II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Fosfor dalam Tanah Secara umum fosfor di dalam tanah digolongkan dalam dua bentuk, yaitu:
bentuk organik dan anorganik (Black 1976). Sebagian besar senyawa fosfor inorganik adalah senyawa kalsium, senyawa besi, dan alumunium, sementara kelompok senyawa organik ialah fitin dan derivatnya, asam nukleat dan fosfolipida (Soepardi 1983). Bentuk fosfor organik ini dapat meliputi 3% hingga 75% dari total fofor tanah (Olsen dan Fried, 1957). Jumlah kedua bentuk ini disebut dengan P-total. Bentuk yang tersedia bagi tanaman dalam jumlah yang dapat diambil oleh tanaman hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah yang ada dalam tanah (Leiwakabessy et al. 2003). Fosfor dalam tanah tidak mobil karena tingkat ketersediaannya dalam tanah dipengaruhi oleh: reaksi tanah (pH), kadar Al dan Fe hidrous oksida, kadar Ca, kadar bahan organik, tekstur dan pengelolaan lahan (Hartono et al. 2005; Havlin et al. 2005). Fosfat tanah dapat dalam bentuk P larutan, P labil, P difiksasi oleh Al, Fe atau Ca, dan P organik. Fosfat dalam larutan dapat berbentuk H 2 POatau HPO 4 2- tergantung dari kemasaman larutan (pH). Kadar P di dalam tanah umumnya rendah dan berbeda-beda. Tanah-tanah muda dan perawan biasanya lebih tinggi daripada tanah yang tua, begitu juga penyebarannya di dalam profil tanah berbeda. Jumlah fosfat yang tersedia di tanah-tanah pertanian biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada tanah-tanah yang tidak diusahakan. Hal ini diduga karena unsur ini tidak tercuci (residunya tinggi), sedangkan yang hilang melalui produksi tanaman sangat kecil (Leiwakabessy et al. 2003), pada tanah kering dan masam ketersediaan P juga rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya Al terlarut pada pH tanah < 5 (Sanchez 1992). Menurut Havlin et al. (2005), kandungan P pada tanah bervariasi dari 0,005% sampai 0,15%, sedangkan konsentrasi P relatif dalam tanaman sekitar 0,2%. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketersediaan P dalam tanah sangat rendah yaitu akibat mobilitas ion-ion fosfat dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004), jumlah total dalam tanah kecil, tidak tersedianya fosfor asli dan terjadi fiksasi
3
fosfor dalam tanah dari sumber pupuk yang diberikan (Buckman dan Brady, 1964). Sebagian besar fosfor dalam tanah umumnya tidak tersedia bagi tanaman meskipun keadaan lapangan paling ideal, sehingga masalah utama pada tanahtanah masam adalah kekahatan fosfor (P), fiksasi P yang tinggi dan keracunan Al, Mn dan kadang-kadang Fe. Kekahatan P pada umumnya parah disebabkan terikatnya unsur-unsur tersebut secara kuat pada tanah seperti mineral liat tipe 1 : 1 dan oksida-oksida Al dan Fe, maupun reaksi antara P dengan Al, sehingga unsur P tidak tersedia untuk tanaman (Radjagukguk 1983).
2.2.
