7
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan. Wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir ke arah daratan, baik yang kering maupun terendam air masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin (Dahuri et al. 1996). Defenisi di atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, baik di darat maupun di laut dan antara habitat tersebut saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling rentan terhadap dampak negatif aktivitas manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung atau tidak langsung berdampak terhadap ekosistem pesisir (Primavera 2006). Wilayah pesisir merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik, problem yang unik dan kompleks. Secara ekonomis, wilayah pesisir sebagai sarana pelabuhan dan bisnis komersial, serta mempunyai daya tarik yang besar sebagai tujuan wisata dan tujuan lainnya yang dapat menghasilkan banyak keuntungan finansial (Cicin-Sain and Knecht 1998).
Disamping itu, wilayah
pesisir dihuni oleh lebih dari setengah penduduk dunia. Hampir dua pertiga dari kota-kota terbesar dunia terletak di wilayah pesisir dan pertumbuhan populasi penduduknya lebih cepat dibanding wilayah lainnya. Hingga saat ini, lebih dari 60% penduduk Indonesia tinggal dan bekerja di wilayah pesisir (meliputi areal 50 km dari garis pantai) dan dua pertiga dari kota-kota di Indonesia berlokasi di wilayah pesisir (Dahuri et al. 1996). Produksi dan jasa dari wilayah pesisir dan laut juga menyediakan berbagai peluang dan kesempatan kerja. Diperkirakan satu dari lima pekerjaan yang ada di Indonesia berhubungan dengn pesisir dan laut. Sekitar 20% dari produk domestik regional bruto (PDRB) berasal dari wilayah pesisir dan laut, melalui kegiatan
8
ekonomi seperti: perikanan, pariwisata, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan industri (Dahuri et al. 2009). Dibalik prospek cerah dari wilayah pesisir dengan laju pertumbuhan penduduk dan berbagai aktivitas di sekitarnya, menimbulkan berbagai tekanan terhadap sumberdaya, yang diindikasikan dengan munculnya berbagai problem di wilayah pesisir. Beberapa kawasan pesisir dan laut di Indonesia, seperti: Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Teluk Jakarta, Selat Makassar dan lain-lain telah mengalami kerusakan sampai pada tingkat daya dukung lingkungan yang tidak mampu lagi ditolelir. Eksploitasi yang berlebihan terhadap ekosistem mangrove dan terumbu karang akan menghilangkan fungsi ekologisnya seperti peredam badai dan gelombang, menurunnya jumlah tangkapan dan produksi perikanan serta terjadinya pencemaran perairan pesisir akan berdampak terhadap hilangnya beberapa jenis spesies ekonomis penting (Cicin-Sain & Knecht 1998). Pencemaran merupakan salah satu faktor yang paling penting di antara penyebab kerusakan wilayah pesisir dan laut (Dahuri et al. 1996).
Hal ini
disebabkan karena pencemaran tidak saja merusak habitat atau mematikan komponen biota perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan bahkan mematikan manusia yang memanfaatkan biota dari wilayah pesisir yang tercemar. 2.2 Daya Dukung Perairan Pesisir Daya dukung adalah batasan banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran. Jadi, daya dukung adalah ultimate constrait yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang, tempat berpijah, penyakit, siklus predator, cahaya matahari atau salinitas.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
memperkirakan daya dukung suatu kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya adalah faktor kualitas dan kuantitas perairan. Faktor kualitas perairan berhubungan dengan kualitas fisik, kimia dan biologi perairan, sedangkan faktor kuantitas berhubungan dengan kemampuan wilayah pesisir untuk melakukan
9
degradasi secara alami terhadap limbah yang masuk kedalam perairan pesisir tersebut (Widigdo & Suwardi 2002). Kuantitas atau volume air yang tersedia telah digunakan untuk menentukan jumlah pakan maksimum tahunan yang dapat diberikan
untuk
menentukan daya dukung lahan pada budidaya air tawar di Denmark (Roque d’Orbcastel et al.
