IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEWENANGAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Oleh : Edi Santosa ABSTRACT The realization decentralization policy gives impact to the higher intensity of natural resourse exploitation, since the local governments tend to focus more on their right rather than their responsibility to implement sustainable development by preserving their natural resources. Besides, different interests among central, provincial and local government are potential as a source of authority conflict in managing living environment. So far, people’s attitude and behaviour toward living environment is dominated by economical reason. The Local Autonomy policy tends to strengthen this tendency, since the state-governing paradigm seems change into local area-governing paradigm. The local government effort to enhance their local revenue are done at the cost of natural resource exploitation. Therefore the society is encouraged to self-manage themselves through Self-Manage Paradigm, meaning that the responsibility to obey the law and law enforcement lies on the society themselves. This paradigm is pioneered by the business sector that face a stronger demand for an environmentally friendly business practise. This tendency seems go stronger in the future. Decentralization in the living environment sector should not be transalated into an absolut local autonomy since living environment does not acknowledge administrative boundaries, but ecological-biological and ecosystem boundaries with multi stakeholders approach. Keywords: Decentralization, Local Autonomy, Natural Resource, Living Environment
A. PENDAHULUAN Perumusan, penetapan, dan implementasi kebijakan desentralisasi kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dan Sumber Daya Alam daerah seharusnya didasarkan pada pertimbangan multi dimensional, yakni dimensi filosofis, yuridis, ekonomi, kultural, dan politik dalam konteks penyelenggaraan negara kesatuan. Kebijakan pemerintah yang demikian itu dengan menguta643
makan prinsip keseimbangan eksploitasi dan konservasi sumber daya alam secara rasional. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kegiatan pembangunan daerah cenderung makin meningkat intensitasnya dan cenderung mengandung resiko terhadap kerusakan lingkungan, sebagai akibat dari eksplotasi SDA yang berlebihan. Fenomena ini merupa-
Implementasi Kebijakan Kewenangan Pengelolaan LHD (Edi Santoso)
kan bukti bahwa peran/kewenangan daerah (khususnya kabupaten/kota) lebih mengutamakan hak, dari pada tanggung jawab dan kewajiban pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan, sebagaimana dianut dalam UU No. 23 Tahun 1997. Karena itu, spirit otonomi daerah dengan mengedepankan pertimbangan keuntungan ekonomi guna peningkatan PAD sangat beresiko menimbulkan dampak lingkungan yang sukar diatasi, seperti pencemaran dan perusakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) akan merupakan beban sosial dan ekonomi yang tinggi bagi daerah. Dengan telah diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Jo PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah, maka berbagai arah kebijaksanaan masa lalu yang bersifat sentralistik di pusat tersebut telah berubah ke arah desentralistik. Tujuan pemerintah pusat untuk menerapkan desentralisasi (otonomi daerah) tidak lain adalah untuk meningkatkan pemberdayaan peran daerah propinsi dan kabupaten/kota agar memiliki kemandirian dalam kebijakan. Karena itu perubahan yang begitu cepat juga turut mendorong upaya adanya suatu peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan hidup yang memberikan kewenangan pada daerah, sehingga dengan demikian diharap-
kan dapat memenuhi tuntutan kebutuhan perkembangan masyarakat. Pengembangan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup saat ini dan mendatang, khususnya dalam penyusunan peraturan pemerintah tentang pedoman pengelolaan lingkungan hidup daerah yang merupakan salah satu tugas dan wewenang pemerintah pusat, juga harus memberikan peran/ kewenangan kepada daerah secara lebih besar agar dapat meredam benturan kepentingan antar pemerintah pusat dan daerah dan atau antar sektor maupun antar daerah yang dapat berakibat terjadinya disfungsional pemanfaatan potensi ekologis yang akhirnya dapat menimbulkan konflik kewilayahan yang mudah menyulut terjadinya disintegrasi bangsa. Dalam kaitannya dengan kebijakan ini, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab IV tentang Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 8 s/d 13 disebutkan bahwa pada prinsipnya SDA dikuasai oleh negara (state property) dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta pengaturannya ditetapkan oleh pemerintah. Kewenangan ketetapan pemerintah mencakup kebijaksanaan dalam mengatur, mengkoordinasi dan memberikan, atau melimpahkan kewenangan kepada daerah untuk membantu pemerintah pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. 644
