7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan Komisi Lingkungan dan Pembangunan PBB (Komisi Brudtland) dalam laporannya yang berjudul Our Common Future mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang” (Brundtland 1987). Namun, didalam definisi sederhana tersebut tidak secara eksplisit dicantumkan kata pembangunan atau lingkungan. Upaya-upaya untuk mengembangkan definisi tersebut di atas terus dilakukan. Pada Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2002 di Johanesburg, definisi pembangunan berkelanjutan memasukkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan (Kates et al 2005). Kates et al selanjutnya menulis bahwa walaupun definisi tersebut dengan cepat diadopsi, tetapi tidak ada persetujuan menyeluruh tentang detail dari tiga pilar tersebut. Cara lain untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah dengan melihat tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, United Nation General Assembly mengadopsi 60 tujuan yang ingin dicapai meliputi kemerdekaan, pembangunan, lingkungan, hak-hak azasi manusia, kaum yang rentan, kelaparan, kaum miskin, Afrika, dan PBB (Kates et al 2005). Cara lainnya untuk mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah dengan cara mengukurnya (Kates et al 2005). Sebagai contoh, Commission on Sustainable Development membangun 58 indikator pembangunan berkelanjutan. Indikator-indikator tersebut berupa iklim, udara yang bersih, produktivitas lahan, produktivitas lautan, air segar, dan biodiversiti. Disamping dilakukan
itu,
melalui
mendefinisikan
nilai
yang
pembangunan
mewakili
pembangunan tersebut (Kates et al 2005).
atau
yang
berkelanjutan
dapat
mendukung
model
Deklarasi Millenium menyatakan
nilai-nilai fundamental yang penting bagi kerjasama dunia pada abad ke-21 adalah kebebasan, kesamaan hak, solidaritas, toleransi, penghormatan terhadap alam, dan tanggung jawab bersama. Hal
yang
paling
penting
adalah
mendefinisikan
pembangunan
berkelanjutan ke dalam praktek (Kates et al 2005). Praktek tersebut berupa mendefinisikan
konsep,
membangun
tujuan-tujuan
yang
ingin
dicapai,
membangun indikator, dan membangun sistem nilai. Ini meliputi membangun
8 gerakan sosial, kelembagaan organisasi, mengaitkan antara ilmu pembangunan berkelanjutan dengan teknologi, dan menegosiasi kompromi antara mereka yang secara prinsip memperhatikan alam dan
lingkungan, atau yang
lebih
memperhatikan pembangunan ekonomi, dan yang lebih mendedikasikan diri untuk peningkatan kondisi kemasyarakatan.
2.2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur Bahasan dalam sub-bab ini, khususnya mengenai batasan dan pengertian, visi dan misi pembangunan industri, kebijakan pembangunan industri, strategi pembangunan
industri,
rencana pengembangan
industri prioritas dalam
kerangka penataan ruang, peran pemangku kepentingan dalam pembangunan kawasan industri, dan klasifikasi jenis industri, disarikan dari “Kebijakan Pembangunan Industri Nasional” (Deperind 2005) dan beberapa sumber lain.
2.2.1. Batasan dan Pengertian Industri pengolahan/manufaktur adalah semua kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer.
Yang
dimaksudkan dengan produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumberdaya alam hasil pertanian, kehutanan, kelautan, dan pertambangan, dengan kemungkinan mencakup produk pengolahan awal sampai dengan bentuk dan spesifikasi teknis yang standar dan lazim diperdagangkan sebagai produk primer (Deperind 2005).
2.2.2. Visi dan Misi Pembangunan Industri Visi pembangunan industri nasional dalam jangka panjang adalah membawa Indonesia untuk menjadi “Sebuah negara industri tangguh di dunia,” dengan visi antara, yaitu: “Pada tahun 2030 Indonesia menjadi Negara Industri Maju Baru.” Dengan visi tersebut maka sektor industri antara lain mengemban misi untuk “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui pengembangan dan pengelolaan sumber bahan baku terbarukan.” Untuk mencapai misi tersebut maka institusi pembina industri mengemban misi antara lain “menjadi andalan pembangunan industri yang berkelanjutan melalui pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam secara optimal dan pemanfaatan sumber bahan baku terbarukan agar lebih menjamin kehidupan generasi yang akan datang secara mandiri.”
9
2.2.3. Kebijakan Pembangunan Industri Salah satu dari tujuan pembangunan industri jangka pendek (2004-2009) adalah untuk meningkatkan penyebaran industri. Hal ini dirumuskan mengingat bahwa aktivitas industri saat ini sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa (Tabel 2.1.). Tujuan pembangunan sektor industri jangka panjang (2010-2025) meliputi: (a). memperkuat basis industri manufaktur agar industri yang tergabung dalam kelompok ini mampu menjadi industri kelas dunia (world class industry); (b).meningkatkan peran industri prioritas agar menjadi modal penggerak perekonomian nasional; dan (c). meningkatkan peran sektor industri kecil dan menengah terhadap struktur industri, sehingga terjadi keseimbangan peran antara industri besar dengan industri kecil dan menengah (Deperind 2005). Tabel 2.1. Persebaran Industri di Indonesia No
1988 Unit Usaha*) (%) 1.418.895 61,95 22.436 1,01 314.014 13,71 556.748 24,31 75.131 3,28 450.566 19,67 871.394 38,05 288.829 12,61 97.738 4,27 212.680 9,29 173.543 7,58 19.604 4,31 2.290.289 100,00
WILAYAH/PROVINSI
I
Jawa 1 DKI Jakarta 2 Jawa Barat dan Banten 3 Jawa Tengah 4 DIY 5 Jawa Timur II Luar Jawa 1 Sumatera 2 Kalimantan 3 Bali/NTB/NTT 4 Sulawesi 5 Maluku/Papua Indonesia (%)
2003 Unit usaha*) 1.893.78 23.733 387.983 798.814 133.613 549.625 1.136.342 381.611 694.844 333.989 246.614 27.684 3.030.116
(%) 62,50 0,78 12,80 26,36 4,41 18,14 37,50 12,60 4,83 11,02 8,14 0,91 100,00
Sumber: Deperind (2005).
*) unit usaha kumulatif
2.2.4. Strategi Pembangunan Industri Strategi operasional pembangunan industri antara lain dilakukan dengan fokus pada pemberian dorongan untuk pertumbuhan klaster industri prioritas. Selanjutnya, untuk mengatasi ketimpangan persebaran industri maka ditetapkan strategi operasional, yaitu penetapan prioritas persebaran pembangunan industri ke daerah-daerah mendekati sumber bahan baku yang kegiatan industrinya belum banyak berkembang, di daerah luar Pulau Jawa khususnya di Kawasan Timur Indonesia dan daerah perbatasan (prioritas eco-regional).
2.2.5. Regulasi tentang Kawasan Industri Peraturan perundangan tentang Kawasan Industri telah mengalami beberapa kali perubahan.
