9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pertanian Berkelanjutan Agenda 21 merupakan dokumen komprehensif tentang program aksi
pembangunan berkelanjutan abad 21. Brunland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pemanfaatan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan yang akan datang dengan tetap memperhatikan keselamatan lingkungan (Custancet and Hiller, 1998). Dalam penjabaran/pelaksanaannya, konsep pembangunan berkelanjutan ini disesuaikan dengan lokasi spesifik di masing-masing negara/ wilayah. Pembangunan berkelanjutan memuat aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, aspek lingkungan diintegrasikan dalam pembangunan sosial dan ekonomi (Murdiyarso, 2003). Di sektor pertanian, pertanian berkelanjutan diwujudkan melalui revitalisasi pertanian, karena sektor pertanian merupakan penggerak perkonomian masyarakat. Kebijakan pembangunan pertanian mengacu pada triple track strategy. Tiga pilar strategi yang menjadi acuan dalam revitalisasi pertania n, yaitu pemenuhan ketahanan pangan, peningkatan sumber daya manusia dan peningkatan kesejahteraan petani. Berbagai upaya untuk mencapai keberhasilan pembangunan pertanian telah dilakukan, antara lain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat berupa sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan secara berkelanjutan. Kebutuhan pangan dapat dirinci menjadi kebutuhan karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Salah satu upaya untuk pemenuhan kebutuhan vitamin dan mineral
adalah
melalui pengembangan
komoditas
buah-buahan,
seperti
pengembangan sentra-sentra produksi jeruk yang berkelanjutan, yang berupa kawasan-kawasan sentra yang memenuhi skala ekonomi. Dalam
pembangunan
kawasan
sentra
produksi
jeruk
berkelanjutan,
pengembangan jeruk diarahkan pada lahan-lahan yang sesuai secara agroklimat sehingga secara ekologi usahatani jeruk dalam jangka panjangnya tidak menimbulkan kerusakan ekologi, akan tetapi secara ekonomi hasil produknya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Usahatani jeruk yang dilakukan tersebut, secara sosial dapat diterima oleh masyarakat pengembang jeruk di wilayah pengembangan.
10
Dalam rangka usahatani jeruk berkelanjutan, perlu dilakukan upaya-upaya mengoptimalkan penggunaan agro-input, namun demikian efisiensi usahatani ini tetap dapat memberikan hasil dengan produktivitas yang cukup tinggi. Efisiensi usahatani jeruk dapat dilakukan dengan penerapan usahatani jeruk yang ramah lingkungan dengan penerapan norma budidaya yang benar atau Good Agricultural Practices (GAP) yang meliputi antara pemupukan berimbang, penerapan prinsip PHT, serta upaya-upaya mulai dari pra sampai pascapanen lainnya. Reijintjes et al. (1999) mengemukakan bahwa sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian yang menggunakan masukan luar yang rendah, yang hanya melengkapi unsur yang kurang dalam agroekosistem, yang dikenal dengan istilah Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA). LEISA mengacu antara lain pada optimalisasi dan pemanfaatan masukan luar yang diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik dan manusia, dengan perhatian utama diberikan pada mekanisme daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan. Metode LEISA tidak berusaha memaksimalkan produksi dalam ja ngka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. Untuk dapat berkelanjutan, suatu sistem usahatani harus menghasilkan suatu tingkat produktivitas dan kebutuhan sosial petani dalam batas-batas keamanan tertentu dan tanpa penurunan sumberdaya dalam jangka panjang. Perlu diperhatikan bahwa pada usahatani jeruk, produksi dipengaruhi oleh ketersediaan air serta nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman seperti unsur Carbon (C), Oksigen (O) dan hidrogen (H) yang merupakan bagian terbesar dari tubuh tanaman atau sebanyak 98% bagian dari berat kering tanaman. Disamping itu ada 12 unsur lainnya yaitu unsur yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (unsur makro) yaitu N, P, K, Mg, Ca dan S, serta unsur yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit (unsur mikro) yaitu Mn, Cu, Zn, B, Fe dan Mo (Davies dan Albrigo, 1998). Dalam kenyataannya, berbagai unsur makro dan mikro tersedia di alam sesuai dengan jenis dan kondisi tanah yang dibutuhkan oleh pertumbuhan tanaman jeruk. Unsur yang diserap oleh tanaman dalam jumlah yang banyak, ialah Kalium (K) dan