“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 1, Januari 2005 : 643-655
Identifikasi masalah adalah sebagai berikut : 1) Adanya perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tentang implementasi UU No. 22 Tahun 1999 Jo PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan Daerah kaitannya dengan UU No. 23 Tahun 1997 Pasal 8-13 tentang Kewenangan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2) Dengan tidak adanya hubungan kedinasan secara vertikal antara daerah propinsi dengan daerah kabupaten/kota, maka daerah propinsi dipersepsikan tidak memiliki kewenangan mengkoordinasi, maka ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 ini akan memberikan implikasi terhadap keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup antar pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota yang potensial menimbulkan konflik kewenangan. Perumusan masalah adalah sebagai berikut : 1) Sejauh mana ketentuan-ketentuan Pasal 8-13 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Kewenangan Pengelolaan Lingkungan Hidup relevansinya dengan implementasi UU No. 22 Tahun 1999 Jo PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan Daerah, dilihat dari dimensi yuridis, filosofis, paradigma, politis dalam keterpaduan pengelolaan lingkungan lingkungan hidup nasional dan daerah?; 2) Bagaimanakah menciptakan sistem pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu antara pemerintah, propinsi, dan daerah kabupaten/kota yang didasarkan atas kesamaan persepsi 645
dan konsepsi sesuai dengan visi, misi, dan strategi pembagian kewenangan yang proporsional dan terpadu? Mengkaji isi, substansi, dan implikasi ketentuan regulasi pada Pasal 8-13 UU No. 23 Tahun 1997 relevansinya dengan UU No. 22 Tahun 1999 Jo PP No. 25 Tahun 2000 serta berbagai regulasi antar sektor yang terkait dengan masalah SDA dan lingkungan hidup. Analisis isi (content analysis) dalam kajian ini digunakan untuk mengkaji peraturan isi dan substansi pasal-pasal UU No. 23 Tahun 1997 dan regulasi berbagai sektor kaitannya dengan implementasi UU No. 22 Tahun 1999 serta kasus kebijakan daerah propinsi dan kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam proses pengaturan dan pelembagaan institusi lingkungan hidup daerah. Teknik analisis dalam studi ini dilakukan secara deskriftif dan komparatif. 1. Analisis deskriptif (descriptive analysis) tentang untuk mengeksplorasi persepsi para pihak (stakeholders) tentang makna yuridis, filosofi, paradigma, politis, dan keterpaduan pembangunan lingkungan hidup daerah dalam konteks desentralisasi; 2. Analisis isi perbandingan (comparative content analysis) : metode ini digunakan untuk membandingkan isi pasal dengan mempersandingkan beberapa aspek penting yang termuat dalam UU No. 22 Tahun
Implementasi Kebijakan Kewenangan Pengelolaan LHD (Edi Santoso)
1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup serta UU sektor lain yang terkait. B. PEMBAHASAN 1. Implikasi Yuridis; Secara konstitusional, kerangka yuridis mengenai penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berlandaskan pada UUD 1945 sebagai dasar negara kesatuan. Pasal 1 UUD 1945 merupakan pondasi bentuk Negara Indonesia sebagai suatu negara kesatuan dan Pasal 18 UUD 1945 tentang pembagian daerah yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Sedangkan penjelasan angka I pasal tersebut berbunyi “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eeindheidstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat autonoom, atau bersifat administrasi belaka, supaya menurut aturan yang berlaku akan ditetapkan
dengan undang-undang. Daerah yang bersifat autonoom (..), akan diadakan badan perwakilan oleh karena di daerah pun pemerintahan bersendi atas dasar permusyawaratan.”
