BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Hidup 1. Pengertian kualitas hidup Menurut WHO kualitas hidup merupakan persepsi individu tentang keberadaannya di kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana dia hidup dan dalam hubungannya dengan tujuan, harapan, norma-norma, dan perhatiannya. Kualitas hidup merupakan konsep dengan skala luas, meliputi berbagai sisi kehidupan seseorang baik dari segi fisik, psikologis, kepercayaan pribadi, dan hubungan sosial untuk berinteraksi dengan lingkungannya (WHOQOL Group, 1998). Kualitas hidup seseorang dalam konteks sosial, berhubungan dengan kesejahteraan sosial, keadilan dan hak asasi, perundang-undangan dan kebijakan, hambatan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Kata “kualitas” secara umum dipahami sebagai “superioritas”, “bermutu”, ataupun “unggul”. Dengan demikian, kualitas hidup berarti seberapa besar mutu atau superioritas kehidupan seseorang (Renwick, dkk, 1996). Menurut Zalewska (Juczynski, 2006), kualitas hidup adalah karakter multidimensional dari kehidupan manusia dan keunikan setiap individu. Juczynski (2006) menambahkan, konsep multidimensional dari kualitas hidup didasarkan pada luasnya wilayah fisik, psikologis dan fenomena sosial yang membawa pada kebahagiaan.
16
17
Kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan (health related quality of life /HRQOL) meliputi aspek fisik, psikologis, dan sosial, dari bidang kesehatan yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorang, kepercayaan, harapan, serta persepsi (yang secara kolektif disebut dengan persepsi sehat) sehubungan dengan penyakit tertentu dan atau pengobatan (WHOQOL Group, 1998). WHO mendefinisikan kesehatan sebagai kesatuan antara kesejahteraan fisik, mental dan sosial, dan tidak hanya terbebasnya seseorang dari penyakit dan kelemahan, ditambah dengan dimensi spiritual. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas hidup berlandaskan pada lima dimensi yaitu fisik, psikologis (mental dan emosional), sosial, masyarakat, dan spiritual. Orang yang sehat akan menemukan makna dalam hidupnya dan membawanya pada kepuasan akan hidupnya tersebut (Juczynski, 2006). HRQOL pada penderita hipertensi menunjukkan suatu dampak yang signifikan pada fisik, sosial dan mental penderita yang secara keseluruhan merupakan domain dari well-being (Theodorou, 2011). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup penderita hipertensi adalah persepsi penderita hipertensi terhadap hasil yang diperoleh dari nilai-nilai pribadi dan dari gaya hidup yang berhubungan dengan kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan yang berpengaruh pada aktivitas sehari-hari
18
2. Indikator Kualitas Hidup Kualitas hidup menurut WHOQOL Group (1998) terdiri atas empat indikator, yaitu: a. Kesehatan fisik. Mencakup kemampuan dalam beraktivitas sehari-hari, ketergantungan dengan obat, energi dan kelelahan, tidur dan istirahat, mobilitas, kapasitas atau kemampuan kerja, sakit dan ketidaknyamanan. b. Psikologis. Terdiri dari pandangan diri, perasaan negatif, perasaan positif, spiritualitas, kognitif (berfikir, ingatan, belajar, konsentrasi), harga diri. c. Hubungan sosial. Terkait dengan hubungan interpersonal, dukungan sosial, aktivitas seksual. d. Lingkungan. Mencakup keuangan, kebebasan dan kenyamanan fisik, kesehatan dan kepedulian sosial dari orang lain terhadap dirinya, lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan informasi dan keahlian, lingkungan fisik (kebisingan, polusi, lalu lintas, iklim). Menurut Juczynski (2006), health-related quality of life atau kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan memiliki tiga elemen atau indikator, yaitu: a. Fungsi kapabilitas seorang individu, yaitu kemampuan untuk memuaskan kebutuhannya sehari-hari, mengambil atau menjalankan peran sosial, intelektual dan efisiensi emosi. b. Cara seseorang menanggapi situasi atau kondisi dalam hidupnya, tingkat kepuasan dalam mengisi kehidupan. c. Gejala dari penyakit, dan tingkat kesehatan berdasarkan usia.