2008).
Metode yang sama digunakan oleh Widigdo &
Pariwono (2003) untuk menentukan daya dukung lingkungan kawasan pertambakan di kabupaten Subang (Jawa barat), Teluk Jakarta (Jakarta) dan Kabupaten Serang (Banten), Sitorus (2005) in Prasita (2007) di Kabupaten Subang (Jawa Barat), Prianto et al. (2006) di Kota Dumai (Riau), Prasita (2007) di Kabupaten Gresik, dan Mustafa dan Tarunamulia (2009) di Kabupaten Barru. Modifikasi Metode tersebut telah digunakan dalam penelitian yang bertujuan untuk mengetahui daya dukung perairan dan kapasitas asimilasi alaminya untuk menampung limbah bagi pengelolaan tambak secara berkelanjutan. Allison (1981) in Widigdo & Suwardi (2002) menyatakan bahwa kelayakan perairan umum untuk kegiatan budidaya maka perairan penerima limbah harus memiliki volume 60–100 kali lipat volume limbah cair yang dibuang ke perairan tersebut. Jumlah limbah cair maksimum dari kegiatan budidaya yang masuk ke perairan umum adalah 10% dari total volume air perairan penerima limbah. Limbah cair maksimum dari kawasan budidaya yang dibuang ke perairan umum sebesar 10% dari total volume tambak atau kolam, maka volume air tambak/kolam maksimum adalah 10% volume air perairan umum (air yang masuk ke perairan pantai). Daya dukung kawasan untuk perikanan budidaya dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : daya dukung lahan, tingkat tekhnologi budidaya yang diterapkan dan manajemen usaha. Daya dukung lahan budidaya dipengaruhi oleh gabungan berbagai faktor seperti mutu sumber air (salinitas), arus air di pantai, pasang surut, ketinggian lahan, dan kondisi tanah pantai. Untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir dari kerusakan maka menjadi sangat penting untuk menentukan adanya kawasan penyangga (green belt), menetapkan atau mempertahankan kawasan lindung. Menurut Kepres Nomor 32 Tahun 1990, penentuan zona lindung untuk sempadan sungai memperhatikan :
10
(1) sekurang-kurangnya 100 m kiri-kanan sungai besar dan 50 m di kiri-kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman; dan (2) untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inpeksi antara 10–15 m.
Kriteria yang dapat dipakai untuk penentuan
kawasan lindung mangrove adalah minimal 130 kali rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis surut terendah kea rah darat. Secara ekologis terdapat saling keterkaitan antara tambak dan mangrove. Ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar khususnya bahan-bahan organik (Robertson & Phillips 1995; Primavera 2006). Disamping itu, mangrove berfungsi sebagai kawasan penting untuk breeding grounds, nursery area dan habitat bagi berbagai biota perairan (Odum 1972; Widigdo & Suwardi 2002). 2.3 Kualitas Perairan Pesisir 2.3.1 Suhu Suhu perairan merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sebaran organisme akuatik dan reaksi kimia. Peningkatan suhu perairan secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme suatu perairan (Wardoyo 1987). Suhu perairan merupakan suatu parameter penting, karena suhu perairan dapat mempengaruhi parameter fisika dan kimia yang lain.
