BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Yang Terkait 1. Pengetahuan a.
Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari proses mencari tahu, dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat menjadi dapat. Dalam proses mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep-konsep, baik melalui proses pendidikan maupun melalui pengalaman. Notoatmodjo, S. (2005). Di dalam bidang keperawatan Pengetahuan berperan penting untuk memaksimalkan kerja perawat dalam merawat pasien dan memberikan asuhan keperawatan berdasarkan standart operasional prosedur atau SOP. Jann Hidayat Tjakraatmadja dan Donald Crestofel Lantu dalam bukunya Knowledge Management disebutkan bahwa pengetahuan diperoleh dari sekumpulan informasi yang saling terhubung secara sistematik sehingga memiliki makna. Informasi diperoleh dari data yang sudah diolah (disortir, dianalisis, dan ditampilkan dalam bentuk yang dapat di komunikasikan melalui bahasa, grafik atau tabel), sehingga memiliki arti.
b. Tingkatan Pengetahuan Tingkat pengetahuan mencakup di dalam domain kognitif yang mempunyai enam tingkatan, yaitu : 1) Tahu ( know) Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh beban yang dipelajari.
6
7
2) Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara benar. 3) Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. 4) Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek di dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama yang lain. 5) Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi- formulasi yang ada. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi objek. Penilaian-penilaian itu, didasarkan atas suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang tersedia. c.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut
Sukmadinata
(2003),
faktor–faktor
yang
mempengaruhi
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dipengaruhi oleh faktor– faktor sebagai berikut :
8
1) Faktor internal a) Jasmani Faktor jasmani di antaranya adalah keadaan indera seseorang. b) Rohani Faktor rohani di antaranya adalah kesehatan psikis, intelektual, psikomotor serta kondisi efektif dan kognitif individu. c) Faktor eksternal (1) Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberi respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berfikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan tersebut. (2) Paparan Media Massa Melalui berbagai media cetak maupun elektronik, berbagai informasi
dapat
diterima
oleh
masyarakat,
sehingga
seseorang yang lebih sering terpapar media massa (TV, radio, majalah, pamphlet, dll) akan memperoleh informasi media ini, berarti paparan media massa mempunyai tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang. (3) Ekonomi Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder, keluarga dengan status ekonomi lebih baik mudah tercukupi dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah.
9
Hal ini akan mempengaruhi kebutuhan akan informasi yang termasuk kebutuhan sekunder. (4) Pengalaman Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal biasa diperoleh
dari
lingkungan
kehidupan
dalam
proses
perkembangannya, misal sering mengikuti kegiatan yang mendidik, misalnya seminar. Organisasi dapat memperluas jangkuan pengalamannya, karena dari berbagai kegiatan tersebut informasi tentang satu hal dapat diperoleh. 2.
Konsep Sikap a.
Pengertian Sikap Menurut Oxford Advanced Learner Dictionary mencantumkan bahwa sikap (attitude) berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu “Manner of placing or holding the body, dan way of feeling, thinking or behaving”. Menurut Purwanto (1998), sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan yang diyakini orang tersebut. Sikap dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Individu yang memiliki sikap positif terhadap suatu objek akan cenderung membantu, menyenangi dan berbuat sesuatu yang menguntungkan objek tersebut. Sebaliknya, bila ia memiliki sikap yang negatif terhadap suatu objek, maka ia akan cenderung menjauhi, menghindari, membenci, atau tidak menyukai objek tersebut (Purwanto, 1998). Festinger dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sering kali timbul perasaan tidak nyaman pada seseorang karena pada saat yang bersamaan orang tersebut memegang dua ide yang saling bertentangan yang disebut dengan disonansi kognitif. Disonansi (ketidak- seimbangan) biasanya terjadi ketika seseorang merasakan adanya inkonsistensi logis diantara kognisinya (pengetahuan, pendapat atau keyakinannya).
10
Demikian pula sikap pada diri seseorang terhadap berbagai hal di dalam hidup kita, adalah termasuk kedalam kepribadian kita.didalam kehidupan manusia,
sikap
selalu
mengalami
perubahan
dan
perkembangan
(Purwanto, 2003). Menurut Bogardus, et al (1931) dikutip oleh Azwar (1995) menyatakan bahwa sikap merupakan suatu kesiapan untuk beraksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksud merupakan kecendrungan potensial untuk beraksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2005), sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat terlihat langsung, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Jadi sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. b. Komponen Sikap Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu (Azwar S, 2000:23): 1) Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimilikii ndividu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. 2) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional.Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan
terhadap
pengaruh-pengaruh
yang
mungkin
adalah
mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. 3) Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi
11
tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku. c.