19
a. Hubungan sosial. Kualitas hidup dapat dikaitkan dengan cara menarik sebuah masyarakat yang tinggal dan tingkat kepercayaan warga mengenai bagaimana hubungan sosialnya. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini merujuk pada aspekaspek dan indikator kualitas hidup yang terdapat pada skala kualitas hidup dari WHOQOL-BREF, yaitu kesehatan fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Hal ini dikarenakan aspek-aspek kualitas hidup dalam WHOQOL-BREF banyak digunakan peneliti untuk meneliti kualitas hidup dan telah memiliki alat ukur yang baku.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Berdasarkan definisi WHOQOL (1998) yang menyatakan bahwa persepsi individu mengenai kualitas hidupnya dipengaruhi oleh konteks budaya dan sistem nilai dimana individu tinggal. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup adalah: a. Gender. Wahl dkk (2004) menjelaskan bahwa gender adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Singer (Papalia dkk, 2007) mengatakan bahwa secara umum kesejahteraan laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, akan tetapi perempuan lebih banyak terkait dengan aspek hubungan yang bersifat positif sedangkan kesejahteraan tinggi pada laki-laki terkait dengan aspek pendidikan dan pekerjaan yang baik. b. Usia. Wahl dkk (2004) mengatakan bahwa usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Ryff dan Singer (Papalia dkk, 2007)
20
menyatakan individu dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada usia dewasa madya. c. Pendidikan. Kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu (Wahl dkk, 2004). d. Pekerjaan. Status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup baik pada pria maupun wanita, karena terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar, pekerja, dan orang yang tidak bekerja (Wahl dkk, 2004). e. Status pernikahan. Baik pada pria maupun wanita, individu dengan status menikah akan memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi (Wahl dkk, 2004). f. Penghasilan. Kontribusi yang cukup signifikan dari faktor penghasilan, dapat meningkatkan kualitas hidup individu (Wahl dkk, 2002). g. Hubungan dengan orang lain. Myers (Wahl dkk, 2004) mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun melalui pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik secara fisik maupun emosional. h. Standar referensi. Whoqol (1998) menjelaskan bahwa kualitas hidup dipengaruhi oleh harapan, tujuan, dan standar dari masing-masing individu. Sementara itu, Siegrist dan Junge (Juczynski, 2006) menyatakan untuk mengetahui kesejahteraan hidup seseorang diukur dari tiga faktor yang berhubungan, yaitu:
21
a. Fisik, yang meliputi disabilitas dan nyeri. b. Psikologis, yang meliputi mood, tingkat kecemasan dan depresi. c. Sosial, yang meliputi tingkat isolasi lingkungan, keempatan untuk menjalankan peran sosial. Kondisi psikologis menjadi salah satu faktor dalam kualitas hidup sehingga permasalahan psikologis yang mengakibatkan adanya emosi negatif membuat perlunya suatu regulasi emosi. Regulasi emosi dapat membantu untuk menjaga kesehatan psikologis seseorang.
