BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah 1. Hak Atas Tanah a.
Pengertian Hak Milik Landasan idiil Hak Milik adalah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, secara yuridis formil, hak perseorangan ada dan diakui oleh Negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria dan selanjutnya disingkat UUPA). Menurut Hukum Adat, apabila seseorang anggota masyarakat mengerjakan sebidang tanah secara terus menerus dan tanah tersebut berada di dalam lingkungan hak ulayat, serta diusahakan selama beberapa kali panen, maka makin eratlah hubungan antara individu dan tanah itu.24 Hak atas tanah menurut Hukum Adat berarti bahwa yang mempunyai itu dapat berbuat sekehendak hatinya atas tanah itu, tetapi juga harus memperhatikan beberapa pembatasan, yaitu.25 a) Harus menghormati hak ulayat, sepanjang masih ada. b) Menghormati hak-hak pemilik tanah sekitarnya. c) Menghormati aturan-aturan adat. d) Menghormati peraturan-peraturan yang diadakan oleh Negara. Menurut R. Roestandi Ardiwilaga, hak milik menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata sebagai berikut.26 24 25
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Azas-Azas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung, 1982), hlm. 202. Ibid, hlm. 202.
10
“Dahulu hak milik dalam pengertian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bersifat mutlak”. Hal ini sesuai dengan paham yang mereka anut yaitu individualisme, dimana kepentingan individu menonjol sekali. Individu diberi kekuasaan bebas dan penuh terhadap miliknya.27 Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA, dinyatakan bahwa: “Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Menurut penjelasan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang dimaksud Turuntemurun adalah : “Turun-temurun berarti bahwa hak atas tanah itu dapat beralih yaitu dapat dialihkan kepada ahli waris yang berhak. Terkuat berarti hak atas tanah itu jangka waktunya Tidak terbatas selama pemilik hak atas tanah itu ingin menguasai, hak tanah akan terus melekat, terpenuh untuk dapat menjual, menghibahkan, menjaminkan dan lain sebagainya.” Menurut Penjelasan Pasal 20 ayat (1) yang dimaksud Terkuat dan terpenuh disini tidak berarti bahwa hak milik merupakan hak mutlak, karena tidak
terbatas
dan
tidak
dapat
diganggu-gugat
melainkan
untuk
membedakannya dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai dan lainnya. Hal ini untuk menunjukkan di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hanya hak miliknya yang “ter” (artinya: paling) kuat dan terpenuh. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”
26 27
R. Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia, (Bandung : Masa Baru, 1992), hlm. 54. Ibid, hlm. 54.
11
Hal di atas diuraikan dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan: “Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara”. Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum, Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorang haruslah saling mengimbangi. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria yang isinya sebagai berikut: “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”. Selain hak milik mempunyai fungsi sosial yang artinya harus dipakai untuk kepentingan umum, maka adalah sesuatu hal yang sewajarnya, bahwa tanah itu harus di pelihara secara baik-baik, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Pokok Agraria yang isinya sebagai berikut: “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah”. Hak milik juga mempunyai persamaan dengan hak yang lain yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha misalnya hak tersebut juga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan berdasarkan 12
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan Dengan Tanah. Pengertian yang hampir setara dengan hak milik juga dapat dilihat dalam pengertian hak barat yaitu dalam Pasal 570 KUHP: “Hak Eigendom adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu Kebendaan kedaulatan sepenuhnya asal tidak bersalahan dengan Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hakhak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan Undang-Undang dan dengan pembayaran ganti rugi”. Ketentuan Pasal Hak Eigendom adalah hak yang paling mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun, kecuali jika bertentangan dengan Undang-undang dan mengganggu hak-hak orang lain. Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah di kenal dua asas, pertama asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorang pun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.28 Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan di atas tanah hak miliknya, dan segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang di jamin kedua asas tersebut. b. Subyek Tanah Hak Milik Menurut Undang-undang Pokok Agraria Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa: 28
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm8-9
13
“Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik”. Ketentuan pasal tersebut di atas dengan jelas bahwa yang dapat mempunyai hak milik itu hanya warga negara Indonesia saja. Sedangkan hak milik kepada orang asing dilarang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria yang berbunyi: “Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seseorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”. Hak milik dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan badan hukum. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa: “Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat Mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya”. Badan hukum dapat mempunyai hak milik atas tanah kalau ditunjuk khusus oleh Pemerintah. Adapun badan hukum tersebut terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan BadanBadan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah, yang diatur pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang berbunyi: Badan-badan hukum yang disebut di bawah ini dapat mempunyai hak atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal-pasal 2, 3 dan 4 Peraturan ini: 1). Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); 2). Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang Didirikan berdasarkan atas Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara tahun 1958 No. 139); 14
3). Badan-badan Keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; 4). Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. c.
Terjadinya Hak Milik Atas Tanah
Pasal 22 Undang-undang Pokok Agraria disebutkan bahwa: 1. Terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini Hak milik atas tanah terjadi karena: a). Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; b). Ketentuan Undang-Undang. Dengan demikian menurut pasal tersebut, terjadinya hak milik atas tanah terjadi: (1). Menurut Hukum Adat. Terjadinya hak atas tanah karena hukum adat ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Hak milik atas tanah yang terjadi karena hukum adat ini biasanya terjadi dengan pembukaan hutan yang merupakan bagian tanah ulayat suatu Masyarakat hukum adat. Cara lain untuk memperoleh hak milikatas tanah menurut hukum adat adalah dengan terjadinya apa yang disebut Aanslibing,29 yaitu pertumbuhan atau pelebaran tanah yang diakibatkan oleh endapan lumpur di sungai, danau atau laut yang merupakan lidah tanah atau tanah timbul. (2). Penetapan Pemerintah. Terjadinya Hak milik atas Tanah Karena Penetapan Pemerintah menurut Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 22 ayat (2) huruf a. Hak milik atas tanah yang terjadi karena Penetapan Pemerintah ini 29
Efendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1986), hal. 242.
