II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Tanah adalah tubuh alam yang berkembang akibat adanya interakasi antara bahan induk, bentang alam, iklim dan jasad hidup dalam rentang waktu tertentu
dengan
melibatkan
serangkaian
proses
pembentukan
tanah
(Hardjowigeno, 2003). Bentuk dan intensitas interaksi antar faktor/komponen tersebut mengendalikan macam dan intensitas proses pembentukan tanah dan penampilan tubuh tanah yang terbentuk. Tubuh tanah tersusun dari satu atau lebih horison atau lapisan dengan watak-watak sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi yang berbeda antar horison dan mendatar (antar tubuh tanah). Faktor lingkungan di atas yang terlibat dalam pembentukan tanah disebut faktor-faktor pembentukan tanah. Keterkaitan antara faktor-faktor pembentukan tanah dengan tanah sebagai hasil pembentukan alami adalah melalui proses pembentukan tanah. Tanah tersusun dari empat bahan utama yaitu bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan – bahan penyusun tersebut memiliki jumlah yang berbeda – beda untuk setiap jenis tanah ataupun lapisan tanah. Lapisan atas yang baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering (bukan sawah) umumnya mengandung 45 % bahan mineral, 5 % bahan organik, 20 – 30 % udara dan 20 – 30 % air (Hardjowigeno,2003). Menurut Arsyad (2006) bahwa tanah mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan (2) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Menurunnya fungsi tanah inilah yang bisa disebut degradasi lahan. Apabila fungsi kedua menurun dapat diperbaiki dengan pemupukan, namun bila fungsi yang pertama yang menurun akan sulit diperbaiki 2.2. Kualitas Tanah Doran & Parkin (1994) memberikan batasan kualitas tanah adalah kapasitas suatu tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem untuk melestarikan produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan, serta meningkatkan kesehatan tanaman dan hewan. Johnson et al. (1997) mengusulkan
bahwa kualitas tanah adalah ukuran kondisi tanah dibandingkan dengan kebutuhan satu atau beberapa spesies atau dengan beberapa kebutuhan hidup manusia. Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikatorindikator kualitas tanah. Pengukuran indikator kualitas tanah menghasilkan indeks kualitas tanah. Indeks kualitas tanah merupakan indeks yang dihitung berdasarkan nilai dan bobot tiap indikator kualitas tanah. Indikator-indikator kualitas tanah dipilih dari sifat-sifat yang menunjukkan kapasitas fungsi tanah.
Indikator
kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001). Menurut Doran & Parkin (1994), indikator-indikator kualitas tanah harus (1) menunjukkan proses-proses yang terjadi dalam ekosistem, (2) memadukan sifat fisika tanah, kimia tanah dan proses biologi tanah, (3) dapat diterima oleh banyak pengguna dan dapat diterapkan di berbagai kondisi lahan, (4) peka terhadap berbagai keragaman pengelolaan tanah dan perubahan iklim, dan (5) apabila mungkin, sifat tersebut merupakan komponen yang biasa diamati pada data dasar tanah. Karlen et al. (1996) mengusulkan bahwa pemilihan indikator kualitas tanah harus mencerminkan kapasitas tanah untuk menjalankan fungsinya yaitu: 1. Melestarikan aktivitas, diversitas dan produktivitas biologis 2. Mengatur dan mengarahkan aliran air dan zat terlarutnya 3. Menyaring, menyangga, merombak, mendetoksifikasi bahan-bahan anorganik dan organik, meliputi limbah industri dan rumah tangga serta curahan dari atmosfer. 4. Menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur lain dalam biosfer. 5. Mendukung struktur sosial ekonomi dan melindungi peninggalan arkeologis terkait dengan permukiman manusia. Berdasarkan fungsi tanah yang hendak dinilai kemudian dipilih beberapa indikator yang sesuai. Menurut Mausbach & Seybold (1998) Pemilihan indikator berdasarkan pada konsep minimum data set (MDS), yaitu sesedikit mungkin tetapi dapat memenuhi kebutuhan.
