BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pembangunan Berkelanjutan dan Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Salah satu pendekatan pembangunan yang dilakukan untuk pengelolaan
lingkungan hidup adalah pembangunan berkelanjutan.
Istilah pembangunan
berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata para ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumberdaya alam. Laporan ini diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan - PBB (UN World Commission on Environment and Development WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland, dalam laporan tersebut didefinisikan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pembangunan
berkelanjutan adalah: Pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Lebih jauh, dikatakan bahwa pada tingkat yang minimum,
pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Pembangunan berkelanjutan sebagai suatu paradigma pembangunan baru yang
menyepakati
suatu
pendekatan
yang
terintegrasi/terpadu
terhadap
pembangunan, yang menggabungkan sekaligus tiga pilar pembangunan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara
Siregar (2004) menjelaskan ada 3 aset dalam pembangunan berkelanjutan yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan infrastruktur. Sumberdaya alam adalah semua kekayaan alam yang dapat digunakan dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sumberdaya manusia adalah semua potensi yang terdapat pada manusia seperti akal pikiran, seni, dan keterampilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun orang lain atau masyarakat pada umumnya.
Sedangkan infrastruktur adalah sesuatu buatan manusia yang dapat
digunakan sebagai sarana untuk kehidupan manusia dan sebagai sarana untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan semaksimalnya, baik untuk saat ini maupun keberlanjutannya di masa yang akan datang. Dalam pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting yaitu pertama gagasan kebutuhan yaitu kebutuhan esensial yang memberlanjutkan kehidupan manusia.
Kedua gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi
teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan (Djajadiningrat, dan Famiola, 2004). Selanjutnya Djajadiningrat dan Famiola (2004) menyatakan bahwa setiap elemen pembangunan berkelanjutan diuraikan menjadi empat hal yaitu: pemerataan dan keadilan sosial, keanekaragaman, integratif dan perspektif jangka panjang. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas), disebutkan bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang ketiga, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan, maka
Universitas Sumatera Utara
kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya: 1. Mengelola sumberdaya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya; 2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan; 3. Mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara bertahap; 4. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; 5. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; 6. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu; dan 7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global. Sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan berkelanjutan menurut Propenas adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu yang
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antargenerasi, antardunia usaha dan masyarakat dan antarnegara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang optimal. Selanjutnya sistem pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan lingkungan pesisir juga harus memerlukan indikator kinerja (performance indicator). Indikator kinerja pembangunan berkelanjutan telah dilakukan di berbagai negara di dunia ini. Indonesia belum menjadikan indikator kinerja pembangunan berkelanjutan. Tetapi Propinsi Sumatera Utara telah mulai menginisiasi indikator kinerja pembangunan berkelanjutan (Bapedalda SU). PBB divisi pembangunan berkelanjutan (UN, 2001) telah menyusun indikator pembangunan berkelanjutan. Adapun indikatornya adalah seperti yang tercantum pada Tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan No.
Kategori Indikator
I. 1.
Indikator Sosial Kemiskinan
2.
Kesehatan
3.
Tingkat Pendidikan
4. 5. 6.
Kondisi rumah tempat tinggal Kriminalitas Kependudukan
Parameter a.
Jumlah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. b. Indeks gini ketidakadilan pendapatan. c. Tingkat pengangguran. a. Status gizi anak-anak. b. Tingkat kematian anak-anak di bawah 5 tahun. c. Tingkat harapan hidup. d. Persentase penduduk yang memiliki saluran pembuangan limbah (MCK). e. Immunisasi. f. Tingkat pemakaian alat kontrasepsi. a. Tamat SD. b. Tamat SMP. c. Angka buta huruf. Luas rumah/jiwa. Jumlah kriminalitas per 100.000 penduduk. a. Tingkat pertumbuhan penduduk. b. Pemukiman penduduk formal dan informal di perkotaan.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel 2.1 No.
Kategori Indikator
II. 1. 2. 3. 4.
Indikator Lingkungan Perubahan Iklim Berlubangnya lapisan ozon Kualitas Air Pertanian
5.
Kehutanan
6. 7.
Penggurunan Perkotaan
8.
Pesisir
9.
Kuantitas Air Bersih
10.
Kualitas Air Bersih
11. III. 1. 2. 3. 4. 5.
Spesies Indikator Ekonomi Kinerja ekonomi Perdagangan Status keuangan Konsumsi Material Penggunaan Energi
6.
Manajemen Sampah
IV. 1.
Indikator Kelembagaan Implementasi Strategi Pembangunan Berkelanjutan Kerjasama Internasional Akses Informasi Komunikasi Infrastruktur Sains dan teknologi Persiapan dan tanggung jawab terhadap bencana
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Parameter Emisi gas rumah kaca. Tingkat konsumsi zat yang merusak lapisan ozon. Konsentrasi pencemaran air ambien di perkotaan. a. Peruntukan lahan pertanian. b. Penggunaan pupuk. c. Penggunaan pestisida untuk pertanian. a. Persentase lahan untuk hutan. b. Intensitas pengambilan kayu. Lahan yang menjadi gurun. Permukiman penduduk formal dan informal di perkotaan. a. Konsentrasi algae di laut. b. Persentase dari total penduduk menetap di pesisir. Persentase air yang diambil dari ABT dan APU dari air yang tersedia setiap tahun. a. BOD di badan air. b. Konsentrasi Bakteri Coli pada air bersih. Kelimpahan spesies terpilih. GDP perkapita. Keseimbangan perdagangan barang dan jasa. GNP. Intensitas penggunaan material. a. Konsumsi penggunaan energi per kapita/tahun. b. Intensitas penggunaan energi. c. Pembagian konsumsi sumberdaya energi yang dapat diperbaharui. a. Sampah industri dan sampah padat. b. Limbah B3. c. Sampah Radioaktif. d. Penggunaan kembali dan recycle sampah. Pembangunan Berkelanjutan Nasional. Implementasi dari ratifikasi Perjanjian Global. Jumlah internet yang terdaftar per 1000 penduduk. Jumlah nomor telepon per 1000 penduduk. Persentase biaya litbang dibandingkan dengan GDP. Kerugian manusia akibat bencana.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu Dahuri (2003) telah menulis indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati laut, yang minimal harus meliputi 4 dimensi yaitu: (1) ekonomi, (2) sosial, (3) ekologi, (4) pengaturan (governance).
Adapun indikator pembangunan berkelanjutan
sumberdaya perikanan yang diungkap oleh Dahuri (2003) dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Dimensi
Indikator • •
1. Ekonomi
2. Sosial
3. Ekologi
4. Governance
• • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Volume dan nilai produksi. Volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai total ekspor nasional). Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB. Pendapatan nelayan. Nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik pengolahan. Penyerapan tenaga kerja. Budaya kerja. Tingkat pendidikan. Tingkat kesehatan. Distribusi jender dalam proses pengambilan keputusan (gender distribution in decision making). Kependudukan (demography). Komposisi hasil tangkap. Hasil tangkap per satuan upaya (CPUE). Kelimpahan relatif spesies target. Dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non target. Dampak tidak langsung penangkapan terhadap struktur tropik. Dampak langsung alat tangkap terhadap habitat. Perubahan luas area dan kualitas habitat penting perikanan. Hak kepemilikan (property rights). Ketaatan terhadap peraturan perundangan (compliance regime). Transparansi dan partisipasi.
Sumber: Dahuri (2003). Pengelolaan lingkungan pesisir mendapat angin segar sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat
Universitas Sumatera Utara
populer disebut UU Otonomi Daerah. Selanjutnya UU Nomor 22 diganti menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyelenggarakan Otonomi Daerah berdasarkan Pemerintahan Negara Kesatuan RI menurut UUD 45. Penyelenggaraan Otonomi Daerah menekankan kepada prinsipprinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Untuk menghadapi
perkembangan situasi, maka Pemerintah Pusat memandang perlu penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsip tadi yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan RI. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengelolaan wilayah pesisir diatur mulai dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 18 (Aritonang, 2006). Adapun bunyi Pasal 17 sebagai berikut: Ayat 1: Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya alam lainnya antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian; b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya, dan c. Penyelesaian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Universitas Sumatera Utara
Ayat 2: Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya alam lainnya antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. Pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya alam lainnya yang menjadi kewenangan daerah; b. Kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam lainnya antar pemerintahan daerah, dan c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Ayat 3: Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada Pasal 18 disebutkan sebagai berikut: Ayat 1: Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Ayat 2: Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat 3: Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; b. Pengaturan administratif; c. Pengaturan tata ruang;
Universitas Sumatera Utara
d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Ayat 4: Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dari 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota. Ayat 5: Apabila wilayah laut antara 2 (dua) propinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) propinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh
1
/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan propinsi dimaksud. Ayat 6: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Ayat 7: Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pesisir selama ini masih dimasukkan dalam doktrin milik bersama (common property), sehingga sering menjadi ajang perebutan bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan dari sumberdaya pesisir. Sehingga dikenal dengan Tragedy of The Commons di mana kebebasan untuk menggunakan alam pada semua orang akan membawa kita pada malapetaka (Hardin, 1968). Salah satu sifat yang menonjol
Universitas Sumatera Utara
dari sumberdaya yang bersifat common property adalah tidak terdefinisikannya hak pemilikan sehingga menimbulkan gejala yang disebut dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente sumberdaya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan sumberdaya yang optimal (Fauzi, 2005). Ada empat akibat buruk dari penerapan doktrin milik bersama tersebut yakni: (1) Pemborosan sumberdaya alam secara fisik, (2) Inefisiensi secara ekonomi, (3) Kemiskinan nelayan, dan (4) Konflik antarpengguna sumberdaya alam. Christy menawarkan solusinya dengan penerapan penggunaan wilayah pada perikanan (territorial use rights in fisheries) (dalam Bromley dan Cernea, 1989). Pengalaman di Indonesia dalam kaitan dengan desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir adalah munculnya kondisi ekstrim yaitu pengkaplingan wilayah laut (Kamaluddin, 2000). Desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir juga mengutamakan potensi perikanan, dan membagi kekuasaan laut yang hanya bisa pulau-pulau besar, padahal potensi pesisir bukan saja di bidang perikanan, tetapi masalah parawisata bahari, transportasi/perhubungan laut dan potensi mineral.