15
akan diberikan oleh Instansi yang berwenang, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, misalnya terjadi hak milik dengan cara transmigrasi dan Hak Guna Usaha. (3). Terjadinya Hak milik Atas Tanah Karena Ketentuan Undang-Undang, Terjadi dengan cara Konversi,30 yaitu dengan berlakunya UndangUndang Pokok Agraria maka hak-hak atas tanah yang berlaku Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria yaitu hak barat dan hak adat beralih menjadi hak-hak atas tanah sesuai Undang-Undang Pokok Agraria, peralihan hak barat dan hak adat ke Undang-Undang Pokok Agraria ini terjadi karena Undang-Undang, yaitu sejak tanggal 24 September 1960. Hal-hal tersebut yang tercantum dalam penjelasan Pasal 22 UndangUndang Pokok Agraria adalah: “Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat, sedangkan cara Memperoleh hak milik, bisa dilakukan dengan beberapa cara peralihan, misalnya: warisan, jual-beli, hibah, menjaminkan, tukarmenukar, pelelangan, pencampuran harta dan sebagainya”. Peralihan adalah setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas Tanah. Untuk peralihan harus dibuatkan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang. Untuk membuat akta itu dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT). Yang dimaksud Pejabat Pembuat Akta Tanah ini diatur dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961, yang ditambahkan dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1963, mereka yang diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah : 1. Notaris. 2. Pegawai-pegawai dan bekas pengawai dalam lingkungan Direktorat Jendral Agraria yang di anggap mempunyai pengetahuan yang cukup
30
Ibid, hal. 244.
16
tentang peraturan pendaftaran tanah dan peaturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah. 3. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah. 4. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian, yang diadakan oleh Dirjen Agraria . Seorang menjadi Pejabat Umum apabila ia di angkat dan diberhentikan oleh Pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut serta melaksanakan kewibawaan dari Pemerintah.31 Melihat pengertian jabatan sendiri, maka istilah jabatan diartikan sebagai pegawai pemerintah yang memegang jabatan (unsur pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan.32 Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya. Sedangkan seorang Notaris dapat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah maka Notaris tersebut harus mengikuti ujian Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Agraria dan apabila Notaris tersebut telah lulus dalam ujian tersebut maka Notaris akan diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah. Selain yang telah disebutkan di atas, selama dikecamatan tersebut belum di angkat seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah,
maka
Camat
karena
jabatannya menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah yang di angkat di daerah kerjanya. Notaris dan PPAT menjalankan tugas Negara dengan membuat akta pertanahan otentik yang merupakan wewenangnya yaitu minuta (aslli akta) adalah merupakan dokumen Negara.33 Setiap peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT, Akta tanah yang di buat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuatkan sertifikat di Kantor Pertanahan Nasional. Pembuatan sertifikat itu dinamakan Agraria 31
32 33
R. Soegondo Notodiseorjo, hukum Notariat di Indonesi, Suatu Penjelasan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hal 44. Badudu Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal 543. R. Soesanto, Tugas, Kewajiban, dan Hak-Hak Notaris, Wakil Notaris, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal 75
17
dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Cara memperoleh hakhak atas tanah bisa dilakukan dengan cara peralihan, sebagaimana diterangkan di atas begitu juga untuk peralihan hak atas tanah karena pewarisan. d. Hapusnya Hak Atas Tanah Mengenai hapusnya hak atas tanah disebutkan dalam Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria yaitu : “Hak milik hapus bila”34 : 1. Tanahnya jatuh kepada negara : Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 Menurut Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat di cabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara-cara yang di atur dengan Undang-Undang. Mengenai pencabutan hak atas tanah ini telah dikeluarkan beberapa peraturan pelaksanaan seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 dan lain-lain yang memberikan penggarisan bagaimana seharusnya pencabutan harus dilakukan. Persoalan hapusnya hak sebagai akibat pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dalam sistem hukum agraria kita hanya ada di dalam ketentuan hukumnya, akan tetapi tidak pernah terjadi praktek. Dalam rangka perlindungan hak-hak atas tanah dari seluruh warga masyarakat institusi iniperlu untuk “dihidupkan” dan dipergunakan bilamana usaha pembebasan tanah yang biasa digunakan tidak mencapai hasil yang sebagaimana yang diharapkan. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
34
Soejono-Abdurrahman, Prosedur Pendaftaran Tanah (Tentang Hak Milik, Hak Sewa Bangunan, Hak GunaBangunan), Rineka Cipta, Jakarta, hal 19-27.
18
Mengenai hapusnya hak atas tanah karena penyerahan yang dilakukan oleh pemiliknya secara sukarela kepada Negara sehingga hak miliknya hilang, biasanya kita temukan orang dengan persoalan “pembebasan tanah” yang biasa kita temukan dalam praktek bagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Oleh sementara pihak, peraturan ini dinilai tidak mempunyai landasan hukum yang kuat karena tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Maksud dari kerelaan dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, “kesukarelaan” merupakan syarat mutlak dalam persoalan ini. Penyerahan karena terpaksa atau dipaksa tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan hapusnya hak seseorang. Bentuk kesukarelaan ini dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dituangkan dalam bentuk “musyawarah” yang dilakukan antara pemegang hak dengan panitia pembebasan hak. Karena ditelantarkan Hak
atas
tanah
menjadi
hapus
karena
pemiliknya
menelantarkan tanah yang bersangkutan. Tanah yang ditelantarkan jatuh kepada Negara. Menurut penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria tanah yang ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuannya dari haknya. Menurut AP. Parlindungan yang berhak menyatakan tanah tersebut dalam keadaan terlantar adalah Menteri Dalam Negeri cq. Direktur Jenderal Agraria Provinsi dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2). Ketentuan mengenai hal ini dicantumkan dalam Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria, karena haknya tersebut akan menjadi hapus dengan berlakunya kedua Pasal tersebut. 19
Kedua ketentuan ini adalah suatu hal yang wajar untuk mencegah adanya orang asing yang mempunyai hak terkuat dan terpenuhnya di Indonesia, sehingga mempersulit penyelesaian kalau timbul suatu hal yang diinginkan. Dalam kenyataan hal yang secara langsung memang jarang terjadi, akan tetapi yang banyak justru yang dilakukan dengan “penyelundupan” dan hal lain ini sulit untuk di bantu. Pemilikan dengan melalui pihak ketiga atau pemilikan secara tersembunyi, pemilikan berkedok adalah hal yang banyak dijumpai dalam
masyarakat
akan
tetapi
mengalami
kesulitan
untuk
membuktikan. Karena Tanahnya musnah Musnahnya tanah yang menjadi hak milik, maka hak milik menjadi hapus. Menurut Boedi Harsono, hak milik sebagai hubungan hukum yang konkrit antara sesuatu subyek sebidang tanah tertentu menjadi hapus bila tanahnya tidak musnah kiranya sudah sewajarnya, karena obyeknya tidak lagi ada. Kemusnahan tanah itu misalnya dapat disebabkan longsor atau berubahnya aliran sungai. Kalau yang musnah itu hanya sebagian, maka hak miliknya tetap berlangsung atas tanah sisanya. 2. Pendaftaran Tanah a. Pengertian pendaftaran tanah Dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA ditentukan bahwa pendaftaran tanah meliputi: 1. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah; 2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; 3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 20
Selain ketentuan di atas pengertian pendaftaran tanah juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa : Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidangbidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya, dan pendaftaran tanah harus didaftarkan namun sebagian besar masih belum didaftarkan35.
