7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Pelaksanaan pembangunan di kawasan pesisir harus dilakukan dengan terpadu dan holistik jika ingin mewujudkan pengembangan dan pembangunan kawasan pesisir yang optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (integrated coastal zone management – ICZM) adalah pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental service) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan (Dahuri et al. 2001). Pengelolaan ini dilakukan dengan kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholder) serta memperhatikan konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc Creary dalam Dahuri et al. 2001). Batas wilayah pesisir untuk kepentingan pengelolaan terdapat dua macam, yaitu batas untuk wilayah perencanaan dan batas untuk wilayah pengaturan atau pengelolaan sehari-hari. Wilayah perencanaan meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumber daya di pesisir. Sementara dalam pengelolaan wilayah sehari-hari (day to day management), pemerintah (pihak pengelola) mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan atau menolak suatu kegiatan pembangunan di kawasan pesisir. Sehingga untuk wilayah pengaturan menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pengelolaan wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instansi yang mengelola daerah hulu atau laut lepas. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami maupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wiayah pesisir antara lain
8
adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, industri, agroindustri, dan pemukiman. Lang (1986) dalam Dahuri (2001) menyarankan bahwa keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level) yaitu tataran teknis, konsultatif dan koordinasi. Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan harus seimbang/proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya pesisir dan lautan. Sedangkan pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang terlibat (stakeholder) atau pihak yang akan terkena dampak pembangunan sumber daya pesisir harus diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan. Dan pada tataran koordinasi mensyarakatkan diperlukannya kerjasama yang harmonis antara semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Pada dasarnya pengelolaan (management) terdiri dari tiga tahap utama yaitu : perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, maka nuansa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Selain itu keterpaduan juga harus mencakup tiga dimensi yaitu dimensi sektoral, bidang ilmu serta keterkaitan ekologis. Pada dimensi keterpaduan sektoral, mensyaratkan adanya koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektoral. Keterpaduan dari sudut pandang bidang keilmuan dimaksudkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir harus dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, d1l) yang relevan. Keterpaduan juga harus memperhatikan keterkaitan ekologis, mengingat wilayah pesisir tersusun dari berbagai macam ekosistem yang satu sama lain saling terkait, perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan berdampak pada ekosistem yang lain.
9
2.2. Reklamasi Pantai Dalam memanfaatkan lahan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, seharusnya secara otomatis membuat manusia lebih bijaksana, bukan justru menjadikannya sebagai alat untuk mempermudah memaksimalkan eksploitasi lahan tersebut. Asvaliantina et al. (2004) dalam Dharmayanti (2006) menyatakan bahwa dalam melakukan reklamasi terhadap kawasan pantai, harus memperhatikan berbagai aspek/dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Dampak-dampak tersebut antara lain dampak lingkungan, sosial budaya maupun ekonomi. Dampak lingkungan misalnya mengenai perubahan arus laut, kehilangan ekosistem penting, kenaikan muka air sungai yang menjadi terhambat untuk masuk ke laut yang memungkinkan terjadinya banjir yang semakin parah, kondisi lingkungan di wilayah tempat bahan timbunan, sedimentasi, perubahan hidrodinamika yang semuanya harus tertuang dalam analisis mengenai dampak lingkungan. Dampak sosial budaya diantaranya adalah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM (dalam pembebasan tanah), perubahan kebudayaan, konflik masyarakat, dan isolasi masyarakat. Sementara dampak ekonomi diantaranya berapa kerugian masyarakat, nelayan, petambak yang kehilangan mata pencahariannya akibat reklamasi pantai.
2.2.1. Motif Kegiatan Reklamasi Pantai Reklamasi adalah suatu kegiatan atau proses memperbaiki daerah atau areal yang tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia antara lain untuk lahan pertanian, perumahan, tempat rekreasi dan industri (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990). Dari definisi di atas, kegiatan reklamasi pantai adalah kegiatan untuk memperbaiki kondisi pesisir suatu wilayah. Hal ini sangat terkait dengan pesatnya kemajuan pembangunan suatu kota di pesisir yang menuntut pengembangan saranaprasarana baru seperti pelabuhan, bandara, kawasan perindustrian, pemukiman, sarana sosial, rekreasi dan sebagainya.
