28
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UU No. 23 tahun 1997). Lingkungan hidup sebagai suatu sistem yang terdiri atas: lingkungan alam (ecosystem), lingkungan buatan (technosystem) dan lingkungan sosial (sociosystem) dimana ketiga sub sistem ini saling berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang dinamis. Ketahanan masingmasing sub sistem akan memberikan jaminan berkelanjutan yang tentunya akan memberikan peningkatan kualitas hidup setiap makhluk hidup didalamnya (Hendartomo, 2001). Masalah lingkungan hidup pada dasarnya timbul karena dinamika penduduk, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang kurang bijaksana serta kurang terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Dampak negatif yang sering timbul dari kemajuan ekonomi yang seharusnya positif dan memberikan manfaat yang besar terhadap manusia seringkali terjadi sebaliknya, manusia menjadi korban akibat dampak yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi yang dilakukan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup merupakan dua permasalahan yang paling banyak timbul, sebagai dampak dari kegiatan ekonomi dan pembangunan. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan
hidup
tidak
dapat
berfungsi
sesuai
dengan
peruntukannya, sedangkan kerusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (UU No. 23 tahun 1997). Dalam perspektif ekonomi lingkungan dipandang sebagai asset gabungan yang menyediakan berbagai jasa/fungsi yakni untuk mendukung kehidupan
29
manusia dan memenuhi kebutuhan manusia. Lingkungan menyediakan bahan baku yang ditransformasikan ke dalam bentuk barang dan jasa melalui proses produksi dan energi selanjutnya menghasilkan residual yang kembali ke lingkungan (Kusumastanto, 2000). Hubungan timbal balik antara aspek ekonomi dan sumberdaya alam dan lingkungan kemudian menjadi sangat penting. Ekstraksi terhadap sumberdaya alam yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan menghasilkan benefit dan limbah. Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung telah dan akan memberikan dampak terhadap resistensi sumberdaya alam dan lingkungan. Manusia melakukan aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya alam (air, udara, tanah, hutan, minyak, dan ikan) namun disisi lain pemanfaatan tersebut juga menimbulkan residual (limbah) yang kembali ke lingkungan, dan berdampak terhadap kualitas lingkungan tersebut. Sebagai salah satu negara yang luas di dunia, Indonesia tidak hanya memiliki wilayah daratan dan perairan yang luas tetapi juga kaya dengan sumberdaya alam. Hutan tropis yang luasnya diperkirakan mencapai 144 juta hektar sangat kaya dengan ribuan jenis burung, ratusan jenis mamalia dan puluhan ribu jenis tumbuhan. Perairan yang luas menjadi tempat bagi perkembangan populasi ikan dan hasil perairan lainnya. Demikian pula dengan buminya yang mengandung deposit berbagai jenis mineral dalam jumlah yang tidak sedikit. Pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu hal yang sangat penting dibicarakan dan dikaji dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional kita. Dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah sesungguhnya kita dapat melaksanakan proses pembangunan bangsa ini secara berkelanjutan tanpa harus dibayangi rasa cemas dan takut akan kekurangan modal bagi pelaksanaan pembangunan tersebut. Pemanfaatan secara optimal kekayaan sumberdaya alam ini akan mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh bangsa Indonesia. Namun demikian perlu kita sadari eksploitasi secara berlebihan tanpa perencanaan yang baik bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan
30
namun malah sebaliknya akan membawa malapetaka yang tidak terhindarkan. Akibat dari pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang tidak memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan dapat kita lihat pada kondisi lingkungan yang mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitasnya. Hutan tropis yang kita banggakan setiap tahun luasnya berkurang sangat cepat, demikian juga dengan jenis flora dan dan fauna di dalamnya sebagian besar sudah terancam punah. Perairan yang sangat luas sudah tercemar sehingga ekosistemnya terganggu. Demikian juga dengan dampak eksploitasi mineral yang terkandung dalam perut bumi juga mulai merusak keseimbangan dan kelestarian alam sebagai akibat proses penggalian, pengolahan dan pembuangan limbah yang tidak dilakukan secara benar. Pengelolaan sumberdaya alam selama ini tampaknya lebih mengutamakan meraih keuntungan dari segi ekonomi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek sosial dan kerusakan lingkungan. Pemegang otoritas pengelolaan sumberdaya alam berpusat pada negara yang dikuasai oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah tidak lebih sebagai penonton. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala menjadi kebijakan yang tumpang tindih. Sentralisasi kewenangan tersebut juga mengakibatkan pengabaian perlindungan terhadap hak azasi manusia. Selama puluhan tahun praktek pengelolaan sumberdaya alam tersebut dilaksanakan telah membawa dampak yang sangat besar bagi daerah. Berdasarkan implementasi dari UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang mendefinisikan tiga konsep utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu: kondisi SDA, kualitas lingkungan dan faktor demografi. Oleh karena itu perlu adanya optimalisasi usaha untuk menyusun penghitungan kualitas lingkungan. Tujuan dari penghitungan kualitas lingkungan adalah: a) memberikan deskripsi tujuan dari aktivitas manusia (sosial dan ekonomi) dan fenomena alami keadaan lingkungan dan demografi, b) memberikan informasi yang komprehensif untuk masyarakat dan pembuat kebijakan, c) sebagai alat yang sangat membantu dalam mengevaluasi pengelolaan demografi dan lingkungan (Landiyanto dan Wardaya, 2005).