Dari ketetapan konstitusi tersebut kiranya dapatlah ditarik asumsi-asumsi makna penyelenggaraan sistem pemerintahan RI sebagai berikut : a. Indonesia adalah negara kesatuan. Ini berarti bahwa asas dan konsep negara RI tidak mengenal pemahaman “negara dalam negara”, karena itu tidak mungkin dapat dibentuk negara lagi dalam Negara Indonesia. Hal ini lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 1 UUD 1945 yang menyatakan; ”(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Oleh karena itu otonomi daerah di Indonesia tidak identik jenis otonomi seperti negara bagian yang dikenal dalam sistem federal. Secara yuridis desentralisasi adalah salah satu konsep asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan di seluruh wilayah negara kesatuan RIberada dalam kerangka sistem politik Indonesia sebagai satu negara kesatuan yang utuh (unity indiversity); b. Dalam ketetapan tersebut ditegaskan bahwa dalam rangka 646
“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 1, Januari 2005 : 643-655
sistem pembagian wilayah penyelenggaraan pemerintahan “daerah-daerah akan bersifat autonoom (otonomi) atau bersifat administratif belaka”. Daerah yang bersifat otonom adalah atas dasar desentralisasi, sedangkan daerah administrasi belaka adalah atas dasar dekonsentralisasi. Dengan demikian prinsip desentralisasi dan juga prinsip dekonsentrasi dilaksanakan baik secara bersamaan maupun sendiri-sendiri di masing-masing daerah, propinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Karena itu, ditegaskan bahwa pelaksanaan ketentuan tersebut akan ada aturan yang ditetapkan dengan undangundang mengenai pembagian daerah tersebut; c. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan diselenggarakannya prinsip otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab sesuai dengan kemampuan (ability) kelembagaan daerah. Makna otonomi ini bukan berarti devolusi kekuasaan atau kewenangan dimana pemerintah daerah terlepas dari kewenangan kebijakan pusat; d. Dari hasil analisis perbandingan antara UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka makna otonomi daerah di bidang lingkungan secara yuridis belum memiliki 647
dasar hukum yang kuat jika dikaitkan dengan pendekatan ekologis dan fungsional. Karena pendekatan kewilayahan saja tidak akan dapat mengatasi segala konsekuensi yang timbul dari implementasi otonomi daerah bidang lingkungan hidup, tanpa dilihat dari dimensi sistem pengelolaan. Dimensi otonomi fungsional di bidang lingkungan memuat prinsipprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai berikut : 1) Daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota adalah sub sistem organisasi pemerintahan negara RI; 2) Dalam kerangka otonomi daerah, sub sistem memiliki kemampuan mandiri; 3) Sebagai sub sistem daerah sangat menguasai fungsinya, yakni fungsi kebijakan dan pelayanan masyarakat umum; 4) Sebagai sub sistem, daerah memiliki solidaritas yang tinggi; 5) Sebagai sub sistem, daerah berani dan yakin dalam pengambilan keputusan; dan 6) Sebagai sub sistem, daerah tidak terpisahkan dengan sub sistem daerah yang lain. 2. Implikasi Filosofis Dalam kaitannya dengan desentralisasi (otonomi) bidang lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka nilai-nilai filosofi yang termaktub pada isi dan substansi pasal-pasal UU No. 22 Tahun 1999 memiliki relevansi yang penting baik
Implementasi Kebijakan Kewenangan Pengelolaan LHD (Edi Santoso)
dari sisi filosofis maupun dalam konteks implementasinya. Kedua regulasi ini tentu tidak boleh bertentangan, tetapi saling menopang baik secara filosofis maupun pelaksanaannya. Artinya, kebijakan pembangunan nasional dan daerah di bidang lingkungan hidup senantiasa harus selaras dengan filosofi dan paradigma “otonomi daerah dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang gayut dengan spirit negara kesatuan dan sensitif perubahan lingkungan global”. Pada hakekatnya, kedua regulasi ini baik secara eksplisit maupun implisit menekankan jaminan akan keutuhan NKRI dengan tetap mendasarkan Pancasila dan UUD’45. Artinya, tidak terdapat kontras atau perbedaan filosofi tentang isi dan substansi dari maksud dan tujuan yang hendak dicapai, yakni pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat yang dilandaskan pada spirit nilainilai demokrasi, keadilan, pemerataan, egaliter, dan partisipatif. Jika di persandingkan, visi dan misi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup yang tertuang dalam BAB IV Pasal 7-13 UU No. 27 Tahun 1999 dan BAB IV Pasal 8-13 UU No. 23/27 belum ada kegayutan jika dilihat dari dimensi filosofi otonomi daerah. Di satu sisi, UU No.