Di
samping
itu
suhu
merupakan
faktor
lingkungan
yang
mempengaruhi laju pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup, serta meningkatnya laju metabolisme. Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh suhu udara di atasnya. Dengan demikian suhu air dipengaruhi oleh kondisi iklim clan cuaca saat pengamatan. Menurut Nybakken (1992) suhu perairan di daerah pesisir mempunyai perbedaan yang nyata di bagian permukaan dan dasar perairan, dimana suhu di bagian permukaan lebih tinggi daripada di dasar perairan. Suhu air yang berkisar antara 35 - 40°C, merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme air, yang dapat menyebabkan kematian. 2.3.2 Salinitas Salinitas menggambarkan kandungan garam dalam air suatu perairan. Air laut pada umumnya memiliki salinitas 32 ppt. Salinitas di daerah perairan
11
pesisir bertluktuasi dan dipengaruhi oleh musim, topografi, pasang surut serta jumlah air tawar yang masuk ke laut. Pasang surut dapat menyebabkan perubahan salinitas, sewaktu pasang air taut jauh masuk ke arah hulu dan sebaliknya sewaktu surut garis isohalin bergeser ke arah hilir (Odum 1971). Salinit as perairan sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan sistem osmoregulasi organisme perairan. Menurut Nybakken (1992) salinitas di berbagai tempat. 2.3.3 Oksigen Terlarut Oksigen terlarut atau dikenal dengan istilah DO (dissolved oksigen) adalah faktor penting bagi kehidupan makhuk hidup termasuk biota. perairan. Oksigen adalah salah satu gas yang ditemukan terlarut pada perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries & Mills 1996 in Effendi 2000) Welch (1952) in Sulardiono (1997) menyatakan bahwa oksigen terlarut dalam air umumnya berasal dari difusi oksigen, arus atau aliran air melalui air hujan dan fotosintesis, sedangkan oksigen t erlarut dapat berkurang disebabkan karena naiknya suhu air, meningkatkan salinitas, proses respirasi organisme perairan dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Alaerst & Sartika (1987) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air dapat mencapai 14.6 mg/l pada suhu 0°C dan 7 mg/l pada suhu 35° C pada tekanan 1 atmosfer. Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan, sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhimya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena oksigen terlarut dipergunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu 1991). Pada perairan yang menerima limbah organik, proses dekomposisi bahan buangan yang dilakukan oleh bakteri memerlukan oksigen yang cukup. Apabila jumlah bahan organik melimpah, aktivitas perombakan bakteri
12
memerlukan oksigen yang sangat banyak, sehingga konsentrasi oksigen di perairan menjadi berkurang, bahkan dalam kondisi tertentu perairan dapat dalam keadaan tanpa oksigen (anaerob), konsentrasi oksigen kurang dari 1 mg/l dapat mematikan organisme perairan hanya dalam selang beberapa hari (Swingle 1965 in Sulardiono 1997). Kondisi kelarutan oksigen yang rendah yang diikuti secara simultan oleh meningkatnya karbondioksida, penurunan pH air, meningkatnya sama laktat darah dan menurunnya pH darah ikan, meningkatnya amoniak dan nitrit serta sejumlah faktor lainnya mengakibatkan adanya kondisi yang disebut sebagai Low Dissolved Oxygen Syndrome (LODOS) atau dikenal sebagai kondisi hypoxia. Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk menduga laju beban maksimum yang diperkenankan atau daya dukung. Kebutuhan oksigen juga dikontrol oleh laju pasokan bahan organik. Nutrien diduga mempengaruhi pasokan oksigen melalui stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan kembali dikonsumsi oleh bakteri dan hewan. Karena itu, ketersediaan oksigen terlarut dan beban nutrien akan menentukan daya dukung dari suatu perairan (Widigdo 2000). 2.3.4 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH merupakan gambaran jumlah atau lebih tepatnya aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa asam atau basa suatu perairan. Di perairan pesisir atau laut pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7.7–8.4 (Nybakken
1992). Perubahan nilai pH perairan
pesisir yang kecil saja dari nilai alaminya menyebabkan sistem penyangga perairan tersebut terganggu, sebab air
laut sebenarnya mempunyai
kemampuan untuk mencegah perubahan pH.
Di dalam perairan, pH
dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd 1982).