B. Hipertensi Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi hipertensi primer (esensial, idiopatik) dan hipertensi sekunder. Gejala hipertensi tidak mempunyai spesifikasi tertentu, gejala seperti sakit kepala, cemas, epistaksis, pusing dan migrain dapat ditemukan pada penderita hipertensi, kadang sama sekali tidak terjadi. Di Indonesia, berdasarkan survei beberapa peneliti Indonesia, gejala yang sering muncul adalah pusing, cepat marah, sukar tidur, mimisan, tinitus, sesak nafas, nyeri tengkuk, cepat lelah dan radang palpitasi. Bila sudah terjadi kompikasi pada organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung dan lainnya maka gejala sesuai dengan komplikasinya (Yogiantoro, 2006). DEPKES RI (2006) menjelaskan pembagian hipertensi berdasarkan ukuran tekanan darah untuk kelompok umur di atas 18 tahun, yaitu:
22
Tabel 1. Kategori tekanan darah untuk kelompok umur diatas 18 tahun Kategori Optimal Normal Normal tinggi Subgroup: borderline Hipertensi Tingkat 1 (ringan) Tingkat 2 (sedang) Tingkat 3 (berat) Isolated systolic hypertension Diastolic hypertension
Sistolik (mmHg) <120 <130 130-139 140-149
Diastolik (mmHg) <80 <85 85-89 90-95
140-159 160-179 >180 >140 <140
96-99 100-109 >110 <90 >90
Faktor penyebab hipertensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol. Faktor yang dapat dikontrol yaitu, merokok yang merupakan salah satu faktor risiko yang kuat untuk terjadinya kematian akibat hipertensi. Penghentian merokok terbukti dapat mengurangi risiko mengalami hipertensi. Individu yang mengonsumsi satu batang rokok dapat terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah selama 15 menit. Faktor selanjutnya adalah obesitas. Berat badan individu dan indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Individu dengan obesitas memiliki risiko lima kali lebih besar mengalami hipertensi. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20% hingga 33% memiliki berat badan yang berlebih. Faktor ketiga penyebab hipertensi yang dapat dikontrol adalah stres. Stres yang terjadi pada individu dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan
23
meningkat. Jika stres berlangsung lama tubuh akan memunculkan gejala negatif seperti hipertensi (Harvard School Of Public Health, 2009). Faktor yang tidak dapat dikontrol terdiri dari jenis kelamin, dimana menurut laki-laki dianggap lebih rentan mengalami hipertensi dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan gaya hidup yang lebih buruk dan tingkat stres yang lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan (Harvard School Of Public Health, 2009). Faktor selanjutnya adalah usia penderita, dimana usia 45 tahun hingga 59 tahun dianggap mengalami kecenderungan hipertensi karena pada usia middle age merupakan usia dimana kondisi tubuh mulai menurun dan rentang mengalami penyakit kronis (Santrock, 2002). Faktor ketiga penyebab hipertensi yang tidak dapat dikontrol adalah riwayat keluarga. Individu yang keluarga atau orang tua mengalami hipertensi cenderung memiliki kemungkinan lebih besar mengalami hipertensi dibandingkan individu yang tidak memiliki keluarga yang mengalami hipertensi (Harvard School Of Public Health, 2009).
C. Pelatihan Regulasi Emosi 1. Pelatihan Kata pelatihan dalam Bahasa Inggris disebut training yang artinya suatu instruksi yang sistematis dan praktis yang diberikan pada individu untuk memperoleh kemampuan dalam suatu disiplin yang spesifik, bakat, atau keahlian (vocational) dan kreativitas (recreational skill or activity) (APA, 2007). Sikula (Munandar, 2001) menyatakan bahwa pelatihan merupakan suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan
24
terorganisir. Dalam pelatihan sebagai suatu proses pembelajaran menggunakan prosedur tertentu yang tersusun secara sistematis. Metode pelatihan merupakan salah satu pendekatan yang sifatnya kelompok dan mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode lain. Menurut Prawitasari (2011) kelebihan pendekatan kelompok : a. Memberi kesempatan pada anggota untuk saling memberi dan menerima umpan balik. b. Anggota akan mendapatkan kesempatan untuk belajar dan berlatih sesuatu pola perilaku yang baru. c. Memberi kesempatan pada anggota untuk belajar mengekspresikan perasaan dan menunjukkan perhatian pada orang lain serta saling berbagi