15
TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Wilayah Pesisir Pengelolaan wilayah pesisir membutuhkan definisi dan penentuan batasbatas wilayah. Sampai saat ini, belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Beatley et al. (1994) menyatakan bahwa kesepakatan internasional tentang wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Cakupan ke arah darat meliputi daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Bengen (2005) memberikan batasan terhadap wilayah pesisir sebagai berikut: (1) Ke arah darat, meliputi bagian daratan kering maupun basah yang mendapat pengaruh sifat-sifat air seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. (2) Ke arah laut, mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar. Isard (1975) menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-batas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti karena adanya masalah-masalah di dalamnya. Masalah tersebut terjadi sedemikian rupa dan pada akhirnya membutuhkan penanganan, khususnya permasalahan sosialekonomi. Sejalan dengan itu, Bengen (2005) menyatakan bahwa penetapan batasbatas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku kurang begitu penting untuk kepentingan pengelolaan. Lebih berarti jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan dan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut beserta segenap sumber daya yang ada di dalamnya. Bengen (2005) melanjutkan pernyataannya bahwa batas-batas suatu wilayah pesisir bagi kepentingan pengelolaan lebih utama ditentukan berdasarkan tujuan dari pengelolaan itu sendiri. Dalam kepentingan tersebut, wilayah pesisir dapat ditetapkan berdasarkan dua pendekatan, yaitu wilayah perencanaan dan pengaturan. Wilayah perencanaan merupakan seluruh daerah yang di dalamnya terdapat kegiatan manusia (pembangunan) dan dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Wilayah pengaturan adalah wilayah yang diberikan izin untuk kegiatan pembangunan.
16
Bengen (2005) menyatakan pula bahwa dalam pengelolaan wilayah pengaturan, pemerintah (pihak pengelola) memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan. Kewenangan semacam ini diluar batas wilayah pengaturan, sehingga menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pengelolaan wilayah pesisir dalam zona pengaturan dengan instansi yang mengelola daerah hulu atau laut lepas. Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa wilayah kesatuan unit-unit koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan dan penyelesaian masalah tertentu disebut sebagai wilayah perencanaan. Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa dalam sistem perencanaan wilayah pesisir dilandasi oleh entitas wilayah. Entitas tersebut terdiri dari komponenkomponen yang merupakan satu kesatuan, memiliki keterkaitan, ketergantungan dan interaksi satu dengan lainnya. Komponen-komponen ekosistem wilayah pesisir dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah maupun non alamiah. Budiharsono (2005) menyatakatan bahwa sifat-sifat yang ada di wilayah pesisir didasarkan atas pendekatan homogen, nodal, administratif dan perencanaan. Dalam konteks homogen, Pesisir merupakan penghasil ikan dan memiliki kepadatan penduduk yang tergolong dibawah garis kemisikinan. Dalam konteks nodal, pesisir merupakan wilayah belakang (plasma) dari perkotaan (inti). Kenyataannya adalah pesisir sebagai penyedia input bagi inti dan merupakan pasar barang-barang jadi (output) dari inti. Sebagai wilayah administratif, pesisir merupakan wilayah yang relatif kecil, dapat berupa kecamatan atau desa dan kabupaten atau kota yang berupa pulau kecil. Dalam konteks perencanaan, pesisir merupakan wilayah yang memiliki hubungan keterkaitan berdasarkan kriteria ekologis. Menurut Bengen (2005) bahwa wilayah pengelolaan sehari-hari harus dimasukkan ke dalam wilayah perencanaan. Penerapan wilayah homogen menjadi wilayah perencanaan sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Rustiadi et al. (2007) mengemukakan bahwa penerapan lebih jauh konsep wilayah homogen menjadi wilayah perencanaan sangat bermanfaat dalam aktifitas: 1. Penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi atau daya dukung utama yang ada.
