadi kawasan lindung dan budidaya yang masing-masing memiliki persyaratan biogeofisik. Kawasan lindung merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang
40
tinggi, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia kecuali penelitian ilmiah atau seremoni keagamaan/budaya oleh masyarakat lokal dan harus dapat diterima dan didukung oleh masyarakat lokal; sedangkan kawasan budidaya dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukkan sesuai dengan kemampuan lahannya (Dacles et al., 2000). Aktifitas budidaya laut untuk masing-masing kriteria kesesuaian budidaya laut menurut DKP, 2002 disajikan dalam bentuk tabel pada Lampiran 2. Kesesuaian suatu ruang untuk kegiatan tertentu akan dapat berkurang bahkan menjadi tidak sesuai jika kemampuan sistem yang ada didalamnya tidak mampu lagi untuk menanggung beban kegiatan yang dilakukan diatasnya. Oleh karena setiap sistem memiliki ambang batas atau kemampuan untuk mendukung aktifitas didalamnya. Kemampuan dimaksud disebut sebagai kemampuan mendukung atau daya dukung yang ada di suatu sistem tertentu. 2.5.2
Daya Dukung Lahan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) Bab 1 pasal 1 disebutkan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya dukung didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus-menerus tanpa merusak alam (Price, 1999). Daya dukung merupakan alat perencanaan, digambarkan sebagai kemampuan dari suatu sistem tiruan atau alami untuk mendukung permintaan dari berbagai penggunaan sampai suatu titik tertentu yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan, penurunan, atau kerusakan (Godschalk and Park, 1978). Roughgarden (1979) menyatakan bahwa daya dukung adalah suatu ukuran jumlah organisme yang dapat di dukung oleh lingkungan pada sumberdaya yang dapat diperbaharui. Dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam di pesisir, faktor daya dukung lahan/lingkungan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan apabila dikelola dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan dan lingkungannya. Daya dukung dapat dinaikkan
kemampuannya
oleh
manusia
dengan
memasukkan
dan
menambahkan ilmu dan teknologi ke dalam suatu lingkungan. Namun demikian
41
peningkatan daya dukung lingkungan memiliki batas-batas dimana pada keadaan tertentu cenderung sulit atau tidak ekonomis lagi bahkan tidak mampu lagi dinaikkan kemampuannya karena akan terjadi kerusakan pada sumberdaya atau ekosistem. Penggunaan IPTEK yang tidak bijaksana justru akan menghancurkan daya dukung lingkungan. Kelestarian, keberadaan atau optimisasi manfaat dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan merupakan salah satu persyaratan dilakukannya penilaian daya dukung (carrying capacity). Tujuan utama dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan atau melestarikan potensi sumberdaya alam dari areal tersebut pada batas-batas penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan. Nilai yang dihasilkan dari perhitungan atau pendekatan daya dukung dari sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentukbentuk pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut terutama dalam tujuan menjaga, mengendalikan, dan juga melestarikan lingkungan. Penilaian yang sistematik terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi dasar dari kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dilakukan terutama untuk mengetahui potensinya. Dengan pendekatan ini maka akan dapat diketahui kapasitas dari suatu kawasan atau ekosistem yang dinilai, yang selanjutnya akan dapat merupakan ukuran dan/atau nilai pendugaan terhadap kualitas sumberdaya alam dan lingkungan. 2.6
Pendekatan Sistem Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Pengertian ini mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antara bagian dan menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain (Marimin, 2004), sedangkan pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno, 1998). Menurut Manetsch and Park (1979), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut : (1) tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, (2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem ini adalah terdesentralisasi atau
42
