4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Karakteristik Tanah Ultisol Menurut Hardjowigeno (1985), tanah yang diklasifikasikan dalam Ultisol
pada sistem USDA Soil Taxsonomy (1975), sepadan dengan Podsolik Merah Kuning berdasarkan Dudal-Soepraptohardjo. Sebelum nama Podsolik Merah Kuning masuk ke Indonesia, tanah itu masuk dalam golongan tanah laterik. Van der Voort (1950) lebih suka menyebutnya tanah lateritik terdegradasi, yang menunjukan persepsinya bahwa tanah itu telah mengalami kerusakan berat. Ultisol umumnya berkembang dari bahan induk tua, dan ditemukan di daerah-daerah dengan suhu tanah rata-rata lebih dari 80C. Mempunyai horizon argilik, bersifat masam dengan kejenuhan basa rendah. Kejenuhan basa pada kedalaman 1,8 m dari permukaan tanahkurang dari 35%. Proses pembentukan Ultisol berawal dari pencucian intensif terhadap basa-basa, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah. Kandungan mineral mudah lapuk pada tanah Ultisol telah habis terlapuk, sehingga unsur hara khususnya, basa-basa sebagian besar telah hilang karena pencucian, akibatnya tingkat kesuburan tanah sangat rendah, sedangkan kejenuhan aluminium biasanya tinggi. Disamping itu terjadi pencucian liat (lessivage) yang menghasilkan horizon albik dilapisan atas (eluviasi) dan argilik lapisan bawah (illuviasi) (Hardjowigeno,1993). Ultisol merupakan daerah luas di Indonesia yang masih tersisa untuk dikembangkan sebagai daerah pertanian. Air umumnya cukup tersedia karena berada pada daerah dengan curah hujan yang tinggi. Biasanya tanah Ultisol memberi produksi yang baik pada beberapa tahun pertama, selama unsur-unsur hara dipermukaan tanah terkumpul melalui proses biocycle belum habis (Hardjowigeno, 1993). Usaha pertanian di tanah Ultisol akan menghadapi sejumlah permasalahan. Tanah Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan kandungan Al, Fe, dan Mn terlarut tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis tanah ini biasanya miskin unsur hara esensial makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro Zn, Mo, Cu, dan B, serta bahan organik (Taufiq et al. 2004 dalam Subandi 2007). Meskipun secara umum tanah Ultisol atau Podsolik Merah
5
Kuning banyak mengandung Al dapat ditukar (Al-dd) (20-70%), namun hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa contoh tanah tersebut mengandung Aldd relatif rendah (< 20%). Maka dalam pengelolaannya untuk pertanaman, secara teknis, terdapat dua pendekatan pokok yakni pemilihan jenis komoditas atau varietas yang adaptif serta perbaikan kesuburan tanah dengan ameliorasi dan pemupukan (Subandi, 2007). 2.2.
Botani Jagung Menurut Tjitrosoepomo (1991) secara taksonomi tumbuhan jagung
termasuk ke dalam kelas Monocotyledonae (tumbuhan berkeping tunggal), dengan ordo Poales, famili Graminae, genus Zea dengan spesies Zea mays L. Tanaman jagung berumah satu, dengan bunga jantan (tassel) tumbuh pada ujung batang utama dan bunga betina (tongkol) tumbuh terpisah pada ketiak daun. Umumnya bersifat protandri, yaitu bunga jantan lebih cepat dewasa dibandingkan bunga betina (Muhadjir, 1988). Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber kabohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak termasuk hijauan maupun tongkolnya, diambil minyaknya (dari biji), dibuat tepung (dari biji, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetikanya juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi. Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80 - 150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1 m sampai 3 m, ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6 m. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas
6
sebelum bunga jantan. Meskipun beberapa varietas dapat menghasilkan anakan (seperti padi), pada umumnya jagung tidak memiliki kemampuan ini. Menurut Effendi (1985), jagung dapat tumbuh baik hampir di semua macam tanah. Tanaman jagung toleran terhadap pH agak masam sampai alkali. Jagung tumbuh baik pada kisaran pH tanah antara 5,5 – 7,0 dengan pH optimum 6,0 – 7,0. Jagung juga sangat peka terhadap kelembaban tanah yang rendah dari mulai awal pertumbuhan sampai akhir pembentukan biji. Kelembaban relatif adalah sebesar 42 – 80%, sedangkan pada masa pemasakan kelembaban relatif sebesar 60 – 64%. 2.3.