17
2. Pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masingmasing wilayah. Konsep Ruang dan Kawasan Budidaya Rumput Laut Penggunaan istilah ruang di Indonesia termuat dalam UU No. 26/2007 tentang penataan ruang. Istilah tersebut dinyatakan sebagai wadah yang meliputi daratan, perairan (laut dan air tawar) dan udara. Kesatuan wadah ini disebut sebagai wilayah tempat manusia dan mahluk lainnya untuk hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Berpedoman pada UU tersebut, maka ruang merupakan suatu informasi penting tentang keberadaan suatu wadah secara komprehensif dalam kaitannya dengan keterlibatan manusia yang melakukan aktifitas didalamnya. Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa penekanan suatu ruang kedalam fungsi tertentu untuk menunjang aktifitas manusia disebut dengan kawasan. Istilah kawasan muncul dari adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah atau ruang. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan. Johnston (1976) menyatakan bahwa pengklasifikasian ruang kedalam kawasan tertentu memiliki dua manfaat dasar yakni : (1) sebagai alat penyederhanaan fenomena dunia nyata, dan (2) sebagai alat pendeskripsian. Rustiadi et al. (2007) menambahkan bahwa hal ini juga memberikan manfaat terhadap penjelasan yang sederhana terhadap keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya-sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya. Terkait dengan pernyataan di atas, maka fenomena pengklasifikasian dunia nyata dapat disederhanakan menjadi faktor-faktor ekologi yang meliputi substrat perairan, kualitas air, iklim, dan geografis dasar perairan. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor kemudahan (aksesibilitas), resiko (masalah keamanan) dan konflik
kepentingan
(pariwisata,
perhubungan,
dan taman
laut
nasional)
(Anggadiredja et al. 2006). Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa faktor-faktor tersebut dapat mendeskipsikan suatu perairan menjadi kawasan budidaya Eucheuma sp ketika memenuhi kriteria sebagai berikut:
18
a. Faktor fisika perairan: terlindung dari ombak besar, pergerakan air (arus) 0.20.4 m/detik, suhu perairan antara 20-30 0C dengan fluktuasi harian maksimum 4 0C, tingkat transparansi 2-5 meter, dasar perairan yang stabil terdiri dari patahan karang mati dan pasir kasar serta bebas dari lumpur, kedalaman air minimal 0.4 m hingga batas daya tembus sinar matahari dan pelaku budidaya mampu memanfaatkannya. b. Faktor kimia perairan: salinitas 28-33 o/oo, DO 3-8 mg/l, pH 6.5-8, kandungan fosfat antara 0.10-0.20 mg/l, kandungan nitrat antara 0.01-0.7 mg/l (Joshimura dalam Wardoyo 1978; Ditjenkan 1982; Anggadiredja et al. 2006). Terkait dengan peranan suhu dan salinitas, Apriyana (2006) menyatakan bahwa salinitas yang tinggi (lebih dekat dengan batas baku mutu tertinggi yaitu 35 o/oo) dapat menunjang laju pertumbuhan yang lebih baik. Demikian pula GESAMP (1984) diacu dalam Romimohtarto (1985) bahwa kisaran suhu di daerah tropis sedemikian rupa sehingga banyak organisme hidup lebih baik dekat dengan batas suhu tertinggi (30 oC). Sejalan dengan pernyataan di atas, Manafi (2003) mendeskripsikan kawasan budidaya rumput laut GPK ke dalam bentuk matriks kesesuaian dengan skor tertinggi pada kisaran yang mendekati batas optimal (Tabel 1). Dalam hasil analisisnya diperoleh bahwa potensi kawasan budidaya rumput laut di perairan tersebut terdapat seluas 8 200 ha dengan rincian 3 700 ha berada dalam kategori sangat sesuai (KSS) dan 4 500 ha dalam kategori sesuai (KS). Tabel 1 Matriks kesesuaian fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk budidaya rumput laut Parameter pH Salinitas (o/oo) Suhu permukaan laut (oC) Kecepatan arus 13m (m/s) Kekeruhan (JTU) Material dasar perairan Sumber: Manafi 2003
Kelas 7.5 - 8 32 - 35 24 - 30 0.3 – 0.4 ≤ 28 Pasir Karang
Skor 8 8 8 8 8 8
Kelas 7 - <7,5 30 - <32 20 - <24 >0.2 – 0.3 >28 – 30 Pasir, batuan Karang
Skor 6 6 6 6 6 6
Bobot 10 10 10 20 10 20
Sebagaimana tabel di atas dapat dilihat bahwa kecepatan arus dan material dasar perairan merupakan dua parameter yang diberi bobot tertinggi. Hal ini dikarenakan arus sebagai faktor ekologis utama yang mengontrol kondisi komunitas alga akibat pengaruhnya terhadap aerasi, transpotasri nutrien dan pengadukan air
19
