3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fauna Tanah Fauna tanah adalah organisme yang seluruh atau sebagian besar daur atau kegiatan untuk kelangsungan hidupnya dilakukan di dalam tubuh tanah (Poerwowidodo, 1992) juga permukaan tanah (Suin, 1997).
2.1.1. Lingkungan Hidup Fauna Tanah Tanah merupakan tubuh alam tempat hidup tumbuhan dan organisme baik fauna tanah maupun mikroba (Soepardi, 1983). Fauna tanah merupakan bagian ekosistem tanah yang kehidupannya tidak sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor lain dari suatu lingkungan dimana mereka hidup. Adanya interaksi tersebut dapat mempengaruhi keberadaan, penyebaran, kepadatan fauna tanah (Suin, 1997), serta aktivitasnya (Wild, 1993). Ilmu yang mempelajari hubungan antara fauna tanah dan lingkungannya disebut ekologi tanah. Siswati (2001) mengemukakan bahwa tipe penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap populasi dan biodiversitas makrofauna tanah. Populasi cacing tanah dan kumbang sangat dipengaruhi oleh pengelolaan tanah baik berupa pengolahan tanah, pengapuran, pemupukan maupun penggunaan pestisida. Menurut Soepardi (1983), dibandingkan dengan area perawan, lahan yang diusahakan umumnya mempunyai jumlah dan biomassa fauna tanah lebih sedikit, sedangkan penggunaan lahan dengan praktek pengelolaan lahan, meliputi: pengolahan konservasi, penggunaan jerami, tanaman penutup, penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan keragaman fauna tanah. Szujecki (1987) menyatakan bahwa keberadaan serangga dipengaruhi oleh struktur tanah, kelembaban tanah, suhu, cahaya, udara dan kandungan humus. Jumlah serangga tergantung pada tipe tanah yang termasuk faktor abiotik seperti faktor fisik dan kimia tanah serta kegiatan usaha tani yang dilakukan.
4
2.1.2. Klasifikasi Fauna Tanah Sistem klasifikasi fauna tanah dapat didasarkan pada ukuran tubuh, yaitu: mikrofauna yang berukuran < 0,2 mm, mesofauna yang berukuran 0,2-2,0 mm dan makrofauna yang berukuran 2,0-20 mm (Van der Drift, 1951; Lavelle dan Spain, 2001). Sedangkan Wild (1993), mengklasifikasikan fauna tanah menjadi 3 kelompok, yaitu mikrofauna (<0,1 mm), mesofauna (0,1-10 mm) dan makrofauna (>10 mm). Menurut Wallwork (1970), fauna tanah terbagi menjadi mikrofauna (0,2-2 mm), mesofauna (2 mm- 10 mm) dan makrofauna (>10 mm). Van der Drift (1951) membedakan fauna tanah menjadi tiga kelompok berdasarkan habitatnya, yaitu fauna yang hidup pada lapisan tanah yang lebih dalam yaitu Endogeic. Fauna yang hidup pada serasah dan lapisan tanah yang lebih dangkal yaitu Epigeic dan fauna yang hidup pada permukaan tanah. Anecic yaitu fauna tanah yang terkadang juga terdapat pada tanah yang lebih dangkal. Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan pola makan. Carnivore yaitu predator dan binatang parasit, contohnya (beberapa anggota Coleoptera, tungau mesostigmatid. Opiliones, Chelonitida, Scorpion, Centipede, Diptera, dan beberapa Nematoda. Phytophagus, terdiri dari pemakan tumbuhan dan pemakan akar Contohnya Hymenoptera. Saprophagus, yaitu fauna pemakan tumbuhan mati atau bahan organik yang busuk. Pemakan jamur dan spora, algae, lichen dan bakteri adalah Microphytic-feeders. Terakhir adalah pemakan tumbuhan dan hewan segar atau busuk, kayu atau herba yaitu Miscellaneus-feeders. Berdasarkan kehadirannya, Coleman et al. (2004) membagi fauna menjadi empat kelompok. Transient, yaitu fauna yang saat fase tidur (istirahat) berada di dalam tanah, pada saat musim dingin sebaliknya hidup dan beraktifitas pada lapisan tanaman, contohnya Hippodamea sp. Temporary, yaitu fauna yang saat fase telur hingga “juvenile” berada di dalam tanah sedangkan pada fase dewasa hidup di atas permukaan tanah, contohnya Tipula spp (Diptera). Periodic, yaitu fauna yang menghabiskan hidupnya di dalam tanah. Fase dewasa terkadang hidup di atas permukaan tanah, contohnya Forticula spp (Dermaptera). Permanent, yaitu
5
fauna yang secara permanen menetap di dalam tanah dan mampu beradaptasi pada berbagai kedalaman tanah, contohnya Batrisodes spp.
