II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Tanah Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa
jenis
makhluk hidup, salah satunya adalah organisme tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik dan organisme hidup. Kegiatan
biologis seperti pertumbuhan akar dan
metabolisme mikrob dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Rao, 1994). Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan makanan ke dalam tumbuhan. Melalui akar-akarnya tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium, tembaga, seng dan mineral essensial lainnya. Dengan semua ini, tumbuhan mengubah karbon dioksida (dimasukkan melalui daun) menjadi protein, karbohidrat, lemak, asam nukleat dan vitamin yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan mahkluk heterotrof. Bersamaan dengan suhu dan air, tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas bumi (Kimball, 1994). Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat
ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan kata lain
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik (Suin, 1997). Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah
lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997). Menurut Wallwork (1976), besarnya perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi sebelum sampai pada permukaan tanah, tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya. Pengukuran pH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian mengenai fauna tanah. Suin (1997), menyebutkan bahwa ada fauna tanah yang hidup pada tanah yang pH-nya asam dan ada pula yang senang hidup pada tanah yang memiliki pH basa. Metode yang digunakan pada pengukuran pH tanah ada dua macam, yaitu secara kalorimeter dan pH meter. Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami
suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi
mikroorganisme.
Faktor-faktor
lain
yang
mempunyai
pengaruh
terhadap
keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban serta kondisi-kondisi serasi (Sutedjo et al., 1996). Menurut Soepardi (1983), dibandingkan dengan area yang masih utuh, lahan yang diusahakan umumnya mempunyai jumlah dan biomasa fauna tanah lebih sedikit, sedangkan penggunaan lahan dengan praktek pengelolaan lahan, seperti pengolahan konservasi, penggunaan jerami, tanaman penutup dan penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan keragaman fauna tanah.
2.2. Organisme Tanah 2.2.1. Fauna tanah 2.2.1.1. Pengertian Fauna Tanah Fauna tanah adalah organisme yang seluruh atau sebagian besar daur hidup dan kegiatan untuk kelangsungan hidupnya dilakukan di dalam tubuh tanah juga permukaan tanah yang berperan dalam membantu mendekomposisi bahan organik (Poerwowidodo, 1992; Suin, 1997).
2.2.1.2. Keanekaragaman Fauna Tanah Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya dan kegiatan makannya. Berdasarkan kehadirannya, fauna tanah dibagi atas kelompok transien, temporer, periodik dan permanen. Berdasarkan habitatnya fauna tanah digolongkan menjadi golongan epigeon, hemiedafon dan eudafon. Fauna epigeon hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah dan eudafon hidup pada tanah lapisan mineral. Berdasarkan kegiatan makannya fauna tanah ada yang bersifat herbivora, saprovora, fungifora dan predator (Suin, 1997). Fauna tanah juga dapat dibagi menurut ukurannya yaitu mikrofauna (ukuran tubuh kurang dari 0.2 mm) seperti nematoda dan protozoa, mesofauna (ukuran tubuh 0.2 mm-2mm) seperti Acari dan Collembola dan makrofauna (ukuran tubuh 2 mm-20 mm) seperti semut, rayap dan cacing tanah (Lavelle dan Spain, 2001). Beberapa
contoh organisme yang khas yang diambil dari tanah dengan
menggunakan alat yang dikenal dengan corong Barlese atau corong Tullgren yang serupa,
diantaranya
(Mikroentoman), pauropoda
dua
japygida
(Pauropus),
kutu
oribatida
(Japyx),
(Elulomannia,
thysanoptera,
pelops),
simpilan
kumbang pembajak (Staphylinidae),
proturan
(Scolopendrella), springtail atau
collembola (Entomobrya), kalajengking semu (Cheloneathid), miliped (Diplopoda), centipede (Chilopoda), larva kumbang scarabarida atau “grub”. Menurut Hole (1981) dalam Rahmawaty (2000), fauna tanah dibagi menjadi dua golongan berdasarkan caranya
mempengaruhi
sistem
tanah,
yaitu
(1)
Binatang
eksopedonik
(mempengaruhi dari luar tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran besar, sebagian besar tidak menghuni sistem tanah, meliputi kelas Mamalia, Aves, Reptilia, dan Amphibia (2) Binatang endopedonik (mempengaruhi dari dalam tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran kecil sampai sedang (diameter < 1 cm), umumnya tinggal di dalam sistem tanah dan mempengaruhi penampilannya dari sisi dalam, meliputi kelas Hexapoda, Myriopoda, Arachnida, Crustacea, Tardigrada, Onychopora, Oligochaeta, Hirudinea dan Gastropoda.