2.3. Lahan Kritis Lahan kritis menurut hasil symposium pencegahan dan pemulihan lahan Kritis pada tahun 1975, didefinisikan sebagai tanah yang karena tidak sesuai dengan penggunaan dan kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisika, kimia, dan biolagi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, permukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungannya. Hidayat dan Thalib (1987) mengemukakan hal yang sama bahwa lahan kritis adalah lahan-lahan yang telah mengalami gangguan ataupun kerusakan baik secara fisika, kimia maupun biologinya. Departemen Pertanian menetapkan lahan kritis pada hakekatnya adalah lahan yang pada saat ini kurang produktif lagi ditinjau dari segi pertanian karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Pada lahan ini terdapat satu atau lebih unsur penghambat yang kurang mendukung usaha pemanfaatan lahan pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan fisika tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis dan daerah lingkungannya (Sunyoto et al. 1993). Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan dengan Surat Keputusan Nomor 073/Kpts/V/1994 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai mendifinisikan lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi ataupun media tata air.
Lahan-lahan
tersebut dapat berupa : 1. Lahan gundul yang sudah tidak bervegetasi sama sekali. 2. Padang alang-alang atau lahan-lahan yang ditumbuhi semak belukar yang tidak produktif. 3. Areal yang berbatu atau berparit sebagai akibat erosi tanah. 4. Lahan yang kedalaman solumnya sudah tipis sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.
5. Tanah yang tingkat erosinya melebihi tingkat erosi yang dapat ditoleransikan, yaitu untuk tanah dengan kedalaman solum lebih dari 100 cm sebesar 14 ton/ha/tahun, daerah dengan kedalaman solum 30-100 cm sebesar 10 ton/ha/tahun dan tanah dengan kedalaman solum kurang dari 30 cm sebesar 5 to/ha/tahun. Departemen kehutanan secara umum menyebutkan lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian yang baik. Keadaan ini dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi lebih kecil 25%, topografi dengan kemiringan lebih besar 15% dan ditandai dengan adanya gejala erosi lembar (sheet erosion) dan erosi parit (gully erosion). Suwardjo et al. (1996) membagi lahan kritis menjadi 4 (empat) kelas berdasarkan tingkat kekritisannya, yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Potensial Kritis Lahan potensial kritis adalah lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup vegetasinya atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak dan menjadi kritis.
Lahan-lahan yang termasuk dalam kelas potensial kritis
mempunyai ciri-ciri antara lain : a. Masih memiliki fungsi produksi, hidroorologi sedang, tetapi bahaya untuk menjadi kritis sangat besar bila tidak dilakukan usaha konservasi. b. Masih tertutup vegetasi dengan kondisi topografinya atau keadaan lerengnya sedemikian curam (lebih besar 45%), dan kondisi tanah atau batuan yang mudah longsong atau peka erosi sehingga bila vegetasi dibuka akan terjadi erosi berat. c. Produktivitasnya masih baik, tetapi penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya, dan belum dilakukan usaha konservasi, misalnya hutan yang baru dibuka. 2. Semi Kritis Lahan semi kritis adalah lahan yang kurang atau tidak produktif, mempunyai ciri-ciri antara lain :
a. Mengalami erosi ringan hingga sedang (horison A lebih kecil dari 5 cm), antara lain erosi permukaan dan erosi alur, tetapi produktivitasnya rendah karena tingkat kesuburannya rendah. b. Masih produktif tetapi tingkat bahaya erosi tinggi sehingga fungsi hidrologi menurun. Bila tidak ada usaha perbaikan maka dalam waktu relatif singkat akan menjadi lahan kritis. Solum tanah sedang (60-90 cm) dengan ketebalan lapisan atas (horison A) umumnya kurang dari 5 cm.