Misalnya Abubakar
menyatakan dalam bukunya yang berjudul Menata Pulau-pulau Kecil di Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan dan Sebatik (2006) bahwa pulau-pulau kecil sering terabaikan karena pulau-pulau kecil terpisah dari induknya (mainland), sehingga bersifat insuler, memiliki persediaan air tawar yang terbatas, termasuk air tanah atau air permukaan, rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia, memiliki spesifik endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi dan tidak memiliki hinterland.
Universitas Sumatera Utara
Akibat kondisi yang demikian itu, persoalan pesisir terjebak pada hal yang teknologis dengan menggunakan parameter ekonomis, sehingga alpa terhadap pentingnya kelestarian. Sebagai contoh adalah pukat harimau (trawl) yang nyata juga merusak masih saja ada yang menyatakan alat tangkap tersebut masih efektif dan mampu menangkap ikan lebih banyak. Sehingga persoalan pukat harimau masih prokontra antara realita (pengalaman nelayan tradisional) dan pandangan sebagian ilmuwan. Sekalipun kebijakan tentang pelarangan trawl lewat Keppres 39 Tahun 1980 telah diberlakukan namun hal tersebut tetap menjadi persoalan. Kepentingan ekonomis lewat eksplorasi lebih kentara daripada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (nelayan) serta pentingnya kelestarian serta cenderung mengabaikan hukum yang berlaku. Pengembangan teknologi tangkap ikan dengan berbagai modifikasi teknologi terus dilakukan, tetapi tetap saja bersifat merusak. Pada saat Pemerintah melarang alat jenis pukat harimau (trawl) muncul alat tangkap lampara dasar, pukat ikan yang sebenarnya cara kerja alat tangkap tersebut tidak ada bedanya seperti pukat harimau (trawl). Padahal banyak alat tangkap nelayan tradisional yang dapat dimodifikasi. Juga pada saat Pemerintah melarang operasi pukat harimau (trawl), Pemerintah mengeluarkan program pengembangan udang nasional, akibatnya terjadi penebangan hutan secara besar-besaran untuk usaha tambak udang. Pembukaan tambak udang tersebut turut memarginalisasi nelayan tradisional dengan semakin sempitnya daerah tangkapan nelayan tradisional, sebab anak sungai (paluh) yang dulunya tempat
Universitas Sumatera Utara
nelayan tradisional memancing ikan ditutup untuk kepentingan irigasi tambak udang (JALA, 2007). Menurut Bromley dan Cernea (1989), ada empat tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir, yaitu: a. Open access property, b. Common properyty, c. Public property, dan d. Private property. Masing-masing karakteristik tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir ini turut menentukan bagaimana cara pengelolaan wilayah pesisir dilakukan. Di Sulawesi Utara terdapat keempat tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut, namun yang dominan adalah tipe milik Pemerintah, dan di beberapa tempat berkembang tipe milik quasi-pribadi. Di perairan Bunaken masyarakat nelayan masih menganggap sumberdaya ikannya sebagai open access property sehingga nelayan dari tempat lain dibiarkan menangkap ikan. Di Desa Tumbak dan Desa Biongko masyarakat menganggap sumberdaya ikan, mangrove dan terumbu karang yang ada di depan desa mereka adalah milik komunal dari desa tersebut (Mancoro, 1997). Akan tetapi UU Pokok Perairan No. 6 Tahun 1996 dengan tegas menyatakan sumberdaya alam yang ada di perairan adalah milik Pemerintah. Dalam skala tertentu pemerintah membiarkan kelompok masyarakat pesisir untuk mengelolanya.
Sehingga timbul kerancuan (ambiguim) bahwa disatu sisi
pesisir dianggap milik penduduk, tetapi disisi lain dianggap milik Pemerintah. Kerancuan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (ambiguity of property regimes) ini mendorong timbulnya konflik pemanfaatan (user conflict) dan konflik kewenangan (yurisdictional conflict). Konflik dapat muncul dari beberapa sebab,
Universitas Sumatera Utara
namun yang dominan adalah kerancuan tipe pemilikan.
Konflik yang berkaitan
dengan penguasaan sumberdaya alam laut sering kali muncul misalnya seperti kasus di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara (Adhuri, 2005).
Adhuri (2005) juga
menyatakan ada dua tantangan dalam mempraktekkan manajemen sumberdaya laut secara berkelanjutan, yaitu pertama, kesadaran yang ditunjukkan oleh pelaku akan pentingnya manajemen yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak tampak pada stakeholder (termasuk aparat militer dan birokrasi daerah) di daerah.
Kedua,
terdapatnya kontestasi di antara semua kelompok yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya laut. Pada arena kontestasi ini tampaknya masing-masing kelompok cenderung saling mengklaim hak khusus mereka terhadap sumberdaya laut dan menafikan klaim dari pihak lain. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan dengan konsep ko-manajemen (Nikijuluw, 2002).
Salah satu rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang
dianggap pula sebagai rezim ko-manajemen adalah desentralisasi wewenang dan tanggung jawab dari Pusat kepada Pemerintah yang ada di bawahnya. Dalam pustaka mengenai administrasi publik, desentralisasi secara vertikal mempunyai empat bentuk, yaitu dekonsentrasi berarti penyerahan wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada lembaga atau instansi Pemerintah di daerah atau kepada unit instansi Pusat yang berlokasi di daerah. Kedua delegasi, yaitu penyerahan sebagian wewenang dan kekuasaan untuk mengambil keputusan dari Pemerintah Pusat kepada instansi atau staf pemerintah yang ada di daerah, namun setiap saat Pemerintah Pusat tetap memiliki hak dan kuasa untuk menerima atau menolak keputusan yang diambil
Universitas Sumatera Utara
di daerah tersebut. Ketiga, devolusi yaitu penyerahan kekuasaan dan tanggung jawab hal spesial atau khusus dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Keempat swastanisasi yaitu penyerahan tanggung jawab tugas tertentu dari Pemerintah Pusat kepada organisasi non Pemerintah, LSM, organisasi voluntir swasta (private voluntary organization, atau PVO), organisasi atau asosiasi masyarakat dan perusahaan swasta. Senada dengan hal di atas, Person, G A, Diny M.E. van Est dan Tessa Minter yang menulis tentang desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Person dan kawan-kawan menyarankan bahwa dalam proses desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam sebaiknya mengarah pada bentuk pengelolaan bersama (co-management).
2.2.
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Management) Kebijakan DKP tahun 2003 yang dikutip oleh Alikodra (2005) bahwa
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, mencakup pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya pesisir.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir meliputi sumberdaya alam
hayati dan nonhayati, jasa lingkungan pesisir, sumberdaya binaan/buatan, dan tanah timbul.
Dalam hal penguasaan sumberdaya wilayah pesisir, harus dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, hak ulayat dan masyarakat adat, hak pengelolaan perairan, dan berdasarkan kebiasaan serta hukum adat setempat. Pembelajaran penting bagi Indonesia, dalam rangka pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Perlunya payung hukum tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu; 2. Membantu memfasilitasi pengambilan keputusan terpadu dan terintegrasi, melalui proses koordinasi dan kerjasama antarberbagai sektor, secara terus menerus dan dinamis; 3. Meningkatkan peran instansi terkait yang memiliki instrumen pengelolaan baik secara struktural, aturan, maupun prosedur/kebijakan bersifat insentif; dan 4. Membantu dan memfasilitasi setiap keputusan yang diambil, agar melalui evaluasi formal dan konsisten. Sejak tahun 2002/2003 atas bantuan ADB, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mengembangkan program MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Programme). MCRMP merupakan suatu program DKP, yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan daerah, dalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara bijaksana dalam suatu kerangka pengelolaan pesisir terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Program ini bertujuan membantu instansi terkait dalam fasilitasi dan sosialisasi, dan sekaligus mengimplementasikan program ICM, dalam sistem keterpaduan pengelolaan sumberdaya pesisir (Alikodra, 2005). Seperti telah disampaikan sebelumnya, bahwa program yang tertuang dalam MCRMP terfokus pada penguatan kapasitas daerah. Karena pada dasarnya lemahnya pengelolaan sumberdaya pesisir adalah sangat ditentukan oleh pengembangan kapasitas (capacity building) daerah, yang menjadi ujung tombak pengelolaan. Target akhirnya, jika kapasitas daerah sudah diperkuat, maka harus pula diikuti
Universitas Sumatera Utara
dengan kemampuannya dalam implementasi konservasi sumberdaya pesisir, baik rehabilitasi maupun pemanfaatannya secara bijaksana. Dalam program MCRMP, dilakukan pendekatan peningkatan kapasitas daerah dengan cara mengembangkan hirarki perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, yang meliputi (Alikodra, 2005): 1. Renstra Pengelolaan Wilayah Pesisir: berperan dalam menentukan visi/wawasan dan misi pengelolaan; 2. Rencana Zonasi: berperan dalam pengalokasian ruang, memilah kegiatan yang sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis di ruang lain dan pengendalian ruang laut sesuai tata cara yang ditetapkan; 3. Rencana Pengelolaan: berperan untuk menuntun pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya di wilayah prioritas sesuai karakteristiknya; dan 4. Rencana Aksi: berperan menuntun penetapan dan pelaksanaan kegiatan sebagai upaya mewujudkan rencana pengelolaan, serta mencapai tujuan dan sasaran. Wilayah pesisir merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan maupun air tanah, dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir. Secara konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan dalam keterkaitan antara lingkungan darat, lingkungan laut, dan aktivitas manusia (Alikodra, 2005).
Alikodra (2005) juga
menyatakan melalui MCRMP, diharapkan akan dapat dicapainya optimalisasi, efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, dan terwujudnya
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. MCRMP dipersiapkan dalam rangka memberikan bantuan teknis, pelatihan, data dan peralatan, serta fasilitasi, bagi Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Program ini sangat komprehensif, melibatkan berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu, dan berbagai konsultan maupun kontraktor, baik dalam maupun luar negeri. Gambaran yang lebih konseptual tentang pelaksanaan pengelolaan pesisir terpadu yang dikembangkan melalui MCRMP dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pelaksanaan Program MCRMP di Indonesia diharapkan dapat mendorong pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu, terintegrasi yang mengacu pada prinsip ICM. Melalui cara ini, diharapkan dapat membantu instansi terkait dalam fasilitasi dan sosialisasi program ICM.