Fosfor pada Tanaman Fosfor merupakan satu dari enam belas hara esensial bagi tanaman
(Tisdale dan Nelson, 1975; Buckman dan Brady, 1964), sehingga keberadaannya bagi tanaman dibutuhkan dalam jumlah yang relatif banyak dan tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Hal ini terjadi karena peranan fosfor bagi tanaman sangatlah penting, seperti: merangsang pertumbuhan anakan, perkembangan akar, meningkatkan jumlah gabah tiap malai, mempercepat pertumbuhan bibit, dan pembungaan serta mendorong serapan N pada awal pertumbuhan (De Datta 1981), sedangkan menurut Dobermann dan Fairhust (2000), pada tanaman padi P berperan
pada
perkembangan
akar,
perbanyakan
rumpun,
percepatan
pembungaan, dan pemasakan buah. Tanaman biasanya mengabsorpsi P dalam bentuk ion orthofosfat primer (H 2 PO 4 -) dan sebagian kecil dalam bentuk sekunder (HPO 4 2-). Absorpsi kedua ion itu oleh tanaman dipengaruhi oleh pH tanah sekitar akar, pada pH tanah yang rendah, absorpsi bentuk H 2 PO 4 - akan meningkat (Leiwakabessy et al. 2003). Hal ini didukung oleh Havlin et al. (2005), yang menyatakan bahwa ketersediaan P tertinggi diketahui berada pada pH sekitar 6,5 dan pada pH 7,2 jumlah ion H 2 PO 4 - ≈ HPO 4 2-, jika pH turun maka jumlah H 2 PO 4 - > HPO 4 2- demikian pula sebaliknya, sedangkan berdasarkan laju penyerapan maka H 2 PO 4 - lebih cepat diserap daripada HPO 4 2-. Walaupun fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, tetapi kadarnya di dalam tanaman lebih rendah dari N dan Ca (Leiwakabessy et al. 2003).
4
Unsur ini termasuk hara yang mobil di dalam tanaman, hal ini disebabkan ketika terjadi kekurangan tanaman akan menunjukkan gejala di dalam jaringan yang tua terlebih dahulu baru diangkut ke bagian-bagian meristem atau jaringan yang lebih muda (Tisdale et al. 1999). Gejala defesiensi P pada tanaman dapat dilihat seperti pertumbuhan terhambat (kerdil) karena pembelahan sel yang terganggu, daun-daun menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun, serta dapat terlihat jelas pada tanaman yang masih muda (Hardjowigeno 2007).
2.3.
Tanah Sawah Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah,
baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia (Hardjowigeno et al. 2004). Beberapa ahli lain membatasi tanah sawah untuk tanah-tanah dengan horizon akumulasi besi-mangan (Tan 1968). Ada juga yang menyatakan sebagai tanah yang telah mengalami perubahan akibat penggenangan oleh air irigasi (Dudal 1965), atau tanah yang mengalami proses hidromorfik, baik secara buatan maupun alami (Kanno 1978). Tanah sawah (soil rice, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soils, great-group anthraquic, sub-group anthropic, aquorizem, sub-group hydraquic) dalam klasifikasi FAO (World Reference Base for Soil Resources) termasuk ke dalam Anthrosols (FAO 1998). Pengaruh penggenangan dan pengolahan tanah sawah dalam keadaan tergenang dapat menyebabkan perubahan sifat tanah (morfologi, fisik, kimia, dan biologis), sehingga berbeda dengan sifat asalnya terutama pada tanah kering yang disawahkan. Akibatnya dari berbagai jenis tanah yang disawahkan akan dapat menyebabkan produksi padi yang dihasilkan bervariasi (Situmorang dan Sudadi, 2001). Menurut Soepardi (1983), sawah yang termasuk dalam golongan sebagai lahan basah yang berarti lahan yang untuk sebagian besar dari musim tanam digenangi atau dijenuhi air memiliki tiga jenis yaitu:
5
1.
Sawah beririgasi atau sawah tadah hujan merupakan pengusahaan tanah yang menerapkan kaidah konservasi lahan. Erosi yang terjadi sangat minimum. Tanaman yang di tumbuhkan terbatas pada yang tahan genangan seperti padi dan di musim tidak tergenang ditanami palawija.
2.
Sawah lebak adalah suatu bentuk pengusahaan tanah yang mengandalkan airnya dari banjir. Air sungai
yang meluap
menggenangi hamparan lahan yang ada di kiri kanan sungai. 3.
Sawah pasang surut hampir serupa dengan sawah lebak, hanya berbeda dalam irama naik turunnya permukaan air, pada sawah pasang surut permukaan air berubah tiap hari, sedangkan pada sawah lebak adalah musiman.
