II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah Gleisol Dalam pengertian teknik secara umum, tanah didefenisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersedimentasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut. Kalsim dan Sapei (2003), tanah dapat diartikan sebagai medium berpori yang terdiri dari padatan (solid), cairan (liquid), dan gas udara (air). Tanah merupakan tubuh alam (natural body) yang terbentuk dan berkembang sebagai akibat bekerjanya gaya – gaya alam (natural force) terhadap bahan – bahan alam (natural material) di permukaan bumi (Hakim et al., 1986). Gleisol adalah jenis tanah yang perkembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor lokal, yaitu topografi yang merupakan dataran rendah atau cekungan dan hampir selalu tergenang air. Ciri-ciri tanah gleisol adalah solum tanah sedang, warna kelabu hingga kekuningan, tekstur geluh hingga lempung, struktur berlumpur hingga masif, konsistensi lekat dan bersifat asam (pH 4.5 – 6.0) (http://www.cerianet-agricultur.blogspot.com, 2009). Karena air tanah yang tinggi, gleisol berada dalam keadaan tereduksi pada bagian tanah yang yang selalu jenuh air. Tidak ada oksigen bebas atau terlarut karena itu tanah berwarna biru kelabu. Dalam mintakat ayunan ait tanah ditemukan bercak kecil kehitaman (segresi mangan), sedang di bagian atas beberapa gleisol yang tidak terjangkau oleh air tanah berada dalam keadaan teroksidasi tetap karena itu tidak ada bercak reduksi dan oksidasi (Buringh, 1979). Tanah gleisol memiliki ciri khas yaitu adanya lapisan glei kontinyu yang berwarna kelabu pucat pada kedalaman kurang dari 0.5 meter akibat dari profil tanah yang selalu jenuh air. Penyebaran di daerah beriklim humid hingga sub humid dengan curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun. Gleisol cokelat kelabu merupakan suatu istilah yang digunakan di Kanada untuk menjelaskan suatu kelompok intrazonal dari tanah – tanah hutan yang
3
berdrainase jelek yang mempunyai horison A kelabu gelap. Tanah ini biasanya mengandung bahan organik tinggi dan mempunyai horison mineral yang berbercak kelabu atau berbercak kelabu kecoklatan (http://www.cerianetagricultur.blogspot.com, 2009). Kesuburan tanah gleisol tergantung pada macam bahan induk dan jeluk air tanah yang membatasi sistem perakaran. Gleisol di daerah tropika mungkin mengandung plintit di dalam jeluk 0-125 cm dan disebut Plinthic Gleysol yang mempunyai horizon A molik atau A umbrik yang dinamakan Mollic Gleysol dan Humic Gleysol. Jika bahan tanah bersifat gampingan, tanah disebut Calkaric Gleysol, dan yang mempunyai kejenuhan basa kurang dari 50% atau yang lebih dari itu, masing-masing dinamakan Dystric Gleysol dan Eutric Gleysol (Buringh, 1979). B. Sifat Fisik Tanah Secara fisik tanah terdiri dari partikel mineral dan organik dengan berbagai ukuran. Partikel – partikel tersebut tersusun dalam bentuk matriks yang pori – porinya kurang lebih 50%, sebagian terisi oleh air dan sebagian lagi terisi oleh udara (Suripin, 2002). Secara umum, tanah memiliki sifat – sifat fisik dan mekanik yang meliputi: 1. Tekstur tanah Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dari berbagai kelompok ukuran partikel individual atau butir – butir primer seperti pasir, debu, dan liat (Foth, 1991). Tekstur tanah yang menunjukkan kasar atau halusnya tanah berdasarkan perbandingan banyaknya butir-butir pasir (sand), debu (silt), dan liat (clay). Menurut Kalsim dan Sapei (2003), tekstur tanah adalah sebaran relatif ukuran partikel tanah. Klasifikasi ukuran partikel tanah menurut Departemen Pertanian Amerika (USDA) dan International Soil Science Society (ISSS) secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1 (Kalsim dan Sapei, 2003), sedangkan diagram segitiga tekstur menurut USDA dapat dilihat pada Gambar 2 (Hillel, 1998).
4
Gambar 1. Klasifikasi tekstur tanah menurut USDA ( ) dan ISSS (
)
Gambar 2. Diagram segitiga tekstur menurut USDA Sistem Unified (Unified Soil Classification (USC)) mengklasifikasikan tanah berdasarkan nilai-nilai konsistensi tanah yaitu batas cair dan indeks plastisitas tanah. Gambar 3 memperlihatkan grafik penentuan klasifikasi tanah berdasarkan sistem Unified (Terzaghi dan Peck, 1987). .