Sehingga akan tercapai keterpaduan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
• Tujuan
• Cakupan kegiatan
• Tatanan pelaksanaan •Manfaat •dll
RENCANA AKSI
• Rencana kerja • Pengaturan koordinasi • Paket terpadu kegiatan
RENCANA PENGELOLAAN
• Alokasi ruang • Pemilihan dan •
penempatan kegiatan
ALOKASI RUANG DAN SUMBERADAYA
RENSTRA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
• Isu pengelolaan • Target kinerja • Organisasi/ lembaga •Rencana kerja
Gambar 2.1. Hirarki Perencanaan dalam Konsep MCRMP (Alikodra, 2005) Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Sebagai
kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.
Pemanfaatan
sumberdaya pesisir yang tidak memenuhi kaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir
untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Management, ICM).
Apabila perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya pesisir tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya
Universitas Sumatera Utara
tersebut akan rusak bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang keseimbangan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur.
Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau
pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et al., 1996; Cicin-Sai and Knecht, 1998; Kay and Alder, 1999). Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur essensial dari ICM adalah keterpaduan dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: (1) pemahaman yang baik tentang proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir. Proses pengelolaan biasanya melingkupi kegiatan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang.
Proses pengelolaan
Universitas Sumatera Utara
kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini minimum memiliki empat tahapan utama: (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Knect, 1998).
Pada tahap perencanaan dilakukan
pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan.
Atas dasar ini, kemudian
ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya dalam laporan kegiatan yang dilakukan oleh Bappeda Sumatera Utara (Bappedasu, 2007) disebutkan bahwa tujuan ICM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir mencakup empat aspek, yaitu: (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b) keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder. Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu pada dasarnya
merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan and one manegement serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Lebih lanjut Bappedasu (2007) menyatakan bahwa keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu koordinasi tugas,
Universitas Sumatera Utara
wewenang, dan tanggung jawab antarsektor atau instansi (horizontal integration); dan antartingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai Pemerintah Pusat (vertical integration).
Sedangkan keterpaduan sudut
pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri (Alikodra, 2008).
Perubahan atau
kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan berdampak negatif ke ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir, juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas maupun laut lepas. Kondisi empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir.
Nuansa
keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari tiga tahap utama, yaitu perencanaan, implementasi dan monitoring/evaluasi. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antarstakeholders sehingga perlu perumusan bersama tentang visi seperti terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan
Universitas Sumatera Utara
dan berkelanjutan (Alikodra, 2003).
Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan
difokuskan untuk menangani isu utama yang teridentifikasi dalam pengelolaan wilayah pesisir yaitu peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengembangan sistem informasi dalam pengolahan alam dan lingkungan berbasis ekosistem terpadu. Agar pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang bertanggung jawab dapat dicapai maka kualitas sumberdaya manusia baik sebagai pengelola langsung maupun sebagai penentu kebijakan sudah sangat penting untuk ditingkatkan melalui (1) peningkatan program pelatihan dan keterampilan secara rutin kepada masyarakat dan staf instansi dalam hal pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang berkelanjutan misalnya sistem dan teknologi penangkapan dan budidaya ikan; (2) peningkatan sarana dan prasarana pendidikan termasuk tenaga guru; (3) peningkatan sarana dan prasarana kesehatan; (4) peningkatan taraf hidup atau pendapatan masyarakat melalui penciptaan mata pencaharian alternatif. Menurut Bappedasu (2007) instrumen perencanaan dalam kaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir di Sumatera Utara, diawali dari penyusunan Rencana Strategis, diikuti dengan Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi. Rencana Strategis disiapkan untuk wilayah yang luas seperti tingkat Provinsi; tetapi dalam prakteknya juga disusun untuk tingkat Kabupaten/Kota dikarenakan mandat pengelolaan sumberdaya alam yang diberikan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Dalam program Marine Coastal Resource Management (MCRM), Rencana Zonasi (Pemintakatan), Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi diharuskan untuk tingkat
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten, namun boleh juga dilakukan pada daerah Provinsi agar supaya prakarsa pembangunannya dapat terfokus dan memiliki prioritas. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) (ICZM) adalah suatu proses pengelolaan yang melibatkan penyusunan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana aksi, terstruktur menurut hirarkinya. Rencana-rencana ini seharusnya disiapkan dengan partisipasi stakeholder yang paling terpengaruh oleh keputusan pengelolaan sumberdaya. Pendekatan terstruktur ini meningkatkan legalitas dan kerangka kerja kelembagaan untuk meyakinkan bahwa keputusan pengelolaan akan menghasilkan perbaikan keadaan lingkungan dan sosial ekonomi, serta memenuhi keinginan stakeholder (Bappedasu, 2007). Dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dokumen lainnya, seperti Rencana Strategis menentukan visi/ wawasan dan misi serta tujuan dan sasaran berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, serta penetapan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan. Rencana Zonasi berperan dalam pengalokasian ruang, memilah kegiatan yang sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis di ruang lain dan pengendalian pemanfaatan ruang laut sesuai dengan tata cara yang ditetapkan. Rencana Pengelolaan menuntun pengelolaan sumberdaya alam sesuai dengan skala prioritas maupun dalam pemanfaatan sumberdaya sesuai karakteristik suatu wilayah. Rencana Aksi menuntun penetapan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek sebagai upaya dalam mewujudkan rencana pengelolaan (Bappedasu, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Hirarki pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM) biasanya digambarkan sebagai 4 (empat) dokumen perencanaan yang terpisah, namun hirarki seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.1 bertujuan untuk mengenali tahap penting sebelum dan tindak lanjut kegiatan perencanaan yang harus dilakukan.
Piramid
terbalik menggambarkan peningkatan fokus cakupan spasial untuk kerincian rencana. Hirarki ICZM menciptakan tahapan pendekatan untuk perencanaan tetapi batas yang logik untuk isi setiap dokumen perencanaan perlu untuk diidentifikasi secara jelas. Penjelasan batas akan menghindari tumpang tindih yang tidak perlu dalam pekerjaan pokok dan akan membentuk satu satuan yang menggambarkan keterpaduan fungsional pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM) untuk suatu lokasi. Berdasarkan pada maksud Kepmen No. 10 Tahun 2002, tujuan dan isi setiap dokumen diuraikan dalam bagian berikut ini: Atlas: Atlas ditambahkan pada bagian atas hirarki ICZM karena telah disiapkan pada sejumlah Propinsi MCRMP. Atlas adalah suatu kompilasi dan analisis data tahap awal pada perencanaan strategis, dan harus meliputi seluruh kawasan pesisir propinsi. Pada umumnya, kebanyakan Atlas menampilkan kompilasi data tabel dari sumber sekunder seperti laporan penelitian, dinas sektoral dan biro statistik. Kontribusi yang paling penting dari Atlas adalah analisis dan interpretasi kecendrungan dari data runtun waktu (time-seri) (Bappedasu, 2007). Rencana Strategis: Rencana strategis harus secara luas membicarakan seluruh wilayah pesisir dalam yurisdiksi satuan pemerintahan yang telah disiapkan oleh Propinsi Sumatera Utara.
Sebagai rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu
Universitas Sumatera Utara
(ICZM) bertingkat-tinggi, Rencana Strategis harus merupakan arah kebijakan lintas sektor untuk pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dan indikator yang tepat untuk memonitor rencana bertingkat-tinggi. Aksi spesifik seharusnya tidak termasuk dalam Rencana Strategis. Data runtun waktu (time-seri) dan analisa yang disediakan dalam Atlas dimaksudkan untuk membantu identifikasi isu kunci yang akan dibahas sebagai bagian dari Rencana Strategis. Namun, sumber dan metoda lain untuk mendapatkan informasi baik secara objektif maupun subjektif untuk mengindentifikasikan isu harus digunakan, seperti panel ahli dan kelompok kontak.
Rencana Strategis harus
disesuaikan dengan perundang-undangan nasional dan propinsi yang relevan, serta kebijakan dan program dinas sektoral (Bappedasu, 2007). Rencana
Zonasi:
Rencana
Zonasi
mendukung
Rencana
Strategis
karena
mengarahkan aksi ke depan pada lokasi geografi yang sesuai. Rencana Zonasi ini tidak seharusnya mengulangi pekerjaan sebelumnya dalam penyusunan Atlas atau Rencana Strategis. Aspek penting Rencana Strategis dapat diringkas pada lampiran dalam Rencana Zonasi, jika akan menambahkan kejelasan atau menyediakan pembenaran untuk skema zonasi. Bentuk nyata dari rencana zonasi dapat dilihat dari keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menggunakan pendekatan analisa “top-down” untuk pendefinisian unit perencanaan penggunaan lahan dan rancangan zonasi. Dalam lingkungan data yang cukup, suatu pendekatan yang sama dapat digunakan untuk menyusun draft awal zona ICZM. Namun, metoda alternatif yang kurang mengandalkan data (survei) dan
Universitas Sumatera Utara
lebih berorientasi ke masyarakat, juga perlu digunakan jika Rencana Zonasi diinginkan lebih bermakna dan diterima oleh pengguna sumberdaya dan stakeholder kunci lainnya.
