19 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. CSR dan CSR Berkelanjutan Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) CSR adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitikomuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan (Rudito et al., 2004). Peningkatan mutu kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati, serta memanfaatkan lingkungan hidup, termasuk perubahan-perubahan yang ada dan sekaligus memelihara. Atau dengan kata lain, CSR merupakan cara korporat mengatur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada masyarakat (Rudito et al., 2004). CSR berarti perusahaan harus bertanggungjawab atas operasinya yang berdampak buruk pada masyarakat, komunitas dan lingkungannya. Namun sebaliknya juga harus memberikan dampak positif terhadap masyarakat sekitar. Suatu perusahaan tidak akan dapat bertahan lama apabila dia mengisolasikan dan membatasi dirinya dengan masyarakat sekitarnya (Djajadiningrat dan Famiola, 2004). Terkait dengan aspek hukum maka terdapat 4 jenis CSR (Fajar, 2010) yaitu : 1.
Social responsibility theory, yaitu kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga keharmonisan kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam teori ini seakan tanggung jawab sosial hanya menjadi kewajiban direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu sempit dari hakekat CSR yang seutuhnya.
2.
Hobbesian Leviatan theory, yang menghendaki kontrol yang ketat dari Pemerintah serta meniadakan upaya-upaya lainnya. Teori ini menempatkan hanya Pemerintah sebagai pihak yang berwenang dan menentukan terhadap aktivitas CSR perusahaan dan menegasikan alternatif lainnya dalam pengaturan CSR.
20 3.
Corporate governance theory, menghendaki adanya corporate accountability dari direksi korporasi. Cenderung lebih mengamati hubungan pihak internal korporasi yaitu antara pemilik dan manajemen korporasi.
4.
Reflexive law theory, digunakan untuk mengatasi kebuntuan atas pendekatan formal terhadap kewajiban perusahaan dalam sistem hukum. Hukum formal adalah bentuk intervensi negara dalam mengatur persoalan privat melalui bentuk perundangundangan seperti Undang-Undang Perseoran Terbatas yang didalamnya juga mengatur mengenai tanggungjawab sosial perusahaan. Reflexive law theory adalah teori hukum yang menjelaskan adanya keterbatasan hukum (limit of law) dalam masyarakat yang kompleks untuk mengarahkan perubahan sosial secara efektif. Mengacu dari definisi CSR tersebut, ternyata pengaturan mengenai CSR tidak
cukup hanya dengan ke 3 pendekatan atau jenis pertama karena keterbatasan-keterbatasan dari teori hukum sedangkan ruang lingkup CSR melebihi dari aturan yang berlaku. Reflexive law theory paling tepat untuk menekan kerumitan dan keberagaman masyarakat melalui peraturan perundang-undangan yang ekstensif. Reflexive law theory bertujuan untuk mengarahkan pola tingkah laku dan mendorong pengaturan sendiri (self regulation). Proses ini adalah regulated autonomy atau membiarkan private actors, seperti korporasi untuk bebas mengatur dirinya sendiri. Masyarakat yang akan memberikan penilaian maupun sanksi (market‟s reward punishment) terhadap aktivitas CSR perusahaan. Disisi lain hukum reflexive mengintervensi proses sosial dengan membuat prosedur acuan untuk perilaku korporasi (code of conduct). Dalam mengontrol perilaku korporasi maka reflexive law theory menghendaki adanya social accounting, auditing dan reporting, yang disebut social reporting (Fajar, 2010). Pada dasarnya CSR memiliki berbagai aliran pemikiran yang dibagi menjadi beberapa school of thought yaitu adalah : 1. CSR dibagi menjadi 3 school of thought menurut Achwan (2006) yaitu: a. The business of business is business yang berpandangan bahwa perusahaan pada hakekatnya merupakan institusi pencipta kesejahteraan masyarakat. Setiap perusahaan memiliki tujuan tunggal yaitu memaksimalkan keuntungan untuk pemiliknya dan dipercaya dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Tangan-tangan
21 tak kentara (invisible hands), adalah naluri yang dimiliki setiap perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan adalah pencipta kekayaan (wealth), dalam masyarakat dan patuh kepada rule of law. Semua kegiatan philanthropy-semacam ini pada dasarnya adalah pencurian uang milik pemegang saham yang dilakukan oleh para direktur perusahaan. b. Corporate voluntarism yang lebih menekankan aspek kebajikan, virtue, dalam mengejar keuntungan perusahaan. Asumsi dari alam pemikiran ini adalah sifat CSR sukarela (voluntary) dan menolak campur tangan negara dalam mengatur CSR di perusahaan, CSR mendorong keuntungan ekonomi perusahaan, lalu keberadaan perusahaan tidak dapat lepas dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi. c. Corporate involuntarism berpendapat bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban menjalankan tanggung jawab sosial. Kewajiban ini harus dituangkan dalam bentuk undang-undang. Para penyokong aliran ini berpendapat bahwa dalam kondisi sekarang ini, ketika multinational corporation (MNC) jauh lebih berpengaruh dibandingkan negara bangsa, self regulation dan voluntarism tidaklah mencukupi. Sehingga perlu campur tangan Pemerintah. 2. Pengelompokan lainnya tentang aliran pemikiran dari CSR juga membagi menjadi 3 school of thought menurut pandangan Michael (2010) yaitu : a. Neo-liberal school atau markets provide CSR adalah kegiatan CSR dimana pasar menjadi pendorong aktivitas CSR meliputi CSR product market demand atau CSR pada produk yang didorong oleh permintaan pasar, labour market demand atau CSR pada tenaga kerja yang didorong oleh permintaan pasar dan capital market demand atau CSR atas modal yang didorong oleh permintaan pasar modal. Aktivitas ini bersifat sukarela dengan mekanisme kegiatannya mengacu pada triple bottom line (dampak environmental, social, financial), dan stakeholders board. b. State led school atau CSR as a public policy adalah kegiatan CSR yang diatur oleh negara. Aktivitas CSR dalam hal ini sifatnya wajib dilaksanakan. c. Third-sector school atau CSR as site of participation adalah aktivitas CSR yang dilakukan dengan membentuk forum-forum kerjasama seperti gabungan
22 perusahaan-perusahaan,
kerjasama
perusahaan
dengan
lembaga
swadaya
masyarakat (LSM). 3. Pemikiran lainnya atas school of thought dari CSR adalah sebagaimana yang dikemukakan Fajar (2010) yaitu : a. CSR yang bersifat sukarela (voluntary), adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang dilaksanakan secara sukarela dengan alasan: tujuan perusahaan mencari keuntungan, CSR merupakan kewajiban moral sesuai pendapat Milton Friedman, diacu dalam Fajar (2010), pelaksanaan CSR bertentangan dengan hak kepemilikan privat, dan tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Henry Hansmann dan Reinier Kraakman mengatakan bahwa tujuan perusahaan dalam jangka panjang adalah mencari keuntungan shareholders. Shareholders oriented menjadi model standar untuk hukum perusahaan secara universal. Karena sifatnya sukarela dan berada di wilayah etika maka CSR diatur dalam code of conduct (softlaw) seperti Global Reporting Initiative (GRI) Sustainability Reporting Guidelines, Organisation fot Economic Co-operation and Development (OECD) Guidelines for Multinational Enterprises, dan lain sebagainya. Namun keberadaan Corporate Code of Conduct tidak cukup mampu mengikat korporasi (Fajar, 2010). b. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang bersifar wajib (compulsory). Alasan utama dari CSR yang diwajibkan ini adalah: korporasi harus memperhatikan kepentingan sosial yaitu stakeholders sebagaimana dikemukakan oleh E.Merric Dodd, diacu dalam Fajar (2010) yang melahirkan stakeholders theory. Selanjutnya pendapat ini didukung oleh Henry Hansmann dan Reinier Kraakman yang berpendapat bahwa keberadaan perusahaan adalah untuk melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Terdapat 2 alasan mengapa CSR harus diatur dalam hukum negara karena : 1). Tidak ada kekuatan memaksa dari hukum kebiasaan dan prinsip sukaerela, tanpa diratifikasi dalam peraturan lokal sebuah negara, 2). Prinsip sukarela yang tidak mengikat tidak akan memberikan efek apapun secara jelas dan terukur (Fajar, 2010). c. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang tergantung situasi dan kondisi.
23 Kebijakan ini dipelopori oleh Jenkins, diacu dalam Fajar (2010) yang melihat dari fungsi hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat. Untuk itu perlu dipahami ranah apa saja yang masuk wilayah hukum dan mana yang tidak, Jenkins mengatakan bahwa wilayah hukum dapat dilihat dari dua rezim yaitu necessity (kebutuhan) dan possibility (kemungkinan). Necessity adalah rezim yang digunakan untuk mendukung pembangunan manusia (human development). Tanpa kondisi yang aman dan stabil pembangunan manusia tidak bisa dilakukan. Sementara possibility berfungsi menciptakan kebebasan, kesempatan dan kemajuan yang diperlukan, untuk menciptakan kesempurnaan kebaikan (absolute good). Jika rezim necessity dan possibility menghendaki aturan hukum maka akan melahirkan tanggung jawab hukum. Kewajiban untuk CSR menjadi perlu ketika korporasi cenderung menghalangi pembangunan manusia dan berpeluang memunculkan eksploitasi, korupsi, kesewenang-wenangan dan ketidakpastian dalam masyarakat (Fajar, 2010). Dari berbagai school of thought tersebut tampaknya Indonesia menganut konsep mandatory atau compulsory (wajib) sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang baik Undang-Undang Perseroan Terbatas nomor 4 tahun 2007 maupun Undang-Undang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007. Kewajiban melaksanakan CSR pun diwujudkan dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009 untuk aspek lingkungan, namun hingga kini belum ada peraturan organik yang merupakan turunan dari berbagai undang-undang tersebut yang mengikat secara pasti dalam bentuk peraturan pelaksanaan. Bila dilihat dari pada implementasinya cenderung dilakukan sesuai dengan konsep self regulatory. Karena belum ada aturan pelaksanaan CSR termasuk dalam sektor otomotif, sehingga setiap perusahaan menjalankan CSR sesuai dengan konsepnya sendiri dan sesuai dengan pemahamannya masing-masing terhadap CSR. Menurut APCSRI (2009) praktek CSR yang baik mempunyai andil dalam : (1) meminimalkan dampak negatif atas risiko aktifitas perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan; (2) meminimalkan biaya operasional perusahaan, (3) meningkatkan kinerja keuangan dan citra perusahaan, dan (4) pencapaian tujuan pembangunan
24 kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, termasuk tujuan pembangunan millenium (MDGs) di Indonesia. Lingkup dari CSR menurut Keraf (1998) dikatakan bahwa perusahaan harus bertanggungjawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh pada orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi. Maka, secara negatif itu berarti suatu perusahaan harus menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa, sehingga tidak sampai merugikan fihak-fihak tertentu dalam masyarakat. Secara positif itu berarti suatu perusahaan harus menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya akan dapat ikut menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Bahkan secara positif perusahaan diharapkan ikut melakukan kegiatan tertentu yang tidak semata-mata didasarkan kepada perhitungan keuntungan kontan yang langsung, melainkan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen yang bertanggungjawab sosial dan moral, tetapi juga seluruh karyawan (Keraf, 1998). Alasan mengapa perusahaan melakukan CSR menurut Lampesis (2005) adalah : 1. Memberikan timbal balik kepada komunitas, masyarakat dan lingkungan yang telah memberikan manfaat dan keuntungan bagi perusahaan. 2. Perusahaan memperoleh keuntungan kompetitif dan keuntungan reputasi dengan mendemonstrasikan perhatian terbaik perusahaan kepada masyarakat luas sebagai bagian integral dalam pembuatan kebijakan. 3. Penelitian Orlizty, Schmidt and Reynes (2003) telah menemukan bahwa terdapat korelasi antara kinerja sosial/lingkungan dengan kinerja finansial. Pendorong perusahaan untuk melakukan CSR : 1. CSR akan berjalan sebagai check on regulatory failures, artinya apa yang tidak diatur oleh Pemerintah, namun tetap diperlukan untuk dilaksanakan, maka disitulah CSR muncul. 2. CSR memberikan kesempatan kepada perusahaan akan suatu tingkat fleksibilitas dari aturan yang berlaku. Artinya perusahaan melakukan CSR lepas dari aturan yang berlaku.