pengetahuan. d. Memberi kesempatan untuk mempelajari sesuatu. Johnson dan Johnson (2001) menjelaskan bahwa metode pelatihan berdasarkan prinsip experiential learning. Artinya perilaku manusia terbentuk berdasarkan hasil pengalamannya yang terlebih dahulu dimodifikasi untuk menambah efektifitas dan semakin lama perilaku manusia akan menjadi suatu kebiasaan dan berjalan secara otomatis serta individu semakin berusaha memodifikasi perilaku yang sesuai dengan berbagai situasi. Tujuan dari experiental learning adalah mempengaruhi peserta melalui tiga cara yaitu mengubah struktur kognitif peserta, memodifikasi sikap peserta, dan menambah keterampilan berperilaku peserta. Menurut Ancok (2002), experential learning, yaitu suatu metode yang menggunakan cara memberikan sebuah pengalaman langsung kepada para peserta pelatihan. Dalam penelitian ini, peserta pelatihan
25
diberikan pengalaman
mengenai
keluarga
yang mendampingi
penderita
skizofrenia baik melalui role play, role model (testimoni dari pendamping dan psien skizofrenia), maupun pemutaran film/video. Menurut Boyett dan Boyett (Ancok, 2002), pelatihan sebagai suatu proses belajar memerlukan tahap-tahap sebagai berikut : a. Tahap pembentukan pengalaman (experiencing).Pada tahapan ini peserta pelatihan dilibatkan dalam suatu kegiatan bersama orang lain. Pengalaman langsung tersebut akan dijadikan wahana untuk menimbulkan pengalaman intelektual, emosional, dan bersifat fisikal. b. Tahap perenungan pengalaman (reflect). Tahapan ini bertujuan untuk memproses pengalaman yang diperoleh dari kegiatan yang telah dilakukan. Setiap peserta diminta melakukan refleksi. c. Tahap pembentukan konsep (form concept). Pada tahap ini, peserta pelatihan mencari makna dari pengalaman intelektual, emosional dan fisikal yang diperoleh dari keterlibatan dalam kegiatan. d. Pengujian konsep (concept test). Pada tahap ini peserta pelatihan diajak untuk merenungkan dan mendiskusikan sejauh mana konsep yang telah terbentuk di dalam tahapan ketiga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Berdasarkan uraian tersebut di atas mengenai kelebihan – kelebihan yang dimiliki oleh metode pelatihan experiental learning, maka peneliti memilih metode pelatihan experiental learning sebagai metode pelatihan yang akan digunakan. Pelatihan tersebut bertujuan untuk membantu keluarga pendamping sikizofrenia agar dapat memperoleh pembelajaran dari proses pelatihan yang
26
dijalani, pengetahuan dan peningkatan keterampilan yang lebih baik, sehingga mampu mengoptimalkan potensi diri dan tetap dapat menjalani kehidupan sehari – hari sebagai pendamping penderita sikzofrenia dengan lebih baik.
2. Pengertian Regulasi emosi Walden dan Smith (Eisenberg, dkk, 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi. Regulasi emosi menurut Thompson (Eisenberg, dkk, 2000) terdiri atas proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. Greenberg (2002) menjelaskan regulasi emosi merupakan kemampuan yang
dimiliki
seseorang
untuk
menilai,
mengatasi,
mengelola
dan
mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka mencapai keseimbangan emosional. Sementara itu, Gross (2006) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif
27
maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif. Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali pikiran, tingkah laku, respon fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan (Gross, 2006). Koole (2009) menjelaskan regulasi emosi merupakan proses orang mengatur emosi yang dimiliki. Regulasi emosi berhubungan kesehatan mental, kesehatan fisik, kepuasan dalam hubungan, dan kemampuan kerja. Selama regulasi emosi, orang mungkin meningkatkan, menjaga, atau mengurangi emosi positif dan negatif. Regulasi emosi berpengaruh dalam perubahan respon emosional. Perubahan ini terjadi dalam berbagai emosi yang dimiliki seseorang, ketika mereka mengalami emosi tersebut, bagaimana pengalaman mereka dan bagaimana mereka mengekpresikan emosinya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah suatu proses untuk menilai, mengatasi, mengelola dan mengungkapkan emosi yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir seseorang, dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada suara) serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan.