10
Kegiatan reklamasi biasanya dilatarbelakangi oleh alasan bahwa harga lahan di darat semakin mahal sehingga orang atau pemerintah daerah lebih memilih alternatif untuk menimbun pantai atau reklamasi untuk memperoleh lahan bagi pengembangan kota. Bahkan dalam beberapa kasus, reklamasi di kawasan pesisir sangat menjanjikan keuntungan secara ekonomis bagi pemerintah setempat, misalnya dalam hal penjualan lahan hasil reklamasi, investasi dalam bidang properti dan infrastruktur, retribusi dan pajak pembangunan juga kegiatan perekonomian di kawasan tersebut merupakan pemasukan ke kas pemerintah yang sangat menjanjikan. Ruesink dan Wu (2004) menyatakan telah mengidentifikasi 4 penggerak utama reklamasi pantai yaitu pertama adalah ekspansi pertanian yang dimulai pada awal abad ke 6 di teluk Osaka Jepang. Kedua adalah pembangunan industri yaitu pantai dinilai sebagai lokasi yang nyaman dilakukannya reklamasi untuk kawasan industri karena dekat dengan rute perdagangan untuk bahan dan ekspor. Ketenagakerjaan tersedia dari kota terdekat dan limbah dari proses industri hanya dibuang begitu saja pada anak sunga. Ketiga adalah reklamasi untuk pengembangan industri diwilayah pantai sering disertai dengan pembangunan pelabuhan untuk pengiriman barang. Keempat adalah kepadatan penduduk yang semakin meningkat akibat dari pengembangan kawasan industri diatas. Reklamasi pantai, apabila dilaksanakan secara terpadu, dengan teknologi yang tepat, dan sesuai dengan kondisi biogeofisik serta memperhatikan kondisi sosial ekonomi, maka kegiatan ini akan memberikan keuntungan dan manfaat seperti dalam hal (Pratikno, 2004) : •
mendapatkan tambahan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti untuk untuk tempat wisata, daerah industri, pelabuhan bahkan perumahan atau hotel,
•
memperbaiki kondisi fisik pantai yang telah mengalami kerusakan seperti akibat erosi,
•
memperbaiki kualitas lingkungan pantai secara keseluruhan,
•
memberikan kejelasan tanggung jawab pengelolaan pantai Sedangkan, reklamasi yang dilakukan secara parsial dan tidak terpadu
justru akan memberikan kondisi yang sebaliknya. Banyak kegiatan reklamasi di
11
Indonesia baik yang telah maupun yang sedang berjalan pada akhirnya menimbulkan permasalahan. Permasalahan ini terkait dengan teknis pelaksanaan kegiatan, masalah sosial, ekonomi, budaya dan khususnya masalah lingkungan. Masalah tersebut muncul pada semua tahap baik pra, pelaksanaan, maupun pasca kegiatan, yang seringkali membuat kegiatan reklamasi menjadi terbengkalai dan bahkan menimbulkan masalah. Kegiatan reklamasi, secermat apapun dilakukannya, tetap akan mengubah kondisi dan ekosistem pesisir dan tentunya tidak akan sebaik ekosistem yang alami. Upaya reklamasi pesisir perlu direncanakan sedemikian rupa agar keberadaannya tidak mengubah secara radikal ekosistem pantai yang asli. Perencanaan tata ruang yang rinci, penelitian lingkungan untuk analisis dampak lingkungan, penelitian kondisi hidrooseanografi, perencanaan teknis reklamasi dan infrastruktur, perencanaan drainase dan sanitasi, perencanaan fasilitas sosialekonomi, dan lain sebagainya sangat dibutuhkan sebelum kegiatan dilakukan dalam suatu konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu.