25 Manfaat dari pelaksanaan CSR bagi masyarakat (Brew, 2008) adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Aktivitas dan peluang ekonomi Penyerapan tenaga kerja Akses terhadap skill dan teknologi Infrastruktur yang meningkat Perlindungan terhadap lingkungan Kesehatan Investasi sosial Dalam melaksanakan CSR ada tiga kriteria yang harus dipenuhi (Bronchain, 2003), yaitu : 1. They are carried out on a voluntary basis, i.e. going beyond common regulatory and conventional requirements; atau harus bersifat sukarela dan melebihi yang telah dipersyaratkan. Artinya mendemonstrasikan komitmen tanggungjawab sosial dan lingkungan lebih dari sekedar mematuhi hukum atau aturan yang berlaku. 2. There is interaction with the stakeholders, atau terdapat interaksi dengan para stakeholders. Artinya perlu dicari pola-pola kemitraan (partnership) dengan seluruh stakeholders agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang menjadi perusahaan yang mampu bersaing. Pengertian CSR dikaitkan dengan pemangku kepentingan adalah : CSR is the capacity of a company to listen to, to take care of, to understand and to satisfy the legitimate expectations of the different actors who contribute to their development (Olivera Neto, diacu dalam Sanchez, 2008) Dikatakan bahwa CSR adalah kapasitas perusahaan
dalam mendengarkan,
menjaga, mengerti dan memuaskan ekspektasi yang legitimate dari para pemangku kepentingan. Selanjutnya dampak dari program tanggungjawab sosialnya (CSR) akan sangat tergantung dari respons perusahaan terhadap ekspektasi dari berbagai pemangku kepentingannya (Dawkins and Lewis, 2003), yaitu :
26 A company‟s balancing of these several priorities must therefore be informed by its stakeholders of importance. The company must define, consult and engage these stakeholders in its programme that its activity is seen as relevant both to the business and to its stakeholders, and some companies are of course well advanced in this process of dialogue (Dawkins and Lewis, 2003). Perusahaan harus menyeimbangkan berbagai prioritas dalam CSR sesuai dengan kepentingan pemangku kepentingan, sehingga perlu mendefinisikan, konsultasi dan mengaitkan pemangku kepentingan dalam aktivitasnya, agar terdapat relevansi antara bisnis dan pemangku kepentingan. 2. Social and environmental concerns are integrated into the business operations, atau mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan kepada operasi perusahaan. Tujuan akhir pelaksanaan CSR adalah menempatkan entitas bisnis dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, tanggungjawab sosial itu seharusnya menginternalisasi pada semua bagian kerja pada suatu pekerjaan. CSR harus merupakan keputusan strategik perusahaan sejak awal dari mendesain produk yang ramah lingkungan, hingga pemasaran, dan pengolahan limbah. Selain itu, secara eksternal CSR juga memastikan jangan sampai perusahaan justru mengurangi kesejahteraan masyarakat di lingkungan sekitarnya (Nindita, diacu dalam Tunggal, 2007). Tujuan dari pelaksanaan CSR dalam aspek lingkungan didefinisikan sebagai : As a result the environmental aspect of CSR is defined as the duty to cover the environmental implications of the company‟s operations, products and facilities; eliminate waste and emissions; maximize the efficiency and productivity of its resources; and minimize practices that might adversely affect the enjoyment of the country‟s resources by future generations (Mazurkiewicz, 2008). Artinya bahwa tujuan CSR dalam aspek lingkungan adalah bagaimana mengurangi dampak lingkungan akibat operasi perusahaan, produk maupun fasilitas perusahaan mengurangi limbah dan emisi, memaksimalkan tingkat efisiensi dan produktivitas dari sumber daya, serta mengurangi praktek-praktek
27 yang dapat mempengaruhi keberadaan sumber daya untuk generasi mendatang. Bila di rinci kegiatan tersebut adalah : 1.Adanya fasilitas perusahaan, baik plant, gudang penyimpanan dan segala inventaris perusahaan yang tidak mencemari lingkungan. 2.Adanya produk perusahaan berupa mobil yang ramah lingkungan 3. Adanya efisiensi dan produktivitas dalam penggunaan sumber daya, termasuk bahan baku 4.Aktivitas perusahaan yang tidak mengganggu ketersediaan sumber daya untuk generasi mendatang (berkelanjutan). Cara pandang perusahaan terhadap CSR amatlah beragam. Ada yang memandang CSR sekedar memenuhi regulasi yang ditetapkan pemerintah, sementara yang lain sudah mulai melihat CSR sebagai cara berpikir baru dalam mengelola bisnis secara keseluruhan. Secara umum, kegiatan CSR berdimensi lingkungan menurut Rewarding Upland Poor for Enviromental Services (RUPES), diacu dalam Leimona dan Fauzi (2008) dapat dikategorikan sebagaimana pada Tabel 1. Tabel 1. Kategorisasi CSR Type aktivitas CSR
Isu Lingkungan
Tipe CSR 1 Compliance to environmental regulation Tipe CSR 2 Contribution to environmental conservation Tipe CSR 3 Conservation for additional income
Minimal dampak negatif terhadap lingkungan akibat proses produksi Pendukung konservasi lingkungan
Tipe CSR 4 Conservation for direct production sustainability
Peningkatan mutu lingkungan secara langsung di kawasan sumber bahan baku industry
Peningkatan mutu lingkungan melalui proses industri, dan melebihi baku mutu yang ditetapkan regulasi
Isu Utama Bisnis Bisnis taat regulasi dan minimal konflik Peningkatan ”brand image” alat pemasaran dan periklanan serta perluasan jaringan Efisiensi proses produksi, pengurangan biaya produksi dan penambahan benefit Jaminan bagi kelangsungan sumber produksi perusahaan
28
Kategorisasi tersebut tidak dimaksudkan untuk memberikan peringkat baik dan buruk, tetapi sebagai alat untuk melihat sejauhmana kegiatan CSR suatu jenis industri dapat memberikan kontribusi terhadap lingkungan dan bisnisnya. CSR berkaitan dengan konsep “go green”, menurut pandangan Howard Schultz, pimpinan perusahaan Starbucks, CSR adalah “trying to achieve a fragile balance of creating the necessity of profitability and the balance of having a social conscience”(Leiu, 2010) atau mencapai keseimbangan antara kebutuhan akan keuntungan perusahaan dan kepentingan sosial. Perusahaan semakin sadar terhadap konsekwensi jejak lingkungan yang mereka tinggalkan dibelakangnya (ecological footprints). Karena itu bersikap go green adalah langkah penerapan CSR dalam aspek lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan. Konsep go green dalam bisnis menjadi green business berarti konsep ramah lingkungan dalam segala aspek dalam bisnis, dimana green business mencakup komitmen terhadap lingkungan dan inisiatif terhadap keadilan sosial, termasuk dalam hal ini adalah mengurangi emisi gas rumah kaca dan pencemar udara lainnya, penggunaan sumberdaya energi terbarukan, efisiensi energi, pelestarian sumberdaya alam dan energi, minimalisasi limbah dan penciptaan lapangan kerja didaerah yang dilayani. (Green For All, 2010). Dengan demikian green business berkaitan juga dengan penciptaan kesejahteraan masyarakat. Dalam menyikapi kondisi lingkungan maka selain bersifat reaktif atas apa yang diperbuat atas dampak operasi perusahaan, maka green business adalah sikap menjaga lingkungan (environmental stewardship). Dalam berbagai kasus, bisnis yang mengadopsi etika standar dalam menjaga lingkungan (environmental stewardship) yang melebihi aturan yang berlaku akan memperoleh keunggulan kompetitif
(competitive advantage), mendapatkan
kesetiaan pelanggan (costumer loyalty) dan pangsa pasar (market share), dan juga mengurangi resiko bisnis (Olson, 2010). Menjaga lingkungan (environmental stewardship) adalah bagian dari CSR dalam aspek lingkungan (Olson, 2010) Hubungan korporat dengan pemangku kepentingan sangat dipentingkan bagi pelaksanaan CSR. Hubungan korporat dengan pemangku kepentingan tidak lagi
29 bersifat pengelolaan saja, tetapi sekaligus melakukan kolaborasi, yang dilakukan secara terpadu dan berfokus pada pembangunan kemitraan. Kemitraan tidak lagi bersifat penyangga organisasi, tetapi menciptakan kesempatan-kesempatan dan keuntungan bersama, untuk tujuan jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan tujuan, misi, nilai-nilai dan strategi-strategi tanggungjawab perusahaan secara sosial yang pada dasarnya mendorong korporat untuk hidup secara langgeng di dalam masyarakat. Kemitraan yang terwujud dalam interaksi antar pemangku kepentingan ini pada dasarnya merupakan juga suatu bentuk community development (CD) sebagai muara dari CSR (Rudito et al., 2004). Sarana yang digunakan dalam rangka implementasi konsep CSR adalah program community development (Rudito et al., 2004). Salah satu yang menonjol dari praktik CSR di Indonesia adalah penekanan pada aspek community development, karena paling sesuai kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinan dan pengangguran (Ambadar, 2008).
Bentuk dari community development terdiri dari community
relation atau pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait, seperti konsultasi publik, penyuluhan dan sebagainya, community service merupakan pelayanan korporat untuk memenuhi kepentingan masyarakat ataupun kepentingan umum, seperti pembangunan fasilitas umum, antara lain pembangunan/peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya, dan community empowerment adalah program-program berkaitan dengan memberikan akses lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan ataupun penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat, komuniti lokal, organisasi profesi serta peningkatan kapasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumber daya setempat (Budimanta dan Rudito, 2008). Bentuk-bentuk dari pelaksanaan CSR yang paling sering dilakukan oleh perusahaan menurut Kotler and Lee (2005) terbagi dalam 6 bentuk meliputi :
30 1. Cause Promotion adalah kegiatan sosial yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, partisipasi, maupun penyertaan dana terhadap suatu isu tertentu yang dipilih. 2. Cause-Related Marketing, perusahaan berkomitmen untuk melakukan donasi atau kontribusi atas suatu issue tertentu berdasarkan atas penjualan produk. Perusahaan akan melakukan bantuan dana berupa persentase tertentu atas pendapatan penjualan. Biasanya dilakukan dalam periode waktu tertentu atas suatu produk tertentu dan dalam bentuk sumbangan tertentu. Program ini memiliki dua sasaran, yaitu memperoleh sejumlah dana tertentu untuk didonasikan, disamping itu meningkatkan penjualan produk. Jenis aktivitas ini tujuannya sama dengan cause promotion, namun dikaitkan dengan respons konsumen terhadap penjualan (misalnya, besarnya donasi penumpang dikaitkan dengan jumlah mil perjalanan dengan pesawat perusahaan tertentu). 3. Corporate Social Marketing. Kampanye untuk mendukung suatu perubahan tertentu yang diharapkan terjadi atas suatu isu. Perubahan perilaku adalah yang diharapkan terjadi dari aktivitas ini. Saat ini Corporate Social Marketing umumnya dibangun dan diimplementasikan para profesional di pemerintahan pusat maupun daerah, local public sector agencies, seperti fasilitas umum, departemen kesehatan, transportasi, ekologi dan dalam organisasi nonprofit lainnya. 4. Corporate Philanthropy. Kegiatan ini melakukan aktivitas berupa kontribusi langsung berupa amal atau terhadap suatu permasalahan (isu). Lebih sering dalam bentuk sumbangan uang dan betuk sumbangan lainnya. Hal ini merupakan bentuk yang paling tradisional dari berbagai aktivitas CSR yang ada. Isu utama yang didukung meliputi kesehatan masyarakat, pelayanan publik, pendidikan, seni dan demikian pula perlindungan lingkungan. 5. Community Volunteering. Kegiatan ini menyediakan pelayanan pekerja sukarela dari perusahaan kepada masyarakat. Hal ini merupakan inisiatif dari perusahaan untuk mendukung dan menganjurkan karyawan, retail partner dan atau anggota franchise untuk mendukung organisasi organisasi masyarakat setempat ataupun
31 permasalahan yang dihadapi. Kegiatan sukarela ini termasuk menyediakan tenaga ahli, ide dan tenaga kerja. Perusahaan mendukung dengan menyediakan waktu kerja untuk keperluan membantu masyarakat, maupun membentuk tim untuk membantu masyarakat. 6. Socially Responsible Business Practice. Kegiatan ini mengadopsi dan berinisiatif melakukan praktek bisnis maupun investasi yang mendukung kepada permasalahan sosial yang ada. Sifat dari kegiatan ini adalah melakukan hal yang melebihi apa yang dipersyaratkan oleh hukum dan peraturan yang ada dan melebihi apa yang diharapkan (discretionary) terhadap komunitas seperti karyawan, distributor, pemasok, mitra nonprofit dan demikian juga sebagai anggota dari masyarakat umum. Sedangkan bidang aktivitasnya meliputi kesehatan dan keselamatan, demikian pula kebutuhan emosional dan psikologis. Saat ini praktek penyelenggaraan perusahaan telah bergeser dari menanggulangi keluhan pelanggan, menanggulangi tekanan dari group-group penekan, kepada kegiatan yang sifatnya proaktif mencari solusi atas permasalahan sosial yang ada. Pada umumnya aktivitas ini didominasi oleh kegiatan manufacturing, teknologi dan industri pertanian, dimana keputusan dibuat berkaitan dengan supply chain, bahan baku, prosedur operasional dan keamanan karyawan. CSR adalah tanggungjawab dari pengusaha, para direktur maupun manager disamping tugas untuk memenuhi keinginan pemilik atau pemegang saham, yaitu keuntungan perusahaan tetapi juga melakukan hal yang serupa terhadap pemangku kepentingan dari perusahaan (Sacconi, 2006). Selanjutnya sebagai pola CSR yang konsisten, perusahaan harus melakukan lebih dari apa yang dipersyaratkan/diatur dalam perundang-undangan maupun peraturan Pemerintah mengenai penanganan aspek lingkungan, keselamatan dan kesehatan pekerja, berinvestasi dalam komunitas dimana perusahaan beroperasi. Dengan demikian, perusahaan harus secara konsisten mengurangi dampak emisinya terhadap mutu udara maupun air dan secara rutin mengurangi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan para karyawannya, serta berinvestasi kepada masyarakat disekitar lokasi perusahaan lebih dari yang dipersyaratkan
32 untuk memperoleh ijin operasi dari masyarakat sekitar dalam bentuk pembangunan jalan, pembangunan sarana sekolah, pelayanan kesehatan atau juga bantuan subsidi terhadap pengembangan seni masyarakat, (Portney, diacu dalam Hay et al., 2005). Istilah CSR dan Pembangunan Berkelanjutan adalah saling berkait, bahkan istilah keduanya dapat dipertukarkan (Hay et al., 2005). Bahkan CSR dikatakan sebagai suatu konsep pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development (Permana, 2008)). Keberlanjutan disini didefinisikan sebagai kapasitas penampung dari ekosistem untuk mengasimilasikan pemborosan agar tidak sampai berkelebihan. Dan rataan hasil dari sumber daya yang terbaharui tidak akan berlebihan pada rataan generasi (World Bank Group, diacu dalam Rudito et al., 2004). Indikator keberlanjutan didefinisikan sebagai indikator yang memberikan informasi secara langsung atau tidak langsung mengenai viabilitas di masa mendatang dari berbagai level tujuan (sosial, ekonomi dan lingkungan) (Senanayake, 1991). Sedangkan indikator untuk menilai keberlanjutan menurut Walker and Reuter (1996) dibagi dalam dua tipe, yaitu : (1) indikator kondisi yang mendefinisikan kondisi sistem relatif terhadap kondisi yang dapat digunakan untuk menilai lingkungan; dan (2) indikator trend yang menggambarkan seluruh kecenderungan linear dari suatu keadaan sumberdaya selama periode simulasi. Partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah dengan mengembangkan program kepedulian perusahaan kepada
masyarakat
disekitarnya
(Ambadar,
2008).