Pertama, adalah Keppres No. 53 tahun 1989,
kemudian berubah menjadi Kappres No. 41 tahun 1996, dan yang terakhir
10 adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 2009. Khusus yang disebut terakhir, diundangkan tanggal 3 Maret 2009, dan sesuai dengan Pasal 32 dari PP tersebut, mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Berikut dijelaskan mengenai definisi kawasan industri, perusahan industri, kawasan peruntukan industri, dan tujuan pembangunan kawasan industri seperti yang dimaksudkan di dalam PP No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahan Kawasan Industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Perusahan kawasan industri adalah perusahan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan industri. Perusahan ini adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri di wilayah Indonesia. Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan (PP No.24/2009). Di dalam PP 24/2009 dinyatakan bahwa pembangunan Kawasan Industri bertujuan untuk (a). mengendalikan pemanfaatan ruang, (b). meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan, (c). mempercepat pertumbuhan industri di daerah, (d). meningkatkan daya saing industri, (e). meningkatkan daya saing investasi, dan (f). memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antara sektor terkait. Selanjutnya disebutkan di dalam PP 24/2009, pembangunan suatu kawasan industri baru harus terintegrasi ke dalam pembangunan daerah dan rakyat
setempat.
Pengembang
harus
melibatkan
dan
memprioritaskan
masyarakat yang lahannya dibebaskan untuk mendapatkan kesempatan berusaha ditempat tersebut serta turut menikmati hasil pembangunannya. Konversi lahan tidak perlu dalam bentuk pemberian uang tapi bisa dalam bentuk saham kepada pemiliknya.
Jadi, pendekatan yang harus dilakukan adalah
pendekatan pengembangan komunitas (community development). Dari sudut pandang manajemen, kawasan industri dibagi menjadi kawasan industri nonmanajemen dan kawasan industri manajemen.
Kawasan industri
nonmanajemen mempunyai bentuk lahan Peruntukan Industri, Kantong Industri, dan Sentra Industri Kecil. Dalam sistem ini, masing-masing perusahan industri
11 mengelola industrinya sendiri-sendiri.
Kawasan industri manajemen ditandai
oleh manajemen pengelola kawasan industri yang dibedakan menurut skala usaha industrinya, yaitu: Kawasan Industri (industrial estate), Kawasan Berikat (export processing zone), dan kompleks industri (industrial complex); dan Usaha industri kecil, yang bentuknya berupa Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK), Permukiman Industri Kecil (PIK), dan Lingkungan Industri Kecil (LIK). Pengelola Kawasan Industri adalah perusahan pengelola kawasan industri, yang
berkewajiban
melakukan
kegiatan:
penyediaan/penguasaan
tanah,
penyusunan rencana tapak tanah, rencana teknis kawasan, penyusunan AMDAL,
penyusunan
tata
tertib
kawasan
industri,
pematangan
tanah,
pemasaran kavling industri, dan pembangunan serta pengadaan prasarana dan sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan.
2.2.6. Perkembangan Kawasan Industri Kemajuan industri di banyak negara antara lain disumbang oleh eksistensi kawasan industri. Ada dua hal yang harus menjadi pokok perhatian dalam pengembangan
kawasan
industri,
yaitu
pengembang
dan
kebijakan
pengembangan kawasan industri (Dirdjojuwono 2004). Peran pemerintah pusat dalam pengembangan kawasan industri di beberapa Negara Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Thailand sangat dominan (Tabel 2.2.). Tabel 2.2. Peran Pemerintah dan Swasta dalam Pengembangan Kawasan Industri di Beberapa Negara Asia Negara Malaysia, 285 KI Jepang Korea Selatan, 300 KI Taiwan Singapura Thailand, 27 KI
Pemerintah 78% (pusat dan lokal) 85% 70% (pusat dan lokal) 90% 85% 48%
Swasta 22% 15% 10% 10% 15% 52% (kerjasama pemerintah dan swasta) 70% 94%
Filipina, 20 KI 30% (pusat dan lokal) Indonesia, 203 KI 6% (pusat dan lokal) Sumber: ULI (1975) dalam Dirdjojuwono (2004) Ket: persentasi menyatakan kontribusi dalam bentuk penanaman modal
Pengembangan industri di luar negeri dilakukan dengan beberapa alasan: (1) Kawasan Industri merupakan alat pemerataan (over population di kota-kota besar dan kurang di daerah pinggiran), (2) Pemerintah beranggapan bahwa investasi di kawasan industri sama dengan investasi fasilitas umum, dan (3)
12 Swasta lebih berorientasi profit dan tidak mungkin dibebani tugas-tugas pemerataan dan fasilitas umum (ULI 1975 dalam Sagala 2003). Di Indonesia, pengembangan kawasan industri dimulai sejak tahun 1970, dengan mengemban dua misi besar, yaitu: (1) merangsang tumbuhnya iklim industri, (2) menjadi sarana bagi pengaturan ruang (Sagala 2003). Tingkat utilitas Kawasan Industri yang masih rendah di Indonesia karena pengembangannya masih berorientasi real estate (profit). Hal ini terlihat dari perbandingan harga jual lahan dengan harga pokok sebesar 4-6 kali. Di Korea, pemerintah menetapkan harga jual lahan di dalam kawasan industri tidak lebih dari 1,2 kali harga pokok. Secara umum dinegara industri, harga jual lahan ditetapkan 1,2-1,3 kali harga pokok (Sagala 2003). Setelah diundangkannya Keppres 53/1989, dunia usaha dalam dan luar negeri diperbolehkan mengembangkan kawasan industri. Oleh karena itu terjadi “rush” sehingga direncanakan dibangun 203 KI dengan luas 66.771 ha di 20 Provinsi.
Namun, bagi sebagian provinsi, rencana pengembangan kawasan
industri hanya merupakan euphoria belaka (Tabel 2.3.). Tabel 2.3. Jumlah dan Luas Kawasan Industri (s/d 2000)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Provinsi DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimanan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya Jumlah
Jumlah Kawasan Industri
Luas (ha) Rencana
Terkuasai
2 11 1 19 1 1 4 103 14 1 33 1 2 2 2 2 1 1 1 1 203
470 2.578 150 14.517 1.442 300 1.149 32.986 3.186 50 7.044 117 495 190 730 243 100 703 120 200 66.771
0 1.262 108 1.236,5 0 126,8 1.009,3 12.681,63 955,78 0 1.933,51 0 0 0 230 0 76 265,5 0 0 19.885,02
Dimatangkan 0 980 108 281,5 0 126,8 1.009,3 7.522,39 619,78 0 1.233 0 0 0 51,5 0 76 203 0 0 12.741,28
13 Sesuai dengan data pada Tabel 2.3., bagi daerah-daerah tertentu, termasuk Provinsi Sulawesi Utara, permintaan yang terjadi sampai dengan tahun 1995 masih merupakan euphoria belaka dalam menyambut dibukanya kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan industri. Data sampai dengan Tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah Kawasan Industri yang aktif di Indonesia berjumlah 88 buah dengan total areal 27.250 ha yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan tingkat utilitas 42% (8.000 ha) dan jumlah industri 6.000 buah atau 10% dari total industri yang ada di Indonesia (Jawa Post Online, 21 September 2006). Dengan diundangkannya PP No. 24 tahun 2009 tentang Kawasan Industri diharapkan akan meningkatkan utilitas kawasan industri dan merangsang munculnya kawasan-kawasan industri baru di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Upaya penyebaran industri ke luar Pulau Jawa menghadapi beberapa masalah dan kendala, yaitu (Deperind 2005): • Adanya kecenderungan peningkatan harga lahan yang tinggi jika diindikasikan rencana kegiatan pembangunan kawasan; • Infrastruktur pendukung kawasan industri di daerah seperti: jaringan jalan, pelabuhan, penyediaan listrik, air bersih, fasilitas pengolahan limbah, telekomunikasi, penyediaan tenaga kerja dan permodalan belum memadai; • Transportasi darat, laut dan udara untuk kelancaran arus barang masih belum effisien sehingga seringkali menimbulkan biaya tinggi, atau mengurangi minat penanaman modal; • Belum ada insentif khusus bagi pengembang kawasan industri maupun industri yang berlokasi di dalam kawasan industri; • Belum ada peraturan yang jelas mengatur kewenangan pusat dan daerah dalam pengembangan kawasan industri; • Keterkaitan antar zona industri sering terganggu oleh peraturan daerah masing-masing. Itu sebabnya, hingga saat ini persebaran unit usaha industri masih sangat timpang antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Lebih dari 90% unit usaha industri berlokasi di KBI, terutama di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Provinsi lain yang memiliki unit usaha cukup besar adalah Sumatera Utara (6%), sedangkan
14 provinsi di KTI yang mempunyai unit usaha yang cukup besar adalah Sulawesi Selatan (Dirdjojuwono 2004).
