17
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah: upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan,
pengendalian,
pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum, (UUPPLH No. 32 Tahun 2009). 2.2. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al, 2008) Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration)', dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini diperlukan karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis serta pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, estuarin, pantai berpasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas)
18
maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris seperti ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT) harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) tersebut yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Mengingat bahwa suatu pengelolaan (management) terdiri dari tiga tahap utama: perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi; maka nuansa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi. 2.2.1. Perencanaan terpadu Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, (Dahuri et al, 2008). Perencanaan terpadu biasanya dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Seringkali, keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi: pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen, 1990) diacu dalam Dahuri et al, (2008). Dalam konteks perencanaan pembangunan sumber daya alam yang lebih luas, Hanson (1988) diacu dalam Dahuri et al, (2008) mendefinisikan perencanaan sumber daya secara terpadu sebagai suatu upaya secara bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan sistem sumber daya alam secara optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pemanfaatan optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat. Kemudian, Lang (1986) diacu dalam Dahuri et al (2008) menyarankan bahwa keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam, seperti pesisir dan lautan, hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level): teknis, konsultatif, dan koordinasi. Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial, dan lingkungan hendaknya secara seimbang atau proporsional dimasukkan kedalam
19
setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya pesisir dan lautan. Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang terlibat (stakeholders) atau terkena dampak pembangunan sumber daya pesisir dan lautan hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan. Tataran koordinasi mensyaratkan diperlukannya kerjasama yang harmonis antar semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan, baik itu pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum. 2.2.2. Keterpaduan ekologis Antara lahan atas (daratan) dan laut, secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Karena keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas seperti penggunaan lahan permukiman, peternakan, perkebunan, kehutanan, industri, perkantoran dan sebagainva, demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut (Dahuri, 2008) Pengendalian pencemaran yang diakibatkan oleh antropogenik di hulu tidak dapat hanya dilakukan di kawasan di pesisir saja, melainkan harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di wilayah pesisir harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta daerah aliran sungai menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelolaan yang baik di wilayah pesisir akan terganggu jika tidak diimbangi dengan perencanaan DAS yang baik pula. 2.2.3. Keterpaduan sektor Wilayah pesisir merupakan perairan yang sangat penting, baik dipandang dari segi ekologis dan ekonomis serta merupakan penopang sistem ekologi dari biota laut. Banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku
20
pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, maka akibatnya, seringkali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antar satu sektor dangan sektor lainnya. Oleh karena itu, supaya pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan
berkesinambungan,
maka
dalam
perencanaan
pengelolaan
harus
mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karena itu, pengelolaan di kawasan pesisir secara terpadu sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan dan tingkat kepentingan antara stakeholder (Mukhtasor, 2007) 2.2.4. Keterpaduan disiplin ilmu
Karasteristik wilayah pesisir dan laut adalah unik, baik sifat dan karakteristik ekosisitem pesisir, maupun sifat dan karasteristik sosial budaya masyarakat pesisir. Sehingga dalam mengkaji wilayah pesisir dan laut tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja tetapi dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang menunjang sesuai dengan karakteristik pesisir dan lautan tersebut. Dengan sistem dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula, seperti ilmu hidrologi, ilmu perairan, hidrooseanografi, dinamika oseanografi, perikanan, ilmu pertanian, ilmu MIPA, ekologi, keteknikan, hukum, sosiologi, dan ilmu kebijakan lingkungan disertai keragaman analisis (Dahuri 2005) 2.2.5. Keterpaduan sistem Dalam beberapa hal, perubahan yang terjadi bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipelajari karena keterkaitan antar komponen yang sangat kompleks. Sebagai contoh, pembuangan limbah secara langsung ke badan perairan secara terus ke sungai, akan mengakibatkan perubahan fisik,kimia, dan biologi di sungai maupun di pesisir. Hal tersebut menyebabkan perubahan fungsi sungai dan pesisir sehingga menyebabkan pencemaran atau degradasi ekosistem pesisir. Selain itu akan mempengaruhi aspek ekonomi dan sosial. Perubahan yang bersifat kompleks membuat pengelola tidak hanya mempelajari sebagian dari perubahan tersebut, tetapi harus mempelajarinya secara
21
menyeluruh, karena keterkaitan antar komponen yang satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, dalam menangani suatu masalah, harus menyelesaikannya tidak hanya pada suatu tempat kejadian dan waktu tertentu, namun pada skala yang lebih luas baik secara spasial maupun temporal. Pada kasus pembuangan limbah di atas, dampaknya tidak langsung terjadi seketika, namun dapat terjadi pada masa yang akan datang setelah bahan pencemar mencapai titik kritis tertentu (Hartisari, 2007) Pendekatan sistem merupakan cara pandang yang bersifat menyeluruh (holistic) yang memokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen. Pendekatan ini dapat mengubah cara pandang dan pola berpikir dalam menangani permasalahan dengan menggunakan model yang merupakan penyerhanaan dari sebuah sistem (Eriyatno, 2003) 2.2.6. Keterpaduan kebijakan Kebijakan muncul dan diperlukan dalam masyarakat yang relatif maju dan menghadapi permasalahan yang kompleks dalam mengatur perilaku anggota masyarakat dalam aktivitas tertentu. Oleh karena itu kebijakan dapat menghasilkan suatu perubahan yang nampaknya tidak mungkin terjadi menjadi mungkin Tidak mudah mendefinisikan kata kebijakan, hal ini disebabkan adanya berbagai tafsiran dan persepsi dari masyarakat umum dalam percakapan seharihari. Menurut Dunn, W, (2003) bahwa, analisis kebijakan (Policy Analysis) adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam arti historis yang paling luas, analisis kebijakan sebagai suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk memungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan. Sedangkan ilmu kebijakan (Policy Sciences), suatu istilah dan orientasi terhadap ilmu sosial yang dikembangkan oleh Harold D. Lasswell dkk sebelum dan setelah perang dunia II adalah: ilmu yang berorientasi pada masalah kontekstual, multidisiplin, dan secara eksplisit bersifat normatif. Ilmu kebijakan dirancang untuk menyoroti masalah fundamental dan yang seringkali diabaikan yang muncul ketika warga Negara dan pengambil kebijakan menyesuaikan
22
dengan perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik dan kebijakan yang terus menerus untuk melayani tujuan-tujuan demokrasi. Kemudian menurut E.S Quade dalam Dunn, W (2003) bahwa analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari pusat pembuat kebijakan dalam membuat keputusan. Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konistensi dari program pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerinah pusat dan
daerah
serta
untuk
memelihara
koordinasi.
Tujuan
akhir
adalah
mengintegrasikan program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana pembangunan ekonomi dan strategi penyuluhan pesisir harus dapat merupakan perubahan yang terjadi di wilayah pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional Untuk mewujudkan pengelolaan terpadu, para stakeholder yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan harus mengetahui kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat dipadukan, dan bagaimana cara memadukannya (Aunuddin et al. 2001) diacu dalam Rofiko, (2005) 2.2.7. Keterpaduan stakeholder Suatu keterpaduan bisa berhasil bila diterapkan atau ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir di laut (stakeholder). Pelaku pembangunan dan pengelola sumber daya alam wilayah pesisir dan laut antara lain terdiri dari pemerintah pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga lembaga swadaya masyarakat yang masingmasing mempunyai tingkat kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam di pesisir.
Perencanan
pengelolaan
terpadu
harus
mengakomodir
segenap
kepentingan pelaku pembangunan sumber daya pesisir dan laut. Oleh karena itu. perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan "top down" dan pendekatan "bottom up" (Dahuri, 2005) Pengelolaan secara terpadu merupakan dimensi yang sangat penting dalam sistem pengeloalan sumberdaya pesisir dan laut, tidak hanya dari segi kecocokan secara internal antara kebijakan dan program aksi, antar proyek dan program, tetapi juga antara perencanaan dan pelaksanaan. Berdasarkan jenis
23
keterpaduan dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu keterpaduan sistem, keterpaduan fungsi dan keterpaduan kebijakan. 2.2.8. Keterpaduan fungsional Keterpaduan fungsional diperlukan dalam pengelolaan pesisir dan lautan yang berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan seperti koordinasi mengenai program dan proyek supaya sesuai dengan tujuan dan sasaran pengelolaan. Keterpaduan juga mengupayakan supaya tidak terjadi duplikasi proyek diantara stakeholder yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Keterpaduan fungsional merupakan salah satu bentuk efektif dalam penyusunan zonasi pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik. 2.3. Perencanaan secara sektoral Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumber daya atau ruang pesisir oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan, atau industri minyak dan gas. Pengelolaan semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan lautan yang sama. Selain itu, pendekatan sektoral semacam ini pada umumnya tidak atau kurang mengindahkan dampaknya terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan usaha sektor lain. Contohnya kegiatan industri yang membuang limbahnya ke lingkungan pesisir dapat mematikan usaha tambak, perikanan tangkap, pariwisata pantai dan membahayakan kesehatan manusia (Dahuri 2005) 2.4. Dimensi pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah: Pembangunan yang berdasarkan pada azas pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan hidup dan stabilitas sosial untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, baik generasi saat ini maupun generasi mendatang tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem (Sutjahjo 2007). Kemudian menurut UU nomor. 32 tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah: upaya sadar terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial,
24
dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin kebutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Di sisi lain menurut Djajadiningrat (2001) pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang. Kemudian lebih lanjut disebutkan bahwa keberlanjutan (sustainability) adalah "memberikan/meninggalkan kepada generasi yang akan datang kesempatan sebanyak mungkin selain yang telah kita miliki." Dengan mengartikan kesempatan sebagai kekayaan per kapita atau modal tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam konsep ini, terkandung dua gagasan penting yaitu: gagasan kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. TRI- SISTIM DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN (PBBL) TUJUAN EKONOMI: 1. Pertumbuhan 2. Pemerataan 3. Eko-efisiensi 4. Stabilitas
PBBL (PSDA & LH) TUJUAN SOSIAL: 1. Pemberdayaan 2. Peranserta 3. Kebersamaan 4. Mobilitas 5. Identitas budaya 6. Pembinaan Kelembagaan 7. Pengentasan kemiskinan
TUJUAN EKOLOGIS: 1. Identitas & tingkat keutuhan ekosistem 2. Pelestarian keanekaragaman hayati 3. Daya dukung SDA & LH 4. IPTEK-bersih (ramah LH & hemat SDA) 5. Tanggapan isyu global
Gambar 4 . Konsep Pembangunan Berkelanjutan (sumber : Sutjahjo, 2007)
25
2.4.1. Dimensi ekologis Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk wilayah pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia: (1) jasa-jasa pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyedia sumber daya alam, dan (4) penerima limbah (Ortolano, 1984) diacu dalam Dahuri et al, (2008). Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara dan air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa-jasa kenyamanan (amenity services) yang disediakan oleh ekosistem alamiah adalah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan kedamaian jiwa. Ekosistem alamiah juga menyediakan sumber daya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi. Sedangkan fungsi penerima limbah dari suatu ekosistem adalah kemampuannya dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, hingga menjadi suatu kondisi yang aman. Dari keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut, dapat dimengerti bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama sangat bergantung pada dua fungsi yang terakhir. Hal ini berarti bahwa jika kemampuan dua fungsi terakhir dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan dapat diharapkan tetap terpelihara (Ortolano, 1984) diacu dalam Dahuri et al, (2008). Berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas, secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial (spatial suitability) mensyaratkan, bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, seperti Pantai Timur Kalimantan, Pulau Batam, dan Pantai Utara Jawa Barat, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagai zona pemanfaatan, tetapi harus pula dialokasikan untuk zona preservasi dan
26
konservasi. Contoh daerah preservasi adalah daerah pemijahan ikan (spawning ground) dan jalur hijau pantai. Dalam zona preservasi ini tidak diperkenankan adanya kegiatan pembangunan, kecuali penelitian. Sementara itu, beberapa kegiatan pembangunan, seperti pariwisata alam, pemanfaatan hutan bakau dan perikanan secara berkelanjutan (sustainable basis) dapat berlangsung dalam zona konservasi. 2.4.2. Dimensi sosial ekonomi Dimensi ekologis seperti diuraikan di atas pada dasarnya menyajikan informasi tentang daya dukung (kemampuan suplai) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia. Dengan demikian, agar pembangunan wilayah pesisir dapat berkelanjutan, maka pola dan laju pembangunan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga total permintaannya (demand) terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan suplai tersebut. Kualitas dan jumlah permintaan tersebut ditentukan oleh jumlah penduduk dan standar (kualitas) kehidupannya. Oleh karena itu, selain mengendalikan jumlah penduduk, kebijakan yang mendesak untuk dilakukan adalah mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin. Secara sosial ekonomi budaya konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumber daya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan (proyek) tersebut, terutama mereka yang ekonomi termasuk lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya. Keberhasilan Pemda Dati I Propinsi Bali dalam menanggulangi kasus penambangan batu karang, dengan menyediakan usaha budi daya rumput laut sebagai alternatif mata pencaharian bagi para pelakunya, adalah merupakan salah
27
satu contoh betapa relevannya prinsip ini bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. 2.4.3. Dimensi sosial politik Pada
umumnya
permasalahan
(kerusakan)
lingkungan
bersifat
eksternalitas. Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah pembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin dan lemah. Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta peningkatan frekuensi dan magnitude banjir suatu sungai akibat penebangan hutan yang kurang bertanggung jawab di daerah hulu. Demikian juga dampak pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang sebagian besar disebabkan oleh negara-negara industri. Ciri khas lain dari kerusakan lingkungan adalah, bahwa akibat dari kerusakan ini biasanya muncul setelah beberapa waktu. Contohnya, pencemaran perairanTeluk Minamata di Jepang terjadi sejak tahun 1940-an. Tetapi penyakit minamata dan itai-itai baru timbul pada awal 1960-an (Silent Spring). Mengingat
karakteristik
permasalahan
lingkungan
tersebut,
maka
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya. 2.4.4. Dimensi hukum dan kelembagaan Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk tidak merusak lingkungan dan bagi kelompok the haves dapat berbagi kemampuan dan rasa dengan saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, sambil mengurangi budaya konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten, serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga dunia. Di sinilah peran sentuhan nilai-nilai keagamaan akan sangat berperan.
28
2.5. Kebijakan pembangunan dan lingkungan Komisi Bruntland mengidentifikasikan 7 tujuan penting untuk kebijakan pembangunan berkelanjutan yaitu: 1) memikirkan kembali makna pembangunan; 2) merubah kualitas pertumbuhan (lebih menekankan pada pembangunan dari pada sekedar pertumbuhan; 3) memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi; 4) menjamin terciptanya keberlanjutan pada satu
tingkat
pertumbuhan
penduduk
tertentu;
5)
mengkonservasi
dan
meningkatkan sumber daya; 6) mengubah arah teknologi dan mengelola resiko; 7) memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan. Dari tujuh tujuan tersebut, ada dua hal penting yang membutuhkan perhatian disini yaitu 1) Walaupun komisi menyadari bahwa pertumbuhan adalah penting untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, pembangunan berkelanjutan merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar pertumbuhan. Untuk itu, merubah hakekat pertumbuhan merupakan suatu keharusan, terutama untuk mengurangi sifat materialistisnya, membuat lebih hemat energi, dan keseimbangan manfaat. 2) Adanya keterpaduan antara pertimbangan lingkungan dan ekonomi sebagai strategi utama pembangunan berkelanjutan. 2.6. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan Pasca Our cammon future, banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Tanpa prinsip, tidak mungkin menentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat
dikatakan
berkelanjutan.
Betapapun
banyak
tantangan
dalam
mengembangkan suatu model umum, adanya pedoman umum tetap dibutuhkan yang kemudian dapat dimodifikasi untuk setiap kondisi dan waktu yang berbeda. 2.7. Teluk 2.7.1. Degradasi teluk oleh aktivitas manusia Masalah utama perubahan kuantitas dan kualitas air teluk adalah : 1) pencemaran teluk dan sekitarnya, 2) berkurang dan rusaknya lahan basah sekeliling Teluk, 3) pembangunan dan struktur sipil di sungai tanpa memperhitungkan keberlanjutan biota teluk, dan 4) perubahan drastis tata ruang dan tata guna lahan di daerah tangkapan air. Dampak langsung dari pengrusakan
29
lingkungan di sekitar teluk adalah turunnya kualitas fisik-kimia, dan biologi dan dampak tidak langsung adalah turunnya kemampuan daya dukung ekosistim teluk untuk mendukung produktivitas perairan. Dampak akibat turunnya daya dukung perairan adalah: 1) berkurangnya produksi perikanan, 2) tercemarnya air dan 3) pendangkalan teluk yang mengakibatkan kendala transportasi air pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Berbagai ancaman ini berdampak pada kegiatan
ekonomi
dan
kelestarian
sumberdaya
alam.
Dahuri
(2005)
mengemukakan bahwa faktor sumber pencemar perairan adalah limbah domestik perkotaan (domestic –urban wastes), limbah cair perkotaan (urban stormwater), limbah cair pemukiman (sewage) pertambangan, limbah industri (industrial wastes), limbah pertanian (agriculture wastes), limbah perikanan budidaya dan air limbah pelayaran (shipping waste water). Buangan limbah industri ke tanah dan /atau permukaan badan air mengakibatkan sumberdaya air (air tanah dan air permukaan) tidak stabil untuk dimanfaatkan. Karenanya perlu pengolahan kembali (reuse) air limbah agar dapat digunakan dalam berbagai hal seperti irigasi. 2.7.2. Fungsi ekosistim teluk bagi kehidupan manusia Teluk terjadi karena peristiwa alami untuk menampung dan menyimpan air yang berasal dari hujan, mata air, dan atau sungai. Atau teluk adalah badan air alami berukuran besar yang dikelilingi oleh daratan. Teluk bisa berupa cekungan yang terjadi karena peristiwa alam yang kemudian menampung dan menyimpan air yang berasal dari hujan, mata air, rembesan, dan atau air sungai. Teluk memilki fungsi sebagai transportasi air, sumber perikanan, juga merupakan tempat hidup berbagai biota air, pengatur tata air, dan pengendali banjir. Pendangkalan teluk, pencemaran, eutrofikasi, introduksi spesies asing, eksploitasi sumberdaya, dan terjadinya konflik pemanfaatan air teluk telah menjadi isu dan permasalahan teluk di Indonesia dan tempat lainnya. Teluk merupakan kawasan yang sangat penting bagi perekonomian masyarakat karena potensial untuk tujuan wisata, sarana transportasi, perikanan. Keberadaan teluk meski ditujukan untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyakarat, ternyata dapat menimbulkan persoalan ekologis dan sosial. Hal ini menyebabkan
perlunya
prinsip
kehati-hatian
dalam
pengelolaan
teluk.
30
Permasalahan utama yang dihadapi oleh ekosistem teluk adalah tekanan pencemaran dari kegiatan industri, pertanian, perikanan, pariwisata, rumah tangga, dan introduksi spesies asing. Banyak teluk mengalami eutrofikasi dan pendangkalan akibat erosi, serta kehilangan spesies endemik akibat masuknya spesies asing yang memangsa spesis lain. Bagi manusia kepentingan teluk jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Keberadaan ekosistem teluk memberikan fungsi
yang
menguntungkan bagi kehidupan manusia (rumah tangga, industri, dan perikanan). Beberapa fungsi penting ekosistem ini, sebagai berikut: 1) sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang penting, 2) sebagai sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya (perikanan); 3) sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah; 3) memelihara
iklim
mikro,
dimana
keberadaan
ekosistem
teluk
dapat
mempengaruhi kelembapan dan tingkat curah hujan setempat; 4) sebagai sarana tranportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian dari tempat satu ke tempat lainnya; 5) sebagai sarana rekreasi dan objek pariwisata. Teluk juga digunakan manusia untuk berbagai keperluan, misalnya untuk rekreasi, perikanan, dan pengendalian air limbah. Sebagai sumber air paling praktis, teluk sudah menyediakannya melalui terkumpulnya air secara alami melalui aliran permukaan yang masuk ke teluk, aliran sungai-sungai yang menuju ke teluk dan melalui aliran di bawah tanah yang secara alami mengisi cekungan dimuka bumi ini. Bentuk fisik Teluk Youtefa pun memberikan daya tarik sebagai tempat membuang yang praktis. Jika kita membiarkan semua demikian, maka akan mengakibatkan Teluk Youtefa tak akan bertahan lama berada di muka bumi. Ekosistem teluk tidak dikelola sebagaimana mestinya, sebaliknya untuk memenuhi kepentingan manusia, lingkungan sekitar, teluk diubah untuk dicocokkan dengan cara hidup dan cara bermukim manusia.