Berkesinambungan
(berkelanjutan) menurut pandangan Rasmussen (1996) juga adalah berarti berpikir kesamping dan disekitar persimpangan-persimpangan, tidak hanya ke atas dan ke bawah dalam hierarki, atau ke depan dan ke belakang dalam pengertian kita yang biasa tentang waktu dan sejarah. Berarti berkelanjutan dalam konteks CSR perusahaan harus memperhatikan masyarakat di sekitar perusahaan (disamping) sebagai mitra yang berada di samping lokasi perusahaan, sebagai bagian dari pemangku kepentingan perusahaan (stakeholders). Sebagaimana dikemukakan CSR dari dunia usaha atau perusahaan memiliki ciri-ciri spesifik, sesuai dengan
33 jenis usaha (manufaktur, jasa, perkebunan, pertambangan dan energi), besarnya perusahaan, financial performance, sensitivitas perusahaan, umur perusahaan, serta luas cakupan wilayah operasinya. Ciri-ciri spesifik tersebut berpengaruh terhadap klasifikasi tanggungjawab sosial, yang digambarkan dari jenis program, besaran anggaran, serta luas cakupan wilayah tanggungjawab sosialnya, baik dalam melayani kepentingan internal organisasi maupun kepentingan eksternal organisasi yaitu publik atau masyarakat luas (Depsos, 2005). Prinsip dasar dunia usaha dalam pelaksanaan CSR (Depsos, 2005) adalah : 1. Interdependensi antar pemangku kepentingan 2. Pemberdayaan 3. Partisipatif 4. Keswadayaan/kemandirian 5. Kepakaran 6. Prioritas 7. Menghargai keberagaman dan Hak Azasi Manusia atau HAM (diversity) 8. Good employee rsosialonship 9. Saling menguntungkan 10. Terpadu (peningkatan mutu lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat) 11. Good international rsosialonship 12. Praktek pasar yang terpercaya 13. Taat kepada peraturan yang berlaku terutama pajak (fiscal responsibility) 14. Akuntabilitas usaha (auditing, monitoring dan reporting) 15. Terukur (measurable) 16. Transparan Dalam menjalankan aktivitas CSR, tidak ada standar atau praktek-praktek tertentu yang dianggap terbaik. Setiap perusahaan memiliki karakteristik dan situasi unik yang berpengaruh terhadap bagaimana memandang tanggungjawab sosial. Implementasi CSR yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan sangat bergantung kepada misi, budaya, lingkungan dan profil risiko (Susanto, 2007). Meskipun tidak terdapat standar atau praktek-praktek tertentu yang dianggap terbaik dalam pelaksanaan aktivitas CSR, namun kerangka kerja (frame work) yang luas dalam pengimplementasian CSR masih dapat dirumuskan, yang didasarkan pada pengalaman dan juga pengetahuan dalam bidang-bidang seperti manajemen lingkungan (Susanto, 2007).
34 Pada saat ini, CSR yang dilaksanakan umumnya masih merupakan kegiatan bersifat pengabdian kepada masyarakat ataupun lingkungan yang berada tidak jauh dari lokasi tempat dunia usaha melakukan kegiatannya, dan sering kali kegiatannya belum dikaitkan dengan tiga elemen yang menjadi kunci dari pembangunan berkelanjutan (triple bottom lines), yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Kondisi utama yang harus ada dalam melaksanakan CSR berkelanjutan adalah : 1. Perusahaan haruslah sehat dan tumbuh (Permana, 2008). Artinya perusahaan harus dapat memliki profit yang cukup untuk melakukan CSR. 2. Program CSR baru dapat menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri (Lesmana, 2006). Dengan demikian, perlu ada dialog dengan para stakeholders untuk memahami kebutuhan dan keinginannya (Bronchain, 2003). 3. Outcome/result CSR yang terukur/measurable (The Chartered Quality Institute, 2008). 4. Harus memiliki sistem management yang dapat mampu mencakup (mengcover), sehingga CSR dapat mencapai tujuan yang diinginkan (The Chartered Quality Institute, 2008) 5. Menerapkan prinsip triple bottom line (profit, people dan planet), sehingga program CSR ada kaitannya dengan operasional dan tujuan perusahaan, sehingga semuanya berjalan sustainable (Permana, 2008). Perusahaan harus berorientasi untuk mencari keuntungan yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang (profit), perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia (People) dan perusahaan harus peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. (Suharto, 2006). Dalam pandangan Asia, CSR adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi dengan mencapai keberlanjutan dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dan mencapai keseimbangan kepentingan pemangku kepentingan (Fukukawa, 2010)
35 6. Memasukkan CSR dalam bisnis inti dan proses organisasi (Pratomo, 2008). Dalam hal ini mengetahui indeks keberkelanjutan dalam aktivitas CSR perlu melakukan penilaian terhadap aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan (Munasinghe, 1993),
serta diidentifikasi atribut-atribut dari masing-masing
aspek atau dimensi. 2.2 Komitmen terhadap CSR Komitmen terhadap CSR adalah instrumen-instrumen yang dibangun oleh sebuah perusahaan yang mengindikasikan apa yang ingin dilakukan dalam rangka memberi perhatian terhadap pengaruh sosial dan lingkungannya (Susanto, 2007). Komitmen ini mengkomunikasikan sifat dan arah dari aktivitas sosial dan lingkungan, sehingga membantu pihak lain memahami bagaimana perilaku perusahaan dalam situasi-situasi tertentu. Dengan adanya komitmen CSR, menjadi jelas bagi pihakpihak lain mengenai apa yang bisa diharapkan dari perusahaan. Dengan mengartikulasikan ekspektasi ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahpahaman. Komitmen CSR dapat memperbaiki mutu keterlibatan perusahaan dengan pihak-pihak dimana mereka melakukan interaksi (Susanto, 2007). Komitmen CSR harus dituangkan ke dalam pernyataan dengan bahasa yang tegas dan harus berisi kewajiban-kewajiban dengan kata-kata yang jelas dan ringkas (Susanto, 2007). CSR harus dapat diimplementasikan. Implementasi mengacu kepada keputusan, proses, praktek, dan aktivitas keseharian yang menjamin bahwa perusahaan memenuhi semangat dan menjalankan rencana tertulis yang telah disusun. 2.3 CSR, Etika Bisnis dan Good Corporate Governance (GCG) Pada dasarnya CSR, Etika bisnis, dan Tata Kelola Perusahaan yang Baik atau Good Corporate Governance saling berkaitan satu sama lain. CSR berkaitan, namun tidak identik dengan etika bisnis. CSR berkaitan dengan tanggungjawab ekonomi, legal, ethical, dan discretionary, sedangkan etika bisnis fokus kepada pertimbangan moralitas dan perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. Sehingga etika bisnis dipandang sebagai komponen dari studi yang lebih luas dari CSR. Sedangkan
36 Good Corporate Governance (GCG) adalah alat dalam melaksanakan etika bisnis (Kurniaty, 2008). 2.4 Industri Otomotif Indonesia saat ini sedang dalam proses pembangunan diberbagai sektor, termasuk industri otomotif. Industri Otomotif memainkan peranan penting dalam proses pembangunan berkelanjutan. Berbagai type kendaraan telah dihasilkan meliputi jenis sedan, 4x2 (Multi Purpose Vehicle/MPV), 4x4 (Sport Utility Vehicle/SUV), Bus, Pick Up/truck, dan Kabin Ganda (double cabin) 4x2/4x4 sesuai dengan katagorisasi SNI 09-1825-2002 (Gaikindo, 2008). Pengertian dari masing-masing jenis kendaraan tersebut adalah : 1. Sedan Dalam bahasa Inggris versi American English disebut sedan, sedangkan dalam bahasa Inggris versi British English: saloon, adalah salah satu dari body style yang paling umum dari mobil modern. Pada dasarnya merupakan mobil penumpang dengan dua baris tempat duduk dengan ruang penumpang yang cukup memadai dibagian ruang belakang untuk penumpang dewasa. Umumnya memiliki ruangan terpisah untuk bagasi. Beberapa produsen mobil membuat mobil yang penempatan mesinnya dibagian belakang, seperti Volkswagen (VW) misalnya. Berbagai jenis sedan yang dibuat adalah jenis model 4 pintu dan model 2 pintu. Jenis sedan dibagi dalam beberapa kategori yaitu (a) Cylinder Capacity (CC) ≤ 1.500 baik berbahan bakar bensin (Gasoline = G) ataupun Solar (Diesel = D), (b) CC 1.501 – 3.000 (G) / 2.500 (D) dan (c). CC > 3.001 (G) / 2.501 (D) 2. 4 x 2 Multi Purpose Vehicle/MPV MPV dikenal sebagai mobil penumpang. Jenis kendaraan ini memiliki jarak tinggi antara body dengan tanah. Suatu MPV yang besar dapat menampung lebih dari 8 penumpang. Jenis yang dikenal adalah minibus. Jenis ini dibagi menjadi beberapa kategori yaitu (a) CC ≤ 1.500 (G/D) dan (b) CC 1.501 – 2500 (G/D) 3. 4 x 4 Sport Utility Vehicle/SUV SUV merupakan kendaraan berkemampuan off-road dengan empat roda penggerak kendaraan (four-wheel drive) dan mampu melintasi segala medan
37 dengan body yang tinggi dan boxy. Jenis ini dibagi menjadi (a)
CC ≤ 1.500
(G/D), (b) CC 1.501 – 3.000 (G) / 2.500 (D) dan (c). CC > 3.001 (G) / 2.501 (D) 4. Bus Bus adalah kendaraan besar beroda yang digunakan untuk membawa penumpang dalam jumlah besar. Jenis ini dibagi menjadi (a). Gross Vehicle Weight (GVW) 5 – 10 Ton (G/D) dan (b). GVW 10 – 24 Ton (G/D) 5.
Pick Up/Truck Pick up adalah kendaraan bermotor jenis ringan (light) dengan memiliki bak terbuka dibagian belakang yang terpisah dengan kabin penumpang dan mampu mengangkat barang-barang. Truck adalah kendaraan yang digunakan untuk mengangkut barang-barang dan material. Jenis ini dibagi menjadi (a). Gross Vehicle Weight (GVW) < 5 (G/D), (b). GVW 5 – 10 Ton (G/D), (c) GVW 10 – 24 Ton (G/D) dan (d) GVW > 24 Ton (G/D)
6. Kabin Ganda (double cabin) 4 x 2/4 x 4 Kendaraan Double Cabin adalah kendaraan bermotor dengan kabin ganda dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang (termasuk pengemudi), dengan massa total tidak lebih dari 5 ton. Jenis ini meliputi GVW < 5 Ton (G/D) for all cc Untuk mencapai industri otomotif berkelanjutan, maka aspek ekonomi, sosial dan lingkungan perlu diperhatikan dan diseimbangkan. Tidak dapat industri otomotif hanya memperhatikan sektor ekonomi dan sosial, karena aspek lingkungan menjadi penentu pula dalam pembangunan industri otomotif berkelanjutan. Gambar 2 menjelaskan pengaruh otomotif terhadap lingkungan (Graedel et al., diacu dalam Ayres and Ayres, 2002)
38
Social structure (e.g. dispersed communities and businesses, malls)
Infrastructure technologies . built infrastructure (e.g. highway) . supply infrastructure (e.g. petroleum industri)
The automobile . manufacture .use . recycle
Automobile Subsystem (e.g. the engine)
Gambar 2. Diagram sistem teknologi otomotif (Graedel et al., diacu dalam Ayres and Ayres, 2001) Gambar 2 menunjukkan pengaruh dari keberadaan otomotif yang diproduksi oleh pabrikan yang berdampak terhadap phase proses produksi, penggunaan, proses daur ulang sampai kepada phase ketersediaan infrastruktur jalan dan jembatan, hingga kepada perubahan struktur sosial seperti persebaran komunitas, mal-mal, kegiatan perekonomian dan sebagainya. Pengaruh terbesar dari otomotif terhadap lingkungan bukannya pada lingkaran terkecil, yaitu mesin kendaraan maupun limbah yang dikeluarkan oleh pabrik mobil, namun justru pada pengaruhnya terhadap penyebaran masyarakat dalam skala wilayah maupun kegiatan usaha masyarakat, termasuk didalamnya penyebaran pusat-pusat perbelanjaan atau mal-mal dan sebagainya. Industri otomotif secara global amat beragam dan meliputi berbagai segmen produk seperti engine parts, drive trasmission and steering parts, suspension & braking parts, electrical parts dan komponen kendaraan lainnya. Industri otomotif meliputi produsen dan dealer dari berbagai jenis kendaraan mulai dari luxury cars, passenger
39 cars, specialist vehicles, off-road vehicles, aksesories dan komponen kendaraan, produk perlindungan kendaraan (car care products), environment and safety equipment, garage and service equipment, moulds and dyes, oils and libricants, petrol vending machines, tires, batteries and auto electrical, upholsteries dan banyak lagi. Mobil itu sendiri juga membuat orang dapat bepergian dan mengangkut barangbarang lebih jauh dan lebih cepat dan telah membuka pasar yang lebih besar untuk bisnis dan komersial. Berbagai industri yang mendukung industri otomotif seperti perusahaan asuransi, security, petroleum, industri disain dan konstruksi jalan raya. Selain itu dampak yang timbul akibat mobilitas yang disediakan oleh mobil adalah seperti motels, drive-in theathers dan fast-food restaurant. Sedemikian besar dampak yang ditimbulkan oleh industri otomotif yang diestimasikan bahwa setiap pekerjaan yang tercipta di industri perakitan mobil, tiga dari empat jenis pekerjaan tercipta dari industri komponen kendaraan (Williams, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa industri otomotif membuka kesempatan besar bagi terciptanya peluang usaha dari industri komponen kendaraan. Sehingga bentuk tanggungjawab industri otomotif dalam hal keterkaitan antara mobilitas dengan ekonomi dan pembangunan sosial dapat diwujudkan dalam bentuk seberapa besar teknologi maupun bahan baku yang dapat di pasok yang merupakan produk lokal, serta berupaya menguak segala perbedaan antara standar lokal dan global serta kinerjanya, dan semakin merekatkan diri dengan pemasok lokal. Adapun komitmen umum dari industri otomotif adalah bertanggungjawab atas seluruh mutu kehidupan sosial di wilayah dimana perusahaan beroperasi (UNEP, 2002). Industri otomotif dapat memberikan kesempatan untuk memasok komponen mobil kedalam industri otomotif kepada masyarakat agar dapat membuka lapangan kerja yang banyak bagi masyarakat sekitar dan mampu meningkatkan pendapatan. Demikian pula sektor-sektor pendukung industri otomotif berpeluang dapat menyertakan masyarakat sekitar untuk mengelolanya dalam bentuk usaha-usaha kecil seperti catering, pengelolaan limbah pabrik, usaha cleaning service dan sebagainya. Industri otomotif pada dasarnya menempati posisi strategis dalam pembangunan nasional. Dengan adanya globalisasi dan pertumbuhan ekonomi telah mendorong meningkatnya mobilitas dan motorisasi. Mobilitas itu sendiri merupakan kebutuhan dasar
40 manusia dan merupakan fasilitator utama dari pembangunan ekonomi dan mutu kehidupan. Akses terhadap mobilitas, khususnya di negara berkembang berarti akses tehadap pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. Demikian juga berarti akses kepada pemenuhan kebutuhan barang dan jasa, kesenangan dan kesempatan terhadap aktivitas ekonomi, sosial dan budaya (UNEP, 2002). Sedemikian penting posisi industri otomotif sebagai penghasil kendaraan bermotor (mobil), sehingga pembangunan industri otomotif berkelanjutan amat diperlukan. Dalam menjalankan aktivitasnya industri mobil sebagai pemangku kepentingan dari pembangunan nasional berkelanjutan diperlukan peran aktif dalam kegiatan lebih dari sekedar mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan shareholders, artinya perusahaan perlu bertanggungjawab terhadap masalahmasalah sosial yang timbul lebih daripada yang dipersyaratkan. Aspek paling kritikal yang merupakan side effect atau efek samping dalam upaya meningkatkan mobilitas adalah berkaitan dengan lingkungan (environment), dimana, environmental performance is at the core of corporate best practice with regard to sustainable development (UNEP, 2002), atau aspek lingkungan merupakan faktur penentu dalam industri otomotif untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Meskipun tidak mengurangi tingkat kepentingan dari kedua aspek lain (ekonomi dan sosial). Saat ini kota Jakarta mendapat julukan sebagai kota nomor tiga terparah tingkat polusi CO2-nya di dunia, hal ini diakibatkan sebagian besar oleh emisi gas buang kendaraan bermotor. Hal ini amat merugikan bagi kesehatan masyarakat, khususnya kota Jakarta. Menurut artikel di harian Kompas tanggal 30 November 2007 terdapat tulisan yang merupakan hasil survei dari kerjasama Yayasan Pelangi, Organda DKI, ADB, Dinas Perhubungan, DKI, BPS DKI ditemui kerugian akibat dari kemacetan di bulan Maret 2007 mencapai Rp. 43 triliun. Keadaan ini merupakan permasalahan yang timbul sebagai fakta dari penggunaan kendaraan bermotor yang merupakan produk dari industri otomotif. Tentu hal ini berakibat menjadikan industri otomotif menjadi tidak berkelanjutan. Upaya untuk mengurangi dampak emisi gas buang kendaraan bermotor adalah dengan memberlakukan standar emisi gas buang sebagaimana yang telah diberlakukan saat ini sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
41 4 Tahun 2009 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru berikut. Tabel 2. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M dan N Berpenggerak Motor Bakar Cetus Api Berbahan Bakar Bensin No. 1.