2.2.7. Pengembangan Industri di Kota Bitung Menurut Peta Arahan Kawasan Strategis Nasional sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2007-2027, pengembangan Kawasan Industri dilakukan di Koridor Bitung-Kema (Bappeda Kota Bitung, 2007). Koridor Bitung-Kema merupakan bagian dari Koridor Manado-Bitung yang telah mendapat perhatian pemerintah secara serius, antara lain dengan dibentuknya Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Manado-Bitung. Visi yang diemban oleh institusi ini adalah merealisasikan kawasan ekonomi terpadu Manado-Bitung sebagai pusat
pengembangan
industri, komersial, dan
jasa. Tabel 2.4. Peran Pemangku Kepentingan dalam Persebaran Industri dan Pengembangan Kawasan Industri Kegiatan 1 2 3 4 5 6
7
8
9 10
11 12
1
Pemerintah Pusat 2 3 4 5 6
Menetapkan WPPI dan √ √ Zona Industri Menetapkan tata ruang regional Menyusun pedoman √ teknis KI Menetapkan lokasi KI Menerbitkan ijin KI Membentuk konsorsium pendanaan (DN dan LN) √ untuk pembangunan Membangun infrastruktur (jaringan jalan, aliran listrik, telepon, gas, pengolahan air) Membangun kemitraan dengan berbagai kegiatan √ √ dalam klaster industri Menjamin kelancaran arus √ barang dan keamanan Menjamin ketersediaan lahan dan keamanan kawasan Memantau dan mengawasi KI Membina KI √ Sumber: Deperind (2005). Keterangan:1 = Departemen Perindustrian 2 = Departemen Perdagangan 3 = Departemen Dalam Negeri 4 = Departemen Perhubungan 5 = Departemen Keuangan
7
Pemda 8 9
Swasta 10
√ √
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√
6=Departemen PU (Kimpraswil) 7=Departemen ESDM 8=Provinsi 9=Kabupaten/Kota
15 Misi KAPET Manado-Bitung antara lain adalah untuk merealisasikan kawasan tersebut sebagai pusat industri agro dan industri manufaktur. Strategi yang digunakan untuk mencapai misi tersebut adalah wilayah Manado-Bitung difokuskan
untuk
pengembangan
industri skala
menengah dan besar.
Disamping itu, mengembangkan industri yang berorientasi bahan baku sehingga dapat berkompetisi dengan wilayah lainnya di Indonesia (KAPET Manado-Bitung 2007). Di Koridor Bitung-Kema direncanakan untuk dibangun Kawasan Industri pada satu hamparan lahan seluas 98 ha yang terletak di Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari. Status lahan adalah tanah Milik Negara. Lahan tersebut merupakan lahan dengan topografi relatif datar dan subur, ditandai oleh pertumbuhan tanaman kelapa dan palawija yang produktif. Luasan lahan masih mungkin untuk diperbesar hingga mencapai 512 hektar karena lahan disekitarnya saat ini masih dimanfaatkan sebagai kebun kelapa milik masyarakat.
2.2.8. Peran Pemangku Kepentingan dalam Pembangunan Kawasan Industri Keberhasilan dari program penyebaran industri ke luar Pulau Jawa dapat dicapai antara lain apabila terdapat koordinasi yang baik antara pemangku kepentingan. Secara rinci peran masing-masing pemangku kepentingan dalam rangka persebaran industri dan pengembangan kawasan industri adalah seperti pada Tabel 2.4.
2.2.9. Lokasi Kawasan Industri Bentuk lokasi industri yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah lahan peruntukan industri dan kawasan industri untuk industri skala menengah dan besar, sedangkan untuk industri kecil/kerajinan adalah perkampungan industri kecil (PIK) (Dirdjojuwono 2004). Bagi industri menengah dan besar, pengembangan lokasi industri terjadi sejalan dengan permintaan lahan. Pada tahap awal, alokasi lahan akan berupa peruntukan lahan industri. Apabila permintaan lahan bertambah maka peluang untuk membangun kawasan industri akan muncul. Menurut Sagala (2004), peluang pengembangan kawasan industri di Kabupaten/Kota dapat terealisasi apabila tingkat realisasi investasi di daerah tersebut mencapai 6-10 buah per tahun. Suatu kawasan industri yang lengkap
16 dengan infrastrukturnya layak dikembangkan pada lahan seluas 20 ha dengan waktu pengembalian 3 tahun atau dengan tingkat permintaan lahan 7-10 ha per tahun atau identik dengan pertumbuhan industri 5-7 buah per tahun (REI Indonesia). Bagi daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan investasi di bawah itu, kemungkinan pengembangan yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk lahan peruntukkan industri (Sagala 2004).
2.2.10. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Penjelasan mengenai KEK di bawah ini diangkat dari UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Insentif yang diberikan adalah fasilitas PPh, pengurangan PBB kepada penanam modal, dan fasilitas barang impor. Pengembangan KEK bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Kawasan tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria: (a) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung; (b) pemerintah provinsi/kabupaten /kota yang bersangkutan mendukung KEK; (c). terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan internasional atau dekat dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya unggulan; dan (d). mempunyai batas yang jelas. KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, yaitu (a) pengolahan ekspor; (b) logistik; (c). industri; (d). pengembangan teknologi; (e). pariwisata; (f). energi; dan/atau, (g) ekonomi lain.
17
2.3. Ekologi Industri 2.3.1. Pengertian Ekologi Industri Ekologi industri (industrial ecology) merupakan suatu konsep yang “provocative” dan “oxymoronic” (frase yang mengkombinasikan dua kata yang kelihatannya bertentangan satu dengan lainnya) (Lifset and Graedel
2002).