31
Agar upaya pelestarian lingkungan berjalan secara efektif dan efisien serta berkelanjutan, dibutuhkan kebijakan untuk mewujudkan hal tersebut. Dalam skenario politik ekonomi yang rumit saat ini, amatlah penting untuk menetapkan kebijakan lingkungan dan sosial yang kuat disemua tingkatan. Demikian juga penegakan hukum harus berjalan secara efektif agar pelestarian keanekaragaman hayati dapat berjalan dengan baik. Kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (mempengaruhi pertumbuhan) baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Kebijakan dikatakan efektif apabila penerapan kebijakan dan instrumennya dapat menghasilkan perubahan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Sedangkan dikatakan efisien jika kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang rendah. Tahapan kebijakan terdiri dari fase formulasi kebijakan dan fase implementasi kebijakan, sedangkan analisis kebijakan aktivitas menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan Clay dan Shaffer (1984) dalam Sanim (2003). Salah satu tindakan pemerintah dalam analisis kebijakan lingkungan adalah dengan menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan dalam setiap pelaksanaan usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Tujuan secara umum AMDAL adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. AMDAL di Indonesia telah lebih dari 20 tahun diterapkan. Meskipun demikian berbagai hambatan dan masalah selalu muncul dalam penerapannya, seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Dalam komisi penilai AMDAL, sangat jelas terlihat kerancuan dalam proses penilaian, dengan tidak adanya kriteria dan indikator penilaian yang standar, sehingga menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi sangat subyektif. Kriteria dan indikator merupakan jembatan yang menghubungkan antara tujuan dan aksi yang dilakukan. Ada empat indikator untuk melihat keberhasilan sebuah kebijakan (Kusumastanto, 2003) yakni: 1) kebijakan tersebut harus
32
memiliki instrumen yang efektif untuk menjalankannya (policy tools) dengan kriteria: dapat diaplikasikan secara leluasa (discretionary) dan universal, serta dapat ditegakkan secara hukum dan memiliki kewenangan administratif yang mencakup aspek insentif dan regulatif, 2) kebijakan tersebut dapat memberikan dampak terhadap perekonomian domestik maupun global. Artinya, kebijakan itu mendapatkan dukungan/konsensus secara nasional (khususnya di level pemerintah dan legislatif) maupun internasional, 3) kebijakan tersebut harus efisien dan efektif secara ekonomi serta adil, sehingga mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, dan 4) kebijakan tersebut harus mampu mendorong kemandirian rakyat dan berlandaskan nilai-nilai luhur agama dan moralitas. Agar indikator atau persyaratan tersebut dapat terpenuhi, maka diperlukan beberapa pendekatan, yakni: 1) pendekatan pasar yang didukung oleh instrumen kebijakan yang diterapkan, misalnya pajak, pungutan, sanksi dan insentif serta disinsentif, 2) pendekatan kelembagaan. Aturan yang diterapkan dalam pendekatan ini harus dikenal dan diikuti secara baik oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan memberi naungan serta konstrain terhadap mereka. Kebijakan ini mampu memberikan perlindungan dan pembatasan akses terhadap sumberdaya, adanya peraturan perundangan yang mendukungnya. Aturan ini ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, atau tidak ditulis formal sampai pada aturan adat dan norma masyarakat serta kearifan lokal. Aspek penting lainnya dari aturan tersebut adalah dapat diprediksi, essentially stable dan dapat diaplikasikan pada situasi berulang, 3) pendekatan percampuran pasar dan bukan pasar serta pendekatan kelembagaan yang efektif dan efisien. Pendekatan ini dapat menilai sumberdaya alam dan lingkungan secara wajar dan tidak undervalue, sehingga kesejahteraan yang hakiki bagi masyarakat Indonesia serta pembangunan yang bersifat lestari dapat terwujud. Optimalisasi nilai manfaat sumberdaya alam dan lingkungan yang ada bagi pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum secara luas, diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan pengelolaan dalam pengembangan wilayah. Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan dapat terselenggara secara optimal jika arah kebijakan pengembangan wilayah dan
33
tata ruang menjadi instrumen intervensi kebijakan dengan memperhatikan kepentingan stakeholders selain didukung oleh program-program sektoral yang melibatkan para pihak yang terkait dalam pengelolaan wilayah. Kebijakan dengan berbagai indikator dan pendekatan yang dilakukan merupakan upaya untuk senantiasa menjaga keberhasilan dalam implementasi kebijakan yang dilakukan. Dalam kaitannya dengan kebijakan pengelolaan lingkungan pada kegiatan usaha migas, berbagai undang-undang, peraturan pemerintah hingga keputusan menteri diterbitkan, sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan, mencegah dan menanggulangi pencemaran. Kemudian dalam UU No. 22 tahun 2001 tentang migas dinyatakan bahwa semua kegiatan usaha migas wajib melakukan pengelolaan lingkungan hidup, mulai tahap perencanaan hingga pasca operasi. Artinya kegiatan usaha migas harus menyusun AMDAL sebelum kegiatan operasi baik kegiatan hilir maupun kegiatan hulu. 2.2 2.2.1
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Defenisi AMDAL Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. AMDAL merupakan bagian kegiatan studi kelayakan perencanaan usaha dan atau kegiatan dan merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha yang mana hasil dari AMDAL digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. AMDAL adalah hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan
terhadap
lingkungan
hidup
yang
diperlukan
bagi
proses
pengambilan keputusan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL dirumuskan sebagai suatu analisis mengenai dampak lingkungan dari suatu proyek yang meliputi pekerjaan evaluasi dan pendugaan dampak proyek dari pembangunannya (Suratmo, 2002).
34
Dampak lingkungan adalah perubahan yang terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia. Aktivitas tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, kimia, fisik maupun biologi. Dampak kemudian menjadi permasalahan akibat perubahan yang terjadi dan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan. Dampak dalam kaitannya dengan pembangunan memiliki dua batasan yakni: 1) Dampak pembangunan terhadap lingkungan yakni perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan setelah ada pembangunan, 2) Dampak pembangunan terhadap lingkungan, yakni perbedaan antara kondisi lingkungan yang diperkirakan terjadi tanpa adanya pembangunan dan yang diperkirakan terjadi dengan adanya pembangunan tersebut (Mun, 1979 dalam Sumarwoto, 2005). Lebih jauh Clark (1978) dalam Sumarwoto (2005) bahwa aktivitas pembangunan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menimbulkan efek yang tidak direncanakan di luar sasaran yaitu yang disebut dampak. Dampak dapat bersifat biofisik dan atau sosial-ekonomi-budaya yang memiliki pengaruh terhadap sasaran yang ingin dicapai. Dampak primer dapat menimbulkan dampak sekunder dan tersier. Lebih rinci, tampak pada Gambar 2.
