II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Sifat umum Ultisol Ultisol adalah tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut, mempunyai
kandungan liat tinggi di horizon B (horizon Argilik), bersifat masam dan kandungan basa kurang dari 35% pada kedalaman 1,8 m dari permukaan tanah atau 1,25 m di bawah batas atas horizon Argilik atau kandik (Soil Survey Staff, 1994). Menurut Hardjowigeno (1993), Ultisol hanya ditemukan di daerah-daerah dengan suhu tanah rata-rata lebih dari 80 C. Ultisol umumnya berkembang dari bahan induk tua, seperti batuan liat/vulkanik. Problema tanah ini untuk pengembangan pertanian adalah bereaksi masam, kadar Al tinggi, yang menyebabkan racun bagi tanaman dan fiksasi P, unsur hara rendah, serta horizon Argilik yang relatif kedap sehingga menghambat perkembangan akar. Untuk memecahkan masalah tersebut diantaranya perlu dilakukan tindakan pengapuran dan pemupukan serta pengolahan lahan yang tepat. Proses pembentukan Ultisol meliputi beberapa proses sebagai berikut: 1. Pencucian yang intensif terhadap basa-basa merupakan prasyarat. Pencucian telah berjalan cukup lanjut sehingga tanah bereaksi masam. 2. Suhu tanah cukup panas >80 C dan pencucian intensif dalam waktu yang cukup lama, menyebabkan mineral mudah lapuk tinggal sedikit dan terjadi pembentukan mineral liat sekunder dan oksida-oksida. Mineral liat yang terbentuk biasanya didominasi kaolinit dan gibsit. 3. Lessivage (pencucian liat), menghasilkan horizon albik di lapisan atas (eluviasi), dan horizon argilik di lapisan bawah (iluviasi). 4. Meskipun terjadi pencucian yang intensif tetapi jumlah basa-basa di permukaan tanah dapat relatif tinggi akibat siklus hara oleh vegetasi dan menurun dengan kedalaman. 5. Pembentukan plinthite dan fragipan, walaupun bukan sifat yang menentukan kadang-kadang terbentuk pada Ultisol di daerah tropik. Bahan-bahan tersebut biasanya ditemukan pada subsoil di daerah tua. Plinthite berupa massa
4
berwarna merah terang, karena proses reduksi dan oksidasi yang bergantiganti. Fragipan dapat terjadi pada Ultisol yang berdrainase buruk.
2.2.
Botani Jagung Dalam sistem klasifikasi tanaman jagung tergolong kedalam divisi
Spermatophyta, kelas Angiosperm, subklas Monocotyledon, ordo Graminales, family Graminea, genus Zea, dan spesiesnya Zea mays. Sistem perakaran jagung terdiri dari akar seminal, koronal dan akar udara. Akar seminal adalah akar yang tumbuh ke bawah saat biji berkecambah, umumnya berjumlah 3-5 buah. Akar koronal adalah akar yang tumbuh ke atas pada jaringan batang setelah plumula muncul. Akar udara adalah akar yang tumbuh pada buku di atas permukaan tanah yang berfungsi dalam asimilasi dan sebagai akar pendukung untuk memperkokoh batang (Muhadjir, 1988). Jagung merupakan tanaman berumah satu Monocioeus dan letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina pada satu tanaman. Jagung termasuk tanaman C4 yang mampu beradaptasi baik pada faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan hasil. Ditinjau dari segi kondisi lingkungan, tanaman C4 mampu beradaptasi terhadap terbatasnya banyak faktor seperti intensitas radiasi surya tinggi dengan perbedaan suhu siang dan malam yang tinggi, curah hujan rendah dengan cahaya musiman tinggi disertai suhu tinggi serta kesuburan tanah yang relatif rendah (Muhadjir,1988). Batang tumbuh mencapai diameter 3-5 cm dan biasanya memiliki 14 ruas. Ruas batang yang pendek sebagai pangkal batang dan semakin ke atas semakin panjang dan berakhir dengan rangkaian bunga jantan di bagian ujung tanaman. Daun tumbuh pada masing-masing ruas batang berselang-seling dalam dua barisan pada batang (Effendi, 1984). Jagung merupakan tanaman yang peka terhadap kekurangan unsur nitrogen. Kebutuhannya terhadap sumber nitrogen (urea) dapat mencapai 250-300 kg/ha. Pupuk urea ini diberikan 1/3 dosis saat tanam dan saat tanaman berumur 4 minggu setelah tanam. Pupuk SP-36 dengan dosis 200 kg/ha dan KCL sebesar 75100 kg/ha diberikan pada saat tanam (Purwono dan Purnamawati, 2008).