Metoda alternatif ini mempercayakan secara kuat pada teknik
pengembangan konsensus seperti RRA, grup ahli, pemetaan kesepakatan, negosiasi/ fasilitasi kelompok stakeholder, dan lain-lain. Oleh karena rancangan zonasi tidak ditetapkan berlaku untuk selamanya, keputusan awal dapat dirubah berdasarkan proses tertentu. Proses untuk perbaikan rencana perlu digambarkan dalam Rencana Pengelolaan (Bappedasu, 2007). Rencana Pengelolaan: Rencana Pengelolaan
membentuk kerangka kebijakan,
prosedur dan tanggung jawab yang diperlukan untuk mendukung pembuatan keputusan oleh administrator sektoral dalam pengelolaan penggunaan dan pengalokasian sumberdaya secara tepat. Lebih penting lagi, Rencana Pengelolaan harus mengidentifikasi eksekutif senior yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan rencana pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM), dan struktur dan komposisi badan atau panitia pengelolaan. Rencana Pengelolaan memungkinkan sasaran pengelolaan ditetapkan untuk masing-masing zona (atau sub-zona) dalam Rencana Zonasi melalui suatu sistem terkoordinir untuk mengeluarkan dan mengadministrasikan izin penggunaan sumberdaya oleh dinas sektoral (Bappedasu, 2007). Rencana Aksi: Rencana Aksi (RA) adalah suatu mekanisme pendanaan bagi pelaksanaan tugas yang ditetapkan dalam dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM). Misalnya, jika suatu sub-zona telah ditargetkan terutama
Universitas Sumatera Utara
untuk pembangunan budidaya udang komersial dalam Rencana Zonasi, maka Rencana Pembangunan Zona secara rinci harus disiapkan. Dalam Rencana Aksi, biaya persiapan Rencana Pembangunan Zona dialokasikan dari sumber dana Departemen Kelautan dan Perikanan, oleh karena budidaya pesisir adalah bagian dari mandat Departemen Kelautan dan Perikanan. Kegiatan Rencana Aksi yang berkaitan dengan ICZM berada di bawah semua instansi sektoral Pemerintah dalam suatu jadwal dan anggaran untuk beberapa tahun (multi-year) yang terkoordinasi. Sebagian besar aksi akan berupa pendidikan/pembelajaran masyarakat (publik), pelatihan dan penyuluhan, survei dan penelitian, serta penyusunan rencana detil, peraturan perundangan, petunjuk pelaksanaan dan alat pengelolaan yang serupa lainnya, yang diperlukan untuk mengarahkan dan mengendalikan pembangunan ekonomi. Oleh karena Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap pendanaan program publik, Rencana Aksi tidak seharusnya meminta dinas sektoral untuk menganggarkan sumber keuangannya dalam investasi langsung (penyediaan kredit/modal) pada usaha komersial, untuk merealisasikan visi yang dijabarkan dalam dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir (Bappedasu, 2007). Rencana Pembangunan Zona: Rencana Pembangunan Zona akhirnya harus disiapkan untuk setiap zona atau sub-zona yang ditetapkan dalam Rencana Zonasi. Persiapan Rencana Pembangunan Zona melakukan perencanaan lebih detil untuk suatu area berdasarkan pada Pernyataan Maksud (arahan) Pengelolaannya yang terbentuk dalam Rencana Zonasi. Rencana Pembangunan Zona akan menangani beberapa isu seperti daya dukung lingkungan, spesies dan teknologi budidaya yang
Universitas Sumatera Utara
dapat diterima, dan distribusi spasial instalasi (sarana). Informasi ini akan penting untuk penentuan jumlah dan persyaratan perizinan yang boleh dikeluarkan untuk suatu areal. Persiapan Rencana Pembangunan Zona untuk seluruh zona atau subzona yang dirancang sekarang ini tidak termasuk dalam ruang lingkup Program Marine Coastal Resources Management Project (MCRMP), tetapi bisa diprogramkan untuk beberapa areal prioritas, utamanya sebagai bagian dari Rencana Aksi (Bappedasu, 2007). Dalam Kepmen No. 10 Tahun 2002 Rencana Pengelolaan telah didefinisikan sebagai beberapa kegiatan normatif yang boleh atau tidak dilakukan dalam suatu zona, mulai dari sistematik pengumpulan data dan informasi untuk pengembangan strategi pada penciptaan kegiatan khusus untuk menghasilkan output yang diinginkan. Definisi ini, ketika digabungkan dengan tujuan dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZPM) mengindikasikan bahwa tujuan dan isi Rencana Pengelolaan memerlukan penjelasan/perbaikan lebih lanjut (Bappedasu, 2007). Fungsi pengelolaan terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
Dalam sektor publik, hal ini adalah tanggung jawab instansi
Pemerintah. Seperti halnya arsitek yang merancang bangunan, ketika kontraktor berizin seperti tukang kayu, patri dan listrik memasangnya, implementasi fisik tidak termasuk dalam fungsi pengelolaan.
Dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu
(ICZM), peranan “arsitek” dilaksanakan terutama oleh Bappeda yang harus merancang visi pembangunan untuk suatu wilayah (dalam hal ini, wilayah Pengelolaan Pesisir – Marine Coasal Management Area (MCMA) berdasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
atribut alamnya dan dibatasi oleh hukum, ekonomi, sosial dan pembatas lainnya. Kontraktor sama dengan “pengguna sumberdaya” yang umumnya lebih memikirkan bagaimana spesifikasi rancangan akan mempengaruhi minat dan partisipasi mereka. Dalam analogi ini, peranan dari konsultan teknik, yang bertanggung jawab dalam pemilihan tukang secara individu dan pengawasan kegiatan mereka untuk meyakinkan memenuhi spesifikasi rancangan, diperankan oleh Dinas-Dinas Sektoral. Fungsi pengelolaan yang dilaksanakan oleh Bappeda dan Dinas-Dinas Sektoral adalah sarana untuk mewujudkan visi yang telah dirancang untuk suatu wilayah (Bappedasu, 2007). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM) diwujudkan untuk penggunaan, menikmati, pembangunan, perawatan, konservasi dan perlindungan sumberdaya alam.
Tujuan utama dari Rencana Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM)
adalah untuk membentuk kerangka kebijakan, prosedur dan tanggung jawab yang diperlukan untuk pembuatan keputusan secara terus menerus pada pengalokasian dan penggunaan berkelanjutan sumberdaya pesisir. Rencana Pengelolaan harus menuntun pencapaian visi yang telah dirancang sebagaimana digambarkan dalam Rencana Strategis, melalui suatu sistem terkordinasi dan transparan untuk peninjauan ulang (telaah) dan persetujuan atas penggunaan sumberdaya (perizinan) yang dikeluarkan dan diadministrasikan oleh dinas sektoral (Bappedasu, 2007). Tujuan dari pedoman ini adalah untuk menyediakan sumber informasi yang lengkap bagi pengelolaan dan pengawasan penggunaan sumberdaya.
Rencana
Pengelolaan harus mendukung penegakan hukum, peraturan dan proses administrasi
Universitas Sumatera Utara
yang berlaku dengan merumuskan pedoman rinci untuk pejabat pemerintah dan seluruh stakeholder pengelola sumberdaya.
HIRARKI RENCANA ICZM
Atlas Rencana Strategis & Kabupaten
Rencana Pengelolaan
Rencana Pembangunan Zona
Bappeda Provinsi
2
Rencana Zonasi
Rencana Aksi
Bappeda/Dinas Provinsi
1
Provinsi 1: 250 Kabupaten 1: 50 K
3
Kabupaten Bappeda
4
Kabupaten Bappeda
5 6
Dinas Kabupaten
Gambar 2.2. Hirarki Rencana-Rencana ICZM (Bappedasu, 2007) Tujuan khusus rencana pengelolaan adalah untuk: a. Membangun kerjasama dan kemitraan diantara Pemerintah, pengusaha dan masyarakat; b. Menyediakan dasar yang disepakati bersama untuk peninjauan proposal (usulan) pembangunan secara sistimatik; c. Mengidentifikasi proses untuk mengawasi, mengevaluasi dan memperbaiki rencana ICZM; d. Mengkordinasikan dengan inisiatif perencanaan lain.
Universitas Sumatera Utara
Rencana pengelolaan harus menyakinkan bahwa: a. Penentuan kebijakan dan prosedur untuk pelaksanaan arahan pemanfaatan wilayah dan rekomendasi persetujuan penggunaan sumberdaya dan izin pembangunan; b. Catatan publik yang resmi cukup terawat dan dapat diakses misalnya terbentuknya buku registrasi publik meliputi keseluruhan arahan pemanfaatan wilayah dan izin penggunaannya; c. Pelaksanaan mekanisme pelaporan pengelolaan; d. Pelatihan dan dukungan terhadap instansi Pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan dan prosedur tersedia; e. Hasil konsultasi publik dipertimbangkan dalam penentuan atau perbaikan arahan pemanfaatan wilayah dan pengeluaran izinnya (Bappedasu, 2007).
2.3.
Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir pantai sebagian besar adalah nelayan. Nelayan adalah
sebuah fenomena sosial yang sampai saat ini masih merupakan tema yang sangat menarik untuk didiskusikan. Nelayan dikonsepsikan sebagai orang yang melakukan penangkapan atau budidaya di laut dan ditempat yang masih dipengaruhi pasang surut (Tarigan, 2000). Jadi bila ada yang menangkap ikan di tempat budidaya ikan seperti tambak, kolam ikan dan di danau, sungai tidak termasuk nelayan.
Selanjutnya
menurut Tarigan (2000), berdasarkan pendapatannya, nelayan dapat dibagi menjadi:
Universitas Sumatera Utara
a. Nelayan tetap atau nelayan penuh, yakni nelayan yang pendapatannya seluruhnya berasal dari perikanan. b. Nelayan sambilan utama, yakni nelayan yang sebagian besar pendapatannya berasal dari perikanan. c. Nelayan sambilan tambahan, yakni nelayan yang sebagian kecil pendapatannya berasal dari perikanan. d. Nelayan musiman, yakni orang yang dalam musim tertentu saja aktif sebagai nelayan. Kemudian berdasarkan perahu/kapal penangkap yang digunakan, nelayan dibagi atas: a. Nelayan berperahu tak bermotor, terdiri dari: nelayan jukung dan nelayan perahu papan (kecil, sedang dan besar). b. Nelayan berperahu motor tempel. c. Nelayan berkapal motor menurut GT (gross ton) terdiri dari < 5 GT, 5 – 10 GT, 10 – 20 GT, 20 – 30 GT, 30 – 50 GT, 50 – 100 GT. 100 – 200 GT, 200 – 500 GT, > 500 GT. Sedangkan menurut status, nelayan dapat dibagi: a. Nelayan Pemilik, yaitu pemilik perahu tak bermotor, pemilik kapal motor (toke). b. Nelayan Juragan, yaitu pengemudi pada perahu bermotor atau sebagai kapten kapal motor. c. Nelayan Buruh, adalah pekerja menangkap ikan pada perahu motor atau pada kapal motor.
Universitas Sumatera Utara
Isu yang selalu mucul ketika membicarakan masyarakat pesisir adalah masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi maupun politik, terutama nelayan yang digolongkan sebagai nelayan musiman, nelayan yang hanya memiliki perahu tanpa motor atau nelayan buruh. Pada umumnya, 80% masyarakat pesisir masih dalam kondisi miskin dengan tingkat pendidikannya yang rendah.
