39
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN DAN CSR
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perbankan Perbankan adalah lembaga keuangan yang berperan sangat vital dalam aktivitas perdagangan internasional serta pembangunan nasional.
Pada dunia
ekonomi modern saat ini, masyarakat sangat bank minded. Ini dapat dilihat dari makin maraknya minat masyarakat untuk menyimpan, berbisnis, bahkan sampai berinvestasi melalui perbankan. Hal ini menyebabkan semakin maraknya dunia perbankan yang dapat dilihat dari tumbuhnya bank-bank swasta baru walaupun pemerintah semakin memperketat regulasi pada dunia perbankan. Jenis-jenis Perbankan di Indonesia diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang selanjutnya disebut dengan UU Perbankan. Dalam Pasal 5 ayat (1), berbunyi: a. Bank Umum, adalah bank yang dapat memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran. b.
Bank Perkreditan Rakyat, adalah bank yang menerima simpanan dalam bentuk deposito berjangka dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 39
40
Pasal 5 ayat (2): “Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu”. Jadi perbankan di Indonesia hanya terdiri dari 2 jenis, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan saja, sedangkan Bank Sentral hanya bertugas untuk menjaga kestabilan moneter dan melakukan pengawasan dan pembinaan bank. Sebagaimana yang telah ditentukan bahwa hanya ada 2 jenis Perbankan di Indonesia, makan usaha-usaha perbankan pun hanya di jalankan oleh 2 jenis bank saja, yaitu: a. Usaha Bank Umum, diatur dalam Pasal 6 UU Perbankan, ketentuan dalam huruf m diganti, dan berbunyi: “menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syari‟ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”. b. Usaha Bank Perkreditan Rakyat, diatur dalam Pasal UU Perbankan, ketentuan dalam huruf c diganti, dan berbunyi: “menyediakan pembiyaan dan penempatan uang berdasarkan prinsip Syari‟ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
41
2.1.1 Pengertian Perbankan Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. Kata bank berasal dari bahasa Italia banca berarti tempat penukaran uang. Definisi Bank menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Selain definisi Perbankan dari UU Perbankan, terdapat beberapa definisi dari para ahli. Menurut Hasibuan, pengertian bank adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan (financial assets) serta bermotif profit juga sosial, jadi bukan hanya mencari keuntungan saja.1 Selain itu Kasmir berpendapat bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat, serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.2 Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bank adalah usaha yang berbentuk lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana (surplus of fund) dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang kekurangan dana (lack of fund), serta memberikan jasa1
Hasibuan, Melayu SP, 2005, Dasar-dasar Perbankan,Jakarta: PT. Bumi Aksara, hal. 14 2 Kasmir. S.E., M.M. 2002, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 26
42
jasa bank lainnya untuk motif profit juga sosial demi meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 2.1.2 Fungsi Lembaga Perbankan Menurut Budisantoso secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of services.3 a. Agent of trust Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal menghimpun dana maupun penyaluran dana. Masyarakat mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut , dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak akan menyalahgunakan pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjaman saat jatuh tempo, dan debitur mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo.
3
Budisantoso, T dan Sigit, 2006, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat, hal. 40
43
b. Agent of Development Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor
moneter
tidak
bekerja
dengan
baik.
Kegiatan
bank
berupa
penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat. c. Agent of Service Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian secara luas. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.