23 Tahun 1997 masih bersifat sentralistis, karena pemerintah pusat memiliki porsi mengatur yang lebih besar dari pada propinsi dan kabupaten. Sedang UU No. 22 Tahun 1999 dalam ketentuan pasal dan penjelasannya, ternyata masih lemah baik dari isi dan substansi serta landasan filosofinya. Secara paradigmatik, regulasi ini belum memiliki spirit dan tujuan otonomi daerah dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Isi dan substansi pengaturan kedua regulasi tersebut, khususnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup menunjukkan masih adanya multi tafsir dari formulasi pasal yang ditetapkan, beberapa kelemahan yang menonjol adalah : a. Redaksional pemakaian kosa kata tidak disusun sesuai kalimat baku; b. Inkonstitusional antar pasal (saling bertentangan); c. Jenis urusan yang diserahkan, berkaitan dengan prosedur/ kriteria tidak jelas; d. Lingkup dan batas kewenangan tidak jelas; e. Penjelasan pasal kurang tegas dan jelas. 3. Implikasi Paradigma Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, khususnya mengenai pelimpahan wewenang kepada pemerintah propinsi, kabupaten/kota maka UU No. 23 Tahun 1997 tentang 648
“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 1, Januari 2005 : 643-655
Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya perihal kewenangan belum selaras dengan paradigma otonomi daerah (Pasal 7,8,9,10,12, dan 13). Beberapa aspek yang belum selaras dengan paradigma antara lain adalah : a. Dalam hal visi dan misi kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah di bidang SDA dan LH belum ditegaskan isi dan substansi makna demokrasi, pemerataan, keadilan, transparansi, dan permusyawaratan kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup selaras dengan UUD’45 dan Pancasila; b. Beberapa prinsip dasar kebijakan sistem pengaturan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan upaya reformasi dan perubahan mental (mental swicth) para pelaku lingkungan belum secara eksplisit ditegaskan. Menurut Otto Sumarwoto, selama ini sikap dan kelakuan warga terhadap lingkungan hidup sangat didominasi oleh pertimbangan ekonomi, yang mendorong eksploitasi lebih, tanpa diikuti perlindungan lingkungan yang memadai. Sikap itu tampaknya semakin menguat dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang dikhawatirkan akan melahirkan paradigma baru, dari konsep negara menguasai ke daerah menguasai yang dilandasi oleh spirit dan aksentuasi penyelenggaraan otonomi daerah yang mengedepankan pertim649
bangan kewilayahan dan pemantaatan SDA dan LH secara tidak bijaksana guna peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD); c. Ego sektoral yang dahulu menguat, justru berubah menjadi ego kewilayahan yang tentu sangat potensial menimbulkan konflik antara daerah dan keutuhan NKRI. Karena itu, kendatipun UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat kelemahan dari segi sentralisasi namun regulasi ini memuat prinsip dasar pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang mengedepankan pendekatan keterpaduan (entegreated), antara pemerintah pusat dan daerah antar sektor dan atau antar daerah. Sehubungan dengan itu, diperlukan pendekatan alternatif untuk mengatasinya (Otto : 2001), yaitu dengan paradigma sistem pengelolaan Atur Diri Sendiri (ADS). Maknanya ialah tanggung jawab menjaga kepatuhan dan penegakan hukum lebih banyak ditanggung oleh masyarakat. Paradigma ADS juga memperhatikan sifat egoistis manusia sehingga sedikit mungkin terjadi konflik antara pengelolaan dan egoisme itu sendiri. Paradigma ADS dipelopori oleh dunia usaha, hal ini didorong oleh makin kuat dan luasnya tekanan masyarakat pada dunia bisnis untuk berlaku ramah lingkungan. Literatur yang ada