31
2.8. Pemantauan kualitas air Keputusan
Menteri
Lingkungan
Hidup
Nomor
51
tahun
2004
mengelompokkan kualitas air menjadi beberapa kelas menurut peruntukannya. Menurut Mason (1993) yang diacu dalam Effendi (2003), pemantauan kualitas air suatu perairan memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut:1) Environmental Surveillance, yakni tujuan untuk mendeteksi dan mengukur pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu pencemar terhadap kualitas lingkungan dan mengetahui perbaikan kualitas lingkungan setelah pencemar tersebut dihilangkan ;2) Establishing Water-Quality Criteria, yakni tujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara perubahan
variabel – variabel ekologi perairan dengan
parameter fisika dan kimia, untuk mendapatkan baku mutu kualitas air; 3) appraisal of Resources, yakni tujuan untuk mengetahui gambaran kualitas air pada suatu tempat secara umum. Pada hakekatnya, pemantauan kualitas air pada perairan umum memiliki tujuan sebagai berikut; 1) mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia, dan biologi; 2) membandingkan nilai kualitas air tersebut dengan baku mutu sesuai dengan peruntukanya. 2.8.1. Air permukaan (surface water) Air tawar berasal dari dua sumber, yaitu air permukaan (surface water) dan air tanah (groud water). Air permukaan adalah air yang berada di sungai, teluk, waduk, rawa, dan badan air lain, yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah. Air tanah yang mengalirkan air ke suatu badan air disebut watersheds atau drainage basins. Air yang mengalir dari daratan menuju suatu badan air disebut limpasan permukaan (surface run off); dan air yang mengalir di sungai menuju laut disebut aliran air sungai (river run off). Sekitar 69 % air yang masuk ke sungai berasal dari hujan, pencairan es/salju, dan sisanya berasal dari air tanah. Wilayah di sekitar daerah aliran sungai yang menjadi tangkapan air disebut catchment basin. Perairan permukaan diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu badan air tergenang (standing waters atau lentik) dan badan air mengalir (flowing waters).
32
2.8.2. Perairan tergenang (lentik) Perairan tergenang meliputi, kolam, waduk (reservoir), rawa (wetland), dan sebagainya. Perairan tergenang (lentik), biasanya mengalami stratifikasi secara vertikal akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu pada kolam air yang terjadi secara vertikal. 2.9. Estuari 2.9.1. Pengertian estuari Estuari adalah luasan badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka, jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang surut air laut yang bercampur dengan air tawar dari buangan air daratan. Clark, (1974). Kemudian menurut Dahuri et al, (2008) Estuari adalah teluk di pesisir, tempat air tawar dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat berlumpur. Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Di antara partikel yang mengendap di estuari kebanyakan bersifat organik. Akibatnya substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan inilah yang menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuari. Clark (1974) mengemukakan bahwa ekosistem estuari bernilai ekonomis tinggi karena terdiri dari kombinasi bentuk dan fungsinya yang secara sendirisendiri maupun secara kombinasi memiliki fungsi sebagai berikut: 1) struktur fisik yang setengah tertutup: melindungi wilayah badan air dari gaya gelombang dan memberikan kesempatan pada tumbuhan unluk dapat berakar, tumbuh dan menjerat/menampung
biota
dan
nutrient,
2)
perairan
yang
dangkal:
memungkinkan cahaya matahari untuk tembus ke dalam estuari sehingga mendukung tumbuhnya tumbuhan rawa dan biota rawa pasang surut, serta menghalangi predator laut yang biasanya menghindari perairan dangkal, 3) Salinitas: aliran air tawar dapat menimbulkan perbedaan salinitas yang lebih tinggi dan lebih berat sehingga menimbulkan aliran yang terstratifikasi, 4) sirkulasi: menjadi suatu transport system yang menguntungkan bagi kehidupan strata rendah, karena dengan aliran yang terstratifikasi tadi, aliran permukaan ke luar (ke arah laut) dan aliran dasar masuk ke wilayah estuari serta memungkinkan organisme
berkumpul dalam
suatu habitat melalui proses adaptasi. 5) arus
33
pasang surut: energi pasang surut menjadi tenaga pengubah yang kuat; aliran arus pasang surut memindahkan nutrient dan kehidupan, mengencerkan dan membuang limbah; irama pasang surut berfungsi sebagai regulator yang penting bagi penyediaan makanan dan perkembang biakan kehidupan. 6) gudang nutrient: mekanisme penjerat di wilayah estuarin berfungsi sebagai penyimpan nutrisi, contohnya adalah rawa dan padang lamun menyimpan nutrient untuk dilepaskan secara perlahan-lahan sebagai detritus. Ada tiga komponen fauna di estuaria yaitu fauna lautan, air tawar dan payau atau estuari. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh fauna lautan, Jumlah organisme yang menghuni estuari lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar atau laut. Sedikitnya jumlah spesies ini disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, terutama fluktuasi salinitas yang sangat besar sehingga hanya beberapa spesies saja yang mampu bertahan hidup di estuari. Selain miskin dalam jumlah organisme, estuari juga miskin akan flora. Perairan estuari sangat keruh sehingga tumbuhan mencuat saja yang dapat tumbuh. Parameter lingkungan utama untuk ekosistem estuari adalah (1) aliran sungai, seperti limbah, toksikan, sedimen dan nutrient; (2) sifat-sifat fisik air laut, seperti pasang, surut arus laut dan gelombang. 2.9.2. Kawasan estuari Sebagian besar daerah pesisir di Teluk Youtefa dipengaruhi oleh keberadaan estuari. Beberapa daerah yang memiliki kawasan estuari antara lain: kawasan estuari DAS kali acai, Siborghoni, Entrop, Hanyaan. Kawasan muara sungai rentan terhadap kerusakan dan perubahan baik alami maupun akibat kegiatan manusia. Muara yang terletak di daerah perkotaan, industri dan daerah pemukiman seringkali mendapat tekanan yang besar. Nybakken (1982), dan Clark (1974) melihat estuari dari tiga aspek, yaitu komposisi fauna, vegetasi estuari, dan plankton estuari. Ada tiga komponen fauna di estuari; komponen fauna laut, air tawar. dan air payau (estuari). Menurut Koesoebiono (1991), hewan air yang hidup di wilayah estuari terjadi atas: 1) spesies-spesies yang endemik (tinggal di estuari sepanjang hidupnya)
34
seperti berbagai macam kerang, kepiting, dan berbagai jenis ikan. 2) spesies yang tinggal untuk sementara waktu di estuari, seperti larva beberapa jenis udang dan ikan yang setelah dewasa bermigrasi ke laut bebas. 3). beberapa spestes ikan yang menggunakan estuari sebagai jalur imigrasi dari laut ke sungai dan sebaliknya seperti ikan sidat dan salmon. Lebih lanjut disebutkan bahwa tumbuhan estuari terdiri atas tumbuhan berakar seperti mangrove yang tumbuh di daerah pasang surut dan bermacam lamun (sea grass), serta ganggang makro (sea weed) yang tumbuh di dasar perairan. Selain itu, terdapat pula ganggang yang berukuran mikroskopis yang hidup sebagai plankton nabati yang hidup melekat menyelimuti daratan-daratan lumpur yang tampak pada waktu air surut atau melekat pada daun-daun. Estuari mempunyai beberapa macam tipe dan defmisi. Hal ini disebabkan oleh beberapa bentuk geomorfologis garis pantai, yang bentuknya seperti estuari semi tertutup, estuari dataran pesisir atau rawa, estuari tipe tektonik, teluk dangkal yang sering dianggap sebagai estuari. Nybakken (1992) mendefinisikan bahwa estuari (aestus, air pasang) adalah lingkungan pantai berbentuk teluk yang sebagian tertutup atau semi tertutup, dan tejadi pertemuan dan percampuran antara air tawar dan air laut. Hutabarat dan Evans (2008) menyebutkan bahwa estuari merupakan daerah percampuran antara air sungai atau tawar dan air laut, daerah ini mempunyai salinitas rendah dibanding dengan laut terbuka. Jadi defmisi di atas memberi pengertian bahwa adanya hubungan bebas antara laut dengan sumber air tawar, paling sedikit selama setahun. proses percampuran sangat kompleks. Air tawar yang berasal dari sungai mempunyai densitas yang lebih kecil dibanding air laut dan cenderung mengapung di atas permukaan air laut. Di daerah estuari terdapat dinamika salinitas yang berlangsung secara tetap yang berhubungan dengan gerakan air pasang surut. Massa air tawar yang masuk ke estuari pada waktu surut mengakibatkan salinitas rendah. Pada saat air pasang, massa
air
laut masuk ke dalam estuari dan bercampur dengan air tawar,
akibatnya salinitas dalam estuari meningkat. Wilayah estuari dapat juga dibagi menjadi tiga bagian: 1) estuari bagian mulut sungai yang berhubungan dengan air tawar dan dipengaruhi oleh pasang
35
surut harian, 2) estuari bagian tengah dan terjadi percampuran air tawar dan air laut dengan baik. 3) estuari yang berhubungan langsung dengan laut bebas. Pada masing-masing wilayah estuari memiliki kondisi salinitas, suhu, oksigen terlarut dan bahan sedimen serta biologis yang bervariasi sehingga menyebabkan ekosistem estuari menjadi lebih kompleks. Estuari merupakan bagian dari sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut. Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran atau pembuangan air hujan yang berlebihan melalui mulut sungai ke laut. Karena letaknya diujung hilir, maka debit aliran air di muara lebih bcsar dibanding air sungai di hulu. Pengaruh pasang surut terhadap sirkulasi aliran di estuari dapat sampai jauh ke hulu sungai dan hal ini tergantung dengan tinggi pasang surut, debit air sungai dan karakteristik. Estuari dipengaruhi oleh massa air tawar yang mengalir dari sungai ke laut dan pergerakan air pasang surut secara teratur ke dalam dan ke luar estuari. Aliran pasang surut dan air tawar yang bersumber dari aliran air sungai maupun air laut yang menghasilkan arus dan aliran-aliran sekunder dengan kecepatan rendah, hal ini menyebabkan terjadinya proses percampuran air tawar dengan air laut yang menghasilkan salinitas bervariasi dalam wilayah estuari. Oleh karena itu, air tawar yang bersumber dari sungai dan air pasang-surut air laut merupakan faktor yang penting dalam ekosistem estuari. Percampuran kedua massa air tersebut menghasilkan suatu wilayah (zona) air yang bersalinitas rendah. Klasifikasi estuari dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan gradient salinitas dan proses pencampurannya yaitu (1) estuarin posttif pada musim hujan, curah hujan sangat tinggi dan jumlah debit air tawar yang memasuki wilayah estuarin lebih besar. Pada bagian tertentu di kolom air secara vertikal di wilayah estuari mempunyai salinitas tinggi di dekat dasar dan salinitas rendah di dekat permukaan. Kondisi estuari yang demikian disebut estuari positif (estuari baji garam), yang tejadi karena percampuran. Baji garam yang mencolok sampai homogen menghasilkan salinitas yang sama secara vartikal dari permukaan sampai dasar pada tiap titik tertentu, akan tetapi kondisi pasang surut dan aliran air sungai diwilayah estuari dapat berubah-ubah karena pengaruh musim (Nyabakken 1992). (2) estuari negatif pada musim kemarau, curah hujan sangat