White (Lifset and Graedel 2002) mendefinisikan ekologi industri sebagai “studi tentang aliran-aliran materi dan energi dari aktivitas industri dan konsumen, dan dampak dari aliran-aliran tersebut terhadap lingkungan, dan pengaruh dari faktor-faktor ekonomi, politik, regulasi, dan sosial terhadap aliran, penggunaan, dan transformasi dari sumberdaya.” Elemen kunci ekologi industri adalah (Lifset and Graedel 2002): • analogi biologi • penggunaan perspektif sistem • peran dari perubahan teknologi • peran perusahan/industri • dematerialisasi dan eco-efisiensi, dan • penelitian dan aplikasi yang berorientasi masa depan. Elemen-elemen kunci tersebut dapat diintegrasi ke suatu gambaran yang lebih luas, misalnya dari segi operasional ekologi industri pada beberapa level (Gambar 2.1.). Keberlanjutan
Ekologi Industri
• • • •
Level industri: desain untuk lingkungan pencegahan pencemaran eco-efisiensi akuntansi “hijau”
Antar industri: • eco-industrial parks (industrial symbiosis) • siklus hidup produk • inisiatif sektor industri
Regional/global: • budjet dan siklus • studi aliran materi dan energi • dematerialisasi dan dekarbonisasi
Gambar 2.1. Elemen dari ekologi industri yang beroperasi pada beberapa level (Lifset and Graedel 2002) Indigo Development (ID) (2005) menyatakan bahwa ekologi industri (EI) masih dalam tahapan formulasi, dengan beragam definisi dan area aplikasi yang
18 bervariasi. Suatu konsensus telah dicapai pada beberapa isu, tetapi masih ada perbedaan yang kritis di beberapa area diantara ahli-ahli ekologi industri. Beberapa definisi dari ekologi industri menurut Indigo Development (2005) adalah: - EI adalah suatu pendekatan sistem menggunakan metode-metode ilmu sistem untuk analisis dan sintesis. - Pendekatan sistem ini memiliki fokus pada interaksi sistem industri dan sistem ekologi (lokal sampai global). - EI berupaya untuk mendisain ulang aktivitas industri untuk mengurangi dampak ekologi dari aktivitas manusia ke level yang dapat diterima oleh sistem alam. - EI adalah interdisipliner, menghubungkan penelitian dan perencanaan di banyak bidang ilmu, termasuk ekologi, enjinering, ekonomi, manajemen bisnis, administrasi dan hukum publik, dan lainnya. - EI mempelajari aliran materi dan enersi didalam ekonomi, yang berkisar dari industri dan fasilitas publik ke planet. Ia mencari strategi untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak dari aliran tersebut (studi ini biasanya disebut “industrial metabolism”). - EI mencari transformasi dari ekonomi linear yang banyak limbahnya ke sistem produksi dan konsumsi yang tertutup.
Dalam sistem ini, buangan industri,
pemerintah, dan konsumen akan digunakan kembali, didaur ulang, dan dibuat kembali ke nilai tertinggi yang mungkin. - EI memungkinkan pembuatan inovasi jangka pendek dengan pertimbangan dampak jangka panjangnya.
Sama halnya, itu memungkinkan pengambil
keputusan lokal mempertimbangkan dampak regional maupun global. - EI adalah suatu cara untuk menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan kelangsungan hidup ekonomi dan bisnis. Keseimbangan ini harus dinamis, dan adaptif terhadap pengetahuan baru tentang dampak industri dan respons alam. EI adalah suatu komponen utama dalam “ilmu keberlanjutan” dengan peran untuk mendisain jalur transisi untuk aktivitas industri.
Itu memberikan
suatu landasan tujuan (walaupun kompleks) untuk mengkoordinasi disain dari kebijakan publik dalam realitas lingkungan dan teknik.
19
2.3.2. Tujuan Ekologi Industri Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan ekologi industri adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas lingkungan (Lifset and Graedel 2002). Ekologi industri menekankan pada optimasi aliran sumberdaya. Bidang ilmu ekologi industri adalah positif dan sekaligus normatif. Positif-ekologi industri mencoba untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan, tapi bukan untuk merubahnya. Normatif-untuk beberapa derajat tertentu membaiknya interaksi manusia dengan lingkungan merupakan bagian dari tujuan ekologi industri. Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai ekologi industri khususnya dalam cakupan dan penekanannya (Indigo Development 2005). - Skala waktu: beberapa ahli ekologi industri menekankan pada perubahan yang perlahan dalam sistem yang ada, yang lain menghendaki transformasi yang lebih luas dalam industri dan kemasyarakatan. - Model ekosistem: bagi beberapa ahli, tema yang sangat populer adalah modeling sistem industri berdasarkan prinsip dan dinamika dari ekosistem. Tetapi, beberapa ahli ekologi industri dan insinyur mempertanyakan kegunaan dari pendekatan itu. - Aliran material: beberapa ahli ekologi industri memberi fokus pada tugas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan dampak dari aliran material pada industri dan masyarakat. Pada beberapa artikel, keseluruhannya membahas lebih dari itu. - Lingkup aplikasi: banyak diskusi berkonsentrasi pada perubahan dalam industri manufaktur sementara yang lain menyatakan EI sesuai untuk pertanian, jasa, dan industri finansial, termasuk desain dan manajemen dari kebijakan publik, infrastruktur dan operasional fasilitas.
Beberapa ahli
memperluas domain dari EI ke bidang perilaku konsumen. - Konsep keanekaragaman, daya dukung, dan restorasi mendapat penekanan dari peneliti universitas tetapi jarang disinggung oleh ahli ekologi industri yang lebih berorientasi teknis. - Beberapa ahli melihat perubahan institusi sebagai komponen fundamental dari EI. Yang lain menekankan pada inovasi teknis. - Pilihan material: perpindahan dari material sintetis tidak terbarukan menjadi bio-material yang terbarukan merupakan pusat perhatian dari beberapa ahli
20 ekologi. Yang lainnya lebih menekankan pada peningkatan kinerja lingkungan dari material berbasis minyak bumi dan bahan sintetis lainnya. Ekologi industri merupakan penelitian saintifik dan juga suatu kerangka untuk mendesain dan mengambil keputusan pada sektor publik dan pemerintah. Kedua aspek ini harus dilihat sebagai sesuatu yang saling melengkapi bukan yang berbeda. Keduanya perlu dihubungkan dengan erat untuk memastikan suatu basis yang baik untuk aplikasi dan penelitian yang berlanjut dari hasil-hasil proyek-proyek EI.
2.3.3. Peran Ekologi Industri Keterbatasan sumberdaya di masa yang akan datang - yang tidak dapat diatasi oleh kemajuan teknologi - memberi kesadaran atas kebutuhan untuk peningkatan yang siknifikan atas efisiensi penggunaan sumberdaya alam. Peningkatan level konsumsi sampai batas kapasitas bumi membutuhkan peningkatan
yang
dramatis
dalam
efisiensi
penggunaan
sumberdaya.
Pengurangan yang substantif dalam jumlah sumberdaya yang digunakan per unit output disebut dematerialisasi (dematerialization). Salah satu strategi yang sedang dipelajari untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya, seperti
Prasarana industri eksisting
Hasil
Ekologi industri penuh
Pengembangan ekosistem industri dan sinergik
Lingkungan yang terintegrasi penuh di dalam budaya perusahan
Perubahan siknifikan dalam produk dan pengemasan
Daur ulang yang terbangun sempurna
Pengembangan peralatan manajemen
Inisiatif daur ulang sebagian
Pemenuhan ketentuan
yang dilakukan di Jerman, adalah ecological tax reform (Peck 1996).
Prasarana ekologi industri
Waktu
Gambar 2.2. Proses munculnya prasarana ekologi industri (Peck 1996)
21 kajian menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumen pada tahun 2040, perlu peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya sampai 90%. Sebagai contoh, bila sebuah mobil saat ini mempunyai rasio penggunaan bahan bakar 1 liter untuk 100 km jarak tempuh, maka pada tahun 2040 diperlukan kendaraan yang memiliki efisiensi penggunaan bahan bakar sebesar 1 liter untuk 1000 km jarak tempuh. Ekologi industri merupakan pendekatan yang potensial untuk melakukan dematerialisasi ekonomi global (Peck 1996). Ekologi industri menekankan pada perumusan kebijakan publik, sistem teknologi dan manajerial yang memfasilitasi dan mempromosi produksi dalam bentuk yang lebih koperatif.