Kategori (1) M1, GVW ≤ 2,5 ton, tempat duduk ≤, tidak termasuk tempat duduk pengemudi
Parameter CO HC + Nox
Nilai Ambang Batas 2,2 gram/km 0,5 gram/km
2.
M1, Tempat duduki 6-8 tidak termasuk tempat duduk pengemudi, GVW > 2,5 ton atau N1, GVW ≤ 3,5 ton a. Kelas 1, RM ≤ 1.250 kg
CO HC + Nox
2,2 gram/km 0,5 gram/km
b. Kelas II, 1250 kg < RM ≤ 1.700 kg
CO HC + Nox
4,0 gram/km 0,6 gram/km
c. Kelas III, RM > 1.700 kg
CO HC + Nox
5,0 gram/km 0,7 gram/km
Keterangan : (1)
:
Dalam hal jumlah penumpang dan GVW tidak sesuai dengan pengkategorian tabel di atas, maka nilai ambang batas mengacu kepada pengkatagorian GVW
GVM :
Gross Vehicle Weight adalah jumlah berat yang diperbolehkan (JBB)
RM M1
: :
Reference Mass adalah berat kosong kendaraan ditambah massa 100 kg Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai tidak lebih dari delapan tempat duduk (tidak termasuk tempat duduk pengemudi).
N1
:
Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) tidak lebih dari 0,75 ton
N2
:
Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 3,5 tetapi tidak lebih dari 12 ton
N3
:
Kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai jumlah berat yang diperbolehkan (GVW) lebih dari 12 ton.
42 Pada dasarnya untuk lingkup internasional, penetapan ambang batas yang dijadikan standar international adalah mengacu pada standar Euro. Berikut adalah standar uji emisi yang berlaku secara international yang diadopsi oleh Indonesia dan telah diberlakukan di Eropa, dan masa diberlakukannya (Wikipedia, 2009) berikut. Tabel 3. Tabel Ambang Batas Emisi menurut standar EURO (gasoline) Tier
Date
CO
HC NOx
HC+NOx
PM
Euro 1†
July 1992
2,72 (3.16)
-
-
0,97 (1,13)
-
Euro 2
January 1996
2,2
-
-
0,5
-
Euro 3
January 2000
2,3
0,2 0,15
-
-
Euro 4
January 2005
1,0
0,1 0,08
-
-
Euro 5
September 2009
1,0
0,1 0,06
-
0,005**
Euro 6 (future) September 2014
1,0
0,1 0,06
-
0,005**
* Before Euro 5, passenger vehicles > 2.500 kg were type approved as light commercial vehicle N1 – I ** Applies only to vehicles with direct injection engines † Values in brackets are conformity of production (COP) limits
Dari Tabel 3 telihat bahwa Eropa telah menerapkan ketentuan mengenai ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lebih dulu dan jauh lebih ketat dari yang diberlakukan di Indonesia. Saat ini Indonesia baru menerapkan aturan tersebut yang sesuai dengan Euro 2 dalam ketentuan Eropa. 3. CSR Industri Otomotif Sesuai dengan konsepnya CSR adalah kewajiban perusahaan memaksimalkan dampak positif dan meminimalisasikan dampak negatif dalam berkontribusi kepada masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan jangka panjang masyarakat, serta keinginannya. CSR berarti berperan dalam ekonomi masyarakat dan sumber daya manusia atau SDM (Journal of Consumer Marketing (2001), diacu dalam Talaei and
43 Nejati, 2008). Kewajiban dari perusahaan adalah kepada pemangku kepentingan. Kewajiban ini melampaui persyaratan legal dan tugas perusahaan kepada pemegang saham. Pemenuhan kewajiban ini adalah dengan meminimalisasi dampak negatif, serta segala bentuk kerugian dan memaksimalkan dampak menguntungkan secara jangka panjang kepada masyarakat (Bloom and Gundlach (2001), diacu dalam Talaei and Nejati, 2008). Dalam CSR terdapat 4 dimensi yang diidentikkan dengan pembangunan berkelanjutan, karena CSR berkaitan erat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Talaei and Nejati, 2008). Bahkan CSR is the ultimate level toward sustainable development. Unsur-unsur CSR yang dikemukakan Carroll (2000) adalah dimensi
Discretionary
Responsibilities
(tanggungjawab
yang
bersifat
kebijakan/sukarela), Ethical Responsibilities (tanggungjawab untuk berlaku etis dalam berbisnis), Legal Responsibilities (tanggungjawab untuk mentaati segala peraturan yang berlaku) , Economic Responsibilities (tanggung jawab ekonomi) telah memenuhi aspek keberlanjutan (ekonomi, sosial dan lingkungan) dan identik dengan prinsip keberlanjutan. Keempat unsur CSR ini harus merupakan sesuatu yang terpadu tidak dapat terpisah-pisah. CSR harus memenuhi keempat unsur tersebut (Gambar 3).
Tanggungjawab Altruistik/discreation Tanggungjawab Moral Tanggungjawab Legal Tanggungjawab ekonomi
Gambar 3. Kategorisasi CSR
Sejak tahun 1991 istilah kategori keempat yaitu
Discretionary Responsibilities
diganti menjadi corporate citizenship (Solihin, 2009). Corporate citizenship yang baik adalah dapat dirumuskan sebagai suatu pemahaman dan pengelolaan atas pengaruh perusahaan secara luas terhadap masyarakat untuk kebaikan perusahaan dan masyarakat secara keseluruhan (Marsden and Andrioff (1998), diacu dalam Solihin, 2009)
44 Atribut-atribut dari tiap-tiap dimensi tersebut dalam industri otomotif (Talaei and Nejati, 2008) adalah : 1. Dimensi tanggungjawab Ekonomi (Novak (1996), diacu dalam Talaei and Nejati, 2008) Hal ini adalah berupaya menguntungkan principals dengan cara memberikan barang yang bermutu baik dengan harga fair kepada pelanggan, dengan tanggung jawab ekonomi direalisasikan dalam bentuk : a. Satisfying Customers (tingkat kepuasan pelanggan) adalah kepuasan pelanggan terhadap produk (unit kendaraan) yang sesuai dengan nilainya. b. Fair rate return (tingkat pengembalian yang fair) Untuk memperoleh return yang fair atas dana-dana yang dipercayakan oleh investor untuk ditanam di perusahaan. c. Poverty eradication (pengentasan kemiskinan) menciptakan kesejahteraan yang baru. Yaitu misalnya memperbesar jumlah saham yang ditanam di institusi nonprofit yang dimiliki oleh
sosial, dan menolong mengangkat dari kemiskinan
dengan peningkatan upah. d. Creating new jobs atau lapangan kerja yang tercipta. e. Diversity citizens economic interests atau keragaman tingkat kepentingan ekonomi dari masyarakat. f. Generating upward mobility (tingkat mobilitas semakin meningkat) adalah mengupayakan kepentingan umum demi mengedepankan mobilitas dan memberikan perasaan kepada masyarakat bahwa kondisi ekonominya akan membaik. g. Promote
innovation
(pengembangan
inovasi),
yaitu
frekuensi
dalam
pengembangan model yang tercipta, perbaikan dalam metode produksi dan besarnya saran-saran perbaikan metode kerja dari karyawan. 2. Dimensi tanggung jawab Legal Aktivitas bisnis yang bermoral yaitu mentaati hukum dan perundang-undangan. Namun
hukum
memiliki
keterbatasan
untuk
meyakinkan
perilaku
yang
bertanggungjawab. Bisnis cenderung untuk reaktif terhadap adanya berbagai aturan-
45 aturan dalam hukum, bukannya proaktif untuk melakukan apa yang diinginkan hukum, maka difokuskan bukan seberapa besar perusahaan mentaati aturan hukum yang berlaku, namun seberapa tinggi tingkat pelanggaran terhadap hukum yang dilakukan oleh perusahaan. 3.Dimensi tanggungjawab Ethical (Smith and Quelch (1993), diacu dalam Talaei and Nejati, 2008). Dimensi ini melampaui hukum dan mencakup aspek moral, melakukan hal yang benar, adil dan fair, menghormati hak-hak moral masyarakat, menghindari kejahatan dan gangguan sosial, serta mencegah kejahatan akibat halhal lain. Tanggungjawab etika ini lebih bersumber kepada agama dan kepercayaan, tradisi moral, prinsip-prinsip kemanusiaan dan komitmen terhadap hak azasi manusia (Novak (1996), diacu dalam Talaei and Nejati, 2008). Tanggungjawab etika lebih merupakan tanggung jawab sosial. 4. Dimensi tanggungjawab Altruistik atau mementingkan kepentingan orang lain adalah memberikan waktu dan dana untuk pelayanan sukarela, kumpulan sukarela dan pemberian sukarela (discretionary). Dimensi ini lebih menekankan bahwa tujuan perusahaan bukan hanya bertujuan kepentingan ekonomi dan kinerja moralnya, tetapi juga kontribusi terhadap masyarakat (sosial). Sebagaimana dikatakan oleh Henry Ford II yang mengatakan bahwa isi kontrak antara industri dan masyarakat telah berubah bahwa industri juga memiliki kewajiban berkontribusi kepada masyarakat tanpa transaksi komersial (Talaei and Nejati, 2008). Indikator-indikator dari tiap-tiap dimensi tanggungjawab korporat dalam industri otomotif merupakan indikator CSR untuk mengukur komitmen perusahaan dalam industri otomotif terhadap tanggungjawab sosial. Indikator ini dapat diadaptasi dengan modifikasi tertentu untuk memenuhi kebutuhan dan kondisi pada perusahaan otomotif di tempat lain atau negara lain (Talaei and Nejati, 2008). Pada dasarnya terdapat 4 macam pendekatan tentang tanggungjawab perusahaan terhadap masyarakat atau CSR, yaitu : 1. Corporate Social Performance (CSP), sebuah teori berbasis sosiologi
46 2. Shareholder Value Theory atau Fiduciary Capitalism, yang lebih kepada teori ekonomi 3. Stakeholders Theory, tinjauan dalam perspektif etika. 4. Corporate Citizenship Theory, sebuah tinjauan dalam studi politik CSP adalah konfigurasi dalam organisasi bisnis terhadap prinsip-prinsip tanggung jawab sosial, proses dari respons terhadap persyaratan sosial, dan kebijakankebijakan, program-program dan hasil yang berwujud yang merefleksikan hubungan atau relasi perusahaan kepada masyarakat (Wood (1991), diacu dalam Crane et al., 2008). Dalam menentukan tanggungjawab secara spesifik dalam CSP maka perhatian terhadap ekspektasi sosial berkaitan dengan kinerja perusahaan dan concern terhadap kebutuhan sosial (Mele (2008), diacu dalam Crane et al., 2008). Bisnis memiliki power dan power tersebut mempersyaratkan tanggungjawab. Masyarakat memberikan lisensi kepada perusahaan dalam hal ini
industri otomotif untuk beroperasi di
wilayahnya dan sebagai konsekuensinya, perusahaan harus melayani masyarakat bukan hanya kepada penciptaan kemakmuran, tetapi juga kontribusi kepada kebutuhan masyarakat dan memuaskan ekspektasi masyarakat terhadap bisnis (Mele (2008), diacu dalam Crane et al., 2008). Reputasi perusahaan adalah berkaitan dengan penerimaan dari masyarakat dimana perusahaan beroperasi (Lewis (2003), diacu dalam Crane et al., 2008). Dalam pendekatan CSP ini terdapat tiga tingkatan atau level dalam melaksanakan CSR, meliputi level berikut, 1. Institutional 2. Organizational 3. Individual Untuk melakukan evaluasi terhadap CSP dilakukan berdasarkan tingkatan Reactive, Defensive, Accomodative, dan Proactive (RDAP) sebagaimana dikemukakan Wartick and Cochran (1985), Carroll (1979), diacu dalam Clarkson (1995). Skala RDAP tersebut adalah seperti dimuat pada tabel 4.