28
3. Aspek-aspek regulasi emosi Menurut Greenberg (2002), terdapat tiga aspek dari regulasi emosi, yaitu: a. Memonitor emosi (emotional monitoring). Emotional monitoring adalah aspek yang mendasari dalam meregulasi emosi, karena membantu tercapainya aspek yang lain. Emotional monitoring adalah kemampuan individu dalam memahami dan menyadari proses yang terjadi dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latar belakang dari tindakannya secara keseluruhan. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan individu untuk terhubung dengan emosi, pikirannya, sehingga individu tersebut dapat memaknai serta dapat mengenali setiap emosi yang dirasakannya. b. Mengevaluasi emosi (emotion evaluation). Emotional evaluation adalah kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi-emosi ini, khususnya emosi yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam, sehingga mengakibatkan tidak mampu lagi berpikir rasional. c. Kemampuan memodifikasi emosi membuat seseorang dapat bertahan dalam menghadapi masalah dan terus berusaha untuk melewati segala hambatan dalam hidup dengan baik. memodifikasi emosi merupakan suatu cara dalam mengubah emosi sehingga dapat memotivasi diri untuk dapat terhindar dari keadaan tidak menyenangkan dan dapat menimbulkan rasa optimis dalam menjalankan kehidupannya sehingga menjadi lebih baik.
29
Menurut Gross (2006) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu : a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan. b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik. c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat. d. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut. Menurut Filkman & Lazarus (Lazarus, 2007) kadang-kadang regulasi emosi juga digunakan sebagai metode coping terhadap stres yang dialami oleh seseorang. Adapun aspek-aspek dari regulasi emosi adalah sebagai berikut: a. Konfrontatif. Individu memaksa orang lain untuk bertanggung jawab dalam hal mengubah cara berfikirnya, mengekspresikan kemarahan pada orang lain yang menjadi penyebabnya.
30
b. Distancing (mengambil jarak). Menjaga jarak dari masalah agar tidak terlalu larut dalam masalah yang terjadi dengan tetap melakukan aktifitasaktifitasnya seperti biasa sehingga tampak seperti tidak terjadi apa-apa. c. Self-controling. Individu berusaha untuk menyimpan perasaan yang sesungguhnya dan tidak terlalu mengikuti kata hatinya yang pada saat itu mungkin sedang emosi. d. Seeking social support. Individu berusaha untuk berbicara dan mendiskusikan dengan orang lain tentang suatu situasi untuk memperoleh banyak informasi tentang situasi tersebut, dengan kata lain meminta saran dan pendapat dari sahabat atau orang-orang yang dia hormati. e. Accepting responsibility. Individu menginstropeksi diri dengan berusaha untuk berani mengakui kesalahan dan melakukan sesuatu untuk memperbaiki diri. f. Escape-avoidance.
Berusaha
untuk
menghindari
banyak
orang
dan
mengharapkan keajaiban akan datang dan merubah keadaan. g. Planful Problem Solving. Individu membuat rencana dan berusaha untuk merealisasikannya, hanya berkonsentrasi apa yang dilakukan selanjutnya selangkah demi selangkah. h. Positive reappraisal. Kecenderungan individu untuk mengambil makna positif dan situasi yang sedang terjadi. Seperti, individu berubah atau tumbuh menjadi orang yang benar atau menemukan kembali hal-hal penting dalam kehidupan yang dijalani.
31
Penelitian ini menggunakan aspek regulasi emosi dari Greenberg (2002) yaitu memonitor emosi (emotional monitoring), mengevaluasi emosi (emotion evaluation), dan kemampuan memodifikasi emosi. Hal ini dikarenakan Greenberg (2002) telah menyusun teknik atau strategi regulasi emosi yang berlandaskan dari aspek regulasi emosi miliknya, dan teknik ini menurut peneliti lebih mudah untuk diaplikasikan.
4. Strategi regulasi emosi Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Greenberg (2002) menyebutkan terdapat empat konsep keterampilan regulasi emosi, yaitu: a. Keterampilan mengenal emosi. Keterampilan mengenal emosi merupakan suatu kemampuan untuk mengidentifikasi, menjelaskan, dan memberikan label dari emosi yang dialami, tidak hanya sebatas mengenali adanya perasaan positif maupun negatif saja. Ditambahkan oleh Ghom (2003), individu yang memiliki kemampuan mengenal emosi dengan baik, akan dapat memberikan reaksi emosi yang tepat dan pada akhirnya dapat terhindar dari keadaan distres psikologis. b. Keterampilan mengekspresikan emosi.