2.1.3. Peranan Fauna Tanah Keberadaan fauna tanah dapat menjadi indikator kualitas tanah melalui peranannya terhadap sifat-sifat tanah, yaitu :
a.
Sifat Fisik Tanah Fauna tanah khususnya cacing tanah berpengaruh nyata terhadap struktur
tanah melalui aktivitasnya dalam menggali tanah (Van Vliet dan Hendrix, 2003 dalam Coleman et al., 2004) mengangkut dan mencampurkan bahan mineral dengan bahan organik yang ada serta pergerakannya dalam memasukkan bahan organik ke horizon yang lebih dalam (Woomer dan Swift, 1994 dalam Reddy 1999) dan menghasilkan casting (Richards, 1974). Sudarmo (1996) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa aktivitas 10 ekor cacing tanah selama 3,5 bulan mampu mempengaruhi bobot isi, pori total, penetrabilitas, indeks stabilitas agregat dan permeabilitas tanah. Terpeliharanya biopori oleh fauna tanah akan membentuk agregat tanah yang mantap dan menunjukkan terpeliharanya struktur tanah yang baik. Pada akhirnya kondisi ini mendukung terpeliharanya fungsi hidrologis kawasan pemukiman sebagai bagian dari tangkapan air (catchment) dan memudahkan peresapan air (Brata, 2008).
b.
Sifat Kimia Tanah Peranan fauna tanah terhadap sifat kimia tanah terutama disebabkan oleh
aktifitasnya dalam mempercepat proses dekomposisi bahan organik yang berkaitan dengan penyediaan unsur hara yang penting untuk pertumbuhan (Rahmawaty, 2000). Hasil penelitian Sudarmo (1996) menunjukkan bahwa aktivitas cacing tanah dapat meningkatkan pH tanah dari kondisi awal 5,9 meningkat menjadi 6,8. Secara umum fauna tanah dipandang sebagai pengatur terjadinya proses biogeokimia dalam tanah . Dengan perkataan lain fauna tanah berperan dalam menentukan kesuburan tanah bahkan beberapa jenis fauna tanah
6
dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesehatan tanah di suatu daerah pertanian (Adianto 1983). Burges dan Raw (1967) menyatakan bahwa cacing tanah dapat memindahkan insektisida dari permukaan tanah ke dalam tanah dan mencampur adukannya sampai kedalaman 7,5 cm sehingga memperkecil toksisitas zat kimia tersebut terhadap hewan permukaan tanah. Arief (2001) menyebutkan, terdapat suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen pada lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20%-50%. Sampah organik yang dibuang ke dalam tanah akan digunakan oleh fauna tanah sebagai sumber bahan makanan. Jika jumlah sampah organik berlimpah, fauna tanah akan terus beraktivitas membuat biopori dan berkembang biak, mengunyah dan memperkecil ukuran sampah organik, serta
mencampurkannya
dengan mikroba yang dapat mempercepat proses pelapukan sampah organik menjadi kompos dan senyawa humus yang dapat memperbaiki kondisi tanah. Selain itu, fauna tanah juga dapat mengurangi emisi CO 2 dan gas metan yang merupakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global, disamping juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, pupuk, serta bahan amelioran lain yang diperlukan dalam upaya perbaikan tingkat kesuburan tanah (Brata, 2008). Diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah, di musim hujan maupun kemarau, berhubungan erat dengan pH, C-organik, rasio C/N dan kadar air tanah gambut. Keanekaragaman makrofauna meningkat dengan meningkatnya pH tanah. pH tanah menentukan komposisi dan jenis fauna (Suin, 1997). Diversitas fauna yang aktif dalam tanah juga berhubungan erat dengan C-organik. Semakin meningkatnya kandungan C-organik pada tanah gambut justru menurunkan diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah. Ini menunjukkan bahwa semakin matang dekomposisi gambut semakin meningkat diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah (Maftu’ah, dkk 2005). c.