2.2.2. Contoh Pelaksanaan Reklamasi Reklamasi pantai telah dilaksanakan di berbagai tempat di dalam, maupun luar negeri. Contoh reklamasi pantai terjadi pantai utara Jakarta yang dinilai sengaja diberikan kesan seolah-olah proyek ini ramah lingkungan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta melakukan revitalisasi bersamaan dengan reklamasi Pantura Jakarta (Cahyadi, 2008) Revitalisasi dengan tetap mengijinkan reklamasi pantai untuk kawasan komersial dan hunian mewah di Jakarta sudah dapat dipastikan tidak akan mampu mengatasi dampak sosial dan lingkungan yang terjadi di lahan hasil reklamasi. Pasalnya, pembangunan kawasan komersial baru di kawasan hasil reklamasi itu dipastikan akan semakin menjadikan kota ini sebagai daerah tujuan urbanisasi. Akibatnya, problem sosial dan ekologi di kota ini semakin sulit dipecahkan. Problem ekologi yang segera muncul dari meledaknya urbanisasi di Jakarta adalah bertambahnya volume sampah di kota ini. Menurut Walhi, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada
12
tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). Volume itu dipastikan akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya manusia yang ada di Jakarta. Bukan hanya sampah, meningkatnya kawasan komersial di Jakarta yang difasilitasi oleh reklamasi Pantura Jakarta dipastikan juga akan menarik kendaraan bermotor pribadi masuk ke kota ini. Akibatnya, kemacetan lalu lintas dan polusi udara akan semakin parah terjadi. Meskipun berbagai infrastruktur transportasi di bangun di kota ini dipastikan tidak akan mampu mengatasi kemacetan lalu lintas dan polusi udara bila daya tarik Jakarta terus saja difasilitasi untuk tetap tumbuh. Pembangunan kawasan komersil baru di lahan hasil reklamasi Pantura Jakarta juga dipastikan akan mengubur mimpi kota ini untuk dapat mengatasi banjir yang terjadi pada musim hujan dan yang disebabkan oleh air pasang laut. Pengambilan air tanah secara besar-besaran juga ditambah beban bangunan di atas kota Jakarta telah menyebabkan penurunan permukaan tanah di kota ini beberapa sentimeter dalam setiap tahunnya. Artinya, potensi banjir di Jakarta akan semakin besar dengan penambahan kawasan komersial baru di lahan hasil reklamasi Pantura itu. Reklamasi Pantai Dadap yang dilakukan oleh Koperasi Pasir Putih telah berlangsung sejak tahun 2001. Puluhan Hektar Bibir Pantai telah berhasil direklamasi dan akibatnya muara sungai Dadap menjadi dangkal akibat sedimentasi dan “timbunan” tanah merah yang membuat Lumpur menjadi terangkat kepermukaan. Pendangkalan ini membuat lalu-lintas perahu nelayan kesulitan lewat dan sering kandas. Tidak jarang perahu yang berpapasan harus antri untuk lewat secara bergantian, padahal lebar mulut sungai Dadap sebelum adanya kegiatan reklamasi mencapai 35 meter lebih (LANSKAP, 2008). Secara ekologis, reklamasi Pantai Dadap telah memusnahkan puluhan hektar hutan mangrove yang dulu tumbuh subur disekitar Pantai Dadap. Menurut sebuah kajian, musnahnya mangrove ternyata menjadi penyebab utama menurunnya hasil pendapatan nelayan yaitu secara ilmiah, pohon mangrove adalah tempat berkumpulnya biota laut yang menjadi sumber makanan bagi ikan, udang, kerang dan sebagainya. Hilangnya mangrove berarti habitat laut
13
kehilangan sumber makanannya sehingga nelayan kesulitan mendapatkan ikan disekitar perairan Pantai Dadap. Disamping itu, kegiatan reklamasi Pantai Dadap ini juga berpotensi menimbulkan banjir akibat tertahannya air dari hulu sungai perancis. Bila musim hujan tiba, air dari hulu sungai tertahan oleh timbunan lumpur di muara dan tumpah ruah ke pemukiman penduduk. Demikian juga dengan kasus Reklamasi di Pulau Serangan – Bali. Pulau Serangan yang luasnya 111,9 Ha dan berpenduduk 3253 jiwa (85 % penduduknya sebagai nelayan), merupakan daerah pariwisata sejak tahun 1970. Reklamasi di Pulau Serangan dimulai awal tahun 1990-an, dengan masuknya investor yang akan membangun resort "Bali Turtle Island Development (BTID)". Pembebasan lahan mulai dilakukan, BTID melakukan AMDAL, serta pengerukan dan