18
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karakteristik Ultisol
Ultisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai horizon argilik atau kandik dengan nilai kejenuhan basa rendah. Kejenuhan basa (jumlah kation basa) pada kedalaman 1.8 m dari permukaan tanah kurang dari 35%. Pada umumnya Tanah ini berkembang dari bahan induk tua, seperti batu pasir dan batu liat (Soepraptohardjo, 1961; Hardjowigeno, 2003). Lebih lanjut, Ultisol merupakan tanah yang mengalami perkembangan profil dengan batas horizon yang jelas, berwarna merah hingga kuning. Mengenai konsistensi tanah, Ultisol memiliki konsistensi dimana semakin ke bawah maka akan semakin teguh dan agregat berselaput liat. Ultisol menurut sistem penamaan yang dipublikasikan oleh Soepraptohardjo et al. (1983) salah satunya disebut dengan tanah Podsolik. Di Indonesia, Ultisol mempunyai lapisan permukaan yang sangat tercuci berwarna kelabu cerah sampai kekuningan di atas horison akumulasi yang bertekstur relatif berat berwarna merah atau kuning dengan struktur gumpal, agregat kurang stabil, dan permeabilitas rendah (Rachim dan Suwardi, 2002). Ultisol ditemukan di daerah dengan suhu tanah rata-rata lebih dari 8 oC. Pada tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan yang telah lanjut seperti Ultisol akan membentuk hidrous Fe dan Al dalam jumlah yang tinggi dan dapat bereaksi dengan P membentuk senyawa Al-P dan Fe-P sehingga menjadikan P kurang tersedia bagi tanaman (Tan, 1991). Pada umumnya tanaman yang ditanam di Ultisol memberikan produksi yang baik pada beberapa tahun pertama, selama unsur-unsur hara di permukaan tanah yang terkumpul melalui proses biocycle belum habis. Reaksi tanah yang masam, kejenuhan basa yang rendah, kadar Al yang tinggi, kadar unsur hara yang rendah merupakan penghambat utama bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Untuk penggunaan yang berkaitan dengan pertanian, diperlukan pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan tanah yang tepat (Hardjowigeno, 2003).
19 4
2.2.
Fosfor (P) Dalam Tanah
Menurut Kussow (1971) ada dua tipe reaksi berkenaan dengan retensi P dalam bentuk inorganik dalam tanah, yaitu : (1) reaksi ion fosfat dengan ion-ion kalsium (Ca), aluminium (Al), dan besi (Fe) membentuk senyawa-senyawa sukar larut berupa Ca-P, Al-P, dan Fe-P, (2) reaksi ion fosfat yang berupa adsorbsi pada permukaan CaCO3 atau seskuioksida. Selanjutnya Sanchez (1976) mengemukakan dengan makin tingginya kandungan oksida besi dan oksida aluminium, maka akan makin besar daya fiksasi P tanah tersebut. Dengan demikian P yang ditambahkan pada tanah akan tererap dengan cepat dan kemudian terfiksasi (dapat juga terpresipitasi) dalam bentuk yang sukar larut. Tanaman mengambil P dalam bentuk H2PO4- dan HPO42-. Pada tanah masam tanaman mengambil P dalam bentuk H2PO4- sedangkan pada tanah yang alkalin tanaman mengambil P dalam bentuk HPO42- (Bohn et al., 1979). Dilaporkan pula oleh Tan (1991) bahwa tanaman juga mengambil P dalam bentuk organik. Menurut Soepardi (1983) ketersedian P di dalam tanah, khususnya Pinorganik tergantung oleh beberapa faktor penentu, antara lain : (1) pH tanah, (2) kadar unsur Fe, Al, Mn pada tanah, (3) ketersediaan Ca di dalam tanah (4) jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik, dan (5) aktifitas mikroorganisme pada tanah. Di dalam tanah P terdiri dari beberapa fraksi menurut tingkat ketersedian dan kekuatan ikatannya. Dewasa ini, fraksi-fraksi P didefinisikan berdasarkan bentuk-bentuk P yang diekstrak menggunakan metode yang dikembangkan oleh Tiessen and Moir (1993). Fraksi-fraksi P tersebut adalah sebagai berikut : 1. Fraksi P yang tersedia secara biologi. Fraksi ini diekstrak dengan menggunakan resin (anion exchange resin) dan sodium bikarbonat (NaHCO3) 0.5 M. 2. Fraksi yang dierap melalui pertukaran ligan oleh hidrous oksida besi dan aluminium (Fe-P dan Al-P). Fraksi ini diekstrak oleh 0.1 M NaOH. 3. Fraksi berikutnya adalah fraksi P yang diikat oleh Ca dari senyawa CaCO3 (Ca-P) Fraksi ini diekstrak oleh HCl 1 M.