Dampak
Kegiatan
Dampak
Pembangunan Dampak SosialEkonomi-Budaya
Dampak Biofisik
Dampak Biofisik
Dampak Primer
Dampak SosialEkonomi-Budaya
Dampak Sekunder
Kenaikan Kesejahteraan
Tujuan
Gambar 2 Aktivitas pembangunan menimbulkan dampak (Clark, 1978 dalam Suratmo, 2002)
35
Dampak yang muncul kemudian harus teridentifikasi dan diketahui secara dini, apakah dampak tersebut menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Untuk mengukur dan menentukan dampak besar dan penting tersebut, digunakan beberapa kriteria yakni: a) besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan atau kegiatan, b) luas wilayah penyebaran dampak, c) intensitas dan lamanya dampak berlangsung, d) banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak, e) sifat kumulatif dampak dan f) sifat berbalik (reversible) dan tidak berbalik (irreversible) dampak (Hendartomo, 2001). Mengacu pada PP No. 27 tahun 1999 pasal 3 ayat 1 bahwa usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi: a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, b) eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui (renewable) maupun yang tak terbaharui (non-renewable), c) proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya, d) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan dan lingkungan sosial budaya, e) proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi
pelesatarian
kawasan
konservasi
sumberdaya
dan
atau
perlindungan cagar budaya, dan f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jenis jasad renik. Tujuan umum AMDAL adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Sementara tujuan studi AMDAL adalah mengidentifikasi rencana
kegiatan
yang
diperkirakan
menimbulkan
dampak
penting,
mengidentifikasi komponen atau parameter lingkungan yang akan terkena dampak penting, melakukan prakiraan dan evaluasi dampak penting sebagai dasar untuk menilai kelayakan lingkungan, menyusun strategi pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Menurut Mukono (2005) bahwa tujuan dan sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup. Dengan melalui studi AMDAL diharapkan usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan
36
dan mengelola sumberdaya alam secara efisien, meminimumkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positip terhadap lingkungan hidup. Untuk itu, AMDAL diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana kegiatan yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup. Proses AMDAL kemudian menjadi wajib dilakukan bagi setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting. 2.2.2
Landasan Hukum Pelaksanaan AMDAL Landasan hukum pelaksanaan AMDAL migas di Indonesia adalah:
1. UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. 2. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL. 3. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. 4. Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1974 tentang pengawasan pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai. 5. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran dan atau perusakan laut. 6. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. 7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL. 8. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL. 9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 02 tahun 1998 tentang pedoman penetapan baku mutu lingkungan. 10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 42 tahun 1996 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan minyak dan gas serta panas bumi. 11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1998 tentang baku mutu tingkat kebisingan. 12. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 02 tahun 2000 tentang panduan penilaian dokumen AMDAL.
37
13. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan dibidang pertambangan dan energi. 14. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses AMDAL. 15. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 299 tahun 1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan AMDAL. 2.2.3
Prosedur Pelaksanaan AMDAL Proses pelaksanaan AMDAL terdiri atas: 1) penapisan (screening) atau
penentuan rencana kegiatan wajib AMDAL atau tidak, 2) pelingkupan (scoping) adalah proses pemusatan studi pada hal-hal penting yang barkaitan dengan dampak penting. Pelingkupan dampak penting yakni identifikasi dampak penting, evaluasi dampak potensial dan pemusatan dampak penting. Pelingkupan wilayah studi dengan memperhatikan batas proyek, batas ekologi, batas sosial, dan batas administratif.
Beanlands
dan
Dunker
(1983)
dalam
Suratmo
(2002)
mengelompokkan scoping sosial yaitu scoping yang menetapkan dampak penting berdasarkan pandangan dan penilaian masyarakat. Scoping ekologis adalah proses dari scoping yang menetapkan dampak penting berdasarkan nilai-nilai ekologi atau peranannya di dalam ekologi, 2) penyusunan dokumen kerangka acuan (KAANDAL) merupakan ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan yang merupakan hasil pelingkupan yang memuat isu pokok yang perlu dikaji di dalam dokumen AMDAL, 3) melaksanakan studi analisis dampak lingkungan (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan atau kegiatan yang direncanakan, 4) penyusunan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya pengelolaan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan, dan 5) penyusunan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan.
38
Proses AMDAL tersebut menghasilkan empat buah dokumen AMDAL terdiri atas: a) dokumen KA-ANDAL, b) dokumen ANDAL, c) dokumen RKL dan d) dokumen RPL. Untuk menghasilkan keempat dokumen tersebut, dilakukan prosedur pelaksanan AMDAL yakni: a) penapisan (screening), b) proses pengumuman dan konsultasi masyarakat, c) penyusunan dan penilaian KAANDAL, dan penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL dan RPL (Hendartomo, 2001). Proses penapisan merupakan proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yakni untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib AMDAL atau tidak, sementara proses pengumuman dan konsultasi masyarakat didasarkan pada UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa: a) setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya, b) setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup dan c) lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup serta mengacu pada keputusan Kepala Bapedal No. 08 tahun 2000, bahwa pemrakarsa wajib mengumunkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut menanggapi masukan yang diberikan dan melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL. Berdasarkan undang-undang dan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut maka tujuan dasar dari partisipasi masyarakat di Indonesia ialah: a) mengikutsertakan
masyarakat
dalam
pengelolaan
lingkungan
hidup,
b)
mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan negara dan c) membantu pemerintah untuk dapat mengambil kebijakan dan keputusan yang lebih baik dan tepat. Diharapkan manfaat dari partisipasi masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL pada suatu kegiatan usaha yaitu: 1) masyarakat mendapatkan informasi
mengenai
rencana
pembangunan
didaerahnya
sehingga
dapat
mengetahui dampak apa yang akan terjadi baik yang positif maupun yang negatif dan cara menanggulangi dampak negatif yang akan dan harus dilakukan. 2) masyarakat akan ditingkatkan pengetahuannya mengenai masalah lingkungan,
39
pembangunan, dan hubungan pembangunan dengan lingkungan sehingga pemerintah dapat menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup dan 3) masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapatnya atau persepsinya kepada pemerintah terutama masyarakat di tempat proyek yang akan terkena dampak. Implementasi AMDAL sangat perlu disosialisasikan tidak hanya kepada masyarakat namun perlu juga pada para calon investor agar dapat mengetahui perihal AMDAL di Indonesia. Karena proses pembangunan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya. Dengan implementasi AMDAL yang sesuai dengan aturan yang ada, maka diharapkan akan berdampak positif pada pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Mukono, 2005). AMDAL didasarkan atas berbagai regulasi nasional yang telah ditetapkan dengan baik serta berbagai acuan yang dikenal di seluruh sektor utama di pemerintahan. Prosedur review dan persetujuan secara relatif telah menjadi kebiasaan yang diterima dengan baik di dalam organisasi dan berlaku secara umum di tingkat nasional dan propinsi, berdasarkan komite administratif dan teknis lintas pemerintahan. Sistem tersebut didukung oleh suatu jaringan pusat studi lingkungan yang menyediakan berbagai masukan teknis, pelatihan formal dan kendali mutu, sementara berbagai reformasi penting juga telah dilakukan untuk mencoba menstimulasi keterlibatan publik dalam jumlah yang lebih besar dalam AMDAL (Purnama, 2003). Secara lebih rinci prosedur teknis penyusunan dokumen AMDAL di Indonesia sebagaimana termaktub dalam PP No. 27 tahun 1999 terdiri atas: 1. Pemrakarsa kegiatan menyampaikan ke instansi yang bertanggung jawab terhadap rencana kegiatan. 2. Instansi yang bertanggung jawab berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2001 yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 tahun 2006 tentang kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL. 3. Pemrakarsa diwajibkan melakukan pengumuman masyarakat dalam waktu 30 hari kerja dan selanjutnya menunggu tanggapan dari masyarakat.