Sifat Biologi Tanah Aktivitas fauna tanah khususnya cacing dalam proses dekomposisi bahan
organik dapat merangsang aktivitas mikroorganisme (Richards, 1974; Sudarmo,
7
1996). Penghancuran bahan organik menjadi ukuran yang lebih halus serta proses enzimatik dalam pencernaan cacing membuat bahan organik menjadi lebih mudah untuk dicerna mikroorganisme. Organisme-organisme yang hidup di dalam tanah sanggup mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan atas (top soil), di mana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dilapukkan oleh fungi, bakteria dan golongan-golongan organisme lainnya (Sutedjo et al., 1996). Serangga pemakan bahan organik yang melapuk, membantu merubah zatzat yang melapuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan. Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror et al., 1989). Wallwork (1976) dalam Uhfresti (2010), menegaskan bahwa serangga tanah juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu. Makrofauna tanah sangat besar peranannya dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, bioturbasi dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa cacing tanah telah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik. 2.1.4. Karakteristik Fauna Tanah. Berikut ini adalah contoh dari beberapa fauna tanah yang sering dijumpai pada hasil penelitian ini.
a.
Acari Acari merupakan salah satu dari sejumlah besar kelompok arthropoda yang
dapat ditemukan di mana-mana. Kebanyakan dari organisme ini sangat kecil,
8
hidup bebas dan merupakan spesies penghuni tanah sampah. Menurut Wallwork (1976), distribusi Acari melimpah di seluruh dunia, bahkan melebihi Collembola. Kelompok Acari yang sering dijumpai di tanah yaitu Oribatida, Prostigmata, Mesostigmata dan Astigmata. Oribatida merupakan kelompok saprophagus. Sedangkan mesostigmata merupakan kelompok Acari yang hampir seluruh anggotanya merupakan predator bagi fauna lain yang berukuran kecil (Coleman et al., 2004). Acari memiliki panjang tubuh antara 0,1 mm sampai 2 mm. Bentuk tubuh bervariasi dengan warna tubuh dari coklat muda sampai hitam. Ukuran tubuh Acari akan mengecil seiring dengan kedalaman tanah tempat tinggalnya (Gobat et al., 2004). Kelompok hewan ini secara langsung berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dan dapat mempercepat proses penghancuran bahan organik (Adianto, 1983). Wallwork (1970) menyatakan bahwa lahan yang mempunyai pH tanah yang bersifat masam, diperkirakan populasi fauna tanah yang paling menonjol adalah kelompok Acari dan Collembola.
b.