13
2.3.5 Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS) Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam kolom air. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan berbanding terbalik dengan kekeruhan. Perairan yang kekeruhannya tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam kolam air, sehingga membatasi proses fotosint esa. Besarnya jumlah partikel tersuspensi (TSS) dalam perairan pesisir, setidaknya pada waktu tertentu dalam setahun, menyebabkan air menjadi sangat keruh. Kekeruhan tertinggi biasanya terjadi pada saat aliran sungai maksimum, sedangkan kekeruhan terendah biasanya di dekat mulut muara (Nybakken 1992). Menurut Wardoyo (1987) tingkat kecerahan suatu perairan dipengaruhi oleh inklinasi cahaya dan panjang gelombang air. Semakin dalam intensitas cahaya menembus air, semakain besar nilai kecerahannya. Kekeruhan berbanding terbalik dengan tingkat kecerahan. Kecerahan suatu perairan menggambarkan sifat optik terhadap transmisi cahaya. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2000). Padatan terlarut menunjukkan tingkat kepekatan padatan dalam suatu volume air. Sastrawijaya (1991) menyatakan perairan dapat mengandung larutan yang berupa zat organik dan anorganik. Jika bahan terlarut berupa hara, maka perairan tersebut akan memiliki produktivitas tinggi, sebaliknya jika zat terlarut merupakan unsur yang berbahaya (seperti merkuri, timbal) akan meracuni biota perairan yang tidak jarang dapat mengakibatkan kematian. Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi nilai kekeruhan. Akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan (Effendi 2000).
14
2.3.6 Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD 5 ) BOD 5 (biological oxygen demand) yang merupakan gambaran secara tak langsung kadar bahan organik adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2000). Menurut Boyd (1982) nilai BOD 5 menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi selama proses respirasi oleh mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD 5 yang diinkubasi pada suhu sekitar 20° C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya. BOD 5 juga memberikan gambaran seberapa besar oksigen yang diperlukan dalam proses dekomposisi secara biologis (biodegradable) di perairan. Dengan demikian semakin t inggi nilai BOD 5 maka akan memberikan gambaran semakin besarnya bahan organik yang akan terdekomposisi dengan menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Tingginya aktivitas dekomposisi mengakibatkan banyaknya jumlah bahan organik yang juga dapat berakibat lebih lanjut pada timbulnya bahan-bahan beracun dan berbau sebagai hasil sampingan dari proses dekomposisi, seperti amonia dan hidrogen sulfida. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut dalam air yang dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme biota perairan. Limbah ikan dan udang yang terbuang ke perairan akan mengalami proses deko mpo sisi (degradasi) yang dilakukan o leh bakteri.
Salah satu kebutuhan utama dalam mendeko mposisi limbah
yang dapat diukur adalah oksigen.
Sehubungan dengan hal tersebut
Huisman (1987) in Widigdo et al. (2000) menyat akan bahwa untuk mendekomposisi 1 kg bahan organik diperlukan oksigen sebesar 1.067 kg. 2.3.7 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nilai COD (chemical oxygen demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik, baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi biologi (non-biodegradable), menjadi CO2 dan H 2 S. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd 1989). Nilai COD juga dapat
15
memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di dalam perairan, bila nilai COD jauh lebih besar dari nilai BOD (Alaerst & Santika 1987) 2.3.8 Nitrogen (Amonia, Nitrit, Nitrat) dan Fosfat Nitrogen dalam perairan dapat berbentuk senyawa amonia, nitri, nitrat dan senyawa bentuk lain. Senyawa tersebut berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri (Alaerst & Santika 1987). Secara alami senyawa amonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar amonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi, lebih besar dart 1.1 mg/l pada suhu 25°C dan pH 7.5 dapat diduga adanya pencemaran. Amonia (NH 3 ) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air. Senyawa ini berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi (Effendi 2000). Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH 3 dan NH 4 ). Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1 mg/l dan kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH 3 ) pada perairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0.02 mg/l. Kadar amonia bebas melebihi 0.2 mg/l bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer & Mc Carty 1978 in Effendi 2000). Nitrit (NO 2 ) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi) (Effendi 2000). Kadar NO 2 di perairan alami sekitar 0.001 mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0.06 mg/l. kadar nitrit melebihi 0.05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sensitif (Moore
1991 in
Effendi 2000) Nitrat (NO 3 ) merupakan salah satu senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme (fitoplankton,
16
tumbuhan air), apabila didukung oleh nutrien (nitrogen) terlarut (Alaerst & Santika 1987). Fosfat merupakan komponen yang penting bagi kesuburan perairan. Fosfat dalam air dapat berupa bahan padat atau bahan terlarut. Fosfat padat dapat terbentuk sebagai suspensi garam-garam yang ticlak larut (Sastrawijaya 1991). Fosfat yang diserap oleh organisme nabati berada dalam bentuk ortophosphat yang
merepresentasikan
nutrien
fosfor
(P)
terlarut
dan
merupakan
bioavailable phosphorus. Ketersediaan kedua nutrien ini merupakan gambaran tingkat kesuburan perairan, yang merupakan faktor paling penting bila perairan hendak dimanfaatkan untuk keperluan perikanan.