Organisme-organisme
yang
berkedudukan
di
dalam
tanah
sanggup
mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan atas (top soil), dimana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dibusukkan oleh fungi, bakteria dan golongan-golongan organisme lainnya (Sutedjo et al., 1996). 2.2.1.3. Peranan Fauna Tanah Organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan meremah-remah substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Secara umum, keberadaan aneka macam fauna tanah pada
tanah yang tidak
terganggu seperti padang rumput, karena siklus hara berlangsung secara kontinyu. Arief (2001) menyebutkan, terdapat suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen pada lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20%50%. Fauna tanah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembusukan zat atau bahan-bahan organik dengan cara menghancurkan jaringan secara fisik dan meningkatkan ketersediaan daerah bagi aktifitas bakteri dan jamur, melakukan pembusukan pada bahan pilihan seperti gula, seclulosa dan sejenis lignin, merubah sisa-sisa tumbuhan menjadi humus, menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas, membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah (Barnes et al. 1997). Meskipun fauna tanah khususnya mesofauna tanah sebagai penghasil senyawa-senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun bukan berarti berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi, peranan ini merupakan nilai tambah dari mesofauna sebagai subsistem konsumen dan subsistem dekomposisi. Sebagai subsistem dekomposisi, mesofauna sebagai organisme perombak awal bahan makanan, serasah dan bahan organik lainnya (seperti kayu dan akar) mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumatkan dan mengunyah bahan-bahan tersebut.
Mesofauna tanah akan melumat bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organik lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk didekomposisi
oleh mikrobia
tanah (Arief, 2001). Tarumingkeng (2000),
menyebutkan bahwa dalam suatu habitat hutan hujan tropika diperkirakan dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah empat kali peranan jenis-jenis vertebrata.
2.2.2. Keragaman Mikrob Tanah Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi kimiawinya melainkan juga pada ciri alami mikrob yang menghuninya. Mikrob yang menghuni tanah dapat dikelompokkan menjadi bakteri, aktinomycetes, jamur, alga dan protozoa. Cabang ilmu yang mempelajari kehidupan dan kegiatan organisme tersebut dalam tanah dikenal sebagai mikrobiologi tanah (Rao, 1994). Menurut Ma’shum et al. (2003), peranan mikrob dalam kesuburan tanah ditunjukkan dengan aktivitasnya dalam memperbaiki struktur tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman. Berkaitan dengan pembentukan struktur remah, mikrob berperan sebagai pembangun agregat tanah yang mantap. Dalam kaitannya dengan peningkatan ketersediaan hara, mikrob berfungsi untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dan sebagai pemacu tingkat kelarutan senyawa anorganik yang tidak tersedia menjadi bentuk tersedia. Menurut Sutedjo et al. (1996), di antara beberapa faktor yang berpengaruh atas berlimpahnya populasi mikrob dalam tanah, yang paling penting yaitu zat/bahan organik, pH, kelembaban tanah, temperatur tanah, aerasi tanah dan keadaan alami pertumbuhan tanaman. Keadaan berlimpahnya mikrob dan penyebarannya di dalam tanah dan juga komposisi populasi pada tipe-tipe tanah yang berbeda, terutama dipengaruhi oleh penambahan bahan organik. A.
Fungi Fungi merupakan salah satu mikrob tanah yang berperan dalam membantu
menghancurkan selulosa, zat pati, gum, lignin dan senyawa organik yang mudah lapuk, seperti protein dan gula. Sehubungan dengan pembentukan humus dan agregasi zarah tanah fungi lebih berperan dari pada bakteri. Hal ini terutama pada
tanah sangat masam. Metabolisme fungi lebih efisien dari pada bakteri, mereka menggunakan lebih banyak C dan N dan menghasilkan lebih sedikit CO 2 dan amonium dari pada bakteri. Fungi dibedakan dalam tiga golongan yaitu ragi, kapang dan jamur. Di antara ketiga golongan tersebut kapang dan jamur mempunyai arti yang penting bagi pertanian (Soepardi, 1983). B.