Collembola Collembola termasuk ke dalam kelas Insecta, jumlahnya cukup banyak dan
penyebarannya cukup luas. Kebanyakan kelompok hewan ini merupakan penghuni tanah, tetapi sebagian besar menghabiskan hidupnya di atas permukaan tanah. Makanannya cukup bervariasi misalnya materi tumbuhan yang telah hancur, jamur, sisa-sisa hewan, feses dari hewan lain dan humus (Allison, 1973; Brown, 1978 dalam Adianto, 1983). Collembola dikenal dengan nama Springtails atau ekor pegas karena adanya pelenting tubuh pada bagian ekor yang disebut furkula. Ukuran tubuh Collembola berkisar antara 0.25 mm sampai 8 mm dengan warna tubuh bervariasi dari pucat hingga mencolok (Coleman et al., 2004). Peranan Collembola menurut Gobat et al. (2004) adalah menghancurkan bahan organik ke dalam ukuran yang lebih kecil kemudian mencampurnya. Collembola juga berpengaruh pada dinamika populasi fungi karena kebiasaannya memakan hifa fungi dan spora fungi. Wallwork (1970) menyatakan bahwa lahan yang mempunyai pH tanah yang bersifat masam,
9
diperkirakan populasi fauna tanah yang paling menonjol adalah kelompok Acari dan Collembola.
c.
Coleoptera Coleoptera atau kumbang merupakan sebagian dari Insecta yang tinggal di
dalam atau di atas tanah dalam bentuk larva dan dewasa (Kevan, 1962; Raw, 1967 dalam Adianto,1983). Kebanyakan merupakan predator pada hewan kecil tetapi juga dapat memakan bahan bahan tumbuhan, jamur, algae, kayu, kotoran, bangkai dan sebagainya. Jumlah kumbang sangat besar dan habitatnya sangat bervariasi, beberapa spesies menghabiskan hidupnya di dalam sampah sedangkan yang lainnya menggali tanah dengan kedalaman beberapa centimeter serta membawa kotoran atau bentuk bahan organik lainnya ke dalam tanah tersebut (Adianto, 1983).
d.
Centipede Centipede (Chilopoda) adalah kelompok predator yang biasa terdapat dalam
tanah, sampah dan habitat cryptozoa. Memiliki ciri berupa tubuh yang panjang, datar dan gerak yang aktif. Biomassa Centipede terdapat dari hutan hingga gurun pasir. Centipede gurun (Scolopendromorpha) panjangnya 15 cm, Centipede areal tropis dapat mencapai 30 cm dan berwarna kecoklatan, Centipede yang datar biasanya terdapat pada sampah kayu keras dalam habitat hutan. Centipede geophilomorph bertubuh panjang, ramping seperti yang terdapat pada habitat hutan edafik dimana mereka biasa memangsa cacing tanah, enchytraeids dan larva Diptera. Seperti Millipede, Centipede kehilangan air melalui kulit luarnya pada kelembaban yang relatif rendah. Mereka menghindari kekeringan dalam mencari habitat yang basah, dan menyesuaikan aktivitas harian dengan waktu yang lengas di habitat gurun dan bukit pasir. Semua jenis Centipede adalah predator. Mereka merupakan pelari yang cepat dan aktif dalam memangsa hewan yang kecil seperti Collembola (Coleman, 2004).
e.
Hymenoptera
10
Hymenoptera merupakan salah satu order serangga yang terbesar dan memiliki peranan sebagai ecosystem engineer bersama cacing tanah dan rayap. Kelompok fauna ini termasuk serangga sosial atau serangga yang hidupnya berkoloni (Coleman et al., 2004). Hymenoptera umumnya merupakan phytophagus dan dalam habitatnya kelompok ini akan berperan sebagai predator utama fauna yang berukuran kecil seperti Acari (Gobat et al., 2004). Hymenoptera, terutama yang berasal dari kelompok formicidae memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur tanah, terutama di lingkungan gurun dimana cacing tanah memiliki kepadatan yang rendah. Tingginya kepadatan Hymenoptera pada suatu habitat akan mengurangi kepadatan predator lainnya pada habitat tersebut, seperti Aranae dan Coleoptera (Coleman et al., 2004).
