2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wilayah Pesisir Dahuri (2001) menyatakan definisi wilayah pesisir secara geografis, sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, yang digunakan di Indonesia adalah pertemuan antara darat dan laut, kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat
seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin,
sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mecakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi wilayah pesisir (coastal zone) menurut UU No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu untuk kabupaten/kota, dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota. Scura et al. (1992) dalam Cicin-Sain and Knecht (1998) mengemukakan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan daratan dan laut, yang didalamnya terdapat hubungan yang erat antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan dan lingkungan laut, seperti dinyatakan pada Gambar 1. Wilayah pesisir mempunyai karateristik sebagai berikut: 1. Memiliki habitat dan ekosistem (seperti estuaria, terumbu karang, padang lamun) yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, meneral) dan jasa (seperti bentuk perlindungan alam dari badai, arus pasang surut, rekreasi) untuk masyarakat pesisir. 2. Dicirikan dengan persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya dan ruang oleh berbagai stakeholders, sehinga sering terjadi konflik yang berdampak pada menurunnya fungsi sumberdaya.
8 3. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat menghasilkan GNP (Gross National Product) dari kegiatan seperti pengembangan perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata pesisir dan lain-lain. 4. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan merupakan wilayah urbanisasi.
Gambar 1 Hubungan antar Wilayah Pesisir dan Sistem Sumberdaya Wilayah Pesisir (Scura et al. 1992 dalam Cicin-Sain and Knecht.1998)
2.2 Ekosistem Wilayah Pesisir Berdasarkan sudut pandang ekologi (Gambar 2) wilayah laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait dinamis dan produktif. Bengen (2002) mengungkapkan bahwa ekosistem utama di pesisir dan laut adalah (a) estuaria, (b) hutan mangrove, (c) padang lamun, (d) terumbu karang, (e) pantai berbatu dan (f) pulau-pulau kecil. Menurut Dahuri et al. (2006) menyatakan bahwa ekosistem wilayah pesisir dan laut memiliki keanekaragaman habitat yang sangat beranekaragam. Umumnya jenis ekosistem di wilayah pesisir ditinjau dari penggenangan air dan jenis komunitas yang menempatinya dapat dikategorikan menjadi dua ekosistem, yaitu ekosistem yang secara permanen atau tergenang air secara berkala dan ekosistem yang tidak pernah tergenang air. Ditinjau dari proses terbentuknya, ekosistem wilayah pesisir dapat dikelompokkan menjadi ekosistem yang terbentuk secara alami dan ekosistem yang sengaja dibentuk atau ekosis-
9 tem buatan seperti tambak, sawah, pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan pemukiman.
Gambar 2 Hubungan Ekosistem yang ada di pesisir (modifikasi Pearce, 2007)
2.2.1 Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan bentuk hutan tropis yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai diwilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang alirannya banyak mengandung lumpur. Hutan mangrove juga merupakan habitat yang memiliki produktivitas tertinggi diantara habitat lain yang berada di wilayah pesisir (Scura et al.1992 dalam Ditjen-Bangda dan PKSPL 1998). Karakteristik hutan mangrove di antaranya adalah: 1. Tumbuh optimal di daerah pesisir pada muara sungai dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur, daerah intertidal dan supratidal di daerah tropis dan sub tropis yang cukup mendapat aliran air tawar dan pada pantai-
10 pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. 2. Hutan mangrove memiliki arti penting dalam ekosistem perairan karena menyumbangkan bahan organik bagi perairan di sekitarnya. 3. Perakaran mangrove mampu meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin taufan. 4. Hutan mangrove merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning ground) hewan perairan (udang, ikan dan kerang-kerangan). Mangrove hidupnya sangat tergantung pada aliran air tawar, serta terhindar dari gelombang yang besar dan pasang surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya sedimen. Sedimen diperlukan oleh mangrove sebagai substrat dan pasokan nutrien bagi tumbuhnya mangrove. Ketergantungan mangrove terhadap aliran air tawar menyebabkan terbatasnya penyebaran mangrove, namun vegetasi mangrove mampu beradaptasi untuk mempertahankan hidupnya (Nontji, 1987). Mangrove bergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya (JICA, 2004). Mangrove umumnya tumbuh di daerah intertidal yang memiliki jenis tanah berlumpur dan berpasir. Tergenang oleh air laut secara berkala, dapat setiap hari maupun hanya tergenang pada saat surut purnama, frekuensi genangan ini menentukan
komposisi vegetasi hutan mangrove. Selain itu, mangrove juga
membutuhkan suplai air tawar dari daratan dan biasanya hidup baik pada daerah yang cukup terlindung dari gelombang besar dan pasang surut yang kuat. Salinitas yang baik untuk mangrove tumbuh adalah pada salinitas 2-22 ‰ (permil) atau sampai asin pada salinitas 38 ‰ (Bengen dan Nontji, 2002). Nybakken (1998) menyatakan bahwa adaptasi tumbuhan mangrove antara lain perakaran yang pendek dan melebar luas, dengan akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga menjamin kokohnya batang, berdaun kuat dan mengandung banyak air, mempunyai jaringan internal penyimpanan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Kemudian pada beberapa jenis
mangrove
mempunyai
kelenjar
garam
keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam.
yang
menolong
menjaga
11 2.2.2 Terumbu Karang Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, Klas Anthozoa), ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tumbuhan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1988). Untuk menggambarkan kondisi terumbu karang biasanya disajikan dalam bentuk suatu struktur komunitas yang terdiri dari data persentase tutupan karang hidup, persentase tutupan karang mati, jumlah marga, jumlah jenis, jumlah koloni, kelimpahan, frekuensi kehadiran, bentuk pertumbuhan dan indek keanekaragaman jenis (Suharsono 1998). Parameter lingkungan yang sangat menentukan kehidupan terumbu karang menurut Nybakken (1998) adalah sebagai berikut: 1. Suhu: terumbu karang karang tumbuh secara optimal pada suhu 23-25ºC dan dapat mentoleransi suhu sampai kira-kira 36-40ºC, tetapi tidak dapat hidup pada suhu minimum tahunan di bawah 18ºC. 2. Kedalaman: terumbu karang dapat tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang dan tidak dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Kedalaman berhubungan erat dengan cahaya matahari yang dapat masuk ke perairan. 3. Cahaya: menjadi faktor pembatas kehidupan terumbu karang karena dibutuhkan oleh zooxanthella dalam melakukan fotosintesis. Tanpa cahaya fotosintesis berkurang, bersamaan dengan hal itu kemampuan karang menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu juga berkurang. 4. Salinitas: karang hanya dapat hidup pada salinitas normal air laut, yaitu pada kisaran 32-35%. Diluar kisaran salinitas tersebut, pertumbuhan karang dapat terganggu dan dapat mengakibatkan kematian hewan karang. 5. Pengendapan: endapan sedimen akan menutupi dan menyumbat struktur pemberian makan karang dan menghalangi masuknya cahaya matahari ke perairan. 6. Gelombang: gelombang atau arus memungkinkan terjadinya pengendapan di terumbu karang, juga suplai plankton dan air segar yang kaya oksigen jadi berkurang.