Konsentrasi
fosfat dalam perairan alami pada umumnya tidak melebihi 0.1 mg/l. Menurut Wardoyo (1987) kandungan fo sfat yang melebihi nor mal akan meningkatkan kesuburan perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton. 2.4 Limbah di Perairan Pengertian
kualitas
lingkungan
(perairan)
adalah
faktor
biofisika-kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Menurut Wardoyo (1987) perairan yang ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya. Menurut Boyd (1982) kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu.
Pencemaran
didefenisikan sebagai dampak negatif yang berbahaya bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem, serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari suatu ekosistem (Dahuri 2003). Berdasarkan sumbernya, bahan pencemaran dapat dikategorikan menjadi dua golongan yaitu dari alam dan kegiatan manusia. Pencemaran yang berasal dari alam, seperti sedimentasi akibat terjadinya abrasi pantai dan erosi. Menurut Sutamihardja (1992), pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia di antaranya adalah penggalian dan pengelolaan sumberdaya melalui pertambangan,
perindustrian
dan
pertanian
(termasuk
Perikanan).
Selanjutnya dinyatakan bahwa sumber pencemaran menjadi dua golongan yaitu : 1) limbah bahan organik yang berupa pengkayaan hara yang relatif tinggi,
17
sehingga terbentuk komunitas biotik yang berlebih (blooming) dan 2) zat-zat kimia toksik yang dapat menurunkan kelimpahan biota perairan dan mematikan kehidupannya. Masuknya
bahan
pencemar
ke
dalam
perairan
dapat
mempengaruhi kualitas perairan, apabila bahan yang masuk ke perairan melebihi kapasitas asimilasinya, maka daya dukung lingkungan akan menurun, sehingga menurun pula nilai guna dan fungsi perairan bagi peruntukan lainnya (Dahuri & Arumsyah 1994). Nilai kisaran parameter kualitas air yang terukur dari lingkungan perairan pantai secara langsung dipengaruhi oleh proses hidrodinamika, misalnya pasang surut, gerakan ombak, pengenceran oleh air tawar dan sebagainya. 2.5 Potensi Limbah Perikanan Budidaya Kegiatan budidaya dapat menghasilkan limbah budidaya yang terbuang ke lingkungan perairan dan secara nyata dapat mempengaruhi kualitas lingkungan pesisir (Johnsen et al. 1993).
Secara langsung dan tidak langsung dampak
pencemar terhadap lingkungan perairan yaitu menurunnya populasi organisme dan kerusakan habitat lingkungan perairan sebagai media hidupnya.
Dalam
kegiatan perikanan budidaya, penurunan kandungan oksigen terlarut yang merupakan faktor pembatas bagi kehidupan biota perairan, terjadinya eutrofikasi akibat pengayaan nutrien (N dan P), yang mengakibatkan terganggunya proses ekologis perairan serta nilai guna perairan (Karydis 2005) Kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah selain ditentukan oleh jumlah beban limbah yang masuk, juga ditentukan oleh faktorfaktor yang mendukung kemampuan asimilasi perairan tersebut, yaitu faktor hidro-oseanografi (arus, pasang surut, batimetri) dan volume air penerima limbah. Apabila limbah yang masuk ke lingkungan perairan pesisir melampaui kapasitas asimilasi atau kemampuan daya dukung maka akan berdampak terhadap berubahnya fungsi ekologis perairan pesisir tersebut. Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir adalah buangan limbah budidaya selama operasional. Buangan limbah tersebut mengandung bahan organik, nutrien dan pestisida dengan konsentrasi tinggi sebagai konsekuensi dari masukan akuainput dalam budidaya (Johnsen et al. 1993; McDonal et al. 1996; Boyd et al.