untuk menghindari fluktuasi suhu. Dinyatakan pula bahwa arus dapat menghindarkan thallus dari akumulasi benda-benda asing yang melekat padanya serta mempercepat metabolisme dan perpanjangan thallus sehingga menambah kemampuannya dalam menyerap nutrien (Sulistidjo 1985, Sinaga 1999, Apriyana 2006, Anggdiredja et al. 2006). Dengan demikian, parameter ini mendapat bobot yang setingkat lebih tinggi dalam kelipatan angka 10 jika banding parameter lainnya. Mubarak dan Wahyuni (1981) menyatakan bahwa jenis-jenis substrat yang dapat ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur, dan pecahan karang. Tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang dan pecahan karang. Pada substrat perairan yang lunak seperti pasir dan lumpur, akan banyak dijumpai jenis-jenis alga Halimeda sp., Caulerpa sp., Gracillaria sp., dan hypnea. Pada dasar perairan yang bersubstrat keras seperti karang hidup, batu karang dan pecahan karang akan banyak dijumpai jenis-jenis alga Sargasum sp., Turbinaria sp., Ulva sp., dan Enteromorpha sp. Nontji (2005) menyatakan bahwa alga laut Eucheuma sp. Paling baik pertumbuhannya pada pasir berkarang. Jenis ini, membutuhkan benda-benda keras yang cukup kokoh untuk tempat melekatnya. Dengan demikian material dasar perairan dalam pengklasifikasian kawasan bagi kegiatan budidaya Eucheuma sp. diberikan bobot yang sama dengan arus. Scharwz et al. (1976) diacu dalam Notohadinegoro (1999) menyatakan bahwa kondisi suatu kawasan memiliki ambang batas kesanggupan bertahan terhadap dampak penggunaan atau pemanfaatannya. Dahuri et al. (1996), Dahuri (2000) menambahkan bahwa ambang batas ini tidaklah mutlak (obsolute) melainkan luwes (flexible) bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi atas pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan ruang yang hendaknya diarahkan bagi terjaminnya keberlangsungan ekosistem yang ada sebagai penyangga kehidupan di wilayah tersebut. Legalitas Pemanfaatan Kawasan Bagi Usaha Budidaya Rumput Laut Tata ruang Dalam UU No. 26/2007 tentang penataan ruang dinyatakan bahwa tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang direncanakan. Darwanto (2000) mengartikan konsep ini sebagai aktivitas untuk mengarahkan kegiatan
20
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, termasuk dunia usaha. Sugandhy (1999), Prayitno (1999) menambahkannya dengan ukuran kualitas tata ruang ditentukan oleh terwujudnya harmonisasi antara kegiatan mengeksploitasi dengan kegiatan memelihara yang mengindahkan kekhasan ekologis. Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya dinyatakan bahwa pengelolaan tanam nasional bagi usaha budidaya dilakukan dengan sistem zonasi. Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa setiap kegiatan pembangunan yang diantaranya adalah budidaya perikanan termasuk E. cottonii dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai dan mendukung secara sosekbud sehingga membentuk suatu mosaik yang harmonis. Dengan demikian, pemanfaatan suatu kawasan bagi usaha budidaya E. cottonii dapat dilakukan dengan sistem zonasi yang ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai dan mendukung secara sosekbud serta tidak mengesampingkan kekhasan ekologis. Sebagai daerah kepulauan, maka Pemda Wakatobi menjabarkan sistem zonasi yang konsisten dengan penataan ruang secara terpadu dan prinsip pembangunan berkelanjutan kedalam satuan wilayah pulau (SWP). Dalam hal ini, GPK ditetapkan sebagai SWP-II dengan salah satu sektor basis perikanan tangkap dan budidaya. Komoditas unggulan dalam pemanfaatan kawasan bagi sektor ini adalah E. cottonii yang dihasilkan dari kegiatan memelihara (PDKW 2006). Kebijakan pembangunan perikanan Salah satu ketentuan yang memuat kebijakan pembangunan perikanan adalah UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan (termasuk rumput laut) dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Penjelasan berikutnya adalah pembudidayaan ikan (rumput laut) yang dinyatakan sebagai kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Kegiatan tersebut dinyatakan pula secara implisit di dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.02/MEN/2004 tentang perizinan usaha pembudidayaan ikan dan Peraturan
21
Pemerintah No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha perikanan. Selanjutnya disebutkan bahwa setiap warga negara Republik Indonesia atau badan hukum termasuk koperasi yang melakukan usaha pembudidayaan yang dilakukan secara terpisah maupun terpadu dan wajib memiliki izin usaha perikanan (IUP). IUP di bidang usaha budidaya rumput laut dapat dikeluarkan oleh: (1) Dirjen Perikanan Budidaya, apabila usaha dilakukan di laut lepas dengan batas di atas 12 mil laut; (2) Gubernur, apabila usaha dilakukan di laut dengan batas antara 4 mil s/d 12 mil laut; (3) Bupati/walikota, apabila usaha dilakukan dengan batas kurang dari 4 mil laut. Usaha budidaya yang dibebaskan tanpa IUP adalah: (1) Budidaya rumput laut yang menggunakan metode lepas dasar dengan jumlah unit tidak lebih dari 8 unit, masing-masing unit berukuran 100x5 m2. (2) Budidaya rumput laut yang menggunakan metode rakit apung dengan jumlah unit tidak lebih dari 20 unit, masing-masing unit terdiri dari 20 rakit dan masing-masing rakit berikuran 5x2.5 m2. (3) Budidaya rumput laut yang menggunakan metode long line dengan jumlah unit tidak lebih dari dua unit, masing-masing unit berukuran 1 ha. Setiap usaha budidaya rumput laut yang telah memiliki IUP wajib: (1) melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam IUP; (2) memohon persetujuan tertulis apabila akan memindahtangankan IUP-nya; (3) menyampaikan laporan kegiatan usaha setiap enam bulan sekali; (4) menyesuaikan rencana usaha apabila melakukan perluasan usaha. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pembudidayaan rumput laut dilakukan oleh Dirjen Perikanan Budidaya, gubernur, bupati atau walikota secara teratur dan berkesinambungan. Kepada perusahaan budidaya rumput laut yang melakukan pelanggaran ketentuan diberikan peringatan atau teguran tertulis, pembekuan sementara IUP sampai dengan pencabutan IUP. UU RI No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil, dinyatakan bahwa hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3 kepada pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. HP-3 dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. Hal ini memberikan harapan bagi pelaku budidaya potensial atau pemilik modal rendah untuk mendapatkan akses modal
22
dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Ditjenkan Budidaya (2005) menambahkan bahwa hal itu juga memberikan harapan bagi arahan alokasi investasi pembangunan yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha. Sektor perikanan merupakan matapencaharian utama masyarakat Wakatobi, terutama pada ekosistem terumbu karang dan lamun. PDKW (2006) menyatakan bahwa untuk menunjang hal tersebut, kebijakan pengembangan perikanan kelautan Wakatobi diarahkan pada: a. Peningkatan kemampuan nelayan dalam menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi, b. Peningkatan skala produksi produk perikanan, c. Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk perikanan, d. Penyediaan akses masyarakat terhadap sumber-sumber produktif seperti permodalan, pasar dan informasi, e. Peningkatan keberdayaan serta peran lembaga perikanan kelautan dan pariwisata, f. Pengembangan jaringan distribusi pemasaran dari dan keluar Kabupaten Wakatobi yang efisien & efektif dan g. Peningkatan nilai tambah produk perikanan kelautan dan komoditas unggulan lainnya guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dinyakatan pula bahwa arah kebijakan dalam rangka meningkatkan pengembangan perikanan kelautan Wakatobi dijabarkan dalam program pembangunan peningkatan kesejahteraan nelayan dalam bentuk kegiatan: a) Pengembangan budidaya laut khususnya bagi komoditas unggulan Wakatobi, b) Peningkatan pengolahan hasil dan pasca panen, c) Peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber produksi seperti permodalan, pasar dan informasi, d) Pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia perikanan dan pariwisata, e) Pengembangan sistem penyuluhan perikanan, f) Pengembangan jaringan distribusi pemasaran dari dan keluar kabupaten yang efisien & efektif dan
23
g) Pengembangan sarana dan prasarana penangkapan laut dalam untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelestarian terumbu karang Wakatobi. Peraturan desa Desa Darawa, Lentea, Sama Bahari dan Sombano merupakan desa-desa percontohan dalam pengelolaan dan pemanfaatan PERAIRAN PESISIR GPK. Duncan (2005) dalam laporannya menyatakan bahwa kendala yang dihadapi oleh masyarakat desa tersebut adalah menurunnya hasil produksi sektor perikanan baik dari segi jumlah, ukuran maupun spesies. Hal ini disebabkan oleh pola pemanfaatan kawasan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bom dan sianida. Dinyatakan bahwa 70 dan 61% penggunaan kedua alat tangkangkap ini berasal dari nelayan luar dan 38 & 34% berasal dari nelayan lokal. Pembahasan kedua hal ini di tingkat kecataman diperoleh simpulan bahwa setiap kepala desa sepakat untuk membentuk aturan penomoran atau registrasi perahu bermotor demi menjamin daya kontrol terhadap pemanfaatan kawasan. Setelah memperoleh persetujuan akan diadakannya registrasi ini, maka dua nelayan dari setiap desa tersebut dipekerjakan untuk penulisan nomor dibawah pengawasan kepala desa. Keduanya memberikan nomor khusus kepada setiap sampan bermotor, mencatat pemiliknya serta rincian dari perahu bermotor tersebut. Kode ini tersusun atas tiga komponen yaitu kode untuk mengidentifikasi nama pulau (K=Kaledupa), kemudian tiga digit angka sebagai kode khusus pada setiap perahu bermotor di desa tersebut dan terakhir adalah kode desa dengan mengacu pada kode administratif pemerintah kecamatan dimana M = Darawa, J = Lentea, O = Sombano dan P = Sama Bahari. Kebijakan lokal Budidaya rumput laut merupakan istilah baru bagi masyarakat Kaledupa. Namun demikian, kegiatan memelihara rumput laut telah lama dikenal oleh masyarakat ini. Dalam era tahun 1970-an rumput laut dijadikan sebagai salah satu indikator pemanfaatan kawasan bagi penempatan sero untuk mendapatkan ikan target baronang. Ketika itu, rumput laut yang ada di sekitarnya dikumpulkan kemudian ditebar di dalam sero sebagai umpan untuk memancing ikan masuk ke dalamnya. Jenis rumput laut yang banyak digunakan untuk hal ini adalah Caulerpa sp. atau