12 2.2.3 Padang Lamun (Sea Grass) Padang lamun (sea grass) adalah tumbuhan berbunga yang beradaptasi hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri atas akar, daun dan tangkaitangkai merayap (rhizome) serta memiliki karateristik sebagai berikut: 1. Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir dan di terumbu karang. Pada tempat yang terlindung lamun berkembang dengan baik dan menutupi suatu kawasan yang luas sehingga membentuk padang lamun. 2. Secara ekologis memiliki fungsi penting bagi daerah pesisir, yaitu: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme, (3) menstabilkan dasar yang lunak, (4) tempat berlindung organisme, (5) tempat pembesaran beberapa spesies, (6) peredam arus, (7) tudung pelindung sinar panas matahari bagi penghuninya. Selanjutnya parameter lingkungan utama yang dapat mempengaruhi padang lamun adalah: 1
Kecerahan (kedalaman tidak lebih dari 10 meter).
2
Temperatur (kisaran temperatur optimal 28°- 30° C).
3
Salinitas (nilai optimum 35 ‰).
4
Substrat (40 % endapan lumpur dan fine mud).
5
Kecepatan arus perairan (berkisar 0,5 m/detik). Padang lamun (seagrass) merupakan tumbuhan yang tumbuh bergerombol
membentuk rumpun dan sering merupakan komponen utama yang dominan di lingkungan pesisir. Jumlah jenis lamun di dunia adalah 58 jenis, sedangkan di perairan Indonesia tercatat sebanyak 12 jenis lamun (Den Hartog 1970 dalam Ditjen Bangda dan PKSPL 1999). Kumpulan lamun ini yang membentuk hamparan lamun disebut padang lamun. Padang lamun dapat terdiri dari tumbuhan satu jenis atau lebih, yang tumbuh bersama-sama sehingga membentuk tumbuhan campuran. Padang lamun membentuk dasar yang lunak untuk mudah ditembus oleh akar-akar guna menyokong tumbuhan di tempatnya. Lamun dapat memperoleh makanan baik dari air permukaan melalui helaian daun-daunnya, maupun sedimen (substrat) melalui akarnya. Menurut Luzumi et al.1980 dalam Ditjen Bangda dan PKSPL 1998 sumber utama makanan lamun lebih banyak berasal dari sedimen.
13 2.2.4 Pantai berbatu (Rocky Beach) Pantai berbatu (Rocky Beach) adalah pantai yang tersusun oleh batuan induk yang keras seperti batuan beku atau sedimen yang keras dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Pantai berbatu. 2. Komunitas biota di daerah berbatu jauh lebih kompleks. 3. Beach, yaitu pantai yang tersusun oleh material lepas. Pantai tipe ini dapat dibedakan menjadi: a.
Pantai Pasir (Sandy Beach), yaitu pantai yang tersusun dari endapan pasir, karateristik pantai pasir (Sandy Beach) terdiri dari pasir kuarsa, bagian yang paling banyak dan paling keras sisa-sisa pelapukan batu gunung dan total bahan organik dan organisme hidup dipantai jauh lebih sedikit. Pantai pasir dibatasi hanya di daerah yang mempunyai gerakan air yang kuat mengangkut partikel-partikel yang halus dan ringan (Dahuri et al. 1996). Parameter lingkungan yang berpengaruh di pantai pasir adalah pola arus yang mengangkut pasir halus; gelombang yang melepaskan energinya di pantai, serta angin yang menerbangkan pasir halus yang kering dan memindahkannya ke tempat lain.
b. Pantai gravel, pantai berbatu (Gravely beach), yaitu pantai yang tersusun dari gravel atau batuan lepas seperti pantai kerakal. Pantai bervegetasi, yaitu pantai yang ditumbuhi oleh vegetasi pantai. Parameter lingkungan utama yang mempengaruhi adalah: (1) Fenomena pasang, (2) Gelombang. Pantai dapat diklasifikasikan berdasarkan dua kriteria yaitu proses pembentukan dan morfologi yaitu: 1. Berdasar proses pembentukan pantai dapat dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut: a. Pantai hasil proses erosi, yaitu pantai yang terbentuk terutama melalui proses erosi yang terjadi di pantai. Termasuk dalam kategori ini adalah pantai batu (rocky shore).
14 b. Pantai hasil proses sedimentasi yaitu pantai yang terbentuk terutama karena proses sedimentasi yang bekerja di pantai. Termasuk kategori ini adalah beach baik sandy beach maupun gravely beach. c. Pantai hasil aktifitas organisme yaitu pantai yang terbentuk karena aktifitas organisme tumbuhan yang tumbuh di pantai. Termasuk kategori ini adalah pantai mangrove. 2. Berdasarkan ciri morfologi pantai dapat dibedakan sebagai berikut: a. Pantai bertebing (cliffed coast), yaitu pantai yang memiliki tebing vertikal. Keberadaan tebing ini menunjukkan bahwa pantai dalam kondisi erosional. Tebing yang terbentuk dapat berupa tebing pada batuan induk maupun endapan pasir. b. Pantai berlereng (non-cliffed coast), yaitu pantai dengan lereng yang merupakan pantai berpasir. Pariwisata pesisir memanfaatkan karateristik wilayah pesisir maupun ekosistem pesisir untuk kegiatan rekreasi.