5
Gambar 3. Klasifikasi tanah berdasarkan sistem Unified 2. Struktur Tanah Struktur tanah merupakan penggabungan dari sekelompok partikelpartikel primer tanah. Secara garis besar, struktur tanah dapat dibedakan menjadi struktur lepas (single grained), masif dan agregat. Pada struktur lepas, partikel-partikel primer tanah tidak saling melekat dan tetap dalam butiranbutiran lepas, sedangkan bila partikel-partikel tanah saling melekat dengan sangat kuat membentuk blok yang cukup besar maka disebut struktur masif. Struktur tanah di antara kedua keadaan ekstrim tersebut disebut agregat (Kalsim dan Sapei, 2003). Struktur tanah berkaitan dengan stabilitas, ukuran dan bentuk ped dalam tanah. Ped yang stabil tidak akan hancur apabila direndam dalam air. Bentuk, ukuran dan densitas ped pada umumnya berubah menurut kedalaman. Pada Gambar 4 (Kalsim dan Sapei, 2003) terlihat bahwa bentuk ped dapat berupa bola (spherical) dalam lapisan atas (struktur remah), tetapi dalam subsoil dimana kandungan bahan organiknya lebih rendah bentuk ped akan bersudut (angular) atau struktur blocky atau dapat memanjang prismatik. Struktur tanah menentukan sifat aerasi, permeabilitas dan kapasitas menahan air serta sifatsifat mekanik dari tanah tersebut (Kalsim dan Sapei, 2003) .
6
Gambar 4. Bentuk – bentuk agregat atau ped 3. Permeabilitas Tanah Hardiyatmo (1992) mendefinisikan permeabilitas sebagai sifat dari bahan berpori yang memungkinkan aliran rembesan dari cairan yang berupa air atau minyak mengalir lewat rongga porinya. Pori-pori tanah saling berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga air dapat mengalir dari titik yang berenergi lebih tinggi ke titik yang berenergi lebih rendah. Tahanan terhadap aliran bergantung pada jenis tanah, ukuran butiran, bentuk butiran, rapat massa, serta bentuk geometri rongga pori. Menurut Bowles (1989), permeabilitas suatu bahan penting untuk: a. Mengevaluasi jumlah rembesan (seepage) yang melalui bendungan dan tanggul sampai ke sumur air. b. Mengevaluasi daya angkut atau gaya rembesan di bawah struktur hidrolik untuk analisis stabilitas. c. Menyediakan kontrol terhadap kecepatan rembesan sehingga partikel tanah berbutir halus tidak tererosi melalui massa tanah. d. Studi mengenai laju penurunan (konsolidasi) dimana perubahan volume tanah terjadi pada saat air tersingkir dari rongga tanah saat proses terjadi pada suatu gradien tertentu. Sumarno (2003) mengatakan bahwa hubungan antara pemadatan dan permeabilitas adalah pada kadar air optimum. Koefisien permeabilitas akan
7
turun dengan naiknya tingkat pemadatan dan akan mencapai koefisien terkecil pada kadar air optimum. Pada kondisi kadar air setelah optimum, koefisien permeabilitas cenderung mengalami sedikit kenaikan dengan menurunnya tingkat pemadatan. Koefisien permeabilitas untuk tanah berbutir kasar dapat ditentukan dari uji constant head permeameter dan untuk tanah berbutir halus digunakan uji falling head permeameter. Uji tersebut telah distandarisasikan pada suhu air 20°C, karena viskositas air bervariasi dari suhu 4°C sampai 30°C (Craig, 1991). Nilai permeabilitas tanah pada temperatur 20°C dapat dilihat pada Tabel 1 dan klasifikasi permeabilitas dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Nilai permeabilitas tanah pada temperatur 20°C Jenis Tanah Permeabilitas (cm/detik) Kerikil butiran kasar 10 - 103 10-2 - 10
Kerikil butiran halus, kerikil butiran kasar bercampur butiran sedang Pasir butiran halus, debu longgar
10-4 – 10-2
Debu padat, debu berliat
10-5 – 10-4
Liat berdebu, liat
10-8 – 10-5
Sumber: Hardiyatmo, 1992
Tabel 2. Klasifikasi permeabilitas Permeabilitas Kelas (cm/jam) < 0.125 Sangat rendah 0.125 – 0.5 Rendah 0.5 – 2.0 Agak rendah 2.0 – 6.35 Sedang 6.35 – 12.7 Agak cepat 12.7 – 25.4 Cepat >25.4 Sangat cepat Sumber: Sitorus et al. (1980) dalam Ishak (1991)
4. Berat Jenis Partikel Tanah Hardiyatmo (1992) mendefinisikan berat jenis partikel (spesific gravity (Gs)) sebagai perbandingan antara berat volume butiran padat (γs) dengan berat volume air (γw) pada temperatur 4°C. Berat jenis dari berbagai jenis 8