penimbunan dimulai untuk menambah luasan lahan Serangan hampir empat kali lipat. Proyek BTID menimbulkan permasalahan bagi lingkungan dan masyarakat. Permasalahan utama adalah hilangannya mata pencaharian masyarakat akibat rusaknya lingkungan dan penimbunan. Perubahan area laut terjadi di Pulau Serangan, yang menyebabkan abrasi pantai di beberapa lokasi juga terjadinya penumpukan lumpur dan sampah, yang berdampak pada kerusakan ekosistem hutan bakau, terumbu karang dan padang lamun serta ekosistem penyu (Moinarski, 2002). Proyek BTID juga berdampak pada kehidupan sosial. Dalam proses pembebasan tanah, terjadi intimidasi-intimidasi bahkan sampai pelanggaran HAM dengan sistem ganti rugi yang tidak wajar, disamping itu, kesucian pura (Pura Sakenan) di ganggu oleh proyek BTID. Kehidupan sosial budaya berubah secara drastis dengan kehilangan 'budaya nelayan Serangan, sementara budaya baru sulit dicari karena umumnya masyarakat kurang berpendidikan. Indriasar (2003) dalam Dharmayanti (2006) menyatakan bahwa kegiatan reklamasi juga dilakukan hampir di 70 % kota-kota pantai di dunia. Seperti di Hongkong, Bangkok (Thailand), Manila (Philipina), Tokyo dan Osaka (Jepang), Pearl River Delta Infrastructure dan Victoria Harbour, Amsterdam dan Sidney (Australia), Ho Chi Minth City (Vietnam) serta Singapura. Bahkan di Belanda pun yang ketinggian daratannya di bawah permukaan air laut, reklamasi bisa
14
dilakukan mencapai sepertiga dari wilayahnya, dengan bantuan teknologi. Sebagai contoh negara tetangga kita Singapura, telah berhasil melakukan reklamasi. Di Singapura, reklamasi merupakan satu-satunya jalan untuk memperluas wilayahnya. Laju pertambahan penduduk di Singapura yaitu 1.3 % per tahun. Turis dan tenaga asing terus bertambah. Tahun 2002, sekitar 4 juta penduduk mendiami Singapura, dan diperkirakan akan naik menjadi lima juta penduduk sepuluh tahun yang akan datang. Selain untuk menampung penduduk, Singapura juga memerlukan lahan untuk industri. Di Jurong, sedang dibangun industri Petrokimia, sedang Changi akan dijadikan kawasan industri teknologi tinggi. Reklamasi di Singapura terlihat jelas, luas Singapura yang asalnya 580 km2 pada tahun 1960-an, kini bertambah menjadi 760 km2. Lebih luas dari DKI Jakarta yang hanya 661,52 km2. Salah satu contoh kegiatan reklamasi yang sedang direncanakan adalah reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam sepuluh tahun terakhir, di wilayah pantai utara Jakarta terutama di Kawasan Ancol sudah terlihat proyek-proyek reklamasi.
2.2.3. Reklamasi Pantai Kamali Kota Bau-bau Posisi Kota Bau-bau dari segi geostrategis merupakan posisi yang dilalui jalur pelayaran nasional dan internasional, sehingga Kota Bau-bau pada prinsipnya juga ikut memainkan peranan yang cukup besar terhadap kawasan Asia. Sebab posisi dan jalur yang dipakai serta sumber potensi perdagangan hasil laut yang cukup besar terhadap percaturan pasar di Asia dan Asia Tenggara. Hal ini menunjukan geliat kota yang ramai dan penuh dengan tekanan persaingan yang akan menimbulkan manusia dengan tingkat stress tinggi sehingga potensi konflik besar terjadi. Karakter kota perdagangan jelas membuat suasana masyarakat dengan karakter yang keras. Embrio ini sudah terlihat karena kota Bau-bau menjadi tempat eksodus masyarakat Ambon akibat konflik yang terjadi beberapa waktu lalu. Oleh karena itu Pemko Bau-bau mengambil inisiatif yaitu membuat ruang multi fungsi untuk dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat. Bentuk inisiatif tersebut salah satunya melakukan reklamasi pantai Kamali sebagai ruang publik yang dapat memberikan suasana nyaman dan aman.
15
Pantai ini disebut sebagai Pantai Kamali karena berada di pesisir pantai bekas bangunan “Kesultanan Buton (Butuni)” (Apeksi, 2006). Kota Bau-bau merupakan kota perdagangan dan transportasi laut yang tergolong sangat aktif. Sehingga untuk mewujudkan sebagai kota yang nyaman, aman dan asri, Pemko yang melibatkan stakeholder segera mengambil tindakan untuk menanggulangi berbagai permasalahan (Apeksi, 2006).