Tingkatan sikap 1) Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek) 2) Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan meyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. 3) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4) Bertanggung jawab (responsibl) atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Tabel 2.1 Tingkatan sikap Tingkatan Sikap Tidak Mendukung Mendukung
Menerima
Merespon
+
+
+
+
Menghargai
Bertanggung jawab
+
+
Tabel 2.1 menggambarkan bahwa seseorang yang memiliki sikap tidak mendukung cenderung memiliki tingkatan hanya sebatas menerima dan merespon saja, sedangkan seseorang dikatakan telah memiliki sikap yang
12
mendukung yaitu bukan hanya memiliki tingkatan menerima dan merespon tetapi sudah mencapai tingkatan menghargai atau bertanggung jawab. 3
Konsep Perilaku Perilaku merupakan suatu respon individu akibatnya adanya pengaruh sebelumnya perilaku individu dapat terbentuk akibat adanya penyebab yang melatar belakangnya. perilaku dalam KBBI (2007) didefinisikan sebagai suatu reaksi individu terhadap rangsangan. Teori perilaku dalam keperawatan jiwa menjelaskan bahwa inti dari perilaku adalah hubungan antara stimulus dan respon yang akan dihasilkan (Katherin, 2006). Perilaku individu terbentuk dengan melibatkan serangkaian proses yang ada pada dirinya. Pada teori perilaku dalam keperawatan komunitas, pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan memanipulasi stimulus. Stimulus tersebut dapat dimanipulasi dengan cara memberikan positif reinforcment atau punishment kepada individu sehingga stimulus tersebut akan diinternalisasi dan menghasilkan perilaku yang diharapkan. (Allender, 2001). Lawrence Green berpendapat bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama antara lain: a.
Faktor predisposisi (predisposing factor) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan,tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
b.
Faktor pemungkin (enabling factor) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan
13
praktek swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan. c.
Faktor penguat (reinforcing factor) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang undang, peraturan peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas terlebih lagi petugas kesehatan. Di samping itu, undangundang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut.
B. Konsep Universal Precaution 1.
Pengertian universal precaution Menurut WHO dalam Nasronudin (2007), universal precautions merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh the Centers for Disease Control and Prevention CDC Atlanta dan the Occupational Safety and Health Administration (OSHA), untuk mencegah transmisi dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan. Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007). Prinsip kewaspadaan universal (universal precaution) di pelayanan kesehatan adalah menjaga hygiene sanitasi individu, hygiene sanitasi ruangan, serta sterilisasi peralatan.
14
2.
Tujuan Universal Precaution Kurniawati dan Nursalam (2007), menyebutkan bahwa Universal precautions perlu diterapkan dengan tujuan : a.
Mengendalikan infeksi secara konsisten Universal precautions merupakan upaya pengendalian infeksi yang harus diterapkan dalam pelayanan kesehatan kepada semua pasien, setiap waktu, untuk mengurangi risiko infeksi yang ditularkan melalui darah.
b.
Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak didiagnosis atau tidak terlihat seperti berisiko.Prinsip universal precautions diharapkan akan mendapat perlindungan maksimal dari infeksi yang ditularkan melalui darah maupun cairan tubuh yang lain baik infeksi yang telah diagnosis maupun yang belum diketahui.
c.
Mengurangi risiko bagi petugas kesehatan dan pasien Universal precautions tersebut bertujuan tidak hanya melindungi petugas dari risiko terpajan oleh infeksi HIV namun juga melindungi klien yang mempunyai kecenderungan rentan terhadap segala infeksi yang mungkin terbawa oleh petugas.
d.
Asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya Universal precautions ini juga sangat diperlukan untuk mencegah infeksi lain yang bersifat nasokomial terutama untuk infeksi yang ditularkan melalui darah/cairan tubuh.
3.
Macam-macam Universal Precaution a.