Vegetasi dominan
biasanya alang-alang, rumput dan semak belukar. 3. Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan-lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali, dengan ciri-ciri antara lain : a. Mengalami erosi berat, dimana tingkat erosi umumnya erosi parit b. Kedalaman tanah yang sedang sampai dangkal (lebih kecil 60 cm) c. Persentase penutupan lahan kurang dari 50 % d. Kesuburan tanah rendah dan meliputi daerah-daerah perladangan yang telah rusak, padang rumput/alang-alang dan semak belukar yang tandus. 4. Lahan sangat kritis Lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak sehingga tidak berpotensi lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar direhabilitasi, dengan ciri-ciri antara lain ; a. Mengalami erosi sangat besar (horizon A dan B hilang), selain erosi parit, banyak dijumpai tanah longsor, tanah merayap dengan dinding longsoran sangat terjal b. Lapisa tanah dangkal (kurang dari 30 cm) atau tanpa lapisan atas atau tinggal bahan induk, sebagian horizon B tererosi c. Persentase penutupan vegetasi sangat rendah, yaitu dibawah 25 % bahkan gundu atau tandus 2.4. Rehabilitasi lahan Rehabilitasi lahan merupakan usaha untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Upaya rehabilitasi lahan harus mampu meningkatkan produktivitas lingkungan (Erfandi dan Dariah, 1991). Menurut Zulfahmi (1996), rehabilitasi
lahan ialah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara optimal sebagai unsur produksi, media pengatur air, dan sebagai unsure perlindungan alam. Upaya rehabilitasi alam secara fisik bertujuan untuk pengendalian erosi, sedimentasi, banjir, perbaikan fluktuasi debit dan perbaqikan lingkungan. Usaha konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara vegetatif dan mekanik. Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman dan sisa-sisanya untuk mengurangi daya rusak hujan, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan dan erosi.
Konservasi dengan metode vegetatif dapat dilakukan
dengan kegiatan reboisasi dengan penanaman dan suksesi alami, perlindungan mata air, alur sungai dan jurang, dan lain-lain. Metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah (Nugroho, 1999). Menurut Arsyad dalam Sutrisno et al. (1993), pencegahan dan rehabilitasi tanah terdegradasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode mekanik, vegetatif, dan kimia. Perbaikan kerusakan tanah dapat dilakukan antara lain dengan penambahan pupuk organik maupun pupuk buatan.
Menurut
Abdurachman dan Agus (2001), pemberian bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah, menurunkan erodibilitas tanah, meningkatkan kapasitas memegang air tanah dan menyumbangkan sebagian hara bagi tanaman. Pemberian pupuk kandang pada umumnya memberikan dampak positif terhadap produksi tanaman. 2.5. Sifat Fisik Tanah 2.5.1. Bulk Density (kerapatan limbak) Kerapatan limbak (bulk density) Merupakan cara lain menyatakan bobot tanah, dalam hal ini jumlah ruangan dalam tanah (ruang yang ditempati padatan air dan gas) turut diperhitungkan (Soepardi, 1983). Bobot isi tanah menunjukan tingkat kepadatan suatu tanah. Semakin tinggi bobot isinya, maka tanah tersebut akan semakin padat. Bobot isi tanah adalah bobot kering suatu unit volume yang terisi bahan padat dan volume ruangan (ruang pori tanah) yang dinyatakan dalam gr/cc (Haridjaja et al. 1983). Menurut Hardjowigeno (1989) bahwa Tanah yang mempunyai bobot isi besar akan sulit meneruskan air atau sukar ditembus akar tanaman, sebaliknya