2.3 Konsep Pariwisata Pesisir Menurut Hall (2001) menyatakan bahwa konsep pariwisata pesisir mencakup rentang penuh pariwisata, hiburan, dan kegiatan yang berorientasi rekreasi yang terjadi di zona pantai dan perairan pantai. Di dalam pariwisata pesisir termasuk pengembangan pariwisata pesisir seperti akomodasi, restoran, industri makanan, dan rumah kedua, dan infrastruktur pendukung pembangunan pesisir (misalnya bisnis ritel, marina, dan aktivitas pemasok). Juga termasuk kegiatan pariwisata seperti rekreasi berperahu, pantai dan laut berbasis ekowisata, kapal pesiar, berenang, rekreasi memancing, snorkeling dan menyelam. Selanjutnya konsep pariwisata pesisir berkelanjutan (sustainable coastal tourism) adalah pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan maupun daerah tujuan wisata pada masa kini, sekaligus melindungi dan mendorong kesempatan serupa dimasa yang akan datang. Pariwisata berkelanjutan mengarah pada pengelolaan seluruh sumberdaya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, estetika dapat terpenuhi sekaligus memelihara integritas kultural,
15 proses ekologi essensial keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan (WTO 1980). Pengertian tersebut secara implisit menjelaskan bahwa dalam pendekatan pariwisata berkelanjutan bukan berarti hanya sektor pariwisata saja yang berkelanjutan tetapi berbagai aspek kehidupan dan sektor sosial ekonomi lainnya yang ada di suatu daerah (Butler 1980). Pariwisata pesisir yang berkelanjutan adalah pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pengembangan pariwisata berkelanjutan mencakup upaya memaksimum kan net benefit dari pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya setiap waktu. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial dan lingkungan. Selanjutnya Clark and Dickson (2003) berpendapat bahwa walaupun isu-isu pariwisata berkelanjutan terkait dengan ilmu dan teknologi yang sesuai telah muncul sejak lama, namun kenyataan empiris membuktikan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan terutama pentingnya integrasi keilmuan dan riset guna mewujudkan konsep operasional pariwisata pesisir berkelanjutan. Lebih lanjut, Daly (1990) memberikan tiga kriteria dasar bagi keberlanjutan modal alam (natural capital) dan keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu: (1). untuk sumberdaya alam terbarukan (renewable resources), laju pemanfaatannya tidak boleh melebihi laju regenerasinya (sustainable yield), (2). laju produksi limbah dari kegiatan pembangunan tidak boleh melebihi kemampuan asimilasi dari lingkungan (sustainable waste disposal), dan (3). untuk sumberdaya tidak terbarukan (non-renewable resources) laju deplesi sumberdaya harus mempertimbangkan pengembangan sumberdaya substitusi bagi sumberdaya tersebut. Berdasarkan penelitian terdahulu pariwisata berkelanjutan menggunakan sistem dinamik semakin berkembang dan telah banyak dilakukan (Fedra. 1998, Skarstveit et al. 2003). Publikasi penelitian kewilayahan yang menggunakan pendekatan sistem dinamik sudah cukup banyak ditemukan, terutama dalam studi
16 dinamik dan perencanaan wilayah. Namun demikian penerapan sistem dinamik dalam perencanaan wilayah perencanaan wilayah
di Indonesia belum banyak dilakukan, padahal
memerlukan suatu metodologi sistem dalam proses
pengembangan spasial. Berbagai kegiatan yang dilakukan manusia maupun yang disebabkan oleh alam memiliki potensi mengancam ekosistem wilayah pesisir. Pemanfaatan di wilayah pesisir sesungguhnya dilakukan untuk menjawab tantangan pembangunan yang memerlukan rumusan perencanaan terpadu berkelanjutan. Banyaknya limbah domestik dan tingginya tingkat sedimentasi yang masuk dari wilayah pesisir, sehingga perlu dilakukan pengendalian, pencemaran limbah dan pengaturan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini merupakan masalah kritis, yang akan berdampak pada lingkungan wisata sehingga perlu dilakukan tindakan langsung baik secara hukum formal maupun hukum adat untuk menciptakan pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat merusak lingkungan. Dalam rangka menangani masalah tersebut, maka perlu dirumuskan suatu penataan ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pesisir yang memiliki dimensi keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar stakeholders, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai yaitu pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan serta adanya kepedulian antar generasi. Perkembangan pariwisata telah mampu memberikan keuntungan sosial, ekonomi dan ekologi/lingkungan pada berbagai wilayah pesisir. Kecendrungan wisatawan untuk menikmati wisata di wilayah pesisir telah mendorong pertumbuhan di wilayah tersebut, mengakibatkan pula semakin banyaknya masyarakat terlibat dalam kegiatan pariwisata seperti peningkatan fasilitas dan aksesibilitas (Zia 2006). Konsep wisata alam di dasarkan pada keindahan panorama, keunikan alam, karateristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karateristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah, dan Steele (1993) menggambarkan kegiatan wisata alam sebagai proses ekonomi yang memasarkan ekosistem yang menarik dan langka. Pariwisata alam adalah seluruh bentuk pariwisata yang secara langsung tergantung pada sumberdaya alam yang
17 ada dan yang belum dikembangkan, termasuk pemandangan, topografi, perairan tumbuhan dan hewan liar. Dengan demikian pariwisata alam dapat meliputi beraneka ragam kegiatan seperti piknik, berjalan-jalan, rekreasi, olah raga pantai, berenang, berjemur, memancing. Lingkungan perairan yang dapat dipergunakan untuk wisata alam yang terdiri dari wisata pantai dan wisata bahari, sangat beranekaragam biasanya terbentuk oleh proses alam dan buatan, (Yulianda 2007) seperti yang disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1 Kegiatan Wisata Alam yang dapat Dikembangkan Wisata Pantai
Wisata Bahari
1.Rekreasi pantai.
1.Rekreasi pantai dan laut.
2.Panorama.
2.Resort/peristirahatan.
3.Resort/peristirahatan.
3.Wisata selam (diving) , wisata snorkeling.
4.Berenang, berjemur.
4.Selancar, jet ski, banana boat, perahu kaca, kapal selam. 5.Wisata ekosistem lamun, wisata nelayan, wisata pulau, wisata . 6.Pendidikan, wisata pancing.
5.Olah raga pantai (volley pantai, jalan pantai, lempar cakram). 6.Berperahu. 7.Memancing. Sumber: Yulianda 2007
Wong (1998) mendefinisikan pariwisata pesisir sebagai suatu kegiatan untuk menikmati pantai, pasir, laut, dan berjemur. Sementara itu Dahuri et al. (2001) mendefinisikan wisata pesisir sebagai kegiatan rekreasi yang dilakukan sekitar pantai seperti berenang, berselancar, berjemur, menyelam, snorkeling, berjalan-jalan atau berlari-lari di sepanjang pantai, menikmati keindahan suasana pesisir , dan bermediasi. Pariwisata semacam ini sering diasosiasikan dengan tiga ”S” yaitu Sun, Sea, Sand artinya jenis pariwisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kombinasi cahaya matahari, laut dan pantai berpasir putih. Kawasan pesisir yang berpotensi untuk pengembangan pariwisata pesisir adalah taman wisata alam, khususnya taman wisata alam perairan. Potensi yang ada di taman wisata alam antara lain adalah panorama alam dengan pasir putihnya, taman laut dengan keindahan ikan hias dan terumbu karang, gejala alam seperti goa, kekayaan alam flora dan fauna, nilai sejarah dan lain-lain.