Bahan Humik (Humic Substances) Menurut Goenadi (1999), potensi penggunaan asam humik telah banyak
mendapatkan perhatian selama dekade terakhir. Banyak ahli riset menyatakan keuntungan yang didapatkan dalam penerapan asam humik untuk pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Meskipun karakteristik bahan humik yang mengalami banyak variasi sesuai dengan sumber-sumber yang diekstrak, namun efek umum dari aplikasi asam humik menunjukkan gejala yang sangat meyakinkan. Namun, di Negara Indonesia, informasi tentang potensi asam humik tersebut masih terbatas, yang menyebabkan kurangnya pengetahuan di antara para ilmuwan di negara ini tentang potensi luar biasa dalam mengaplikasikan asam humik. Bahan humik (humus) merupakan produk akhir dari dekomposisi bahan organik, dan biasanya berisi jumlah besar unsur mikro. Berisi hingga 5000 kalori per gram, memberikan energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Bahan humik ini meningkatkan kapisitas air tanah, sehingga hal ini membantu tanaman melawan kekeringan dan menghasilkan panen yang lebih baik dalam kondisi air berkurang. Bahan humik sangat berpengaruh dalam proses geokimia dan lingkungan hidup di tanah. Sebagai komponen utama dari bahan organik tanah, cara kerja bahan humik dalam interaksi dengan logam dalam tanah tidak diragukan lagi. Namun hal tersebut tergantung pada parameter geokimia, bahan humik dapat bertindak sebagai penghambat proses geokimia atau bahkan kebalikannya, yaitu mempengaruhi migrasi non logam. Sebuah aspek penting dalam memahami proses-proses ini adalah sifat konformasi bahan humik. Pada
7
kondisi tertentu, bahan humik dapat membentuk koloid, mengendap melalui agregasi atau tetap dalam larutan sebagai kompleks yang bermuatan negatif. Untuk itu, efek ukuran dan bentuk molekul dari bahan humik harus diperhitungkan (Franke et al., 2002). Bahan humik sebagai inti bahan organik didominasi oleh asam humik dan fulvik. Menurut Orlov (1985) Asam humik yang terkandung di dalam humic substance tidak hanya mengandung hara makro seperti C, H, O, N, dan S tetapi juga mengandung beragam asam amino. Asam-asam amino yang terkandung di dalam asam humik memiliki kemampuan mirip hormon auksin dan giberallin, dan diyakini mampu meningkatkan permeabilitas membran dan mengakselarasi penetrasi unsur hara ke dalam akar tanaman serta memperluas zona perakaran (rhizosphere).
Di samping itu senyawa ini meningkatkan kadar hijau daun
sehingga laju fotosintesis dan respirasi juga meningkat. Lebih jauh lagi, senyawa humik diyakini mampu melindungi perusakan asam indol asetat (IAA), yang berfungsi memacu pertumbuhan tanaman, oleh enzim IAA oksidase. Menurut Goenadi dan Sudharama (1995) fungsi asam humat dalam serapan tanaman terbukti cukup nyata sehingga memungkinkan dosis yang diperlukan nyata lebih kecil daripada pupuk konvensional.
Berdasarkan fenomena ini pemupukan
dengan penambahan bahan ini diharapkan
mampu meningkatkan efisiensi
produksi melalui pengurangan dosis pupuk kimia dan peningkatan hasil panen. 2.4.
Pupuk Majemuk Pupuk majemuk dinamakan demikian karena merupakan hasil campuran
dari beberapa pupuk. Di Amerika dikenal dengan mixed fertilizers dan di Eropa disebut compound fertilizers, sedangkan di Indonesia dikenal sebagai pupuk majemuk. Pupuk ini dapat mengandung dua atau lebih unsur makro atau campuran makro dan mikro. Oleh karena itu disebut juga multi nutrient fertilizers (Leiwakabessy, 2004). Pabrik pupuk majemuk sekarang banyak di Amerika dan Eropa karena menguntungkan petani baik dari segi budidaya tanaman maupun dari segi biaya dan aplikasi lapang. Keuntungan dari segi agronomik diperoleh dengan cara menyesuaikan campuran pupuk dengan kebutuhan tanaman dan kondisi tanah.
8
Selanjutnya petani memperoleh manfaat karena (1) biaya transport lebih murah, (2) tidak memakan tempat dalam penyimpanan dan (3) hemat tenaga kerja dan lebih cepat dalam pemberian di lapang (Leiwakabessy, 2004). Bahan baku utama dalam pembuatan pupuk majemuk hara makro adalah fosfat alam, asam sulfat, amoniak dan kalium klorida. Ketiga bahan baku yang pertama atau turunannya dalam perbandingan tertentu menghasilkan pupuk N-P dan N-P-S. Apabila ditambahkan KCl maka jadilah pupuk majemuk N-P-K atau N-P-K-S (Leiwakabessy, 2004). 2.5.