Keterampilan mengekspresikan
emosi adalah kemampuan individu untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya, baik positif maupun negatif kepada orang lain. Stroebe dkk (2002) menjelaskan kemampuan mengekspresikan emosi yang dilakukan baik secara lisan maupun tulisan dapat membantu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan
32
psikologis dan fungsi fisik pada seseorang saat menghadapi peristiwa traumatik dalam hidupnya serta mengurangi emosi-emosi negatif dan menurunkan simtom-simtom depresi. c. Keterampilan mengelola emosi. Keterampilan mengelola emosi adalah kemampuan individu untuk menjaga emosi di dalam dirinya dan mencoba mengendalikan serta merasionalisasikan emosi tersebut, terutama pada saat diekspresikan. d. Keterampilan mengubah emosi negatif menjadi emosi positif. Keterampilan mengubah emosi negatif menjadi emosi positif adalah kemampuan individu untuk
menilai
dan
bertanggungjawab
terhadap
emosi-emosi
yang
dirasakannya sehingga individu tersebut dapat membuat keputussan yang tepat dalam kehidupannya sehari-hari. Sementara itu, menurut Gross (2006) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan banyak cara, yaitu: a. Situation selection. Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih nonton dengan temannya daripada belajar pada malam sebelum ujian untuk menghindari rasa cemas yang berlebihan. b. Situation modification. Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kegagalan yang dialaminya agar tidak bertambah sedih.
33
c. Attention deployment. Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang menonton film lucu, mendengar musik atau berolahraga untuk mengurangi kemarahan atau kesedihannya. d. Cognitive change. Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan mengubah cara berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi sebagai suatu tantangan daripada suatu ancaman. Pelatihan regulasi emosi dalam penelitian ini menggunakan konsep keterampilan regulasi emosi yang dikemukakan oleh Greenberg (2002) yaitu keterampilan
mengenal
emosi,
keterampilan
mengekspresikan
emosi,
keterampilan mengelola emosi dan keterampilan mengubah emosi negatif menjadi emosi positif.
D. Landasan Teoritis Pelatihan Regulasi Emosi Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Hipertensi Hipertensi merupakan suatu kondisi penyakit kronis yang memberikan dampak yang jelas bagi penderitanya. Beban yang dibawa oleh hipertensi adalah karena hipertensi berhubungan dengan 30% penyebab kematian di dunia. Hipertensi berdampak pada vitalitas penderitanya, berdampak pada fungsi sosial, kesehatan mental dan fungsi psikologis. Banyak dari penderita hipertensi
34
mengalami sakit kepala, berkunang-kunang, depresi, cemas dan mengalami kelelahan. Oleh karena itulah, hipertensi memiliki dampak yang signifikan pada kualitas hidup seseorang (Theodorou, dkk, 2011). Hipertensi memiliki hubungan dengan rendahnya kualitas hidup penderita, terkait dengan fungsi fisik yang terganggu (Soni, dkk, 2010). Hipertensi menyebabkan banyak kematian di dunia, dan pengobatan terhadap hipertensi merupakan strategi kunci untuk mencegah penyakit kardiovaskular. Berkurang atau menurunnya health-related quality of life (HRQOL) pada penderita hipertensi, maka semakin besar kecemasan dan depresi akan dialami oleh penderita (Theodorou, dkk, 2011). Vaz-Serra (Santos, dkk, 2013) menjelaskan kondisi psikologis yang berpengaruh terhadap penderita hipertensi adalah saat dimana orang tersebut berpikir bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan atau sumber daya untuk mengatasi situasi yang tidak biasa yang dialami. Orang tersebut kemudian akan mengembangkan persepsi bahwa dirinya tidak dapat mengontrol keadaan dan mulai merasa tak berdaya. Penderita penyakit kronis seperti hipertensi harus mengubah cara hidupnya untuk menjadi lebih baik. Stres yang dialami memiliki dampak pada penderita hipertensi itu sendiri, keluarga dan sosial, dan juga berdampak pada kualitas hidup seseorang. Penderita