40
4. Pemrakarsa menyusun kerangka acuan (KA-ANDAL). 5. Kerangka acuan dinilai oleh tim teknis, pakar pada sidang komisi. 6. Komisi AMDAL menerbitkan surat keputusan kelayakan dalam waktu 75 hari kerja. 7. Pemrakarsa menyusun AMDAL bersama dengan pihak ketiga yang ditunjuk oleh pemrakarsa. 8. Dokumen AMDAL dinilai oleh tim teknis dan para pakar pada sidang komisi (sidang komisi 1 dan sidang komisi 2). 9. AMDAL disetujui dalam jangka 75 hari kerja. AMDAL bukanlah suatu proses yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari proses AMDAL yang lebih besar dan lebih penting sehingga AMDAL dapat dikatakan berguna bagi pengelolaan lingkungan, pemantauan lingkungan, pengelolaan proyek, pengambilan keputusan, dan menjadi dokumen yang penting. Sedangkan peranan AMDAL dalam pengelolaan kegiatan yakni sebagai: a) fase identifikasi, b) fase studi kelayakan, c) fase desain kerekayasaan (engineering design) atau disebut juga sebagai fase rancangan, d) fase pembangunan proyek, e) fase proyek berjalan atau fase proyek beroperasi, dan f) fase proyek telah berhenti beroperasi atau pascaoperasi. Lingkupan dan fase-fase dalam proses penyusunan AMDAL tersebut memerlukan pengembangan metodologi. Metode yang dipakai dalam penentuan dampak besar dan penting antara lain: 1. Metode Leopold ini juga dikenal sebagai Matriks Leopold atau matriks interaksi dari Leopold. Metode matriks ini mulai diperkenalkan oleh Leopold dan teman-temannya pada tahun 1971. Matriks yang diperkenalkan adalah matriks dari 100 macam aktivitas dari suatu proyek dengan 88 komponen lingkungan.
Identifikasi dampak lingkungan dari proyek ditulis dalam
interaksi antara aktivitas dan komponen lingkungan. Macam-macam aktivitas proyek dan komponen-komponen lingkungan dalam Matriks Leopold. Aktivitas proyek dibagi menjadi 100 aktivitas yang terdiri dari 10 kelompok: a) modifikasi areal 13 aktivitas, b) perubahan lahan dan pembuatan bangunan fisik, c) ekstraksi sumberdaya, d) pemrosesan, e) perubahan lahan, f) pembaharuan sumberdaya, g) perubahan lalu lintas, h) penempatan dan
41
pengolahan limbah, i) pengolahan bahan kimia dan j) kecelakaan. Komponen lingkungan dibagi menjadi 88 yang terdiri dari 5 kelompok sebagai berikut: a) fisik dan kimia yang terdiri dari bumi, air, atmosfer dan proses, b) keadaan biologi yang terdiri dari flora dan fauna dan c) sosial budaya yang terdiri dari tata guna lahan, rekreasi, estetika dan minta masyarakat, status budaya, fasilitas dan aktivitas buatan manusia, ekologi dan lain-lain komponen. 2. Metode yang diperkenalkan Moore tahun 1973 dikenal pula dengan nama Matriks dampak dari Moore. Keistimewaan dari metode Moore adalah dampak lingkungan dilihat dari sudut dampak pada kelompok daerah yang sudah atau sedang dimanfaatkan manusia atau dapat digambarkan pula sebagai proyek pembangunan manusia lainnya. 3. Metode yang dikembangkan Sorenson pada tahun 1971 merupakan analysis networks yang pertama. Disusun untuk digunakan pada proyek pengerukan dasar laut (dreging). Bentuk jaringan kerja ini diberi nama sebagai aliran dampak. Penggunaan metode-metode tersebut merupakan metode standar yang umumnya digunakan dalam penyusunan AMDAL. Selain itu untuk lebih mengetahui sisi AMDAL di Indonesia, berbagai pengalaman penyusunan AMDAL di negara maju dan berkembang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan ke arah yang lebih baik. AMDAL negara lain diambil untuk melihat kegiatan usaha AMDAL di negara berkembang yaitu Filipina dan negara maju yakni Kanada. 1. Philipina Pedoman sistem evaluasi laporan AMDAL di Filipina ditetapkan pada tahun 1978 oleh National Environmental Protection Council (NEPC) yang berada di bawah departemen sumberdaya alam. Skema dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: Langkah pertama NEPC menetapkan instansi mana yang akan menjadi instansi yang bertanggung jawab atau lead agency dari proyek yang diusulkan. Langkah kedua pemrakarsa proyek menyampaikan usulan proyeknya dengan laporan Initial Environmantal Evaluation (IEE) atau PIL yang disusun
42
menyampaikan usulan proyeknya dengan pemerintah kepada instansi yang bertanggung jawab. Langkah ketiga instansi yang bertanggung jawab mengevaluasi usulan dan laporan IEE untuk menetapkan perlu studi AMDAL atau tidak. Hasil evaluasi yang merupakan tiga kemungkinan sebagai berikut: a) apabila diputuskan perlu studi AMDAL maka pemrakarsa proyek diberitahu untuk menyelenggarakan studi ANDAL, b) apabila diputuskan tidak perlu mengadakan studi AMDAL maka proses perizinan dapat dilakukan untuk dapat membangun proyek, c) apabila instansi yang bertanggung jawab ragu-ragu atau tidak tahu maka instansi ini dapat berkonsultasi dan menanyakan kepada NEPC. Langkah keempat adalah langkah yang harus dilakukan pemrakarsa proyek apabila ditetapkan harus melakukan studi ANDAL. Maka pelaksanaan studi ANDAL merupakan tanggung jawab pemrakarsa proyek dan kemudian menyusun laporan draft ANDAL. Masih disebut draft karena belum dievaluasi dan belum disetujui oleh yang mengevaluasi. Langkah kelima menyerahkan laporan draft ANDAL kepada instansi yang bertanggung jawab. Instansi yang bertanggung jawab mengirim ke instansiinstansi lain yang erat hubungannya dengan proyek (berdasarkan suatu pedoman atau suatu surat keputusan) untuk mendapatkan pendapat-pendapat atau saransarannya. Instansi yang bertanggung jawab tersebut juga menetapkan apakah usulan proyek ini perlu dengar pendapat atau public hearing karena tidak semua proyek harus ada dengar pendapat. Apabila dianggap perlu pemrakarsa proyek diberitahu. Apabila ditetapkan perlu dengar pendapat maka instansi yang bertanggung jawab menyelenggarakan dengar pendapat. Langkah keenam merupakan kesibukan dari instansi yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan semua pendapat-pendapat dari berbagai instansi yang ikut mengevaluasi (secara tertulis) dan hasil dari dengar pendapat kalau diadakan, kemudian mengirimkannya ke NEPC. NEPC menyusun reviews dari laporan draft, pendapat-pendapat dari berbagai instansi pemerintah dan dengar pendapat apabila ada. NEPC menyampaikan hasil reviews kepada instansi yang bertanggung jawab. Instansi yang bertanggung jawab meneruskan reviews ke pemrakarsa proyek. Pemrakarsa proyek berdasarkan review termasuk saran-saran
43
dari NEPC menyusun laporan akhir AMDAL dan dikirim ke instansi yang bertanggung jawab. 2. Kanada Sistem evaluasi laporan AMDAL di Kanada yang berlaku untuk proyekproyek federal dikeluarkan oleh kabinet pada tanggal 20 Desember 1973. Sistem evaluasi di Kanada disebut sebagai Environmental Assestment and Review Process (EARP) atau proses pendugaan dampak dan review. Berdasarkan pedoman yang telah diperbaiki dan dikeluarkan pada tahun 1979, pedoman sistem evaluasi yang dikeluarkan tahun 1973 tersebut terus dilakukan penyempurnaan, di antaranya penyempurnaan pedoman pada tahun 1979, tahun 1984, dan pada tahun 1985 sedang disempurnakan lagi pada bagian penyaringan dan pelaksanaan PIL. Secara garis besar skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Pemrakarsa proyek menyampaikan usulannya kepada instansi yang bertanggung jawab terhadap proyek tersebut dan melakukan penyaringan atau screening untuk menilai potensi dampak lingkungan dari proyek. Pedoman dari penyaringan dibuatkan oleh kantor lingkungan yang disebut The Federal Environtmental Assestment Review Office (FEARO) dalam pekerjaannya memberikan laporannya langsung kepada Menteri Lingkungan Federal.