47 Tabel 4. Skala RDAP No.
Rating
Posture or Strategy
Performance
1
Reactive
Deny Responsibility
Doing less than required
2
Defensive
Admit Responsibility but fight it
Doing the least that is required
3
Accomodative
Accept Responsibility
Doing all that is required
4
Proactive
Anticipate responsibility
Doing more than is required
Carroll (1979), diacu dalam Clarkson (1995) merinci lagi atas hal berikut : 1. Fight all the way (Reactive) 2. Do only what is required (Defensive) 3. Be progressive (Accommodative) 4. Lead the industry (Proactive) Pengertian masing-masing Rating adalah : Reactive yang bersifat menunggu dan tidak melakukan apa-apa, kalau terdesak baru bertindak, merasa tidak betanggungjawab; Defensive lebih mengarah ke diri sendiri, bertindak (melaksanakan tanggungjawab) asal menguntungkan perusahaan dalam jangka pendek, sekedar memenuhi aturan yang ada; Accomodative bersifat terbuka dan mulai mempertimbangkan masukan dari luar tanpa tergantung lagi terhadap ada tidaknya keuntungan perusahaan dalam jangka pendek, lebih bertanggungjawab terhadap masalah-masalah
sosial yang ada.
Sedangkan Proactive justru menjadi pelopor dan pemimpin dalam melakukan kegiatan sosial, peka terhadap masalah-masalah sosial yang ada. Menurut pendapat Tunggal (2008), strategi reaktif adalah strategi kepekaan sosial, yaitu perusahaan memilih untuk berbuat kurang dari apa yang diharapkan masyarakat dan mengabaikan tanggungjawab atas masalah, Strategi defensif adalah strategi kepekaan sosial, yaitu perusahaan memilih mengakui tanggungjawabnya atas suatu masalah tetapi melakukan usaha terkecil untuk memenuhi harapan masyarakat, strategi akomodatif adalah strategi kepekaan
sosial, yaitu perusahaan memilih
menerima tanggungjawab atas masalah dan melakukan semua yang diharapkan masyarakat untuk memecahkan persoalan dan strategi proaktif adalah strategi kepekaan
sosial, yaitu perusahaan akan mengantisipasi tanggungjawab atas masalah
48 sebelum terjadinya dan akan berusaha lebih dari apa yang diharapkan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan. 2.6. Lokasi pabrik dan dampaknya terhadap masyarakat Praktek dalam melaksanakan CSR seiring dengan proses pengembangan industri otomotif di Indonesia yang merupakan perusahaan multi nasional harus diiringi kesadaran adanya kesempatan memeratakan kesejahteraan. Komitmen ini selayaknya diterjemahkan dengan menempatkan perusahaan sebagai tetangga yang baik dengan komitmen penuh pada upaya peningkatan kesejahteraan komunitas dan pelestarian lingkungan (Amri dan Sarosa, 2008). Hal ini dapat dilihat dari lokasi dimana perusahaan itu berada. Lokasi pabrik otomotif dapat berlokasi di dalam suatu kawasan industri atau diluar kawasan industri. Bila industri berada dilokasi diluar kawasan industri, maka masalah tata ruang dan bangunan lain disekitarnya akan menjadi pertimbangan. Kehadiran industri otomotif disuatu tempat yang bukan didalam suatu areal kawasan industri akan mengakibatkan perubahan peruntukan lahan dan mempengaruhi pola pemanfaatan lahan dan ruang sebelumnya (Kemeneg LH, 2007). Masalah tersebut tidak akan muncul, bila pabrik terletak di kawasan industri yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Apabila lokasi pabrik tidak terletak dikawasan industri, tetapi justru dikawasan padat penduduk, maka pabrik berpotensi menggangu tingkat kenyamanan kawasan. Gangguan tersebut khususnya diakibatkan oleh aktivitas pabrik dan lalu lalangnya kendaraan pabrik. Juga adalah lalu lalang produk mobil jadi yang dikirim keluar pabrik ke daerah pemasarannya. Berbagai manfaat yang dapat dirasakan terhadap industri yang berada dalam kawasan industri (BPPT, 2004) antara lain adalah : 1. Terdapat suatu sosial manajemen Badan Usaha Kawasan Industri atau KI yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan di Kawasan Industri tersebut. 2. KI dibangun pada lahan kritis yang telah terencana dengan baik dalam suatu master plan yang dikaitkan dengan tata ruang wilayah setempat, sehingga tidak menimbulkan konflik dengan lingkungan sekitar.
49 3. Setiap KI dilengkapi dengan fasilitas pengolahan air limbah (waste water treatment plant), dimana semua air limbah pabrik dinetralisir terlebih dahulu, sebelum dialirkan kembali ke sungai, sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. 4. Membuka kesempatan kerja sekitar 5. Masyarakat di sekitar tidak akan terganggu aktivitas pabrik karena dalam AMDAL dan site plan telah menetapkan sistem buffer zone. 6. Masyarakat sekitar dapat memanfaatkan fasilitas sosial dan fasilitas umum (masjid, lapangan olah raga dan sebagainya) yang dipersiapkan oleh pengelola KI. Dampak kehadiran suatu industri terhadap masyarakat sekitar menurut Usman (2006) adalah meliputi keresahan sosial, konflik (benturan), integrasi sosial dan kelestarian nilai-nilai sosial. Keresahan sosial ditandai dengan protes yang dilakukan oleh penduduk lokal (tertulis atau lisan), demonstrasi dan gerakan-gerakan politik lainnya yang dilandasi oleh ketidakpuasan. Konflik (benturan) dalam kajian dampak lingkungan meliputi hubungan di antara penduduk lokal, antar penduduk lokal dan pendatang, serta antar pendatang. Apabila konflik semacam itu sering terjadi, dampak suatu usaha atau kegiatan adalah negatif. Sebaliknya, apabila jarang terjadi (bahkan hampir tidak pernah), dampaknya adalah nol. Selanjutnya konflik dapat juga diidentifikasi dari keberadaan organisasi kemasyarakatan (keagamaan, olah raga, kesenian, dan lain-lain). Apabila organisasi kemasyarakatan tersebut hanya didominasi oleh pendatang, sedangkan penduduk lokal berada dipinggiran atau bahkan tidak terlibat sama sekali, berarti dampaknya adalah negatif. Dapat pula diidentifikasi dari keberadaan media (tradisional dan modern) yang memungkinkan terjalinnya interaksi antara penduduk asli dan pendatang. Apabila media semacam itu tidak berkembang, dampaknya adalah negatif. Sedangkan kelestarian nilai-nilai kultural dapat diidentifikan dari keberadaan upacara keagamaan, upacara adat dan upacara ”siklus kehidupan” (berkaitan dengan kelahiran, perkawinan dan kematian). Apabila upacara-upacara semacam itu terganggu atau semakin terabaikan, dampaknya negatif apabila masih dapat dilestarikan dampaknya nol (Usman, 2006).
50 Kerekatan sosial (social cohesion) menurut Council of Europe adalah kemampuan masyarakat untuk menjamin kesejahteraan anggota-anggotanya dalam jangka panjang, termasuk menjamin akses yang adil terhadap berbagai sumber daya yang tersedia, dengan penghargaan terhadap kehormatan manusia dan perbedaanperbedaan yang ada, penghargaan terhadap otonomi individu dan kelompok, serta partisipasi yang bertanggung jawab dalam urusan-urusan bersama (Amri dan Sarosa, 2008). Kehadiran industri otomotif dalam hal ini dapat mempengaruhi terhadap kerekatan sosial (social kohesion) pada masyarakat disekitar lokasi perusahaan berada. Indikator untuk mengukur kerekatan sosial tersebut menurut
Amri dan
Sarosa (2008) adalah meliputi : 1. Apakah terjadi perasaan terkucil (isolation) atau perasaaan menjadi bagian dari komunitas tersebut (belonging). 2. Apakah ada hak yang sama (inclusion) atau timpang (exclusion) terhadap masingmasing anggota komunitas khususnya terhadap kesempatan dan akses terhadap sumber daya, pekerjaan dan layanan sosial/publik. 3. Apakah terjadi partisipasi atau keengganan partisipasi. 4. Ada perasaan dihargai atau tidak dihargai. 5. Kehadirannya dirasakan sah atau tidak sah. Budaya mempunyai dampak positif terhadap kerekatan sosial, dengan demikian kelestarian budaya juga menjadi bagian dari pengembangan masyarakat (ISO, 2007). Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keeratan sosial (social cohesion) menurut International Business Leaders Forum (IBLF), diacu dalam Amri dan Sarosa (2008) adalah : 1. Membantu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan mutu hidup. 2. Membangun kepercayaan dan rasa saling menghormati. 3. Memperkecil konflik, khususnya yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan 4. Membantu mengatasi kriminalitas. 5. Mendukung social entrepreneurs (wirausaha sosial) lokal. 6. Penyediaan layanan sosial dalam situasi-situasi sulit-misalnya bencana dan konflik.
51 7. Mendorong toleransi antar agama, entik, dan lain-lain. 8. Mendukung kegiatan budaya dan pemeliharaan warisan budaya. Dampak ekonomi dari kehadiran suatu industri terhadap masyarakat sekitar menurut Usman (2006) adalah pola usaha ekonomi, waktu kegiatan usaha ekonomi, dan kesempatan kerja. Pola usaha ekonomi adalah bentuk mata pencaharian penduduk lokal setelah kehadiran suatu usaha atau kegiatan. Apabila bentuk mata pencaharian menjadi bervariasi, dampaknya dapat dikatakan positif. Sebaliknya, apabila bentuk pencahariannya tidak berbeda dengan sebelumnya, dampaknya adalah nol. Waktu kegiatan ekonomi adalah jumlah jam kerja yang dihabiskan penduduk lokal untuk bekerja sesuai dengan mata pencahariannya. Apabila waktu yang dihabiskan lebih sedikit (dalam arti lebih efisien dan efektif) keberadaan usaha positif, bila lebih lama dampaknya negatif. Kesempatan kerja adalah jumlah lowongan yang disediakan oleh suatu usaha untuk penduduk lokal. Bila jumlah lowongan kerja (baik untuk tenaga kerja terlatih maupun tidak terlatih) yang disediakan banyak, dampaknya positif, sebaliknya bila sedikit dampaknya negatif. Pola pemanfaatan sumber daya alampun dapat dijadikan indikator yaitu diidentifikasi melalui seberapa jauh SDA dapat dimanfaatkan oleh penduduk lokal disekitar usaha atau kegiatan tersebut. Apabila dalam jangka waktu tertentu penduduk lokal semakin sulit memanfaatkan SDA yang ada, dampaknya adalah negatif. Pada dasarnya, industri otomotif adalah industri yang banyak menyerap bahan baku namun juga banyak menghasilkan eksternalitas berupa limbah yang dihasilkan, baik itu limbah cair maupun padat, serta polusi udara dan kebisingan. Menurut Keputusan
Menteri
Negara
Kependudukan
dan
Lingkungan
Hidup
No.02/MENKLH/I/1998 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pada proses produksi, disamping menghasilkan
52 produksi utama menimbulkan berbagai jenis limbah seperti limbah cair, limbah gas, limbah padat dan kebisingan. Proses produksi menghasilkan limbah yang mengandung bahan-bahan yang dapat menimbulkan efek kerusakan pada lingkungan. Limbah cair dapat berfungsi sebagai sumber pencemaran. Limbah cair mempunyai sifat fisik yang meliputi warna, bau, suhu, padatan, minyak dan lemak. Sifat kimia air ditandai dengan adanya zat anorganik dalam limbah dan ukuran yang paling sering digunakan adalah pengukuran kandungan Biological Oxygen Demand (BOD), pH, Alkalinitas, Hardness, Logamlogam berat, Nitrogen dan Phospor (Ginting, 2008). Kandungan organik dan anorganik dalam limbah memberikan dampak pada badan penerima (sungai) bila terdapat nilai-nilai diluar ukuran-ukuran yang ditetapkan (baku mutu limbah). Limbah gas/udara dihasilkan dari pabrik dapat merubah komposisi udara disekitar lingkungan pabrik. Pengukuran komposisi udara dilingkungan pabrik seperti SO2, CO, CO2, NOX, H2S, debu sangat diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kandungan gas telah melampaui baku mutu emisi dan baku mutu ambien (Ginting, 2008). Disamping pengukuran limbah gas juga diukur kebisingan pabrik yang dapat mengganggu masyarakat sekitar. Pukulan-pukulan dalam pabrik, suara mesin, suara lalu lintas kendaraan yang keluar masuk pabrik baik kendaraan jadi hasil produksi maupun yang mengangkut bahan baku. Ada 4 (empat) pendekatan dalam pengelolaan dampak lingkungan hidup kegiatan industri, yaitu pendekatan penyesuaian lahan, pendekatan sosial, pengolahan limbah dan pengaturan prosedur kerja (Kemeneg LH, 2007), yaitu : 4. Pendekatan Penyesuaian Lahan Pendekatan ini dilakukan untuk pengelolaan dampak dari sumber dampak lokasi pabrik ke luar kawasan industri. Pabrik yang berdiri di luar kawasan industri akan mengakibatkan konflik pemanfaatan lahan dan ruang. 5. Pendekatan Sosial Pendekatan ini dilakukan untuk upaya pengelolaan sumber dampak berkaitan dengan aspek penerimaan dan pengupahan tenaga kerja. 6. Pengolahan Limbah
53 Pendekatan ini dilakukan terutama untuk mengelola sumber dampak dari pemakaian air, pengelolaan limbah cair, pengelolaan limbah padat, pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan aktivitas produksi. Pengelolaan terhadap limbah B3 dilakukan dengan melakukan pemisahan berdasarkan jenis dan karakteristik limbah yang kemudian didistribusikan ke pihak yang telah ditunjuk untuk menangani limbah B3. Perbaikan design dapat berupa upaya untuk mengurangi sumber pencemar, penggunaan kembali bahan kimia, atau mengganti peralatan dan bahan yang lebih baik menurut standar yang diperbolehkan. 4. Pengaturan Prosedur Kerja Upaya untuk mengelola sumber dampak dari pemakaian air, pengelolaan limbah cair, pengelolaan limbah padat, pengelolaan limbah B3 dan aktivitas produksi, dapat dilakukan dengan pengaturan prosedur kerja. Pendekatan ini setidaknya akan dapat memperbesar dampak positif. Dalam hal ini, kesempatan kerja akan bertambah, karena jam kerja yang sama dapat diisi oleh beberapa orang tenaga kerja. Dengan demikian kesempatan penerimaan tenaga kerja dan upah tenaga kerja yang disediakan akan lebih banyak. Dampak negatif berupa konflik hubungan antar penduduk dapat diperkecil atau bahkan dihilangkan. Pemukiman tenaga kerja menimbulkan rangsangan pada masyarakat untuk diprioritaskan menjadi tenaga kerja. Masyarakat sekitar terdiri dari latar belakang sosial dan budaya yang berbeda-beda dan tidak jarang menimbulkan ketegangan. Adanya pabrik berdiri mendorong peningkatan jumlah penduduk di satu sisi, tetapi di sisi lain dapat mengurangi jumlah penduduk karena mereka harus pindah. Perubahan yang diakibatkan tenaga kerja adalah meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat dan perubahan sistem ekonomi masyarakat setempat. Pola kegiatan ekonomi seharihari mengalami perubahan. Dengan beroperasinya perusahaan masyarakat sekitar boleh jadi berhasil memanfaatkan kehadiran industri dengan memperoleh pendapatan yang lebih baik. Warung-warung tumbuh, toko-toko bahan bangunan berdiri, rumah pondokan berdiri, jumlah penduduk semakin meningkat (Ginting, 2008).