18 Pantai dengan garis pantai merupakan areal yang sangat sesuai untuk wisata alam. Namun kondisinya sangat rentan terhadap perubahan atau kemerosotan kualitas lingkungan yang terjadi di perairan dan di daratan, maka penetapan untuk wisata sangat berhati-hati. Penetapan daya dukung lingkungan pantai menjadi sangat penting dalam menentukan jumlah pengunjung. Daya dukung pantai ini berbeda-beda tergantung dari jenis pantai (muddy, sandy atau rocky beach). Kebijakan
secara nasional sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32
Tahun 1989 yang menetapkan lebar jalur sempadan pantai. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa: areal pantai di atas shoreline yaitu selebar 150-200 meter dari shoreline ke arah darat. Areal ini ditetapkan sebagai kawasan lindung yang berarti sebagai areal public beach yang melarang siapapun untuk membangun fasilitas wisata. Kawasan lindung ini ditetapkan pemerintah untuk tujuan konservasi dan proteksi lingkungan. Kemudian Yoeti (1996) menyatakan bahwa tujuan pengembangan pariwisata adalah: (1) dapat meningkatkan pendapatan devisa khususnya dan pendapatan negara pada umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja dan mendorong kegiatan industri; (2) memperkenalkan dan mendayagunakan keindahan alam dan kebudayaan suatu negara; (3) meningkatkan persahabatan dan persaudaraan nasional dan internasional.
2.4 Pengembangan Pariwisata Pesisir Berkelanjutan Pengembangan pariwisata berkelanjutan telah didefinisikan sebagai pariwisata yang "memaksimalkan potensi pariwisata untuk memberantas kemiskinan dengan mengembangkan strategi yang tepat dalam kerjasama dengan semua kelompok utama, masyarakat adat dan masyarakat lokal", (Komisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan 1999). Definisi pembangunan berkelanjutan ini didasarkan pada WCED, 1987 : "pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri" (WCED, Our Common Future 1987). Menurut Gunn (1994) menyatakan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan
19 dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Pengembangan yang berkelanjutan (sustainable development) diberi batasan sebagai pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tujuan pengembangan yang berkelanjutan adalah memadukan pembangunan dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan yang strategis sampai kepada penerapannya di lapangan. Pengembangan pariwisata pesisir yang berkelanjutan (Sustainable Coastal Tourism) dapat diartikan sebagai pengembangan wisata yang berwawasan lingkungan dengan tidak merusak kondisi sumberdaya alam pesisir yang telah ada, sehingga dapat dimanfaatkan terus-menerus sampai generasi yang akan datang. Kegiatan wisata alam selain memberikan dampak positif juga dapat membawa dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya, baik dampak negatif terhadap lingkungan obyek wisata alam itu sendiri maupun terhadap lingkungan sosial budaya setempat. Dampak negatif terhadap alam umumnya terjadi sebagai akibat dari perencanaan dan pengelolaan yang kurang baik, misalnya perencanaan pengembangan kegiatan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kurangnya pengetahuan, kesadaran serta pendidikan masyarakat dan wisatawan terhadap kelestarian lingkungan (Soeriaatmaja 1997). Selanjutnya konsep pariwisata berkelanjutan yaitu : (a) kegiatan kepariwisataan tersebut dapat memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat setempat, (b) kegiatan kepariwisataan tersebut tidak merusak lingkungan, (c) kegiatan kepariwisataan tersebut bertanggung-jawab secara sosial, dan (d) kegiatan kepariwisataan tersebut tidak bertentangan dengan budaya setempat. Dari konsep tersebut dapat mengubah pola pikir masyarakat bahwa perkembangan kepariwisataan di suatu wilayah dengan obyek wisatanya yang merupakan suatu berkah bukan sebaliknya merupakan suatu musibah. Dengan demikian, masyarakat akan selalu berupaya menjaga kelestariannya, menjaga keberlanjutannya, dan tentunya menciptakan suasana yang aman dan kondusif (Muriawan 2009). Pengembangan pariwisata tanpa perencanaan dan pengelolaan yang baik akan mengakibatkan kehilangan dan penurunan mutu kawasan yang tidak
20 diharapkan, sebagai akibatnya adalah hilangnya kawasan yang menarik bagi wisatawan. Fasilitas dan lokasi adalah faktor utama yang menyebabkan hilangnya dan penurunan mutu sumberdaya pesisir. Pemilihan lokasi yang tidak sesuai dapat menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan pemilihan pengembangan, baik sekarang maupun akan datang. Banyaknya dampak negatif yang terjadi akibat kesalahan dalam melakukan pendugaan terhadap karakteristik proses alami kawasan pesisir (kerusakan akibat badai dan ombak, erosi pantai dan intrusi air laut) adalah sebagai penyebab kegagalan umum perencanaan tata guna lahan,yang mengakibatkan rapuhnya ekosistem dan bahkan merusak infrastruktur (Baehaqie dan Helvoort 1993). Commonwealth Coastal Action Program (1997) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable coastal tourism) adalah pengembangan pariwisata yang memperhatikan wilayah konservasi dan perubahan komunitas ekologi yang ditimbulkannya, meliputi perlindungan terhadap satwa liar dan menjaga kualitas kehidupan yang ada di lingkungan tersebut untuk generasi yang akan datang. Jadi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan keramahan lingkungan di sekitarnya. Lebih lanjut UI, ITB, UGM (1994) menyatakan bahwa penyelenggaraan pengembangan pariwisata harus mengunakan prinsip keberlanjutan dan secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam, serta sensitif terhadap budaya masyarakat lokal. Oleh karena itu pengembangan pariwisata harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: 1.
Prinsip Keseimbangan Pengelolaan pariwisata harus didasarkan pada komitmen pola keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial budaya dan konservasi.
2.
Prinsip Partisipasi Masyarakat Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan usaha pariwisata.
3.
Prinsip Konservasi Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan (alam dan budaya). Pengembangan harus diselenggarakan secara bertanggung jawab dan mengikuti kaidah-kaidah ekologi serta peka dan
21 menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat. 4.
Prinsip Keterpaduan Pengelolaan
pariwisata
harus
direncanakan
secara
terpadu
dengan
memperhatikan kondisi ekosistem dan disinerjikan dengan pembangunan berbagai sektor. 5.
Prinsip Penegakan Hukum Pengelolaan pariwisata harus dikembangkan sesuai dengan aturan-aturan yang ada,serta dilaksanakan dengan penegakan hukum maupun peraturan yang berlaku untuk menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan pariwisata. Peraturan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Nomor:
Km.