Mengimplementasi ekologi industri meliputi life
cycle analysis, prosesing tertutup, penggunaan kembali dan daur ulang, mendisain lingkungan dan pertukaran limbah.
Diasumsikan bahwa ekonomi
yang efisien yang beroperasi secara harmoni dengan sistem alam tidak akan menghasilkan limbah.
Gambar 2.2. mengilustrasikan perubahan proses
industrialisasi ke prasarana ekologi industri secara penuh (Peck 1996). Tabel 2.5. Empat Tipe Teknologi Lingkungan yang Diperlukan untuk Memfasilitasi Pencapaian Tingkat Infrastruktur Ekologi Industri Tititk penerapan
Karakteristik
Contoh-contoh
Teknologi remediasi
• Gejala • Sumberdaya dan lingkungan yang mengalami kerusakan
Teknologi Penanggulangan
• Akumulasi limbah atau perlakuan endof-pipe
Teknologi pencegahan pencemaran
• desain proses industri • desain produk atau komposisi
• Merubah produk atau proses atau mengurangi atau menghindari limbah • Biaya lebih hemat dibanding metode penanggulangan • Mengurangi aliran limbah
• Kertas bebas klorin • Elektroplating bebas sianida • Bahan bakar bebas timbal • Desai proses industri
Teknologi berkelanjutan
• produk atau jasa alternatif
• Manfaat ganda: efisiensi lingkungan, ekonomi, sosial, dan sumberdaya
• • • •
• Setelah fakta terjadi • mahal • berkisar antara teknologi rendah sampai teknologi tinggi • Akumulasi atau perlakuan terhadap limbah sebelum dibang • Memakan modal, energy, dan sumberdaya • Menghasilkan aliran limbah • Agak mahal
• Remediasi tanah • Pembersihan lahan yang tercemar • Perlakuan air • Penghilangan gas sulfur • Pusat pengolahan limbah cair • catalytic mufflers
Penerangan yang efisien Daur ulang kertas Energi terbarukan Kosmetik dan obat dengan bahan dasar alami
Sumber: Thompson Gow and Associates, 1995 Environmental Scan. Winnipeg: Canadian Council of Ministers on the Environment, 1995) dalam Peck (1996).
Seperti salah satu definisi ekologi industri yang dikemukakan sebelumnya disebutkan bahwa ekologi industri merupakan pertukaran material diantara sektor industri yang berbeda dimana limbah dari suatu industri menjadi input
22 untuk yang lainnya. Sebagai contoh, ekses dari fasilitas generator listrik dapat digunakan sebagai input oleh industri sement portland (Gambar 2.3.). Peck selanjutnya menyatakan bahwa untuk mencapai level prasarana ekologi industri, diperlukan adanya kemajuan teknologi. teknologi
lingkungan
telah
diidentifikasi,
yaitu:
Empat generasi
remediasi,
penanganan,
pencegahan pencemaran, dan teknologi berkelanjutan (Tabel 2.5.).
Gambar 2.3. Ekosistem industri di Kalundborg, Denmark (Peck 1996).
2.3.4. Ekologi Industri dan Klaster Industri Desrochers (2001) menyebutkan klaster industri sebagai salah satu sebutan lain dari konsep eco-industrial parks (EIPs). Namun, berdasarkan content analysis dari definisi-definisi klaster industri maupun ekologi industri di atas dapat disimpulkan bahwa kedua konsep bukan merupakan konsep yang sama. Selanjutnya, merujuk pada definisi yang digunakan oleh Departemen Perindustrian RI, maka dapat disimpulkan bahwa EIP dapat merupakan bagian dari klaster industri. Hal ini karena, dari segi luasan areal, satu klaster industri dapat meliputi beberapa kota yang terfragmentasi dengan cakupan wilayah yang sangat luas; sedangkan EIP dipersyaratkan sebagai hamparan lahan yang kompak dengan luasan minimal 20 ha atau lebih. Disamping itu, dalam konsepsi
23 klaster industri tercakup institusi seperti perbankan atau institusi terkait lainnya yang bukan merupakan bagian dari industri manufaktur. Dengan demikian, penelitian ini berangkat dari argumentasi bahwa konsep klaster industri dan ekologi industri bukan merupakan konsep yang sama tetapi saling menunjang, dimana ekologi industri sebagai suatu metode yang dapat memperkuat atau menunjang pendekatan klaster industri. Yang disebut terakhir merupakan pendekatan yang sedang digunakan oleh Departemen Perindustrian dalam pengembangan industri pengolahan/manufaktur nasional.
2.3.5. Ekologi Industri dan Produksi Bersih Produksi bersih (clean atau cleaner production) adalah suatu pendekatan manajemen lingkungan yang bertujuan untuk merangsang proses, produk dan jasa baru yang lebih bersih dan lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya. Konsep ini memberi tekanan pada pendekatan pencegahan dan memperhatikan dampak yang ditimbulkan pada seluruh siklus hidup dari produk dan jasa (Jackson dalam Ayres and Ayres 2002). Ada resonansi yang jelas antara ekologi industri dan produksi bersih. Keduanya dimotivasi oleh perhatian terhadap dampak lingkungan yang semakin meningkat dari sistem ekonomi industri.
Keduanya muncul pada saat yang
hampir bersamaan sebagai hasil dari proses evolusi manajemen lingkungan. Survei terhadap literatur menegaskan adanya tumpang tindih antara kedua model tersebut. Produksi bersih mengklaim bahwa ekologi industri merupakan bagian dari model tersebut. Penekanan yang diberikan oleh produksi bersih (seperti yang terdapat dalam program United Nation Environmental Program, UNEP) terletak pada teknologi proses, seperti pencegahan pencemaran dan minimalisasi limbah (Jackson dalam Ayres and Ayres 2002). Di lain pihak, ekologi industri memberi perhatian pada penggunaan atau penggunaan kembali limbah yang dihasilkan oleh satu industri untuk digunakan sebagai input bagi industri lainnya. Tujuan dari ekologi industri adalah untuk mengurangi dampak sistem industri terhadap lingkungan atau untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Di bawah definisi yang luas ini, kedua model sangat mirip. Perbedaan akan jelas apabila melihat interpretasi yang sempit dari kedua konsep.
Sementara kedua konsep menekankan pada efisiensi material,
produksi bersih memberi peran yang setara pada reduksi bahan beracun berbahaya (B3) melalui substitusi, dengan menyarankan pengurangan atau
24 pelarangan penggunanaan beberapa bahan toksik. Selanjutnya, produksi bersih diasumsikan dilakukan secara mandiri oleh industri secara individual. Ekologi industri lebih menekankan pada hubungan yang lebih kuat antara industri, dan karenanya memerlukan kerangka kerjasama yang erat diantara para pelaku. Produksi bersih telah mendapatkan peran khusus di dalam sistem regulasi. Di lain pihak, ekologi industri tidak sedang diarahkan oleh inisiatif regulasi, tapi beroperasi dengan dasar kerjasama industri, yang terutama dipicu oleh keuntungan ekonomis dari penggunaan kembali sumberdaya. Kedua konsep dapat saling belajar dari satu sama lain. Sebagai contoh, ekologi industri dapat belajar dari produksi bersih tentang pentingnya kerangka “substitusi.” Di lain pihak, bergantung sepenuhnya pada strategi pencegahan pencemaran secara individual sepertinya tidak akan mengarahkan pada efisiensi material atau dematerialisasi pada sistem yang luas atau level makro ekonomi. Jadi, produksi bersih dapat belajar dari ekologi industri tentang pentingnya hubungan
kerjasama
antara
industri
untuk
mencapai
pembangunan
berkelanjutan. Kedua konsep berargumen memberikan strategi operasional untuk pembangunan berkelanjutan.