Kemiskinan yang selalu menjadi trade mark bagi
masyarakat pesisir dalam beberapa hal dapat dibenarkan dengan beberapa fakta seperti kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, rentannya mereka terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang melanda, dan ketidakberdayaan mereka terhadap intervensi pemodal, dan penguasa yang datang.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor struktural yang
menyebabkan terjadinya kemiskinan nelayan. Mubyarto et al (1984), Mubyarto dan Sutrisno (1988), Resusun (1985), Rizal (1985) dan Zulkifli (1989) menyatakan bahwa faktor struktural ini juga sering kali menjadi alasan untuk timbulnya konflik pada masyarakat pesisir yaitu konflik nelayan tradisional terhadap pemilik alat tangkap modren seperti pukat harimau. Konflik itu terjadi karena pukat harimau melakukan penangkapan ikan di zona penangkapan nelayan tradisional. Misalnya, salah satu penyebab konflik adalah adanya penabrakan nelayan oleh pukat harimau. Menurut catatan Suhendra (1998) ada sampai 37 kejadian nelayan ditabrak pukat harimau dengan korban meninggal 5 orang, hilang 31 orang, sejak tahun 1993 sampai Juli 1998.
Keadaan dan kondisi di atas seringkali memicu terjadinya pengerusakan
sumberdaya alam di sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, ada dua pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis kemiskinan nelayan yaitu pendekatan struktural dan kultural.
Beberapa tulisan
mengenai masyarakat pesisir dengan pendekatan struktural yang menggambarkan tentang kemiskinan/kondisi ekonominya. Hasil penelitian Mubyarto et al (1984) menunjukkan bahwa masyarakat pesisir di daerah Jepara sebagian berasal dari golongan sedang, miskin, dan miskin sekali.
Selanjutnya dinyatakan bahwa
kemiskinan masyarakat pesisir pantai lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur, di mana masyarakat pesisir terbagi atas kelompok kaya dan kaya sekali di satu pihak, miskin dan miskin sekali di lain pihak. Penelitian ini menunjukkan adanya dominasi/eksploitasi dari masyarakat pesisir kaya terhadap nelayan miskin. Hampir sama atas dasar penelitian di atas Mubyarto dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan masyarakat pesisir di Kepulauan Riau. Hampir sama dengan asumsi yang dibangun oleh Mubyarto tentang pengaruh struktur, Resusun (1985) juga menemukan data bahwa masyarakat pesisir pantai di Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, ada satu kelompok masyarakat yang hidupnya tidak berkecukupan, yaitu yang tidak punya modal (nelayan kecil), dan mereka selalu diekspoitasi oleh nelayan yang punya modal (punggawa) dan pedagang (pa’bilolo) yaitu sawi bagang atau pa’bagang atau pembantu utama punggawa dalam menangani kegiatan operasi penangkapan ikan. Penelitian yang dilakukan oleh Resusun (1985) di atas juga menunjukkan adanya struktur hubungan sosial yang khas pada masyarakat pesisir. Hubungan itu adalah adanya ketidakseimbangan antara yang mempunyai modal usaha dan para
Universitas Sumatera Utara
pekerjanya. Hubungan itu adalah antara punggawa-sawi/pa’bagang yang bersifat timbal balik (reciprocity). Walaupun sawi perlu sang punggawa sebagai sumber lapangan kerja, punggawa juga memerlukan tenaga sawi. Seorang punggawa akan berusaha supaya sawi yang dipercayai menetap diusahanya.
Akibatnya terjadi
hubungan yang selalu merugikan sawi. Karena seringkali kerelaan punggawa untuk meminjamkan uang kepada sawi berdasarkan motivasi agar sawi tetap berada di lingkaran setan. Hutang yang tidak bisa dilunasi seringkali harus dibalas dengan jasa yang sangat berlebihan. Hal ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Rizal (1985) di Desa Bari, Kabupaten Bulukumba menyebutkan bahwa seorang istri sawi mengerjakan apa saja di rumah isteri punggawa untuk membalas jasa punggawa membantu suaminya. Sejalan dengan hal di atas di Propinsi Sumatera Utara hasil penelitian dengan pendekatan struktural mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir juga telah dilakukan oleh Zulkifli (1989) di Desa Bagan Deli, Kecamatan Medan Labuhan, yang menyebutkan akibat struktur patron dan klien antara pemborong dan nelayan, maka nelayan Desa Bagan Deli menjadi miskin. Sedangkan tulisan yang membahas kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir dengan pendekatan kultural telah dilakukan oleh Harahap (1992, 1993, 1994) yang melakukan serangkaian penelitian yang berkaitan dengan kemiskinan masyarakat pesisir di tiga desa di Pantai Timur Sumatera Utara.
Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penyebab kemiskinan mereka adalah faktor budaya dan rusaknya sumberdaya alam khususnya daerah laut dan perikanan (pesisir) yaitu ekosistem mangrove yang telah diubah menjadi tambak udang.
Universitas Sumatera Utara
2.4.
Prinsip-Prinsip Ekologi dan Kerusakan Sumberdaya Pesisir Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi (batasan) wilayah pesisir
(coastal zone) baik di tingkat nasional maupun dunia, namun terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries) yaitu: batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah. Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan, dengan perkataan lain, batas wilayah pesisir berbeda dari suatu negara ke negara yang lain. Hal ini dapat dimengerti, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri (khas) (Bengen, 2002). Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh prosess alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut kesepakatan internasional, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al, 1994).
Sumber: Bengen, 2002. Gambar 2.3. Skema Batas Wilayah Pesisir Secara ekologis, batas ke arah laut dari suatu wilayah pesisir adalah mencakup daerah perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses alamiah (seperti aliran air tawar dari sungai maupun run-off) maupun kegiatan manusia (seperti pencemaran dan sedimentasi) yang terjadi di daratan.
Sementara itu, batas ke arah darat adalah
mencakup daerah daratan yang masih dipengaruhi oleh proses laut, seperti jangkauan pengaruh pasang surut, salinitas air laut, dan angin laut. Oleh karena itu, batas ke
Universitas Sumatera Utara
arah darat dan ke arah laut dari suatu wilayah pesisir bersifat sangat specific atau bergantung pada kondisi biogeofisik wilayah berupa topografi dan geomorfologi pesisir, keadaan pasang surut dan gelombang, kondisi DAS (Daerah Aliran Sungai), dan kegiatan pembangunan yang terdapat di daerah hulunya. Definisi wilayah pesisir sebagaimana dikemukakan di atas memberikan suatu pengertian bahwa wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir. Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem darat di wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air limpasan (runoff), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya (seperti nutrien, sedimen dan bahan pencemar) yang akhirnya bermuara di perairan pesisir. Pola sedimentasi dan abrasi juga ditentukan pergerakan massa air baik dari daratan maupun laut. Di samping itu pergerakan massa air ini juga berperan dalam perpindahan biota perairan (misalnya plankton, ikan, dan udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Alikodra, 2008). Besarnya potensi wilayah pesisir menimbulkan pola pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan, yang berakibat timbulnya berbagai masalah lingkungan. Saat ini permasalahan lingkungan di wilayah pesisir Indonesia sangat beragam, mulai dari masalah over capacity di sektor perikanan, perusakan hutan mangrove, terumbu
Universitas Sumatera Utara
karang dan padang lamun serta abrasi pantai dan gelombang pasang hingga masalah tsunami. Permasalahan ini sangat terkait dengan kemiskinan masyarakat pesisir, kebijakan yang tidak tepat, rendahnya penegakan hukum (law enforcement), dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia (Dahuri, 2003). Permasalahan perikanan misalnya disebabkan karena buruknya pengelolaan perikanan yang dapat dilihat dari adanya fenomena over capacity. Fenomena over capacity disebabkan kekuatan armada perikanan dunia lebih cepat daripada perkembangan produksi (Fauzi, 2005). Selain masalah over capacity, masalah yang menonjol adalah destruksi habitat. Dahuri (2003) menyatakan selain hal-hal di atas permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir adalah penggunaan teknik dan peralatan penangkap ikan yang merusak lingkungan, pencemaran, introduksi spesies asing, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya serta perubahan iklim global serta bencana alam. Masalah penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan disebabkan karena alat pengumpul ikan atau Fish Aggregating Devices (FAD) digunakan untuk mengumpulkan ikan di daerah lepas pantai. Alat tersebut mampu mengumpulkan spesies ikan pelagis yang berenang secara bergerombol di perairan dalam dan tidak berhubungan dengan karang atau daerah dasar yang dangkal. Masalahnya seringkali FAD tersebut digunakan tidak di perairan dalam, tetapi di perairan dangkal dan berhubungan dengan daerah dasar yang dangkal (Dahuri, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan bahan peledak, bahan beracun (sodium dan potasium sianida) dan pukat harimau dalam penangkapan ikan karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, hal ini juga dapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan target.
Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan beracun
berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang (Dahuri, 2003). Pengeboman yang menggunakan bahan karbit (Ca2C) sebesar 0,5 kg biasanya dilakukan pada daerah terumbu karang yang memiliki kedalaman lebih dari 15 meter. Pengaruh ledakan bom 0,5 kg pada radius tiga meter dapat menghancurkan terumbu karang, sedangkan pada radius yang lebih besar dapat menyebabkan patahnya cabang-cabang jenis karang Acropora. Selanjutnya pecahan karang lambat laun ditutupi oleh algae (Cladophira spp.), sehingga rekolonisasinya akan berjalan lambat, sebab kehadiran algae mengganggu proses penempelan larva karang batu (planula) pada pecahan karang. Ekosistem terumbu karang yang rusak akibat bahan peledak biasanya didominasi oleh karang dari marga fungia dan bulu babi (Diadema spp.). Dahuri (2003) juga menjelaskan bahwa bahan beracun yang sering dipergunakan, seperti sodium atau potasium sianida, dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang yang diracun, seperti ikan hias (ornamental fish), kerapu (Epinephelus spp.), napoleon (Chelinus), dan ikan sunu (Plectropoma sp.). Racun tersebut dapat menyebabkan ikan mabuk dan kemudian mati lemas.
Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
residunya dapat menimbulkan stres bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan keluarnya lendir. Menurut Dahuri (2003) pengoperasian pukat harimau adalah salah satu alat penangkap ikan yang telah dilarang di wilayah perairan Indonesia. Namun, pada kenyataannya masih banyak nelayan yang mengoperasikan alat tersebut. Data yang disampaikan oleh Dahuri (2003) menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak nelayan yang menggunakan pukat harimau dan modifikasinya seperti Dogol di Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Jambi, Pukat Tepi di Jawa Timur, Otok di Jawa Barat, Trawl Mini di Kalimantan Timur, Payang Alit di Jawa Timur, Sondong Sambo di Riau, Lampara Dasar di Kalimantan Timur, Riau, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah, Jor Arad di Jawa Barat, dan Lampung dan Centrang di Lampung.
Sedangkan di wilayah Sumatera Utara
modifikasi pukat harimau ini disebut juga pukat ikan (PI) (Bappeda Sumatera Utara dan PKSPL IPB, 2002). Masalah pencemaran wilayah pesisir di Indonesia terutama bersumber dari kegiatan manusia di daratan, seperti kegiatan industri, pertanian, dan rumah tangga. Menurut Dahuri (2003) sumber pencemaran di wilayah pesisir di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelas yaitu industri, limbah cair pemukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pertambangan, pelayaran (shipping), pertanian dan perikanan budi daya. Sedangkan jenis-jenis bahan pencemar utamanya terdiri dari sedimen, unsur hara, logam beracun (toxic metals), pestisida, organisme
Universitas Sumatera Utara
eksotik, organisme patogen, dan bahan-bahan yang menyebabkan oksigen terlarut dalam air berkurang (oxygen depleting substance). Sebagai akibat pencemaran yang terjadi di wilayah pesisir menimbulkan dampak lanjutan yaitu persoalan sedimentasi, etrofikasi, anoxia, kesehatan umum dan perikanan. Contoh klasik pencemaran di pesisir adalah peristiwa pencemaran logam berat (Hg dan Cd) di Teluk Minamata, Jepang. Limbah logam tersebut telah dibuang ke teluk Minamata sejak tahun 1940-an, tetapi dampaknya baru terdeteksi pada tahun 1960-an. Contoh kasus yang lain juga pernah terjadi di Indonesia yaitu berkaitan dengan pembuangan air tambak udang yang dikelola secara intensif dan semi intensif ke perairan pantai Utara Jawa yang berlangsung sejak tahun 1981. Namun, akibatnya terhadap penurunan kualitas perairan baru dapat dirasakan pada tahun 1990-an, yang menyebabkan produktivitas tambak mengalami penurunan (Dahuri, 2003). Permasalahan masuknya spesies asing ke wilayah pesisir dapat menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati wilayah pesisir.
Menurut Dahuri (2003),
spesies asing di dalam suatu ekosistem dapat menjadi pemangsa atau kompetitor bagi spesies alami yang hidup pada habitat yang sama. Menurut Dahuri (2003), salah satu sumber utama terjadinya introduksi spesies asing ke dalam kawasan pesisir adalah air ballast kapal. Selain bahan abiotik, air limbah kapal juga mengandung bahan biotik. Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia menunjukkan bahwa di dalam air ballast pada setiap perjalanan kapal ditemukan lebih dari 50 jenis spesies asing yang terdiri dari fitoplankton dan zooplankton. Bila air ballast tersebut dibuang, bahan pencemar biotik tersebut akan memasuki perairan, sehingga
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan struktur komunitas, baik fitoplankton maupun zooplankton berubah. Selain itu, di dalam air ballast tersebut juga banyak dijumpai berbagai jenis bakteri, virus, alga, cacing polychaeta, larva ikan dan moluska.
Sebagai contoh adalah
masuknya spesies asing jenis krustasea Exopalemon styliferus yang berasal dari Indonesia ke perairan Irak dan Kuwait (Dahuri, 2003). Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi beragam jenis ikan, kepiting, udang, kerang, reptil dan mamalia.
Detritus dari mangrove merupakan dasar
pembentukan rantai makanan bagi banyak organisme pesisir. Penurunan luas hutan mangrove dari tahun ke tahun dan dampaknya sudah mulai dirasakan. Penyebab utama hilangnya mangrove adalah antara lain: (a) konversi lahan mangrove untuk tambak udang; (b) pengelolaan pertambakan tidak berwawasan lingkungan; (c) tidak ada kebijakan yang jelas mengenai penguasaan dan pemanfaatan lahan pesisir di desa; (d) kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelestarian mangrove dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove masih rendah. Selanjutnya penebangan hutan mangrove secara besar-besaran mempunyai dampak terhadap (1) penurunan luas vegetasi mangrove; (2) penurunan kualitas air terutama meningkatnya sedimentasi yang berakibat negatif terhadap kehidupan terumbu karang; (3) penurunan hasil tangkapan, terutama kepiting, kerang dan udang. Pencemaran air merupakan salah satu masalah serius yang bisa mengganggu kesehatan manusia, lingkungan bahkan bisa mempengaruhi kegiatan ekonomi. Bahan pencemaran atau polutan di perairan pantai berasal dari kegiatan rumah tangga, daerah aliran sungai, dan pertanian (Dahuri, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Penyebab utama pencemaran wilayah pesisir adalah: (1) masih rendahnya kepedulian industri sepanjang DAS dan pesisir terhadap sistem pengolahan limbah cair yang masuk ke perairan umum; (2) kurang ketatnya pengawasan limbah oleh instansi terkait; (3) belum jelasnya penerapan sanksi terhadap industri yang melanggar isi dokumen Amdal dan peraturan perundangan yang berlaku (PP No. 27 Tahun 99 tentang Amdal dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) ; (4) rendahnya kepedulian masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan sekitarnya serta pola bangunan yang membelakangi pantai; (5) rendahnya pengetahuan masyarakat pantai tentang pengetahuan lingkungan (Dahuri, 2003). Pencemaran perairan pantai dapat mengakibatkan (a) rendahnya daya dukung lingkungan dan kualitas perairan pesisir; (b) menimbulkan bau yang tidak menyenangkan untuk daerah kunjungan wisata; (c) meningkatnya wabah penyakit menular terhadap kehidupan masyarakat pesisir; (d) menurunnya tingkat keberhasilan budidaya perikanan (tambak dan mariculture) dan kegiatan ekonomi lainnya (pariwisata) (Dahuri, 2003). Lebih lanjut Dahuri (2003) menyatakan penyebab utama meningkatnya sedimentasi di perairan pantai antara lain: (1) penebangan hutan di daerah aliran sungai; (2) penambangan pasir di sepanjang aliran sungai; (3) curah hujan yang tinggi.
Selanjutnya sedimentasi dapat mengakibatkan pendangkalan
muara sungai dan alur pelayaran; kekeruhan air di muara sungai serta rusaknya terumbu karang.
Universitas Sumatera Utara
Proses terjadinya abrasi pantai dan intrusi air laut sangat kompleks karena tidak hanya mencakup hal yang bersifat alami tetapi terkait juga dengan beberapa kegiatan manusia. Intrusi air laut ke areal persawahan akibat konversi sawah jadi tambak udang di beberapa lokasi.
Namun permasalahan ancaman abrasi pantai
dengan intrusi air laut dapat dipahami dan dicegah atau dikurangi dengan tindakan relatif sederhana. Penyebab utama intrusi air laut adalah: (1) penebangan mangrove untuk pemukiman; (2) masuknya air laut ke sawah; (3) eksploitasi air tanah yang berlebihan. Sedangkan akibat yang ditimbulkannya adalah degradasi kualitas air tanah dan korosi konstruksi bangunan pipa logam di bawah tanah (Dahuri, 2008). Permasalahan terakhir yang terdapat di daerah pesisir adalah perubahan iklim global dan bencana alam. Menurut Dahuri (2003) dan Alikodra (2008), perubahan iklim global terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi gas CO2 dan gas lainnya yang dikenal dengan istilah gas rumah kaca.
Dampak lanjutan dari
pemanasan global ini adalah mencairnya es yang ada di kutub, sehingga permukaan laut naik, curah hujan berubah, salinitas menurun, dan sedimentasi meningkat di wilayah ekosistem pesisir. Fenomena kematian terumbu karang yang ditandai adanya pemutihan atau bleaching yang disebabkan kandungan pigmen terumbu karang menurun drastis sebagai akibat peningkatan temperatur 1-20 C di atas normal pada musim panas. Di Indonesia, pemutihan terumbu karang diakibatkan oleh arus hangat dari Laut Cina Selatan yang mengalir melewati Kepulauan Riau, Laut Jawa, hingga ke perairan Lombok. Sedangkan di Kepulauan Spermonde bagian Utara,
Universitas Sumatera Utara
Sulawesi Tenggara (dekat Ujung Pandang), Menado, Bunaken atau di sekitar Bangka dan Sulawesi Utara tidak terjadi pemutihan (Dahuri, 2003). Bencana alam, juga fenomena alam yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak negatif bagi lingkungan hayati pesisir. Bencana alam yang sering terjadi di pesisir adalah kenaikan paras laut dan tsunami. Negara Jepang dan Indonesia adalah negara yang paling sering terkena tsunami. banyak merusak lingkungan hidup wilayah pesisir.
Bencana alam ini
Misalnya wilayah NAD
mengalami kerusakan lingkungan pesisir yang luar biasa besarnya karena tsunami tahun 2004.
2.5.
Pengembangan Kapasitas (Capacity Building) Kelembagaan Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terminologi institusi (kelembagaan) seringkali hanya ditafsirkan sebagai
lembaga atau organisasi. Padahal pengertian institusi lebih dari itu. Definisi umum mengenai institusi (kelembagaan) adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Fauzi, 2005). Demikian juga dengan pengelolaan lingkungan hidup, juga terjadi stagnasi, di mana konsep dan ide yang dibangun sukar dimplementasikan karena institusinya ternyata tidak turut serta dikembangkan.