67/Um.001/Mkp/2004 tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata menyatakan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang. Pembangunan pariwisata berkelanjutan dicitrakan menjadi patokan dalam pengaturan sumberdaya sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika tercapai, dengan tetap menjaga integritas budaya, proses-proses dan keanekaragaman hayati. Selanjutnya pariwisata berkelanjutan dapat dicapai bila pertumbuhan yang selaras antara ekologi, ekonomi dan sosial serta instansi-instansi yang terkait. Aspek sosial merupakan unsur yang penting dalam menggalakkan pelestarian masyarakat setempat memiliki peran penting bersama pengelola dalam memberikan penguatan kepedulian dan kesadaran akan hak dan tanggung jawab dari para pelaku termasuk wisatawan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan alam yang sehat. Masyarakat setempat diberi kesempatan dan peluang untuk bermitra dengan pengelola dalam melakukan kegiatan usaha, yang terpenting adalah menumbuhkembangkan budaya menghargai dan peduli terhadap kelestarian alam beserta lingkungannya untuk mendukung proses keseimbangan (Yulianda 2007).
22 2.5 Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT) atau Integrated Coastal Zone Management (ICZM) pertama kali dikemukakan pada Konferensi Pesisir Dunia (World Conference of Coast) yang digelar pada tahun 1993 di Belanda. Pada forum tersebut, PWPT diartikan sebagai proses paling tepat menyangkut masalah pengelolaan pesisir, baik untuk kepentingan saat ini maupun jangka panjang, termasuk di dalamnya akibat kerugian habitat, degradasi kualitas air akibat pencemaran, perubahan siklus hidrologi, berkurangnya sumber daya pesisir, kenaikan muka air laut, serta dampak akibat perubahan iklim dunia (Sugiarto 1996) Lebih jauh, Sugiarto (1996) juga menyatakan bahwa konsep PWPT menyediakan suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan yang tepat dalam menaklukkan berbagai kendala dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti adanya pengaturan institusi yang terpecah-pecah, birokrasi yang berorientasi pada satu sektor, konflik kepentingan, kurangnya prioritas, kepastian hukum, minimnya pengetahuan kedudukan wilayah dan faktor sosial lainnya, serta kurangnya informasi dan sumberdaya. Dahuri, et al, (2001) mendefenisikan PWTP sebagai suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Guna mewujudkan hal tersebut maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut sangat penting, keterpaduan tersebut mencakup lima aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b) keterpaduan sektoral; (c) keterpaduan kebijakan secara vertikal; (d) keterpaduan disiplin ilmu; dan (e) keterpaduan stakeholder. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat
23 pemerintah tertentu (horizontal integration); antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Seperti diuraikan di atas, bahwa wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland area) maupun lautan (ocean). Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan. Kondisi empiris semacam ini mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) tersebut, yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memberikan makna bahwa wilayah dengan seluruh isinya perlu dihargai dan secara berencana dapat dieksploitasi, sehingga diperlukan upaya-upaya perlindungan makhluk hidup yang sifatnya hayati dan manusiawi. Menjaga dan melestarikan wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap perubahan ekosistemnya, diperlukan perhatian yang serius dalam pengembangan dan pengelolaannya agar senantiasa berjalan secara berkelanjutan dan lestari. Adapun arah tujuan pengelolaan potensi sumberdaya pesisir adalah agar mampu meningkatkan pengelolaan secara terpadu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya secara optimal, efisien, efektif yang mengarah pada peningkatan upaya pelestarian lingkungan.
24 Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu memerlukan pendekatan yang komprehensif dengan melibatkan pengelolaan kawasan daerah aliran sungai, yang merupakan satu kesatuan ekosistem. Degradasi lingkungan perairan pesisir merupakan hasil akibat kegiatan manusia yang tidak hanya bersumber di kawasan pesisir itu sendiri, namun juga bersumber di sepanjang daerah aliran sungai yang mengalir ke kawasan pesisir. Penanganan permasalahan pencemaran perairan misalnya, memerlukan penanganan menyeluruh terhadap seluruh aktifitas penghasil limbah di sepanjang daerah aliran sungai, mulai dari daerah hulu sampai ke hilir. Tanpa melakukan pengelolaan menyeluruh melibatkan daerah aliran sungai, akan menjadikan upaya pengelolaan kawasan pesisir, khususnya pengelolaan pencemaran akan menjadi kurang mengenai sasaran dan sifatnya sementara saja. Pengelolaan kawasan pesisir terpadu hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip “good governance” yaitu keterbukaan (openness), partisipasi (participation), akuntabilitas (accountability), efektivitas (effectiveness) dan keterhubungan (coherence), dan juga dengan saling menghargai (respect), transparan (transparency) dan kepercayaan (trust). Perlakuan kawasan pesisir dan daerah aliran sungai sebagai suatu kesatuan ekosistem, sejalan dengan konsep pengelolaan secara terpadu (integrated) semua stakeholder di kawasan pesisir dan daerah aliran sungai, tidak hanya berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan pesisir dan daerah aliran sungai, namun juga turut aktif (bernegosiasi) dalam perumusan kebijakan dan konsep pengelolaan kawasan tersebut, sesuai dengan kondisi lokal di masing-masing kawasan. Bappenas (1998) menyatakan
untuk mencapai pembangunan
sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arah Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PKSPL-IPB (1998) menyatakan bahwa arah kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan meliputi empat aspek utama yaitu: (1) aspek teknis dan ekologis; (2) aspek sosial ekonomi budaya; (3) aspek sosial politik dan (4) aspek hukum dan kelembagaan termasuk pertahanan dan keamanan. Pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan memberikan makna bahwa wilayah dengan seluruh isinya perlu dihargai dan secara berencana dapat dieksploitasi, sehingga diperlukan upaya-upaya perlindungan makhluk hidup yang
25 sifatnya hayati dan manusiawi. Untuk menjaga dan melestarikan wilayah pesisir dan laut yang sangat rentan terhadap perubahan ekosistemnya, diperlukan perhatian yang serius dalam pengembangan dan pengelolaannya agar senantiasa berjalan secara berkelanjutan dan lestari. Adapun arah tujuan dari pengembangan dan pengelolaan potensi sumberdaya pesisir adalah agar mampu meningkatkan pengelolaan secara terpadu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya secara optimal, efisien, efektif yang mengarah pada peningkatan upaya pelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED 1987). Dengan demikian ekosistem alamiah seperti kawasan pesisir memiliki 4 (empat) fungsi pokok bagi pengembangan ekonomi masyarakat pesisir, yaitui: (i) jasa-jasa pendukung kehidupan; (ii) jasa-jasa kenyamanan; (iii) penyedia sumberdaya alam dan (iv) penerima limbah (Ortolano dalam Dahuri 2001). Keempat fungsi ekosistem diatas, secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) keharmonisan spasial; dan (ii) kapasitas asimilasi; dan (iii) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial (spatial suitability) mensyaratkan, bahwa dalam suatu wilayah pembangunan memiliki tiga zona, yaitu zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan (utlilization), wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi juga dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Contoh daerah preservasi adalah daerah pemijahan ikan (spawning ground) dan jalur hijau pantai. Dalam zona preservasi ini tidak diperkenankan adanya kegiatan pembangunan, kecuali penelitian. Sementara itu, beberapa kegiatan pembangunan seperti pariwisata alam, pemanfaatan hutan bakau dan perikanan secara berkelanjutan (sustainable basis) dapat berlangsung dalam zona konservasi (Dahuri et al. 1998). Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara; membersihkan limbah secara alamiah; dan sumber keanekaragaman hayati (biodiversity). Bergantung pada kondisi alamnya,