2.3. Dampak Umum Reklamasi Aktivitas reklamasi, baik reklamasi pantai, sungai atau rawa yang bertujuan untuk mengubah badan air/lahan basah menjadi daratan/lahan kering dengan jalan penimbunan atau pengeringan secara umum dapat membawa dampak terhadap ekosistem perairan, apalagi jika aktivitas tersebut tanpa adanya perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan dan pemantauan yang baik (Pratikno, 2004). Pekerjaan reklamasi yang didalamnya meliputi tiga tahap pekerjaan, yaitu: tahap prakonstruksi (mencakup aktivitas survei dan perencanaan serta pembebasan lahan dan pemukiman kembali), tahap konstruksi (terdiri atas aktivitas mobilisasi personal, persiapan lahan reklamasi dan pelaksanaan reklamasi) dan tahap pascakonstruksi (pematangan tanah dan pengembangan) mempunyai beberapa potensi dampak pada ekosistem perairan yang disebabkan oleh beberapa sumber dampak. Dampak-dampak tersebut perlu dikaji dengan seksama pada tahap penyusunan rencana kerja serta perlu dipersiapkan langkah-langkah mitigasi sehingga dampak tersebut khususnya yang bersifat negatif dapat diminimalkan. Pratikno (2004) dan Bengen (2004) menyebutkan, terdapat beberapa isu utama yang berkaitan dengan kegiatan reklamasi di kawasan pesisir yang meliputi hal-hal seperti hilangnya habitat alami yang berdampak pads penurunan keanekaragaman hayati, penurunan pendapatan nelayan, terjadinya erosi pantai, banjir, pencemaran perairan pesisir, juga isu-isu teknis seperti terjadinya penurunan tanah dan korosi yang terjadi pada pondasi-pondasi bangunan di atas kawasan reklamasi. Dengan direklamasinya suatu wilayah pesisir maka akan terjadi perubahan akses ke laut bagi masyarakat setempat, sehingga yang diuntungkan dengan adanya reklamasi hanya orang-orang yang memiliki lahan di lokasi tersebut, sedangkan masyarakat pada umumnya nelayan-nelayan kecil dan
16
miskin akan mengalami kesulitan. Dampak dari aktifitas reklamasi dapat bersifat sementara dan berlangsung dalam waktu singkat selama pelaksanaan pekerjaan pengerukan, maupun yang berjangka menengah hingga yang permanen. Kegiatan-kegiatan yang menyebabkan gangguan yang bersifat fisik seperti reklamasi terhadap perairan pesisir dan estuaria dapat menimbulkan dampak yang serius terhadap ekosistem pesisir dari laut. Selain itu kegiatan tersebut juga memicu meningkatnya kekeruhan perairan, meningkatkan sedimentasi, serta gangguan terhadap komunitas-komunitas biologi seperti terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Peningkatan kekeruhan di perairan, akan mengganggu kelangsungan hidup ekosistem-ekosistem tersebut, sehingga dapat rusak dan mati. Pengembalian habitat yang rusak tersebut tentu saja tidak mudah dan murah. Hal ini juga akan berdampak pada ekosistem antara lain kerusakan atau hilangnya habitat dan penurunan keanekaragaman hayati serta terganggunya fungsi ekosistem. Reklamasi yang dilakukan di kawasan mangrove dikhawatirkan akan mengganggu fungsi ekosistem ini dalam menjaga kelestarian kegiatan perikanan dan pariwisata mengingat kawasan mangrove merupakan kawasan nursery, feeding, dan spawning bagi berbagai biota ekonomis dan biota lainnya yang penting secara ekologis, juga fungsi kawasan mangrove dalam menyediakan perlindungan bagi pantai melalui stabilisasi sedimen, mencegah erosi, dan penyaringan run off dari darat. Demikian juga dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Penghamparan dan pemadatan material timbunan di pantai yang terdapat padang lamun dan terumbu karang, dapat menyebabkan kekeruhan perairan dan sedimentasi yang dapat membuat kerusakan dan kehancuran ekosistem, yang secara tidak langsung juga dapat berpengaruh pada ekosistem di dekatnya, terutama melalui gangguan pada rantai dan jaring makanan. Penghamparan dan pemadatan material timbunan di kawasan pantai yang dekat dengan estuaria dapat menyebabkan gangguan pada ekosistem estuaria. Jika hal tersebut sampai menyebabkan banjir atau bergesernya alur sungai, maka akan mengganggu ekosistem darat.