11
Natrium (N). Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan dalam bentuk pemupukan. Namun ada unsur yang mudah terikat oleh unsur lain sehingga tidak tersedia bagi tanaman seperti Magnesium (Mg), dan ada pula yang mudah terbawa air ke dalam tanah (leaching). Sebanyak 40–50% dari unsur N tidak tersedia bagai tanaman karena mengalami perlindian (leaching), terkonversi kedalam unsur lain atau denitrifikasi (konversi unsur nitra menjadi N2) (Davies dan Albrigo, 1998). Kekurangan unsur hara akan menyebabkan defisiensi dan berakibat gangguan terhadap perkembangan tanaman dan produksi. Unsur hara yang diperlukan untuk tanaman jeruk dilakukan melalui tindakan pemupukan, baik pupuk organik maupun pupuk an-organik. Menurut Djoemaijah tahun 1992 pedoman pemupukan yang telah digunakan dalam pengembangnan dan penelitian Balai Penelitian Jeruk dan Hortikultura Subtropik adalah seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Dosis pupuk organik dan an-organik untuk tanaman jeruk sesuai dengan umur tanaman Umur (thn)
Urea (g/phn)
ZA (g/phn)
1 100 200 2 200 400 3 300 600 4 400 800 5 500 1000 6 600 1200 7 700 1400 8 800 1600 9 900 1800 ≥ 10 1000 2000 Sumber. Direktorat Tanaman Buah, 2002. Ket.: N (Urea & ZA)
Jenis Pupuk TSP ZK (g/phn) (g/phn) 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250
100 200 300 400 500 600 700 800 800 1000
Dolomit (g/phn)
Pukan (kg/phn)
200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000
20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
I : setelah pemberian pupuk kandang ½ dosis II : 1,5 – 2 bulan setelah pemberian Nl, ¼ dosis III : 1,5 – 2 bulan setelah pemberian Nll, ¼ dosis P (TSP) diberikan seluruhnya bersamaan dengan pemupukan Nl K (ZK) I : diberikan bersama pemupukan Nl, ½ dosis II : diberikan bersama pemupukan Kl, ½ dosis
12
Kecukupan unsur hara tanaman dapat diketahui dari analisis kandungan unsur hara pada daun. Menurut Jones et al. (1991) dalam Davies dan Albrigo (1998). kandungan unsur hara makro N, P, K dan Mg, serta unsur hara mikro B dan Zn untuk tanaman jeruk jenis mandarin (keprok) atau tangerin (Siam) yang diambil dari daun yang muda yang telah berkembang sempurna namun masih dalam pertumbuhan sebanyak 30 daun adalah seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan unsur hara makro dan mikro pada daun jeruk jenis Mandarin (Keprok) atau Tangerin (Siam) Unsur
Rendah/
Cukup
Makro
Tinggi (%)
N
<3
3 -3,40
> 3,40
P
0,11-0,14
0,15-0,25
>0,25
K
0,47-0,89
0,90-1,10
>1,10
Mg
0,10-0,16
0,17-0,44
>0,44
Mikro
ppm
B
20-30
31-100
>100
Zn
<5
5-29
>29
Sumber : Jones et al. 1991. Pemberian unsur hara berupa pemupukan, baik jenis, dosis maupun waktunya tergantung dari kebutuhan tanaman pada setiap fase pertumbuhan. Hal tersebut dilakukan dalam rangka efisiensi. Dengan demikian, pemupukan merupakan upaya penyediaan unsur hara
tanaman dalam jumla h yang sesuai dengan kebutuhan
tanaman pada saat yang tepat sehingga perlindian/ leaching dapat diminimalkan. yang pada gilirannya akan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan pertanian umumnya berupa logam-logam berat yang berasal dari dampak pemupukan. Selain itu, pencemaran lingkungan dapat pula disebabkan karena penggunaan pestisida yang tidak bijaksana/ tidak sesuai dosis anjuran serta terlalu berlebihan atau overdosis untuk pengendalian OPT (Biever et al. 1994). Pada pertanian berkelanjutan untuk mengendaliakan OPT perlu penerapan
13
prinsip-prinsip Pengelolaan Hama Terpadu atau PHT (Habazar Yaherwandi, 2006), sehingga diharapkan keberadaan OPT pada tanaman dalam jumlah yang tidak merusak secara fisik dan ekonomi dengan lebih memberi peran kepada pengendali hayati seperti parasitoid, Tarumingkeng,
preator dan entomophatogen (Hare et al. 1999;
1994). Keuntungan
pemanfaatan
pengendali
hayati
melalui
pengendalian hayati ialah tidak berbahaya bagi manusia, tanaman, ternak, hewan yang dilindungi, serangga berguna/musuh alami dan lingkungan dan secara ekonomi lebih menguntungkan dibanding penggunaan pestisida (Wilson and Huffaker, 1976). Dalam jangka panjang, dalam rangka mewujudkan
pertanian berkelanjutan