26 luas zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya 30-50% dari luas totalnya. Selanjutnya, setiap kegiatan pembangunan (industri wisata, pertanian, budidaya, perikanan, pemukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis. Penempatan setiap kegiatan dalam zona pemanfaatan ini hendaknya memperhatikan : (i) kesesuaian (suitability) dari unit lahan atau perairan bagi setiap kegiatan pembangunan; (ii) pengaruh (dampak) kegiatan pembangunan di lahan atas/daratan, terutama dalam bentuk pencemaran, sedimentasi dan perubahan regim hidrologi; dan (iii) keserasian (compatability) antar kegiatan pembangunan (Dahuri 2001). Lebih lanjut terdapat enam sistem utama dalam setiap pembangunan ekonomi nasional, yaitu sistem kependudukan, sumberdaya alam, lingkungan dan ekologi, ilmu dan teknologi, serta masyarakat. Namun demikian penduduk dan sumberdaya alam serta lingkungan merupakan sistem-sistem yang paling fundamental, karena sumberdaya lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan (Suparmoko 1997). Upaya pengelolaan sumberdaya harus dilaksanakan secara konsisten untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan memerlukan adanya kontinuitas pertumbuhan ekonomi dan bukannya stagnasi karena rusaknya sumberdaya alam dan lingkungan. Pembangunan Indonesia yang berwawasan lingkungan lebih tepat untuk mencapai sasaran pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan (Kusumastanto 1995). Salah satu prasyarat bagi terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan adalah tersedianya neraca sumberdaya alam dan lingkungan. Terciptanya tingkat penghasilan yang berkelanjutan memerlukan pengetahuan mengenai berapa volume sumberdaya alam dapat dinilai serta bagaimana kualitasnya, untuk terciptanya kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang.
2.6 Kesesuaian dan Daya Dukung Untuk Parwisata Pesisir Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) la-
27 han serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya. Pengembangan daerah yang optimal dan berkelanjutan membutuhkan suatu pengelolaan keruangan wilayah pesisir yang matang. Berkaitan dengan hal tersebut, maksimum kajian tentang model pengelolaan dan arahan pemanfaatan wilayah pesisir yang berbasis digital dengan menggunakan SIG merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu dikaji, Harjadi (2004). Pengembangan berkelanjutan (sustainable development) suatu wilayah pesisir dan laut memerlukan empat persyaratan, (1) setiap kegiatan pembangunan (seperti
pemukiman, tambak, pertanian, pariwisata) harus ditempatkan pada
lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan, termasuk perairan, (2) jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut, jika menggunakan air tawar (biasanya mengunakan faktor pembatas terpenting dalam suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan kawasan termasuk untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu tertentu, (3) jika membuang limbah ke lingkungan perairan, maka jumlah limbah (bukan limbah B3 tapi jenis limbah yang biodegradable) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan perairan tersebut. (4) jika memodifikasi bentang alam (lanscape) suatu wilayah (seperti penambangan pasir dan reklamasi) atau melakukan konstruksi di lingkungan khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga dan hotel harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan prosesproses alami lainnya (http://www.tandf.co.uk/journal/titles Jan 2007). Scones (1993) diacu Taurusman (1999) membagi daya dukung lingkungan menjadi 2 (dua) yakni daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis (economic carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum individu atau manusia pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-parameter
28 kelayakan usaha secara ekonomi. Di wilayah pesisir, telah banyak perhatian yang dicurahkan terhadap daya dukung manusia dan habitat alami untuk mendukung pembangunan pariwisata dan resort. Dalam hubungan ini daya dukung didefinisikan sebagai lingkungan fisik, biologi, sosial dan psychological untuk mendukung aktivitas wisatawan tanpa mengurang kualitas lingkungan atau kepuasan pengunjung (Clark 1995). Selanjutnya Miler (1988) diacu Clark (1995) pengertian daya dukung dapat dijelaskan dalam dua penjelasan. Pertama, daya dukung menunjuk kepada kepadatan optimum wisatawan untuk memanfaatkan kesenangannya sebagai contoh; kepadatan orang pada suatu pantai atau kunjungan pada suatu tempat bersejarah. Kedua, daya dukung menunjuk suatu ambang batas tertentu dari kegiatan wisatawan dimana akan terjadi kerusakan pada lingkungan, yang mencakup habitat alam, seperti terumbu karang. Dampak pembangunan pariwisata yang melampaui daya dukung mencakup pengurangan keanekaragaman hayati, masalah-masalah kesehatan manusia, penurunan sumberdaya alam, kehilangan pekerjaaan dan pendapatan. Clark (1995) menambahkan komponen ketiga yaitu daya dukung sosial ekonomi. Bila ambang batas sosial terlewatkan maka masalah ekstrim muncul misalnya di Caribia,
karena
penyebab
utama
dari
ketidaktentraman
sosial,
maka
ketidaknyamanan wisatawan sangat cepat terekspansi. Kapasitas sosial harus dibatasi pada maksimum pengunjung yang dapat diterima oleh penduduk, yang tinggal disekeliling daerah tujuan wisata. Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan dengan cara menganalisis: (1) kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan, dan (2) kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, sangat berpengaruh terhadap wilayah pesisir akan sumberdaya dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah tersebut.
29 Selanjutnya Gunn (1993) mengemukakan bahwa pembangunan suatu kawasan wisata yang baik dan berkelanjutan, apabila secara optimal didasarkan pada empat aspek sebagai berikut: 1. mempertahankan kelestarian lingkungannya. 2. meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. 3. menjamin kepuasan pengunjung. 4. meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan
masyarakat di
sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Lebih lanjut Saparjadi (1999) menjelaskan bahwa pada skala mikro daya dukung lingkungan diwujudkan sebagai berikut: 1. Tingkat kepadatan pengunjung dalam luasan yang masih dapat didukung dalam besaran dan teknologi, sarana dan prasarana pemukiman yang tersedia. 2. Kepadatan bangunan dalam suatu kawasan. 3. Rasio antar unit bangunan dengan luasan kawasan (floor area ratio). 4. Rasio jumlah orang dengan ruang yang tersedia di kawasan (per capita ratio). 5. Jarak,ketinggian dan bangunan tidak menghalangi sirkulasi dan pemandangan. 6. Peruntukan pemukiman yang tidak berada di wilayah yang berpotensi bencana. 7. Ukuran dan jaringan jalan dan sarana transportasi yang memadai. 8. Terpenuhinya prasarana dan sarana lingkungan sosial (umum). 9. Tercukupinya prasarana pembuangan dan pengolahan limbah. 10. Kawasan perlindungan (konservasi dan zona penyangga). Dengan demikian daya dukung merupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata pesisir yang berkelanjutan.