24
dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Garangga kanse. Sebagian hasil panennya dijadikan sebagai bahan konsumsi makanan terutama dari jenis Latu (C. Lentillifera). Sebagaimana diketahui bahwa E. cottonii bukan merupakan plasma nutfah lokal, namun dapat memberikan sumbangsi kesejahteraan yang lebih besar (56%) dibanding unit-unit ekonomi lainnya seperti penangkapan (36.50%) dan pertanian (7.50%) (Duncan 2005). Dalam era usaha budidaya E. cottonii (1993 hingga sekarang), masyarakat pelaku budidaya mengenal pola pemanfaatan kawasan dengan menggilir penggunaan bibit dari kawasan kurang subur ke kawasan lebih subur. Demikian pula sebaliknya, komoditas basah kawasan lebih subur sebagian dijadikan bibit pada kawasan kurang subur. Menurut pelaku budidaya, dikatakan bahwa pola pemanfaatan seperti ini memberikan manfaat terutama bagi pertumbuhan rumput laut yang lebih baik di kedua kawasan dan tingkat kegagalan panen yang berkurang. Integrasi Masyarakat dalam Kawasan Budidaya Rumput Laut White et al. (2006) menyatakan bahwa pemanfaatan ruang wilayah pesisir bagi pengembangan budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif pemberdayaan masyarakat. Keunggulan dari pengembangan ini adalah: (1) produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, (2) lokasi budidaya tersedia cukup luas serta (3) teknologi budidaya tersedia. Cahyono (1993) menyatakan bahwa sasaran dibangunnya suatu usaha adalah: (1) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang memperhatikan keseimbangan dan kelestarian bagi lingkungan, (2) meningkatkan keikutsertaan masyarakat golongan ekonomi lemah agar berperan secara aktif dalam pembangunan, (3) memperluas dan meratakan kesempatan kerja dan berusaha serta meningkatkan peran koperasi. Effendi (2004) menyatakan bahwa campur tangan masyarakat untuk memproduksi biota (rumput laut) melalui pemeliharaan akan meningkatkan produktivitas perairan dan mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Smart (2005) menyatakan bahwa kegiatan seperti ini dikenal sebagai phycoculture. Bardach et al. (1972) menyatakan bahwa pemanfaatan lokasi untuk budidaya rumput laut harus memenuhi persyaratan dan fasilitas tertentu, terutama persediaan air
25
yang sangat cukup, suhu, salinitas dan kesuburan yang sesuai. Kenyataannya faktorfaktor tersebut sulit untuk diatasi oleh manusia sehingga menyebabkan senjang produktivitas dalam budidaya rumput laut (Sedana et al. 1985). Soekartawi (2002) mengenal dua jenis perbedaan produktivitas yaitu yield gap I dan yield gap II. Yield gap I merupakan perbedaan dari hasil eksperimen dengan hasil dari potensi suatu usaha tani. Yield gap ini disebabkan oleh adanya teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungan. Sebagai contoh, Ditjenkan Budidaya (2005) menyatakan bahwa teknologi budidaya dengan metode kantong jaring merupakan solusi budidaya rumput laut dalam mengatasi serangan hama ikan (baronang) dan penyu. Kenyataannya, teknologi ini tidak dapat diterapkan pada suatu perairan yang lebih subur seperti perairan GPK. Hal ini dikatakan oleh pelaku budidaya lokal bahwa tidak berhasilnya penerapan teknologi kantong jaring disebabkan oleh adanya biota penempel yang cepat penutupi mata jaring sehingga menghalangi pergerakan air yang dibutuhkan rumput laut. Dalam kondisi tersebut, rumput laut cepat terserang penyakit yang ditandai dengan perubahan warna menjadi cokelat kehitam-hitaman dan akhirnya mati. Yield gap II merupakan perbedaan produktivitas dari suatu potensi usaha tani dengan yang dihasilkan oleh pelaku. Dalam usaha budidaya rumput laut, terdapat dua faktor utama penyebab yield gap II yaitu: (1) karena kendala biologi seperti perbedaan spesies, serangan hama dan penyakit, perbedaan parameter fisik kimia perairan dan sebagainya); (2) karena kendala sosial-ekonomi seperti perbedaan besarnya biaya yang muncul dari faktor jarak sehingga meningkatkan biaya operasional, faktor kedalaman perairan yang dapat meningkatkan penggunaan tali jangkar, harga produksi akibat kebiasaan dan sikap pelaku budidaya yang tidak memperhatikan kualitas rumput laut, adanya faktor ketidakpastian, dan sebagainya. Integrasi masyarakat dalam kawasan budidaya rumput laut idealnya memperhatikan daya dukung dalam tatanan pemanfaatan yang berkelanjutan. De Santo (1978) diacu dalam Susilo (2006) mendefinisikannya sebagai satuan jumlah binatang, manusia atau industri yang secara terus menerus pada sumberdaya yang tersedia. Turner (1988) diacu dalam Rustam (2005) menyatakan bahwa ukuran integrasi dalam tatanan tersebut adalah jumlah populasi yang dapat didukung oleh suatu kawasan atau areal (volume perairan) tanpa mengalami penurunan