2.2. Tinjauan Umum Tentang CSR
44
Eksistensi korporasi bisnis akan semakin kuat apabila didukung dengan pelaksanaan CSR dari korporasi itu sendiri, dimana dengan demikian korporasi tersebut menunjukan kepada masyarakat bahwa kehadiran korporasi tersebut tidak hanya memposisikan keuntungan diatas segalanya. Korporasi yang demikian adalah korporasi yang menjadikan CSR sebagai bagian dari bisnis dan bukannya oposisi dari bisnis itu sendiri, dimana dengan pemikiran yang mendalam dan maju, korporasi tersebut percaya bahwa CSR akan menaikan nilai ekonomis. Corporate Social Responsibility merupakan suatu elemen yang penting dalam kerangka sustainability, yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Corporate Social Responsibility merupakan proses penting dalam pengelolaan biaya dan keuntungan kegiatan bisnis dengan stakeholders baik secara internal (pekerja, shareholders dan penanam modal) maupun eksternal (kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota masyarakat, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan lain), dimana tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor saja, tapi konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif, akan tetapi merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki bersama antar stakeholders. Adapun alasan penting mengapa harus melakukan Corporate Social Responsibility, yaitu untuk mendapatkan keuntungan sosial, mencegah konflik dan persaingan yang terjadi, kesinambungan usaha/bisnis, pengelolaan sumber daya alam serta pemberdayaan masyarakat dan sebagai License to Operate. Jadi Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan tidak hanya
45
mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga secara sosial dan lingkungan alam bagi keberlanjutan perusahaan serta mencegah terjadinya konflik.4 Isu CSR adalah suatu topik yang berkenaan dengan etika bisnis. Pada umumnya, implementasi dari etika bisnis yang berkembang sekarang ini diwujudkan dalam bentuk CSR, yaitu suatu bentuk kepekaan, kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan untuk ikut memberikan manfaat terhadap masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi.5 CSR adalah sebuah konsep yang tidak hadir secara instan. CSR merupakan hasil dari proses panjang dimana konsep dan aplikasi dari konsep CSR pada saat sekarang ini telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan dari konsep-konsep terdahulunya. Di wilayah Asia, konsep CSR berkembang sejak tahun 1998, tetapi pada waktu tersebut belum terdapat suatu pengertian maupun pemahaman yang baik tentang konsep CSR. Sementara itu, di Indonesia konsep CSR mulai menjadi isu yang hangat sejak tahun 2001, dimana banyak perusahaan maupun
instansi-instansi
sudah
mulai
melirik
CSR
sebagai
suatu
konseppemberdayaan masyarakat. Perkembangan tentang konsep CSR pun pada dasarnya semakin meningkat lebih baik, ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas.6
4
Arif Budimanta, Corporate Social Responsibility : Realita dan Perkembangan, http://www.megawati-institute.org/pemikiran/corporate-social responsibility-realita-dan-perkembangan.html, diakses tanggal 23 Agustus 2015. 5 Implementasi CSR Untuk Pemberdayaan Masyarakat Miskin, http://lateralbandung.wordpress.com/2007/08/22implementasi-csr-untukpemberdayaan-masyarakat-miskin/, diakses tanggal 23 Agustus 2015. 6 Arif Budimanta, Op.Cit., hal.1.
46
Buku karangan Bowmen yang berjudul Social Responsibility of Businesman dapat dianggap sebagai dari awal permulaan CSR modern. Dalam buku tersebut Bowmen memberikan defenisi awal dari CSR sebagai ; ”....... obligation of businessman to pursue these policies, to make those decision or to follow those line of action which are diserable in term of objectives and valuses of our society”. Buku yang diterbitkan di Amerika Serikat itu menjadi buku terlaris dikalangan dunia usaha pada era 1950-1960, atas prestasi tersebut pada saat itu Bowmen disebut sebagai bapak CSR. Sejak saat itu banyak refrensi ilmiah lain yang diterbitkan diberbagai negara yang mengacu pada prinsip-prinsip tanggung jawab dunia usaha kepada masyarakat yang telah dijabarkan oleh Bowmen. Ide dasar yang dikemukan Bowmen adalah mengenai “Kewajiban-kewajiban perusahaan menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat ditempat perusahaan tersebut beroperasi”. Bowmen menggunakan istilah sejalan dalam konteks itu demi meyakinkan dunia usaha tentang perlunya mereka memiliki visi yang melampaui urusana financial perusahaan.7 Dalam dekade 1960-an pemikiran Bowmen terus dikembangkan oleh bebagai ahli sosiologi bisnis lainnya seperti Keith Davis yang memperkenalkan konsep Iron Law of Social Responsibility. Keith mengungkapakn bahwa penekanan tanggung jawab sosial perusahaan memiliki koneksi positif dengan ukuran atau besarnya perusahaan. Studi ilmiah yang dilakukan Keith menemukan bahwa semakin tinggi dampak suartu perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya, 7
.