2.7 Ecological Footprint Sachs (2003) diacu dalam Anielski (2005) mengatakan bahwa “Dunia tidak lagi dibagi oleh ideologi ‘kiri’ dan ‘kanan’ tetapi oleh mereka yang menerima adanya keterbatasan ekologis dan mereka yang tidak”. Oleh karena itu, perhatian terhadap keberlanjutan ekologi menjadi kewajiban bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain diperlukan suatu pendekatan, salah satu konsep pendekatan yang ditawarkan adalah ecological footprint sebagai panduan kebijakan
30 dan alat keberlanjutan pembangunan. Ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat (Adrianto 2006). Selain itu menurut Anielski (2005) diacu dalam Ditya (2007) ecological footprint adalah suatu alat untuk memonitor kemajuan ke arah keberlanjutan. Ini merupakan salah satu langkah penyampaian mengenai perbandingan konsumsi manusia yang secara langsung dengan batasan produktivitas sumberdaya alam. Ini merupakan suatu alat menarik untuk berkomunikasi, mengajar, dan perencanaan dengan menggunakan kriteria ekologis minimum untuk keberlanjutan. Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees, (1996) dalam bukunya yang berjudul: Our Ecological Footprint:Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan areal untuk konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan, tempat pembuangan akhir (TPA) dan lain-lain (degraded land footprint), dan perlu hutan (dan juga lautan) untuk mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy footprint). Jumlah footprint tersebut merupakan apa yang disebut ecological footprint diri kita. Venetoulis et al. (2004) menambahkan ecological footprint merupakan suatu alat untuk mengukur dan meneliti konsumsi sumberdaya alam oleh manusia dan output buangan di dalam konteks sumberdaya alam dapat diperbaharui dan memiliki kapasitas regenerasi (biocapacity). Pendekatan ini memberikan penilaian yang bersifat kuantitatif mengenai produktifitas area secara biologi yang diperlukan untuk menghasilkan sumberdaya baik makanan, energi dan material serta untuk menyerap buangan dari individu, kota, wilayah, atau negara. Pada saat kita makan nasi, maka jumlah nasi yang kita konsumsi selama satu tahun memerlukan sejumlah areal yang khusus diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan nasi kita.Tidak penting lokasi areal itu dimana, tetapi pasti ada areal di permukaan bumi yang telah berproduksi untuk kita. Kertas dan kayu yang kita gunakan setiap tahun juga memerlukan sejumlah areal hutan yang khusus diperuntukkan untuk keperluan kita. Demikian pula areal untuk rumah, perkantoran, kawasan perkotaan, jalan dan lain-lain, merupakan areal yang harus tersedia untuk kita sebagai areal yang
31 secara ekologis telah ”terdegradasi” karena secara biologis tidak produktif lagi. Mengingat areal di permukaan bumi yang terbatas, ekspansi seseorang terhadap komponen-komponen kebutuhan tersebut pasti akan mengurangi atau berakibat kerugian pada orang lain. Analisis ecological footprint dari kebutuhan nyata tersebut dapat memberikan gambaran pada tingkat mana permukaan bumi dapat mendukung pola konsumsi manusia ketika populasi bertambah dan standar hidup di negara berkembang juga meningkat (Palmer 1999). Secara konseptual ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity. Biocapacity dapat diartikan sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung saja. Ferguson (2002) mendefinisikan biocapacity sebagai ukuran ketersediaan areal produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi tersebut, yang didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological footprint. Menurut Rees (1996) yang dikutip dalam Wackernagel dan Yount (1998), ecological footprint adalah suatu indikator area-based yang digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas menghasilkan limbah di suatu area khusus dalam hubungan dengan kapasitas area untuk menyediakan aktivitas tersebut. Wackernagel dan Yount (1998) menjelaskan bahwa analisis ecological footprint didasarkan pada dua fakta sederhana yakni sebagai berikut: Pertama, dapat ditelusuri banyaknya sumberdaya yang dikonsumsi pada suatu populasi manusia dan aliran buangannya. Kedua, bahwa sumberdaya dan aliran buangan tersebut dapat dikonversi ke suatu area yang produktif untuk keperluan menyediakan sumberdaya dan asimilasi buangan. Setiap proses kehidupan akan memiliki ecological footprint dengan ukuran yang berbeda. Pada skala global, manusia secara keseluruhan dapat dibandingkan dengan total kekayaan alam dan jasa yang tersedia. Ketika manusia dalam pemanfaatannya masih di dalam kemampuan alam melakukan regenerasi, maka keberlanjutan sebagai konsekuensinya.