diperlukan upaya penambahan populasi pengendali hayati/musuh alami di alam, yang spesifik jenisnya sesuai dengan OPT yang dikendalikan. Penelitian-penelitian secara parsial terkait dengan PHT telah dilakukan, namun perlu dikenali lebih lanjut interaksi dan pola hubungan antara OPT dan musuh alaminya, serta kemampuan musuh alami dalam mengendalikan OPT dalam rangka
menentukan strategi
pengendalian hayati yang efektif. Kajian tersebut dapat digunakan untuk menentukan berapa banyak populasi musuh alami yang harus dilepas di alam serta kapan waktu pelepasan yang tepat untuk mengendalikan jenis OPT yang menyerang yang disebut dengan metoda innundative release (Iswari, 1996). Namun demikian, pada metode inundative realise ini diperlukan pelepasan populasi pengendali hayati dalam jumlah yang cukup banyak yang berperan sebagai bio-pestisida (Huffaker et al. 1977; DeBach and Rosen, 1991), sehingga diperlukan upaya perbanyakan musuh alami tersebut secara massal. Disamping innundative release, untuk mengendalikan OPT yang dimaksudkan agar dalam jangka panjang tercapai keseimbangan alami antara OPT dan musuh alaminya pada tingkat kepadatan populasi OPT yang tidak merusak/ tidak menyebabkan kerugian ekonomi, perlu dilakukan pelepasan musuh alami secara periodik melalui metode innoculative release. (Iswari, 1996). Melalui penerapan PHT diharapkan buah yang dihasilkan memiliki mutu yang baik dan aman dikonsumsi, menjamin keselamatan pekerja serta terjaganya lingkungan jangka panjang. Untuk pengendalian penyakit CVPD pada tanaman jeruk telah dikembangkan paket teknologi yang dikenal dengan Pengelolaan Terpadu
14
Kebun Jeruk Sehat atau PTKJS (Supriyanto et al. 2003a). Cara-cara budidaya yang baik dan benar untuk mencapai target produksi dan mutu yang tinggi, serta terjaganya keselamatan lingkungan jangka panjang telah dituangkan dalam penerapan norma budidaya yang benar atau Good Agricultural Practices (GAP). Era globalisasi mengisyaratkan penerapan mutu dan standardisasi produk yang diproduksi melalui usahatani yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, sejalan dengan usahatani
jeruk
berkelanjutan, GAP
perlu
diterapkan.
Di
lapang,
GAP
diimplementasikan melalui penerapan Standard Operational Procedur (SOP) spesifik lokasi (Direktorat Tanaman Buah, 2005a). Berbagai prinsip perlu diimplementasikan dalam usahatani jeruk berkelanjutan sehingga diharapkan secara sosial merupakan usahatani yang dapat diterima oleh masyarakat, secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi tidak merusak lingkungan. 2.2.
Kawasan Sentra Produksi Jeruk Berdasarkan kharakteristik
usahatani
buah-buahan
di Indonesia,
maka
pembangunan sentra-sentra produksi buah diarahkan pada pengembangan kawasan sentra produksi. Menurut Napitupulu (2003), kawasan sentra produksi buah harus mampu menyediakan buah bermutu yang aman dikonsumsi yang sesuai dengan permintaan pasar. Kawasan buah harus memenuhi kriteria dan berfungsi secara optimal, sehingga sedikitnya harus memenuhi kriteria sbb: -
Lokasi kawasan/wilayah pengembangan harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, dengan hamparan yang memenuhi skala ekonomi, minimal 500 ha, yang merupakan kawasan/sentra yang tumbuh dan tidak mengenal batas administratif. Lokasi kawasan harus strategis dan memiliki akses pasar yang mudah.
-
Komoditas harus merupakan komoditas unggulan yang memiliki kesesuaian agroklimat, keunggulan kompetitif dan komparatif, nilai ekonomi yang tinggi, potensi pengembangan yang cukup luas, teknologi mudah dikuasai, dan memiliki prospek pasar yang baik.
15
-
Kelembagaan petani harus dinamis, mampu mengidentifikasi kebutuhannya, mempunyai rasa memiliki, mengembangkan rasa saling percaya, dapat saling bekerjasama diantara anggotanya untuk membentuk kelompok yang tangguh serta memungkinkan memiliki posisi tawar yang cukup tinggi dalam usaha agribisnis komoditas unggulan
-
Teknologi harus tersedia di tingkat kawasan/sentra produksi, mulai dari teknologi pembibitan, produksi, panen dan pasca panen, serta pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Teknologi yang tersedia harus sesuai dengan kebutuhan petani di lapang (spesifik lokasi) dan mampu mengawal petani untuk dapat memenuhi produk dengan mutu yang baik dan benar sesuai dengan permintaan pasar/ konsumen.