54 2.7. Produk Mobil Standar lingkungan dari mobil yang diproduksi (Astra International Tbk, 2002) adalah meliputi : 1. Mengurangi sumber limbah. 2. Mengurangi penggunaan material berbahaya. 3. Mengurangi pengunaan energi termasuk adalah tingkat konsumsi bahan bakar mobil yang diproduksi sesuai kelasnya. 4. Meningkatkan umur produk. 5. Meningkatkan potensi daur ulang (recycleablity). 6. Potensi untuk di proses ulang (remanufacture). 7. Ketaatan terhadap aturan emisi gas buang sesuai Kep Men LH no.141/2003. 8. Persyaratan dalam baku tingkat kebisingan sesuai Kep Men LH no.48/1996. Pelaksanaan kegiatan CSR pada dasarnya telah memiliki suatu kerangka acuan (frame work) yang dijadikan patokan secara global dalam melaksanakan aktivitas CSR, yaitu Global Reporting Initiative (GRI). GRI adalah sistem pelaporan kinerja CSR yang dikenal secara global paling komprehensif (Tanimoto and Suzuki, 2008). Khusus dalam aspek otomotif isu-isu utama yang menjadi fokus dalam melaksanakan CSR dalam aktivitas Sustainable Mobility (mobilitas berkelanjutan) (GRI, 2004) yaitu perjalanan pribadi dan transportasi barang-barang dan orang (goods transport) masih menjadi faktor dalam pencemaran (polusi) dan kemacetan di daerah perkotaan. Isu keselamatan, termasuk keselamatan pejalan kaki (pedistrian) adalah isu yang semakin meningkat, khususnya di negara-negara berkembang. Selanjutnya, emisi carbon dioxide (CO2) yang berkorelasi langsung dengan tingkat konsumsi bahan bakar fosil, kontribusi kepada efek gas rumah kaca dan dampaknya terhadap pemanasan global. Produsen kendaraan bermotor akan sangat berkepentingan untuk memenuhi permintaan konsumen global, serta mengurangi dampak lingkungan dan sosial melalui upaya yang lebih lagi ( GRI, 2004). Jenis-jenis isu dalam otomotif (GRI, 2004) adalah : 1. Emisi gas rumah kaca/perubahan iklim (Greenhouse Gas Emissions/Climate change)
55 Gas-gas yang terperangkap di atmosfir sering disebut greenhouse gases (gas-gas rumah kaca). Keberadaan gas-gas rumah kaca inilah yang menyebabkan meningkatnya pemanasan global (US.EPA, 2008). Gas-gas yang masuk dalam jenis ini adalah : a. Carbon Dioxide (CO2). Gas ini masuk ke atmosfir melalui pembakaran bahan bakar fosil (oil, natural gas dan coal), limbah solid, produk kayu dan pohon, serta hasil reaksi kimia lainnya seperti industri semen. CO2 dapat berpindah dari atmosfir (sequestered) ketika diabsorbsi oleh tanaman (pohon) sebagai bagian dari siklus karbon biologis. b. Methane (CH4) Methane diemisikan selama produksi dan transportasi coal, gas alam, dan oil. c. Nitrous Oxide (N2O) Diemisikan selama aktivitas pertanian dan industri, termasuk melalui pembakaran bahan bakar fosil dan limbah solid. d.
Fluorinated Gases Gas ini terdiri atas hydrofluorocarbons, perfluorocarbons, dan sulfur hexafluoride, seperti CFCs, HCFCs, dan halons. Dalam kuantitas yang kecil, namun sering disebut sebagai gas-gas berpontensi rumah kaca yang tinggi (high global warming potential gases). Emisi kendaraan bermotor merupakan penyumbang terbesar gas rumah kaca sebesar 60-70%, 10% oleh industri, sisanya dari pembakaran sampah, asap dapur dan lainnya ( Harjono, 2008).
2. Mutu udara (Air quality) Akibat polusi kendaraan bermotor di perkotaan dapat juga menimbulkan udara yang tidak sehat. Seperti diketahui kendaraan bermotor mengeluarkan gas CO, Nox, dan Sox, Pb, PM10 yang dapat merusak kesehatan. Menurut hasil penelitian Indonesian Hazardous Materials and Waste Research atau IHWaR di tahun 2008, secara umum satu kendaraan bermotor menghasilkan 8,22 kilogram (kg) karbon dioksida per hari. Sementara sebuah pohon berdiameter tajuk 15 m mampu menyerap karbon 28,224 kg per hari, yang digunakan untuk proses fotosintesis.
56 Untuk pertambahan kendaraan keluaran baru, dibutuhkan rataan minimal 5 pohon untuk menyerap karbon secara optimal dengan kondisi fisik memiliki ukuran tajuk rataan 1 m. Secara logika ukuran tajuk sangat menentukan dalam penyerapan karbondioksida dalam fotosintesisnya. Artinya korporasi otomotif dapat memulainya dengan lima pohon untuk setiap kendaraan bermotor yang diproduksi. 3. Kebisingan (Noise). Kebisingan adalah jenis polusi dijalan raya yang merupakan kolektifitas
sosial
bunyi (suara) dari kendaraan bermotor. Suara tersebut berasal dari mesin, ban, aerodynamic, dan
sosial pengereman. Faktor yang mempengaruhi terhadap
bunyi adalah traffic operations (speed, truck mix, age of vehicle fleet), roadway surface type, tire types, roadway geometrics, terrain, micrometeorology dan the geometry of area structures. 4. Aspek keselamatan (Safety aspects) Hal ini merupakan upaya menghindarkan kecelakaan berkendara atau efek berbahaya yang dapat timbul dari kejadian kecelakaan dan secara khusus merupakan upaya melindungi terhadap kehidupan manusia dan kesehatan. Safety features atau fitur-fitur keselamatan terdiri dari 2 (dua) kelompok besar : a. Active Safety Hal ini berkaitan dengan
sosial kendaraan yang menggunakan informasi
tentang lingkungan luar kendaraan untuk merubah respons dari kendaraan dan memperbaiki keamanan berkendara dalam waktu sebelum kecelakaan terjadi atau selama periode kecelakaan (crash) dengan tujuan menghindari kecelakaan yang parah. Sistem tersebut merespon terhadap kendaraan lain ataupun dari kendaraan terhadap infrastruktur jalan raya. Seperti RADARbased crash avoidance systems atau sistem radar anti kecelakaan,
sosial
pengereman (antilock braking system/ABS). b. Passive Safety Hal ini adalah berkaitan dengan ketika sebuah kecelakaan berpotensi atau benar-benar terjadi, berbagai sistem keselamatan pasif bekerja untuk
57 meminimalisasi dampak terhadap individu-individu yang terlibat. Contoh alat yang digunakan adalah Safety Belt, Airbags, dan sebagainya. 5. Kemacetan (Congestion). Kemacetan berkendara (traffic congestion) adalah ketika volume dari kendaraan menghasilkan permintaan ruang yang lebih besar daripada kapasitas jalan yang tersedia. Karakteristiknya adalah kecepatan kendaraan rendah, waktu tempuh lama dan meningkatnya antrian. Ada berbagai penyebab terjadinya kemacetan yaitu : bottlenecks, kecelakaan lalu lintas, cuaca buruk, zona pekerjaan, rambu lalu lintas tidak tersedia, adanya event dijalan raya dan kapasitas kendaraan tidak seimbang dengan jumlah penumpang yang akan diangkut. 6.Infrastruktur (Infrastructure) Hal ini merupakan struktur teknik yang mendukung sebuah masyarakat, seperti jalan, sarana air bersih, penjernihan air, sistem manajemen banjir, komunikasi (internet, saluran telepon, broadcasting) dan sebagainya. Bentuk lain dari infrastruktur adalah teknologi informasi, software development tools, jaringan sosial dan politik dan sebagainya. 7. Akses kepada mobilitas (Access to mobility). Mobilitas diukur dengan jumlah perjalanan per orang per hari. Mobilitas meningkat sesuai dengan pendapatan, mobilitas bervariasi sesuai dengan karakteristik sosial dan ekonomi, dan laki-laki cenderung lebih bepergian dari pada perempuan (Vasconcellos, 2001). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas adalah income, gender, usia, kedudukan dan tingkat pendidikan (Vasconcellos, 2001). Akses kepada mobilitas adalah akses kepada pekerjaan, pasar dan tujuan lainnya. 8. Emerging markets (pasar yang baru tumbuh) Hal ini adalah digunakan untuk menggambarkan mengenai keadaan sosial dari suatu negara, atau aktivitas bisnis dalam proses industrialisasi yang cepat. Disebut juga ekonomi yang bertumbuh cepat atau rapid growing economy. Memiliki 4 karakteristik adalah: (1) kekuatan ekonomi dengan populasi besar, sumber daya yang besar dan pasar yang besar, (2) merupakan masyarakat yang transisi dalam
58 reformasi ekonomi dan politik, (3) memiliki pertumbuhan tercepat di dunia, (4) merupakan masyarakat yang kritis dalam menanggapi isu (Li, 2008). Artinya Indonesia sebagai salah satu emerging market memiliki tingkat pertumbuhan dalam industri otomotif yang tinggi dengan sumber daya berlimpah ruah dan low costs. Emerging Market yang merupakan tempat dimana industri otomotif mencari pertumbuhan pendapatan yang tinggi (Deloitte and Touche, 2008). Dalam Emerging Market terdapat jumlah angkatan kerja yang tersedia dalam jumlah besar dan memerlukan penyaluran. Indonesiapun merupakan pasar bagi produk otomotif yang amat besar, sehingga penyerapan produk, tetapi tinggi yang tidak diimbangi dengan penyediaan infratsruktur pendukung akan menciptakan permasalahan tersendiri. 9. Produk dan jasa (product and services) Pada saat ini produk mobil yang dihasilkan oleh industri otomotif di Indonesia, khususnya oleh Indomobil Group masih didominasi oleh pemakaian bahan bakar fosil atau bensin dan solar. Masih belum ada produk yang dihasilkan yang menggunakan energi alternatif seperti biofuel, tenaga listrik ataupun tenaga matahari yang diproduksi secara massal. Berbagai isu dari produk otomotif dari mulai bahan-bahan yang digunakan dalam membuat mobil, apakah menggunakan bahan yang berbahaya atau tidak, konsumsi bahan bakar, jenis bahan bakar, kelengkapan keselamatan kendaraan, dan sebagainya. 10. Kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar (Contribution to local welfare). Agar perusahaan dapat beroperasi dengan “tenang” disuatu tempat, maka kehadiran perusahaan harus dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar dan memberikan peningkatan pendapatan. Sebab perusahaan yang justru menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar atau tidak berdampak apaapa terhadap kesejahteraan masyarakat maka kehadirannya ditempat itu tidak akan bertahan lama, akan terusir. Demikian pula kehadiran dari kelompok perusahaan di lingkungan Indomobil Group harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan. Demikian pula produk berupa mobil
59 yang dihasilkan juga mendukung kepada kesejahteraan masyarakat. Mobil yang dihasilkan harus mampu mengakomodasikan kepentingan masyarakat pemakai terhadap kepentingan mobilitas. Dalam aspek lingkungan khususnya di industri, apabila industri telah memenuhi persyaratan ambang batas mutu lingkungan atau baku mutu limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia dengan program PROPER atau Program Penilaian Peringkat Pengelolaan lingkungan pada perusahaan (Kemeneg LH, 2006), yaitu peringkat Biru maka perusahaan telah dianggap taat (memenuhi persyaratan) dan bila mampu melebihi yang dipersyaratkan (beyond compliance), perusahaan masuk katagori socially responsible atau melaksanakan CSR.