tanah berkisar antara 2.65 – 2.75. Tanah tak berkohesi biasanya nilai berat jenisnya adalah 2.67, sedangkan untuk tanah kohesif tak organik berkisar antara 2.68 – 2.72. Nilai berat jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Berat jenis partikel tanah Berat jenis partikel Jenis tanah (g/cm3) Kerikil 2.65 – 2.68 Pasir 2.65 – 2.68 Lanau tak organik 2.62 – 2.68 Lanau organik 2.58 – 2.65 Lempung tak organik 2.68 – 2.75 Humus 1.37 Gambut 1.25 – 1.80 Sumber: Hardiyatmo, 1992
5. Berat Isi Tanah (Bulk Density) Menurut Hakim et al (1986), Berat isi tanah merupakan salah satu indikator kepadatan tanah. Semakin padat suatu tanah, maka nilai berat isi tanah semakin besar dan mengakibatkan tanah semakin sulit untuk melewatkan air atau ditembus akar tanaman. Hal ini disebabkan oleh ruang pori yang terdapat di dalam tanah sedikit dan berupa pori mikro. Berat isi tanah basah (wet bulk density= ρt) merupakan total massa dibagi dengan total volume tanah. Akan tetapi, total massa akan bervariasi dengan jumlah air yang ada di dalam tanah, sehingga berat isi tanah kering (dry bulk density = ρd) umumnya digunakan dan didefinisikan sebagai massa tanah kering oven (105°C, selama 24 jam) dibagi dengan total volume tanah. Nilai berat isi kering selalu lebih kecil daripada nilai berat isi basah. Nilai berat isi kering bervariasi dari 1000 sampai 1800 kg/m3. Semakin halus partikel tanah atau semakin tinggi kandungan bahan organik maka bulk density akan semakin rendah. Akan tetapi, jika kepadatan tanah sangat padat maka tanah bertekstur halus menunjukkan berat isi kering yang lebih besar daripada tanah bertekstur kasar (Kalsim dan Sapei, 2003). 6. Porositas (n) dan Angka Pori (e) Porositas merupakan perbandingan antara volume pori dan volume total yang dinyatakan dalam suatu desimal atau persentase (Dunn et al., 1980).
9
Umumnya porositas tanah berkisar antara 0.3 – 0.75, tetapi untuk tanah gambut nilai porositasnya dapat lebih besar dari 0.8 (Terzaghi, 1947 dalam Hardiyatmo, 1992). Hal yang lebih penting dari porositas adalah sebaran ukuran pori. Tanah berpasir dan tanah berliat mungkin mempunyai porositas yang hampir sama, tetapi sifat-sifat yang berhubungan dengan simpanan air, ketersediaan air, dan aliran air tanah berbeda. Hal ini disebabkan karena tanah pasir diameter porinya relatif besar daripada tanah liat. Diameter pori menurut Kalsim dan Sapei (2003) dapat diklasifikasikan sebagai: a. Pori makro (> 100 µm), dapat dilihat dengan mata telanjang sangat penting untuk aerasi dan drainase (aliran gravitasi) tanah. b. Pori meso (30-100 µm), efektif dalam gerakan air baik vertikal ke atas maupun ke bawah (aliran kapiler). c. Pori mikro (< 30 µm), dapat menahan air pada periode kering dan melepaskannya dengan sangat lambat. Angka pori (void ratio) didefinisikan sebagai rasio perbandingan antara volume pori dengan volume padatan. Angka pori biasanya dinyatakan dalam bentuk desimal (Kalsim dan Sapei, 2003). 7. Potensial Air Tanah Muka air tanah (water table) atau phreatic surface adalah suatu batas dalam tanah dimana tekanannya sama dengan tekanan atmosfer. Daerah di atas tanah disebut zona tak jenuh, meskipun terdapat sedikit batas tanah dalam keadaan jenuh karena adanya proses kenaikan kapiler. Air dalam zona tak jenuh disebut lengas tanah (soil moisture), sedangkan istilah air tanah (ground water) umumnya berkaitan dengan air dalam daerah jenuh di bawah muka air tanah (Kalsim dan Sapei, 2003). Tingkat energi air tanah bervariasi sangat besar. Perbedaan tingkat energi air tanah memungkinkan air bergerak dari satu zona ke zona lainnya dalam tanah. Air tanah bergerak dari tempat dengan tingkat energi yang tinggi (misalnya muka air tanah) ke tempat energi yang rendah (misalnya tanah kering). Dengan mengetahui tingkat energi dari beberapa tempat di dalam profil tanah, maka dapat diprediksi pergerakan air tanah (Hakim et al., 1986).