36
rendah dan jumlah debit air tawar yang memasuki estuarin jauh berkurang serta kecepatan penguapan tinggi, maka masalah ini dapat menghasilkan estuari negatif, dan biasanya air laut masuk sampai beberapa kilometer kearah hulu, dalam estuari yang demikian, air laut ke luar dan masuk melalui permukaan dan selanjutnya mengalami sedikit pengeceran karena bercampur dengan air tawar yang terbatas jumlahnya. Bila kecepatan penguapan tinggi dapat rnenyebabkan permukaan air di wilayah estuari menjadi hipersalin. Air hipersalin lebih berat dari air laut dan tenggelam ke dasar serta bergerak ke luar estuari bersama dengan arus dasar (3). estuari netral, yang tejadi karena sumber air tawar dari sungai dan hujan seimbang dengan penguapan. Pritehard (1967) diacu dalam Rofiko (2005) mengklasifikasikan estuari ke dalam empat tipe berdasarkan sirkulasi air: (1) Tipe A (Salt wedge estuaries, estuari baji garam). Tipe estuari ini memiliki stratifikasi salinitas yang tinggi. (2). tipe B (Partially mixed estuaries, estuari campuran sebagian). Tipe estuari ini memiliki stratifikasi salinitas sedang (moderat). (3). tipe C (Vertically homogeneous esiuarine estuari homogen secara sempuma atau homogen vertikal). Tipe estuari ini memiliki gradien salinitas ke arah samping. (4). tipe D (Sectionally homogeneous esiuarine or Fjord, estuari homogen terpisah-pisah). Tipe estuari ini memiliki gradian salinitas membujur dan memiliki hubungan sirkulasi massa air laut dan air tawar yang tertutup serta menghasilkan perubahan salinitas yang menyebar ke segala arah. Duxbury dan Dexbury (1993) mengklasifikasikan karakteristik masingmasing tipe estuari sebagai berikut : (1) Salt wedge estuaries memiliki karateristik sebagai berikut: arus sungai sebagai pencampur utama, percampuran air laut terjadi dari dasar ke permukaan, stratifikasi densitas air laut dengan jelas, gradian salinitas terjadi secara vertikal, melintang atau membujur, tingkatan kekeruhan sangat tinggi. (2) Well mixed estuaries: angin dan pasang surut sebagai pencampur utama, arus pasang bergerak memasuki sungai dan terjadi percampuran oleh turbulensi arus, tidak terdapat stratifikasi densitas air laut dengan jelas, gradian salinitas terjadi secara melintang dan membujur. tingkat kekeruhan tinggi. (3) Partially mixed estuaries: arus sungai, angin dan pasang
37
surut merupakan pencampur utama, air laut bergerak dan bagian bawah ke atas, sehingga terjadi percampuran pada bagian atas, tidak terdapat stratifikasi densitas air laut. gradien salinitas terjadi secara melintang atau vertikal dan membujur, tingkat kekeruhan sedang. (4) Fjord, arus sungai, pasang surut dan angin merupakan air bagian dasar cenderung lebih homogen dan relatif tetap. Secara ekologis estuari dapat dianggap sebagal wilayah (zona) peralihan atau ekoton antara habitat air tawar dan habitat air laut, akan tetapi banyak dari sifat fisika, kimia dan biologinya yang utarna tidak bersifat peralihan, melainkan unik. Ke arah daratan wilayah ini dipengaruhi oleh pasang surut, gelombang laut, angin laut intrusi air laut, sedangkan ke arah laut dipengaruhi oleh kegiatan alamiah dan manusia di wilayah daratan dan laut seperti air sungai yang bersumber dari aliran permukaan (run off), sedimentasi, bahan beracun dan pencemar lainnya. Keadaan sifat fisika, kimia dan biologis di estuari juga bervariasi dan dipengaruhi oleh musim. Dinamika ekosistem estuari laut dan darat di seluruh wilayah Indonesia ini berpengaruh terhadap faktor-faktor biotik dan abiotik: salinitas, suhu air, total padatan tersuspensi, musim, massa air, sumberdaya ikan dan organisme makanan alami (Kennish 1992) 2.9.3. Hidrodinamika perairan estuari Zona pertemuan atau peralihan antara air laut dan air tawar disebut estuari. Di sepanjang estuari pergerakan air dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan aliran air sungai. Pasang surut merupakan gaya eksternal utama yang membangkitkan pergerakan massa air serta pola perubahan tinggi muka air secara dinamis. Akibat pasang surut, arus dapat mempengaruhi pergeseran salinitas dan kekeruhan di sepanjang daerah estuari. Kondisi pada saat pasang akan menyebabkan salinitas dan bahan tersuspensi bergerak ke hulu dan saat surut menuju hilir. Hidrodinamika perairan secara umum berperan dalam proses-proses seperti pencampuran (mixing) penyebaran dan proses sedimentasi (Benoit, 1971). Pasang surut (pasut) dapat menyebabkan terjadinya arus pasang surut yang menimbulkan turbulensi. Proses pengadukan akan semakin besar bila perairan tidak terlalu luas dan pencampuran bisa terjadi ke semua arah dan lapisan. Interaksi air laut dan air tawar akan mempengaruhi sirkulasi massa air dan
38
pencampuran yang dibangkitkan oleh perbedaan densitas. Pasang surut mempengaruhi proses pencampuran melalui geseran (friction) ketika pasang surut mengalir melewati dasar perairan. Geseran tersebut menimbulkan turbulensi yang pada akhirnya akan menimbulkan proses pencampuran. Kedalaman estuari akan mempengaruhi terbentuknya ombak, perairan estuari yang dangkal dengan mulut estuari yang sempit akan memperkecil atau meredam energi gelombang, sehingga estuari menjadi suatu daerah yang tenang. 2.9.4. Pengaruh iklim terhadap hidrodinamika estuari Secara geografis wilayah Indonesia terletak diantara dua benua Asia dan Australia serta diapit oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Oleh karena itu iklim dan kondisi wilayah laut dan darat kepulauan di Indonesia dipengaruhi oleh kedua benua dan samudera tersebut. Angin pasat timur laut yang berhembus ke wilayah barat Indonesia disertai musim kemarau (panas) di wilayah barat Indonesia, sedangkan ketika angin pasat barat laut berhembus ke wilayah timur Indonesia yang disertai musim hujan. Ketika kegiatan angin pasat timur laut atau tenggara (kemarau) mulai berhembus dengan kuat kondisi salinitas air laut mulai meningkat (>35%) dan lebih tinggi dibandingkan salinitas air laut pada angin musim pasat barat laut (hujan). Pada musim barat (hujan) salinitas di perairan laut menurun seiring dengan tingginya curah hujan (Nopember-Juni) di wilayah kepulauan di Indonesia, terutama disekitar pantai pulau-pulau besar. Sirkulasi massa air yang berasal dari Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik dan melintasi laut kepulauan Indonesia pada musim timur dan musim barat disebut Arlindo (Arus Lintas Indonesia). Sirkulasi massa air tersebut terjadi secara bergantian antara musim barat dan timur, dan masing-masing sekali dalam setahun. Sirkulasi arus tersebut merupakan sirkulasi massa air dunia. Sirkulasi, angin dan arus massa air yang melintasi kepulauan Indonesia dan mempengaruhi iklim darat dan laut di Indonesia. 2.9.5. Sumber pencemaran estuari
Sumber pencemar di estuari dapat bersumber dari kegiatan : industri, pertambangan, pertanian dalam arti luas. Pencemaran lingkungan yang bersumber dari antropogenik tersebut dapat berupa gas, cair dan padat, serta logam beracun
39
terikat pada sedimen. Jadi kegiatan manusia modern merupakan sumber antropogenik yang mencemari lingkungan estuari, demikian pula halnya pada lingkungan darat dan udara. Kegiatan alamiah dapat menjadi sumber logam dalam air, akan tetapi dalam konsentrasi yang rendah, seperti kegiatan gunung merapi dibawah laut dan kegiatan bakteria (biogeokimia) serta erosi. Proses alamiah bukan sumber pencemaran lingkungan estuari maupun laut. 2.9.6. Pengaruh pencemaran terhadap lingkungan estuari Pencemaran estuari dan laut merupakan suatu ancaman yang benar-benar harus ditangani secara serius. Karena hal ini sudah banyak kejadian terbukti bahwa pencemaran laut, pantai dan estuari yang bersumber dari kegiatan kapalkapal pengangkut yang bermuatan bahan beracun dalam jumlah yang besar dan tenggelam ke dasar laut. Kemudian terbawa oleh arus, angin dan gelombang ke pantai, estuari dan menjadi sumber penyebab kematian organisme, tetapi hal yang sangat membahayakan adalah terakumulasinya zat kimia beracun dalam sedimen. Zat kimia beracun yang terakumulasi pada sedimen di daerah estuari baru terurai oleh bakteri dalam jangka cukup lama. Akibatnya dalam selang waktu penguratan tersebut terjadi kematian organisme laut dan kerusakan ekosistem estuari (Hutabarat dan Evans 2008). Estuari berfungsi dan berperan sebagai habitat dan lokasi pemijahan organisme laut dan air tawar. Pengaruh zat kimia beracun yang terakumulasi dalam sedimen dapat menyebabkan kematian telur dan anak-anak ikan dan menurunkan mutu produk perikanan. Ikan lebih sensitif terhadap pencemaran Cd, Pb dan Hg dibanding dengan krustase dan spesies bentuk lainnya. Cd, Pb dan Hg merupakan logam non essensial yang umumnya diketahui sebagai "logam beracun". Oleh karena itu kehadirannya secara berlebihan sangat membahayakan keseimbangan ekosistem. Berbagai upaya pencegahan pencemaran dan cara pemantauan melalui indikatorindikator biologis dan kimia sering dilakukan, (Cornwell, DA, Davis, ML, (1998). Hal tersebut diperlukan karena kita masih belum cukup punya pengetahuan dan pengalaman mengenai ekosistem laut dan estuari serta pengaruh pencemaran logam terhadap kehidupan organisme pada tingkat yang membahayakan
40