-
Sarana dan prasarana pendukung seperti fasilitas pengairan, panen dan pasca panen, jalan usahatani, jalan desa, pasar dan perbankan harus dipersiapkan. Dalam hal pengembangan komoditas jeruk, di Indonesia, sebagian besar jeruk
diusahakan petani pada lahan-lahan sempit/ pekarangan dengan luasan rata-rata kurang dari 1 ha per petani. Sejak 5-6 tahun terakhir, beberapa petani jeruk di sentrasentra produksi telah berkelompok dengan luasan dalam hamparan mencapai 50 ha. Kelompok- kelompok tersebut selanjutnya telah berkembang menjadi kawasan yang luasnya mencapai 500 ha. Akan tetapi pengembangan kawasan ini masih sangat terbatas di beberapa kabupaten saja (Direktorat Tanaman Buah, 2005a). Adanya keragaan luasan kepemilikan lahan petani, dengan letak kebun yang terpencar maka pengembangan jeruk diarahkan pada pengembangan kawasan sentra produksi. Pengembangan kawasan sentra produksi buah mengacu pada prinsip 3K+2k ialah Kolonisasi, Klonalisasi, Konsolidasi (3K), serta pengembangan dalam bentuk kebun dan kelembagaan yang tangguh (2k) (Supriyanto, 2005 dan Kuntarsih, 2006) ialah sebagai berikut : - Kolonisasi : kawasan sentra produksi merupakan agregat-agregat kebun-kebun rakyat yang saling berdekatan, mengelompok membentuk kolon-kolon mulai dari kebun petani di desa, kecamatan dan bahkan kabupaten yang saling berdekatan.
16
- Kolonisasi diarahkan dalam pembentukan kawasan sentra produksi untuk mewujudkan terbentuknya belt/ sabuk-sabuk kawasan wilayah pengembangan. - Klonalisasi : komoditas yang ditanam harus seragam yang memenuhi prinsip klonal atau dapat ditelusuri asal-usulnya - Konsolidasi : pengelolaan dalam kawasan dilakukan dalam satu manajemen untuk memudahkan aktivitas dan efisiensi - Kebun : pengembangan komoditas dalam kawasan tersebut berupa kebun-kebun - Kelembagaan : petani yang terlibat dalam pengembangan harus membentuk kelompok tani yang tangguh. Pengembangan kawasan sentra melalui kolonisasi diharapkan
akan
membentuk
belt-belt
kawasan
(sabuk-sabuk
kawasan)
pengembangan, seperti pada Gambar 3. Buah-buahan dikembangkan pada: • • • •
Desa yang berdekatan Kecamatan yang berdekatan Kabupaten yang berdekatan Provinsi yang berdekatan
3K+2k 1. Klonalisasi 1. kebun 2. Kolonisasi 2. kelembagaan 3. Konsolidasi
Desa Kecamatan Kabupaten Propinsi
Sumber : Supriyanto, 2005; Kuntarsih, 2006
Gambar 3. Kawasan sentra produksi buah yang mewujukan belt-belt kawasan wilayah pengembangan. Apabila ditinjau dari luasan hamparan, suatu kawasan sentra produksi buah bisa merupakan kebun agregat yang memenuhi skala ekonomi ialah (a) Kebun jeruk skala kecil (kebun rakyat), luas pemilikan rata-rata kurang dari 0,3 ha. Dalam hamparan, kebun
17
agregat minimal luasnya 1 – 5 ha, dengan skala ekonomi dalam kawasan mencapai seluas 50 ha, (b) kebun skala menengah, merupakan gabungan dari kebun-kebun agregat 5-10 ha. Luas kebun lebih dari 50 ha, (c) kebun skala besar, yang umumnya dikembangkan oleh pihak swasta dengan luas lebih dari 200 ha ( Dit Budidaya Tanaman Buah , 2005a).
2.3.