Azotobacter Azotobacter merupakan bakteri yang telah lama menjadi perhatian para ahli
mikrobiologi tanah. Azotobacter bersifat heterotofik yang hidup tidak saja pada daerah rizosfer tanaman tetapi juga di dalam tanah yang bebas dari pengaruh akar tanaman (Anas, 1989). Azotobacter dapat dijumpai hampir pada semua jenis tanah, tetapi populasinya relatif rendah. Selain kemampuannya dalam menambat nitrogen, bakteri ini juga menghasilkan sejenis hormon yang kurang lebih sama dengan hormon pertumbuhan tanaman dan menghambat pertumbuhan jenis jamur tertentu. Azotobacter dapat meningkatkan pasokan nitrogen bagi pertumbuhan tanaman melalui udara, pasokan pengatur tumbuh, mengurangi kompetisi dengan mikroba lain dalam menambat nitrogen atau membuat kondisi tanah lebih menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman. Ada dua pengaruh positif Azotobacter terhadap pertumbuhan tanaman yaitu mempengaruhi perkecambahan benih dan memperbaiki pertumbuhan tanaman (Sutanto, 2002). C.
Mikrob Pelarut Fosfat Ada beberapa jenis fungi dan bakteri seperti Bacullus polymyxa,
Pseudomonas striata, Aspergillus awamori dan Penicillium digitatum yang diidentifikasikan mampu melarutkan bentuk P tak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Jumlah bakteri pelarut P dalam tanah sekitar 10 4-106 SPK tiap gram tanah. Mikrob tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam proses penguraian bahan organik kompleks yang secara enzimatik akan membebaskan nutrien dari fraksi mineral tanah sehingga tersedia bagi tanaman. Bakteri pelarut fosfat merupakan salah satu bakteri berperan penting dalam melarutkan fosfat organik dan anorganik
menjadi fosfat terlarut sehingga dapat digunakan atau diserap oleh akar tanaman dan mikroba tanah lainnya (Rao, 1982).
2.3. System of Rice Intensification (SRI) 2.3.1. Sejarah SRI SRI merupakan sistem budidaya padi
yang mampu meningkatkan
produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI. Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD) mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif. 2.3.2. Prinsip SRI Prinsip dasar dari metode SRI antara lain penggunakan bibit muda, yaitu bibit yang berumur 5-10 hari, jarak tanam yang digunakan lebih besar, yaitu 30 cm x 30 cm atau bahkan 50 cm x 50 cm, mempertahankan tanah agar tidak tergenang antara 0,5 cm - 2 cm, mempertahankan agar kadar bahan organik tinggi, pemberian pupuk pada metode SRI sangat dianjurkan menggunakan pupuk organik seperti kompos dan penanaman dilakukan dengan tanam tunggal. 2.3.3. Keunggulan SRI Ada beberapa keunggulan metode SRI antara lain dapat meningkatkan produksi padi lebih dari 50%, menghemat penggunaan air antara 25-50%,
meminimalkan penggunaan pupuk anorganik atau sintesis, menghemat penggunaan benih padi antara 80-90% (Uphoff, 1997). Lembaga Pengembangan dan Penelitian Pertanian adalah institusi pertama di Indonesia yang bereksperimen dengan metode SRI, diperoleh hasil 6.3-6.8 ton/ha berdasarkan penelitian di Sukamandi pada tahun 1999 di musim kemarau dan 9.5 ton/ha pada musim penghujan tahun 1999-2000, setara dengan kurang lebih dua kali dari rata-rata produksi nasional. Di negara lain seperti Srilangka misalnya, selama tahun 2000-2001, sekitar 300 petani menerapkan budidaya SRI dengan produksi rata-rata 8 ton/ha. Kelompok petani di Namal Oya melakukan perbandingan perhitungan antara metode SRI dengan metode organik lainnya. Dengan metode yang biasa mereka lakukan, hasil panennya 2.9 ton/ha, dengan metode yang biasa direkomendasikan oleh pemerintah, menggunakan varietas baru dan pemupukan, diperoleh hasil 4.7 ton/ha dan dengan SRI hasilnya mencapai 8.5 ton /ha. 2.4.
Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung
dengan ibukota RI yaitu Jakarta dan secara geografis mempunyai luas sekitar 2.301,95 Km2. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 427 desa/kelurahan, 3.516 RW dan 13.603 RT. Dari jumlah desa tersebut mayoritas mempunyai ketinggian sekitar kurang dari 500 m terhadap permukaan laut, yakni 234 desa, sedangkan di antara 500 - 700 meter ada 144 desa dan sisanya 49 desa sekitar lebih dari 500 meter dari permukaan laut. Tanjung Sari merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor, secara astronomis letak Tanjung Sari berada pada 6o6' LU -107o 88' BT (Anonim, 2000).