Proses-proses yang terjadi pada tanah sawah adalah gleisasi, eluviasi, iluviasi besi dan mangan, grayasi, pembentukan tapak bajak, pembentukan kutan (pemupukan suatu bahan pada permukaan tertentu yang membentuk selaput), akumulasi (atau dekomposisi), alterasi bahan organik, dan proses-proses lain yang menyebabkan difrensiasi profil tanah sawah (Situmorang dan Sudadi, 2001).
2.4.
Lahan Kering (Up Land) Istilah lahan kering yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah
kepada lahan kering dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap (Notohadiprawiro 1989). Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usaha tani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air (Manuwoto, 1991; Satari et al. 1977). Menurut Rukmana (1995), lahan kering adalah sebidang tanah yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan atau memanfaatkan air secara terbatas dan biasanya bergantung dari air hujan, sedangkan definisi dari konvensi internasional PBB mengenai lahan kering adalah lahan yang menerima curah hujan tahunan kurang dari duapertiga dari evaporasi potensial, dimana produksi tanamannya dibatasi oleh ketersediaan air. Kategori
6
lahan kering ini termasuk lahan budidaya, semak belukar, padang rumput, dan padang pasir. Menurut penggunaannya BPS (2006), mengelompokkan lahan kering ke dalam
sembilan
jenis
penggunaan,
meliputi
usaha
tani
lahan
kering
(tegalan/kebun, padang rumput, tanah tidak diusahakan, tanah hutan rakyat dan perkebunan), dan usaha tani lainnya (pekarangan/bangunan, tanah rawa, tambak, dan kolam/empang). Secara umum, lahan kering daerah tropika basah dan setengah kering didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Alfisol, Ultisol, dan Oksisol. Golongan/ordo Oksisol meliputi 35% luasan, diikuti oleh Ultisol 28%, dan sisanya Alfisol 4% (NAP, 1982; cit Syekhfani, 1991). Utomo (2002), melaporkan bahwa lahan kering di Indonesia cukup luas dengan taksiran sekitar 60,7 juta ha atau 88,6% dari luas lahan, sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta ha atau 11,4% dari luas lahan. Sebagian besar banyak tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian > 700 m dpl (39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia (Hidayat dan Mulyani, 2002). Data terbaru menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan (Abdulrachman dan Sutono, 2005). Lahan kering masam umumnya dicirikan oleh sifat reaksi tanah masam (pH rendah 5,5) yang berkaitan dengan kadar alumunium tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat ditukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas meracuni, peka erosi, miskin elemen biotik, dan kendala teknis pada ketersediaan air terutama di musim kemarau, sehingga indeks pertanaman di lahan kering relatif masih rendah dibandingkan di lahan sawah yang tersedia fasilitas air irigasinya. Namun demikan, kendala teknis di lahan kering tersebut relatif mudah diatasi yaitu dengan pemberian pupuk (fosfor), pengapuran, dan pengelolaan bahan organik, sehingga produktivitas tanah-tanah masam di lahan kering dapat meningkat (Hartono et al. 2006; Mulyani 2006). Berdasarkan jumlah dan distribusi hujan, Las et al. (1991), membagi lahan kering menjadi lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah adalah lahan dengan curah hujan > 2.000 mm tahun-1
7
dengan masa tanam sistem tadah hujan > 6 bulan, sedangkan lahan kering beriklim kering adalah lahan dengan curah hujan < 2.000 mm tahun-1 dan masa tanam < 6 bulan. Curah hujan sebesar 1.000 mm tahun-1 bila dimanfaatkan secara efesien akan dapat menunjang proses produksi untuk dua musim tanam dengan asumsi bahwa kebutuhan air secara umum untuk tanaman semusim lahan kering adalah 120 mm bulan-1 (Oldeman et al. 1980).
8