18
1999; Horowitz & Horowitz 2000; Montoya & Velasco 2000; Lin & Yi 2003). Pada budidaya secara komersial, sebanyak 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25-30% pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan (Mc Donal et al. 1996). Hasil ekskresi dan feases akan meningkatkan nutrien anorganik dan organik yang masuk kedalam ekosistem perairan.
Dampaknya cenderung memperburuk pertukaran air dari perairan
pesisir ke dalam tambak terutama jika kegiatan budidaya terkonsentrasi pada satu lokasi. Limbah yang berasal dari tambak di sepanjang pesisir pantai akan langsung masuk ke laut dan akan berdampak pada penurunan kualitas perairan. Limbah tersebut akan mengalami proses dekomposisi oleh bakteri, dimana oksigen merupakan komponen yang sangat dibutuhkan dalam proses dekomposisi limbah (Widigdo 2000). Hasil monitoring yang dilakukan Primavera (1994) in Widigdo et al. (2000) menyebutkan bahwa pada tambak udang intensif 15% dari pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85% yang dimakan sebagian besar juga akan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah. Hanya 17% dari pakan yang diberikan dikonversikan menjadi daging udang, sementara 45% terbuang dalam bentuk ekskresi (metabolism, kelebihan nutrien), pergantian kulit (moulting) dan pemeliharaan (energi) dan 20% dari pakan akan dikembalikan dalam bentuk limbah padat berupa feases. Buangan limbah budidaya dapat
mendegradasi lingkungan perairan
apabila limbah tersebut mengandung konsentrasi P terlarut 0.1 mg/l, cenderung dapat menimbulkan proses eutrofikasi (Alabaster 1982 in Kibria et al. 1996). Terdapat empat jenis dampak lingkungan yang spesifik dari budidaya intensif yaitu hipernutrifikasi, pengayaan bentik, BOD 5 dan perubahan bakterial (Gowen et al. 1990 in Silvert 1992). Selanjutnya Barg (1992) menyatakan bahwa limbah nutrien dan bahan organik dalam bentuk terlarut maupun partikel, berasal dari pakan yang tidak termakan dan ekskresi, umumnya dikarakterisasi oleh peningkatan jumlah bahan tersuspensi (TSS), BOD 5 , COD dan kandungan C, N, dan P. Sayangnya, sebagian besar informasi yang tersedia tentang limbah yang dilepaskan dari kegiatan budidaya tambak masih kurang.
19
Laju pergantian air oleh arus dan pasang surut sangat berperan di dalam proses pembuangan limbah dan memasok oksigen (Barg 1992). Dinamika arus dan kedalaman air yang menerima beban limbah menentukan tingkat pengenceran atau penyebaran areal sedimentasi dari pembuangan limbah dan dampaknya terhadap ekologi sekitar lokasi budidaya (Silvert 1992; Buschmann et al. 1996). 2.5 Potensi Limbah Tambak Salah satu penyebab pencemaran dalam kegiatan budidaya tambak, terutama untuk budidaya tambak intensif dan semi intensif adalah melimpahnya buangan limbah cair organik yang dibuang
ke sungai, perairan pantai atau
langsung ke laut (Widigdo 2000). Limbah tambak dapat bersumber dari sisa pakan, sisa hasil metabolisme (urine dan faeces), bangkai, dan mikroorganisme lainnya (Poernomo 1992; Sumagaysay & Diego 2003).