Namun yang penting adalah bagaimana
membangun dan mengoperasionalkan konsep masing-masing untuk mencapai tujuan tersebut.
2.3.6. Eco-Industrial Parks (EIPs) Ekosistem industri regional dapat didefinisikan sebagai “eco-industrial parks” atau biasa disingkat EIPs. Dengan kata lain, EIP merupakan aplikasi dari konsep ekologi industri. The United States President’s Council on Sustainable Development menyatakan EIP sebagai “suatu sistem industri dimana terjadi pertukaran material dan enersi secara terencana dan berupaya untuk menurunkan penggunaan bahan baku dan enersi, menurunkan limbah, dan membangun hubungan
keberlanjutan antara ekonomi, ekologi, dan sosial”
(Korhonen 2001). Konsep EIP masih dalam tahapan awal pengembangan. Gibbs and Deutz (2005) menyatakan bahwa membangun EIP merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Di negara maju seperti Amerika Serikat, pengembangannya baru dimulai sejak tahun 1995. Studi yang dilakukan tahun 2002 mencatat ada sekitar 34 buah ”eco-industrial park” di Amerika Serikat, dimana yang beroperasi sebanyak
25 6 kawasan, dalam tahap konstruksi 5 kawasan, dalam tahap perencanaan sebanyak 7 kawasan, sedangkan yang dinyatakan gagal (atau kembali menjadi kawasan industri konvensional) sebanyak 16 kawasan (Gibbs and Deutz 2005). Adanya kegagalan diatas antara lain disebabkan oleh dominasi pemerintah dalam pembangunan tersebut (public-planning). Padahal, pembangunan “ecoindustrial park” yang ”kiblatnya” adalah ekosistem industri di Kalunborg, Denmark, dibangun oleh karena adanya kesepakatan antara perusahanperusahan dengan orientasi keuntungan (private-planning) (Desrochers 2001). Sebagai jalan tengah, Desrochers mengusulkan perpaduan antara kedua sistem perencanaan diatas, yaitu kombinasi antara public planning dan private planning. Tingkat keberhasilan dari implementasi konsep EIPs di negara-negara maju antara lain disebabkan oleh fasilitasi pemerintah, regulasi lingkungan yang mengikat, konsistensi peraturan, tingkat sosial-ekonomi masyarakat yang tinggi, kesadaran masyarakat yang tinggi, dan lain-lain. Model yang berhasil diterapkan di negara-negara maju tersebut belum serta merta akan berhasil apabila diterapkan di negara berkembang, seperti Indonesia.
Chiu dan Yong (2004)
menyarankan negara-negara berkembang di Asia yang berencana mengadopsi model tersebut untuk terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan meramu strategi yang paling tepat sebelum mengembangkan dan menerapkan konsep tersebut. Kedua penulis selanjutnya menyatakan bahwa penelitian perlu terus dilakukan untuk meningkatkan daya adaptasi dan aplikasi model terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang terus berubah di negara-negara berkembang Asia. Suatu EIP akan cenderung lebih berhasil jika konsep tersebut menjadi bagian dari inisiatif komunitas dalam kisaran yang lebih luas (Chiu dan Yong 2004), yaitu: -
pembangunan perumahan untuk pekerja dari bisnis EIP
-
pembuatan rencana stategis komunitas untuk mengurangi jumlah sampah (penduduk, komersial, publik, dan industri).
-
pembangunan pertukaran produk ikutan regional yang efektif, memberi pasar untuk material yang dibuang sebagai limbah.
-
penguatan perencanan pembangunan ekonomi untuk merangsang bisnis yang cocok dengan profil yang dibutuhkan oleh EIP atau yang merubah limbah menjadi produk dan lapangan kerja.
26 -
memobilisasi sumberdaya pendidikan untuk membantu bisnis lokal dan pekerjaan pemerintah dalam meningkatkan efisiensi energi dan mencegah pencemaran.
-
mengurangi emisi gas rumah kaca melalui program aksi komunitas yang dipimpin oleh EIP.
-
membiayai beberapa kegiatan pembangunan EIP melalui kerjasama publik dan swasta. Semua kawasan industri bergantung pada komunitas sekitarnya baik
tenaga kerja, sumberdaya material, jasa, dan perdagangan. Penduduk lokal biasanya terlibat dalam konsultasi publik, yang berperan dalam persetujuan proyek sehubungan dengan dampak lingkungan usaha/industri. Institusi lokal seperti lembaga pendidikan berperan dalam penyiapan tenaga kerja lokal. Tenaga kerja dari luar wilayah biasanya membutuhkan tempat tinggal/kost yang dapat disediakan oleh komunitas sekitar perusahan. Karena alasan-alasan diatas maka pengelola kawasan industri perlu berinisiatif untuk membangun hubungan yang kuat dengan komunitas sekitar kawasan industri.
Keterlibatan komunitas sekitar didukung oleh banyaknya
keuntungan yang dapat diberikan oleh pengelola kawasan industri melalui lapangan kerja maupun bisnis yang timbul karena adanya kawasan tersebut. Perusahan, pengembang, penduduk, dan lainnya perlu bekerja bersama untuk menangkap keuntungan-keuntungan dari konsep ekologi industri ini. Inisiatif demikian akan memberikan dukungan yang kuat untuk mendukung EIP. Pertukaran bahan ikutan yang efektif membutuhkan pemasok dan pengguna yang besar. Tenaga kerja terlatih, perumahan, dan akses terhadap keuangan membantu untuk menarik minat perusahan pengguna EIP. Pada saat bersamaan, komunitas sekitar menikmati banyak manfaat, seperti: lingkungan yang lebih bersih, ekonomi yang semakin kuat dan efisien, lapangan kerja baru, dan reputasi yang baik sebagai tempat yang baik untuk memulai usaha. Beberapa kendala yang dapat ditemui dalam penerapan EIP adalah daya tolak perusahan untuk memberikan kepada pihak ketiga semua informasi mengenai input dan output produksi. Hal ini menyulitkan identifikasi terhadap potensi keterkaitan.
Kurangnya pengetahuan tentang bisnis yang terletak di
bagian lain di dalam kawasan industri dan peluang keterkaitan yang ada. Adanya kebutuhan terhadap mekanisme untuk mempromosi kerjasama dan pertukaran informasi tentang manfaat ekonomi dari ekologi industry (Peck 1996).