Hendrik Budi Untung, Op.Cit., hal. 37
47
maka semakin tinggi pula bobot tanggung jawab yang harus dipertahankan perusahaan iu pada masyarakat. Dalam periode 1970-1980, defenisi CSR lebih diperluas lagi oleh Archi Carrol yang sebelumnya telah merilis bukunya tentang perlunya dunia usaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar menjadi penunjang eksistensi perusahaan.8 Pada dekade ini juga makin banyak perusahaan mulai mengeser konsep filantropisnya kearah Community Development (CD) yang mana inti kegiatan kedermawanaan yang sebelumnya kental dengan pola kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang ke arah pemberdayaan masyarakat semisal pengembangan kerja sama, memberikan ketrampilan, pembukaan akses pasar, dan Sebagainya.9 Gagasan Community Development (CD) dapat ditelusuri sejak sekitar tahun 1925. Ketika itu pernah berhasil dipraktekkan oleh Inggris di beberapa negeri jajahannya sampai tahun 1948. Bila ditelusur lebih lanjut ke masa sebelumnya, sebenarnya sejak akhir dekade tahun 1870-an di Amerika Serikat juga telah ada implementasi gagasan senada,. Selanjutnya lebih berkembang sejak Undang-undang Smith Lever diundangkan tahun 1914. Di Uni Soviet, sesuai dengan asas komunisme, menyelenggarakan pembangunan dengan perencanaan dan pengendalian yang sentralistik sejak tahun 1920.10
8
Hendrik Budi Untung, Op.Cit., hal. 37 Yusuf Wibisono, Op.Cit., hal.6 10 Sumardjo, Sejarah, Perkembangan dan Alternatif Pendekatan Comdev di Indonesia, http://www.create.or.id/?module=articles&action=detail&id=11, diakses pada tanggal 23 Mei 2015. 9
48
Perkembangan CD menjadi CSR didasari oleh adanya kesadaran terhadap situasi dan waktu yang telah berubah. Perusahaan bukan lagi merupakan kesatuan yang independen dan terisolasi, sehingga manajer tidak hanya bertanggung jawab kepada pemilik tetapi juga kepada kepentingan yang lebih luas yang membentuk dan
mendukungnya.
Dalam
mengejar
tujuan
ekonomisnya,
perusahaan
menimbulkan berbagai konsekuensi sosial lainnya, baik kemanfaatan maupun biaya sosial. Keamanan, kenyamanan, dan kemakmuran bagi masyarakat merupakan kemanfaatan sosial ,sedangkan degradasi potensi sumberdaya lingkungan limbah dan pencemaran membawa biaya sosial. Salah satu kesalahan dari pandangan lama (pandangan ekonomis) adalah tentang waktu yaitu mereka hanya memikirkan perolehan laba perusahaan dalam jangka pendek, sehingga tidak peduli terhadap dampak sosial lingkungannya. Akibatnya tidak sedikit perusahaan menjadi tidak aman karena respon masyarakat terhadap dampak negatif yang dialami akibat keberadaan suatu perusahaan. Dekade 1990 adalah merupakan periode dimana CSR mendapat pengembangan makna dan jangkauan. Banyak bermunculan model CSR seperti Corporate Social Performance (CSP), Business ethics Theory (BET), dan Corporate Citizenship. Pada periode ini CSR telah menjadi tradisi baru dalam dunia usaha. Meskipun banyak terdapat istilah atau model-model CSR pada saat itu, pada dasarnya keseluruhan konsep CSR tersebut dapat diklasifikasikan kedalam 2 konsep dasar yaitu Cause Branding dan Venture Philantrophy. Cause Branding adalah pendekatan secara top-down, artinya perusahaan menentukan masalah sosial apa yang perlu dibenahi oleh perusahaan. Branding mendesain
49
program sosial yang berkaitan dengan branding product yang tujuannya membuat masyarakat lebih akrab dengan merek dagang, untuk jangka panjang model ini bermanfaat bagi perusahaan membenahi diri untuk memperkuat eksistensi. Sedangkan Venture Philantrophy merupakan pendekatan bottom-up, dimana perusahaan membantu pihak-pihak non-profit dalam masyarakat. Perusahaan membantu masyarakat untuk menciptakan sendiri sumber-sumber penghidupan baru dan tidak sekedar menyalurkan bantuan sosial atau financial kepada masyarakat.11 Pada saat sekarang ini, CSR tidak hanya menjadi suatu tradisi yang dilaksanakan oleh perusahaan. Konsep dan eksistensi CSR telah mulai diangkat kedalam posisi yang lebih tinggi, tidak hanya di ruang lingkup privat perusahaan tetapi juga