2.
Secara garis besar kesimpulan dari penyaringan tersebut adalah: a) proyek yang tidak ada dampak negatifnya atau dampak negatifnya ada tetapi tidak nyata atau penting atau telah tersedia teknologi yang dapat menekan atau menghilangkan dampak tersebut maka proyek tersebut dapat dibangun tanpa PIL atau ANDAL, b) proyek yang mempunyai potensi dampak lingkungan yang tidak atau belum diketahui maka perlu dilakukan studi IEE atau PIL yang kemudian akan dilakukan penyaringan kembali untuk menentukan apakah potensi dampaknya nyata atau tidak. Kalau dianggap perlu mengadakan review dari dengar pendapat masyarakat, maka suatu panel yang dibentuk oleh FEARO akan menyelenggarakan penyaringan tersebut. Bila penyaringan menghasilkan kesimpulan bahwa potensi dampak lingkungan tidak dapat diterima atau tidak diizinkan terjadi maka proyek tersebut dapat ditolak untuk dibangun atau apabila pemrakarsa proyek
44
bersedia mengadakan perubahan dalam usulan proyeknya maka akan dapat dilakukan evaluasi atau penyaringan lagi. Kalau hasil dari studi PIL menyimpulkan bahwa proyek tersebut potensi dampaknya tidak ada atau tidak nyata atau tersedia teknologi untuk menekan proyek tersebut boleh dibangun tanpa membuat ANDAL tetapi kalau hasil penyaringan menunjukkan dampak negatif nyata dan penting proyek tersebut harus melakukan ANDAL. Dua langkah pertama yaitu penyaringan dan studi PIL masih merupakan tanggung jawab instansi atau departemen yang bertanggung jawab mengenai proyek, sedang FEARO dan Departemen Lingkungan belum ikut berperan walaupun konsultasi dan permintaan pedoman penyaringan dan IEE diminta dari FEARO. 3.
Apabila ada proyek yang diputuskan oleh instansi yang bertanggung jawab bahwa proyek tersebut perlu melakukan studi AMDAL maka usulan proyek dikirim ke FEARO. Kemudian FEARO akan membentuk suatu kelompok ahli yang disebut panel khusus untuk menangani ANDAL proyek tersebut. Biasanya panel ini terdiri dari empat sampai delapan anggota yang dipilih berdasarkan keahliannya dan pengalamannya yang berhubungan dengan AMDAL, proyek tersebut, pengetahuan dan pengalaman dalam lingkungan dan dampak sosial pada proyek tersebut. Ketua FEARO atau wakilnya yang ditunjuk akan menjadi sekretaris eksekutif dari panel.
4.
Setelah panel dibentuk maka panel menyusun pedoman atau TOR mengenai penyusunan analisis dampak lingkungan (ANDAL) khusus untuk usulan proyek tersebut dan menyampaikan kepada pemrakarsa proyek untuk dijalankan. Dalam penyusunan pedoman tersebut panel juga mengadakan konsultasi dengan instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang sangat erat hubungannya dengan proyek tersebut dan juga masyarakat.
5.
Kemudian pemrakarsa atau konsultasi yang diminta bantuannya melakukan studi ANDAL dan menyusun laporan ANDAL. Dalam melakukan studinya atau penyusunan laporan ANDAL-nya selalu dapat melakukan konsultasi dengan panel.
6.
Hasil laporan ANDAL akan langsung dievaluasi oleh panel apakah sudah cukup baik atau masih ada kekurangan dan kalau masih ada kekurangan
45
pemrakarsa proyek harus melengkapinya. Dalam melakukan evaluasi laporan ini panel dapat meminta bantuan pendapat dari berbagai instansi yang erat hubungannya dengan proyek. 7.
Apabila laporan ANDAL tersebut sudah dinilai baik dan diterima oleh panel maka panel lalu menyelenggarakan review. Dalam review ini panel mengumpulkan pendapat-pendapat dari berbagai instansi teknis dan masyarakat baik secara tertulis maupun secara lisan dalam suatu pertemuan. Bila panel akan menyelenggarakan dengar pendapat masyarakat atau public hearing, maka biasanya diselenggarakan di tempat proyek yang akan dibangun. Dengan demikian masyarakat setempat yang akan terkena dampak dapat memberikan pendapatnya.
8.