27 Dibandingkan
dengan
kawasan
industri
tradisional,
EIP
memiliki
karakteristik (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998): 1) Mendefinisikan pemangku kepentingan dan melibatkannya dalam desain kawasan industri 2) Mengurangi
dampak
lingkungan
melalui
substitusi
terhadap
bahan
berbahaya, absorpsi CO 2 , pertukaran materi, dan pengolahan terpadu dari limbah 3) Memaksimalkan efisiensi energi melalui desain dan konstruksi fasilitas, cogeneration, dan cascading. 4) Mengkonservasi bahan-bahan melalui desain dan konstruksi fasilitas, menggunakan kembali, menangkap kembali, dan mendaur ulang. 5) Hubungkan dan buat jaringan perusahan-perusahan dengan penyuplai dan pelanggan di dalam komunitas yang lebih luas dimana EIP terletak. 6) Secara terus menerus meningkatkan kinerja lingkungan baik oleh perusahan secara individu maupun komunitas perusahan secara keseluruhan. 7) Miliki sistem regulasi yang memberikan beberapa fleksibilitas sementara merangsang perusahan untuk mencapai kinerja tujuan. 8) Gunakan instrumen ekonomi yang menghambat limbah dan pencemaran. 9) Terapkan sistem manajemen informasi yang memfasilitasi aliran energi dan limbah. 10) Ciptakan mekanisme untuk melatih manajer dan pekerja tentang strategi, alat, dan teknologi baru untuk meningkatkan kinerja 11) Lakukan pemasaran untuk menarik perusahan yang dapat mengisi atau melengkapi perusahan lainnya.
2.3.6.1. Model Kalundborg, Denmark Pertukaran limbah antara perusahan yang berbeda tipe telah berlangsung selama satu abad, dilatarbelakangi oleh adanya nilai bisnis yang bagus (Peck 1996). Tetapi, pengembangan “ekosistem industri” merupakan fenomena baru, dimana contoh yang paling dikenal adalah di Kalundborg, Denmark. Disana, ekosistem industri telah terbangun yang terdiri atas pembangkit listrik tenaga batu bara, pabrik pemurnian minyak, pabrik gyproc (pembuat plasterboard), perusahan
farmasi,
usahatani
perikanan,
dan
Kota
Kalundborg
(http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy.asp?id=77). Di Kalundborg, uap air dan berbagai bahan mentah seperti belerang, abu, dan lumpur dipertukarkan satu sama lain membentuk “ekosistem industri.”
28 Perusahan-perusahan keuntungan
ekonomis
peningkatan
efisiensi
yang
berpartisipasi
berupa
penurunan
penggunaan
masing-masing biaya
mendapatkan
pembuangan
sumberdaya dan
kinerja
limbah,
lingkungan.
Pertukaran materi dan energi tahun 1995 adalah sekitar 3 juta ton/tahun, dengan perkiraan penghematan sebesar US $10 juta/tahun. Disamping itu, gas yang ditangkap di perusahan pemurnian minyak yang sebelumnya dibuang, dikirim ke pembangkit listrik yang diperkirakan menghemat setara dengan 30.000 ton batu bara/tahun (http://www.bsdglobal.com/viewcasestudy. asp?id=77).
2.3.6.2. Model Kawasan Industri Burnside, Nova Scotia, Kanada Dibangun dengan pertimbangan bahwa informasi merupakan kunci utama di dalam bisnis industri manufaktur. Oleh karena itu, kawasan industri ini membangun Pusat Informasi Lingkungan yang bertugas memberikan informasi tentang pilihan-pilihan terbaik untuk penurunan limbah industri, penggunaan kembali (recycle), dan manajemen. Cote, salah satu pioner ekologi industri di Kanada, telah membantu membangun keterkaitan ekologi industri pada Kawasan Industri besar di Burnside, Nova Scotia tersebut. Pendirian Pusat Informasi Lingkungan/Pusat Produksi Bersih pada tahun 1995 dilakukan Cote dengan bantuan dari Pemerintah Federal dan Provinsi serta sumber lainnya (Peck 1996). Peran utama dari Kantor itu adalah untuk mempromosikan dan memfasilitasi “peng-hijau-an” lebih dari 1200 unit bisnis yang berada di Burnside, kawasan industri terbesar di Bagian Timur Kanada. Jasa yang diberikan oleh kantor tersebut adalah: mempromosikan konservasi materi dan energi melalui audit; mencari teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumbedaya bagi partner bisnis; memfasilitasi pengurangan limbah pengepakan melalui audit limbah; dan mengidentifikasi dan memfasilitasi keterkaitan limbah dan energi diantara perusahan-perusahan. Keterkaitan ekologi industri dipromosikan oleh Kantor tersebut, melalui kegiatan pertukaran limbah. Pusat Produksi Bersih di Burnside merupakan contoh praktis dari pendekatan untuk mempromosi ekologi industri pada kawasan industri yang sudah berdiri sebelumnya. Contoh-contoh hubungan simbiotik yang aktual dan potensial di Kawasan Industri adalah: • Daur ulang cardboard rusak yang dikumpulkan oleh satu perusahan dalam kawasan dan mengirimnya keluar untuk diproses kembali.
29 • Penggunaan kembali kelebihan polystyrene di pabrik komputer oleh perusahan pengepakan. • Berbagai perusahan daur ulang atau penggunaan kembali yang menangani toner bekas, pengisian kembali tinta toner, re-treading ban mobil, dan perbaikan meubel. • Adanya potensi untuk program pengambilan kembali logam perak di industri percetakan.
2.3.6.3. Model Value Park, Dow Chemical Jerman Berbeda dengan yang dilakukan di Kalundborg, titik berat diletakkan pada kerjasama dalam bidang fasilitas bangunan, transportasi, serta penyimpanan dan penjualan. Di kawasan industri ini, sinergi dibangun secara efektif pada produk akhir dan siklus industri, bukan pada limbah akhir (Peck 1996).
2.3.6.4. Model PALME, Perancis PALME (Programme d’actions labelise pour la maitrise de l’environement) merupakan kawasan industri eco-label yang sedikit berbeda dengan EIP (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998). PALME tidak menekankan pada siklus, jaringan makanan, atau keterkaitan antar industri tapi pada manajemen lingkungan dari kawasan industri. Persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa menjadi tenant di kawasan industri ini sangat ketat. Tujuh belas elemen eco-label dari model ini diperlihatkan pada Tabel 2.6. Di dalam model ini upaya dilakukan untuk menghadapi tantangan dengan cara menerapkan mekanisme administratif dan manajemen sehingga tercapai sinergi bagi semua tahapan operasi bagi semua tenant. Di dalam model ini dilakukan negosiasi awal untuk membangun kontrak sosial dengan semua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan tidak hanya mengidentifikasi tujuan lingkungan masing-masing tapi berkomitmen untuk memberikan peran khusus sehingga rencana yang ditetapkan dapat berjalan dengan baik. Pemangku kepentingan meliputi juga antara lain badan energi dan transportasi, kelompok-kelompok sosial masyarakat, dan pemerintahan lokal. Produk akhir dari negosiasi yang dilakukan adalah persetujuan tertulis yang berisi daftar rencana tindakan dari semua pemangku kepentingan.