Kesesuaian Lahan dan Agroklimat Pada dasarnya tanaman jeruk memiliki daya adaptasi yang tinggi oleh karena itu
sebaran kesesuaian tanah dan iklimnya sangat luas (Widjajadi, 2004). Untuk mencapai produksi yang optimum diperlukan lahan usahatani yang sesuai dengan agroklimatnya. Pencapaian produksi dengan tetap mempertahanakan stabilitas ekologi, keuntungan ekonomi
dan
kelestarian
sosial-budaya
merupakan
konsep dari
pembangunan
berkelanjutan. Mengingat
kompleksnya
permasala han
yang
dipertimbangkan
dalam
pengambilan keputusan terkait dengan pengaturan lahan dan lingkungan, produksi harus dicapai dalam kondisi keterbatasan sosial, ekonomi dan lingkungan maka dibutuhkan analisa interaksi spasial dan temporal menggunakan Geographycal Information System/ GIS (Mattews et al. 1996). Teknologi penginderaan jauh dimanfaatkan untuk tujuan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan melalui pendeteksian atau zonasi daerah tersebut (LAPAN, 2003).
Evaluasi lahan perlu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik dan kwalitasnya, sehingga pemanfaatan lahan yang optimal tersebut dapat dilakukan secara lestari. Dalam kesesuaian lahan untuk suatu penggunaan atau Land Utilization Type (LUTs) perlu dilakukan pemisahan satuan lahan/ tanah untuk keperluan analisis dan interpretasi ( Puslit Tanah dan Agroklimat, 2004). Evaluasi kesesuaian lahan merupakan kegiatan interpertasi data tanah dan fisik lingkungan dan tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan survei dan pemetaan tanah. Hasil evaluasi kesesuaian lahan memberikan informasi/arahan penggunaan lahan yang sesuai dengan potensi dan tingkat kesesuaiannya, sehingga kerusakan lahan dapat ditekan sekecil mungkin.
18
Penilaian kesesuaian lahan/wilayah (land suitability evaluation) ini bersifat kualitatif berdasarkan data/faktor-faktor fisik lingkungan. Penilaian faktor-faktor/ parameter karateristik lahan terhadap keinginan tumbuh tanaman (FAO, 1976; 1983) yang dinilai, dipisahkan dalam 3 kelompok, yaitu: (1) persyaratan tanaman (crop requirements) yang merupakan grup zone agro-ekologi, (2) persyaratan pengelolaan (management requirements) yang merupakan grup manajemen dan grup perbaikan lahan dan (3) persyaratan pengawetan (conservation requirements) yang merupakan grup konservai dan resiko lingkungan. Penilaian kesesuaian lahan dilakukan dengan cara “matching”, yaitu dengan cara membandingkan antara sifat dan karakteristik tanah dengan persyaratan tumbuh tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan berproduksi secara maksimal dan berkesinambungan. Kelas kesesuaian lahan dirinci menjadi Sub-kelas kesesuaian lahan berdasarkan faktor pembatas (tingkat kerawanan) yang paling dominan/berat. Pada tingkat sub-kelas tersebut dapat diketahui macam pembatasnya secara langsung. Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas pertanian lainnya. Sensitivitas kriteria kesesuaian lahan dan ketersediaan data karakteristik lahan pada setiap satuan peta (mapping units) sangat menentukan akurasi hasil evaluasi lahan. Dalam kaitannya antara karakteristik lahan dengan kriteria kesesuaian lahan untuk suatu komoditas pertanian, maka setiap kelas kesesuaian lahan harus tercerminkan oleh tingkat produktivitasnya. Pertumbuhan dan produktivitas komoditi pertanian sangat ditentukan oleh daya dukung lahan yang bersangkutan. Daya dukung suatu lahan dipengaruhi oleh parameter fisik, dalam hal ini tanah, terrain, dan hidrologi. Komponen-komponen lahan tersebut memperhatikan kondisi setempat (local condition) untuk digunakan dalam penetapan Persyaratan Penggunaan Lahan, Kualitas dan Karakteristik Lahan, serta menyusunan kriteria kelas kesesuaian lahan (CRS/FAO, 1983;
Djaenudin et al.1996; Balai Penelitian
Tanah, 2003; Balai Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2004). Kriteria yang telah disusun
tersebut
semuanya
hany a
merupakan
pedoman/petunjuk,
untuk
penggunaannya masih perlu mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain kondisi
19