Penyelenggaraan
pendaftaran
tanah
dalam
merupakan tugas negara yang dilaksanakan oleh
masyarakat
pemerintah bagi
kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum di bidang pertanahan.36 Lembaga pendaftaran tanah tidak dikenal dalam hukum adat, karena semula tidak diperlukan untuk lingkungan pedesaan yang lingkup teritorial dan personalnya terbatas.37 Dengan adanya perkembangan dan kemajuan pembangunan di
berbagai
bidang,
keadaan
demikian
tentunya
tidak
dapat
dipertahankan lagi. Masyarakat pedesaan juga memerlukan dukungan keterangan yang dihasilkan dari kegiatan pendaftaran tanah. Bachsan Mustafa berpendapat bahwa pendaftaran tanah akan melahirkan sertipikat tanah, mempunyai arti untuk memberikan kepastian hukum, karena hukum jelas dapat diketahui baik identitas pemegang haknya (subjeknya) maupun identitas tanahnya.38 b. Asas pendaftaran tanah 35
36 37
38
Chindy F. Lamia, Peralihan Hak Atas Tanah Warisan, dalam Jurnal Lex Privatum, vol.II/No.3/agsOkt/2014, diakses tanggal 08 Juni 2015, Pukul 15.15 Wib. Teguh Susanto, Panduan Praktis Mengurus Sertipikat Tanah & Perizinannya,ctk.pertama, buku pintar, Yogyakarta, 2014, hlm. 52 K. N. G Soebekti Poesponoto, Azas-Azas dan Susunan Hukum adat, Pradnya Paramitha, Jakarta. 1990, hlm 77 Bachsan Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif, (Remaja Karya CV: Bandung, 1984), hlm 58.
21
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan penjelasannya.39 1. Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat di pahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. 2. Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti, dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. 3. Asas terjangkau yaitu bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan. 4. Asas mutakhir yaitu kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya
dan
kesinambungan
dalam
pemeliharaan
datanya. Data yang tersedia harus menunjukan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu di ikuti kewajiban mendaftarkan dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari. 5. Asas
terbuka
yaitu
adanya
tuntutan
dipeliharanya
data
pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar pada setiap saat dan untuk itulah diberlakukan asas terbuka.40 c. Tujuan pendaftaran tanah
39 40
SP Florianus Sangsun. Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, (visi media: Jakarta, 2007), Hlm 17 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Hukum Tanah Nasional:Jakarta, 2003), hlm 557
22
Tujuan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA juncto Pasal 3 Peraturan Pemerintah Tahun 1997. Dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bahwa: Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bachtiar Effendi menyebutkan ada dua tujuan pendaftaran tanah yaitu: 1. Penyediaan data-data penggunaan tanah untuk pemerintah atau pun masyarakat. 2. Jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah.41 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa: 1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lainnya yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak sebenarnya; 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun yang terdaftar; 3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. d. Objek pendaftaran tanah Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997: 41
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya, (Alumni: Bandung, 1993), hlm 21
23
1. Obyek pendaftaran tanah meliputi : a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunana dan hak pakai; b. Tanah hak pengelolaan; c. Tanah wakaf; d. Hak milik atas satuan rumah susun; e. Hak tanggungan; f. Tanah Negara. 2. Dalam hal ini tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah, pendaftaran dilakukan dengan cara membukukan bidang yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah. e. Sistem pendaftaran tanah Sistem pendaftaran yang digunakan di Indonesia adalah sistem pendaftaran hak atas tanah. Hal ini tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data fisik dan data yuridis yang disajikan serta diterbitkan sertipikat tanah sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dikenal dua sistem yaitu: 1. Sistem positif Bahwa sertipikat berlaku sebagai alat pembuktian yang mutlak maksudnya data yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat diganggu
gugat.