hipertensi
dilaporkan
sering
menggunakan
mekanisme
pertahanan dengan merepres emosi akibat tekanan emosional (Pervichko, dkk, 2014). Hal ini tentu saja tidak akan membuat penderita semakin nyaman dengan perasaannya karena belum menggunakan koping yang tepat dan juga regulasi
35
emosi. Senada dengan hal tersebut, Suls dkk (Mauss & Gross, 2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa emosi berhubungan dengan tekanan darah seseorang. Kemarahan yang ditekan atau represi memainkan peran yang penting pada kejadian hipertensi. Gross (2006) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif. Aldao dan Nolen-Hoeksema (2012) menjelaskan regulasi emosi merupakan proses dimana individu memodifikasi emosinya atau situasi yang memunculkan emosi dalam memberikan respon yang sesuai dengan permintaan lingkungan. Kalat dan Shiota (2007) menyebutkan bahwa regulasi emosi merupakan strategi koping terhadap stres yang dialami seseorang. Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa regulasi emosi mampu meningkatkan kualitas hidup seseorang. Ciuluvica dkk (2014) membuktikan bahwa pola emosi yang tidak diregulasi pada pasien dermatologi dapat memperparah kondisi sakitnya dan juga mempengaruhi kualitas hidup pasien tersebut. Regulasi emosi memiliki dua strategi yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression. Cognitive reappraisal merupakan cara untuk mengubah pikiran mengenai situasi tertentu. Kedua strategi tersebut secara berbeda berhubungan dengan kualitas hidup dan psikopatologi, misalnya
cognitive
36
reappraisal merupakan strategi regulasi emosi yang lebih adaptif, sedangkan expressive suppression merupakan bentuk yang maladaptif (Meule, dkk, 2013). Strategi regulasi emosi yaitu reapraisal dan suppression secara psikofisiologi berhubungan dengan kerja organ tubuh dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Suppression misalnya, menurunkan respon perilaku yang mengarah pada timbulnya emosi dan detak jantung saat terjadi gerakan. Selain itu, suppression juga meningkatkan respon elektrodermal dan tekanan darah, dan menurunkan getaran pada jari, dan temperatur jari. Hal ini menandakan meningkatnya aktifasi saraf simpatetik dari sistem kardiovaskular. Sementara itu, strategi reapraisal meningkatkan aktifasi dari bagian otak prefrontal lateral yang berfungsi penting dalam kontrol kognitif, dan menurunkan aktifasi amigdala dan medial orbifrontral cortex, dua bagian penting untuk membedakan bermacam proses emosi. Penjelasan tersebut menerangkan bahwa adanya hubungan antara pusat limbik sebagai pembangkit emosi dan pusat kortikal terhadap regulasi emosi yang membantu kita mengontrol kehendak diri (Gross, 2002). Geisler dkk (2010) yang melakukan penelitian dengan subjek orang dengan gangguan intelektual menyatakan bahwa skor cognitive reappraisal yang tinggi secara positif berhubungan dengan kualitas hidup subjektif dan objektif yang tinggi.
37
Gambar 1. Kerangka Teoritis Pengaruh Pelatihan Regulasi Emosi Terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Penderita Hipertensi
Hipertensi
Represi emosi
Tekanan emosional
Kualitas hidup rendah Kesehatan fisik menurun Permasalahan psikologis Tidak dapat beraktivitas Hubungan sosial terganggu
Regulasi emosi
K eterangan : : Meliputi : Berpengaruh : Perlakuan
Kualitas hidup tinggi
38
E. Hipotesis Ada pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap peningkatan kualitas hidup penderita hipertensi. Terdapat peningkatan kualitas hidup penderita hipertensi yang mendapatkan pelatihan regulasi emosi. Penderita hipertensi yang mendapatkan pelatihan regulasi emosi memiliki tingkat kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penderita hipertensi yang tidak diberi intervensi pelatihan regulasi emosi.