17
Ekosistem perairan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam bentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan perairan yang disusun oleh berbagai sub-sistem yang berbeda-beda. Dampak-dampak yang telah disebutkan di atas terkait dengan komunitas biologi, habitat pesisir, dan ekosistem pesisir, pada akhirnya akan mempengaruhi sumberdaya perikanan pesisir. Selain itu habitat penting di pesisir juga merupakan kawasan pemijahan dan mencari makan. Sehingga dengan adanya kegiatan reklamasi yang kurang memperhatikan lingkungan, mempunyai potensi menyebabkan gangguan terhadap sumberdaya perikanan, akibat terganggunya salah satu komponen rantai makanan di perairan pesisir dan laut (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun) khususnya fauna benthic, fitoplanton, clan zooplankton. Pratikto (2004) juga menjelaskan bahwa kegiatan reklamasi pun harus dipandang dalam kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, karena tanpa keterpaduan dalam pelaksanaan reklamasi, akan terjadi benturan kepentingan khususnya kepentingan yang bersifat ekonomi dengan kepentingan pelestarian sumberdaya. Misalnya, mempertahankan kawasan mangrove untuk tujuan konservasi, yakni wisata alam, perikanan, pelindung pantai, dan sumber plasma nutfah dianggap kurang menguntungkan oleh para pengembang (developer) dibandingkan jika lahan mangrove tersebut diubah dan digunakan untuk perhotelan, pemukiman mewah, atau pusat bisnis. Oleh karena itu, banyak lahan mangrove yang akhir-akhir ini direklamasi oleh para pengembang clan pemerintah daerah demi kepentingan ekonomi, dengan kurang memperhatikan kelestarian ekosistem pesisir dan kepentingan masyarakat luas. Padahal sebenarnya, dapat dicari pola reklamasi yang dapat mengharmoniskan antara kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang (konservasi atau kelestarian). Berdasarkan penelitian Xu dan Wang (2003) tentang pengaruh reklamasi pantai pada dermaga Zhangzhou terhadap evolusi kawasan pesisir yang terdekat menyimpulkan bahwa pengendapan pantai dermaga Zhangzhou terutama disebabkan oleh penimbunan pantai, dan penumpukan sedimen dari penimbunan adalah alasan utama terjadinya akresi pantai (Xu and Wang, 2003). Kemudian berdasarkan laporan penelitian yang dikeluarkan oleh departemen ekonomi Universitas San Carlos, Filipina yang berjudul “biaya lingkungan atas reklamasi
18
pesisir di Metro Cebu, Filipina” menyimpulkan bahwa biaya lingkungan total dalam kasus proyek reklamasi cordoba diperkirakan sekitar US $ 59.000.000. Loncatan angka ini diperkirakan masih rendah karena tidak termasuk berbagai eksternalitas negatif yang timbul sementara dari konstruksi reklamasi. Ini juga tidak termasuk dampak dari peningkatan tingkat polusi yang disebabkan oleh kegiatan ekonomi di area reklamasi tersebut. Dari empat kategori biaya lingkungan dinilai dalam laporan penelitian ini, kerusakan karang dan eksternalitas dari penggalian untuk reklamasi adalah yang paling signifikan. Menghindari kerusakan pada terumbu karang saja diperkirakan akan mengurangi lebih dari setengah biaya lingkungan (Lauders et al. 2005). Singapura yang telah melakukan kegiatan reklamasi pantai selama 4 dekade, telah mendapat masalah internal dan eksternal. Penduduk singapura yang telah meningkat lebih dari 4 juta jiwa, membuat pemerintah singapura menghadapi masalah dalam pengadaan lahan yang cukup untuk perumahan, industri dan kantor untuk aktifitas pemerintahan. Beberapa pelabuhan dan pulau-pulau lepas pantai di Singapura telah dirubah atau diperbesar dengan beberapa proyek reklamasi pantai. Masalah internal yang dihadapi Singapura adalah reklamasi ini telah sangat merusak lingkungan yaitu menurunnya beberapa parameter kualitas lingkungan akibat terjadinya degradasi lingkungan yang parah khususnya laut, baik oleh kerusakan langsung yaitu habitat terumbu karang, atau efek tidak langsung seperti konsentrasi sedimen tersuspensi dan angka kematian ikan yang meningkat. Sedangkan masalah eksternal adalah lingkungan dan teritorial dimana telah timbul beberapa kekhawatiran dari negara-negara tetangganya. Saat ini, masalah tersebut tampaknya menjadi masalah regional sejak proyek reklamasi tersebut banyak menerima keprihatinan, khususnya dari lingkungan. Indonesia yang telah memberikan kontribusi materi untuk bahan reklamasi selama lebih dari dua dekade, telah menghadapi beberapa masalah lingkungan akibat pengerukan pasir dan aktivitas ekspor (Syamsidik, 2004) Kompleksitas kegiatan reklamasi dapat dilihat dalam hal pengaturan kegiatan di areal hasil reklamasi dan pengelolaan dampak kegiatan. Kegiatankegiatan yang berlangsung di kawasan hasil reklamasi antara lain permukiman, pariwisata, perindustrian, perdagangan, dan transportasi, juga yang didominasi