Dengan
melakukan
pendaftaran
tanah
menciptakan suatu hak yang tidak dapat di ganggu gugat dan untuk memastikannya adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup di lihat buku tanahnya.42 2. Sistem negative Menurut sistem ini sertipikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat maksudnya keterangan yang tercantum dalam sertipikat mempunyai kekuatan hukum dan harus di terima oleh hakim 42
Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, (Sinar Grafika: Jakarta, 2006), hlm 121
24
sebagai keterangan yang bena, selamadan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA yang menentukan bahwa: Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3. Tertib Administrasi Pertanahan Tertib administrasi pertanahan sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 3 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah salah satu tujuan pendaftaran tanah yang menjelaskan bahwa tertib administrasi pertanahan itu merupakan perwujudan dari catur tertib pertanahan, yang di muat di dalam catur tertib pertanahan dan diatur di dalam Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1979 tentang Catur Tertib Pertanahan. Tertib administrasi pertanahan di maksud untuk memperlancar setiap urusan yang menyangkut tanah, guna menunjang lancarnya pembangunan kegiatan administrasi pertanahan.43 Tertib administrasi pertanahan diarahkan pada program-program: a. Mempercepat proses pelayanan yang menyangkut urusan pertanahan; b. Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi
masyarakat
perencanaan
sebagai
penggunaan
bahan
tanah
dalam
bagi
penyusunan
kegiatan-kegiatan
pembangunan. Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanahtanah kelebihan batas maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-tanah Negara; c. Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria (pertanahan) maupun di Kantor PPAT; d. Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertipikatan hak atas tanah. Selanjutnya tertib administrasi pertanahan dimaksudkan 43
untuk
memperlancar
setiap
urusan
yang
Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan, (Mandar Maju: Bandung, 1997), hlm. 2
25
menyangkut tanah guna menunjanglancarnya pembangunan nasional. Tertib administrasi pertanahan merupakan keadaan dimana:44 1. Untuk setiap bidang tanah telah tersedia catatan yang lengkap mengenai : a) Ukuran-ukuran dan luasnya; b) Letak, tempat dan batasnya; c) Sifat fisik tanahnya; d) Riwayat pemilik dan penguasanya; e) Subyek haknya; f) Surat-surat keputusan pemberian hak yang berkaitan dengan bidang tanah yang bersangkutan; g) Jenis haknya; h) Saat mulai dan berakhir jangka waktu pemberian haknya; i) Pendaftaran, pensertipikatan, peralihan dan pembebanan yang dilaksanakan terhadap bidang tanah yang bersangkutan; j) Pertukaran atau penggunaan dan tingkat atau keadaan pemeliharaan tanahnya; k) Harga atau nilai tanah; l) Pengenaan PBB. 2. Tercapainya mekanisme atau tata cara kerja pelayanan di bidang pertanahan yang cepat, sederhana dan murah namun tetap menjamin kepastian hukum, yang dilaksanakan secara tertib.45 4. Peralihan Hak Atas Tanah Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa: “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. 44
45
S.W. Endah Cahyowati, Perubahan Data Tanah Hak Milik (Karena jual beli) Dalam Mewujudkan Tertib Administrasi Pertanahan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman, UAJY, 2007, hlm. 38-40 Badan Pertanahan Negara, 1989, hal 3
26
Maksudnya hak atas tanah dapat beralih adalah hak milik dapat orang lain yang berhak. Dari ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUPA, menunjukkan bahwa peralihan hak itu terjadi dengan cara: a. Secara langsung Peralihan secara langsung ini terjadi karena hukum, yaitu dengan meninggalnya si pemilik maka ahli warisnya memperoleh tanah hak itu. b. Secara tidak langsung Peralihan secara tidak langsung atau dialihkan menunjuk pada berpindahnya hak kepada pihak lain karena perbuatan hukum yang di sengaja dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak itu. Adapun perbuatan hukum itu adalah: jual-beli, hibah, tukar-menukar dan hibah wasiat atau legaat dan sebagainya. 5. Jenis Dan Macam Peralihan Hak Atas Tanah Jenis dan Macam peralihan hak atas tanah menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, terdiri dari: a. Jual-beli b. Tukar-menukar c. Hibah d. Pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya : 1). Pemindahan hak karena lelang (Pasal 41 Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah) 2). Pemindahan hak karena Pewarisan(Pasal 42 Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah) 3). Peralihan hak milik karena penggabungan atau peleburan perseroan atau Koperasi (Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
27
Jual-beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian timbal-balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Perjanjian
menurut
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
menganut asas konsensualisme, artinya hukum perjanjian menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksud diatas. Tukar-menukar menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah suatu perjanjian dengan mana kedua pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain. Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di masa hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak ditarik kembali, menyerahkan suatu barang guna keperluan si penerima hibah, yang menerima penyerahan itu. B. Pengertian Pewarisan Seseorang yang mempunyai hak atas tanah meninggal dunia, maka haknya beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak kepada ahli waris itu terjadi karena hukum yang disebabkan karena pemiliknya meninggal dunia. Pewarisan itu mungkin dengan wasiat tapi kemungkinan juga pemilik meninggal dunia tanpa wasiat terlebih dahulu. Tentang siapa yang berhak mendapat warisan itu, bagaimana dan cara pembagiannya tergantung pada hukum warisan yang berlaku. Pewarisan adalah proses berpindahnya hak dan kewajiban dari seseorang yang sudah meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Hal ini mempunyai pengertian yang sangat jamak, karena di dalam pengertian pewarisan ini sendiri terdapat pengertian-pengertian lain yang
28
berkaitan dengan masalah pewarisan. Mengenai pengertian pewarisan ini, banyak sarjana memberikan definisi pengertian pewarisan sebagai berikut46: a) Pitlo dalam bukunya “Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I”, mendefinisikan bahwa hukum waris yaitu kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris dan akibat dari pemindahan ini bagi orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun antara mereka dengan pihak ketiga. b) Wibowo Reksopradoto dalam bukunya “Hukum Waris Testamen” memberikan definisi bahwa warisan adalah suatu cara penyelesaian perhubungan hukum dalam masyarakat tentang hak-hak dan kewajiban dari seorang yang ditinggalkan, dengan cara-cara peralihannya kepada orang yang masih hidup. Proses pewarisan hal yang terpenting adalah adanya kematian, yaitu seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan kekayaan itu kepada ahli warisnya. Hukum waris, di samping mengatur proses pewarisan, juga mengatur ahli waris yang berhak menerima harta warisan, baik yang bersifat material maupun immaterial. Harta warisan menurut hukum adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang dapat dibagibagi atau tidak dapat dibagi-bagi menurut jenis dan kepentingan para ahli waris. Harta warisan yang tidak dapat dibagi-bagi merupakan milik bersama para ahli waris dan tidak boleh di miliki secara perorangan, kecuali dengan izin atau musyawarah keluarga. Harta warisan yang tidak di bagi-bagi merupakan konsep hukum adat di dalam lingkungan hukum yang berhubungan dengan asas bahwa: harta benda yang di terima dari nenek moyang tidak mungkin di miliki selain secara keseluruhan merupakan kesatuan yang tidak terbagi-bagi47.
46 47
Liliana Tedjosaputro dan wiwiek wibowo, Hukum Waris AB-Intestato, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, 1989, hal 1. Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal 175.