5
Kemiringan tanah yang optimum untuk tanaman jagung maksimum 8% karena kemungkinan terjadinya erosi tanah sangat kecil. Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub-tropis/tropis basah. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan secara merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji, tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan sinar matahari. Tanaman yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat, biji yang dihasilkan kurang baik, bahkan buahnya tidak dapat terbentuk. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21-340 C. Namun, bagi pertumbuhan tanaman jagung yang ideal memerlukan suhu optimum antara 23-270 C. Saat proses perkecambahan, benih jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 300 C.
2.3.
Bahan Humik (Humic Substances) Bahan humik dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah, baik sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah. Tan (1982) mengatakan bahwa bahan humik adalah bahan koloidal terpolidispersi yang bersifat amorf, berwarna kuning hingga coklat-hitam dan mempunyai berat molekul relatif tinggi. Bahan humik berperan dalam reaksi kompleks dalam tanah dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, dapat memperbaiki kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik, kimia dan biologi tanah. Secara langsung bahan humik dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan terhadap proses fisiologi lainnya. Menurut Goenadi (1999), potensi penggunaan asam humik telah banyak mendapat perhatian selama dekade terakhir. Banyak ahli riset menyatakan keuntungan yang didapatkan dalam penerapan asam humik untuk pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Meskipun karekteristik bahan humik yang mengalami banyak variasi sesuai dengan sumber-sumber yang diekstrak, namun efek umum dari aplikasi asam humik menunjukkan gejala yang sangat meyakinkan. Namun, di Negara Indonesia, informasi tentang potensi asam humik tersebut masih
6
terbatas, yang menyebabkan kurangnya pengetahuan di antara para ilmuwan di Negara ini tentang potensi luar biasa dalam mengaplikasikan asam humik. Bahan humik sebagai inti bahan organik didominasi oleh asam humik dan fulvik. Menurut Goenadi dan Sudharama (1995) fungsi asam humat dalam serapan tanaman terbukti cukup nyata sehingga memungkinkan dosis yang diperlukan nyata lebih kecil daripada pupuk konvensional. Berdasarkan hal tersebut, maka pemupukan dengan penambahan bahan ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi produksi melalui pengurangan dosis pupuk kimia dan peningkatan hasil panen.
2.4. Pupuk Organik Cair (POC) Pupuk Orgaik Cair (POC) merupakan sebuah inovasi produk pupuk organik cair (POC) yang memadukan fungsi biokimia dari inti bahan aktif senyawa organik berupa bahan humat (humic substance) yang didominasi oleh asam-asam humik dan fulvik dan fungsi nutritif dari unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara menguntungkan. Asam-asam humik dan fulvik dalam bahan humat ini mengandung banyak asamasam amino yang memiliki kemampuan mirip hormon auksin dan giberelin, dan diyakini mampu meningkatkan permeabilitas membran dan mengakselerasi penetrasi unsur hara ke dalam akar tanaman serta memperluas zona perakaran (rhizosphere). Disamping itu, senyawa ini meningkatkan kadar hijau daun sehingga laju fotosintesis dan respirasi juga meningkat. Pupuk Orgaik Cair (POC) mengandung 8-12 % bahan humik dan unsurunsur lainnya seperti N, P, K, Cu, Zn dan lain-lain. Pupuk ini memiliki pH sekitar 8-9. Dosis POC ini untuk tanaman hortikultura dan pangan sekitar 3-5 liter/ha. Pengaplikasiannya yaitu dengan cara diencerkan terlebih dahulu 100-200 kali kemudian disemprotkan di daerah perakaran.
2.5. Pupuk Majemuk Pupuk majemuk merupakan pupuk yang mengandung dua atau lebih unsur makro atau campuran makro dan mikro, sehingga disebut juga multi nutrient fertilizers. Pupuk majemuk dibuat melalui proses dekomposisi kimia di pabrik
7
atau juga dicampur biasa. Komposisi dan kadar dari pupuk majemuk dibuat berdasarkan kebutuhan. Bahan baku utama dalam pembuatan pupuk majemuk hara makro adalah fosfat alam, asam sulfat, amoniak dan kalium klorida. Ketiga bahan baku yang pertama atau turunannya dalam perbandingan tertentu menghasilkan pupuk N-P dan N-P-S. apabila ditambahkan KCl maka jadilah pupuk majemuk N-P-K atau N-P-K-S. Keuntungan pupuk majemuk dari segi agronomik diperoleh dengan cara menyesuaikan campuran pupuk dengan kebutuhan tanaman dan kondisi tanah. Menurut Sabiham et al. (1989) pemakaian pupuk majemuk memberikan keuntungan antara lain lebih praktis dalam pemberian, hemat tenaga kerja serta ongkos pengangkutan dan pemakaiannya.