10
Potensial air tanah menurun dengan meningkatnya kandungan air (makin banyak air tanah, makin berkurang energi yang diperlukan untuk menahan air di dalam tanah). Liat yang memiliki nilai pF = 2.0, menggambarkan kenyataan bahwa tanah liat kehilangan air secara lebih berangsur-angsur dibandingkan pasir yang berarti bahwa tanah liat mengikat air lebih banyak (Sutisna, 2006). Daya ikat tanah (pF) terhadap air setelah pemadatan lebih kecil dibandingkan dengan daya ikat tanah (pF) terhadap air pada kapasitas lapang. Hal ini ditunjukkan dengan kadar air untuk pF yang sama pada kedalaman yang sama antara kapasitas lapang dengan tanah yang sudah mengalami pemadatan, maka akan terlihat bahwa kadar air tanah yang telah dipadatkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tanah pada kapasitas lapang (Herlina, 2003). C. Sifat Mekanik Tanah 1. Pemadatan Tanah Pemadatan tanah adalah suatu proses di mana udara dari pori-pori dikeluarkan dengan salah satu cara mekanis. Cara mekanis yang dipakai untuk memadatkan tanah dapat bermacam-macam, yaitu di lapangan biasanya dipakai cara menggilas, sedangkan di laboratorium dipakai cara memukul. Untuk setiap daya pemadatan tertentu kepadatan yang tercapai tergantung pada kadar airnya. Bila kadar air rendah, maka tanah akan keras atau kaku sehingga sulit dipadatkan. Bila kadar air ditambah maka air itu akan berfungsi sebagai pelumas sehingga tanah akan semakin mudah dipadatkan (Wesley, 1973). Pada kadar air tinggi kepadatannya akan menurun karena pori-pori tanah menjadi penuh terisi oleh air yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara memadatkan. Kepadatan tanah biasanya diukur dengan menentukan berat isi keringnya, bukan dengan menentukan angka porinya. Lebih tinggi berat isi kering berarti lebih kecil angka pori dan lebih tinggi derajat kepadatannya. Jadi, untuk menentukan kadar air optimum biasanya dibuat grafik hubungan berat kering terhadap kadar air (Wesley, 1973). Terzaghi dan Peck (1987) menyatakan bahwa tingkat pemadatan tertinggi diperoleh apabila kadar air mempunyai suatu nilai tertentu yang 11
disebut kadar kelembaban optimum (optimum moisture content) dan prosedur untuk mempertahankan agar kadar air mendekati nilai optimumnya selama pemadatan timbunan dikenal sebagai kontrol kadar kelembaban (moisture content control). Pemadatan tanah terjadi apabila proses mekanis yang menyebabkan partikel tanah semakin mendekat. Hal-hal yang mempengaruhi pemadatan tanah adalah kadar air (water content), keragaman ukuran butiran tanah (distribution of soil particles) dan macam usaha pemadatan (compactive effort) (Lambe, 1951 dalam Koga, 1991). Pengujian pemadatan di laboratorium dapat dilakukan dengan beberapa metode yang didasarkan pada perbedaan cara pelaksanaan pemadatannya, seperti (Sosrodarsono dan Takeda, 1976): a. Pemadatan tumbuk yaitu pemadatan yang dilakukan dengan menjatuhkan sebuah penumbuk di atas contoh bahan. b. Pemadatan tekan, yaitu pemadatan yang didasarkan pada prinsip menekan contoh bahan dengan dongkrak hidrolis. c. Pemadatan getar, yaitu pemadatan yang menggunakan daya getaran mesin vibrasi pada contoh tanah. Dari ketiga metode pengujian tersebut, yang paling luas penggunaannya adalah metode penumbukan dan dianggap sebagai penumbukan standar. Hal tersebut disebabkan karena peralatannya yang cukup sederhana demikian juga pelaksanaan pengujiannya (Sosrodarsono dan Takeda, 1976). 2. Konsistensi Tanah Istilah konsistensi berhubungan dengan derajat adhesi antara partikel tanah dan tahanan yang muncul guna melawan gaya yang cenderung berubah atau meruntuhkan agregat tanah. Konsistensi tanah biasa dinyatakan dengan batas cair dan batas plastis (disebut juga batas Atterberg). Konsistensi tanah menunjukkan kekuatan daya kohesi butir-butir tanah dan daya adhesi butir-butir tanah dengan benda lain (Hardjowigeno, 1987). Atterberg (1991) dalam Sunggono (1984) memberikan cara untuk menggambarkan batas-batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan kadar airnya, yaitu:
12
a. Batas cair (liquit limit = LL), menyatakan kadar air minimum di mana tanah masih dapat mengalir di bawah beratnya atau kadar air tanah pada batas antara keadaan cair ke keadaan plastis. Pengukuran batas cair dilakukan dengan menggunakan metode standar. b. Batas plastis (plastic limit = PL), menyatakan kadar air minimum di mana tanah masih dalam keadaan plastis atau kadar air minimum di mana tanah dapat digulung-gulung sampai diameter 3.1 mm (1/8 inchi). c. Indeks plastis (plasticity index = PI), menunjukkan kadar air tanah pada saat tanah dalam kondisi plastis. Konsistensi tanah tergantung pada tekstur, jumlah koloid anorganik dan organik, struktur serta kandungan air tanah. Dengan berkurangnya kandungan air, umumnya tanah akan kehilangan sifat melekat (stickness) dan plastisitasnya sehingga dapat menjadi gembur (friable) dan lunak (soft) (Hakim et al., 1986). Nilai indeks plastisitas dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai indeks plastisitas (PI) dan jenis tanah PI Sifat Jenis tanah Kohesi 0 Nonplastis Pasir Non kohesif < 7 Plastisitas rendah Lanau Kohesif sebagian 7 – 17 Plastisitas sedang Lempung berlanau Kohesif > 17 Plastisitas tinggi Lempung Kohesif Sumber: Hakim et al., 1986
3. Kuat Geser Tanah Kekuatan geser tanah adalah salah satu kekuatan tanah yang diperlukan untuk berbagai hal dalam perencanaan bangunan. Ada empat tipe keruntuhan geser tanah yang dapat didefinisikan dalam pengertian tingkah laku teganganregangan yaitu geser, tekanan, tegangan, dan aliran plastis. Bila tegangan geser suatu tubuh tanah melebihi suatu titik kritis tertentu, maka tanah akan runtuh (Gill dan Vandenberg, 1968 dalam Sutisna, 2006). Parameter kuat geser tanah diperlukan untuk menganalisis daya dukung tanah, stabilitas lereng, dan tegangan dorong untuk dinding penahan air. Menurut Coulomb (1776) dalam Hardiyatmo (1992), ada dua proses mekanis yang bereaksi menentukan puncak kekuatan geser yaitu tekanan dan
13
kohesinya. Total kekuatan geser adalah penjumlahan dari kedua komponen tersebut yang dinyatakan pada persamaan berikut: τ = c + σ tan θ.......................................................................................(1) di mana: τ = Kekuatan geser (kN/m2) c
= Kohesi (kN/m2)
σ
= Tekanan normal pada permukaan geser (kN/m2)
θ
= Sudut geser (º) Metode yang sering digunakan untuk menentukan kekuatan geser tanah
antara lain uji geser langsung (direct sshear test), uji triaksial (triaksial test), uji tekan bebas (unconfined compression test), dan uji geser baling (vane shear test) (Sunggono, 1984). Bowles (1989) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi nilai kuat geser tanah antara lain: a.
Tekanan efektif atau tekanan antar butir.
b.
Saling keterkuncian antar partikel jadi, partikel – partikel yang bersudut akan lebih saling terkunci dan memiliki kuat geser yang lebih tinggi (θ yang lebih besar ) daripada partikel – partikel yang bundar yang dijumpai pada tebing – tebing atau deposit – deposit glasial.
c.
Kemampuan partikel atau kerapatan.
d.
Sementasi partikel yang terjadi secara alamiah atau buatan.
e.
Daya tarik antar partikel atau kohesi.
f.
Kadar air tanah untuk tanah kohesif.
g.
Kualitas contoh (berhubungan dengan gangguan, retakan, celah, dan hal-hal yang serupa).
h.
Metode pengujian yang dilakukan.
i.
Pengaruh – pengaruh lainnya seperti kelembaban, temperatur, keterampilan operator, motivasi pekerja laboratorium, dan kondisi peralatan laboratorium.