29
Soerojo Wignjodipoero, dalam “pengaturan dan Azas-azas Hukum Adat”, menyatakan48: “Proses peralihan itu sendiri sesungguhnya sudah dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaaan itu masih hidup, serta proses itu selanjutnya berjalan terus sehingga masing- masing keturunan menjadi keluarga baru yang berdiri sendiri (mentas dan mencar) yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi berikutnya (keturunannya) juga”. Lebih lanjut dalam buku tersebut beliau mengutip pendapat Soepomo bahwa proses tersebut tidak menjadi akut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya pewaris adalah suatu peristiwa penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses peralihan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Berkaitan dengan masalah tersebut di atas, di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian dari ahli hukum Indonesia yang telah mencoba memberikan penegasan pengertian hukum waris yang dirumuskan dalam suatu batasan (definisi) antara lain.49 1. Warisan Yaitu kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada ahli waris. 2. Pewaris Adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan Sejumlah harta kekayaan. 3. Ahli Waris Yaitu orang menggantikan kedudukan si pewaris dalam hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris. Membicarakan mengenai pewaris, ahli waris, dan harta warisan, maka berpindahnya hak dan kewajiban kepada ahli waris adalah pasti terjadi dalam kehidupan manusia. Seorang ahli waris di beri kesempatan untuk menerima, menolak atau menerima dengan syarat tidak akan membayar hutang-hutang 48
49
Soerojo Wirgnjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta, Haji Mas Agung, 1987, hal 161. J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung : Alumni 1992), hal. 8.
30
pewaris melebihi bagiannya dalam harta warisannya, namun dalam kehidupan di masyarakat menolak atau menerima dengan syarat adalah hal yang tidak lazim dilakukan. Sekalipun ternyata warisan yang diterima oleh ahli waris adalah beban-beban dan kewajiban-kewajiban, yaitu hutanghutang dari pewaris, namun pada kenyataan warisan yang demikian tetap di terima secara penuh. Walaupun memberatkan, hal ini di terima oleh ahli waris, terutama untuk menjaga nama baik orang tuanya (pewaris), sekaligus sebagai bukti seseorang berbakti kepada orang tua. Pewarisan menurut hukum adat hampir sama dengan pewarisan menurut hukum Islam yaitu harta peninggalan pewaris yang dapat diwarisi para ahli waris adalah harta benda yang dalam keadaan bersih. Hal ini berbeda dengan hukum waris menurut konsepsi hukum perdata barat yang bersumber kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan akan diwariskan. Kekayaan yang dimaksud adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Harta peninggalan yang dimaksudkan adalah seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang, artinya yang dapat diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya aktiva berupa hak-hak yang bermanfaat, melainkan juga hutang-hutang atau pasiva beserta seluruh kewajiban pewaris yang belum sempat dipenuhi olehnya sewaktu masih hidup. Proses pewarisan yaitu mempunyai pengertian atau dua makna : a. Penerusan atau penunjukan para waris masih hidup, dan b. Pembagian harta warisan setelah waris meninggal dunia berkaitan dengan beberapa istilah tersebut diatas, Hilman Hadikusuma dalam bukunya
mengungkapkan
bahwa
“Warisan
menunjukkan
harta
kekayaan dari orang yang telah meninggal yang kemudian disebut 31
waris, baik harta itu telah dibagi-bagi ataupun masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi“.50 Beberapa penulis dalam ahli hukum indonesia telah mencoba memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun dalam bentuk batasan (definisi). Pedoman dalam memahami hukum waris secara utuh, beberapa definisi diantaranya penulis sajikan sebagai berikut : Wirjono Projodikoro,51 mengemukakan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang yang masih hidup”. Soepomo.52 mengemukakan “Pewaris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generate) kepada keturunannya”. Proses ini telah mulai pada orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal, proses penerusan dan pengoperan harta benda dari harta bukan benda tersebut. R. Santoso Pudjosubroto,53 mengemukakan “Yang di sebut hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban mengatur apakah dan bagaimanakah kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
50 51 52 53
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Alumni, 1980), hal. 23. Wirjono Projodikoro, Hukum Waris di Indonesia, (Bandung : Tarsito), hal. 8. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum, (Jakarta : Universitas, 1996), hal. 72. R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-Hari, (Yogyakarta : Hie Hoo Sing, 1964), hal. 8.
32
B. Ter Haar Bzn.54 dalam bukunya “Azas-Azas dan susunan hukum adat” yang di alih bahasakan oleh K. N G. Soebekti Poesponoto memberikan rumusan hukum waris sebagai berikut: Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud, dari genenerasi. “Hukum waris, adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun hubungan antar mereka dengan pihak ketiga.55 J. G. klassen dan J. Eggens yang dikutip oleh Liliana Tedjosaputra, memberikan pengertian warisan ialah menggantikan tempat orang yang meninggal dalam hubungan kekayaannya.56 Kamus umum bahasa Indonesia yang di maksud dalam pewarisan adalah proses, perbuatan, cara mewarisi atau yang mewariskan.57 Ada 2 (dua) macam pewarisan kitab Undang-Undang hukum perdata yaitu: a. Pewarisan menurut Undang-undang atau kematian. b. Pewarisan dengan surat warisan. Berbicara tentang pewarisan maka erat kaitannya dengan warisan. Warisan menurut Wibowo Reksopradoto yang dikutip oleh Liliana Tedjosaputra, ialah suatu cara menyelesaikan hubungan hukum dalam masyarakat, tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari seorang yang meninggal dunia tentang kekayaan yang ditinggalkan dan cara-cara peralihannya pada orang yang masih hidup.58 54 55
56
57 58
K. N. G. Soebakti Poesponoto, Loc. Cit, hal. 197. A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, ( Jakarta : M. Isa Arif, 1979), hal. 1. Liliana Tejosaputro, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Ab Instetato), (Semarang : Agung Press, 1991), hal. 1. Ibid Ibid, hal. 3.
33
R. Wirjono Prajodikoro, yang dikutip oleh Liliana tedjosaputra, mengartikan bahwa pewarisan ialah: soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.59 Hartono Soeripratikno, yang dikutip oleh Liliana Tedjosaputra, memberikan pengertian bahwa warisan adalah: Harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, suatu kompleks aktiva dan pasiva.60 Tamakira S, memberikan rumusan pengertian warisan adalah: soal apakah dan bagaimanakah berbagi hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia beralih pada orang lain yang masih hidup.61 J. Satrio, memberikan rumusan pengertian warisan adalah: kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.62 Pengertian warisan diatas, maka yang menjadi unsur-unsur untuk terjadinya warisan adalah : 1. Seorang yang meninggal yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan 2. Seseorang atau beberapa ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkannya itu. 3. Harta warisan yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih pada ahli waris. Hukum waris yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih bersifat pluralistic, artinya bermacam-macam sistem hukum waris di Indonesia berlaku bersama-sama dalam waktu dan wilayah yang sama pula. Hal ini terbukti dengan masih berlakunya hukum waris adat, dan hukum waris 59 60 61
62
Ibid Ibid, hal. 4. Tamakiran S, Azas-Azas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, (Bandung : Pionir Jaya, 1992), hal. 8. J. Satrio, Hukum Wais, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 8.