2.6. Uji Tanah Uji tanah atau soil testing merupakan metode kimia untuk menilai kemampuan suplai hara atau ketersediaan hara dari suatu tanah. Metode ini sifatnya tidak langsung, sehingga untuk memperoleh nilai agronomis dari metode ini diperlukan studi kalibrasi dengan produksi tanaman di lapangan melalui percobaan pemupukan, barulah metode tersebut dapat dipakai untuk mengevaluasi status suatu unsur hara dalam tanah apakah cukup atau kurang.. Larutan kimia yang digunakan harus bersifat selektif artinya larutan tersebut hanya mengekstraksi bentuk-bentuk unsur yang tersedia saja bagi suatu tanaman, sehingga setiap metode ekstraksi harus dinilai melalui studi korelasi dengan serapan hara oleh tanaman. Contoh tanah sebenarnya merupakan syarat pertama untuk kualitas uji tanah. Apabila contoh tanahnya representatif untuk lahan yang dimaksud, maka interpretasi dan saran yang dibuat akan bermanfaat. Tetapi apabila contoh tanahnya jelek maka semua informasi akan sia-sia. Oleh karena itu teknik pengambilan contoh (sampling) tanah harus betul-betul diperhatikan. Keuntungan dari metode uji tanah ialah : 1) cepat, apalagi dengan hadirnya berbagai instrument yang canggih; 2) cukup teliti dan tepat; 3) dapat direproduksi oleh siapa saja; dan 4) sederhana, sehingga para peneliti atau analis mudah melakukannya. Metode ini pun mempunyai beberapa kelemahan, yaitu : 1) perlu
8
peralatan dan bahan kimia tertentu yang cukup mahal; 2) perlu pengetahuan tertentu; 3) metode-metode ini perlu dikorelasi dengan serapan hara di rumah kaca dan dikalibrasi dengan produksi tanaman di lapangan agar dapat diinterpretasi dengan baik (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).
2.6.1. pH Tanah Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Setiap tanaman memerlukan jumlah hara dalam komposisi yang berbeda-beda, pengetahuan tentang pengaruh pH terhadap pola ketersediaan hara tanah dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan tanaman yang sesuai pada suatu jenis tanah. Melalui berbagai penelitian telah diketahui bahwa tanaman tertentu mempunyai kisaran pH ideal tertentu pula (Hanafiah, 2005). Untuk penanaman pada tanah yang pHnya tidak sesuai perlu dilakukan perbaikan pH untuk mencapai pH ideal. Pada tanah alkalin, penurunan pH dapat dilakukan dengan penambahan sulfur atau bahan bersulfur, agar sulfur yang dilepaskan membentuk asam sulfur pemasam tanah, sedangkan pada tanah masam peningkatan pH dan sekaligus peningkatan kejenuhan basa dapat dilakukan dengan pengapuran. Kapur karbonat atau kalsit (CaCO3) jika terhidrolisis akan menghasilkan ion hidroksil penaik pH dan kation Ca peningkat kejenuhan basa. Menurut Hardjowigeno (1985) walaupun pH bukan merupakan sifat morfologi tanah, tetapi pengukuran pH di lapang sering dilakukan dengan cara sederhana. Pengukuran pH tanah dapat memberikan keterangan tentang hal-hal berikut: kebutuhan kapur, respon tanah terhadap pemupukan, dan proses kimia yang mungkin berlangsung dalam proses pembentukan tanah.
2.6.2. Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk menjerap dan mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam miliekuivalen per 100 gram. KTK kemudian dihitung sebagai : KTK = ∑ mEk kation dapat dipertukarkan per 100g tanah.