2.8. Persepsi Pemangku kepentingan Pengertian
persepsi
adalah
proses
dimana
individu
memilih,
mengorganisasikan dan mengartikan stimulus yang diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna (Rangkuti, 2002) Persepsi pemangku kepentingan adalah pemahaman atau pemberian makna dari pemangku kepentingan atas aktivitas CSR oleh industri otomotif yaitu kinerja industri otomotif dan aktivitas CSR yang dilakukannya yang didapat dari proses penginderaan. Konsep ”persepsi” pada dasarnya merupakan pandangan individu terhadap suatu obyek. Akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan terhadap stimulus tersebut (Sarwono, 1995). Merton (1982), diacu dalam Saribanon (2007) menyatakan bahwa individu tidak hanya merespon situasi obyektif, tetapi juga sosial makna situasi tersebut menurut kepentingannya. Persepsi pemangku kepentingan terhadap apa yang sudah dilakukan oleh industri otomotif sebagai aktivitas CSR ditanggapi. Persepsi mengenai lingkungan yang mencakup harapan, aspirasi, ataupun keinginan terhadap suatu mutu lingkungan tertentu sebaiknya dipahami secara subyektif, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosiokultural masyarakat (Achda T, 2007). Karena itu mutu lingkungan harus didefinisikan secara
60 umum sebagai lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Pandangan tersebut menyempurnakan pandangan sebelumnya yang mengartikan mutu lingkungan hanya dari aspek fisik, biologi dan kimia (Sarwono (1995) diacu dalam Achda T, 2007). Lingkungan adalah bagian dalam aktivitas CSR, maka secara lebih luas dapat dikatakan bahwa persepsi mengenai CSR mencakup didalamnya adalah harapan, aspirasi ataupun keinginan terhadap suatu mutu aktivitas CSR tertentu yang dipahami secara subyektif yang terkait dengan aspek-aspek psikologis dan sosiokultural masyarakat atau memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Persepsi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional (Rahmat, 2000). Persepsi pada dasarnya timbul akibat dari tiga aktivitas yaitu adanya exposure, attention dan interpretation (Hawkins et al., 2001), dimana exposure muncul bila ada stimulus berupa aktivitas CSR dari industri otomotif. Exposure dapat tersusun dari yang sifatnya acak (random) menjadi sesuatu yang sengaja dilakukan (deliberate). Selanjutnya attention atau perhatian muncul bila aktivitas CSR sebagai stimulus mengaktifkan syaraf-syaraf sensorik dari penerima dan menghasilkan sensasi menuju ke otak untuk diproses. Attention bergerak dari low involvement menuju ke high involvement atau dari keterlibatan yang rendah menuju ke yang tinggi. Sejumlah karakteristik dari stimulus yang dapat menimbulkan attention dari si penerima meliputi : 1. Stimulus factor meliputi ukuran dan intensitas, warna, pergerakan atau movement, isolation, format, kontras, mutu informasi dan information overload atau begitu banyaknya informasi, sehingga terpaksa harus menimbulkan perhatian. 2. Individual factor yang merupakan karaktersitik dari individu dimana kebutuhan dan minat (interest) dari seseorang menjadi penentu dalam suatu stimulus akan menjadi attention bagi seseorang. 3. Situational factor atau stimulus yang tidak dapat menarik perhatian (attention) dari sipenerima akibat dari situasi yang tidak menyenangkan yang timbul pada saat itu. Interpretation atau interpretasi muncul setelah berbagai attention muncul dan diberi arti atau makna oleh si penerima. Sebagai contoh adalah our beliefs about a
61 new product are influenced by our beliefs about capabilities and social responsibility of the company that produce it ((Hawkins, et al., 2001). Expectation atau ekspektasi adalah bentuk dari interpretasi seseorang terhadap stimulus dan interpretasi seseorang terhadap stimulus tersebut adalah konsisten dengan ekspektasinya (Hawkins et al., 2001). 2.9 Analisis Kebijakan Kebijakan adalah a means to an end atau alat untuk mencapai sebuah tujuan (Suharto, 2010). Kebijakan publik merupakan studi yang berkaitan dengan problem yang krusial di masyarakat. Adanya suatu kebijakan publik, pada gilirannya akan menghasilkan peraturan perundang-undangan (rule) sebagai barang-barang publik (public goods) (Nawawi, 2009). Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan (Dunn, 2003). Menurut Majchrzak (1984), diacu dalam Danim (2005), penelitian kebijakan sebagai proses penyelenggaraan penelitian untuk mendukung kebijakan atau analisis terhadap masalah-masalah sosial yang bersifat fundamental secara teratur untuk membantu pengambil kebijakan memecahkan masalah dengan jalan menyediakan rekomendasi berorientasi pada tindakan atau tingkah laku pragmatik. Penelitian kebijakan mempunyai berbagai metode penelitian yang relevan dengan penelitian kebijakan diantaranya penelitian kasus (studi kasus). Metode ini dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat given: individu, kelompok, institusi atau masyarakat. Penelitian kasus dilakukan secara mendalam terhadap unit sosial tertentu, dimana hasil penelitian tersebut memberikan gambaran yang luas dan mendalam mengenai unit sosial itu. Subyek atau unit yang diteliti relatif terbatas, akan tetapi peubah dan kondisi yang diteliti sangat luas dimensinya (Danim, 2005). Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia (Dunn, 2003) yaitu : 1. Definisi (perumusan masalah), yaitu menghasilkan informasi mengenai kondisikondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
62 2. Prediksi (peramalan), menyediakan informasi mengenai konsekwensi dimasa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. 3.
Preskripsi (rekomendasi), menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan rsosialf dari konsekwensi dimasa depan dari suatu pemecahan masalah.
4.
Deskripsi (pemantauan), menghasilkan informasi tentang konsekwensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
5. Evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekwensi pemecahan atau pengatasan masalah. Adapun bentuk-bentuk analisis kebijakan meliputi : 1. Analisis kebijakan prospektif, yaitu berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Atau apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan. 2. Analisis retrospektif, yaitu penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. 3. Analisis kebijakan yang terintegrasi, merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Pada penelitian ini model kebijakan adalah model normatif yaitu memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Masalahmasalah keputusan normatif biasanya dalam bentuk mencari nilai-nilai variabel yang terkontrol (kebijakan) yang akan menghasilkan manfaat yang terbesar (nilai) (Dunn, 2003). Analisis yang dipilih merupakan gabungan antara analisis kebijakan prospektif dan retrospektif dimana analisis yang yang dilakukan pada penciptaan dan transformasi informasi, sesudah aksi kebijakan dilakukan,
maupun sebelum
(terintegrasi). Metodologi penelitian dalam kebijakan saat ini secara umum dicirikan oleh bentuk multiplisisme kritis (Dunn, 2003). Multiplisisme kritis merupakan sintesis kreatif dari beragam riset dan praktik analisis meliputi beberapa bidang analisis kebijakan penting diantaranya adalah (1) operasionisme berganda yaitu penggunaan secara serempak
63 perbandingan berpasangan dan skala pilihan paksa, atau ukuran-ukuran biaya dan manfaat didasarkan pada belanja konsumen (preferensi yang diungkapkan) dan penyusunan skala atribut berganda, (2) penelitian multimetode yaitu penggunaan berbagai metode secara bersama-sama untuk mengamati proses dan hasil kebijakan, (3) sintesis analisis berganda, (4) analisa multivariat, (5) analisis pelaku berganda, (6) analisis perspektif berganda, yaitu disertakannya berbagai perspektif seperti etis, politis, organisasional, ekonomi, sosial, kultural, psikologis, (7) komunikasi multimedia (Dunn, 2003). Sehingga desain penelitian ini akan mengacu pada konsep multiplisisme kritis baik penggunaan perbandingan berpasangan dan skala pilihan paksa. 2.10 Kebijakan CSR berkelanjutan sebagai kebijakan publik Kebijakan CSR sebagai kebijakan publik sebagaimana telah diatur oleh undang-undang adalah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government, dalam arti hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society). (Suharto, 2010). Karena CSR telah diatur oleh undang-undang yaitu Undang-Undang Perseoran Terbatas (UU PT) nomor 40 tahun 2007 dan Undang-Undang Penanaman Modal (UU PM) nomor 25 tahun 2007, maka CSR telah menjadi kebijakan publik. Sebagai kebijakan publik maka CSR wajib (compulsory) untuk dilaksanakan oleh perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Terdapat beberapa pendekatan dalam analisis kebijakan publik (Nawawi, 2009) yaitu : 1. Teori Sistem, yaitu reaksi sistem politik untuk kebutuhan yang timbul dari lingkungan sekitarnya. 2. Teori kelompok, yaitu keseimbangan yang dicapai oleh perjuangan kelompok dalam suatu kejadian dan hal tersebut memberikan keseimbangan dimana kelompok yang bertentangan berusaha memberikan bobot pada keinginannya. 3.
Teori elite, adalah nilai atau pilihan elite pemerintah semata. Kebijakan publik ditentukan tanpa melibatkan atau menyerap aspirasi publik tetapi sepenuhnya diputuskan oleh elite yang mengatur.
64 4. Teori proses fungsional, pembentukan kebijakan publik dengan melihat pada bermacam-macam aktivitas proses fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan. 5. Teori kelembagaan, analisis kebijakan tentang kelembagaan pemerintah (institutionalism). Dalam penelitian ini pendekatan dalam analisis kebijakan publik terhadap CSR adalah lebih mengarah kepada teori fungsional yang melihat proses pembentukan kebijakan CSR berkelanjutan sebagai kebijakan publik dengan melihat pada bermacam-macam aktivitas proses fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan. Sebagai induk dari kebijakan CSR dalam industri otomotif maka UU PT dan UU PM belum diikuti oleh aturan pelaksanaan (implementasi), seperti besarnya anggaran untuk CSR, jenis-jenis kegiatan CSR, dan sebagainya, meskipun pada beberapa bagian telah juga diatur seperti aspek lingkungan dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009, masalah ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Terdapat beberapa kemungkinan intervensi pemerintah terkait dengan CSR berikut (Petkoski and Twose, 2003) :
65 Tabel 5. Berbagai kemungkinan intervensi pemerintah dalam kebijakan publik Public Sector Roles Mandating
Facilitating
Partnering Endorsing
Command Regulators and and control inspectorates legislation Enabling Creating incentives legislation Funding Raising awareness support Combining Stakeholders resources engagement Political support
Legal and fiscal penalties and rewards Capacity building Stimulating markets Dialogue Publicity and praise
Dari tabel 5 diatas adalah berbagai jenis intervensi pemerintah dalam kebijakan CSR yang dapat dilakukan pada berbagai katagori. Artinya bahwa sebagai produk dari kebijakan publik maka pengaturan CSR dalam bentuk undang-undang adalah salah satu bentuk dari sejumlah bentuk intervensi pemerintah terhadap CSR perusahaan. Tabel 6. Type dari program kebijakan dan instrumen kebijakan Item
Regulative programs
Motivation programs Economic incentives
Persuasion programs Communication
Public activity programs Organisation
Dominant policy instrument Positive motivation Negative motivation
General rules
Permission/Contract/ Rights Prohibition/Command/ Control
Subsidies/Grant
Information/Encouragement /Appeals Misinformation/Discouragement/Threats
Expansion of public service Reduction of public service
Means of control Implementation problems
Behavioural control
Incentive control
Attitudinal control
Supply control
Resistance from policy addresses and violation of norms
Uncertain effects and coordination problems
Low efficiency and control
Success depends on attractivity/ over –or under investment possible/ exclusion of the „needy‟
Tax/Dues/Fines
Tabel 6 menunjukkan berbagai tipe dari program kebijakan dan instrumen kebijakan yang menunjukkan kekuasaan dan kontrol untuk mengatur perilaku dari kelompok target meliputi (1) regulative programs menggunakan pendekatan legal dan legitimasi untuk
66 memberi ijin atau melarang, (2) motivation programs menggunakan kebijakan moneter sebagai hadiah (reward) maupun menahan (withhold), (3) persuasion programs adalah untuk mendorong ataupun menghambat, (4) public policy programs berupa perluasan maupun pengurangan pelayanan publik (Bredgaard, 2003). Dari berbagai instrumen kebijakan Publik maka dapat dipilih jenis kegiatan yang dapat memenuhi kepentingan masyarakat sekitar dan dan kepentingan bisnis (business interests). Gambar 4. Bagan keterkaitan instrumen antara program kebijakan publik dengan kepentingan perusahaan Policy Program and Business Interests P U B L I C P O L I C Y P R O G R A M S
Motivation program
Accept
Economic interests
Persussion program Pressure
Behavioural interests
Help
Competencies and resources
Regulative program
Public activity program
B U S I N E S S I N T E R E S T S
Dengan adanya masing-masing kepentingan baik Pemerintah dengan public policy programs maupun terhadap korporat dengan business interests maka perlu ada jembatan (bridging) untuk menyatukan keduanya demi kepentingan bersama (Bredgaard, 2003) sebagaimana pada Gambar 4. Baik itu sikap penerimaan dalam menyikapi kebijakan pemerintah karena adanya kepentingan ekonomi dari perusahaan (accept), adanya
67 penekanan (pressure) baik itu akibat dari aturan dan kehendak pemerintah maupun tekanan dari internal organisasi, atau sikap membantu (help) yang diterima akibat dari kebijakan pemerintah dengan memperhitungkan kompetensi dan sumberdaya yang dimiliki perusahaan. Meskipun telah ada undang-undang perseroan terbatas maupun undang-undang penanaman modal yang mewajibkan korporat untuk melakukan CSR dan juga telah ada aturan aturan yang berkaitan dengan CSR seperti undang-undang lingkungan hidup, undang-undang perlindungan konsumen dan sebagainya. Di Indonesia ada sebagian kelompok yang menganut pandangan Reflexive Law Theory dengan self regulation atau mengatur sendiri dimana pelaksanaan CSR adalah diatur sendiri-sendiri oleh masing-masing perusahaan sedangkan evaluasi dari pelaksanaannya yang akan menilai adalah masyarakat, dimana perusahaan membuat laporan aktivitas CSR masingmasing. Di negara Indonesia lebih kepada pelaksanaan CSR dengan konsep hukum yang berdasarkan necessity dan possibility. Artinya ada ranah yang perlu diatur dengan public policy dan ada
yang tidak
seperti masalah pengelolaan lingkungan
hidup,
ketenagakerjaan yang telah diatur dengan undang-undang. Namun tidak ada aturan yang mengatur tentang besarnya sumbangan yang harus diberikan perusahaan kepada masyarakat untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan sebagainya Jenis kebijakan dalam aktivitas CSR adalah mengikuti prinsip yang dianut masingmasing perusahaan. Dalam memandang berbagai masalah yang timbul disekeliling lingkungan perusahaan terdapat beberapa kebijakan yang dianut yaitu : 1.