pada tanah dengan bobot isi yang lebih rendah akar tanaman akan mudah berkembang. Bobot isi tanah dapat bervariasi dari waktu ke waktu atau dari lapisan ke lapisan sesuai dengan perubahan ruang pori atau struktur tanah. Keragaman ini mencerminkan derajat kepadatan tanah. Tanah dengan ruang pori berkurang dan berat tanah setiap satuan bertambah menyebabkan meningkatkan bobot isi tanah (Foth, 1988). 2.5.2. Permeabilitas tanah Permeabilitas tanah merupakan kecepatan bergeraknya suatu cairan pada suatu media dalam keadaan jenuh. Permeabilitas ini sangat penting peranannya dalam pengelolaan tanah dan air (Haridjaja et al. 1983). Selanjutnya menurut Russel (1956) menyatakan bahwa permeabilitas tanah sebagai kecepatan air melalui tanah dalam keadaan jenuh pada periode tertentu dan dinyatakan dalam satuan cm/jam. Permeabilitas merupakan sifat fisika tanah yang langsung dipengaruhi pengolahan tanah, tanah dengan permeabilitas lambat lebih mudah tererosi daripada tanah dengan permeabilitas cepat. Penetapan permeabilitas tanah baik secara vertikal maupun horizontal sangat penting peranannya dalam pengelolaan tanah dan air (Baver, 1972). Beberapa faktor yang mempengaruhi permeabilitas tanah antara lain tekstur, porositas tanah serta distribusi ukuran pori, stabilitas agregat, struktur tanah dan kandungan bahan organik (Hillel, 1980). 2.5.3. Air tersedia Air tanah merupakan fase cair tanah yang mengisi sebagian besar atau seluruh ruang pori tanah (Haridjaja et al. 1983). Air ditahan dalam pori tanah dengan daya ikat yang berbeda–beda tergantung dari jumlah air yang ada dalam pori. Air bersama–sama dengan garam–garam yang larut air akan membentuk larutan tanah yang merupakan sumber hara bagi tumbuhan (Soepardi, 1983). Selain dipengaruhi oleh tekstur, struktur dan kandungan bahan organik, jumlah air yang dapat digunakan oleh tanaman juga dipengaruhi oleh kedalam tanah dan sistem perakaran tanaman (Islami dan Utomo, 1995). Air tanah berperan
penting
dari
segi pedogenesis
maupun
hubungannya
dengan
pertumbuhan tanaman. Hancuran iklim, pertukaran kation, dekomposisi bahan organik, pelarut unsur hara dan kegiatan–kegiatan jasad mikro hanya dapat berlangsung dengan baik apabila tesedia air dan udara yang cukup (Haridjaja et al. 1983). Kadar air dapat juga dinyatakan dalam persen volume yaitu persentase volume air terhadap volume tanah, cara ini mempunyai keuntungan karena dapat memberikan gambaran tentang ketersediaan air bagi tumbuhan pada volume tanah tertentu. Sebagian besar air tersedia merupakan air kapiler, yang ditahan tanah pada kelembaban antara kapasitas lapang dan koefisien layu (Hakim, et al. 1986). 2.5.4. Porositas Tanah Ruang pori tanah yaitu bagian dari tanah yang ditempati oleh air dan udara, sedangkan ruang pori total terdiri atas ruangan diantara partikel pasir, debu dan liat serta ruang diatara agregat – agregat tanah (Soepardi, 1983). Pada tanah liat, porositasnya sangat beragam kerena perubahan pengembangan dan pengkerutan, agregasi, disversi dan pemadatan. Dengan demikian porositas dipengaruhi oleh tekstur, struktur dan bahan organik (Baver et al.1972). Serta ruang pori dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah dan kedalaman tanah. Ruang pori pada lapisan tanah menurun dengan diolahnya lapisan atas tanah, tetapi penurunannnya tidak sebesar pada lapisan atas. Tanah mempunyai ruang mikro dan makro. Pori makro memperlancar gerakan udara dan air, sedangkan pori mikro menghambat gerakan udara dan air pada gerakan kapiler (Soepardi, 1983). Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur dan tektur tanah. Porositas tinggi jika bahan organik tinggi pula. Tanah–tanah dengan struktur remah atau granuler mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada tanah–tanah dengan struktur pejal (Hardjowigeno, 1989) 2.6. Sifat Kimia Tanah 2.6.1. C-organik C-organik adalah penyusun utama bahan organik. Menurut Istomo (1994) bahan organik ternyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam tanah terutama pengaruhnya terhadap kesuburan tanah. Banyak sifat–sifat tanah baik