20 5
4. Fraksi P residu yang merupakan P yang diikat secara kuat (occluded P). Fraksi ini diekstrak melalui destruksi oleh H2O2 dan H2SO4 pekat. Menurut Iyamuremye et al., (1996b) fraksi P yang diekstrak oleh anion exchange resin dan NaHCO3 0.5 M merupakan bentuk P dalam larutan tanah yang tersedia bagi tanaman dan mikroorganisme serta berada dalam keseimbangan dengan fraksi P-inorganik dan fraksi P-organik. Kemasaman tanah dapat mempengaruhi bentuk-bentuk ion P, pada tanah-tanah dengan reaksi sangat masam ion P banyak dijumpai dalam bentuk H2PO4-, kemudian dengan adanya peningkatan pH maka bentuk ion yang dominan adalah HPO42- (Malcolm dan Sumner, 2000). Pada dasarnya, ketersediaan P di dalam tanah masam umumnya rendah jika mineral liat tanah tersebut banyak mengandung Fe dan Al hidrous oksida. Besi dan aluminium hidrous oksida merupakan komponen utama dalam tanah yang mengerap P sehingga P menjadi tidak tersedia (Hartono et al., 2005). Hartono et al.,(2005) juga mengemukakan bahwa karakteristik erapan P akan berbeda pada setiap jenis tanah dan setiap lokasi dimana jumlah dan tingkat kristaliniti Fe dan Al oksida sangat menentukan.
2.3.
Bahan Organik Tanah
Menurut Tan (1991) bahan organik tanah terdiri dari bahan yang terhumifikasi dan tak terhumifikasi. Bagian yang terhumifikasi itu sendiri adalah suatu bahan yang hingga saat ini dikenal sebagai humus atau yang biasa disebut dengan senyawa humat dan merupakan hasil akhir dari dekomposisi bahan tanaman di dalam tanah. Secara tidak langsung senyawa ini dapat memperbaiki kesuburan tanah melalui perbaikan terhadap kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah. Secara langsung senyawa ini diketahui dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan proses fisiologi lainya. Fungsi bahan organik tanah adalah dalam meningkatkan kesuburan kimiawi yaitu melalui peningkatan kapasitas tukar kation. Selain itu bahan organik yang belum terhumifikasi seperti misalnya pupuk kandang yang
21 6
ditambahkan ke dalam tanah dapat menyumbangkan unsur N, P dan K, sehingga meningkatkan ketersediaan unsur-unsur tersebut di dalam tanah. Lebih jauh bahan organik yang belum terhumifikasi dapat melepaskan ion-ion asam organik, sulfat dan flour (Stevenson, 1982; Schnitzer, 1991 dalam Syukur, 2005). Miller dan Donahue (1990) menambahkan bahwa bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme. Dalam kaitan dengan peningkatan ketersediaan P dalam tanah, bahan organik memiliki pengaruh yang besar terhadap penigkatan ketersediaan P di dalam tanah hal ini disebabkan antara lain : (1) reaksi pertukaran dengan ion-ion humat, (2) terbungkusnya partikel Fe2O3 oleh humus sehingga mengurangi kapasitas fiksasi tanah, dan (3) membentuk senyawa kompleks yang stabil (khelat) dengan besi dan alumunium (Leiwakabessy et al., 2003). Menurut Bradleay dan Sieling (1953) asam organik tertentu efektif dalam mencegah pengendapan fosfat oleh Al dan Fe. Sanchez (1976) mengemukakan bahwa fungsi bahan organik pada tanah yaitu : (1) sebagai tempat penyimpanan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman, (2) meningkatkan kapasitas tukar kation, (3) penyangga terhadap perubahan yang cepat karena kemasaman, alkalinitas, salinitas dan keberadaan logam yang beracun.
2.4.
Pupuk Kandang
Penambahan bahan organik dapat dilakukan dengan penambahan pupuk organik pada pertanaman. Pupuk Organik dapat terdiri dari berbagai macam kotoran ternak (kotoran sapi, babi, ayam, dan lain-lain), serta pupuk hijau yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan. Pupuk organik yang berupa pupuk kandang mengandung berbagai macam hara-hara tanaman yang sebagian besar terdapat di dalam persenyawaan kimia yang sama seperti pupuk buatan. Pupuk kandang dibagi dalam dua bentuk, bentuk pertama adalah feces (kotoran) atau kotoran dalam bentuk padat dan bentuk kedua adalah urin (kencing) atau kotoran dalam bentuk cairan (Rinsema, 1983). Menurut Soepardi (1983), nilai pupuk kandang tidak saja ditentukkan oleh jumlah bahan organik yang dikandungnya, tetapi juga kadar nitrogen yang
722
dikandungnya. Pemberian pupuk kandang memungkinkan kondisi bahan organik tanah yang tetap tinggi, walaupun pupuk kandang mempunyai pengaruh terhadap sifat fisik dan biologi tanah, pupuk ini juga dianggap sebagai sumber nitrogen dan pada tingkat tertentu sebagai sumber kalium dan P juga. Dengan demikian, susunan kimia (hara) bahan itu berbeda-beda, tergantung dari: (1) macam ternak, (2) umur dan keadaan hewan, (3) sifat dan jumlah amparan, (4) cara mengurus dan menyimpan pupuk sebelum dipakai. Pupuk kandang memiliki beberapa sifat yang menguntungkan, antara lain : (1) sebagai sumber hara N, P dan K, dan hara mikro yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, (2) meningkatkan daya menahan air, (3) banyak mengandung organisme yang berfungsi menghancurkan bahan organik tanah sehingga menjadi humus. Pupuk kandang seperti yang dipakai di lapang merupakan campuran dari kotoran padat, air kencing, amparan dan sisa makanan (Sarief, 1986).