34
Islam, dan hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara bersama-sama, berdampingan mengatur hal waris bagi para subjek hukum yang tunduk pada masing-masing
sistem hukum
tersebut. Di
samping itu khusus dalam bidang hukum adat juga masih menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan hukum waris. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sistem kekeluargaan yang di anut dan terdapat di dalam masyarakat Indonesia, yaitu sistem patrilineal, matrilineal, bilateral atau parental, dan sistem kekeluargaan lainnya yang mungkin ada sebagai
hasil perpaduan serta variasi dari kedua sistem
tersebut, prinsip-prinsip kekeluargaan sangatlah berpengaruh, terutama terhadap penetapan para ahli waris maupun dalam hal penetapan bagian harta peninggalan yang akan diwarisi. Pada dasarnya, baik menurut sistem hukum waris adat, hukum waris Islam maupun hukum waris menurut oleh meninggalnya seseorang dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik materiil maupun immaterial dengan tidak membedakan antara barang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Ketiga sistem hukum waris di atas, sampai saat ini berlakunya masih bergantung pada hukum mana yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia tersebut. Proses pewarisan itu terjadi oleh peristiwa hukum yang sama yaitu kematian seseorang. 1. Pengertian Ahli Waris Menurut KUHPerdata, Adat dan Hukum Islam a. Ahli Waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku asas bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya.63 Syarat sebagai ahli waris, dalam title kedua dalam buku 63
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum perdata, (Jakarta: Intermas, 1977), hal 78.
35
kedua yang mengatur pewarisan menurut Undng-undang, juga berlaku untuk pewarisan menurut surat wasiat, harta yang ditinggalkan berwujud kekayaan akan beralih pada ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata syarat-syarat yang harus dipenuhi ahli waris : 1. a). Ada hubungan darah baik itu sah atau luar kawin (Pasal 832 KUHPerdata) b). Pemberian surat wasiat (Pasal 74 KUHPerdata) 2. Orang yang menjadi ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia (Pasal 836 KUHPerdata) 3. Orang yang menjadi ahli waris tidak termasuk orang yang menyatakan tidak patut, tidak cakap atau menolak warisan orang yang tidak patut untuk mewaris diatur dalam Pasal 838 KUHPerdata dan orang yang tidak cakap untuk pewaris diatur dalam 921 KUHPerdata, sedangkan orang yang menolak warisan diatur dalam Pasal 1058 KUHPerdata.64 Orang-orang Indonesia asli masih banyak yang tunduk pada hukum adat dengan sifat kekeluargaan dan golongan-golongan yang berbeda-beda diberbagai daerah. Untuk mengetahui siapa ahli warisnya mempunyai ketentuan yang berbeda-beda pula untuk setiap daerah pula. Artinya, apabila pewaris atau orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan dengan sejumlah harta kekayaan itu termasuk warga Negara Asli, Maka yang berlaku adalah hukum waris adat, atau dalam hal-hal tertentu apabila dikendaki, maka berlaku pula hukum waris islam bagi mereka yang beragama islam. Apabila pewaris termasuk golongan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa atau timur Asing Tionghoa terhadap mereka diberlakukan hukum Waris BW.65 b. Ahli Waris dalam Hukum Adat Soepomo dalam bukunya mengenai “Bab-bab tentang Hukum Adat” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: hukum adat waris 64 65
Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 2008), hal. 9. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2007), hal. 76.
36
memuat peraturan-peraturann yang mengatur proses meneruskan serta mengoperasikan barang-barang harta benda dan barang-barang harta yang tak berwujud benda (immateraile goderen) dari suatu angkatan manusia kepada turunannya. Proses itu sendiri sesungguhnya sudah dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaan itu masih hidup, jadi tidak harus bergantung pada kematian pewaris.66 Pewarisan menurut hukum perdata Adat didasarkan pada persamaan hak, yaitu hak untuk diperlakukan sama oleh orang tuanya di dalam meneruskan dan mengoperasikan harta benda sekeluarga, di samping dasar persamaan hak, hukum adat waris juga meletakkan dasar keturunan, pada proses pelaksanaan pembagian warisan berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari setiap ahli waris.67 Orang-orang Indonesia asli tidak hanya terdapat 1 (satu) sifat kekeluargaan melainkan mempunyai sifat yang dapat dimasukan dalam 3 (tiga) golongan yaitu : 1. Sifat Keibuan atau Matrilineal Pada dasarnya sifat ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu dan seterusnya keatas mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan. Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di 1 (satu) daerah, yaitu Minangkabau. 2. Sifat Kebapakan atau Patrilineal Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia terdapat pada masyarakat-masyarakat di Tanah gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian jaya dan Bali. 3. Sifat Kebapak dan Keibuan atau Bilateral/Parental
66 67
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Universitas), 1967, hal 34. Soerjono Soekanto, Hukum adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers), hal 163.
37
Sistem ini baik yang menarik sifat keturunan baik melalui garis keturunan bapak maupun garis ibu sehingga dalam kekeluargaan ini pada hakikatnya tidak dapat perbedaan pada pihak ibu dan pihak ayah. Sistem ini di Indonesia terdapat di berbagai daerah antar lain : di Jawa, Madura, Riau, Aceh, Sumatra Selatan, Seluruh Kalimantan, Seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok.68 Ahli waris dalam hukum adat waris parental dalam masyrakat jawa sebagai ahli waris adalah : a. Sedarah adalah ahli waris sedarah yang terdiri atas anak kandung, orang tua, saudara, dan cucu. Ahli waris yang tidak sedarah yaitu anak angkat, janda/duda. Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama anak/anak-anak, kedua orang tua apabila tidak ada anak dan ketiga saudara/saudara kalau tidak ada orang tua. b. Kepunahan atau nunggul pinang adalah pewaris tidak mempunyai ahli waris (punah) atau lazim disebut nunggul pinang, dalam putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 36/1969/PDT tanggal 28 agustus 1969, menyebutkan “apabila seorang tidak mempunyai anak kandung, maka keponakan-keponakannya berhak mewarisi harta peninggalannya yang merupakan barang asal atau barang yang diperolehnya sebagai warisan orang tuanya.69 c. Ahli Waris dalam Hukum Islam Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan, di lain pihak masih ada hukum yang juga hidup dalam masyarakat yang berdasarkan kaidah-kaidah agama, khususnya islam (Al qur’an) sehingga apabila pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama islam, maka tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal mereka akan mempergunakan 68 69
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris, (Bandung : CV Bandarmaju, 1995), hal 5. Yurisprudensi Jawa Barat (1969–1972), Buku I Hukum Perdata (Bandung : LPHKFH–UNPAD, 1974, hal. 36-37.