2.2. Konservasi Tanah dan Air Konservasi tanah dapat diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah dengan penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlakukan agar tidak terjadi kerusakan tanah, sedangkan konservasi air pada prinsipnya penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau (Arsyad, 2000). Metoda konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu metoda vegetatif, metoda mekanik, dan metoda kimia. Metoda vegetatif adalah metoda pengawetan tanah dengan vegetasi alami misalnya dengan tanaman penutup tanah, selain dapat mencegah erosi, dapat juga memperbaiki struktur tanah, menambah bahan organik, mencegah proses pencucian hara, dan mengurangi fluktuasi temperatur tanah. Beberapa cara usaha konservasi tanah dan air secara vegetasi antara lain: sisa tumbuhan sebagai penutup tanah, penanaman tumbuhan penutup tanah, rotasi tanaman, strip cropping, penanaman tumbuhan penguat teras. Metoda mekanik adalah usahausaha pengawetan tanah untuk mengurangi banyaknya tanah yang hilang di daerah lahan pertanian dengan cara-cara mekanik yang meliputi pembuatan
11
sengkedan atau terasering pada lahan miring, pembuatan jalur aliran air (waterways), pembuatan rorak, menanam searah kontur atau memotong arah kemiringan lereng. Sedangkan metoda kimia adalah cara yang menggunakan bahan kimia sebagai untuk memantapkan tanah (soil conditioner) yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan sifat-sifat fisik tanah (Sarief, 1985).
a.
Teknologi Lubang Resapan Biopori Biopori (biopore) merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk
oleh makhluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara ke dan di dalam tanah. Liang pada biopori terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman di dalam tanah serta meningkatnya aktifitas fauna tanah, seperti cacing tanah, rayap dan semut yang menggali liang di dalam tanah. Lubang resapan biopori (LRB) merupakan lubang berbentuk silindris berdiameter sekitar 10 cm yang digali di dalam tanah. Kedalamannya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air sehingga akan menambah cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah. Biopori diperkuat oleh senyawa organik yang berasal dari organisme tanah pembentuknya sehingga cukup mantap dan tidak mudah rusak atau menutup. Di dalam biopori tersedia cukup bahan organik, air, oksigen, dan unsur hara sehingga cocok bagi perkembangan akar tanaman dan organisme tanah, termasuk mikroorganisme yang membantu pelapukan sampah (Brata, 2004).
b.
Mulsa Vertikal Penggunaan sisa sisa tanaman sebagai mulsa tanaman sebagai mulsa
penutup tanah akan menghambat kecepatan aliran permukaan (run off), oleh karena dapat mengurangi tekanan gesekan dan kapasitas pengaliran air di permukaan tanah. Mulsa
dapat menghindari fluktuasi suhu dan kadar air
permukaan tanah. Dengan mulsa bahan organik lebih dapat dipelihara, bahkan
12
dalam jangka panjang dapat ditingkatkan dan penguapan air tanah dapat diperkecil sehingga kelembaban tanah terjaga (Sarief, 1985). Miskinnya tanaman penutup mengurangi populasi fauna tanah pada lahan padi yang belum ditanami. Sedangkan pada vegetasi yang ditemukan di pekarangan rumah dan hutan jati melindungi permukaan tanah dari sinar matahari langsung dan memelihara kelembaban tanah. kondisi ini kiranya menyediakan habitat yang nyaman bagi fauna tanah. jadi tanaman penutup lahan berpengaruh penting untuk memelihara kelembaban tanah dan tempat tinggal organisme tanah (Widyastuti, 2004). Mulsa vertikal adalah rorak yang di dalam lubangnya diberi mulsa sisa tanaman. Pemberian mulsa vertikal direkomendasikan selain untuk memelihara kelembaban tanah, juga untuk menciptakan kehidupan biologi tanah yang sangat berkontribusi terhadap perbaikan sifat fisik tanah yang selanjutnya berpengaruh terhadap neraca dan pergerakan air dalam tanah. Mulsa vertikal dapat dibuat di sekeliling piringan tanaman atau mengikuti jarak tanam yang sudah ada (Sarief, 1985).