32 2.8. Ecological Input-Output Menurut Rustiadi et al. (2004) model Input-Output telah dikenal semenjak jaman Phsyokrat pada pertengahan abad ke-18, khususnya oleh Quesnay di tahun 1758 dengan Tableu de’economique-nya. Semula Quesnay hanya mengkonstruksi model makro ekonomi input-output khususnya antara petani dan buruh (farmers and laborers), tuan tanah (land owners) dan pihak lainnya (others, sterile class). Kemudian, oleh Walras di tahun 1877 dengan General Equilibrium-nya dibuatlah model tersebut menjadi lebih terinci dengan pemisahan sektor yang lebih baik dan jelas. Puncak perkembangan Tabel Input-Output mencapai bentuk yang mendasari tabel-tabel input-output modern adalah tabel input-output yang dikembangkan oleh Leontief (1966). Tujuan Leontief mengembangkan tabel input-output adalah untuk menjelaskan besarnya arus interindustri dalam hal tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Analisis Input-Output saat ini telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian. Ecological input-output merupakan pengembangan dari model input-output (I-O) konvensional yang telah digunakan sebagai alat analisis perencanaan pembangunan selama ini (KMNLH dan BPS 2000). Satu kekurangan dari model I-O konvensional adalah tidak diikutsertakannya transaksi komoditi ekologi dan output eksternal dari setiap sektor pembangunan. Padahal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pengembangan model ecological input-output ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Model ecological input-output dilakukan dengan cara memasukkan beberapa jenis komoditas ekologi, seperti air dan tanah ke dalam deretan sektor produksi dan menambahkan pada kolom-kolom terakhir beberapa output yang berupa limbah atau permasalahan lingkungan/ekologi seperti pencemaran CO, CO2 dan sebagainya yang merupakan produk kegiatan ekonomi. Prinsip analisis yang digunakan sama dengan prinsip pada analisis dasar, dimana dengan mengasumsikan koefisien konstan, maka dampak perubahan permintaan akhir pada produksi berbagai sektor (termasuk produksi limbah) akan bisa diprediksi. Model ini mencakup parameter ekologi seperti air dan tanah yang dimasukkan sebagai input, sehingga dapat memprediksi dampak perubahan per-
33 mintaan akhir pada besarnya kebutuhan input setiap sektor, sehingga dampaknya pada degradasi lingkungan dapat diperkirakan (KMNLH dan BPS 2000). 2.9 Sistem Pemodelan Dinamik Sistem pemodelan merupakan suatu gugus aktivitas pembuatan model. Secara umum pemodelan didefinisikan sebagai suatu abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno,1999). Salah satu dasar utama untuk pengembangan model adalah menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara perubah tersebut. Teknik kuantitatif dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam sebuah model. Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari komponen-komponen yang berkaitan satu sama lainnya yang berusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam lingkungan yang kompleks. Pendekatan sistem merupakan pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pendekatan sistem akan memberikan penyelesaian masalah yang kompleks dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi, dan mendisain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan (Eriyatno, 1999). Selanjutnya Eriyatno (1999) menyatakan bahwa model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya. Pada dasarnya jenis model dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1. Iconic Model (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti foto, peta, atau cetak biru atau berdimensi tiga seperti prototype mesin dan alat. Model yang berdimensi lebih dari tiga, tidak dapat lagi dikonstruksikan secara fisik (ikonik), sehingga diperlukan model lainnya. 2. Analogy Model (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi analoginya kemudian mengetengahkan karateristik dari kejadian yang dikaji. Model ini besifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang
34 khas. 3. Symbolic Model ( model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematik (equation). Dalam pendekatan sistem, pengembangan model merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Dalam hubungannnya dengan fenomena komplek yang bersifat multidimensi maka secara hipotetik dapat dikatakan bahwa pemilihan simbolik model akan lebih cepat untuk mengkaji sistem tersebut. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitivitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model. Dinamik sistem berbasis pada persamaan
difference dan
diferensial.
Persamaan difference adalah persamaan yang menyatakan bahwa keadaan masa nanti (the future state) tergantung pada keadaan sekarang (the current state) dan faktor-faktor lainnya. Tujuan pemodelan adalah membuat sebuah model dinamik sistem yang mampu mengintegrasikan ragam kepentingan banyak pihak. Melalui model tersebut dapat dibuat skenario untuk mengakomodasikan kepentingan banyak pihak serta menjaga dan meningkatkan kelestarian alam. Model dinamik sistem yang dikembangkan dibatasi pada hal-hal yang terkait dengan interaksi antara ekologi, sosial dan ekonomi serta kebijakan pengelolaan lahan oleh pemerintah,
model yang dibuat ada dalam interseksi dari ketiganya (Forrester,
1999). Pendekatan sistem terdiri dari tahapan analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, simulasi sistem, dan validasi sistem. Sistem yang dibangun perlu ditindaklanjuti dengan melakukan uji sensitivitas untuk melihat batasbatas sejauh mana sistem tersebut masih bisa memenuhi tujuan yang telah ditetapkan (Hartrisari, 2007).
2.10 Analisis Kebijakan Analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan
35 memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Oleh karenanya Dunn (1998) menjelaskan bahwa analisis kebijakan tidak membatasi diri pada pembangunan dan pengujian teori-teori deskriptif umum, misalnya pada politik dan sosiologi mengenai elit-elit pengambil kebijakan, atau pada teori-teori ekonomi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pembelanjaan publik. Analisis kebijakan menerobos pagar disiplin tradisional yang hanya menjelaskan keajegan-keajegan empiris dengan tidak hanya menggabungkan dan memindahkan isi dan metode dari beberapa disiplin, tetapi juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pada tingkat politik khusus. Lebih dari itu, tujuan analisis kebijakan lebih dari sekedar menghasilkan fakta-fakta, seorang analis juga mencari untuk menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Dengan begitu analisis kebijakan meliputi baik evaluasi kebijakan maupun anjuran kebijakan. Salah satu karateristik penting dari metode analisis kebijakan adalah hubungan hirarkis, tidak mungkin menggunakan suatu metode sebelum metode yang terletak di atasnya digunakan. Pendekatan normatif dalam analisis kebijakan perlu menyertakan baik premis faktual maupun premis nilai. Hanya pendekatan empiris dalam analisis kebijakan, yang pada dasarnya bersifat bebas. Masalah kebijakan merupakan kebutuhan dan kesempatan yang belum terpenuhi, tetapi yang dapat diidentifikasikan dan dicapai melalui tindakan publik. Informasi mengenai sifat masalah dan potensi pemecahannya, seperti yang telah dijelaskan di atas, dihasilkan melalui penerapan prosedur analisis kebijakan dalam perumusan masalah. Oleh karena itu Dunn (1999) menjelaskan bahwa perumusan masalah merupakan tahap paling kritis dalam analisis kebijakan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa analisis yang dilakukan terhadap suatu kebijakan pada hakekatnya adalah merumuskan, mengevaluasi dan menciptakan alternatif perbaikan terhadap masalah yang timbul dalam suatu kebijakan. Dengan kata lain tidak seluruh aspek kebijakan yang harus di analisis, namun tergantung pada permasalahan yang berhasil dirumuskan.
36 Selanjutnya setelah masalah-masalah kebijakan dirumuskan, maka dilakukan langkah evaluatif untuk mendapatkan informasi mengenai nilai atau harga dari kebijakan masa lalu dan di masa datang. Dengan demikian dapat dilakukan evaluasi dengan berbagai metode penelitian sosial yang tersedia. Hirarki metode analisis kebijakan secara rinci disajikan pada Gambar 3 sebagai berikut:
PERUMUSAN MASALAH
PELIPUTAN
PERAMALAN
Modus EmpiriK
Modus Evaluatif
EVALUASI
Modus Anjuran
REKOMENDASI
PENYIMPULAN PRAKTIS
Gambar 3 Hirarki dalam Metode Analisis Kebijakan (Dunn 1998) Analisis kebijakan adalah suatu bentuk tahapan analisis perumusan masalah sampai penyimpulan, menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan. Dengan demikian analisis kebijakan penting untuk mendapatkan alternatif dalam membuat keputusan.