38
peraturan hukum waris berdasarkan hukum islam.70 Secara garis besar golongan ahli waris dalam Islam dapat dibedakan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu : 1). Ahli waris menurut Al qur’an atau yang sudah ditentukan di dalam Al qur’an disebut dzul faraa’idh. “Yaitu ahli waris yang sudah ditentukan di dalam Al qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak beruba-ubah”.71 Yang terdiri dari beberapa jenis yaitu : (a). Dalam garis ke bawah anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki (QS.IV:11). (b). Dalam garis ke atas : Ayah, Ibu, Kakek dari garis ayah, Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis Ibu (QS.IV:11). (c). Dalam garis ke samping saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah, saudara perempuan tiri (Halfzuster) dari garis ayah (QS.4:176), saudara lelaki tiri (Halfbroeder) dari garis ibu (QS.IV:12), saudara perempuan tiri (Halfzuster) dari garis ibu (QS.IV:12). (d). Duda. (e). Janda (QS.IV:12). 2). Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut Ashabah : Ashabah dalam bahasa arab berarti “Anak laki-laki dan kaum kerabat dari pihak bapak”.72 Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal Sjafi’I adalah golongan ahli waris yang mendapatkan bagian terbuka atau tersisa. Jadi bagian ahli waris yang telah didahulukan dikeluarkan adalah dzul faraa’idh. 3). Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam: Arti kata dzul arhaam adalah “Oang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja”.73 Artinya cucu melalui anak
70 71 72 73
Retno Wulan Sutantio, Wanita dan Hukum Islam (Bandung: Alumni, 1979), hal 85. Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta : Tintamas, 1968), hal. 38. M. Ali Hasan, Hukum Waris Dalam Islam, (Jakarta : Bulubintang, 1993), hal. 26. Sayuti Thalib, Hukum Pewarisan Nasional, (Jakarta : Tintamas, 1969), hal. 38.
39
perempuan, anggota keluarga yang penghubungnya kepada keluarga itu seorang wanita, dzul arhaam akan mewaris kalau sudah tidak ada dzul faraa’idh dan tidak ada pula ashabah. Sistem waris Islam menurut Al qur’an yang merupakan sistem waris Bilateral, disamping di kenal adanya ahli waris dzul faraa’idh yang bagiannya tetap, tentu serta tidak berubah-ubah berdasarkan ketetapan yang ada di dalam Al qur’an, juga terdapat ahli waris ashabah dan ahli waris dzul ahaam. Kedua macam ahli waris tersebut memperoleh bagian sisa dari harta peninggalan setelah hutang-hutang pewaris termasuk ongkos-ongkos biaya kematian, wasiat, dan bagian para ahli waris dzul faraa’idh. Di kenal pula kelompok keutamaan para ahli waris yaitu “Ahli waris yang didahulukan untuk mewaris”.74 Dari kelompok ahli waris lainnya, mereka yang menurut Al qur’an termasuk kelompok yang di dahulukan untuk mewaris atau disebut dengan “kelompok keutamaan”.75 Terdiri dari empat macam, yaitu : a. Keutamaan pertama : 1). Anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan anak yang meninggal dunia. 2). Ayah, Ibu, Duda atau Janda, bila terdapat anak. b. Keutamaan kedua : 1). Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan saudara. 2). Ayah, Ibu, Janda atau Duda, bila tidak ada saudara. c. Keutamaan ketiga : 1). Ibu dan Ayah bila ada keluarga, ibu dan ayah bila salah satu tidak ada anak dan tidak ada saudara. 2). Janda atau Duda. d. Keutamaan keempat : 74 75
M. Ali Hasan, Op. Cit, hal. 68. Hazairin, Op. Cit, hal 33.
40
1). Janda atau Duda. 2). Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti kedudukan ayah.76 2. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan Perolehan hak atas tanah dapat juga terjadi karena pewarisan dari pemilik kepada ahli waris sesuai Pasal 26 UUPA.Pewaris dapat terjadi karena ketentuan undang-undang ataupun karena wasiat dari orang yang mewasiatkan. Jatuhnya tanah Kepada Ahli Waris, terjadilah pemilikan bersama tanah tersebut jika tanah tersebut hanya satu-satunya. Tetapi, jika pewaris memiliki tanah sesuai dengan jumlah ahli waris dan telah dibuatkan wasiat, maka tanah di maksud telah menjadi milik masing-masing ahli waris. Kekuatan pembuktian tanah diperoleh dari hasil pewarisan, maka surat keterangan waris sangat dibutuhkan di samping sebagai dasar untuk pendaftaran tanahnya.77 Menurut K.Wantjik Saleh perlihnj hak mengandung 2 (dua) pengertian yaitu beralih dan dialihkan artinya : a. Beralih adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan seseorang yang mempunyai hak meninggal dunia maka hak itu dengan sendirinya menjadi hak ahli warisnya, dengan kata lain bahwa peralihan hak itu terjadi dengan tidak sengaja dengan suatu perbuatan melinkan karena hukum. b. Dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegang yang semula dan menjadi pihak lain, dengan kata lain bahwa peralihan hak itu terjadi dengan
76 77
Eman Suparman, Op. Cit, hal. 23. Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 19.