Limbah organik
terakumulasi dalam bentuk sedimen yang tertahan dan mengendap di dasar tambak atau terikat pada dinding pematang. Limbah organik banyak mengandung nutrien (Nitrogen-N dan fosfor-P) yang dapat menimbulkan eutrofikasi (Dahuri et al 2001). Batas daya tahan (holding capacity) pada lingkungan budidaya dicapai ketika pertumbuhan ikan terhenti walaupun makanan tersedia, rendahnya suplai oksigen terlarut dan tingginya buangan metabolisme karena input nutrien yang tinggi (Helper & Pruginin 1981 in Sumagaysay & Diego 2003). Pada biomassa ikan yang lebih tinggi, holding capacity lebih dipengaruhi oleh kualitas air seperti ammonia (N-total), kelarutan oksigen (DO), kebutuhan oksigen biologis (BOD 5 ) dan padatan tersuspensi (TSS) (Sumagaysay 1998). 2.6 Dampak Limbah Budidaya Terhadap Ekosistem Ekosistem pesisir dan laut juga merupakan tempat penampung limbah dari berbagai aktivitas manusia di sekitarnya. Sebagai tempat penampung limbah, ekosistem ini memiliki kemampuan yang terbatas tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui batas kemampuan asimilasi wilayah pesisir dan laut, maka akan terjadi kerusakan lingkungan di kawasan pesisir (Bengen 2000). Salah satu contoh kerusakan kawasan pesisir akibat limbah buangan aktivitas manusia adalah kawasan pantai utara Pulau Jawa.
20
Pengayaan perairan pantai dengan nutrien, khususnya nitrogen dan fosfor menyebabkan peningkatan pertumbuhan alga dan tanaman air. Hal ini
akan
menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan perairan pantai. Ketika nutrien masuk ke dalam perairan pantai, alga dan fitoplankton yang pertumbuhannya dibatasi oleh suplai nitrogen dan fosfor akan meningkat aktivitas fotosintesisnya. Pada umumnya fitoplankton akan mengalami blooming dan jenis yang ada berubah menjadi jenis yang tidak diinginkan dalam jumlah sangat besar. Fenomena ini disebut sebagai red tide yang berbahaya bagi ikan dan kerang (Dahuri et al. 2001). Potensi dampak negatif kandungan nutrien (Nitrogen dan fosfor) yang masuk ke perairan pantai, dapat dicegah dengan
memprediksi kemampuan
perairan pantai melakukan pengenceran terhadap limbah nutrien tersebut. Untuk menghitung kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah tambak dapat digunakan rumusan hasil kegiatan Penyusunan Kriteria Eko-Biologis (Widigdo 2000). 2.7 Analisis Usaha Budidaya Tambak Pada semua usaha termasuk budidaya tambak, keuntungan menjadi tujuan utama.
Analisis finansial digunakan untuk mengetahui keuntungan yang
diperoleh. Menurut Kadariah et al. (1978) keuntungan adalah total penerimaan atau total revenue (TR) dikurangi total biaya atau total cost (TC). Usaha tambak memerlukan modal yang besar dengan resiko yang besar pula. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis kelayakan usaha, untuk mengevaluasi apakah usaha tersebut layak atau tidak diusahakan dengan mengetahui besar manfaat dan besar biaya dari setiap unit yang dianalisis. Komponen biaya dalam analisis usaha budidaya tambak dibedakan menjadi: (1) biaya investasi, yang terdiri dari pengadaan lahan tambak, pembersihan lahan, konstruksi tambak, pengadaan peralatan; (2) Biaya operasional; (3) Biaya cicilan modal dan (4) biaya bunga modal. Komponen penerimaan yaitu nilai penjualan hasil budidaya tambak (Kadariah et al. 1978). Analisis finansial adalah analisis terhadap biaya dan manfaat dalam suatu usaha yang dilihat dari sudut badan atau orang yang menanam modalnya atau yang berkepentingan langsung terhadap usaha tersebut.