26
kualitasnya. Susilo (2006) menambahkan bahwa jumlah manusia dalam konsep ini terkait dengan dua aspek, yaitu aspek produksi lingkungan (dalam pengertian barang dan jasa) yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dan aspek penyerapan limbah yang dikeluarkan oleh aktivitas manusia. Anggadiredja et al. (2006) menyatakan bahwa potensi pemanfaatan ruang untuk usaha budidaya E. cottonii bagi satu kepala keluarga adalah sekitar 0,20 ha. Pada luasan tersebut, dapat mendukung delapan blok atau sekitar 48 rentang tali ris. Analisis usaha budidaya E. cottonii dalam luasan tersebut (Tabel 2) dapat mencakup anggota keluarga sebanyak tiga hingga empat orang. Tabel 2 Analisis budidaya E. cottonii sistem long line: satu KK (tiga hingga empat orang anggota), delapan blok (0.20 ha) Uraian A. Modal tetap Tali 8 mm (kg) Tali 9-10 mm (kg) Jangkar Pelampung utama Botol air mineral Tali rafia (kg) Bibit E. cottonii (kg) Pisau Maker/snorkel Timbangan Karung Perizinan Sampan Total modal tetap B. Modal kerja Upah tanam per panen C. Total pengeluaran D. Pendapatan E. Keuntungan F. Profit margin (%) G. B/C ratio Sumber: Anggadiredja at al. 2006
Jumlah
Harga satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
72 32 32 48 1 600 168 960 8 4 2 500 1 1
20 000 20 000 10 000 5 000 100 3 000 1 000 500 25 000 50 000 500 100 000 250 000
1 440 000 640 000 320 000 240 000 160 000 504 000 960 000 4 000 100 000 100 000 250 000 100 000 250 000 5 068 000
448
10 000
7 467
4 500
4 480 000 9 548 000 33 600 000 24 052 000
251.9 4
Soekartawi (2002) menyatakan bahwa tenaga kerja yang perlu diitegrasikan ke dalam proses produksi, sebaiknya dipilih dari masyarakat yang bertempat tinggal di dekat lokasi usaha tani terutama pelaku atau nelayan lokal. Penggunaan tenaga kerja tersebut dapat menghemat biaya produksi dan sekaligus membuka peluang atau kesempatan kerja. Rahim dan Hastuti (2007) menyatakan bahwa tenaga kerja harus mempunyai kualitas berpikir yang maju seperti pelaku yang mampu
27
mengadopsi inovasi-inovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian komoditas yang bagus dan bernilai jual tinggi. Soekartawi (2002) menyatakan pula bahwa analisis ketenagakerjaan diperlukan standarisasi satuan tenaga kerja yang biasa disebut hari kerja setara pria (HKSP). Penggunaan tenaga kerja dinyatakan sebagai curahan tenaga kerja yang didefiniskan sebagai besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai. Ukuran tenaga kerja ini dinyatakan dalam hari orang kerja (HOK) atau hari kerja orang (HKO). Pendekatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Perairan pesisir Menurut Bengen (2005) bahwa terdapat dua pendekatan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Pertama pengelolaan secara sektoral. Pengelolaan ini, pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem. Tujuan dari pengelolaan ini adalah untuk memenuhi kepentingan sektor tertentu seperti perikanan, pariwisata, perhubungan dan sebagainya. Dampaknya adalah ”cross-sectoral” atau cross-regional” sering terabaikan sehingga model perencanaan dan pengelolaan sektoral ini menimbulkan kerusakan lingkungan dan mematikan sektor lain. Pendekatan kedua adalah pengelolaan secara terpadu. Penerapan pengelolaan ini dilakukan berdasarkan penilaian sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut secara menyeluruh. Merencanakan tujuan dan sasaran serta melaksanankan segenap kegiatan pemanfaatannya merupakan upaya pencapaian pembangunan optimal dan berkelanjutan sebagai dimensi pengelolaan terpadu. Kontrol dan Pelaksanaan pengelolaan terpadu perlu dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya. Aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir, konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada menjadi titik kontrol dalam pengelolaan secara terpadu. Bengen (2005) mengemukakan bahwa ada empat aspek dalam keterpaduan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Aspek-aspek tersebut meliputi: 1. Keterpaduan ekologis. Wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan perairan laut. Oleh karena proses-proses alami yang terjadi di darat seperti aliran air tawar dan sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran, maka pengelolaan wilayah pesisir tidak lepas dari pengelolaan lingkungan dari kedua sistem ekologi tersebut.