Setelah semua pendapat-pendapat baik dari instansi-instansi pemerintah, ahli-ahli, dan masyarakat maka panel melakukan evaluasi pendapat-pendapat dan menyusun sarannya atau rekomendasinya mengenai proyek tersebut langsung kepada menteri lingkungan dan menteri yang bertanggung jawab atas proyek tersebut. Dalam menyusun rekomendasi tersebut panel selalu dapat berkonsultasi dengan kedua menteri tersebut. Apabila proses review yang dilakukan oleh panel selesai maka akan disusun suatu laporan hasil review untuk menteri lingkungan yang biasanya sebagai berikut : a) sejarah kejadian-kejadian yang berhubungan dengan pembangunan proyek, b) deskripsi dari proyek, c) keadaan dan sifat lingkungan dari lokasi yang dimasukkan akan dibangun proyek tersebut, d) dampak lingkungan dan sosial dari proyek dalam review termasuk pendapat instansi pemerintah, ahliahli, dan masyarakat, e) kesimpulan dan saran atau rekomendasi dari panel mengenai pelaksanaan pembangunan proyek. Saran dari panel dapat berbentuk tiga kemungkinan sebagai berikut: a) proyek boleh dibangun atau dijalankan sesuai dengan rencana, b) proyek boleh dibangun tetapi dengan perubahan baik dalam proyeknya ataupun pengelolaan lingkungan, c) proyek tidak boleh dibangun.
9.
Menteri lingkungan dan menteri yang bertanggung jawab atas proyek akan mempertimbangkan saran panel apakah dapat diterima. Bila kedua menteri telah
mendapatkan
suatu
kesepakatan
maka
menteri
lingkungan
46
mengeluarkan keputusan yang akan dilaksanakan oleh departemen atau instansi yang bertanggung jawab atas proyek. Namun apabila kedua menteri tidak menemukan kesepakatan, maka persoalan tersebut akan dibawa ke kabinet untuk diputuskan. 2.3
Kegiatan Minyak dan Gas Bumi Berdasarkan UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Minyak
bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Gas bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak dan gas bumi. Bahan bakar minyak adalah bahan bakar yang berasal dan atau diolah dari minyak bumi. Kegiatan migas meliputi eksplorasi, eksploitasi, pemurnian/pengolahan dan pengangkutan/pemasaran. Pada saat ini terdapat kurang lebih 115 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, baik yang berstatus eksplorasi maupun produksi. Perusahaan-perusahaan tersebut sekitar 70% beroperasi di darat (on shore) dan sekitar 30% beroperasi di lepas pantai (off shore) baik di laut dangkal maupun di laut dalam. Operasi di laut dangkal antara lain di Laut Jawa, Kalimantan Timur, dan Sumatera sedangkan yang operasi di laut dalam mencakup perairan laut Makasar, Natuna, Irian Jaya dan Selat Malaka. Kegiatan migas pada masa mendatang dengan kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan dimungkinkan untuk mencari cebakan minyak pada daerah-daerah "frontier" khususnya Indonesia bagian Timur ke arah laut dalam. Sebagaimana pengembangan migas 25 tahun mendatang antara lain meningkatkan produksi dan pengembangan lapangan-lapangan migas lepas pantai (off shore) yang sudah berproduksi, meningkatkan eksplorasi ke kawasan timur
47
Indonesia seperti cekungan Makassar, Irian Jaya dan juga kawasan karat Indonesia. Kegiatan migas di Indonesia tersebar pada beberapa kepulauan yaitu di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan serta Irian Jaya meliputi: 1. Kegiatan hulu terdiri dari eksplorasi dan eksploitasi, kegiatan eksploitasi yaitu: a) kegiatan pemboran eksplorasi untuk mencari cadangan minyak kegiatan ini tidak berdampak penting sesuai keputusan menteri LH No. 11 tahun 2006 tidak mewajibkan menyusun AMDAL, b) kegiatan eksploitasi yaitu kegiatan operasi produksi, memproduksi minyak dan pemboran sumursumur produksi, c) kegiatan yang berstatus eksplorasi dan produksi (hulu) antara lain :1) Pertamina eksplorasi: Sumatera Utara, Sumatera bagian tengah (Riau, Sumatera Selatan), Jawa Barat (Cirebon, Cepu), Kalimantan, dan Papua, 2) kontraktor/kontrak kerja sama (KKS), swasta-swasta asing maupun nasional antara lain, Chevron Pasifik Indonesia (CPI), Total Indonesia, UNOCAL, CONOCO Phillip, CNOOC, dan Petrochina. 3) JOB : Joint Operation Body dan 4) TAC Technic Assistance Contract. 2. Kegiatan hilir terdiri dari: a) unit pengolahan minyak (UP) yaitu pengelolaan minyak untuk menjadi produk BBM antara lain : UP I Pangkalan Berandan, UP II Dumai, UP III Pelaju Sungai Gerong, UP IV Cilacap, UP V Balikpapan, UP VI Balongan dan UP VII Sorong, b) unit pengolahan gas LPG dan LNG, dan c) kegiatan niaga/pemasaran yang tersebar di seluruh Indonesia. 2.4
Konsep Valuasi Ekonomi Valuasi ekonomi adalah suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif
terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar (market price) tersedia atau tidak (Fauzi, 1999). Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan dari teori ekonomi neoklasikal yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Berdasarkan pemikiran neo-klasik ini dikemukakan bahwa setiap individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar (willingness to pay) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut (Barbier, 1995).
48
Nilai ekonomi dapat diartikan sebagai ukuran jumlah keinginan maksimum seseorang yang bersedia mengorbankan barang dan jasa untuk mendapatkan barang dan jasa lainnya. Konsep ini sering disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya). Sebaliknya dapat diukur dari sisi lain yakni seberapa besar masyarakat harus diberikan kompensasi untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Dalam memberikan penilaian terhadap hasil dari suatu kegiatan, perlu diketahui urutan dalam memberikan penilaian (Suparmoko, 2000), yaitu: 1) mengidentifikasi dampak penting lingkungan, 2) mengkuantifikasi besarnya dampak dan 3) perubahan kuantitas fisik kemudian diberi harga/nilai uang dalam rupiah. Masalah yang perlu diperhatikan dalam penilaian ekonomi adalah hasil total atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam suatu kegiatan untuk masyarakat sehingga diperoleh ”social returns” atau ”economic return” yang paling tinggi (Kadariah et al., 1978). Setiap kegiatan pembangunan umumnya menghasilkan dampak terhadap lingkungan, demikian pula dalam setiap tahap kegiatan industri minyak dan gas bumi termasuk unit pengolahan minyak. Industri ini berpotensi menimbulkan dampak yang bersifat positif maupun yang negatif terhadap lingkungan alam (ekosistem), sosial budaya, sosial politik dan ekonomi (Abda’oe, 1994). Dampak lingkungan, ekonomi dan sosial dari kegiatan unit pengolahan minyak secara umum dapat terlihat dari pengaruhnya secara langsung terhadap aktivitas utama di wilayah pesisir. Permasalahan dan isu lingkungan mengenai dampak aktivitas migas di suatu wilayah, namun tidak jarang hanya ditanggapi dengan melakukan identifikasi tanpa ada tindak lanjut untuk menghitung besarnya nilai ekonomi yang ditimbulkan dari pemanfaatan sumberdaya alam. Kondisi ini diperparah dengan tidak tersedianya data ekonomi dan lingkungan suatu wilayah. Tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi dari berbagai pemanfaatan (competing use) yang
49
mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut (Adrianto, 2005) Pengelolaan lingkungan dapat dicapai dengan menerapkan ekonomi lingkungan sebagai instrumen yang mengatur alokasi sumberdaya secara rasional (Steer, 1996).
Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya alam
sangat peran dalam penentuan kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan alternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya alam dan lingkungan merupakan masalah ekonomi karena hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa kasus, hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikaqn seperti sediakala (irreversible). Pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan sumberdaya alam (ekosistem) seperti kebijakan tetap mempertahankan ekosistem apa adanya atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi (Adrianto, 2006). Valuasi ekonomi sumberdaya alam adalah seluruh manfaat yang disediakan oleh sumberdaya alam dari yang digunakan saat ini dan manfaat untuk masa yang akan datang. Valuasi ekonomi adalah salah satu dari banyak cara untuk menggambarkan dan mengukur nilai sumberdaya alam, baik yang bernilai pasar (dapat diperdagangkan) maupun yang tidak bernilai pasar (tidak dapat diperdagangkan) (Williamson, 2003). Tujuan penilaian ekonomi lingkungan adalah untuk memperkuat mata rantai antara lingkungan dan ekonomi.
Penerapan penilaian ekonomi dalam
sumberdaya alam dan lingkungan melalui berbagai teknik ekonomi adalah salah satu metode untuk mempromosikan pengintegrasian dari lingkungan, ekonomi dan sosial (Williamson, 2003). Selain itu, tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi dari berbagai pemanfaatan (competing use) yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi
50
sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut (Adrianto, 2005). Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam adalah konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total. Terdapat tiga metode yang digunakan secara umum dalam valuasi ekonomi dan dampak ekonomi terhadap lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah: 1) Market valuation adalah pendekatan yang menggunakan penilaian ekonomi dari sumberdaya alam alam berdasar nilai pasar. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menilai aset ekonomi (economic asset) dari sumberdaya alam. Apabila nilai pasar dari sumberdaya alam tidak tersedia, karena jumlah sumberdaya alam tersebut tidak diketahui, nilai ekonomi dari sumberdaya alam tersebut dapat ditemukan dari jumlah penerimaan potensial dari sumberdaya tersebut dengan pendekatan diskonto, 2) Maintenance valuation adalah pendekatan yang didasarkan pada penilaian terhadap opportunity cost yang hilang sebagai akibat suatu tindakan ekonomi dan juga opportunity cost dari tindakan maintenance untuk mengurangi dampak kegiatan ekonomi terhadap lingkungan, dan 3) Contingent and related damaged valuation adalah pendekatan yang didasarkan penggunaaan cost-benefit analysis dan feasibility study dalam melakukan kegiatan ekonomi (Bartelmus and Vespers, 1999). Pendekatan ini sangat efektif untuk digunakan dalam penilaian kegiatan ekonomi skala kecil, akan tetapi sangat sulit untuk diimplementasikan dalam penilaian skala luas/nasional. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan SDA yang semakin langka (Kramer et al., 1995). Penilaian manfaat lingkungan secara ekonomi dengan sangat kecil atau sangat besar harus ditinggalkan, saat ini barang atau jasa lingkungan yang diperoleh harus dinilai keuntungannya secara finansial (Barbier, 1995). Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh para peneliti saat menghitung nilai suatu sumberdaya adalah adanya nilai dari barang atau jasa yang tidak dapat dikuantifikasikan dengan nilai pasar, karena memang barang atau jasa tersebut tidak dijual di pasaran, seperti keindahan alam. Memahami permasalahan tersebut,
51
Krutila (1967) dalam Fauzi (2002) memperkenalkan konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total bagi setiap individu atas sumberdaya alam dan lingkungan. Secara garis besar jenis-jenis nilai dari TEV dibagi menjadi dua, yaitu nilai kegunaan dan nilai bukan kegunaan. 1. Nilai Kegunaan Nilai kegunaan adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa seperti menangkap ikan, menebang kayu dan sebagainya. Nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, misalnya ikan dan kayu yang hasilnya dapat dijual (Fauzi, 2002). Nilai kegunaan ini merupakan nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Nilai kegunaan ini lebih mudah diukur dengan menggunakan harga pasar. Nilai kegunaan sendiri dibagi menjadi dua yaitu nilai kegunaan langsung yakni: 1) nilai kegunanaan langsung dari suatu sumberdaya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara komersial maupun non komersial. Misalkan jika kita sedang menghitung nilai ekonomi dari sumberdaya danau, maka yang dimaksud dengan nilai kegunaan langsung adalah menangkap ikan, 2) nilai kegunaan tidak langsung yaitu nilai yang dirasakan secara tidak langsung oleh masyarakat terhadap suatu sumberdaya. Contoh dari nilai ini adalah fungsi pencegah abrasi pada hutan mangrove. 2. Nilai Bukan Kegunaan Nilai bukan kegunaan atau non use value merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (Fauzi, 2002). Nilai bukan kegunaan ini bersifat sulit diukur karena nilai-nilai tersebut sulit dikuabtifikasikan dengan harga pasar dan menyangkut kesukaan (preferensi) seseorang. Nilai bukan kegunaan ini secara lebih mendetail dibagi lagi menjadi tiga jenis yaitu option value, existence value dan bequest value. Option value atau nilai pilihan adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang atau jasa dari sumberdaya alam dimasa yang akan datang (Fauzi, 2002). Pada dasarnya option value ini mengandung makna ketidakpastian atas ketersediaan sumberdaya pada masa yang akan datang maka nilai option
52
value kita akan menjadi nol. Begitu juga sebaliknya nilai dari option value akan semakin besar jika masyarakat tidak yakin akan ketersediaan suatu sumberdaya pada masa yang akan datang. Existence value atau nilai keberadaan adalah nilai yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan meskipun masyarakat tidak akan memanfaatkan atau mengunjunginya. Nilai eksistensi ini sering juga disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsik dari sumberdaya alam atau nilai yang memang sudah melekat pada sumberdaya alam itu (Fauzi, 2002). Bequest value atau nilai pewarisan artinya nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang atau mereka yang belum lahir. Jadi bequest value diukur berdasarkan keinginan membayar masyarakat untuk memelihara (to preserve) sumberdaya alam dan lingkungan untuk generasi mendatang (Fauzi, 2002). 2.5
Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berhubungan dengan
kebijakan AMDAL dan valuasi ekonomi sebagai berikut: Tabel 1 Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kebijakan AMDAL dan valuasi ekonomi Peneliti Alshuwaikkat (2004)
Judul Penelitian Strategic Environment Assessment (SEA) sebagai Alternatif Pengelolaan Lingkungan Hidup di Negara Berkembang
Purnama (2003)
Public Involment in the Indonesia EIA Process, Perceptions, and Alternative
Hasil Penelitian SEA dapat memunculkan dampak dari aktivitas skala kecil yang sesungguhnya dampaknya penting. - SEA memunculkan dampak kumulatif dari beberapa proyek, mampu menjelaskan dampak potensial yang tidak diatur dalam undang-undang, serta dapat menunjukkan aktivitas proaktif yang terstruktur terhadap pengaruh kebijakan dan perencanaan - EIA sama pada semua negara berkembang, khususnya pada peran masyarakat, keterbatasan panduan, dasar hukum yang -
53 Lanjutan Tabel 1 Peneliti
Tiwi (2003)
Judul Penelitian
Evaluasi AMDAL dalam Menunjang Pengelolaan Pantai Terpadu di Teluk Banten
-
-
-
-
Finnveden et al., (2002)
Metode Aplikasi SEA dalam Sektor Energi
-
Hasil Penelitian kurang memadai, perencanaan TOR kurang jelas, perbaikan hukum dan perencanaan yang menyeluruh. Ketersediaan informasi lingkungan di Tk II dalam hal ini kawasan Teluk Banten untuk menyusun dan menilai laporan AMDAL maupun dari hasil pemantauan lingkungan adalah sangat terbatas, terutama informasi tentang biologi laut, informasi penting dalam pengelolaan pantai terpadu. Penelitian penunjang keberadaan informasi tersebut juga masih terbatas, kalaupun ada informasinya berada di instansi tingkat pusat. Pertukaran informasi lingkungan yang tersebar di beberapa instansi juga belum terjadi, sementara pemda sendiri belum dilengkapi dengan peraturan yang mendukung aksesibilitas mereka terhadap informasi lingkungan tentang daerahnya. Kapasitas Pemda Tk II pada kasus Teluk Banten masih membutuhkan suatu perbaikan dalam penyediaan informasi lingkungan baik untuk proses AMDAL maupun untuk pengelolaan terpadu kawasan pantainya. SEA yang berhubungan dengan pencemaran energi diusulkan antara lain: ecological impact assesment, envromentally estended input/output analysis,
54 Lanjutan Tabel 1 Peneliti
Azis (2006)
Santoso (2005)
Sofyan (2003)
Supriyadi dan Wouthuyzen (2005)
Judul Penelitian
Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir sebagai Alternatif Pengelolaan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Pengkajian Nilai Ekonomi Lingkungan Ekosistem Hutan Mangrove, di Desa Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat Valuasi Ekonomi terhadap Ekosistim Mangrove di Teluk Kotania, Propinsi Maluku
-
-
Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove yaitu Rp.3,7 milyar per tahun.
-
Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove yaitu Rp.2,8 milyar per tahun.
-
Nilai ekonomi total dari hutan mangrove di Teluk Kotania pada tahun 1999 adalah Rp.64,8 milyar atau Rp.60,9 juta per ha. Nilai ini masih terlalu rendah, karena masih banyak komponen lain pada hutan mangrove yang sulit untuk ditentukan baik fungsi maupun harga pasarnya. Keunikan mangrove di Teluk Kotania dimana mangrove, padang lamun dan terumbu karang hidup berdampingan secara harmonis. Khusus untuk kasus Teluk Kotania, valuasi ekonomi perlu dilalukan untuk ketiga ekosistim tersebut.
-
-
Haya et al., (2003)
Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang dengan Studi Kasus Penangkapan
Hasil Penelitian multiple atribut analysis, environmental objective, dan risk assessment. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove yaitu Rp. 1,24 milyar per tahun.
-
Kebijakan yang ada dalam menanggulangi penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde, tidak efektif dan efisien.
55 Lanjutan Tabel 1 Peneliti
Judul Penelitian Ikan Yang Merusak (sianida dan bom) di Kepulauan Spermonde, Propinsi Sulawesi Selatan
-
-
Rahmalia (2003)
Analisis Tipologi dan Pengembangan DesaDesa Pesisir Kota Bandar Lampung
-
-
Hasil Penelitian Pembuatan produk hukum dan perundangan tidak didasarkan pada kepentingan publik dan kelestarian terumbu karang sehingga aktivitas tersebut terus berlangsung. Dengan menggunakan pendekatan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya (B/C) diperoleh empat opsi kebijakan untuk menanggulangi kasus penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde yaitu: pendidikan dan informasi lingkungan (0,275) diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (0,273) koordinasi antar stakeholders (0,253) serta peraturan dan penegakkan hukum (0,199). Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa para stakeholders cenderung lebih memilih industri sebagai prioritas utama dalam pengembangan dan pengelolaan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung yang dititik beratkan pada aspek ekonomi melalui kriteria utama peningkatan lapangan kerja dengan pelaku utama pemerintah diikuti swasta. Sektor industri sifatnya tidak sensitif terhadap perubahan preferensi dan untuk hasil analisis analisis tipologi sebagian besar desa pesisir tergolong tipologi II yaitu wilayah dengan tingkat perkembangan rendah atau kurang maju dibanding
56 Lanjutan Tabel 1 Peneliti
PPLH UNRI (2004)
Judul Penelitian
Aspek Sosial Ekonomi Budaya di PT.Pertamina Kilang Produksi UP II Dumai, Riau
Hasil Penelitian kelurahan-kelurahan lain di Bandar Lampung. - Adapun ciri-ciri dari tipologi II ini adalah: tingkat kesejahteraan penduduknya rendah ditandai dengan tingginya jumlah keluarga prasejahtera dan besarnya surat keterangan miskin yang dikeluarkan kantor desa. Walaupun demikian dijumpai beberapa pemukiman mewah sebagai rumah peristirahatan di lokasi ini. - Aksesibilitas cukup tinggi tetapi tidak ditunjang oleh fasilitas kesehatan yang cukup. - Ada beberapa dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar kilang seperti gangguan bau, debu dan kebisingan. - Persepsi masyaralkat terhadap pertamina memperlihatkan kecenderungan makin positif, proporsi yang mempunyai hubungan akrab dengan karyawan mengalami peningkatan dari 23% (tahun 2000) menjadi 505 (tahun 2003 dan 2004) demikian pula halnya dengan buruh kontraktor (mitra kerja pertamina) pada umumnya positif, dengan proporsi 49% responden (tahun 2000) akrab dengan buruh kontraktor dan meningkat menjadi 75,5% (tahun 2003 dan 2004).