telah menjadi perhatian oleh sektor publik yakni pemerintah. Hal ini dapat dicermati dari adanya isu hangat dunia mengenai pentingnya kontribusi perusahaan dan pemerintah dalam perbaikan, pengembangan dan perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat yang dicetuskan dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002 yang menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan. Perkembangan CSR pada dekade ini pun diikuti dengan diperkuatnya eksistensi CSR tersebut kedalam kewajiban yang bersifat normatif diberbagai negara. Meskipun baru hanya beberapa negara yang berani untuk mengambil tindakan tersebut dimana Indonesia termasuk salah satu negara didalamnya, hasil ini merupakan perkembangan yang sangat positif bagi CSR itu sendiri.
11
Hendrik Budi Untung, Op.Cit,. hal.38
50
2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum CSR CSR dalam pengertian terbatas dipahami sebagai upaya untuk tunduk dan memenuhi hukum dan aturan main yang ada. Perusahaan tidak bertanggungjawab untuk memahami ”apa yang ada”, (konteks) di sekitar aturan tersebut, karena perusahaan mungkin saja mengeinterpretasikan secara kreatif aturan-aturan hukum untuk kepentingan mereka, terutama ketika aturan tersebut tidak cukup spesifik mengatur apa yang legal dan tidak legal, atau prilaku apa yang diperbolehkan untuk mengantisipasi hal itu. Oleh karena itu, menurut pengusung konsep terbatas ini hanya satu dan hanya satu tanggungjawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber dayanya untuk aktivitas yang mengabdi pada akumulasi laba.12 Perusahaan dalam pandangan Friedman adalah alat dari para pemegang saham (pemilik perusahaan). Maka apabila perusahaan akan memberikan sumbangan sosial, hal ini akan dilakukan oleh individu pemilik, atau lebih luas lagi, individu para pekerjanya, bukan oleh perusahaan itu sendiri.13 CSR dalam pengertian yang luas dipahami sebagai konsep yang lebih manusiawi dimana suatu organisasi dipandang sebagai agen moral. Oleh karena itu, dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah organisasi bisnis, harus menjunjung tinggi moralitas. Dengan demikian, kendati tidak ada aturan hukum atau etika masyarakat yang mengatur, tanggung jawab sosial dapat dilakukan dalam
12
Friedman and Jones Gareth R, 2001, Organizational Theory, New Jersey, USA: Prentice- Hall.Inc, hal. 151 13 Michael E Porter and Mark R Kramer, 2003, The Competitive Advantage of Corporate Philantropy, Boston : Harvard Business School Publishing Corporation, hal.30
51
berbagai situasi dengan mempertimbangkan hasil terbaik atau yang paling sedikit merugikan stakeholder-nya.14 Di Indonesia Terminologi CSR bukanlah suatu hal yang relatif baru, perkembangan konsep CSR di Indonesia sudah berlangsung pada beberapa dekade. Istilah CSR sendiri juga mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan dunia usaha yang berkembang pesat, dan pembangunan sosial serta hak asasi manusia. Istilah CSR di Indonesia dikenal tanggung jawab sosial perusahaan, sedangkan di amerika CSR ini seringkali disamakan dengan corporate citizenship. kedua istilah tersebut pada intinya sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan disekitar perusahaan dalam kegiatan usaha dan juga pada perusahaan berinteraksi dengan stakeholder yang dilakukan secara sukarela. Selain itu, tanggung jawab sosial perusahaan dapat diartikan sebagai komitmen bisnis para korporasi untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan dan masyarakat lokal setempat dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik. Mulai pada saat terminology CSR diperkenalkan tahun 1920 sampai saat ini belum ada definisi tunggal mengenai pengertian CSR. Berikut adalah definisidefinisi dari CSR antara lain : The World Council for Sustainable Development (WBCSD), yang merupakan lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan 14
Fajar Nussahid, Op.Cit., hal. 5
52