2.3.6.5. Model Pemanfaatan “Brownfields” Contoh dari model ini adalah pemanfaatan “brownfields” di Amerika Serikat (Peck 1996). Model ini sekaligus dilakukan untuk merehabilitasi lahan dan
30 menciptakan lapangan pekerjaan baru. Kebijakan pemerintah yang dilakukan meliputi: recycling, konservasi energi, produksi bahan dan barang yang berguna secara sosial dan yang berkelanjutan, dan pembangunan kembali areal sehingga menjadi alami dan dapat menunjang kesehatan masyarakat. Tabel 2.6. Beberapa Elemen Eco-label dari Model PALME No
Elemen eco-label
1
Persiapkan rencana pembangunan lokasi industri dan kumpulkan semua peraturan dan pedoman yang relevan 2 Persiapkan laporan “Status Lingkungan” awal dari lokasi 3 Bangun rencana lansekap dan persyaratan arsitektur untuk bangunan 4 Pastikan untuk memenuhi persyaratan lingkungan dan hukum, dan pedoman operasional 5 Bangun dan terapkan rencana bagi flora dan fauna alami untuk memelihara atau membangun kembali keseimbangan ekologi dari lokasi 6 Terapkan kesadaran masyarakat dan program informasi menyangkut lingkungan alami dan konservasi 7 Bangun jasa konsultasi produksi bersih 8 Bangun dan terapkan program “lokasi konstruksi yang bersih” 9 Bangun rencana manajemen limbah padat 10 Bangun rencana limbah industri dan efluent 11 Bangun rencana untuk mengatur air hujan dan aliran air permukaan, dan konstruksi dari instalasi yang dibutuhkan 12 Berikan saran bagi perusahan menyangkut penurunan tingkat kebisingan dan materi yang digunakan untuk bangunan dan mesin. 13 Monitor kualitas udara dan kebisingan dari lokasi 14 Bangun rencana manajemen energi dari lokasi 15 Teliti sumber energi alternatif 16 Bangun manajemen keterkaitan dengan pemerintah lokal 17 Bangun unit monitoring dan koordinasi untuk hal-hal yang sudah disebut di atas Sumber: Cote dan Cohen-Rosenthal (1998).
2.3.6.6. Fujisawa Factory Eco-Industrial Park Proyek EIP ini merupakan inisiatif dari EBARA Corporation of Japan bekerja sama dengan Zero Emissions Research Initiatives (ZERI) dari United Nations University dan Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri Jepang (Cote dan Cohen-Rosenthal 1998). Fujisawa Factory Eco-Industrial Park ini akan mengkombinasikan komponen-komponen industri, komersial, pertanian, permukiman, dan rekreasi ke dalam multi-faceted community. EIP ini meliputi konservasi dan cascading energi, energi terbarukan, konservasi limbah menjadi energi, greenhouse, perlakuan limbah cair menggunakan rawa, penggunaan kembali limbah cair yang sudah diolah, konversi abu menjadi portland cement
31 dan keramik, penggunaan kembali dan daur ulang, dan kegiatan lainnya. EIP ini akan didukung oleh Pusat Emisi Nol, Klinik Lingkungan, dan Pusat Logistik.
2.4. Penataan Ruang Pulau Sulawesi Pulau Sulawesi memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif sehingga sangat prospektif untuk dipromosikan ke pasar berskala regional maupun internasional (Depkimpraswil 2002). Keunggulan kompetitifnya meliputi sektor-sektor perkebunan (kakao, cengkeh, kopi, jambu mete, pala), perikanan laut (tuna dan cakalang), tanaman pangan (padi dan jagung), serta pertambangan (nikel dan marmer).
Sedangkan keunggulan komparatifnya
adalah eco-cultural tourism yang didasarkan atas keunikan budaya lokal dan keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti ditemukan pada taman-taman nasional (Rawa Aopa dan Dumoga) dan taman-taman laut (Wakatobi, Bunaken, dan Takabonerate). Pulau Sulawesi, disamping Pulau Kalimantan, merupakan prime mover pengembangan wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). RTRW
Pulau
Sulawesi
harus
mengakomodasikan
Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan
pengembangan KTI agar berbagai upaya pembangunan lintas wilayah dan lintas sektor dapat berjalan secara serasi, selaras, saling menguatkan (sinergis), dan dapat memberikan multiplier effect yang besar bagi kawasan-kawasan di sekitarnya. Skenario pengembangan untuk mewadahi atau memberi bingkai bagi strategi pengembangan tata ruang wilayah Pulau Sulawesi adalah skenario pengembangan yang berorientasi ke luar dengan sistem outlet hirarkis fungsional dan dengan memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan (Gambar 2.4.). Menurut arahan tipologi (besaran dan fungsi utama) kota di Pulau Sulawesi, Kota Bitung merupakan besaran kota sedang; memiliki fungsi utama sebagai pelabuhan utama primer dan fungsi utama kota sebagai kota nasional (PKL); dan dominasi kegiatan wilayah di sekitarnya di masa mendatang adalah jasa dan industri.
32
Tolitoli
Manado
Gorontalo
Nasional Nasional & Internasional
Nasional Bitung Nasional
Poso
KTI: Maluku, Irian
Palu Luwuk Palopo
Kalimantan Selatan dan Timur
Pare pare Watam -pone
Kolaka
Kendari Nasional
Makassar
Nasional & Internasional
Baubau Takalar
Bulukumb a
NTT & NTB
Gambar 2.4.
Konsep dan Skenario Pengembangan Pulau Sulawesi (Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Pulau Sulawesi (Depkimpraswil 2002).
2.5. Pola Keterkaitan Antar Industri Pola keterkaitan antar industri dapat diukur dengan pengukuran kuantitatif menggunakan “connectance value,” yang didefinisikan sebagai jumlah interaksi langsung dalam suatu jaring makanan dibagi dengan jumlah keseluruhan interaksi yang mungkin terjadi (Hardy dan Graedel 2002). Nilai keterkaitan (C) dihitung menggunakan rumus: C = 2 L / [S(S-1)] Dimana: -
S adalah jumlah spesies atau industri di dalam jaring makanan (suatu kawasan tertentu). L adalah jumlah interaksi antar industri. C berkisar antara 13,5% - 84,6%, dengan nilai median adalah 42,3%.
Ilustrasi dari suatu ekosistem yang terdiri atas sembilan spesies adalah seperti pada Gambar 2.5. Hasil perhitungan dengan rumus di atas diperoleh nilai C = 0,416 atau 41,6%. Semakin tinggi nilai keterkaitan (C) tersebut diatas belum mengindikasikan stabilitas ekosistem atau efisiensi (de Ruiter et al 1995 dalam Graedel 2002).
Hardy dan
Oleh karena itu diperlukan perhitungan simbiosis lainnya.
33 Keterkaitan yang besar berarti bahwa aliran material sedang dipertukarkan bukan dibuang. Itu tidak menyatakan tentang besaran aliran atau kepentingan lingkungannya. Namun, secara jelas terlihat bahwa, kuantitas yang lebih besar yang digunakan secara simbiosis adalah lebih penting bagi lingkungan dibandingkan dengan kuantitas yang kecil.
Dengan demikian, penggunaan
material yang secara potensial berbahaya secara lingkungan lebih penting dibandingkan dengan penggunaan material yang ramah lingkungan.
Mangsa atau sumberdaya
A
B
C
D
Y
E
F
X
E F X G C D Y A B
E 0 0 0 0 0 0 0 0 0
F 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Pemangsa atau konsumen X G C D 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
G
Y 0 1 1 1 0 0 0 0 0
A 1 0 0 0 1 1 1 0 0
B 0 0 0 1 0 1 1 0 0
Gambar 2.5. Matriks komunitas spesies Keterangan: A, B, C, D, Y, E, F, X, dan G adalah spesies di dalam komunitas 0 = tidak ada interaksi; 1 = ada interaksi