28
2. Keterpaduan sektoral. Konsekwensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam bidang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya sering terjadi tumpang-tindih pemanfaatan antara satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan tersebut dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam pelaksanaan perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektor. 3. Keterpaduan disiplin ilmu. Wilayah pesisir dan laut memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan karaktersitik ekosistem maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakatnya. Dengan demikian dibutuhkan disiplin ilmu khusus yang dapat dibagi secara umum kedalam ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosial. 4. Keterpaduan
stakeholder.
Keterpaduan
dari
pelaku
dan
pengelola
pembangunan di kawasan pesisir merupakan kunci keberhasilan dari ketiga keterpaduan di atas. Oleh karena itu, peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola perairan laut pesisir. Widodo (2008) menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan secara terpadu disinyalir memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan jaminan adalah pengelolaan berbasis masyarakat (PBM). PBM tersebut menempatkan masyarakat sebagai subyek dan bukan obyek semata agar masyarakat berpartisipasi dan berperan serta aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi. Apabila pendekatan pengelolaan dilakukan dengan semangat lokalitas, maka masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka PBM dapat dipandang sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya sendiri. Kebutuhan awal dalam pengelolaan seperti ini adalah pendefinisian kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasi masyarakat. Pemberian tanggung jawab ini menjadikan masyarakat dapat mengambil keputusan sehingga menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka.
29
Carter (1996) diacu dalam Widodo (2008) menyatakan bahwa konsep PBM dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan perairan pesisir dari beberapa aspek memiliki kemampuan pisitif. Kemampuan tersebut meliputi: (1) mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan; (2) merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta (7) memotivasi masyarakat lokal untuk mengelola secara berkelanjutan. Menurut Widodo (2008) bahwa konsep PBM mengalami perubahan dengan dikembangkannya satu konsep yang disebut “Co-Management”. Konsep tersebut adalah pengelolaan lingkungan perairan pesisir tidak hanya melibatkan unsur masyarakat lokal, tetapi juga melibatkan unsur pemerintah. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi adanya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan di wilayah perairan pesisir. Pomeroy (1994) menyatakan bahwa penerapan Co-Management berbeda-beda tergantung pada kondisi spesifik lokasi. Co-management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh permasalahan dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Perlu juga dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu. Penerapan Co-management yang baik dan sukses memerlukan waktu, biaya dan upaya bertahun-tahun. Widodo (2008) menyatakan bahwa masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu, praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang masih murni oleh masyarakat menjadi embrio dari penerapan konsep Co-Management. White (1989) menyatakan bahwa tidak ada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berhasil tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam dan lingkungan tersebut. Sejalan dengan itu, Schaduw (2008) menyatakan bahwa Desa Blongko merupakan salah satu desa di provinsi Sulawesi Utara yang mendapat program pelestarian mangarove. Program ini diprakarsai oleh pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dibantu LSM dan Perguruan Tinggi setempat. Pelaksanaan program ini terkesan dipaksakan
30