(Hutabarat dan Evans 2008). Pengaruh letal logam beracun lebih mudah terdeteksi, tetapi sub letal jarang terdeteksi karena terakumulasi dalam sedimen dan jaringan organ ikan. Pada konsentrasi tertentu, pengaruh negatif baru muncul setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terakumulasi dalam tubuh ikan, organisme lainnya, lingkungan dan manusia. Pengaruh logam beracun terhadap ikan dan manusia muncul dalam waktu yang relatif beda, tetapi pada manusia baru muncul gangguannya setelah 30 tahun sejak terakumulasi dalam jaringan dan organ tubuh. Jadi pada konsentrasi tertentu akan menyebabkan keracunan pada jaringan dan organ sasaran yang lebih spesifik. Keracunan Hg terhadap manusia baru terlihat (tremor) dan terasa pengaruhnya antara 10-20 tahun. 2.9.7. Pencemar logam di estuari Pada umumnya logam asli tidak larut dalam air dan lingkungan perairan sebagai ion-ion yang larut dalam air. Sedangkan spesies-spesies organologam seringkali memperlihatkan bentuk yang menonjol dari bioakumulasinya oleh senyawa-senyawa, Cornel D, (1998). Cd terlarut dalam air laut atau air payau adalah dalam bentuk ion Cd. Logam Cd tersebut berasosiasi secara kuat dengan ion-ion klorida (Cl) dalam air Iaut, Darmono (2001). Konsentrasi dan bentuk Cd dalam perairan sewaktu-waktu berubah-ubah oleh antropogenik. Sekitar 65-90 % Cd dalam perairan berbentuk ion-ion senyawa-senyawa logam. Kompleks Cd dengan bahan organik terlarut lebih dominan dan konsentrasi paling tinggi terjadi pada musim panas (73-84 %). Di dalam perairan, konsentrasi yang paling tinggi terdapat di lapisan permukaan (57-76 %), kemudian di dasar (46-63 %). Hg yang larut dalam air laut dan payau dalam bentuk ion-Ion Hg2+ dan terjadi paling banyak dalam bentuk Hg (OH)2 dan HgCl2. Ion-ion halida kompleks Hg dapat terbentuk sebagai (HgCl4)2- yang terdapat dalam larutan. Hg dapat membentuk Hg kompleks yang stabil dengan senyawa-senyawa organik yang terdapat dalam air payau, terutama protein dan asam humik yang mengandung sulfur. Hg yang masuk ke ekosistem perairan estuari dapat berubah menjadi senyawa anorganik melalui oksidasi. Hg anorganik dapat berubah bentuk menjadi Hg organik melalui sistern anaerobik oleh bakteria tertentu di dalam sedimen dasar perairan. Degradasi Hg terjadi melalui proses lambat hingga berubah
41
menjadi anorganik. Dalam batas tertentu Hg dapat diabsorbsi oleh partikelpartikel organik dalam sedimen dan pada kondisi anaerobik 2.9.8. Salinitas estuari Distribust salinitas dalam estuari dan laut dipengaruhi oleh densitas air. Densitas (kepadatan) itu sendiri dipengaruhi oleh suhu, dipengaruhi oleh sirkulasi air laut, penguapan, aliran air sungai, evaporasi dan hujan. Habitat ikan estuari merupakan lingkungan yang bersalinitas dinamis dibanding dengan laut bebas. Hal ini disebabkan oleh pengaruh aliran air tawar dari sungai-sungai. Dinamika salinitas di estuarin berpengaruh terhadap konsentrasi ion-ion Cd2+, Pb2+ Hg2+,. Na+ dan Cl- dalam darah ikan estuarin, ion-ion Ca2+ konsentrasinya rendah dan pemanfaatan dilakukan secara efesien. Tekanan (stress) salinitas pada ikan estuari menyebabkan perubahan dalam elektrolit plasma darah. Salinitas permukaan laut terbuka, bervariasi antara 33-37 0/00 dengan nilai rata-rata 35 0/00. 2.10. Beban pencemar dan kapasitas asimilasi Beban pencemar adalah jumlah total bahan pencemar yang masuk ke lingkungan dalam hal ini perairan, baik langsung maupun tidak langsung dalam kurun waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut (Suharsono, 2005). Kuantitas beban pencemar selain ditentukan oleh aktivitas manusia, juga dipengaruhi oleh kondisi pasang surut wilayah pantai. Beban masukan limbah sangat kecil saat terjadinya pasang karena air sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air pantai (Hadi, 2005). Kondisi sebaliknya terjadi yaitu beban limbah ke kawasan pantai akan lebih besar pada saat surut tiba. Hal ini karena aliran dapat menembus masuk tanpa terhalang oleh massa air laut. Perhitungan beban pencemar dapat dilakukan dengan mengalikan konsentrasi dengan debit aliran sungai dalam satuan waktu tertentu. Sebelumnya debit aliran sungai dapat diperoleh dengan mengalikan luas penampang aliran sungai dengan kecepatan aliran sungai. Menurut Nemerow (1991) kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa
42
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Suatu bahan pencemar misalnya logam berat ketika memasuki perairan akan mengalami tiga macam fenomena, yaitu penyebaran, pengenceran dan pengendapan. Perhitungan kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya dengan menggunakan hubungan antara kualitas air dan beban pencemar limbah. Kapasitas asimilasi dapat ditentukan dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang dikandungnya ke dalam grafik. Kemudian mereferensikan dengan nilai baku mutu yang diperuntukkan bagi biota laut (Rajab, 2005). Nilai yang diperoleh dari titik perpotongan pada grafik inilah yang dimaksud dengan kapasitas asimilasi. 2.11. Pencemaran laut Secara umum pencemar di perairan laut berupa minyak, bahan-bahan kimia, limbah dan sampah, (Nybakken, 1992). Minyak akan melapisi permukaan laut yang dapat mengganggu proses kehidupan biota laut. Bahan-bahan pencemar seperti bahan kimia meliputi logam-logam berat serta pestisida, kemudian limbah sampah umumnya berasal dari aktivitas domestik dan industri. Pada umumnya pencemaran laut seringkali terjadi secara fisika, kimiawi maupun biologis, banyak menghasilkan racun bagi biota laut dan manusia. Sebagai contoh racun-racun dari limbah industri misalnya logam berat, zat-zat organik minyak bumi, zat-zat petrokimia dan pestisida (Palar, 1994). Pada kondisi demikian maka sumberdaya perikanan sangat terancam keberadaannya dengan masuknya zat-zat tersebut ke laut maupun teluk. 2.12. Pasang surut Nontji A, (2007) mengemukakan bahwa pasang surut sering disingkat pasut yaitu gerakan naik turunnya muka air laut secara berirama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Matahari mempunyai massa 27 juta kali lebih besar dari massa bulan, tetapi jaraknya sangat jauh dari bumi (rata-rata 149,6 juta km). Sedangkan bulan, sebagai satelit kecil, jaraknya sangat dekat ke bumi (ratarata 381.160 km). Dalam mekanika alam semesta, jarak lebih menentukan dari pada massa. Sedangkan menurut Dahuri, et al, (2008) bahwa Pasang surut (pasut)
43
adalah proses naik turunnya muka laut secara hampir periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali sehari (pasut tunggal), atau dua kali sehari (pasut ganda). Sedangkan pasut yang berperilaku di antara keduanya disebut sebagai pasut campuran. Untuk memprediksi kondisi pasut dengan akurasi yang baik diperlukan pengetahuan tentang pasut yang cukup memadai. Karena itu diperlukan data pengukuran paling sedikit selama 15 hari, atau selama 18,6 tahun jika ingin mendapat hasil yang akurasinya tinggi. Hutabarat dan Evans, (2008) mengemukakan bahwa air pada bagian ujung pantai yang berbatasan dengan lautan tidak pernah diam pada suatu ketinggian yang tetap, tetapi selalu bergerak naik dan turun sesuai dengan siklus pasang. Permukaan air laut perlahan-lahan naik sampai pada ketinggian maksimum, peristiwa ini dinamakan pasang tinggi (high water), setelah itu turun sampai kepada suatu ketinggian minimum yang disebut pasang rendah (low water). Kemudian permukaan air akan mulai bergerak naik lagi. Perbedaan ketinggian permukaan antara pasang tinggi dan pasang rendah dikenal sebagai tinggi pasang (tidal range). Sifat khas dari naik turunnya permukaan air ini terjadi campuran setiap hari di Teluk Youtefa sehingga terdapat dua periode pasang tinggi dan dua periode pasang rendah. Pasang surut air laut terjadi karena perubahan gaya tarik menarik antara bulan dan matahari terhadap perputaran bumi. Pada saat pasang tinggi, pengaruh perubahan muka air dan arus pasang surut merupakan faktor dalam evolusi pesisir. Pada teluk dan estuari, pergantian pasang dan surut yang ada dalam pergerakan arus disebut arus pasang surut, pada saat muka air turun maka timbul arus surut (ebb current) Strahler, (1998) diacu dalam Rofiko, (2005). Aliran ini berhenti saat pasang surut berada pada titik terendah. Arus pasang dan surut yang dibangkitkan oleh gelombang memiliki fungsi penting disepanjang garis pantai. Strahler, (1998) diacu dalam Rofiko, (2005) mengemukan bahwa fungsi tersebut adalah 1) arus yang mengalir ke luar masuk teluk melalui inlet yang sempit akan menggerus inlet tersebut dengan kuat. Hal ini akan menjadi inlet terbuka, meskipun kecendrungan proses drifiing pantai
44
akan menutup inlet dengan pasir. 2) arus pasang surut membawa material halus dan tanah liat dalam bentuk suspense. Sedimen halus tersebut terbawa oleh aliran yang memasuki teluk, atau dari lumpur dasar yang terbawa oleh gaya gelombang badai. Sedimen tersebut kemudian tenggelam ke dasar teluk atau estuarin dan berakumulasi
membentuk
lapisan-lapisan
serta
perlahan-lahan
mengisi
teluk/estuarin tersebut yang di dalamnya terdapat materi organik. Semakin lama, sedimen pasang surut memenuhi teluk maka menghasilkan daratan lumpur yang terdiri dari endapan lumpur dan tanah liat. Kemudian tumbuh tumbuhan yang memiliki toleransi terhadap kadar garam yang tinggi, akan menjebak sedimen lebih banyak lagi, sehingga daratan terbentuk sampai sebatas arus pasang menjadi rawa air asin atau tawar. Ekosistem mangrove biasanya terbentuk di daerah pasang surut tersebut. Bentuk pasang surut perairan laut yang terdapat di perairan Indonesia tidak sama. Pada wilayah tertentu, kondisi pasang surut dalam satu hari dapat terjadi satu kali atau dua kali pasang surut. Menurut Triatmodjo (1999), diacu dalam Rofiko, (2005) bahwa pasang surut perairan laut di wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam empat tipe : 1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut tersebut terjadi berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata 12 jam 24 menit. Pasang surut tersebut terdapat di Selat Malaka sampai Laut Andaman. 2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. Periode pasang terjadi selama 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini tejadi di perairan selat Karimata. 3. Pasang surut campuran cenderung ke harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut akan tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Tipe pasang surut jenis ini banyak terdapat di perairan Indonesia Tirnur. 4. Pasang surut campuran cenderung ke harian tunggal (mixed tide prevailing
diurnal). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi satu kali pasang dan satu kali
45