Dalam kaitan di atas perlu membahas
Universitas Sumatera Utara
wacana pengembangan institusi khususnya dalam pengelolaan lingkungan hidup terutama di wilayah pesisir. Pengembangan institusi lingkungan hidup membahas tentang pengertian pengembangan institusi di bidang lingkungan dan kapasitas pengembangan dalam konteks pengembangan institusi, strategi (meliputi tujuan, pengembangan partisipasi, prinsip dalam pengembangan, metodologi, konsultasi) teknik kerjasama di bidang lingkungan, berbagai bentuk konsultasi, manajemen sumberdaya manusia, fungsi dan peran pilot proyek dan berbagai contoh pengembangan institusi di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Sementara itu, institusi lingkungan hidup di wilayah pesisir bertujuan untuk mengatasi laju kerusakan lingkungan di wilayah pesisir seperti masalah perikanan, kemiskinan nelayan, over fishing, masalah lingkungan hidup, kebijakan termasuk di dalamnya desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir. Dalam rangka mengatasi permasalahan lingkungan hidup di wilayah pesisir, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan kelembagaan yaitu pengembangan institusi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitan ini menarik apa yang disampaikan oleh Uphoff (1986), yang menyatakan terminologi kelembagaan dikaitkan dengan tingkatan aktivitas dan pengambilan keputusan yaitu International Level, National Level, Regional (State of Provincial) Level, District Level, Sub District Level (eg. Taluk in India or thana in Bangladesh), Locality Level, Household Level, dan Individual level. Esman dan Uphoff (1986) mengklasifikasikan enam kategori utama dari lembaga lokal, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Local administration yaitu instansi di daerah yang merupakan aparat departemen Pemerintah Pusat, yang bertanggung jawab kepada atasan langsung (accountable to bureaucratic superiors); 2. Local government, yaitu badan perwakilan atau yang disetujui yang memiliki kewenangan untuk menangani tugas pembangunan dan pengaturan yang bertanggung jawab kepada Pemerintah Daerah (accountable to local resident); 3. Membership Organizations, merupakan local self-help associations, yang anggotanya mungkin menangani: a. Berbagai macam tugas (multiple tasks), seperti perkumpulan pembangunan daerah atau komite pembangunan desa (LKMD, PKK dan sebagainya); b. Tugas khusus (specific tasks), seperti perkumpulan pemakai air (P3A, kelompencapir atau komite pembangunan desa (LKMD, PKK dan sebagainya); c. Kebutuhan (needs) anggota yang memiliki karakteristik atau kepentingan yang sama, seperti kelompok arisan ibu-ibu, perkumpulan pengajian, persekutuan doa, kelompok kharismatik atau persatuan penyewa, dan sebagainya. 4. Cooperatives, yaitu semacam organisasi lokal yang menyatukan sumberdaya ekonomi anggotanya untuk memperoleh keuntungan, seperti koperasi pasar, koperasi kredit, masyarakat pemakai dan sebagainya;
Universitas Sumatera Utara
5. Service organizations, yaitu organisasi lokal yang dibentuk terutama untuk memberikan bantuan kepada orang yang bukan anggota, seperti lembaga pelayanan, palang merah dan sebagainya; dan 6. Private bussiness yaitu cabang atau kelompok pelaksana independent dari perusahaan ekstra lokal yang bergerak di sektor pabrik, jasa ataupun perdagangan. Masing-masing kategori di atas memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri, khususnya dalam mendukung pelaksanaan pembangunan di desa. Mereka merupakan kontinum yang merentang dari sektor publik sampai sektor swasta. Lembaga lokal mencakup membership organizations, cooperativess dan service organizations. Sedangkan local administration dan local government tidak termasuk karena merupakan bagian dari lembaga lainnya (Departemen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) yang mana mempunyai kekuatan hukum dan sumberdaya dibalik kedudukan mereka. Demikian juga private bussiness yang meskipun sama-sama menghasilkan keuntungan bagi orang di luar organisasinya seperti service organizations tetapi orang ini tidak sekaligus dianggap sebagai klien atau pelanggan dan tidak memiliki hak untuk ikut menentukan aktivitas organisasi (Uphoof, 1986). Hampir sama dengan hal di atas (Alikodra, 2006) menyatakan bahwa institusi lingkungan terdiri dari berbagai organisasi yang ada.
Lembaga formal yang
mempunyai fungsi/peranan di bidang lingkungan, organisasi swasta ataupun NGO, norma dan nilai sosial, termasuk kerangka kerja (framework) politik, program lingkungan, pola komunikasi dan gerakan sosial. Selanjutnya Alikodra (2006) juga
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan bahwa struktur institusi merupakan hubungan dan interaksi yang kompleks di antara tiga variabel yaitu individu, organisasi, dan norma sosial. Institutionalisasi merupakan proses di mana perilaku dan interaksi dari ketiga variabel yang terkait dalam sistem institusi dipertegas, distandarisir, diperkuat, dan digerakkan dalam suatu proses jangka panjang, sehingga terbentuk pola institusi sesuai dengan harapan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup.
Hasil proses ini
misalnya pembaharuan organisasi, kebijakan baru, peraturan baru ataupun mungkin perubahan nilai dan norma. Menurut Alikodra (2006) proses selanjutnya adalah upaya pengembangan institusi lingkungan yaitu suatu proses supra sektoral dan supramedia di mana struktur institusi dibangun dalam suatu sistem interaksi dan hubungan diantara ketiga variabel penentu sehingga diperoleh jaringan kerja (networking) di antara variabel. Juga merupakan metode/prosedur mengembangkan pengetahuan, skill, standar dan struktur dalam suatu proses partisipasi yang terdiri dari empat komponen yaitu Human Resource Development, konsultasi sosial dan ekonomi serta komunikasi, kerjasama dan konsultasi publik. Pengembangan institusi juga sangat terkait dengan pengembangan kapasitas (capacity development) yaitu suatu proses nasional yang panjang, di mana kemampuan dan skill individu dalam memecahkan masalah menjadi semakin meningkat berdasarkan pengembangan pengalaman mereka, sehingga kinerja kapasitas organisasi dan kelembagaan menjadi kuat dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.
Konsep pengembangan kapasitas
Universitas Sumatera Utara
(capacity building) sebenarnya masih menyisakan sedikit perbedaan terminologi yang digunakan.
Sebagian ilmuwan memaknai pengembangan kapasitas (capacity
building) sebagai capacity development atau capacity strengthening, mengisyaratkan suatu prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada (existing capacity). Sedangkan yang lain lebih merujuk pada contructing capacity, sebagai proses yang kreatif membangun kapasitas yang belum nampak (Karwono, 2008). Selanjutnya Brown dalam Karwono (2008) mendefinisikan capacity building sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Sedangkan Morison (dalam Karwono, 2008) melihat capacity building sebagai suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian kegiatan, perubahan multilevel di dalam individu dan organisasi dan sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan penyesuaian individu dan organisasi sehingga dapat tanggap terhadap perubahan lingkungan yang ada. Artinya tahapan pengembangan kapasitas dapat dilakukan pada level individu, organisasi dan sistem. Pada level individu, pengembangan kapasitas dilakukan pada aspek pengetahuan, keterampilan, kompetensi dan etika individu. Pada level kelembagaan, pengembangan kapasitas dapat dilakukan pada aspek sumberdaya, katatalaksanaan, struktur organisasi, dan sistem pengambilan keputusan. Pada level sistem, pengembangan kapasitas dapat dilakukan pada aspek peraturan perundangan dan kebijakan pendukung.
Untuk lebih jelasnya Karwono (2008)
menyampaikan tingkatan pengembangan kapasitas tersebut pada Gambar 2.4 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Tingkatan Pengembangan Kapasitas Menurut Karwono (2008) Sedangkan prinsip dasar dalam pengembangan kapasitas meliputi: (1) Bersifat multidimensi, berorientasi jangka panjang, (2) Melibatkan multi stakeholder, (3) Bersifat demand driven, (4) Mengacu kepada kebijakan nasional. Keban (2000) juga menjelaskan bahwa pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian pada dimensi: (1) pengembangan sumber daya manusia; (2) penguatan organisasi; dan (3) reformasi kelembagaan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa
peningkatan kemampuan difokuskan kepada (1) kemampuan tenaga kerja (labor); (2) kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau kelembagaan; dan (3) kemampuan kapital yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumberdaya, sarana dan prasarana, atau pada kemampuan tiga dimensi yaitu (1) individu; (2) organisasi; dan (3) jaringan (network).
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan hal di atas World Bank misalnya memfokuskan peningkatan kepada: (1) pengembangan sumberdaya manusia, khususnya pelatihan (training), rekruitmen, pemanfaatan dan pemberhentian tenaga kerja professional, manajerial dan teknis; (2) organisasi, yaitu pengaturan struktur, proses, sumberdaya dan gaya manajemen; (3) jaringan kerja interaksi organisasi yaitu koordinasi kegiatan organisasi, fungsi jaringan kerja dan interaksi formal dan informal; (4) lingkungan organisasi yaitu aturan dan perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menghambat tugas pembangunan dan dukungan keuangan dan anggaran dan (5) lingkungan kegiatan yang luas, yaitu mencakup faktor politik, ekonomi dan kondisi yang berpengaruh terhadap kinerja.
Sementara itu, UNDP memfokuskan pada tiga dimensi yaitu
(1) tenaga kerja (dimensi sumberdaya manusia) yaitu kualitas SDM dan cara SDM; (2) modal (dimensi fisik) yaitu menyangkut peralatan, bahan yang diperlukan dan gedung dan (3) teknologi yaitu organisasi di mana gaya manajemen, fungsi perencanaan, pembuatan keputusan, pengendalian dan evaluasi serta sistem informasi manajemen. Dan United Nations memusatkan perhatiannya kepada (1) mandate atau struktur legal, (2) struktur kelembagaan; (3) pendekatan manajerial kemampuan organisasional dan teknis; dan (5) kemampuan fiskal lokal dan (6) kegiatan-kegiatan program (Karwono, 2008). Dalam kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
pengembangan
institusi
lingkungan
sangat
berbeda
dengan
pengembangan institusi pembangunan. Prinsipnya adalah institusi lingkungan harus
Universitas Sumatera Utara
mampu mempromosikan pembangunan yang terlanjutkan. Oleh karena itu institusi harus mampu merubah mandat ataupun kebijakan yang dapat diterapkan dalam konteks pembangunan terlanjutkan.
Hal ini untuk membedakan dengan suasana
institusi pembangunan saat ini yang diwarnai dengan eksploitasi dan mengutamakan kepentingan ekonomi (Karwono, 2008).
2.6.
Perencanaan Pembangunan Budiman (2000) menyatakan bahwa pembangunan bukan hanya fenomena
semata, namun pada akhirnya pembangunan tersebut harus melampaui sisi materi dan keuangan dari kehidupan manusia. Pembangunan idealnya dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak, yang melibatkan masalah pengorganisasian dan peninjauan kembali keseluruhan sistem ekonomi dan sosial.