cukup jelas batasannya, (3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan dilakukan. Sistem terdiri atas dua jenis yaitu sistem statis dan sistem dinamik (Djojomartono, 2000). Sistem statis adalah sistem yang nilai outputnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Sedangkan sistem dinamik adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Dengan demikian nilai output sangat bergantung pada nilai dari variabel-variabel input sebelumnya. Sistem dinamik dicirikan oleh adanya delay time yang menggambarkan ketergantungan output terhadap varibel input pada periode waktu tertentu. Hardjomidjojo, 2006 menyatakan bahwa penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem dapat ditekankan pada tiga filosofi sistem yang dikenal sebagai SHE (sibernetik, holistik, dan efektifitas). Sibernetik dapat diartikan bahwa dalam penyelesaian masalah tidak berorientasi pada permasalahan (problem oriented) tetapi lebih berorientasi pada tujuan (goal oriented). Holistik lebih menekankan pada penyelesaian masalah secara utuh dan menyeluruh, sedangkan efektivitas berarti bahwa sistem yang telah dikembangkan tersebut harus dapat dioperasikan. Lebih lanjut Eriyatno dan Sofyar (2007) menyatakan bahwa dalam penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem, harus memenuhi tiga karakteristik yaitu kompleks, dinamis, dan probabilistik. 2.6.1 Pemodelan dengan Interpretasi Struktur (ISM) Pemodelan dengan interpretasi struktur (interpretative structural system ISM) merupakan salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis. Menurut Eriyatno (1998) dalam Marimin (2004), ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana modelmodel struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Saxena (1992) dalam Marimin (2004) menyebutkan sembilan elemen yang dapat dianalisis dengan pendekatan ISM yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama program, (4) perubahan yang diinginkan, (5) tujuan dari program, (6) tolak ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktifitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Setiap elemen dijabarkan menjadi sejumlah sub elemen. Dalam suatu kajian dengan menggunakan ISM, analisis dapat dilakukan terhadap semua
43
elemen seperti dikemukakan atas atau hanya sebagian elemen saja tergantung tujuan yang ingin dicapai dalam kajian yang dilakukan. Apabila hanya sebagian elemen yang dikaji, maka penentuan elemen-elemennya didasarkan pada hasil pendapat pakar termasuk penyusunan sub elemen pada setiap elemen yang terpilih. Setelah ditetapkan elemen dan sub elemen, selanjutnya ditetapkan hubungan kontekstual antar sub elemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi sub ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan seperti apakah tujuan A lebih penting dari tujuan B. perbandingan berpasangan yang menggambarkan keterkaitan antara sub elemen atau tidaknya hubungan kontekstual dilakukan oleh pakar. Beberapa keterkaitan antara sub elemen dengan teknik ISM dapat dilihat seperti Tabel 1. Tabel 1 Keterkaitan antara sub elemen pada teknik ISM (Marimin, 2004) No. 1. 2.
Jenis Keterkaitan Sub Elemen Perbandingan (comparative) Pernyataan (definitive)
3.
Pengaruh (influence)
4.
Keruangan (spatial)
5.
Kewaktuan (time scale)
Interpretasi A lebih penting/besar/indah daripada B A adalah atribut B A termasuk di dalam B A mengartikan B A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakan B A meningkatkan B A adalah selatan/utara B A di atas B A sebelah kiri B A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B
Untuk menyajikan tipe hubungan kontekstual dengan teknik ISM, digunakan empat simbol yang disebut VAXO (Eriyatno, 2007) dimana : V = untuk relasi dari elemen Ei sampai Ej, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya, A = untuk relasi dari elemen Ej sampai Ei, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya, X = untuk interelasi antara elemen Ei sampai Ej (berlaku untuk kedua arah), dan O = untuk merepresentasikan bahwa Ei sampai Ej adalah tidak berkaitan. 2.6.2 Sistem Dinamik Studi pengembangan sistem dinamik bertujuan untuk mendapatkan model keterkaitan secara dinamis antar variabel yang berpengaruh. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Hall dan
44
Day,
1977).
Menurut
bentuknya,
model
dapat
dibedakan
antara
lain
(Hardjomidjojo, 2006) : 1.
Model fisik dan mental. Model fisik menggambarkan sistem secara nyata (fisik), sedangkan model mental menggambarkan sistem melalui penjelasan secara deskriptif atau persamaan matematis.
2.
Model deskriptif dan numerik. Model deskriptif menjelaskan sistem tanpa menggunakan hubungan kuantitatif, umumnya menggunakan diagram atau berupa konsep. Sedangkan model numerik menggunakan persamaan matematis sehingga mempunyai kemampuan prediksi.
3.
Model empirik dan model mekanistik. Model empirik juga disebut model statistik, yang mengandalkan hubungan kausal berdasarkan pengamatan empirik (hubungan input-output). Model ini kadang disebut „black box‟ karena tidak menjelaskan mekanisme proses yang terjadi. Sedangkan model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi, namun tergantung pada level model tersebut.
4.
Model statis dan model dinamik. Model statis tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah (tidak ada fungsi waktu). Sedangkan model dinamik memperhitungkan waktu sebagai variabel. Dalam model dinamis, variabel yang tidak berubah dengan waktu disebut „parameter‟ atau „konstanta‟.
5.