setempat, tingkat manajemen yang telah diterapkan dan yang akan digunakan sebagai asumsi dalam pelaksanaan evaluasi lahan. Menurut konsep dasar Kerangka Evaluasi Lahan (FAO, 1976) kesesuaian lahan yang digunakan, dibedakan menjadi kelas sesuai (S) dan kelas tidak sesuai (N). Kelas S dibedakan menjadi 3 kelas. Ke-4 kelas kesesuaian lahan tersebut diuraikan sebagai berikut : Kelas S1 - Lahan sangat sesuai (Highly suitable) ialah lahan tidak mempunyai faktor pembatas berarti yang dapat mempengaruhi pengelolaan tanah /tanamannya. Kelas S2 - Lahan
cukup sesuai (Moderately suitable) ialah lahan mempunyai
pembatas ringan yang
dapat
mempengaruhi pengelolaan tanah
/tanaman dan masukan biaya ringan. Kelas S3 - Lahan sesuai marjinal (Marginally suitable) ialah lahan mempunyai pembatas agak berat yang dapat
mempengaruhi pengelolaan tanah
/tanaman dan masukan biaya sedang sampai tinggi. Kelas N - Lahan
tidak
sesuai (Not suitable) ialah lahan mempunyai pembatas
berat perbaikannya memerlukan biaya yang sangat besar tetapi tidak akan sesuai dengan produksi yang dihasilkan. Kualitas/karakteristik lahan yang akan dipilih untuk evaluasi lahan terdiri dari: temperatur, ketersediaan air, ketersediaan oksigen, media perakaran, gambut, retensi hara, toksisitas, salinitas, bahaya sulfidik, bahaya erosi, bahaya banjir, dan penyiapan lahan dengan rincian sebagai berikut: -
temperatur (tc) : ditentukan oleh keadaan temperatur rerata
-
ketersediaan air (wa) : ditentukan oleh keadaan curah hujan, kelembaban, lama masa kering, sumber air tawar, atau amplitudo pasang surut, tergantung jenis komoditasnya
-
ketersediaan oksigen (oa)
: ditentukan oleh keadaan drainase atau oksigen
tergantung jenis komoditasnya -
media perakaran (rc) : ditentukan oleh keadaan tekstur, bahan kasar dan kedalaman tanah
20
-
gambut (g)
: ditentukan oleh ketebalan dan kematangan gambut
-
retensi hara (nr) : ditentukan oleh KPK-liat, kejenuhan basa, pH-H20, dan Corganik
-
bahaya keracunan (xc) : ditentukan oleh salinitas, alkalinitas, dan kedalaman pirit (FeS2)
-
bahaya erosi (eh) : ditentukan oleh lereng dan bahaya erosi
-
bahaya banjir (fh)
-
penyiapan lahan (lp): ditentukan oleh batuan di permukaan dan singkapan
: ditentukan oleh genangan
batuan Kelas kesesuaian lahan dibedakan dalam Sub-kelas kesesuaian lahan berdasarkan faktor pembatas yang paling dominan/berat. Subkelas kesesuaian lahan ditulis dengan simbol Kelas ditambah huruf kecil yang menyatakan faktor pembatas tesebut. Misal: Subkelas S3 rc, berarti tanah/lahan atau SPT tsb termasuk sesuai marjinal (Kelas S3) dengan pembatas utama media perakaran (rc ). 2.4.
Fungsi Cobb-Douglas Fungsi produksi merupakan representatif dari dunia nyata perilaku produsen.
Melalui fungsi produksi tersebut dapat digambarkan besaran kemampuan seorang produsen memaksimalkan output dengan menggunakan berbagai kombinasi sumber daya input yang langka jumlahnya atau dengan kata lain bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan dengan meminimalkan biaya dalam memproduksi output dengan kendala-kendala ekonomis dan teknis. Berdasarkan fungsi produksi orang akan lebih memahami hubungan antara input dan output, kemudian input apa saja yang paling besar pengaruhnya terhadap output, berapa besar kemampuan input untuk menghasilkan output, dan masih banyak lagi informasi yang dapat diberikan oleh sebuah fungsi produksi (Beattie dan Robert, 1996). Lebih lanjut Beattie dan Robert (1996) mengemukakan bahwa salah satu fungsi produksi yang banyak digunakan dalam mempelajari perilaku produsen selama ini adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (C-D). Menggunakan asumsi bahwa produsen dalam kondisi constant return to scale membuat pemakaian fungsi C-D menjadi lebih
21
mudah dan praktis dibandingkan fungsi produksi nonlinear lainnya seperti CES dan trancedental dan sebagainya yang terlihat lebih kompleks dan rumit. Meski terlihat mudah, namun hasil analisis yang diberikan oleh fungsi C-D sangat memadai, salah satu diantaranya adalah mengenai besarnya respon dari seorang produsen terhadap penggunaan input. Dalam perkembangannya lebih lanjut, penggunaan fungsi C-D tidak lagi sebatas analisis respon produsen terhadap penggunaan input saja, tetapi sudah semakin luas digunakan sebagai alat analisis respon dari suatu tingkat produksi terhadap faktor-faktor lainnya di luar input yang berhubungan dengan perilaku produsen
seperti
tingkat
pendidikan,
pengalaman
berusaha,
kewirausahaan,
manajemen, dan lain-lain.