fisik, kimia dan biologi tanah secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh bahan organik. Menurut Doran dan Parkin (1994) indikator–indikator yang digunakan dalam menentukan kualitas tanah terdiri dari 3 indikator yaitu C-organik, N-total dan biomassa karbon mikroorganisme (Cmic). 2.6.2. N-total (%) Menurut Hardjowigeno (1989) Nitrogen dalam tanah berasal dari : a. Bahan organik tanah : bahan organik halus dan bahan organik kasar b. Pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara c. Pupuk d. Air hujan Hilangnya N dari tanah disebabkan karena digunakan oleh tanaman atau mikroorganisme, N dalam bentuk NH+ diikat oleh mineral liat jenis ilit sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman, N dalam bentuk NO3- mudah tercuci oleh air hujan. Kandungan N-total umumnya berkisar anatara 2000–4000 Kg/ha pada lapisan 0 – 20 cm tetapi tersedia bagi tanaman hanya kurang 3% dari jumlah tersebut (Hardjowigeno,1996). 2.6.3. P-Bray (ppm) Unsur P dalam tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan dan mineral – mineral didalam tanah. Faktor yang mempengaruhi tersedianya P untuk tanaman adalah pH tanah. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pada pH sekitar 6-7 (Hardjowigeno, 1989). Didalam tanah terdapat dua jenis fosfor yaitu fosfor organik dan fosfor an organik. Bentuk fosfor organik biasanya terdapat banyak dilapisan atas yang lebih kaya akan bahan organik. Kadar P organik dalam bahan organik kurang lebih sama kadarnya dalam tanaman yaitu 0,2 – 0,5% (Leiwakabessy, 1988). 2.6.4. Kalium (me/100gr) Unsur K dalam tanah berasal dari mineral–mineral primer tanah dan pupuk buatan. Unsur K ditemukan dalam jumlah banyak di dalam tanah. Tetapi hanya sebagian kecil yang digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam air atau yang
dapat dipertukarkan (dalam koloid tanah). K dalam tanah dibedakan menjadi K tersedia bagi tanaman, K tidak tersedia bagi tanaman, dan K tersedia bagi tanaman tetapi lambat. Tanaman cenderung mengambil K dalam jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan tetapi tidak menambah produksi. K hilang dari tanah karena diserap tanaman dan proses leaching (Hardjowigeno, 1989). 2.6.5. Kapaitas Tukar Kation (me/100gr) Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubngannya dengan kesuburan tanah. Tanah–tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah–tanah dengan
kandungan
bahan
organik
rendah
atau
tanah–tanah
berpasir
(Hardjowigeno, 1989). 2.7. Sifat Biologi Tanah 2.7.1. Biomassa Mikroorganisme Tanah (Cmic) Biomassa mikroorganisme merupakan bagian yang hidup dari bahan organik tanah yaitu bakteri, fungi, algae dan protozoa, tidak termasuk akar tanaman dan hewan yang berukuran lebih besar dari amoeba (kira-kira 5 x 103 µm3) (Jenkinson dan Ladd, 1981 dalam Djajakirana, 1993). Menurut Lavahun (1995) biomassa mikroorganisme tanah merupakan sumber bervariasinya hara-hara tanaman dan juga agen pembentukan hara-hara tersebut. Selain itu merupakan agen perombakan dari semua bahan organik yang masuk ke dalam tanah, mengubahnya ke dalam bentuk senyawa anorganik sederhana,
sehingga
tanaman
dapat
menggunakannya
lagi.
Biomassa
mikroorganisme ini memegang peranan penting dalam memelihara kesuburan tanah dan dalam siklus karbon, nitrogen, fosfor dan sulfur. Biomassa mikroorganisme tanah mewakili sebagian kecil fraksi total karbon dan nitrogen tanah, tetapi secara relatif mudah berubah, sehingga jumlah aktifitas dan kualitas biomassa mikroorganisme merupakan faktor kunci dalam mengendalikan jumlah C dan N yang dimineralisasi (Hassink, 1994).