19
oleh masyarakat yang dahulunya menempati atau memanfaatkan kawasan sebelum direklamasi, seperi perikanan, kegiatankegiatan kemasyarakatan/budaya, serta budidaya perairan. Tanpa adanya pengaturan kegiatan baik dalam cara maupun lokasinya, maka beberapa kegiatan dapat saling merugikan sehingga akan menimbulkan permasalahan jangka panjang baik sosial, ekonomi, maupun terkait dengan hal-hal yang bersifat teknis. Sebaliknya dengan pengaturan yang baik akan diperoleh optimalisasi ruang dan sumberdaya bagi kepentingan semua pihak. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi akibat reklamasi antara lain: perubahan ekosistem, perubahan sosial ekonomi, penataan ruang dan alokasi sumberdaya di areal hasil reklamasi, permasalahan hukum atas status dan pengaturan penguasaan lahan, perijinan, perubahan batas administrasi, teknologi reklamasi yang digunakan dan lain-lain. Permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja tetapi terkait dan menjadi tanggung jawab berbagai pihak terkait.
2.4. Model Kebijakan Kawasan Pesisir Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan. Islamy dalam Harrison (2000) mendefinisikan bahwa suatu keputusan adalah suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal. Salah satu faktor penyebab sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah adanya kesulitan dalam memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Analisa parsial terhadap suatu permasalahan sering kali tidak dapat memberikan jawaban. Permasalahan yang kompleks perlu dipandang sebagai suatu sistem, sehingga untuk mempelajarinya perlu pendekatan sistem. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah dengan menggunakan suatu model tertentu. Model kebijakan (policy model) adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspek-aspek terpilih dari situasi problematis yang disusun untuk tujuantujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti, dan model perspektif. Perumusan kebijakan mengenal banyak model namun tidak ada satupun model yang dianggap baik. Hal ini karena masing-masing model
20
memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Forester dalam Dunn (1999), persoalan kebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, tetapi terletak pada pemilihan diantara berbagai alternatif. Pendekatan sistem dengan teknik simulasi akan menghemat biaya dan waktu dalam pengkajian alternatif kebijakan. Sistem alam nyata yang kompleks dan dahulu tidak mungkin diselesaikan dengan model analisis, sekarang dapat diselesaikan dengan model simulasi yang diterapkan secara luas dalam mempelajari sistem dinamik yang kompleks. Keberadaan suatu sumberdava dikawasan pesisir sangat potensial dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat. Suatu kebijakan perlu diambil dalam pengelolaan dan pembangunan di kawasan pesisir. Oleh karena itu keberadaan sumberdaya tersebut perlu dinilai secara ekonomis sebagai suatu pertimbangan dalam pembuatan suatu keputusan atau kebijakan pengelolaan suatu wilayah pesisir. Dalam pembuatan suatu kebijakan, dapat digunakan analysis hierarchy process (AHP) yaitu suatu pendekatan analisis
yang bertujuan untuk
menyelesaikan suatu permaslahan yang tidak terstruktur.
2.5. Analisis Kebijakan Analis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang bersifat deskriptif, evaluatif dan prespektif. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu social terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argument
untuk
menghasilkan
dan
memindahkan
informasi
yang
ada
hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn, 2000). Analisis kebijakan adalah salah satu diantara sejumlah banyak faktor didalam system kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbale balik antara tiga unsur yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Gamber 3 merupakan gabungan tiga unsur didalam sistem kebijakan (Thomas dalam Dunn, 2000).