Formula dasar dari fungsi C-D adalah sebagai berikut : β
β
Y A X11 X 22 ............................................................
1]
Keterangan : Y
: Variabel dependent
X1, X2 : Variabel independent
A
: Konstanta
β1, β2
: Koefisien
Kelebihan dari penggunaan fungsi Cobb-Douglas adalah bentuk fungsi yang sederhana,
ekonomis
dalam
perhitungan
pendugaan
parameter
dan
seringkali
menghasilkan dugaan yang nyata menurut tes statistik. Penyelesaian hubungan X dan Y dalam fungsi Cobb-Douglas biasanya dengan cara regresi (Soekartawi, 1994).
Jika dijadikan dalam bentuk linear adalah : ln Y = ln A + β1 ln X1 + β2 ln X2 ……………….. atau
2]
Y* = A* + β1 X*1 + β2 X*2 ……………............. [3]
Keterangan
ln
: log natural
Tanda bintang (*) menunjukkan variabel log natural β1 dan β2 merupakan koefisien elastisitas
22
2.5.
Analisis Ekonomi Usahatani Jeruk Analisis
kelayakan
usahatani
jeruk merupakan
suatu
analisis
yang
membandingkan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam usahatani jeruk dengan manfaat yang diterima. Untuk mengkaji investasi jangka panjang pada tanaman tahunan atau
ternak
bisa digunakan indikator kelayakan
investasi melalui
penghitungan Benefit Cost Ratio (B/C), Internal Rate of Return (IRR) dan Net Present Value (NPV) (Swastika, 2004; Biro Kredit, 2005).
2.5.1 Net Benefit-Cost Ratio Analisis Benefit-Cost Ratio (B/C) merupakan hasil bagi dari keuntungan hasil usahatani dengan pengeluaran. Usahatani jeruk yang menguntungkan ditunjukkan dengan nilai B/C lebih dari 1. Net B/C dapat digambarkan dalam formula sebagai berikut : n
B/C
Net
Bt C t
(1 i)t t 0 n
2
Bt C t 2 t 0 (1 i )t
...........................................
4]
Keterangan : Bt : Manfaat pada tahun t Ct : Biaya pada tahun ke t i : Discount rate (%) t : Tahun (umur). atau
B/C
= PV Benefit / PV Cost
…… 5]
2.5.2. Internal Rate of Retun (IRR) Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan kemampuan suatu usaha dalam menghasilkan return atau keuntungan yang dapat dicapai (persentase keuntungan yang akan diperoleh dari suatu kegiatan investasi tiap tahunnya). Kegiatan investasi dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar dari Discount Rate yang ditentukan. Penghitungan tingkat IRR dilakukan dengan menggunakan metoda interpolasi diantara tingkat IRR yang lebih rendah (yang menghasilkan NPV posistif) dengan
23
tingkat discount rate yang lebih tinggi (yang menghasilkan NPV negative), dengan formula sbb :
NPV p IRR rp ( rn rp ) NPV NPV 2 p
6]
Keterangan : rp = Discount Rate yang menghasilkan NPV positif rn = Discount Rate yang menghasilkan NPV negatif. NPV p = NPV yang bernilai positif NPV n = NPV yang bernilai negatif. 2.5.3 Net Present Value (NPV) NPV adalah keuntungan yang diperoleh, atau nilai kini yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Suatu investasi dikatakan layak apabila nilai NPV positif atau lebih besar dari nol, dan tidak layak jika NPV bernilai nol. Secara matematis nilai NPV dapat dituliskan sebagai berikut : NPV = PV Benefit - PV Cost .....................
2.6.
7]
Analisis Keberlanjutan Keberlanjutan merupakan integrasi dari berbagai aspek, seperti aspek ekologi,
sosial, ekonomi dan aspek lainnya. Model RAPFISH (Rapid Appraisal Fisheries) telah digunakan oleh University of British Colombia, Canada, tahun 1998 untuk menilai status keberlanjutan sistem usaha perikanan yang multi disiplin (Alder et. al., 2003). Dengan RAPFISH maka status keberlanjutan (Indeks keberlanjutan) sistem perikanan yang kompleks dapat dinilai secara cepat, namun hasilnya cukup dapat memberikan gambaran yang jelas dan komprehensif. Penilaian dilakukan melalui pengkwantifikasian atribut-atribut berpengaruh terhadap keberlanjutan dengan skoring. Atribut-atribut tersebut dikelompokkan dalam group evaluation field. Skoring untuk masing-masing atribut dimulai dari 0 sampai 3. Skor 0 merupakan kondisi yang buruk terhadap keberlanjutan, sedangkan skor 3 merupakan yang baik yang merepresentasikan keberlanjutan (Kavanagh and Pitcher, 2004).