9
Kation-kation “bebas” bisa jadi terikut dan membawa serta anion lawan, sehingga anion-anion tersebut dapat teranalisis bersama-sama dengan kation yang dapat dipertukarkan. Ion-ion dari garam bebas tersebut harus dikurangkan untuk mendapatkan KTK yang sesungguhnya. Kapasitas tukar kation adalah : KTK = jumlah kation yang dapat dipertukarkan – jumlah anion dapat dipertukarkan. Menurut Hanafiah (2005) bahan organik tanah berasal dari tetanaman yang tumbuh di atasnya, sehingga kadar bahan organik tanah tinggi pada lapisan atas tanah
dan
menurun
dengan
bertambahnya
kedalaman
tanah,
sehingga
mempengarui nilai KTK pada profil tanah. Di samping itu, kadar liat (tekstur) dan tipe liat juga menentukan nilai KTK tanah. Kejenuhan basa adalah perbandingan dari jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen, dan dapat ditulis : % KB = (Jumlah basa dipertukarkan (me/100 g) / KTK (me/100 g)) x 100% Kejenuhan basa selalu dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan sesuatu tanah. Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerap untuk tanaman tergantung pada derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa >80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80% dan tidak subur jika kejenuhan basa < 50%. Hal itu didasarkan pada sifat tanah dengan kejenuhan basa 80% akan membebaskan kation basa dapat dipertukarkan lebih mudah dari tanah dengan kejenuhan basa 50% (Soil Science Network, 1991). Terdapat korelasi positif antara % kejenuhan basa dan pH tanah. Umumnya terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Oleh karena itu, tanah-tanah daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai kejenuhan basa yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah.
2.6.3. Nitrogen (N) Nitrogen tanah dibagi dalam dua bentuk, bentuk anorganik dan organik. Bentuk organik merupakan bagian terbesar yang terdapat di dalam tanah dalam bentuk asam-asam amino, protein dan gula-gula amino. Bentuk anorganik ialah NH4+, NO3-, N2O, NO dan gas N2. Pada umumnya tanaman mengambil nitrogen
10
terutama dalam bentuk ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) dan diabsorpsi tanaman berbeda-beda. Tanaman jagung terutama menyerap nitrat (Leiwakabessy, 1988). Nitrogen dibutuhkan oleh tanaman jagung sepanjang hidupnya, tetapi penggunaan yang terbesar adalah sekitar 3 minggu sebelum tanaman berbunga (± 60 hari) sekitar 60% nitrogen telah diserap tanaman. Nitrogen diperlukan terutama dalam pembentukan asam amino yang merupakan senyawa pembentuk protein. Pada jaringan meristematik (jaringan yang sedang berkembang) nitrogen sangat diperlukan. Nitrogen di dalam tanaman bersifat mobil, sehingga gejala kekurangan N terlihat pada daun-daun yang tua karena nitrogen dipindahkan ke jaringan yang sedang berkembang (Koswara, 1982). Tanaman jagung yang kekurangan unsur N akan memperlihatkan pertumbuhan yang kerdil dan daun berwarna hijau kekuning-kuningan yang berbentuk huruf V dari ujung daun menuju tulang daun dan dimulai dari daun bagian bawah terlebih dahulu.
2.6.4. Fosfor (P) Secara umum P dalam tanah dibagi dalam 2 bentuk, bentuk P organik dan P anorganik. Jumlah kedua bentuk ini disebut dengan P total. Bentuk yang tersedia bagi tanaman atau yang dapat diambil bagi tanaman hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah yang ada di dalam tanah. Bentuk P organik biasanya terdapat pada lapisan atas yang lebih kaya akan bahan organik. Kadar P organik dalam bahan organik kurang lebih sama dengan kadarnya dalam tanaman, yaitu antara 0,2 % - 0,5 %. Bentuk P anorganik satu ataupun ketiga ion H dari asam fosfat diganti oleh ion logam, sedangkan pada bentuk organik, satu atau dua ion dari asam fosfat terikat dengan pengikatan ester, sedangkan ion H yang sisa, sebagian atau seluruhnya digantikan oleh ion logam. Fosfor anorganik dapat dikelompokkan dalam 4 fraksi, yaitu alumunium fosfat, besi fosfat, kalsium fosfat dan reductant soluble atau occuladed Fe dan Al-fosfat (Leiwakabessy et al., 2003). Peranan unsur P dalam tanaman adalah sebagai penyusun metabolit dan senyawa kompleks, aktivator dan kofaktor enzim, dan berperan dalam proses
11
fisiologi. Koswara (1986) menambahkan fosfor berperan dalam pembentukan bunga, buah, biji, kematangan tanaman, dan perkembangan akar. Unsur P dibutuhkan oleh tanaman jagung lebih banyak bila dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh tanaman serealia yang lain. Unsur P ini diserap selama pertumbuhan, walaupun sampai permulaan berbunga yang diserap baru 25%. Setelah berbunga dan selama pemasakan biji unsur hara P paling banyak diserap oleh tanaman jagung dalam bentuk H2PO4- dan HPO42- dan pada waktu biji masak, 75% dari P yang dibutuhkan terdapat pada biji. Masalah yang dijumpai pada unsur P adalah jumlah yang sedikit di dalam tanah dan ada fiksasi P sehingga menimbulkan gejala kekurangan P pada tanaman. Tanaman yang kekurangan P akan menimbulkan warna daun yang keunguan, pertumbuhan lambat, kerdil, perakaran dangkal dan sempit penyebarannya, dan berbatang lemah. Pada tanaman jagung kekurangan P juga akan memperlambat keluarnya malai, pembentukan tongkol jagung tidak sempurna dan barisan biji tidak beraturan dengan biji yang kurang berisi (Soepardi, 1983).