Implementasi Kebijakan Kewenangan Pengelolaan LHD (Edi Santoso)
menunjukkan bahwa paradigma 5. Implikasi Kewenangan Desentralisasi itu sendiri ADS merupakan kecenderungan yang akan terus berkembang dalam sebenarnya mengandung dua pengertian utama, yaitu: a) Desentratahun-tahun mendatang. lisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan 4. Implikasi Politik Dari sudut pendekatan politik wewenang tertentu kepadanya oleh maka isi dan substansi pada semua pemerintah pusat; dan b) Desentrapasal UU No. 22 Tahun 1999 dan UU lisasi dapat pula berarti penyerahan No. 23 Tahun 1997 tersebut tidak/ wewenang tertentu kepada daerah belum mencantumkan secara otonom yang telah dibentuk oleh eksplisit esensi pemberian otonomi pemerintah pusat. Oleh karena itu, daerah yang mencakup tiga aspek sesuai dengan nilai-nilai dasar filosofi politik; yakni pertama, matra dan paradigma yang berlaku dalam pembagian kewenangan pengelo- era pemerintahan global ini, peran laan lingkungan dan SDA (power negara menguasai harus diubah sharing) antara pusat dan daerah; menjadi memfasilitasi. Tidak mekedua, matra pembagian hasil SDA monopoli kewenangan, tetapi memdan keuangan dan personalia (finan- bagi habis tugas-tugas, hak, kewacial & manpower sharing) antara jiban, dan tanggung jawab kepada pusat dan daerah; dan ketiga, matra semua faktor, yakni insitusi sektor kriteria pelimpahan kewenangan publik dan birokrasi. Kebijakan pengaturan keweadat dan budaya (political & social nangan pengelolaan, pemanfaatan cultural power) kepada daerah. Secara umum aspek politik potensi SDA dan LH sesuai UU No. ekologi ini memang telah disebutkan 23 Tahun 1997 UU No. 22 Tahun di bagian konsideran, tetapi secara 1999, berikut aturan pelaksanaannya eksplisit (tekstual) dalam ketentuan harus mendasarkan pada prinsipsemua pasal kedua regulasi tersebut prinsip pendekatan kebijakan yang tidak menyebutkan terminologi politik tidak sentralistik dan desentralistik ekologi yang bertalian dengan aspek (egoisme daerah) seperti yang otonomi/kewenangan daerah di tercermin dalam ketentuan Pasal 7bidang lingkungan hidup. Karena itu, 13 UU No. 22 Tahun 1999 dan Pasal dalam rangka pemerintah menyusun 8-13 sebagai berikut dalam kebijaksanaan umum pelaksanan kerangka otonomi, desentralisasi otonomi di bidang lingkungan perlu dan pola implementasinya menjadi mencantumkan terminologi politik agenda penting dalam pelaksanaan. Khusus bagi Negara Republik ekologi sebagai berikut. Indonesia yang konstitusinya mengamanatkan bentuk negara kesatuan, pemahaman konsep desentralisasi 650
“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 1, Januari 2005 : 643-655