Berdimensi jamak
dalam hal ini artinya membahas komponen ekonomi maupun non ekonomi. Todaro (2000) mendefinisikan pembangunan merupakan suatu proses multidemensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap masyarakat, lembaga nasional, sekaligus peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan absolut.
Berdasarkan definisi di atas Todaro (2000) memberikan
beberapa implikasi bahwa: 1. Pembangunan bukan hanya diarahkan untuk peningkatan pendapatan, tetapi juga pemerataan; dan 2. Pembangunan juga harus memperhatikan aspek kemanusiaan seperti peningkatan: a. Life Sustenance: Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Universitas Sumatera Utara
b. Self-Esteem: Kemampuan untuk menjadi orang yang utuh yang memiliki harga diri, bernilai dan tidak diisap orang lain. c. Freedom From Servitude: Kemampuan untuk melakukan berbagai pilihan dalam hidup, yang tentunya tidak merugikan orang lain. Konsep dasar di atas telah melahirkan beberapa arti pembangunan yang sekarang ini menjadi populer seperti yang diungkapkan oleh Todaro (2000) yaitu: 1. Capacity, hal ini menyangkut aspek kemampuan meningkatkan pendapatan atau produktivitas. 2. Equity, hal ini menyangkut aspek pengurangan kesenjangan antara berbagai lapisan masyarakat dan daerah. 3. Empowerment, hal ini menyangkut pemberdayaan masyarakat agar dapat menjadi aktif dalam memperjuangkan nasibnya dan sesamanya. 4. Suistanable, hal ini menyangkut usaha untuk menjaga kelestarian pembangunan. Pengertian pembangunan tidak hanya pada lebih banyak output yang dihasilkan, tetapi juga lebih banyak jenis output daripada yang diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan: masyarakat tradisional, pra kondisi lepas landas, lepas landas, gerakan menuju kematangan dan masa konsumsi besar-besaran.
Kunci di antara tahapan ini adalah adalah tahap
tinggal landas yang didorong oleh satu sektor atau lebih (Budiman, 2000). Sastropotro (1988) mengemukakan pendapatnya tentang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting, proses terjadinya perubahan secara terus menerus, adanya usaha untuk menaikkan pendapatan
Universitas Sumatera Utara
perkapita masyarakat dan kenaikan pendapatan masyarakat yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Demikian pula dengan Budiman (2000) yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi telah digariskan kembali dengan dasar mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi atau negara yang sedang berkembang. Salah satu faktor penting yang turut mempengaruhi kesuksesan pembangunan adalah pelaksanaan perencanaan pembangunan itu sendiri. Pengertian perencanaan secara sederhana adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk masa mendatang yang lebih baik dengan memperhatikan keadaan sekarang maupun keadaan sebelumnya. Istilah perencanaan sudah sangat umum kita dengar dalam pembicaraan sehari-hari. Namun demikian, hampir semua buku teks tentang perencanaan memberikan pengertian berbeda tentang hal tersebut dan banyak dokumen perencanaan nasional atau pernyataan para pemimpin politik yang memperkenalkan pengertian mereka sendiri. Lebih dari itu, diantara pakar pun belum ada kesepakatan tentang istilah perencanaan. Conyers dan Hills dalam Arsyad (1999) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu proses yang bersinambung yang mencakup keputusan atau pilihan berbagai alternatif penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Berdasarkan definisi tersebut, Arsyad (1999) berpendapat ada empat elemen dasar perencanaan, yaitu (1) Merencanakan berarti memilih, (2) Perencanaan merupakan alat
Universitas Sumatera Utara
pengalokasian sumberdaya, (3) Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan, (4) Perencanaan berorientasi ke masa depan. Sementara itu, Arsyad (1999) menyatakan bahwa perencanaan berkisar pada dua hal: pertama adalah penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan konkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Kedua, adalah pilihan diantara cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan tersebut. Menurut Friedman dalam Arsyad (1999), perencanaan memerlukan pemikiran yang mendalam dan melibatkan banyak pihak sehingga hasil yang diperoleh dan cara memperoleh hasil itu dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini berarti perencanaan sosial dan ekonomi (kedua hal tersebut termasuk dalam tujuan pembangunan) harus memperhatikan aspirasi masyarakat dan melibatkan masyarakat baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Berdasarkan asas dan tujuan pembangunan maka diperlukan suatu proses perencanaan yang mampu mengakomodasikannya. Pengertian proses perencanaan pembangunan secara umum adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara rasional yang menghasilkan suatu atau beberapa kebijakan yang dapat dijadikan pedoman dalam pembangunan yang akan dilakukan. Perencanaan pembangunan pada masa Orde Baru didasarkan kepada pergulatan pemikiran mengenai ekonomi-politik pembangunan yang berkembang dalam komunitas politik pada saat itu. Hal ini pula yang melahirkan konsep sentralistik dalam segala bidang perencanaan pembangunan di Indonesia (Mas’oed, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Pada masa reformasi, proses perencanaan di Indonesia dilakukan dengan pendekatan secara top down dan bottom up. Pengertian top down dalam hal ini yaitu perencanaan memperhatikan kebijakan Pemerintah Pusat yang dapat dipedomani dalam proses perencanaan. Sedangkan bottom up dalam hal ini yaitu, perencanaan memperhatikan aspirasi dari masyarakat dalam proses perencanaan. Seperti yang telah dikemukakan terdahulu bahwa pembangunan bertujuan untuk mewujudkan dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas baik dalam bentuk materi maupun nonmateri. Tjokroamodjojo (1985) mengatakan pembangunan meliputi perubahan sosial yang besar.
Hal tersebut seringkali mengakibatkan adanya frustrasi, alienasi,
kegoncangan dalam identitas dan lain-lain. Di samping itu kemerdekaan suatu bangsa seringkali meningkatkan perasaan persamaan sebagai warga masyarakat dan bangsa. Semua hal tersebut menjadi beban yang berat bagi elit Pemerintah untuk memimpin, mengarahkan dan membina kegiatan yang mendorong proses pembangunan. pembangunan itu menjadi penting.
Dengan demikian perencanaan
Nugroho (2003) mengatakan pembangunan
adalah suatu kegiatan yang kolosal, memakan waktu panjang, melibatkan seluruh warga negara dan dunia internasional, dan menyerap hampir seluruh sumberdaya negara bangsa.
Oleh karena itu, sudah seharusnya jika pembangunan dikelola
(management).
Kata Nugroho, perencanaan pembangunan menjadi kunci karena
sesungguhnya ini adalah pekerjaan yang maha rumit.
Seperti diketahui, istilah
pembangunan adalah istilah khas dari proses rekayasa sosial (dalam arti luas,
Universitas Sumatera Utara
termasuk ekonomi, politik, kebudayaan, dan sebagainya) yang dilaksanakan oleh negara berkembang. Kartasasmita (1997), mengatakan perencanaan pembangunan merupakan tugas pokok dalam administrasi atau manajemen pembangunan.
Perencanaan
diperlukan karena kebutuhan pembangunan lebih besar daripada sumberdaya yang tersedia. Melalui perencanaan ingin dirumuskan kegiatan pembangunan yang secara efisien dan efektif dapat memberi hasil yang optimal dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada. Sehubungan dengan perencanaan yang baik tersebut, Kartasasmita (1997), mengatakan perencanaan pembangunan pada umumnya harus memiliki, mengetahui dan memperhitungkan beberapa unsur pokok, yaitu, tujuan akhir yang dikehendaki, sasaran dan prioritas untuk mewujudkannya (yang mencerminkan pemilihan dari berbagai alternatif), jangka waktu mencapai sasaran tersebut, masalah yang dihadapi, modal atau sumber daya yang akan digunakan, serta pengalokasiannya. Kebijaksanaan untuk melaksanakannya, orang, organisasi, atau badan pelaksananya, dan mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pengawasan. Menurut UU No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Nasional, terdapat beberapa ruang lingkup perencanaan pembangunan baik secara nasional maupun daerah, yaitu rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan. Secara nasional, RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional. Sedangkan RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional. Adapun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif, serta RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat
Universitas Sumatera Utara
rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah merupakan arah pembangunan yang ingin dicapai Daerah dalam kurun waktu masa bakti Kepala Daerah terpilih yang disusun berdasarkan visi, misi, dan program Kepala Daerah, di mana program dan kegiatan yang direncanakan sesuai urusan Pemerintah yang menjadi batas kewenangan Daerah dengan mempertimbangkan kemampuan/kapasitas keuangan Daerah. Dalam upaya mendapatkan RPJM Daerah yang dapat mengantisipasi kebutuhan pembangunan daerah dalam jangka waktu lima tahunan, maka penyusunannya perlu dilakukan secara komprehensif dan lintas pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan.
Untuk itu dilaksanakan tahapan
penyusunan RPJM Daerah sebagai berikut: 1. Penyiapan rancangan awal RPJM Daerah.
Kegiatan ini dibutuhkan guna
mendapatkan gambaran awal dari jabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah terpilih. 2. Penyiapan rancangan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (rancangan Renstra-SKPD), yang dilakukan oleh seluruh SKPD. Penyusunan rancangan Renstra-SKPD bertujuan untuk merumuskan visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD, agar selaras dengan program prioritas Kepala Daerah terpilih.
Universitas Sumatera Utara
3. Penyusunan rancangan RPJM Daerah. Tahap ini merupakan upaya mengintegrasikan rancangan awal RPJM Daerah dengan rancangan RenstraSKPD, yang menghasilkan rancangan RPJM Daerah. 4. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) jangka menengah daerah. Kegiatan ini dilaksanakan guna memperoleh berbagai masukan dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan pembangunan atas rancangan RPJM Daerah. 5. Penyusunan rancangan akhir RPJM Daerah, di mana seluruh masukan dan komitmen hasil Musrenbang Jangka Menengah Daerah menjadi masukan utama penyempurnaan rancangan RPJM Daerah, menjadi rancangan akhir RPJM Daerah. Rancangan akhir RPJM Daerah disampaikan oleh Kepala Bappeda kepada Kepala Daerah terpilih. 6. Penetapan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah, di bawah koordinasi Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi hukum. Rancangan akhir RPJM Daerah beserta lampirannya disampaikan kepada DPRD sebagai inisiatif Pemerintah Daerah, untuk diproses lebih lanjut menjadi Peraturan Daerah tentang RPJM Daerah.
Universitas Sumatera Utara