Perusahaan menganggap bahwa perusahaan dalam keadaan siap berkembang pesat dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal tanpa peningkatan CSR berkelanjutan. Kondisi ini mengacu kepada pendapat dari Milton Friedman, diacu dalam Solihin (2008) bahwa tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) adalah menjalankan bisnis sesuai dengan kehendak pemilik perusahaan (owners), biasanya dalam
bentuk
menghasilkan
uang
sebanyak-banyaknya
dengan
senantiasa
mengindahkan aturan dasar yang digariskan dalam suatu masyarakat sebagaimana diatur oleh hukum dan perundang-undangan, atau the social responsibility of business is to increase its profits. Dengan demikian, tujuan perusahaan korporasi adalah memaksimalisasi laba atau nilai pemegang saham (shareholder‟s value).
68 Pengembangan usaha tanpa peningkatan kinerja CSR. Dalam hal ini, Perusahaan bukanlah lembaga sosial yang harus memikirkan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar. Aktivitas CSR dilakukan dalam kaitannya untuk memaksimalkan laba perusahaan. Aktivitas CSR seperti ini dilakukan sebagaimana yang ada sekarang (business as usual) dan apabila dilakukan lebih dari kondisi ini, maka seluruhnya dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap maksimalisasi laba. Perusahaan lebih mempertimbangkan kepada private marginal costs atau biaya persatuan barang/jasa yang dibuat dalam mempertimbangkan keputusan dalam produksi dan akan beroperasi di bawah socially optimum market equlibrium ketika social costs melampaui firms‟ private costs (Redman, 2005). Socially optimum market equilibrium adalah keadaan dimana terdapat keseimbangan antara antara permintaan dan penawaran yang mengakomodir biaya-biaya sosial (externalities). Berarti dalam hal ini, externalities yang muncul akibat aktivitas perusahaan, baik dampak langsung maupun dampak tidak langsung akibat keberadaan perusahaan seperti pencemaran
udara, air, kerenggangan sosial dan
perilaku konsumtif tidak masuk dalam private marginal costs. Lebih jauh dikatakan bahwa donasi waktu maupun uang kepada perbaikan lingkungan ataupun penanggulangan kemiskinan masyarakat lebih kepada “pencurian” terhadap modal pemilik. Cara pandang perusahaan lebih kepada cost dan benefit jangka pendek (Redman, 2005). Perusahaan adalah pribadi artifisial dan memiliki tanggungjawab artifisial pula, sehingga yang memiliki tanggungjawab yang sebenarnya adalah para karyawan terhadap pemilik perusahaan, yaitu berupa keuntungan (Friedman, 1970). Selanjutnya apabila ada penggunaan lain untuk melakukan CSR yang sifatnya bukan profit oriented atau motif keuntungan finansial, tetapi socially oriented atau environmentally oriented, maka harus dipisahkan pendanaannya dari aktivitas utama perusahaan (Friedman, 1970). Dalam hal ini, manajer perusahaan telah memasuki ranah politik dengan aktivitas pilantropis yang seharusnya menjadi tanggungjawab Pemerintah dan juga sekaligus juga telah berlaku sebagai prinsipal (mewakili pemilik perusahaan) dan bukan sebagai agen perusahaan yang menerima gaji dari pemilik perusahaan (Solihin, 2009). Sebagai konsekuensi dari kebijakan seperti ini, berarti
69 apabila ada pengurangan produksi akibat adanya penurunan penjualan, maka sikap perusahaan mengarah kepada pengurangan karyawan. Demikian pula dalam hal adanya efisiensi, baik dalam prosedur kerja maupun penggunaan alat-alat kerja atau rasionalisasi karyawan maka tindakan pengurangan karyawan adalah hal yang lumrah dilakukan, termasuk komposisi antara karyawan yang berasal dari penduduk lokal dan pendatang adalah lebih didasarkan pada profesionalisme, maupun selera dari perusahaan, sepanjang tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut. Bentuk yayasan atau lembaga tersendiri adalah model yang paling tepat untuk bentuk kebijakan CSR yang menganut kebijakan seperti ini karena sifatmya terpisah dari aktivitas utama perusahaan (core business). 2.
Strategi CSR yang dilakukan adalah mulai meningkatkan kinerja CSR semata-mata karena memang saat ini sedang trend dimana-mana. Kata-kata CSR bergema diberbagai tempat. Berbagai perusahaan atas nama CSR melakukan kegiatan amal (charity) dan phylantrophis (kebajikan) mulai dari menyumbang untuk bencana alam, penanaman pohon, pemberian beasiswa kepada pelajar berprestasi dan sebagainya, tanpa perlu melihat relevansinya terhadap kinerja usaha. CSR seperti ini dilakukan semata-mata hanya faktor ketulusan hati ataupun mengikuti trend. Dalam strategi ini juga keterkaitan antara aktivitas CSR yang dilakukan dengan jenis usaha yang dilakukan juga tidak diperhitungkan. Pada dasarnya dalam kebijakan ini tidak seluruh aktivitas CSR harus mempertimbangkan kinerja usaha seperti dalam program Community Development yang merupakan aktivitas bagian dari CSR tidak dapat dipertahankan sebagai kepentingan
korporasi
semata
(keamanan
perusahaan),
tetapi
benar-benar
menjalankan dalam konteks yang benar (Rochman, 2006). Dalam kebijakan ini menganut bahwa idiology of firms that have made commitments to environmental and social goals without evidence that corporate citizenship lead to tangible financial gains (Redman, 2005). Artinya perusahaan tidak menyandarkan kepada keuntungan finansial semata atas kebijakan CSR dari apa yang telah dilakukan terhadap lingkungan dan sosial. Dengan demikian tidak tergantung kinerja usaha. Selanjutnya dikatakan oleh Redman (2005) : this idiology functions on the idea that
70 the businesses, like people, have moral obligations and responsibilities that extend beyond the financial world. Selanjutnya three is an expectation that a company will do thew right thing, and there is no reason to advertise that we are filfilling this obligation (Redman, 2005). Artinya perusahaan memiliki kewajiban moral dan tanggungjawab melebihi tanggung jawab finansial. Dan diharapkan dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab ini (CSR) tidak signifikan untuk diiklankan sebagai promosi perusahaan. Berbagai aktivitas CSR dalam hal ini adalah seperti terciptanya kondisi keamanan didesa atau kelurahan dimana perusahaan berlokasi, mengutamakan perekrutan tenaga lokal sebagai tenaga kerja di perusahaan, keeratan hubungan antara perusahaan dan para karyawan dengan masyarakat setempat, dimana perusahaan berkedudukan adalah bentuk-bentuk kebijakan CSR yang sesuai dengan type ini. 3. Upaya integrasi aktivtas CSR dalam aktivitas utama perusahaan merupakan hal yang utama dalam aktivitas peningkatan kinerja CSR dan kinerja usaha secara bersamasama. Mengintegrasikan CSR dalam strategi inti perusahaan berpengaruh kepada peningkatan produktivitas dan sebagai katalis kepada proses keberlanjutan yang kompetitif (Boulouta and Pitelis, 2011).
Mc Williams and Siegel, diacu dalam
Venugopal (2010) mengemukakan konsep “profit maximizing CSR” dimana belanja untuk CSR diperlakukan sebagai investasi sebagaimana investasi lainnya seperti pada bagian Research and Development (R&D). Konsep ini melihat bahwa inovasi dan kemakmuran masyarakat harus konsisten seiring dengan maksimisasi profit. Namun bukan berarti profit jangka pendek sebagaimana halnya pada kebijakan yang pertama, namun termasuk juga manfaat yang sifatnya intangible dan jangka panjang. Dalam hal ini ternyata tidak mudah untuk melakukannya sebagaimana yang dikemukakan oleh Redman (2005) : policymakers should consider current indexes for business success, accounting practices, and valuation of intangible assets. Selanjutnya it require transforming averages citizens‟ understanding about value creation and expanding definitions of success to include social and enviromental triumph. Kebijakan ini memerlukan pertimbangan atas “keberadaan/positioning” perusahaan dalam mencapai
71 target yang diharapkan, kemampuan dalam penilaian dan pencatatan aktiva tidak berwujud seperti goodwill dalam pembukuan perusahaan. Dan pemahaman terhadap pengertian masyarakat akan penciptaan nilai dan perluasan pengertian sukses mencakup sosial dan lingkungan. Strategi yang dilakukan dengan perbaikan kinerja CSR namun dengan tetap memperhitungkan pertumbuhan usaha. Artinya sama-sama meningkat. Kinerja perusahaan semakin baik seiring dengan peningkatan kinerja CSR berkelanjutan dan pertumbuhannya keduanya yang rsosialf stabil. Aktivitas CSR yang dilakukanpun harus sejalan dengan jenis usaha, yang merupakan perpaduan dari kedua strategi sebelumnya. Dalam jangka panjang kondisi yang demikian dapat menjamin keberlanjutan aktivitias CSR dan pengembangan usaha. 2.11. Penelitian Terdahulu yang Relevan Beberapa penelitian yang dilakukan tentang CSR adalah
penelitian yang
dilakukan oleh Fendri dari Program Magister Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (SPS-IPB) berupa thesis tentang strategi program pemberdayaan masyarakat dan implikasinya terhadap kebijakan Pemerintah studi kasus PT. RAPP, CECOM, dan Pemerintah Kota Pekanbaru yang dilakukan pada periode November 2007 s/d Januari 2008 yang melakukan metode penelitian dengan mengadakan studi komparasi antara petani binaan CECOM (yayasan yang dibentuk oleh PT. RAPP untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat) dengan yang diluar binaan CECOM dengan analisis Strengths, Weakness, Opportunities and Threats (SWOT) menunjukkan bahwa aktivitas tersebut dapat mengubah secara signifikan kondisi sosial, ekonomi dan teknologi masyarakat meskipun ada peningkatan. Demikian pula peran Pemerintah Kota Pekanbaru belum kelihatan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumaryo dari SPS-IPB dalam disertasi tentang implementasi CSR dalam pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan studi kasus di Provinsi Lampung yang melakukan penelitian pada Nopember 2007 s/d April 2008 yang mengkaji pengaruh pelaksanaan CSR terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat sasaran dalam berusaha ekonomi produktif serta meneliti pengaruh CSR terhadap tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga
72 masyarakat sekitar perusahaan menggunakan teknik analisis deskriptif eksplanasi kausalitas historis, korelasional dan dilanjutkan dengan analisis Structural Equation Modelling (SEM)
menunjukkan bahwa masyarakat berpersepsi bahwa CSR
merupakan kegiatan perusahaan membantu masyarakat dalam bidang fisik, sosial, budaya dan atau ekonomi agar masyarakat lebih berdaya dan mandiri, sehingga terbantu dalam meningkatkan kesejahteraannya sementara manajemen perusahaan memahami bahwa dengan memberikan bantuan fisik untuk pembangunan prasarana pendidikan, ibadah dan sosial, bantuan pendidikan dan menjalin kemitraan dengan masyarakat serta memenuhi aturan dalam pengolahan limbah cair perusahaan berarti telah melaksanakan tanggungjawab sosialnya (CSR). Karakter dan perilaku masyarakat tidak berubah akibat adanya program CSR oleh perusahaan. Disebutkan juga bahwa model integratif dan partisispatif adalah model yang paling tepat untuk dilaksanakan oleh perusahaan
yang dapat
meminimalkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya, serta dapat menampung aspirasi dan kebutuhan dasar masyarakat yang diakomodasi dalam program CSR yang akan dijalankan oleh perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Nani Julijanti dari SPS-IPB Program Magister Pengembangan masyarakat dalam thesis tentang persepsi masyarakat terhadap program-program CSR PT. Aqua Golden Mississippi (AGM), kasus di Kabupaten Sukabumi, bertujuan mengkaji keragaman program CSR, mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap programprogram CSR dan mengetahui bagaimana rancangan perbaikan terhadap programprogram CSR dari PT. AGM. Penelitian dilakukan periode Desember 2006 s/d Nopember 2007 dilakukan menggunakan metode penelitian analisis kualitatif dengan triangulasi. Selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) atas dasar analisa keadaaan dengan Rapid Rural Appraisal. Dari serangkaian program CSR yang dilakukan oleh PT. AGM maka beberapa program yang dinilai bermanfaat adalah penampungan air bersih terkait kemudahan mendapatkan air, penghijauan, kesejahteraan sosial dan keagamaan. Namun dinilai kurang manfaatnya dalam kaitannya dengan kesempatan kerja yang diterima masyarakat. Strategi yang harus dilakukan adalah pembentukan forum rembug masyarakat, peningkatan program
73 keahlian masyarakat dalam pengolahan limbah dan pertanian, peningkatan ekonomi masyarakat berupa bimbingan usaha dan peminjaman modal usaha serta pembangunan fasilitas air bersih. Strategi tidak langsung adalah mendorong pemerintah
desa
dan
kecamatan
untuk
bersungguh-sungguh
meningkatkan
komitmennya dalam pemberdayaan masyarakat serta membuat Peraturan Daerah yang memiliki posisi tawar yang tinggi yang mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan CSR dan membentuk konsorsium perusahaan untuk menyamakan persepsi tentang CSR. Penelitian mengenai otomotif di Indonesia dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di Jakarta pada July 1999 mengenai Pembangunan Industri Otomotif Indonesia (The Development of The Indonesian Automotive Industry) tentang pembangunan industri otomotif Indonesia mulai 1980 – 1990an meneliti perkembangan industri otomotif dalam tiga kelompok jenis otomotif, yaitu sedan, kendaraan komersial dan komponen dengan metode diskriptif, disimpulkan bahwa kelompok sedan memiliki pasar yang amat terbagi-bagi (fragmentation), sehingga amat sulit meningkatkan local component dibandingkan dengan jenis lainnya (kendaraan komersial) dan berdampak pada perkembangan indsutri komponen yang menjadi kurang efisien untuk jenis sedan dibandingkan dengan jenis lainnya. Hasil penelitian khusus bidang otomotif yang meneliti masalah CSR dalam industri otomotif dalam kaitannya dengan masyarakat sekitar belum ditemui, terutama yang melihat secara konsep aspek-aspek apakah yang harus menjadi prioritas sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat sekitar.