Pupuk Organik Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal
tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Pembenah tanah atau soil ameliorant menurut SK Mentan adalah bahan-bahan sintesis atau alami, organik atau mineral (Simanungkalit et al., 2006). Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos baik yang berbentuk cair maupun padat. Pupuk organik bersifat bulky dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga perlu diberikan dalam jumlah banyak. Manfaat utama pupuk organik adalah dapat memperbaiki kesuburan kimia, fisik dan biologis tanah, selain sebagai sumber hara bagi tanaman. Pupuk organik dapat dibuat dari berbagai jenis bahan, antara lain sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa), serbuk gergaji, kotoran hewan, limbah media jamur,
9
limbah pasar, limbah rumah tangga dan limbah pabrik, serta pupuk hijau. Karena bahan dasar pembuatan pupuk organik bervariasi, kualitas pupuk yang dihasilkan juga beragam sesuai dengan kualitas bahan asalnya. Pemakaian pupuk organik terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga perlu ada regulasi atau peraturan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pupuk organik agar memberikan manfaat maksimal bagi pertumbuhan tanaman dan tetap menjaga kelestarian lingkungan3. 2.6.
Pupuk Cair dan Pupuk Organik Cair HIS Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan
unsur-unsur essensial guna mendorong pertumbuhan tanaman, meningkatkan produksi atau memperbaiki kualitasnya. Penggolongan pupuk umumnya didasarkan pada sumber bahan yang digunakan, cara aplikasi, bentuk dan kandungan unsur haranya. Banyak sekali bahan yang dapat dikelompokan sebagai pupuk sesuai definisinya. Bahan-bahan ini bisa berpengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap perbaikan nutrisi tanaman, mereka dapat berasal dari kebun atau organik alam dan dari pabrik, mereka bisa merupakan senyawa anorganik (mineral) atau organik dan juga bisa dari satu atau lebih unsur hara, dan lain-lain (Leiwakabessy, 2004). Berdasarkan bentuknya, pupuk organik dibagi menjadi dua, yakni pupuk cair dan padat. Pupuk cair adalah larutan mudah larut berisi satu atau lebih pembawa unsur yang dibutuhkan tanaman. Kelebihan dari pupuk cair adalah dapat memberikan hara sesuai dengan kebutuhan tanaman. Selain itu, pemberiannya dapat lebih merata dan kepekatannya dapat diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman4. Pupuk yang digunakan dalam penelitian adalah pupuk berbentuk cair. Sebuah inovasi produk Pupuk Organik Cair (POC) HIS yang memadukan fungsi biokimia dari inti bahan aktif senyawa organik berupa bahan humat yang didominasi oleh asam-asam humik dan fulvik dan fungsi nutritif dari unsur hara 3 4
www.pustaka-deptan.go.id diakses pada 15 Desember 2009 www.agromedia.com diakses pada 1 Januari 2010
10
makro dan mikro yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berproduksi secara menguntungkan. Asam-asam humik dan fulvik mengandung banyak asam amino yang berkemampuan mirip hormom auksin dan giberelin, dan diyakini mampu meningkatkan permeabilitas membran dan mengakselerasi penetrasi unsur hara ke akar dalam tanaman serta memperluas zona perakaran (rhizosphere). Pupuk ini mengandung bahan humik 8-12%, dan unsur-unsur lainnya seperti N, P, K, Cu, Zn, dan lain-lain. Pupuk ini memiliki pH sekitar 8-9. Dosis POC HIS ini untuk tanaman hortikultura dan pangan dianjurkan 3-5 liter/ha. Pengaplikasiannya yaitu dengan cara diencerkan terlebih dahulu 100-200 kali, disemprotkan di daerah perakaran. 2.7.