14
D. Tanggul Tanggul merupakan salah satu bentuk dari bendungan urugan homogen. Dikatakan demikian karena tanggul mempunyai bahan pembuat dan bentuk yang hampir sama dengan bendungan. Pembuatan tanggul merupakan salah satu usaha dalam konservasi tanah dan air. Tanggul berfungsi untuk melindungi daerah irigasi dari banjir yang disebabkan oleh sungai, pembuangan yang besar atau laut (DPU, 1986). DPU (1986) menyatakan bahwa rembesan terjadi apabila tubuh tanggul harus mengatasi beda tinggi muka air dan jika aliran yang diakibatkannya meresap ke dalam tanah di sekitar tanggul. Aliran ini mempunyai pengaruh yang merusakkan stabilitas tanggul karena terangkutnya bahan – bahan halus dapat menyebabkan erosi bawah tanah. Jika erosi bawah tanah sudah terjadi, maka terbentuk jalur rembesan antara bagian hulu dan bagian hilir tanggul. Keadaan ini akan mengakibatkan kerusakan sebagai akibat terkikisnya tanah pondasi. Apabila garis rembesan memotong lereng hilir suatu tanggul, maka akan terjadi aliran-aliran filtrasi keluar menuju permukaan lereng tersebut dan terlihat gejala keruntuhan atau longsoran kecil pada permukaan lereng hilir (Sosrodarsono dan Takeda, 1977). Dimensi tanggul menurut DPU (1986) adalah sebagai berikut: a. Tinggi Tanggul (Hd) Tinggi tanggul merupakan beda tinggi tegak antara puncak dan bagian bawah dari pondasi tanggul. Permukaan pondasi adalah dasar dinding kedap air atau dasar zona kedap air. Apabila pada tanggul tidak terdapat dinding atau zona kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara bidang vertikal yang melalui tepi hulu mercu tanggul dengan permukaan pondasi alas tanggul tersebut. Mercu adalah bidang teratas dari suatu tanggul yang tidak dilalui oleh luapan air dari saluran. b. Tinggi Jagaan (Hf) Tinggi jagaan merupakan perbedaan antara elevasi permukaan maksimum rencana air dalam saluran dengan elevasi mercu tanggul. Elevasi permukaan maksimum rencana merupakan elevasi banjir rencana dalam
15
saluran. Elevasi permukaan air maksimum rencana adalah elevasi yang paling tinggi yang diperkirakan akan dicapai oleh permukaan air saluran tersebut. c. Kemiringan Lereng (Talud) Kemiringan
rata-rata
lereng
tanggul
(hulu
dan
hilir)
adalah
perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui puncak dan panjang garis horizontal yang melalui tumit masing-masing lereng tersebut. Crag (1991) menyatakan bahwa kemiringan saluran biasanya ditentukan oleh keadaan topografi. Dalam berbagai hal, kemiringan ini dapat pula tergantung kegunaan saluran, misalnya saluran irigasi, persediaan air minum, dan proyek pembangkit. Pada Tabel 5 memuat kemiringan talud yang dapat dipakai pada berbagai jenis bahan urugan.
Tabel 5. Kemiringan talud untuk tinggi maksimum 10 m Kemiringan lereng Bahan Urugan Vertikal : Horizontal Hulu Hilir Urugan homogen 1 : 3.00 1 : 2.25 Urugan batu dengan inti liat atau dinding diafragma 1 : 1.50 1 : 1.25 Kerikil-kerikil dengan inti liat atau dinding diafragma 1 : 2.50 1 : 1.75 Sumber: DPU (1994)
Sekelompok garis aliran dan garis ekuipotensial disebut dengan jaring arus. Suatu garis ekupotensial adalah garis – garis yang mempunyai tinggi tekanan yang sama (h konstan). Kemiringan garis equipotensial adalah tegak lurus terhadap garis aliran. Pada tanah yang seragam hal ini selalu benar, sehingga rembesan air di dalam tanah dapat digambarkan sebagai deretan garis equipotensial dan deretan garis aliran yang saling berpotongan secara tegak lurus. Gambar 5 merupakan contoh jaringan aliran dalam tubuh tanggul (Wesley, 1973).
16
Gambar 5. Jaringan aliran dalam tubuh tanggul E. Stabilitas Lereng Stabilitas atau kemantapan lereng dipengaruhi oleh gaya penggerak dan gaya penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya yang mempercepat terjadinya longsor pada lereng, sedangkan gaya penahan adalah gaya yang mempertahankan kemantapan dari suatu lereng. Jika gaya penahan lebih besar daripada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami gangguan atau dapat dikatakan bahwa lereng tersebut mantap (Das, 1998). Secara alamiah, tanah atau lereng umumnya berada pada keseimbangan terhadap
gaya-gaya
yang
bekerja.