air surut, akan tetapi kadang-kadang untuk beberapa waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Tipe pasang surut jenis ini terdapat di perairan Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat. Variasi salinitas di wilayah estuarin berpengaruh terhahap proses pengaturan osmosis pada setiap individu spesies ikan estuarin. Variasi salinitas dalam estuarin dipengaruhi oleh besar kecilnya curah hujan bulanan dan musiman. Estuarin dan pantainya merupakan wilayah yang kaya unsur hara dan bahan organik dan memiliki produktivitas tinggi, sehingga makanan alami untuk berbagai spesies ikan tersedia dengan baik. Ikan dan organisme estuarin dikontrol oleh salinitas dan suhu perairan. Di dalam ekosistem perairan estuarin spesiesspesies ikan air tawar menempati kolom air lapisan atas, spesies-spesies ikan laut menempati kolom air lapisan bawah, sedangkan spesies-spesies ikan estuarin murni menempati kolom air yang bercampur air tawar dan air laut (front). Pada musim barat kelompok-kelompok spesies ikan laut lebih banyak tinggal dan bergerombol di lapisan permukaan laut antara kedalaman 0-100 m. Gerombolan spesies ikan tersebut bermigrasi ke arah pantai. Arus pasang yang bergerak ke wilayah pantai dan estuarin mempunyai peranan penting terhadap distribusi salinitas, organisme makanan ikan serta partikel-partikel pasif. Distribusi spesies ikan ke wilayah estuarin dipengarahi oleh perubahan hidrodinamika estuarin dan arus laut ke arah pantai dan estuarin. Distribusi spesies dibatasi oleh faktor salinitas, suhu, oksigen terlarut, pH dan sedimen. Jika terjadi perubahan fisika dan kimia serta organisme makanan memberi respon terhadap organisme secara keseluruhan. Ikan estuarin dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia air, total padatan tersuspensi berpengaruh pada kecerahan air. 2.13. Gelombang Romimohtarto K, (2001) mengemukakan bahwa gelombang sebagian ditimbulkan oleh dorongan angin di atas permukaan laut, dan waktu yang digunakan untuk menempuh jarak dari satu titik serupa dari satu gelombang ketitik berikutnya dinamakan periode gelombang. Permukaan laut, hampir tidak pernah terlihat tenag sempurna, selalu saja adanya gelombang berupa riak kecil, tetapi sering kali juga gelombang yang besar. Nontji A, (2007) mengemukakan
46
bahwa setiap gelombang mempunyai 3 unsur yaitu panjang, tinggi, dan periode. Panjang gelombang ialah jarak mendatar antara dua puncak yang berurutan, tinggi gelombang adalah jarak menegak antara puncak dan lembah, sedangkan periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh dua puncak yang berurutan untuk melalui suatu titik. Antara panjang gelombang dan tinggi gelombang tidak terdapat suatu hubungan yang pasti. Akan tetapi gelombang yang mempunyai panjang yang jauh akan mempunyai kemungkinan mencapai gelombang yang tinggi pula. Apabila kita mengamati perambatan gelombang di laut, seolah-olah tampak air laut bergerak maju beserta dengan gelombangnya. Tetapi kenyataannya sebenarnya tidaklah demikian. Pada perambatan gelombang, yang bergerak maju sebenarnya adalah bentuknya saja, partikel airnya sendiri hampir tidak bergerak maju. Untuk membuktikan ini cukup dengan mengamati gerakan sepotong kayu terapung di laut. Potongan kayu akan bergerak naik turun mengikuti gelombang yang melaluinya tetapi kayu tidak hampir tidak beranjak dari tempatnya semula, kalaupun maju hanya sedikit sekali. Umumnya gelombang yang diamati di laut disebabkan oleh hembusan angin. Ada 3 faktor yang menentukan besarnya gelombang yang disebabkan oleh angin yakni kuatnya hembusan, lamanya hembusan dan jarak tempuh angin. Jarak tempuh angin ialah bentang air terbuka yang dilalui angin. Sekali gelombang telah terbentuk oleh angin maka gelombang tersebut akan merambat terus sampai jauh, umumnya jauh melampaui daerah angin yang menyebabkannya Dalam garis besarnya, gelombang atau ombak yang pecah dapat dibagi menjai dua macam yakni ombak terjun dan ombak landai. Ombak terjun kerapkali terlihat di pantai yang dasar lautnya terjal. Ombak semacam ini menggulung tinggi lalu jatuh dengan hempasan hebat dan bunyi gemuruh. Ombak landai terbentuk di pantai yang dasar lautnya landai. Sewaktu ombak menyerbu ke pantai, pada bagian depannya terdapat sebaris buih yang senantiasa berjatuhan. Ombak landai ini selamanya berada dalam keadaan hampir pecah, tetapi tidak benar-benar pecah. Berkurangnya kedalaman air tidak secara mendadak menyebabkan gelombang bergulung ke pantai sampai agak jauh sebelum benarbenar pecah. Ombak semacam inilah yang digemari para pemain selancar karena memberi kesempatan untuk meluncur dengan jarak paling jauh.
47
Gelombang yang terhempas ke pantai melepaskan energinya dipantai. Makin tinggi gelombang makin besar tenaganya memukul ke pantai. Pasir laut atau terumbu karang yang membuat dangkalnya suatu perairan berfungsi sebagai peredam pukulan gelombang. Oleh sebab itu pengambilan pasir laut, pengambilan atau perusakan terumbu karang memberikan kesempatan lebih besar bagi gelombang untuk menggempur dan merusak kestabilan garis pantai. Ukuran besar kecilnya gelombang umumnya ditentukan berdasarkan tinggi gelombang. Tinggi gelombang bisa hanya beberapa millimeter saja tetapi juga bisa sampai puluhan meter. Rekor gelombang tertinggi yang pernah tercatat di dunia adalah 34 meter di samudra Pasifik yang diukur oleh kapal angkatan laut Amerika “Ramapo” 3 Februari 1933, Nontji A, (2007). 2.14. Sistem Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyatno 1999 dan Forrester 1976). Disiplin akademik dan ilmu pengetahuan mempunyai pandangan masing – masing. Para ilmuwan dimasing – masing disiplin mengembangkan beragam model yang seringkali tidak konsisten, parsial, temporal dan bersifat diskrit (tidak berkesinambungan). Kenyataan yang mendasar dari persoalan aktual adalah kompleksitas, dimana unitnya adalah keragaman. Oleh karena keragaman yang begitu besar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Dalam hal ini, teori sistem mempertanyakan bahwa kesisteman adalah suatu meta – konsep atau meta – disiplin; dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial; dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh 1993 dan Carnavayal 1992 dalam Kholil 2005). Karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (System Approach). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu : 1) mencari semua faktor penting dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, 2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk dapat bekerja secara sempurna suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi 1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, 2) suatu tim yang multidisipliner, 3) pengorganisasian, 4) disiplin untuk bidang yang non kuantitatif, 5) teknik model
48
matematik, 6) teknik simulasi, 7) teknik optimasi, 8) aplikasi komputer (Eriyatno 1999). Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu tertentu, dimana perubahan status sistem tersebut diamati melalui dinamika outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output di setiap satuan waktu atau berkeadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu adanya keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan dengan apakah tertutup (closed system) dimana interaksi dengan lingkungan sangat kecil sehingga bisa diabaikan, dan atau terbuka (open system) dimana paling sedikit satu elemennya berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kenyataan sistem tertutup tidak pernah ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian analisis (Muhamadi, Aminulah, dan Soesilo 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem dinamik dan sistem statis (Djojomartono dan Pramudya 1983 diacu dalam Kholil 2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu, jadi merupakan fungsi dari waktu. Sistem dinamik ditandai dengan adanya ”time delay” yang menggambarkan ketergantungan out put terhadap variabel input pada periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik pendekatan sistem adalah : 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal oriented), Holistik dan Efektivitas. Sibernetik (goal oriented) artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada ”problem oriented”, tetapi lebih ditekankan pada ” apa tujuan” dari penyelesaian masalah tersebut. Efektivitas maksudnya sebuah sistem yang telah dikembangkan haruslah dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem haruslah merepresentasikan kondisi nyata yang sebenarnya terjadi, dan holistik mengharuskan
merepresentasikan
menyeluruh dan terpadu.
penyelesaian
permasalahan
secara
utuh,
49
2.15. Pengembangan analisis sistem 2.15.1. Tahapan pendekatan sistem Masalah pengelolaan Teluk Youtefa harus melibatkan banyak pihak yaitu masyarakat, industri, usaha, pemerintah, dinas perikanan, dinas kehutanan, dinas kesehatan, dinas pariwisata, dan LSM. Karena Teluk Youtefa merupakan suatu sistem yang terdiri dari sumber daya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, sumber daya dana yang merupakan satu kesatuan dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam pengelolaan Teluk Youtefa perlu pendekatan sistem dengan memperhatikan keterpaduan dan keberlanjutan. Melihat banyaknya pihak yang terlibat, maka masalah pengelolaan Teluk Youtefa menjadi masalah yang kompleks. Alternatif pendekatan yang cocok adalah pendekatan holistik yang melibatkan seluruh pihak secara terpadu. Pendekatan sistem dengan multidisiplin ilmu merupakan alternatif terbaik bagi penyelesaian masalah pengelolaan Teluk Youtefa yang kompleks tersebut. Hal ini karena melalui pendekatan sistem, akan dapat diidentifikasi kebutuhan seluruh pihak terkait (stakeholder), sehingga dapat dicari satu penyelesaian holistik dan terpadu yang dapat memberikan hasil lebih efektif. Dalam pendekatan sistem dilakukan beberapa tahap proses yang terdiri dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi model serta implementasi. Pelaksanaan semua tahapan tersebut dalam satu ketentuan kerja merupakan analisis sistem (Eriyatno 1999 dan Hartisari 2007). Sistem model dinamik merupakan salah satu pendekatan sistem yang memiliki beberapa keunggulan antara lain : 1) dapat menyederhanakan model masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana, dan 2) adanya umpan balik (feed back) dalam model (Muhamadi 2000 dan Kholil 2005). Dalam pengembangan model dinamik, penggunaan perangkat lunak (soft ware tool)
computer sangat diperlukan. Melalui perangkat lunak powersim dapat
dilakukan simulasi terhadap model yang telah dikembangkan untuk melihat trend (pola) sistem pada masa yang akan datang seiring perubahan waktu. Sehingga perubahan (perbaikan) yang diperlukan untuk mendapatkan sistem model yang
50
diinginkan dapat dilakukan. Ada dua jenis perbaikan yang dapat dilakukan : a) perbaikan
struktural,
yakni
dengan
melakukan
penyempurnaan
model
(menambah/mengurangi), dan b) perbaikan fungsional, yakni dengan melakukan penyempurnaan unsur – unsur sistem. Ada dua pertimbangan dasar yang harus dipikirkan dalam melakukan perbaikan (baik perbaikan struktural maupun fungsional), yaitu: a) feasibility b) desirability. Feasibility menekankan bahwa perbaikan dilakukan agar model dapat dilaksanakan dalam dunia nyata (real world), sedangkan desirability menekankan perbaikan model dilakukan agar dapat didukung oleh semua unsur dan sumber daya. 2.15.2. Analisis kebutuhan A
Mulai
Analisis kebutuhan
Pemodelan sistem
Formulasi masalah
Verifikasi dan validasi
Identifikasi sistem
Implementasi
A
Selesai
Gambar 5. Pendekatan sistem (Hartisari 2007)
Analis kebutuhan merupakan tahap awal dari rangkaian proses pengembangan
sistem
model.