yang dapat dilihat dari partisipasi kehadiran masyarakat pada tahap sosialisasi, perencanan, dan pelatihan yang hanya berasal dari masyarakat di dekat kantor desa ataupun rumah kepala desa. Disamping itu, masyarakat akan mendapatkan imbalan uang dari pihak pelaksana kegiatan apabila hadir dan mengisi daftar hadir. Akibatnya, timbul kecemburuan sosial diantara masyarakat karena kurang melibatkan masyarakat yang tinggal jauh dari pusat desa. Disamping itu, timbul opini masyarakat bahwa kegiatan ini kurang begitu penting untuk diikuti dan membuat masyarakat selalu berpikir bahwa usaha pelestarian itu hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, pelaksanaan program ini kurang begitu berhasil. Berbeda dengan hal di atas, upaya pelestarian ekosistem karang GPK dilakukan berdasarkan pendekatan manfaat yang dicapai oleh setiap pengguna kawasan. Penurunan hasil tangkapan nelayan disetiap penggunaan alat tangkap tradisional sebagaimana Duncan (2005) yang disosialisasikan melalui kontak person dengan setiap pengguna mampu membangkitkan semangat masyarakat untuk mencari solusi penanganannya. Hal ini dapat dilihat pada tingginya antusias masyarakat untuk menghadiri setiap pertemuan baik ditingkat desa maupun kecamatan dalam membahas perkembangan sumberdaya perairan pesisir GPK. Salah satu indikatornya adalah pertemuan dalam membahas penomoran perahu di tingkat kecamatan yang dihadiri oleh masyarakat GPK dengan rata-rata persentase kehadiran 127.40% dari jumlah nelayan yang ada di setiap desa. Indikator berikutnya adalah munculnya Forum Komunikasi Masyarakat Toudani (Forkani) yang terbentuk dari aspirasi masyarakat setempat sebagai wadah komunikasi dan penampungan laporan hasil produksi setiap nelayan. Hasil laporan tersebut bisa dibandingkan dengan nilai perikanan lain yang ada di dunia untuk menentukan tingkat korelasi dari pengeksploitasian perikanan Kaledupa. Sebagai contoh, hasil pancing tangan GPK terdapat sekitar 1.46 kg/jam (nilai CPUE), sementara pada kondisi pengelolaan habitat yang baik seperti di New Caledonia terdapat sekitar 3.37 kg/jam. Demikian pula hasil senapan panah terdapat sekitar 1.19 kg/jam, sementara pada kondisi pengelolaan habitat yang dinyatakan buruk terdapat sekitar 1.10 kg/jam sebagaimana yang terjadi di Pulau Malalison Philippines. Contoh tersebut memberikan transparansi pengelolaan ekosistem perairan pesisir
31
GPK yang muncul dari masyarakat pengguna untuk memperoleh masukan dalam menjamin tingkat keberlanjutan matapencaharian mereka. Pomeroy (1994) mengemukakan sembilan kunci kesuksesan dari model CoManagement, yaitu (i) batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi, (ii) kejelasan keanggotaan, (iii) keterikatan dalam kelompok, (iv) manfaat harus lebih besar dari biaya, (v) pengelolaan yang sederhana, (vi) legalisasi dari pengelolaan, (vii) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (viii) desentralisasi dan pendelegasian wewenang, serta (ix) koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Konsep Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan landasan pengelolaan perairan pesisir. Konsep ini pertama kali dipublikasikan oleh World Conservation Strategy pada tahun 1980. Lahirnya konsep tersebut merupakan babak baru dari teori pembangunan dan sekaligus mengakhiri perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan penyelamatan lingkungan. Menurut Munasinghe (1993) bahwa pembangunan berkelanjutan menekankan pada tiga pilar yaitu ekonomi, ekologi dan sosial (Gambar 2). Pilar ekonomi menekankan perolehan pendapatan yang berbasis efisiensi penggunaan sumberdaya. Secara ekologi menekankan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem. Secara sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya yang meliputi antara lain penghindaran konflik keadilan baik antara generasi maupun dalam satu generasi.
Ekonomi Pertumbuhan dan efisiensi Distribusi pendapatan, kesempatan kerja
Internalisasi, AMDAL, Valuasi
Partisipasi, Konsultasi, Pluralisme
Sosial
Ekologi
Kemiskinan dan keadilan
Degradasi sumberdaya alam
Gambar 2 Trade-off tujuan antar komponen pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993).
32
Serageldin (1993) menyatakan bahwa keberlanjutan ekonomi meliputi pertumbuhan
ekonomi,
pemeliharaan
modal
dan
efisiensi
penggunaan
sumberdaya dan modal. Keberlanjutan ekologi meliputi kesatuan ekosistem, daya dukung, perlindungan keanekaragaman jenis dan sumberdaya alam. Keberlanjutan sosial adalah adanya kesejahteraan, keadilan, pemberdayaan, partisipasi dan kelembagaan. Implementasi pembangunan berkelanjutan yang pertama kali diperhatikan adalah aspek sosial, karena berperan sebagai pusat dari pembangunan yang mementingkan
pendekatan
kesejahteraan
dan
pemberdayaan.
Kelompok
masyarakat yang harus diutamakan adalah masyarakat marginal dan kelompok miskin. Antara kedua kelompok tersebut, peranan wanita mendapat posisi yang sangat penting. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui pembukaan akses kelompok masyarakat ke sumber modal, penyuluhan, pelatihan usaha, kesempatan usaha dan kesempatan kerja (Serageldin 1993).