menjadi paralel dengan konsep mengenai otonomi daerah. Dalam sistem negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan ada pada pemerintah pusat, sementara otonomi pemerintah daerah hanya meliputi urusanurusan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Konsep tersebut membuat masalah desentralisasi menjadi amat berpengaruh atas otonomi daerah yang diberlakukan. Benyamin Hoessein (12 : 2001) mengatakan bahwa perwujudan desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi daerah atau disingkat otonomi. Dengan kata lain, desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Oleh karena itu, desentralisasi akan selalu berkaitan dengan otonomi daerah, dan daerah otonom. Dalam konteks penyelenggaraan otonomi daerah maka pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah propinsi, daerah kabupaten/kota UU No. 22 Tahun 1999 baik secara eksplisit maupun implisit belum mendasarkan pada komitmen atau kesepakatan yang bertalian dengan tujuh kewenangan yang mencakup : 1) Maksud dan tujuan kewenangan; 2) Siapa yang memberikan kewenangan siapa; 3) Level apa yang diberi kewenangan; 4) Kewenangan apa saja yang diberikan; 5) Apa yang harus dilakukan untuk melaksanakan kewenangan; dan 6) Bagaimana cara
651
melakukannya dan kemampuan dari pemberi dan penerima kewenangan. Dengan demikian akan dapat diminimize terjadinya konflik kewenangan atau tarik ulur antara pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota baik vertikal maupun horizontal. C. PENUTUP 1. Simpulan a. Baik dilihat dari dimensi yuridis, filosofis, paradigma, dan politik, maka dapat disimpulkan bahwa UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 23 Tahun 1997 belum terdapat kegayutan yang saling mendukung. Di satu sisi UU No. 22 Tahun 1999 menimbulkan spirit dan aksentusasi otonomi daerah yang ditandai oleh timbulnya budaya etnosentrisme. Sementara UU No. 23 Tahun 1997 sangat sentralistis. Hal ini tercermin dalam isi dan substansi pada bagian konsideran dan aspek kewenangan antara pemerintah, daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota. UU No. 22 Tahun 1999 menimbulkan implikasi baik secara denotatif dan konotatif, karena masih terdapat kelemahan baik dari aspek tekstual dan substansional yang banyak menimbulkan multi intepretasi; b. Dari telaah empirik di berbagai kabupaten dan kota (khususnya di Jawa Tengah), terdapat temuan bahwa hampir semua rancangan peraturan daerah atau
Implementasi Kebijakan Kewenangan Pengelolaan LHD (Edi Santoso)
pusat pada daerah, bukan makna Perda di bidang kewenangan devolusi yang terlepas sama pengelolaan lingkungan hidup sekali dari kebijakan pemerintah lebih dari 50 % mencantumkan pusat. Kewenangan pemerintah aspek hak daerah, dan mengapusat di bidang lingkungan hidup baikan aspek kewajiban dan tidak lagi menjadi pelaksana akan tanggung jawab dalam konteks tetapi sebagai penyusun koordinasi, konsultasi baik kebijakan makro dan penetapan secara dalam kewenangan berbagai norma, standar, kriteria, vertikal maupun horizontal. dan prosedur; Potensi sumber daya alam hayati maupun non hayati masih dilihat d. Sebagaimana bunyi pasal-pasal yang terkandung dalam ketensebagai aset sektoral, dan sejak tuan, pemerintah memberikan berlakunya UU No. 22 Tahun kewenangan kepada daerah 1999, bahkan diklaim sebagian untuk menetapkan dan melakpemerintah daerah dan masyasanakan kebijaksanaan berrakat sebagai semata-mata aset dasarkan aspirasi masyarakat daerah. Padahal, konstitusi setempat dan memungkinkan mengisyaratkan bahwa aset kerja sama antar daerah dengan tersebut merupakan aset bangsa membentuk Badan Kerjasama yang tunduk di bawah otoritas Antar Daerah. Namun demikian, negara (Pasal 33 ayat (3) UUD hal ini tidak direspon secara 1945). Artinya, potensi sumber proaktif. Di samping itu, pelakdaya tersebut, seyogyanya sanaan otonomi daerah di bidang dikelola secara terpadu untuk lingkungan hidup ternyata