41
melalui suatu perbuatan hukum tertentu berupa jual beli, tukar menukar, hibah wasiat (legaat).78 Perbuatan hukum dalam peralihan hak dapat terjadi karena perbuatan yang disengaja misalnya jual beli, tukar menukar, hibah wasiat. Peralihan hak juga dapat terjadi tidak dengan tidak disengaja dengan suatu perbuatan melainkan karena peristiwa hukum, misalnya hak pewaris pada saat meninggal dunia dengan sendirinya menjadi hak ahli warisnya. Ketentuan Pasal 1023 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan semua orang yang memperoleh hak atas suatu warisan, dan ingin
menyelidiki
harta
peninggalan,
agar
mereka
dapat
mempertimbangkan apakah akan bermanfaat bagi mereka, untuk menerima wasiat itu secara murni, atau dengan hak istimewa dengan mengadakan pendaftaran harta peninggalan, atau pula untuk menolaknya, mempunyai hak untuk memikir, dan mereka harus melakukan suatu pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, pernyataan itu dapat dilakukan di hadapan Kepala Pemerintahan Daerah, pejabat mana akan mengadakan catatan dan memberitahukannya kepada Pengadilan negeri yang selanjutnya akan mengadakan pembukuannya. Ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkan undang-undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. C. Teori Hukum Yang Digunakan Untuk menganalisis perumusan masalah, penulis menggunakan: 1. Teori Robert B. Seidman yaitu Bekerjanya hukum dalam masyarakat. Teori ini dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial mulai dari tahap pembuatan Undang-Undang, penerapannya, dan sampai pada peran yang diharapkan yaitu tercapainya tiga nilai dasar yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. 79
78 79
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1979), hal. 64. Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Psikologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm 13.
42
2. Teori Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa: “Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenangwenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.80 Prinsip-prinsip yang mendasari perlindungan hukum di Indonesia berdasarkan pada pancasila adalah : 1. Prinsip pengakuan akan harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila; Pengakuan akan harkat dan martabat manusia pada dasarnya terkandung dalam nilai-nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara. Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia berarti mengakui kehendak manusia untuk hidup bersama. Pengaturan hidup bersama didasarkan atas musyawarah yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dan tujuan dari hidup bersama diarahkan kepada usaha untuk mencapai kesejahteraan bersama. 2. Prinsip negara hukum Prinsip kedua yang melandasi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Pancasila sebagai dasar falsafah Negara serta adanya asas keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan tetap merupakan elemen pertama dan utama karena Pancasila, yang
80
Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia”, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 205
43
pada akhirnya mengarah pada usaha tercapainya keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan.81 Peraturan perundang-undangan mengenai tanah pada umumnya UUPA dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997, bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat sehingga kepemilikan tanah oleh masyarakat pada umumnya dan oleh pewaris pada khususnya mendapat kepastian hukum dari negara. Hal itu untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan maupun sengketa yang terjadi saat ini maupun dikemudian hari, Undang-undang dan peraturan ini merupakan peraturan tertulis yang sifatnya mengikat dan mengakibatkan sanksi terhadap Pihak yang melanggar. D. Penelitian Yang Relevan Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sebelas Maret khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah karena Pewarisan (Studi Kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor), belum pernah dilakukan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah akta pelaksanaan peralihan hak atas tanah karena pewarisan, namun menyangkut judul dan substansi pokok permasalahan yang di bahas sangat jauh berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan peralihan hak atas tanah tersebut yang pernah dilakukan adalah : 1. RIZAL EFFENDI, S.H., Nim B4B006211 Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, tahun 2005, dengan judul Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Karena Warisan di Kantor Pertanahan Kabupaten Brebes, Tesis ini menulis tentang Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak 81
Ibid, hlm. 258-264
44
Atas Tanah Karena Warisan di Kantor Pertanahan Kabupaten Brebes dan dengan tempat penelitian di Kantor Pertanahan Kabupaten Brebes. 2. ELYANJU SIHOMBING, Nim 002111009 Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, tahun 2002, dengan judul Pendaftaran Peralihan Hak Milik atas Tanah Karena Pewarisan menurut PP nomor 24 tahun 1997 (Penelitian di Kota Pematang Siantar), Tesis ini menulis tentang Pendaftaran Peralihan Hak Milik atas tanah karena Pewarisan dengan fokus analisis menurut PP nomor 24 tahun 1997 saja dan dengan tempat penelitian di Kota Pematang Siantar. Sedangkan tesis Penulis mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah karena Pewarisan yang di analisis berdasarkan PP nomor 24 tahun 1997 dan Peraturan-peraturan lain mengenai hukum pertanahan secara umum dengan tempat penelitian di Kabupaten Bogor. E. Kerangka Pikir 1. 2.
3.
Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1962 tentang Konversi dan Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
Pendaftaran Tanah
Teori Hukum: 1. 2.
Robert B Seidman (Bekerjanya Hukm) Philipus M. Hadjon (Perlindungan Hukum)
Warisan
45
Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan
Faktor-Faktor Penghambat Terjadinya Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Karena
Upaya Penyelesaian Menangani Hambatan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan
Pewarisan
Kepastian Hukum (Sertipikat)
Keterangan : Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan tentang Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak atas tanah karena pewarisan dilaksanakan oleh masyarakat atau ahli waris, Kemudian Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak atas tanah karena pewarisan tersebut dianalisis dengan Teori hukum bekerjanya hukum dalam masyrakat dan teori hukum pelindungan hukum dan muncul Permasalahan tentang Bagaimana Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak atas tanah karena pewarisan di Desa Citeureup Kecamatan Citeureup Kabupaten
Bogor,
Faktor-faktor
yang
menjadi
penghambat
dalam
pelaksanaan pendaftaran peralihan Hak atas tanah karena pewarisan, serta Upaya penyelesaiannya. Setelah dianalisis maka menghasilkan/memperoleh jawaban dari permasalahan Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak atas tanah karena pewarisan yaitu Tujuan Pendaftaran tercapai atau tidak yaitu: kesejahteraan masyarakat sekitar pada khususnya ataukah hanya sebatas melaksanakan undang-undang saja, apakah pelaksanaan pendaftaran sudah sesuai dengan undang-undang/peraturan-peraturan yang berlaku, Tujuan /manfaat lain yang dapat diraih. Faktor yang menghambat Pelaksanaan Hak atas tanah Peralihan Hak atas tanah karena pewarisan, Apabila berdasarkan hasil penelitian dan analisis terdapat kekurangan/kurang efektif, solusi atau masukan apa yang dapat penulis berikan serta upaya Penyelesaian atas Hambatan tersebut berhasil atau tidanya Pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul karena adanya factor penghambat yang 46
mempengaruhi
terjadinya
pelaksanaan
pendaftaran
tanah
tersebut.
Pendaftaran tanah dilakukan demi mendapatkan kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang berupa sertipikat hak atas tanah.
47