Biomassa mikroorganisme hanya menyusun 1-3% dari total C-organik tanah, tetapi merupakan hal penting untuk mengetahui bahan organik yang masuk ke dalam tanah (Jenkinson, 1977 dalam Martens, 1995). Biomassa mikrobia mencerminkan kadar C-organik serta menunjukkan jumlah substrat yang tersedia untuk pertumbuhan (Nuraini, 1997). Pengukuran biomassa karbon mikroorganisme (Cmic) di dalam tanah nilainya sangat kecil, tetapi dapat diketahui unsur C labilnya dibandingkan dengan pengukuran karbon bahan organik tanah, memberikan indikasi awal dan sensitif terhadap dinamika perubahan karbon. Pengukuran biomassa mikrobia dapat memberikan gambaran potensi mineralisasi N tanah (Loiseau et al. 1994). Hal tersebut telah dibuktikan oleh Hassink (1994), bahwa biomassa mikrobia mempunyai korelasi positif dengan mineralisasi N. Jumlah biomassa mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh keseimbangan antara ketersediaan C dan unsur hara lain yang tersedia di dalam tanah. Sparling (1989) dalam Dally et al. (1993) menjelaskan kegunaan pengukuran Cmic dalam berbagai keadaan pengelolaan tanah antara lain : a. Dalam memantau perubahan bahan organik pada konversi hutan menjadi lahan pertanian atau padang rumput. b. Memantau perubahan bahan organik dan unsur hara pada pola tanaman dan sistem pertanian. c. Mengukur unsur hara (N, P) yang potensial tersedia bagi tanaman. d. Dalam reklamasi lahan bekas tambang, e. Dalam mendeteksi pengaruh pestisida terhadap mikroorganisme tanah, dan f. Dalam mengevaluasi peranan mikroorganisme tanah pada stabilitas agregat tanah. Pengukuran Cmic dikenalkan oleh Jenkinson dan Powlson (1976) yang dikenal dengan metode fumigasi-inkubasi. Metode ini didasarkan pada dekomposisi dari sel-sel mikroorganisme tanah setelah diberi kloroform (CHCl3). Setelah CHCl3 dihilangkan dari tanah, inokulan yang berupa tanah yang tidak
difumigasi ditambahkan ke dalam tanah yang difumigasi. Jumlah CO2 yang dihasilkan selama 10 hari inkubasi diukur. Jumlah CO2 yang dihasilkan dari tanah yang difumigasi dibandingkan dengan tanah yang tidak difumigasi di sebut CO 2 Flush (CO2 yang berasal dari dekomposisi sel mikroorganisme tanah yang mati), dengan menggunakan faktor konversi (biasanya 0.45) maka Cmic dapat dihitung. Karena adanya kelemahan dalam metoda fumigasi-inkubasi yaitu bila digunakan untuk tanah tergenang dan tanah masam, Vance et al. (1987b) mengembangkan metode fumigasi-inkubasi menjadi fumigasi-ekstraksi.
2.7.2. Respirasi Tanah Pengukuran respirasi (mikroorganisme) tanah merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Penetapan respirasi tanah adalah berdasarkan : 1) Penetapan jumlah CO2 yang dihasilkan mikroorganisme tanah dan 2) jumlah O2 yang digunakan oleh mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi telah diperhatikan mempunyai korelasi yang baik dengan parameter yang lain yang berkatian dengan aktivitas mikroorganisme tanah seperti kandungan bahan organik, transformasi N atau P, hasil antara pH dan rata – rata jumlah mikroorganisme. Kecepatan respirasi lebih mencerminkan aktivitas metabolik dari pada jumlah, tipe atau perkembangan mikrobiota tanah (Anas, 1989). 2.7.3. Bahan Organik Bahan organik mempunyai arti penting bagi kesuburan tanah terutama pada top soil. Bahan organik tersebut merupakan sumber nutrisi dan energi bagi organisme tanah, sehingga akan dikonsumsi dan didekomposisikan. Hasil dari dekomposisi oleh organisme tanah ini berupa hara yang mampu meningkatkan kesuburan tanah. Dekomposisi bahan organik merupakan proses perubahan dari serasah menjadi humus melalui aktifitas mikroorganisme tanah (Soepardi, 1983). Aktifitas biologi dalam mengkonversi senyawa organik menjadi senyawa anorganik dikenal dengan istilah mineralisasi. Rata-rata proses dekomposisi oleh
mikroba dan mineralisasi ditentukan oleh kualitas sumber substrat dan kondisi lingkungan fisik (Foth, 1988). Bahan organik mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah, khususnya di daerah tropika pada tanah yang berpasir dan liat yang didominasi oleh mineral liat 1 : 1, sebagian besar nutrisi tanaman dan sekitar 90 % kapasitas retensi unsur hara berasal dari bahan organik. Pada tanah yang tidak subur, bahan organik merupakan 90-95 % sumber N. Budidaya pertanian akan menyebabkan penurunan kandungan bahan organik. Pada pertanian yang intensif dan terus-menerus akan menghabiskan kandungan bahan organik tanah, sebab siklus tertutup dari alam terganggu. Penyebab putusnya siklus tertutup dari alam adalah adanya pengangkutan biomassa yang merupakan sumber bahan organik pada siklus tertutup. Degradasi bahan organik akan mengurangi porositas mikro, tingkat infiltrasi dan aerasi tanah yang semuanya akan mempengaruhi kesuburan tanah. Laju Perubahan Kandungan Bahan Organik Kehilangan karbon tanah yang cepat akan diikuti oleh penurunan tingkat bahan organik tanah secara drastis dan hal ini terjadi pada beberapa dekade pada tanah-tanah pertanian. Kehilangan ini juga dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi ekosistem. Penurunan kandungan bahan organik yang cepat ini terjadi karena input biomassa yang diberikan ke dalam tanah hilang karena metabolisme bahan organik terhambat. a. Pada Tanah-Tanah Pertanian Tate (1987), menyatakan bahwa pada tanah-tanah pertanian yang produktif, kehilangan bahan organik yang terbawa panen cukup besar dibandingkan jumlah bahan organik yang dikembalikan ke dalam tanah, dan jumlah yang hilang pada tanah-tanah pertanian juga lebih besar daripada tanah rumput.