dihakepentingan seluruh warga dapkan pada masalah tarikbangsa Indonesia; menarik kepentingan antara c. Dilihat dari aspek kebijakan pusat, propinsi dan lokal, spirit nasional, maka otonomi daerah dan aksentuasi daerah yang di bidang lingkungan secara berlebihan, keterbatasan sumber garis besar belum merujuk pada daya baik dana, dan SDM, model pendekatan kebijakan sehingga formula kelembagaan yang memuat secara komprebidang lingkungan beraneka hensif nilai-nilai demokratisme, ragam (sedikit berbentuk badan, egalitarianisme, etik pluralisme, dan lainnya hanya kantor bahkan dan utilitarianisme antar pemerinada yang bagian), karena tah pusat, propinsi, dan kabumenyangkut sumber daya alam paten/kota. Otonomi daerah yang merupakan aset; menurut UU No. 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan pada e. Peran partisipan dalam pengelolan lingkungan dalam kedua propinsi, kabupaten/kota, berarti regulasi itu belum memuat esensi sebuah pelimpahan pemerintah 652
“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 1, Januari 2005 : 643-655
daerah harus ditegaskan sebagai Otonomi Fungsional Pengelolaan Lingkungan (OFPL), yang lebih sesuai dengan konsep ekosistem dan pluralitas bangsa Indonesia. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah karenanya perlu disosialisasikan empat fungsi lingkungan; yakni fungsi pengaturan, pengelolaan, pemanfaatan, dan fungsi pelayanan masyarakat bukan pada batas-batas wilayah administratif. Tetapi batas-batas Oleh karena itu, konsep ekologis-biologis dan batasdesentralisasi di bidang lingkungan batas ekosistem. Sangat tidak bukan berarti merupakan otonomi rasional kalau asas dan prinsip daerah yang bersifat absolut. Dari pengelolaan lingkungan daerah hasil kajian review perundangmendasarkan batas-batas undangan yang bertalian dengan wilayah administratif; masalah lingkungan hidup dapat disimpulkan bahwa kendatipun dari 2. Selaras dengan prinsip pembangunan lingkungan yang dimensi filosofi dan paradigma berorientasi bio-ecoregion dan pembangunan lingkungan hidup paradigma pembangunan lingIndonesia telah dikonstatasikan kungan hidup daerah berkedengan baik, namum dari dimensi lanjutan, maka pelaku-pelaku yuridis dan politis perlu ditinjau dibidang lingkungan harus kembali; seperti yang terkait dengan disebutkan secara eksplisit yakni AMDAL daerah dan respon daerah merubah sifat trikhotomis (pemekabupaten dan kota terhadap rintah, pengusaha dan masyatuntutan global, seperti ISO 14000 rakat) menjadi sembilan peran dan sebagainya. (Oktothomis : eksekutif, legislatif, yudikatif (layer), LSM, perguruan 2. Saran tinggi, pengusaha, tokoh masyaa. Dalam menyusun Rancangan rakat, pers, dan masyarakat). Peraturan Pemerintah (RPP), Kebijakan ini akan dapat meruberikut aturan kebijakan teknis bah sifat sentralisasi ke desenoperasional dipandang penting tralisasi, yang mengubah dari mempertajam aspek filosofi, terminologi penguasa tunggal di paradigma dan politik yang daerah (bupati/walikota) sebagai menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, penggunaan terminologi pendekatan sistem sebagai inti (core) kebijakan nasional, sehingga pengelolaan lingkungan hidup daerah cenderung berorientasi pada kepentingan daerah. Artinya, ketentuan yang ada belum secara eksplisit menyebutkan pendekatan sistem, yang dimaksudkan bahwa daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota adalah sub sistem politik NKRI.