Mencuci tangan Teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi dalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah mengosok dengan kuat dan ringkas yang kemudian dibilas dibawah aliran air. (Larson, 1995). Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan
15
organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu. Tangan yang terkontaminasi merupahkan penyebab utama perpindahan infeksi. Keputusan untuk mencuci tangan bergantung pada hal berikut : intensitas kontak dengan klien atau objek yang terkontaminasi yang dapat terjadi dengan kontak tersebut, kerentanan klien atau petugas kesehatan terhadap infeksi dan prosedur atau aktivitas yang dilakukan. Larson (1995) dalam potter dan perry 2005 merekomendasikan bahwa perawat mencuci tangan dalam situasi seperti berikut ini : 1) Jika tampak kotor 2) Sebelum dan setelah kontak dengan klien 3) Setelah kontak dengan sumber mikroorganisme (darah atau cairan tubuh, membran mukosa, kulit yang tidak utuh,atau objek mati yang mungkin terkontamiasi) 4) Sebelum melakukan prosedur invasif seperti pemasangan kateter intravaskuler atau kateter menetap (dianjurkan menggunakan sabun antimikroba) 5) Setelah melepaskan sarung tangan. Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan yaitu: a) Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa (kontak langsung dengan klien), saat akan memakai sarung tangan bersih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan pemasangan infus b) Setelah melakukan tindakan, misalnya setelah memeriksa pasien, setelah
memegang
alat
bekas
pakai
dan
terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa.
bahan
yang
16
Ada tiga cara mencuci tangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan yaitu : 1) Cuci tangan higienik/rutin dapat dialaukan dengan menggunakan sabun atau detergen 2) cuci tangan aseptik dilakukan sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan anti septik. 3) cuci
tangan
bedah
(surgical
handscrub)
untuk
membunuh
mikroorganisme sebelum melakukan tindakan pembedahan digunakan anti septik. b. Penggunaan Alat Pelindung Diri Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta kulit yang tidah utuh dan selaput lendir pasien. Penggunaan alat pelindung diri yang sesuai untuk setiap tindakan seperti : 1) Sarung tangan Sarung tangan mencegah penularan patogen dari kontak langsung maupun tidak langsung. Sarung tangan dapat membantu perawat untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontamiasi (Depkes RI, 2003). CDC menyebutkan alasan berikut ini untuk mengenakan sarung tangan : 2) Mengurangi kemungkinan pekerja kontak dengan organisme infeksius yang menginfeksi klien (misalnya:
menangani
balutan
yang
terkontaminasi atau membersihkan klien yang tidak mampu menghidap hepatitis). 3) Mengurangi kemungkinan pekerja akan memindahkan flora endogen mereka sendiri ke klien. 4) Mengurangi
kemungkinan
pekerja
menjadi
tempat
kolonisasi
sementara mikroorganisme yang dapat dipindahkan pada klien lain. (kolonisasi sementara biasanya dapat dicegah dengan mencuci tangan)
17
Jenis sarung tangan yaitu: sarung tangan bedah, sarung tangan pemeriksaan, sarung tangan rumah tangga, (Depkes, 2003). a) Masker Masker harus dikenakan bila perkirakan ada percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh ke wajah. Selain itu, masker menghidarkan perawat menghirup mikroorganisme dari saluran pernapasan klien dan mencegah penularan patogen dari saluran pernapasan perawat ke klien. Masker bedah melindungi pemakai dari menghirup partikel besar aerosol yang melintas dalam jarak yang pendek (3 kaki) dan partikel kecil droplet nukleus yang tetapbertahan diudara dan melintas dalam jarak yang lebih jauh. Sekaligus klien yang rentan terhadap infeksi menggunaka masker untuk mencegah inhalasi patogen. b) Kaca mata pelindung Bila ikut serta dalam proses invasif yang dapat menimbulkan adanya droplet atau percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh
lainnya. Perawat harus menggunakan kacamata
pelindung, masker atau pelindung wajah. Kacamata dapat tersedia dalam bentuk sementara atau goggles plastik. Kacamata atau terpasang pas sekeliling wajah sehingga cairan tidak dapat masuk antara wajah dan kacamata. c) Gaun atau Baju pelindung (Gown) Alasan utama mengenakan gown adalah untuk mencegah pakaian menjadi kotor selama kontak dengan klien. Gown melindungi pekerja pelayanan kesehatan dan pengunjung dari kontak dengan bahan
dan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Gown
diwajibkan bila kontak dalam ruangan isolasi. Terdapat gown yang dapat digunakan kembali dan ada yang sekali pakai.