2.6.5. Basa-basa Dapat Dipertukarkan Kalsium (Ca) diserap tanaman dalam bentuk ion-ion Ca2+. Kalsium di dalam tanah terdapat dalam 3 bentuk, yaitu kalsium karbonat (CaCO3), ion-ion Ca2+ yang diadsorpsi pada bagian tanah liat dan humus, dan Ca2+ di dalam air tanah. Ca merupakan unsur hara makro esensial yang dibutuhkan oleh tanaman. Ca penting untuk pembentukan dinding sel dari lamela tengah (middle lamela) dan juga berperan dalam pemanjangan sel, perkembangan jaringan meristem dan sintesa protein. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan Ca bagi tanaman adalah: (1) jumlah Ca, (2) kemasaman larutan tanah, (3) KTK, (4) kejenuhan Ca pada komplek pertukaran kation, (5) nisbah Ca terhadap kation lain dalam larutan tanah (Tisdale et al., 1985). Karena memberikan reaksi basa, maka pupuk kalsium di berbagai macam tanah mempunyai pengaruh menaikkan kondisi pH. Kekurangan Ca pada tanaman dapat menyebabkan gangguan pada pembentukan pucuk tanaman dan ujung-ujung akar, sehingga dengan kedua fenomena tersebut pertumbuhan tanaman dapat terhenti.
12
Magnesium (Mg) diserap tanaman dalam bentuk ion Mg2+ dan merupakan satu-satunya mineral penyusun klorofil. Walaupun Mg terdapat di dalam klorofil dalam porsi yang besar, namun sering dijumpai pula dalam porsi yang cukup banyak pada biji-bijian tanaman. Magnesium di dalam tanah berada dalam berbagai bentuk mineral. Yang paling penting ialah kalsium magnesium karbonat (CaMg(CO3)2). Kekurangan Mg terutama timbul pada tanah yang mempunyai pH rendah, hal ini disebabkan karena tanah asam secara alamiah biasanya kekurangan Mg, Mg terkuras kuat pada pH yang rendah, ion-ion H+ menghambat diserapnya ion-ion Mg2+ dan akar tanaman di dalam tanah yang asam tumbuhnya kurang baik sehingga hanya dapat menyerap sedikit Mg (Rinsema, 1983). Kalium dalam tanah terdapat dalam bentuk yang siap tersedia (K-dapat dipertukarkan dan K dalam larutan tanah. Kalium berperan dalam pembelahan sel, fotosintesis (pembentukan karbohidrat), translokasi gula, reduksi nitrat dan selanjutnya sintesis protein, dan dalam aktivitas enzim. Tanaman yang kurang K akan kurang tahan terhadap kekeringan, lebih peka terhadap penyakit, dan kualitas produksi biasanya jelek baik daun, buah maupun biji (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Tanaman jagung memerlukan kalium dalam jumlah tinggi. Sekitar 25% K terdapat dalam biji dan sisanya pada jerami. Akar-akar tanaman mengambil unsur K dalam bentuk K+. Tanaman muda belum memerlukan K banyak, tetapi kebutuhan cepat meningkat terutama menjelang bermalai. Pada saat berambut sekitar 75% dari total K diserap tanaman dan sekitar 1 bulan sebelum panen tanaman telah selesai mengambil hara K dari tanah (Koswara, 1982). Dalam usaha mencukupi kebutuhan unsur natrium (Na), perlu diperhatikan kelebihan unsur tersebut dalam tanaman, dan kondisi tanahnya serta respon tanaman, yang sangat dipengaruhi oleh persentase Na dapat ditukar (Anonim, 1991). Menurut Anwar dan Sudadi (2007) Natrium dapat toksik bagi tanaman pada konsentrasi yang tinggi. Tetapi bagi kebanyakan tanaman masalah toksisitas ini lebih tidak berarti dibandingkan pengaruh Na+ terhadap penurunan pergerakan air dan udara. Konsentrasi Na+ tinggi biasanya berkorelasi dengan pH yang tinggi pula. Meskipun demikian hal ini merupakan masalah sekunder dibandingkan pengaruhnya terhadap pembentukkan lapisan kedap air dan udara serta menurunnya ketersediaan unsur mikro.