Efisiensi Pemupukan Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (2004), efisiensi pupuk mempunyai
beberapa pengertian antara lain yang dinyatakan dengan batasan sebagai berikut, yaitu efisiensi pupuk adalah persentase perbandingan jumlah hara yang diserap dengan jumlah hara yang ditambahkan. Batasan yang lain yaitu efisiensi pupuk adalah sampai sejauh mana tanaman dapat memanfaatkan unsure hara yang telah diserap untuk berproduksi lebih tinggi tanpa menambah hara yang diperlukan. Batasan pertama hanya memperhitungkan efisiensi hara yang berasal dari pupuk yang masuk ke tanaman, tanpa melihat respon tanaman akibat pemupukan. Sedangkan batasan kedua lebih mementingkan respon tanaman akibat pemupukan, karena lebih condong kepada efisiensi berproduksi tinggi yang dipakai dalam sistem pertanian. Tidaklah mudah menentukan efisiensi pemupukan karena ada berbagai cara mengukurnya, yang masing-masing memberikan hasil yang tidak sama. Disamping itu ada hubungan hakiki antara unsur hara dan kehidupan tanaman yang perlu diperhatikan dalam mengharkatkan efisiensi pemupukan. Ada unsur hara yang memang hanya diperlukan tanaman dalam jumlah sedikit, bahkan kalau lewat batas sedikit saja ada yang sudah meracuni atau meurunkan mutu hasil. Ada pula unsur hara yang selalu dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak. Oleh karena itu fungsi fisiologis dan kelakuan kimiawi tiap unsure hara berbeda, maka ukuran efisiensinya berbeda pula. Unsur hara mikro selalu mempunyai efisiensi
11
pemupukan lebih tinggi dari pada unsur hara makro. Pada tanaman yang hasil panennya berupa bagian vegetatif (sayuran), unsur hara yang terutama untuk pertumbuhan vegetatif (N) tentu mempunyai efisiensi pemupukan lebih tinggi dari pada yang terutama diperlukan untuk perkembangan generatif (P) yang tidak tercakup dalam biomassa berguna (Notohadiprawiro et al., 2006). Menurut Santi et al. (2007) dalam praktek, usaha efisiensi pemupukan dapat ditempuh dengan melakukan dua pendekatan, yaitu (i) peningkatan kesuburan tanah dan (ii) modifikasi produk pupuk yang lebih efisien. Peningkatan pertama ditempuh melalui usaha peningkatan daya dukung tanah dengan input hayati, baik berupa bahan organik maupun mikroorganisme. Dengan meningkatnya kesuburan tanah, efisiensi penggunaan pupuk oleh tanaman dapat diperoleh. Pendekatan kedua lebih menekankan kepada perakitan produk baru yang lebih efisien dalam pengertian dosis aplikasi dapat dikurangi karena efektifitas produk pupuknya ditingkatkan dan/atau biaya produksinya dapat dikurangi. Sebuah inovasi produk Pupuk Organik Cair HIS, dirakit guna mencapai aplikasi optima dalam upaya efisiensi pemupukan tanaman. Pupuk ini memadukan fungsi biokimia dari inti bahan aktif senyawa organik berupa bahan humat. Bahan humik yang berfungsi seperti hormon pertumbuhan dan dapat meningkatkan
kesuburan
tanah
diharapkan
mampu
mencapai
efisiensi
pemupukan. 2.8.
Analisis Tanaman Menurut Ulrich (1976) dalam Sutedjo (1992) dalam ”Plant Tissue
Analysis” mengatakan bahwa apa yang terdapat dalam tubuh tanaman sangat berhubungan dengan pertumbuhannya pada tanah dengan kadar hara yang dikandungnya. Hal ini berarti pertumbuhan tanaman akan tetap berlangsung baik apabila kadar hara yang terkandung dalam tanah tempat tumbuhnya masih baik, laju pertumbuhan tanaman itu akan menurun dengan menurunnya kadar hara yang terkandung dalam tanah yang diperlukan tanaman itu. Analisis Tanaman diartikan sebagai penetapan konsentrasi suatu unsur dalam contoh dari bagian tertentu atau bagian tanaman yang diambil contohnya
12
pada waktu atau tingkat perkembangan morfologi tertentu. Konsentrasi unsur biasanya dinyatakan berdasarkan berat kering. Dalam arti luas, analisis tanaman mencakup analisis komponen organik, seperti asam amino atau asam-asam organik lainnya, yang menentukan kualitas tanaman (Munson dan Nelson, 1973 dalam Leiwakabessy, 2004). Analisis tanaman peranannya semakin meningkat dalam perkembangan teknologi ekonomi produksi pertanian. Penggunaan konsep analisis tanaman sudah relatif tua. Akan tetapi, pembaharuan perhatian dan aktivitasnya meningkat cepat pada akhir-akhir ini. Hal ini merupakan bagian kemajuan yang nyata atau sejalan itu, sumbangan dari semakin banyaknya referensi standar dari para peneliti untuk tanaman. Menurut Aldrich (1973) dalam Leiwakabessy (2004), analisis tanaman dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) analisis total atau analisis kuantitatif (analisis kimia total atau analisis spektrografik) dan (2) analisis semi kuantitatif (uji cepat jaringan tanaman). Tujuan dari analisis tanaman diantaranya adalah (1) Mendiagnosis atau memperkuat diagnosis gejala yang terlibat; (2) Mengidentifikasi gejala yang terselubung; (3) Mengetahui kekurangan hara sedini mungkin; (4) Menunjukkan bagaimana hara diserap tanaman; (5) Mengetahui interaksi atau antagonisme di antara hara; (6) Membantu pemahaman fungsi hara dalam tanaman.