Analisis
kebutuhan
bertujuan
untuk
mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku (aktor) yang terlibat dalam pengelolaan Teluk Youtefa berdasarkan kajian pustaka/empiris, stakeholder yang terlibat disajikan dalam Tabel 3. Berdasarkan aktor yang terlibat, ada dua jenis kebutuhan yang terkait dengan pengelolaan Teluk Youtefa : a) kebutuhan masing – masing individu (individual needs) yang dapat mengarah pada conflict of interest, dan kebutuhan bersama (common needs) yang menjadi masalah bersama (common problem).
51
Tabel 3. Analisis kebutuhan Aktor/Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Teluk Youtefa. No 1
Aktor/Stakeholder
Masyarakat nelayan
2 3
Masyarakat umum LMA, Ondoapi, Kepala suku
4 Dinas perikanan 5 Dinas kehutanan 6 Dinas kesehatan 7 Dinas pariwisata 8 9
Lembaga keuangan Pengusaha
10 LSM 11 12
Jasa tranportasi Perguruan tinggi
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 1) 2) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 4) 1) 2) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 1) 2) 1) 2) 3) 1) 2) 1) 2)
Kebutuhan Kualitas dan kesejahteraan sumberdaya/manusia meningkat Harga jual ikan hasil tangkapan menguntungkan Produktivitas nelayan meningkat Terbukanya lapangan pekerjaan Tersedianya lahan untuk usaha budidaya ikan Produksi budidaya KJA meningkat Pemasaran yang baik dengan harga yang tinggi Peningkatan pendapatan dan kontuinitas permintaan Tersedianya sarana produksi dan harga jual ikan yang tinggi Tersedianya sarana & prasarana perikanan yang memadai Tidak tercemar dan dangkal teluk Pemukiman diatas Teluk Stabilitas politik lokal yang kondusif Lingkungan teluk yang bersih. Produktivitas tangkapan ikan meningkatk lokal yang kondusif Tidak terjadi pencemaran Teluk lestari dan berkelanjutan Fungsi teluk lestari Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat/nelayan Terbuka lapangan kerja Kontunuitas produksi ikan Fungsi hutan lestari Tidak adanya aktivitas perambahan hutan dan erosi diminimalkan Produksi ikan terjamin mutunya Kesehatan lingkungan masyarakat terjamin Gizi masyarakat terjamin Sarana rekreasi/ekowisata Nilai estetika teluk baik Pendapatan daerah naik Keamanan dan keuntungan usaha Resiko kegagalan pengembalian pinjaman modal kecil Kemitraan dan ketersediaan bahan baku Daya saing kompetitif, dan iklim usaha yang kondusif Lingkungan sehat dan tidak ada konflik soaial Transparansi dan pemerintahan yang bersih Keamanan, dan kesejahteraan masyarakat meningkat Keamanan berusaha Kerjasama pedagang atau nelayan Kegiatan penelitian Kegiatan praktek lapangan
2.15.3. Formulasi Masalah Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) diantara para stakeholder terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam mencapai tujuan system (Eriyatno 2003). Berdasarkan analisis kebutuhan tersebut, maka dalam upaya pengelolaan teluk secara lestari, ada permasalahan yang mengancam kelangsungan teluk adalah:
52
1. Rusaknya fungsi ekologis: rusaknya fungsi ekologis TeluktahYoutefa dapat disebabkan oleh meningkatnya beban pencemaran, dan sedimentasi sehingga menyebabkan turunya kualitas air teluk. Hal ini akan menyebabkan rusaknya fungsi ekologis teluk sebagai: 1) sumber plasma nuftah; 2) tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna; 3) Tempat hidup biota air; 4) pengendali banjir; 5) rekreasi/wisata; 6) tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah; 7) memelihara
iklim
mikro,
dimana
keberadaan
ekosistem
teluk
dapat
mempengaruhi kelembaman dan tingkat curah hujan setempat; 8) sarana tranportasi 2. Lemahnya regulasi: lemahnya regulasi dalam pengelolaan teluk disebabkan oleh belum ditegakkannya undang – undang, sehingga aktivitas pencemaran di teluk dan perambahan hutan di sekitar teluk terus berlangsung. 3. Gangguan keslingmas: meningkatnya limbah cair (faeces-tinja) rumah tangga, hotel dan restoran akan meningkatkan bakteri E. Coli serta akan membawa penyakit pada ikan dan ketika ikan dikonsumsi masyarakat akan membawa penyakit pada masyarakat akhirnya akan mengganggu keslingmas. 4.Lemahnya sumberdaya manusia: Meningkatnya aktivitas masyarakat terhadap pengrusakan hutan dan pencemaran di sekitar teluk disebabkan oleh: sumber daya manusia yang tidak memiliki wawasan tentang pentingnya pelestarian lingkungan, rendahnya tingkat pendidikan, dan lemahnya prilaku sosial (kesadaran masyarakat). 2.15.4. Identifikasi sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi sistem tersebut adalah untuk memberikan gambaran tentang hubungan antra faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Menurut Marimin (2004) identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat dan diagram input output (black box) (Gambar 6). Diagram sebab akibat merupakan interkoneksi antar peubah – peubah penting yang diturunkan dari identifikasi kebutuhan dan masalah yang telah diformulasikan
53
pada suatu sistem tertutup (closed-loop system) untuk melihat interaksi antar komponen sistem terkait. INPUT LINGKUNGAN UU No.32 Tahun 2009 PP. 51 Tahun 2004 PP No. 82 Tahun 2001 OUTPUT YANG DIKEHENDAKI Teluk lestari Kualitas air memenuhi baku mutu Beban pencemaran menurun
INPUT TAK TERKONTROL Limbah non point Debit air Beban limbah Partisipasi masyarakat
MODEL PENGELOLAAN TELUK YOUTEFA TERPADU SECARA BERKELANJUTAN
INPUT TERKONTROL Implementasi peraturan Jumlah hotel, retoran, dan pemukiman disekitar Teluk Sistem dan kapasitas kelembagaan Pertumbuhan dan distribusi penduduk Komitmen dukungan PEMDA
OUTPUT YANG TIDAK DIKEHENDAKI Kualitas air terus menurun Jumlah beban limbah meningkat Penurunan kesehatan masyarakat Penurunan hasil ikan (kualitas & kuantitas)
MANAJEMEN PENGELOLAAN
Gambar 6. Diagram input output model pengelolaan Teluk Youtefa
2.16. Sistem Dinamik Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi, 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi
54
untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing – masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk membentuk sinergi. Validasi model sistem dinamik pada dasarnya adalah suatu proses membangun kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan perancangan kebijakan. Dalam proses validasi ini, sebuah model tidak akan dapat dinyatakan
valid secara absolut, jika tidak terdapat bukti bahwa model dapat
merepresentasikan suatu realita dengan benar – benar mirip secara absolut, sehingga dengan melakukan proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti – bukti empiris akan meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian terhadap model sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga katagori utama sebagai berikut: Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model, dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya. Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model; Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model terhadap berbagai rekomendasi kebijakan. Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1) Tahap seleksi konsep dan variabel Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang. 2) Konstruksi model (tahap pengembangan model)
55
Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) kedalam model dinamiknya dengan bantuan soft ware tool Powersim versi 2.5 berbasis sistem operasi windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi. 3) Tahap analisis sensivitas Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis kebijakan Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Permasalahan Konsep sistem Diagram sebab akibat Konstruksi model Validasi OK ?
Tidak
Simulasi Selesai
Analisis kebijakan
Gambar 7. Garis besar pengembangan model dinamik Diagram
input-output
merepresentasikan
input
lingkungan,
input
terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap (black box) pada tengah diagram, yang menunjukkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram input-output desain sistem pengelolaan Teluk Youtefa (Gambar 8).
56
Input Lingkungan Output Yang Diinginkan
Input Tak Terkontrol Proses
Output Yang Tak Diinginkan
Input Terkontrol UMPAN BALIK
Gambar 8. Diagram input-output sistem (Hartisari 2007)
Konsep sistem dinamik Sistem dinamik merupakan salah satu metode yang bisa digunakan untuk mengilustrasikan sistim dinamika yang kompleks serta menganalisis implikasi-implikasi relatif dari suatu kebijakan. Sistem dinamik mengkaji sistem sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai elemen-elemen yang saling berinteraksi dan menentukan kinerja sistem secara keseluruhan. Model sistem dinamik dapat memberikan informasi lebih mendetail yang berguna untuk mengungkap mekanisme yang tersembunyi dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan. Sistem dinamik dikenal variabel level, variabel rate, dan variabel auxiliary. Gambar 9, merupakan contoh gambaran umum diagram alir model dinamik dengan aplikasi powersim studio 2.5. Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran dalam diagram alir dan menyatakan kondisi sistem setiap saat. Persamaan powersim untuk aliran level adalah: Init LEV = kondisi awal; flow LEV = -dt*(RK) + dt*(RM) dengan: LEV = level (unit); RM = rate (laju) masukan; RK = rate (laju) keluaran; dt = interval waktu simulasi (satuan waktu) Init = initial, nilai awal; flow = aliran untuk variabel level. Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya suatu level. Rate terdiri dari 2 jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar. Rate masuk akan menambah akumulasi di dalam suatu level dan dilambangkan dengan katub dan panah yang menuju level, sedangkan rate keluar ditunjukkan dengan katub
57
yang dihubungkan dengan panah yang sink. Simbul awan menunjukkan source dan sink suatu material mengalir ke dalam atau keluar level. Aliran dalam powersim dilambangkan dengan tanda panah yang tegas. Aliran ini merupakan penghubung antar sejumlah variabel dalam suatu sistem. Jika aliran informasi keluar dari level, aliran tersebut tidak akan mengurangi akumulasi yang terdapat di dalam level. Variabel auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan dalam merumuskan persamaan atau variabel rate, atau suatu variabel yang membantu untuk memformulasikan variabel rate. Variabel auxiliary digambarkan dengan suatu lingkaran penuh. Simbul belah ketupat dalam powersim menggambarkan konstanta, yaitu suatu besaran yang nilainya tetap selama proses simulasi.
Gambar 9. Diagram alir model sistem dinamik menggunakan program powersim
2.17. Pengembangan model dinamik Sistem Dinamik menawarkan dua keuntungan yaitu: (1) relatif mudah untuk menggabungkan antara pemahaman kualitatif dengan data kuantitatif; (2) Simulasi bisa dilakukan pada saat ketersediaan data tidak memadai untuk melakukan analisis data statistik. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik,
58
yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). 2.18. Uji validasi dan sensitivitas model Untuk menguji kebenaran sebuah model dengan kondisi obyektif dilakukan uji validasi. Ada dua uji validasi: validasi struktur dan validasi kinerja. Validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah. Sedangkan validitas kinerja untuk memperoleh keyakinan sejauh mana model sesuai dengan kinerja sistem nyata (keadaan yang sebenarnya). Validitas struktur meliputi dua pengujian, yakni validitas konstruksi dan validitas kestabilan.