Apabila
ada
sesuatu
hal
yang
mengakibatkan perubahan keseimbangan, maka tanah atau lereng akan berusaha untuk mencapai keseimbangan baru dengan cara degradasi atau pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran atau gerakan lain sampai tercapai keseimbangan baru. Gaya-gaya gravitasi dan rembesan (seepage) cenderung menyebabkan ketidakstabilan (instability) pada lereng alami, pada lereng yang dibentuk dengan cara penggalian, dan pada lereng tanggul serta bendungan tanah (Craig, 1991). Cara
yang digunakan untuk menghitung kemantapan lereng adalah
suatu “limit equilibrium method” (cara keseimbangan batas), yaitu kita hitung besarnya kekuatan geser yang diperlukan untuk mempertahankan kemantapan
17
dan kita bandingkan dengan kekuatan geser yang ada. Dari perbandingan ini kita mendapatkan fator keamanan. Pada permulaan kita anggap bahwa akan terjadi kelongsoran pada suatu bidang gelincir tertentu, dan kita hitung gaya atau momen yang mencoba menyebabkan kelongsoran pada bidang tersebut akibat berat tanah. Ini disebut gaya penggerak (sliding force) atau momen penggerak (turning moment). Selanjutnya dihitung gaya atau momen yang melawan kelongsoran akibat kekuatan geser tanah yang biasa di sebut momen melawan (resisting moment). Dengan menggabungkan kedua kedua momen ini kita dapat menentukan faktor keamanan terhadap kelongsoran pada bidang geser yang bersangkutan (Wesley, 1973).
Gambar 6. Metode irisan Pada Gambar 6 ditinjau lereng dan bidang gelincirnya. Untuk melakukan perhitungan biasanya lereng perlu di bagi dalam beberapa segmen agar ketidakseragaman tanah dapat diperhitungkan dan gaya normal pada bidang geser dapat ditentukan.
18
Momen penggerak segmen (Wesley, 1973) = Wx...........................................(2) Momen penggerak seluruhnya diperoleh dengan menjumlahkan momen dari setiap segmen. Momen penggerak seluruhnya = Σ Wx...........................................................(3) = Σ W R sin α.................................................(4) Faktor keamanan (Fs) adalah perbandingan antara kekuatan geser yang ada dengan kekuatan geser yang diperlukan untuk mempertahankan kemantapan. Jika kekuatan geser = τ, maka kekuatan geser untuk mempertahankan kemantapan = S/Fs (Wesley, 1973). Jika S adalah gaya pada dasar segmen, maka: S
= (τ l)/Fs.........................................................................................(5)
Sehingga momen melawan segmen
= ((τ l)/ Fs)/ R.................................(6)
Momen melawan seluruhnya
= Σ (τ l/ Fs) R.................................(7) = (R/ Fs) Σ τ l.................................(8)
Dengan persamaan momen (4) dan (8), maka R Σ W sin α = (R/ Fs) Σ τ l ..............................................................................(9) sehingga Fs = (Σ τ l)/ (Σ W sin α)...............................................................(10) dengan: Fs
= Faktor keamanan
τ
= Kekuatan geser (kgf/cm2)
l
= Lebar irisan (cm)
W
= Berat normal (kgf/cm)
Α
= Sudut yang terbentuk antara titik tengah dasar irisan dengan garis vertikal dari titik pengamatan (º)
R
= Jari – jari busur lingkaran (cm)
x
= Jarak horisontal segmen terhadap titik acuan
Pada cara Fellenius, besarnya P (gaya normal) ditentukan dengan menguraikan gaya – gaya lain dalam arah garis bekerja P, yaitu: P
= (W + xn – xn+1) cos α – ( En – En+1) sin α.....................................(11) = W cos α + (xn – xn+1) cos α – (En – En+1) sin α.............................(12)
Nilai (xn – xn+1) cos α – (En – En+1) sin α dianggap sama dengan nol, sehingga P = W cos α.
19
maka, Fs=
Σ (c'l + (W cos α – ul) tan θ))...................................(13)
Tekanan air pori (u) akan dihitung jika terjadi pembasahan (air merembes). Pada cara Fellenius dianggap bahwa resultan gaya pada batas vertikal segmen bekerja dalam arah sejajar dengan dasar segmen. Pada cara Bishop besarnya P diperoleh dengan menguraikan gaya – gaya lain pada arah vertikal, yaitu: –
-
–
)sinα– ulcos α....(14)
Maka, (P – ul) =
–
Pada cara Bishop, nilai
…....….………..(15) –
dianggap sama dengan nol, sehingga:
P – ul = W – l
)…………………………………..(16)
maka dengan mensubtitusikan l = b sec α Fs =
–
)……….(17)
Dengan kata lain, pada cara Bishop dianggap bahwa resultan gaya – gaya pada batas vertikal segmen bekerja pada arah horisontal. Dengan anggapan ini, karena faktor keamanan pada setiap segmen dijadikan sama, maka besarnya (En – En+1) menjadi tentu, sehingga P dapat diketahui. Nilai Fs pada persamaan (17) terdapat di kedua sisinya yaitu di kanan dan di kiri. Oleh karena itu, untuk menghitung besarnya Fs harus dipakai cara iterasi (ulangan), yaitu di ambil nilai Fs sebagai percobaan. Nilai Fs yang diperoleh kemudian dimasukkan di bagian sebelah kanan pada persamaan (17) dan dilakukan perhitungsn dengan nilai Fs yang didapatkan dari perhitungan sebelumnya. Biasanya perhitungan ini hanya diulang sebanyak dua kali. Nilai Fs yang diperoleh dengan cara Fellenius selalu lebih kecil daripada nilai yang diperoleh dengan cara Bishop. Selisih antara keduanya banyak dipengaruhi oleh faktor besarnya tegangan air pori dan besarnya θ. Makin besar tegangan air pori dan θ, maka makin besar selisih antara faktor keamanan menurut cara Fellenius dan cara Bishop (Wesley, 1973).