Model deterministik dan model stokastik. Model deterministik menghasilkan keluaran (output) yang pasti (determined) atau tunggal dan tidak memperhitungkan
berbagai
kemungkinan
lain
akibat
ketidak-pastian
berbagai faktor eksternal. Sedangkan model stokastik dengan masukan (input) yang sama dapat memiliki berbagai kemungkinan. Pada model semacam ini, biasanya digunakan perhitungan peluang (probability) dari keluaran (output) model. Model-model tersebut digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif. Dalam melakukan suatu pemodelan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan struktur model yang akan memberikan gambaran bentuk dan perilaku sistem dimana perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpul umpan balik (causal loop) yang menyusun struktur model. Struktur model suatu sistem dapat dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh yang akan memberikan hubungan sebab-akibat antara faktor-faktor yang ada.
45
Hubungan sebab akibat ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor akibatnya, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai faktor akibat. Akibat yang ada dapat juga mempengaruhi balik penyebab sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah yang berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain atau dikenal dengan feedback. Pemodelan dengan sistem dinamik dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak powersim construtor 2.5d. Kelebihannya adalah mudah menghubungkan suatu sistem yang lain sepanjang ada hubungan matematis atau asumsi-asumsi yang dapat menghubungkan berbagai sistem tersebut, sedangkan kelemahan pemodelan dengan sistem dinamik terletak pada pendefinisian dan penggunaan asumsiasumsi, penentuan hubungan variabel dengan variabel yang lain (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan sistem dinamik meliputi : 1.
Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini dicari kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing aktor dalam kaitannya dengan tujuan sistem. Tujuan analisis kebutuhan ini adalah untuk mendefinisikan kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam suatu kegiatan.
2.
Formulasi masalah merupakan rincian dari kebutuhan aktor yang saling bertentangan yang memerlukan solusi pemecahan. Munculnya pertentangan dapat disebabkan oleh adanya konflik kepentingan dari para stakeholder dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang menimbulkan masalah dalam sistem.
3.
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Identifikasi sistem ini bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram input-output (black box) dan diagram lingkar sebab akibat (causal loop).
4.
Pemodelan sistem merupakan simplifikasi dari sistem yang dihadapi. Model juga didefinisikan sebagai suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (real) yang akan bertindak seperti dunia nyata terhadap aspek-aspek tertentu.
46
5.
Simulasi model adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses tersebut. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses di masa depan. Untuk membuat simulasi diperlukan tahapan berikut : (a) penyusunan konsep, (b) pembuatan model, (c) simulasi, dan (d) validasi hasil simulasi.
6.
Validasi model merupakan salah satu kriteria penilaian keobjektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Dalam validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-empirical).
49
1998) yang diterapkan untuk penentuan titik pengamatan di lapangan dan penentuan posisi dengan menggunakan alat GPS (global positioning system). Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi yang terkait sesuai atribut yang dikaji, baik dalam bentuk laporan (data tabular) maupun spasial (dalam bentuk peta dan data digital).
Tabel 2 Jenis dan metode pengumpulan data No A 1
2
B 1
2
Jenis Data Metode Data Primer Komponen Biogeofisik (untuk usaha budidaya laut) a. Fisik – Kimia Posisi GPS Current meter Arus (cm/dtk) Secchi disk Kecerahan (m) 0 Suhu ( C) Termometer Kedalaman (m) Tali berskala Hand refractometer Salinitas (gr/kg) pH pH meter Oksigen terlarut (mg/l) DO meter Sendiment grab Jenis dasar perairan b. Ekosistem perairan Interpretasi citra/transek c. Peruntukan lahan Survei lapangan d. Profil pantai dan perairan Analisis citra & SIG Komponen Sosekbud, Hukum & Wawancara, PCRA (FGD), indepth Interview, Kelembagaan dan quitioner. Data Sekunder Komponen Biogeofisik a. Fisik-kimia oseanografi (kondisi angin, gelombang, arah & kecepatan arus, pasang-surut, salinitas & kedalaman) b. Fisiografi (data bentang alam, Penelusuran dokumen geologi, hidrologi atau potensi hasil penelitian & air tawar, topografi, jenis tanah, dokumentasi pada tekstur tanah) perpustakaan, kantor c. Data iklim (curah hujan, hari daerah & instansi terkait hujan) lainnya. d. Data citra satelit Kabupaten Kupang
Komponen Sosekbud, Hukum & Kelembagaan a. Kependudukan (jumlah & Penelusuran dokumen pertumbuhan penduduk, rasio hasil penelitian & jenis kelamin, tingkat dokumentasi pada ketergantungan, tingkat perpustakaan, kantor pendidikan & mata daerah & instansi terkait pencaharian) lainnya.