18
Gown isolasi yang dapat digunakan kembali terbuka pada bagian belakangnya dan memiliki tali pada bagian leher dan pinggang untuk menjaganya tertutup dan aman. Gown harus cukup panjang untuk menutupi pakaian bagian luar. Lengan gown yang panjang dan manset ukuran yang pas menambah pelindungan. Tidak ada teknik khusus yang diwajibkan untuk menggunakan gown yang bersih selama dikenakan dengan aman. Namun perawat harus membuka
gown
dengan
hati-hati
untuk
meminimalkan
kontaminasi terhadap tangan dan seragam
da kemudian
membuangnya setelah dibuka. d) Penutup kepala Penutup kepala sebagai bagian dari standard precaution memiliki fungsi dua arah. Fungsi pertama, penutup kepalamembantu mencegah terjadinya percikan darah maupun cairan pasien pada rambut perawat. (Depkes RI, 2003). Selain itu, penutup kepala dapat mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut maupun dikulit kepala ke area steril (Depkes RI, 2003). Kedua fungsi tersebut sangat penting untuk diperhatikan oleh perawat. c.
Pengolahan alat kesehatan Pengelolaan alat-alat kesehatan bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi steril dan siap pakai. Pembersih desinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap objek yang terkontaminasi secara terkontaminasi secara signifikan mengurangi dan sering kali memusnahkan mikroorganisme. Pembersihan adalah membuang semua material asing seperti kotoran dan materi organik dari suatu objek. Biasanya, pembersihan termasuk menggunakan air dan kerja mekanis dengan atau tanpa deterjent. Pada saat objek kontak dengan material infeksius atau berpotensi infeksius, objek
19
menjadi terkontaminasi. Jika objek sekali pakai, objek tersebut dibuang. Objek yang dapat digunakan kembali harus dibersihkan seluruhnya bahkan didesinfeksi atau desterilisasi sebelum digunakan kembali. Bila peralatan pembersih dikotori oleh materi organik seperti darah, materi fekal, mukus atau pus, perawat menggunakan masker, kacamata pelindung dan sarung tangan kedap air. Barier ini menjadi pelindung terhadap organisme infeksius. Sikat yang berbulu padat dan deterjen atau sabun dibutuhkan untuk pembrsihan. Langkah berikut ini menjamin bahwa suatu objek disebut bersih. 1) Cuci objek atau benda yang terkontaminasi dengan air dingin yang mengalir untuk membuangmateri organik. Air panas menyebabkan protein pada materi organik berkoagulasi dan menempel pada objek, sehingga sulit untuk dibuang. 2) Setelah pembilasan, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun atau deterjen menguramgi area tegangan air dan mengumulasi materi yang kotor atau sisa. Namun, beberapa deterjen rumah tangga memiliki kandungan desinfektan. Membilas objek sepenuhnya untuk membuang kotoran yang teremulasi. 3) Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi pada lekukan atau lipatan. Gesekan mengeluarkan materi yang mengontaminasi sehingga mudah dibuang. Buka engsel dari alat-alat. d. Pengolahan benda tajam Benda tajam sangat berisiko menyebab perlukaan sehingga meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Penularan infeksi HIV, hepatitis B dan C di sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar disebabkan kecelakaan yang dapat dicegah, yaitu tertusuk jarum suntik dan diperlukan alat tajam lainnya. Untuk menghindari perlukaan atau kecelakaan kerja maka semua benda tajam terus digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntuk bekas tidak boleh digunakan lagi.
20
Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur menyuntikan adalah ketika petugas berusaha memasukan kembali jarum suntuk bekas pakai kedalam tutupnya (recapping). Rekomendasi tehnik kewaspadaan standart dari WHO (2004) penutupan kembali jarum suntik setelah digunakan sebaiknya tidak perlu dilakukan, jadi jarum suntik bersama sypringnya langsung saja dibuang kekotak khusus, jika sangat diperlukan untuk menutup kembali, misalnya karena masih ada sisa obat yang biasa digunakan, maka penutup jarum suntik kembali di anjurkan dengan menggunakan tehnik satu tangan (single handed recapping method) untuk mencegah jari tertusuk jarum. Penanganan benda tajam menurut Tietjen( 2004), yaitu : a. Tidak disarankan untuk menyarungkan kembali atau melepaskan spuit. b.Untuk dekontaminasi setelah digunakan di rendam dengan menggunakan klonn (0.5% menghisap, dan semprotkan sebanyak tiga kali. c . Memasukan benda-benda tajam tersebut kedalam wadah sebelum diinsersi. C. Kerangka konsep Skema 2.1 Kerangka Konsep Variabel Independen
Variabel Dependen
Pengetahuan Pelaksanaan universal precaution Sikap Ha : Ada
hubungan
pengetahuan
perawat
dengan
pelaksanaan
universal
precaution selama melakukan tindakan keperawatan Ha : Ada hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan universal selama melakukan tindakan keperawatan
precaution