Validitas
konstruksi
melihat
apakah
konstruksi
model
yang
dikembangkan sesuai dengan teori. Sedangkan uji validitas kestabilan dilakukan dengan menguji konsistensi antara model agregat dan model rinci. 2.18.1. Uji validasi kinerja : Validitas kinerja dilakukan dengan cara pengujian menggunakan statistik AME (Absolute Mean Eror) dan AVE (Absolute Variation Eror). Nilai batas penyimpangan yang dapat diterima adalah < 10%. Tabel 4. Konversi rumus statistik ke persamaan powersim No 1
2
Rumus Statistik Penyimpangan means absolut (AME) AME = (Si-Ai) Ai Si = Si N Ai = AiN Penyimpangan variasi absolut (AVE) AVE = Ss-Sa Sa Ss = ((Si – Si)2 N) Sa = ((Ai – Ai)2 N)
Keterangan : A = nilai aktual S = nilai simulasi N = interval waktu pengamatan Sa = deviasi nilai aktual Ss = deviasi nilai simulasi 2.18.2. Uji sensitivitas
Persamaan Powersim E1 = abs(Sr-Ar)/Ar Sr = integrate (S)/t(n) – t(0)) Ar = integrate (A)/t(n)-t(0)) E2 = abs(Ss-Sa)Sa Ss=sqrt (integrate ((S-Sr)^2)(t(n)-t(0))) Sa=sqrt (integrate((A-Ar)^2)(t(n)-t(0)))
^2 = pangkat dua n = waktu sqrt = akar integrate = sigma fungsi waktu S = nilai simulasi; Abs = nilai absolut
Untuk mengetahui kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu dilakukan uji sentivitas, dengan menggunakan fungsi – fungsi sepeti IF, STEP, GRAPH, dan PULSE (Davidesen 1994 dalam Kholil 2005). Uji sensitivitas
59
dilakukan untuk mengetahui respon model terhadap stimulus, tujuannya untuk menemukan alternatif tindakan baik untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian positif, maupun untuk mengantisipasi dampak negatif. Uji sensitivitas dilakukan dengan dua macam (Muhamadi, 2001) : 1) Intervensi fungsional, yakni dengan memberikan fungsi – fungsi khusus terhadap model, dan 2) intervensi struktural, yakni dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model, dengan cara mengubah struktur modelnya. 2.19. Analisis kebijakan Analisis kebijakan dilakukan untuk mempengaruhi sistem agar sesuai dengan apa yang diinginkan (Davidsen, 1994 dalam Kholil, 2005). Dalam sistem dinamis analisis kebijakan dilakukan terhadap hasil simulasi model (Muhamadi, 2001). Ada dua tahap analisis kebijakan yaitu : pengembangan kebijakan alternatif dan analisis kebijakan alternatif. Pengembangan kebijakan alternatif adalah suatu proses berfikir kreatif menciptakan ide – ide baru untuk mempengaruhi sistem agar mencapai tujuan yang diinginkan, baik dengan cara mengubah parameter maupun struktur modelnya. Sementara itu analisis kebijakan alternatif dilakukan untuk memilih satu kebijakan terbaik dari beberapa alternatif kebijakan yang ada, dengan mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem baru, serta perubahan lingkungan ke depan. 2.20. Pengembangan model kelembagaan Pengembangan model kelembagaan pengelola Teluk Youtefa terpadu didasarkan atas hasil analisis kelembagaan dengan menggunakan metoda ISM (Interpretative structural modelling) yang dikembangkan oleh Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999). Data pada teknis ISM adalah kumpulan pendapat dari pakar panelis sewaktu menjawab tentang keterkaitan antar elemen. Pengembangan model kelembagaan ini bertujuan untuk membangun alternatif institusi pengelola Teluk Youtefa yang tepat, sesuai dengan karakteristik daerah, perkembangan masyarakat dan peraturan yang berlaku. Elemen – elemen yang dipilih dalam melakukan analisis kelembagaan ini adalah elemen yang berperan secara dominan dalam menentukan keberhasilan pengelolaan Teluk Youtefa.
60
Menurut Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999) program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruhi, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan dari program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Dalam melakukan analisis kelembagaan elemen – elemen yang akan digunakan adalah elemen yang dominan yang dikonsultasikan dengan pakar. Pakar dalam hal ini adalah yang memiliki a) pengetahuan tentang Teluk Youtefa, b) pengetahuan tentang model dinamik dan c) skill, d) Sikap (etika dan moral – attitude) Menurut Marimin (2004), analisis terhadap model kelembagaan ini pada dasarnya untuk menyusun hierarki setiap sub elemen pada elemen yang dikaji, dan kemudian membuat klasifikasi ke dalam 4 sektor, untuk menentukan sub elemen mana yang termasuk ke dalam variabel Autonomous (sektor 1), dependent (sektor 2), linkage (sektor 3) atau independent (sektor 4)
III
I
II
Driver power
IV
Dependence
Gambar 10 Matriks DP-D
61
Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variables (autonomous); Sektor 2 : Weak driver – strongly dependent variables (dependent); Sektor 3 : Strong driver – strongly dependent variables (linkage); Sektor 4 : Strong drive weak dependent variables (independent)
Mulai
Input analisis kelembagaan (konsultasi ke pakar): (1) Kendala utama, (2) Tujuan, (3) Tolak ukur, (4) Lembaga yang terlibat, (5) Kebutuhan.
Analisis kelembagaan pengelola Teluk Youtefa, berdasarkan elemen – elemen yang dikaji dengan metode ISM
OK ? Output : Hirarki sub elemen untuk setiap elemen yang dikaji dan klasifikasi sub elemen pada setiap elemen
Gambar 11. Diagram alir analisis kelembagaan dengan metode ISM Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. Tahapan dalam melakukan ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu Penyusunan hirarki dan klasifikasi sub elemen (Eriyatno, 2003). a. Penyusunan hierarki • Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemenelemen di mana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub elemen. • Menentapkan hubungan kontekstual antara sub elemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi sub ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar lebih dari satu maka dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol:
62
V jika eij = 1 dan eji = 0; V = sub elemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j A jika eij = 0 dan eji = 1; A = sub elemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua sub elemen harus ditangani bersama O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua sub elemen bukan prioritas yang ditangani Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke-i dan ke-j. • Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix (SSIM). SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. 2.21. Permodelan Menurut
Robert
(1983)
yang
diacu
dalam
Kholil
(2005)
mengemukakan bahwa model merupakan perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual yang menggambarkan hubungan antar variabel dalam sebuah system. Model dianggap baik bila dapat merepresentasikan realitas yang sebenarnya sederhana, (Eriyatno 1999). Secara umum ada 3 bentuk model: 1). Model ikotonik yaitu model miniatur dari keadaan yang sebenarnya, seperti model pesawat terbang, model mobil, dan model rumah. 2) model analog, yaitu model suatu proses atau sifat, seperti proses grazing yang dapat dicontohkan pemotongan rumput dengan mesin. Model ini sifatnya sederhana dan sering dipakai pada situasi khusus seperti untuk proses pengendalian mutu industri (operating characteristic curve). 3) model simbolik yaitu suatu model yang menggunakan simbol-simbol matematika pada analisa system sebagai penelitian ilmiah yang sering digunakan adalah model simbolik dan model matematika. Pengembangan model dibutuhkan beberapa langkah yaitu: 1) problem definition, 2) system conceptualization, 3) model representation, 4) model behavior, 5) model evaluation, 6) policy analysis and model use. Tahapan system conceptualization merupakan bagian yang paling crusial, karena kegagalan dalam tahap ini akan memberikan pengaruh pada tahap-tahap berikutnya. model
63
representation merupakan tahap pembuatan model melalui kode-kode program seperti kedalam bahasa dynamic. model behavior dan model evaluation secara umum merupakan tahap untuk mengetahui perilaku model dan sensivitas model bila dilakjukan perubahan terhadap nilai parameter. Kemudian model merupakan tahap implementasi dari model telah dianggap logis dan diuji kebenarannya. Kholil, (2005) mengemukakan bahwa pembuatan model harus dimulai dari bentuk yang paling sederhana dengan cara mendefenisikan permasalahan secara hati - hati, digunakan analisis sensitifitas untuk membantu menentukan rincian model dan selanjutnya untuk penyempurnaan dilakukan dengan penambahan variabel secara gradual sehingga diperoleh model yang logis dan dapat merepresentasikan keadaan sebenarnya Pada suatu sistem, bahwa perubahan unsur akan mempengaruhi unsur lainnya dan bisa menjadi kendala terhadap perilaku sistem. Oleh sebab itu perlu dipahami sifat hubungan antar elemen yang terkait (relation of an entity toward other entities) dan sifat hubungan terhadap perilaku total sistem (relation to the whole) Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa faktor input terdiri dari: input yang terkontrol (controllable overt inputs) dan input yang tak terkontrol (uncontrollable overt inputs). Kemudian output terdiri dari: output yang dikehendaki (desirable out puts) dan output yang tak dikehendaki (undesirable outputs).
Input lingkungan (environmental input) merupakan faktor yang
berpengaruh pada bagian proses dari sebuah sistem output yang tak dikehendaki (undesirable output) akan menjadi unpan balik (feed back) bagi sistem. Adanya umpan balik ini perlu dilakukan manajemen sistem sehingga dapat dikendalikan dan menjadi input bagi sistem (Eriyatno, 1999 diacu dalam Kholil, 2005). Dengan demikian maka dampak perubahan yang terjadi akibat berubahnya elemen lain dapat diprediksi, sehingga hal-hal yang perlu diambil untuk pengendalian sistem dapat diantisipasi lebih awal.
64
2.22. Simulasi Menururt
Robert,
(1983)
yang
diacu
dalam
Kholil,
(2005)
mengemukakan bahwa seimulasi adalah cara untuk menirukan keadaan yang sesungguhnya. Sedangkan menurut Manetsch dan Park, (1977) yang diacu dalam Kholil, (2005) bahwa simulasi sebagai suatu teknik dalam pemodelan untuk mendapatkan suatu solusi dari suatu model matematik yang disusun menurut asumsi yang spesifik dengan input model dan nilai-nilai parameter yang telah ditentukan dimana simulasi adalah jawaban acceptable. Masalah yang penuh dengan ketidakpastian yang sulit dipecahkan dengan metode analitis, akan dapat dipecahkan melalui simulasi, pendekatan simulasi merupakan alternatif dari pendekatan sistem. Menururt Robert, (1983) yang diacu dalam Kholil, (2005) bahwa penyelesaian permasalahan dengan menggunakan teknik pendekatan simulasi memiliki beberapa keuntungan yaitu 1) membagi sistem menjadi komponenkomponen yang dapat dideteksi perilakunya, 2) dapat dipergunakan untuk melihat interaksi dari tiap-tiap komponen, 3) bila terjadi perubahan salah satu variabel input mempengaruhi secara keseluruhan terhadap sistem dapat diketahui.