Keterangan
In situ In situ In situ In situ In situ In situ In situ In situ In situ Lab. SIG/In situ
In situ Lab. SIG/In situ
Kabupaten Kupang
BPS, Bappeda, Bappelda, kantor bupati, kecamatan & kelurahan serta dinas perikanan & dinas terkait lainnya di Kabupaten Kupang, Dishidros, Bakosurtanal, Lapan – Jakarta. BPS, Bappeda, Bappelda, kantor bupati, kecamatan & kelurahan
50
b. Sarana & prasarana (sarana perekonomian, transportasi, pendidikan, kesehatan, peribadatan & sosial) c. Perekonomian (tingkat pendapatan, pola konsumsi, struktur mata pencaharian, kesempatan kerja) d. Kelembagaan (struktur pemerintah mulai tingkat Kabupaten sampai dusun, lembaga masyarakat, koperasi, dll)
3.4
serta dinas perikanan & dinas terkait lainnya di Kabupaten Kupang.
Metode Pemilihan Responden Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah
responden yang akan diambil yaitu responden yang dianggap dapat mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan metode expert survey yang dibagi atas dua cara : 1.
Responden dari masyarakat selain pakar di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode purposive random sampling
secara
proposional (Walpole, 1995) dengan rumus sebagai berikut : x
dimana :
2.
nx N Nx n
=
………………………………………(1)
= jumlah responden (sample) setiap strata = jumlah seluruh populasi (kepala keluarga nelayan) = jumlah populasi setiap strata = ukuran responden secara keseluruhan
Responden dari kalangan pakar, dipilih secara sengaja (purposive sampling) dimana responden yang dipilih memiliki kepakaran sesuai dengan bidang yang dikaji. Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang akan dijadikan responden, menggunakan kriteria seperti berikut : 1. Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji. 2. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji. 3. Memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji.
3.5
Analisis Data Penelitian ini melalui empat tahap yang meliputi : (1) studi potensi wilayah
Kabupaten Kupang, (2) studi tingkat perkembangan Kabupaten Kupang, (3) studi
51
status keberlanjutan Kabupaten Kupang untuk pengembangan kawasan minapolitan, dan (4) membangun model pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya
laut di Kabupaten Kupang. Empat tahapan dan metode
analisis data secara rinci disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Tahapan dan metode analisis model pengembangan minapolitan No
Tujuan khusus Identifikasi 1 potensi wilayah Kabupaten Kupang
Jenis data Primer
Sekunder
2
3
4
Tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Kupang
Status keberlanjutan wilayah Kabupaten Kupang
Primer
Bentuk data Hasil wawancara & penyebaran kuesioner Laporan tahunan dinas/instansi terkait Hasil wawancara & penyebaran kuesioner
Sekunder
Laporan tahunan dinas/instansi terkait
Primer
Hasil wawancara & penyebaran kuesioner Laporan tahunan dinas/instansi terkait Hasil wawancara & penyebaran kuesioner Laporan tahunan dinas/instansi terkait
Sekunder
Model Primer pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut di Sekunder Kabupaten Kupang
Sumber data
Metode analisis LQ, Analisis Spasial (kesesuaian & daya dukung).
Output yang diharapkan Teridentifikasi potensi wilayah Kabupaten Kupang.
Dinas/instansi terkait Responden terpilih
Analisis tipologi, PCA, Cluster, Skalogram, Sentralitas, MPE, AHP, ISM.
Dinas/instansi terkait Responden terpilih
MDS, Monte Carlo, Prospektif.
Diketahui tingkat perkembangan wilayah, alternatif pengembangn minapolitan budidaya laut, lokasi pengolahan dan pemasaran produk minapolitan, kendala, kebutuhan dan lembaga terlibat. Diketahui status keberlanjutan dan skenario keberlanjutan ke depan.
Dinas/instansi terkait Responden terpilih
Sistem Dinamik
Dinas/instansi terkait Responden terpilih
Didapatkan model pengembangn kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang.
Penelitian ini menggunakan berbagai metode analisis data seperti analisis spasial (SIG), analisis kesesuaian lahan, analisis daya dukung, analisis finansial, analisis tipologi wilayah, principal component analysis (PCA) analisis cluster, analisis skalogram, analisis sentralitas, metode perbandingan eksponensial (MPE), analisis hierarki proses (AHP) dengan criterium decision plus (CDP),
52
analisis interpretative structural modeling (ISM), analisis multidimensional scaling (MDS) modifikasi dari Rapfish, dan analisis prospektif, serta analisis sistem dinamik dengan powersim constructor 2.5d. Adapun tahapan-tahapan penelitian dan metode analisis data yang digunakan disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Tahapan dan metode analisis data dalam penelitian pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut di Kabupaten Kupang