653
Implementasi Kebijakan Kewenangan Pengelolaan LHD (Edi Santoso)
kewenangan pengelolaan lingkusingle stakeholder menjadi multi ngan hidup daerah; stakeholders approach; c. Sistem pengaturan pembagian e. Perlunya segera dibentuk Badan Kerjasama Antar Daerah di kewenangan antara pemerintah Bidang Lingkungan Hidup pusat, propinsi, kabupaten/kota (BKADLH) serta menyusun prosecara rasional belum mengedegram memberdayakan kelompankan kebijakan yang memuat pok-kelompok masyarakat sipil hal-hal sebagai berikut : dan organisasi masyarakat lewat 1) Kejelasan kawasan dan pendekatan partisipatif dalam batas-batas pengelolaan; pengambilan keputusan dan 2) Lingkup pemanfaatan SDA penyelesaian konflik lingkungan dan lingkungan; melalui mediasi di bidang penge3) Penetapan dan pengakuan lolaan lingkungan hidup daerah; atas peran, tanggung jawab dan hak masing-masing f. Perlu peningkatan peran Bapedalda sebagai simpul stakeholder; dalam koordinasi antar kabu4) Prosedur pengambilan kepupaten dan kota dalam pengelotusan dan penyelesaian laan, pengendalian, dan pemukonflik lingkungan; lihan lingkungan di daerah. 5) Prosedur dalam menegakBentuk kelembagaan lingkungan kan kesepakatan-kesepadi daerah, direkomendasikan katan yang dibuat; yang mampu melaksanakan 6) Rencana manajemen lingkoordinasi pengelolaan lingkukungan yang detil dan utuh ngan hidup di daerah dalam dalam kerangka ekologis, bentuk setingkat badan. adimistratif dan fungsional. d. Segera dilakukan revisi pada g. Perlunya segera dibuat peraturan pedoman pengelolaan pasal-pasal yang tertuang dalam lingkungan hidup daerah oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU pemerintah pusat di dalam No. 23 Tahun 1997 yang tidak melaksanakan kebijakan pengeselaras dengan logika yuridis, lolaan lingkungan hidup, guna filosofis, paradigma, dan politis. menghindari penyalahgunaan Penetapan resmi (formal) tentang kekuasaan sebagai akibat filosofi dan paradigma pendemeningkatnya wewenang dan katan pembangunan daerah yang tanggung jawab daerah, sebagai terpadu, berwawasan lingkungan rambu-rambu pelaksanaannya dan berkelanjutan sebagai dan meningkatkan peran pengalandasan konsep dan teknis wasan secara efektif. operasional kebijakan pembangunan nasional harus menjadi rujukan dalam desentralisasi 654
“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 1, Januari 2005 : 643-655
Wibawa, Samodra. 1991. Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta : Budiharjo, Eko. 2002. Tata Ruang PT. Tiara Wacana. dan Lingkungan Hidup. Makalah disampaikan pada kursus AMDAL di Zen, M.T. 1985. Menuju Kelestarian PPLH Universitas Diponegoro. Lingkungan Hidup. Jakarta : PT. Gramedia. Semarang. DAFTAR PUSTAKA
PP No. 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang Daerah. Santosa, Edi. 2001. Reformasi Birokrasi. Semarang : PUSKODAK FISIP UNDIP. Santosa, Edi. 2002. Pengembangan SDM dalam Otonomi Daerah Semarang : PUSKODAK FISIP UNDIP. Studi Pemetaan Wilayah Pesisir dan Laut Kota Bontang. 2002. Semarang: PPLH Lemlit UNDIP. Sunu, Pramudya. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta : PT. Gramedia: Widiasarana Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah.
655