20
F. Program GEO-SLOPE Geo-slope adalah suatu program dalam bidang geoteknik dan modeling geo-environment yang dibuat oleh Geo-slope Internasional, Kanada pada tahun 2002. Program Geo-slope ini sendiri terdiri dari Slope/W, Seep/W, Sigma/W, Quake/W, Temp/W dan Ctran/W yang mana satu sama lainnya saling berhubungan sehingga dapat dianalisa dalam berbagai jenis permasalahan dengan memilih jenis program yang sesuai untuk tiap – tiap masalah yang berbeda (http://www.geoslope.com). Pengertian untuk tiap program tersebut: 1. Slope/W adalah suatu software untuk menghitung faktor keamanan dan stabilitas lereng. 2. Seep/W adalah suatu software untuk meneliti rembesan bawah tanah. 3. Sigma/W adalah suatu software untuk menganalisa tekanan geoteknik dan masalah deformasi. 4. Quake/W adalah suatu software untuk menganalisa gempa bumi yang berpengaruh terhadap perilaku tanggul, lahan, kemiringan lereng. 5. Temp/W adalah suatu software untuk menganalisa masalah geotermal. 6. Ctran/W adalah suatu software yang dapat digunakan bersama dengan Seep/W untuk model pengangkutan zat – zat pencemar. Slope/W adalah program yang memiliki kualitas ketajaman gambar 32bit, software gratis yang beroperasi di bawah Microsoft Windows. Dengan lingkungan aplikasi windows yang sangat dikenal banyak orang dengan konsep yang simple dan dinamis, maka dimungkinkan setiap orang dengan mudah belajar dan menggunakan Slope/W baik secara tutorial maupun aplikatif (http://www.geo-slope.com, 2004). Slope/W
merupakan
suatu
software
yang
menggunakan
teori
keseimbangan batas (limit equilibrium theory) yang digunakan dalam menganalisa stabilitaas lereng dan menghitung nilai faktor keamanan tanggul. Perumusan Slope/W yang menyeluruh membuat program ini memungkinkan dengan mudah meneliti permasalahan stabilitas lereng, baik yang sederhana maupun yang kompleks dengan menggunakan berbagai metode untuk mengkalkulasi faktor keamanan tersebut. Slope/W dapat diaplikasikan dalam
21
menganalisis dan mendesain pada bidang geoteknik, sipil, hidrogeologika, dan proyek pembangunan bendung. Secara umum, metode analisis stabilitas lereng yang digunakan dalam Slope/W mengikuti beberapa metode yang ada, diantaranya metode Ordinary (Fellenius), metode Bishop, metode Janbu, metode Spencer, metode Morgenstern-Price, metode Crops of Engineering, metode Lowe-Karafiath, metode keseimbangan batas, dan metode tekanan terbatas. Slope/W merupakan perumusan yang menggabungkan dua persamaan faktor keamanan yaitu gaya keseimbangan dan momen irisan. Berdasarkan pemakaian persamaan gaya antar irisan, faktor keamanan untuk semua metode dapat ditentukan dengan menggunakan dua persamaan tersebut. Slope/W terintegrasi dengan Seep/W, Vadose/W, Sigma/W, dan Quake/W. Sebagai contoh, untuk menentukan faktor keamanan suatu lereng yang dipengaruhi oleh adanya tekanan air pori, analisis stabilitas dapat menggunakan data hasil perhitungan Seep/W. Dari hasil akhir program Slope/W dapat diketahui besar nilai faktor keamanan suatu lereng dan mengetahui kondisi stabilitas lereng yang ada, sehingga diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah geoteknik yang berhubungan dengan kestabilan tanah atau lereng, terutama pada bidang pertanian.
22