24
RAPFISH merupakan teknik statistik, dengan pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS). Prinsip di dalam MDS adalah pengukuran jarak yang dinamakan Euclidien distance. Menurut Pitcher dan Preikshot tahun 2001 dalam Fauzi dan Anna tahun 2005, MDS akan memetakan obyek atau titik yang diamati dalam satu ruang. Obyek atau titik yang sama dipetakan saling berdekatan sedangkan obyek atau titik yang berbeda dipetakan saling berjauhan Teknik penentuan jarak dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance seperti formula sebagai berikut: d=
([X1 – X2]2 + [Y1 – Y2 ]2 + [Z1 – Z2 ]2 + ….) …….
8]
d : Jarak Euclidiant x, y, z : atribut
MDS akan melakukan transformasi multi dimensi menjadi dimensi yang lebih rendah, memvisualisasikan titik-titik dan melakukan ordinasi serta memproyeksikan titik tersebut dalam garis yang terletak antara dua titik ekstrim bad and good , dengan skala 0 %- 100%, seperti pada Gambar 4. Bad
Good
0%
100%
Gambar 4. Garis yang menghubungkan dua titik ekstrim bad (0%) dan good (100%) dalam indeks keberlanjuatan Konfigurasi dari objek atau titik didalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Eucledian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (dij) seperti persamaan dij = a + bdij + e. ........
9]
Teknik yang digunakan untuk meregresikan dengan metoda least square adalah metoda ALSCAL. Dari beberapa metoda yang dikenal, Alogaritma ALSCAL merupakan metoda yang cocok untuk Rapfish guna mengoptimisasi jarak kuadrat (square distance = dij) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijk) yang dalam tiga dimensi ditulis dalam formula S-stress sebagai berikut:
25
(d ijk2 oijk2 ) 2 1 i j 4 .............................. m k 1 oijk i j m
S
10]
Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot sebagai berikut: r
d 2ijk =
wia (Xia - Xja )2 ......................
11]
a 1
Nilai S-stress ini untuk menilai goodness of fit dalam MDS. Didalam Rapfish, model yang baik ditunjukkan dengan nilai S stress yang lebih kecil dari 0,25 ( S < 0,25). (Alder et. al., 2003; Fauzi dan Anna, 2005). Di dalam Rapfish telah diintegrasikan Analisis Leverage untuk menilai penyimpangan/anomali. dan Analisis Monte Carlo untuk menilai aspek ketidak pastian dalam MDS.
2.7.
Analisis Leverage Analisis Leverage atau analisis Sensitivitas digunakan untuk mengetahui efek
stabilitas jika salah satu atribut dihilangkan saat dilakukannya ordinasi. Untuk sebanyak M atribut, maka analisis Leverage dilakukan M+1 kali penghitungan, yaitu 1 kali penghitungan terhadap seluruh atribut (M atribut) dan M kali terhadap salah satu atribut jika dihilangkan. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan standardisasi atribut untuk menyamakan skala pada skor masing-masing atribut. Hasil analisis Leverage ini akan menunjukkan prosentase (%) perubahan root mean square masingmasing atribut jika dihilangkan dalam ordinasi. Atribut yang memiliki prosentase tertinggi merupakan atribut yang paling sensitif/ berpengaruh kuat terhadap keberlanjutan
(Kavanagh and Pitcher, 2004). 2.8.
Analisis Monte Carlo Analisis Monte Carlo merupakan metoda simulasi statistik untuk mengevaluasi
efek dari random error pada proses pendugaan, serta untuk mengestimasikan nilai yang sebenarnya. Analisis ini perlu dilakukan untuk mempelajari aspek ketidak pastian yang disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1) Dampak dari kesalahan skoring akibat minimnya informasi, atau kesalahfahaman dalam memahami atribut dan skoring 2) Dampak dari keragaman skoring akibat dari perbedaan penilaian
26
3) Stabilitas dari MDS dalam running 4) Kesalahan dalam entry data 5) Tingginya nilai S-stress yang diperoleh dari alogaritma ALSCAL (Kavanagh,
2001; Kavanagh and Pitcher, 2004; Fauzi dan Anna, 2005) Apabila perbedaan (selisih) antara hasil penghitungan MDS dengan hasil penghitungan Monte Carlo tidak lebih dari satu maka sistem yang dikaji sesuai dengan kondisi nyata (Kavanagh dan Pitcher, 2004).