Pada tanah-tanah yang diusahakan jumlah bahan organik yang
dikembalikan ke dalam tanah lebih kecil sementara mineralisasi dan dekomposisi terus berlangsung sehingga penurunan kandungan bahan organik akan dipercepat,
aktifitas mikroorganisme juga akan tertekan akibatnya penurunan sifat fisik dan kimia yang mempengaruhi aktifitasnya. Aktifitas mikroorganisme sebagian besar ditentukan oleh jumlah bahan organik yang mudah terlapuk. Seperti pada tanah rumput, sisa tanaman yang jatuh ke permukaan tanah pertanian akan termobilisasi sehingga aktifitas mikroorganisme meningkat.
Selama terjadi mineralisasi bahan organik dan aktifitasnya akan
menurun dengan banyaknya bahan yang lebih resisten. b. Pada Tanah-Tanah Rumput Transformasi bahan organik dibedakan dari ekosistem lain berdasarkan tipe dan jumlah bahan organik yang masuk ke dalam tanah, pengaruh rhizosfer dalam ekosistem dan distribusi input bahan organik. Selama pertumbuhan mikroorganisme tanah memperoleh input senyawa-senyawa organik yang mudah terlapuk secara terus-menerus. Laju transformasi bahan organik dalam ekosistem tanah merupakan bukti bahwa input bahan organik tersebut pada tanah rumput terjadi sepanjang pertumbuhan dimana akar dan tajuk akan dihasilkan terusmenerus. Input C-organik yang terus-menerus dan distribusi perakaran tanaman juga mempunyai pengaruh besar terhadap sifat aktifitas mikrobial pada permukaan tanah. Aktifitas komonitas mikrobial tanah yang tinggi dapat dilihat pada tanahtanah rumput dimana 80% atau lebih bahan organik yang masuk ke tanah akan dimineralisasi di tahun pertama (Tate, 1987). c. Pada Tanah-Tanah Hutan Reaksi-reaksi yang terjadi dalam bahan organik tanah yang terdapat di lahan hutan dapat diduga melalui sifat-sifat hutan tersebut. Transfer hara yang terjadi antara pengurai dan biomassa tanaman berkaitan erat. Permukaan tanah pada lahan hutan mengandung N besar dan sebagian besar terdapat pada biomassa di permukaan tanah. Kurang dari 10 % N-total tertinggi pada akar-akar pohon. Pada tanah-tanah hutan bahan organik masuk ke dalam tanah antara lain melalui eksudat dan pembusukan akar serta sampah hutan yang disebut litter (Tate, 1987).
Keberadaan spesies pohon adalah penting sebagai kontrol jumlah biomassa yang sampai di tanah.
Menurut Joergensen et al. (1980) dikatakan bahwa
meskipun biomassa akar hanya merupakan bagian yang kecil dari gudang hara di lahan hutan tetapi struktur dan dekomposisinya berpengaruh besar pada hara-hara yang terdapat di tanah hutan, dimana mereka didekomposisi pada laju yang lebih cepat daripada biomassa di permukaan tanah sehingga perakaran lebih mudah terlapuk daripada jaringan daun.