21
Pelaku
Lingkungan Kebijakan
Kebijakan Publik
Gambar 2. Tiga unsur sistem kebijakan Kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah yang diformulasikan didalam berbagai bidang termasuk lingkungan hidup. Masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil didalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian
disekeliling isu
kebijakan terjadi,
mempengaruhi
dan
dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Karena itu dalam pengambilan keputusan akan lebih mudah bila menggunakan model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang disederhanakan melalui aspek-aspek terpilih dari situasi problematik yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normative, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif. Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan karena masing-masing model menfokuskan pada aspekaspek yang berbeda. Menurut Forrester dalam Dunn (2000), persoalan kebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, persoalannya hanyalah terletak pada pemilihan diantara berbagai alternatif.
22
Menurut Dunn (2000) proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktifitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
2.6. Aspek Kegagalan Kebijakan (Policy Failure) Aspek kegagalan dalam merumuskan kebijakan failure dapat diindikasikan dengan masih banyaknya kebijakan pembangunan yang tidak holistik, termasuk UUD 1945 yang tidak menyentuh aspek perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup; kebijakan tentang tenurial dan property rights yang tidak memberikan jaminan hak pada masyarakat adat; kebijakan yang sentralistik dan seragam; dan kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung "pemerintah yang terbuka" atau open government Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam kajian kebijakan yang terbatas (kebijakan yang dihasilkan pemerintahan transisi di tahun 1998-1999) pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan delapan tolak ukur yaitu delapan elemen yang harus terintegrasi dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam. Menemukan fakta bahwa peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintahan transisi belum mendukung, good environmental governance. Kedelapan elemen tersebut adalah: (1) Pemberdayaan, pelibatan masyarakat dan akses publik terhadap informasi; (2) Transparansi; (3) Desentralisasi yang demokratis; (4) Pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan; (5) Pengakuan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal; (6) Konsistensi dan harmonisasi; (7) Kejelasan (clarity); (8) Daya penerapan dan penegakan (implementability and enforceability) (Santoso, 2001).
23
2.7. Analisis AHP Analysis hierarchy process (AHP) dikembangkan pertama kali oleh Thomas L. Saaty seorang ahli matematika dari University of Pittsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an. AHP adalah suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang tidak terstruktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur (kuantitatif), maupun masalahmasalah yang memerlukan pendapat (judgement). AHP banyak digunakan untuk pengambilan keputusan pada persoalan yang mengandung banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pihak yang terlihat (aktor) dalam situasi konflik (Saaty, 1993). Kelebihan dari AHP ini adalah kemampuannya jika dihadapkan pada situasi yang kompleks atau tidak berkerangka. Situasi ini terjadi jika data, informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat minim atau tidak ada sama sekali. Data yang diperlukan kalaupun ada hanyalah bersifat kualitatif yang mungkin didasari oleh persepsi pengalaman ataupun intuisi. Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP, tiga prinsip dasar AHP yang dapat dijadikan acuan yakni : a. Menggambarkan dan menguraikan secara hierarkis, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah-terpisah. b. Pembedaan prioritas dan sintesis (penetapan prioritas), yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya dengan cara penilaian berpasangan. c. Konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan situasi criteria yang logis. Tahap paling penting dalam AHP ini adalah tahap penilaian pasangan (judgement) antar faktor pada suatu tingkat hierarki. Penilaian ini dilakukan dengan memberikan bobot numerik atau verbal berdasarkan perbandingan pasangan antar faktor yang satu dengan faktor yang lain. Selanjutnya melakukan analisis untuk menentukan faktor mana yang paling tinggi atau paling rendah peranannya terhadap level atas dimana faktor tersebut berada. Penilaian diperoleh
24
melalui partisipan yang mengevaluasi setiap himpunan faktor secara berpasangan satu dengan yang lain yang menyatakan kepentingan faktor tersebut pada tingkat yang lebih tinggi pada hierarki yang terbentuk.
Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah : a. Hierarki
yang
mempresentasikan
sistem
dapat
dipergunakan
untuk
menjelaskan bagaimana perubahan elemen pada level bawah. b. Hierarki memberikan informasi yang lengkap akan struktur dan fungsi dari system pada tingkat bawah dan menentukan faktor-faktor apa saja yang menjadi bagian/mempengaruhi untuk level atas hierarki. Pembatas elemen direpresentasikan oleh level atas dari elemen yang bersangkutan. c. AHP lebih efisien dibandingkan dengan melihat system secara keseluruhan. d. AHP stabil dan fleksibel, stabil karena perubahannya yang kecil akan memberikan pengaruh yang kecil pula dan fleksibel karena tambahan pda struktur hierarki tidak akan merusak/mengacaukan bangunan hierarki secara keseluruhan.