lebih dari 180 perusahaan multinasional yang berasal dari 35 negara memberikan definisi CSR sebagai “continuing commitment while improving the quality of life of the workforce and their family as well as of the local community and society at large”. Apabila diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroprasi secara legal dn berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan.15 Definisi lain mengenai CSR juga dilontarkan oleh World Bank yang memandang CSR sebagai “the commitment of business to contribute to sustainable
economic
development
working
with
employess
and
their
representatives the local community and society at large ti improve quality of life, in ways that are both good for business and development”. Apabila diterjemahkan kurang kebih berarti komitmen dunia usaha memberikan sumbangan untuk menopang bekerjanya pembangunan ekonomi bersama karyawan dan perwakilan-perwakilan mereka dalam komunitas setempat dan masyarakat luas untuk meningkatkan taraf hidup, intinya CSR tersebut adalah baik bagi keduanya, untuk dunia usaha dan pembangunan. CSR forum juga memberika definisi, “CSR mean open transparent business practice that are based on ethical values and respect for employees, communities and environment”. Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR berarti keterbukaan dan transparan dalam pelaksanaan usahanya yang dilandasi nilai-nilai
15
Isa Wahyudi, Op. Cit. hal 29.
53
etika dan penghargaan terhadap karyawan-karyawan, masyarakat setempat, dan lingkungan hidup. Para ahli juga mendefinisikan CSR sebagai berikut : a. Menurut Yusuf Wibisono CSR didefinisikan sebabai tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negative dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.16 b. Menurut Suhandari M. Putri CSR
adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadapa aspek ekonomis, sosial dan lingkungan.17 CSR dapat dibagi ke dalam dua skema, yaitu voluntary dan mandatory. Skema voluntary merupakan skema yang berada pada area kesukarelaan dan kesadaran perusahan maupun institusi terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sedangkan skema mandatory merupakan skema yang berdasarkan mandat dari Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007. Skema mandatory, digunakan untuk mengatur dengan paksaan supaya perusahaan mau 16
Yusuf Wibisono,2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, Penerbit Salemba Empat, hal. 10 17 Suhandari M. Putri, 2007, Schema CSR, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 25.
54
bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi kewajibannya. Sehingga sangat boleh jadi skema voluntary memilki nilai (moral) lebih daripada skema mandatory, karena memilki kesadaran tanpa paksaan dari pihak manapun. UUPT juga mengatur ketentuan mengenai CSR. Pengertian CSR diatur dalam Pasal 1 butir (3) UUPT, dalam hal ini CSR disebut sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) yang berkomitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Pelaksanaan CSR ini harus dimuat dalam laporan tahunan persero yang disampaikan oleh direksi dan ditelaah oleh dewan komisaris yang mengharuskan memuat laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 66 ayat (2) huruf c UUPT). Dalam hal ini, UUPT mewajibkan bagi setiap perseroan yang menjalankan kegiatan di bidang usaha dan atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Hal ini ditegaskan juga dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam hal ini, tanggung jawab sosial dan lingkungan menimpakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelakasakannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran (Pasal 74 ayat (2) UUPT). Selanjutnya, dinyatakan bahwa
55
perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan kepatutan peraturan perundang-undangan (Pasal 74 ayat (3) UUPT).18 Dalam Pasal 4 Peraturan pemerintah No. 47 tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, dikatakan bahwa CSR dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan anggaran dasar perseroan. Rencana kerja tahunan perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan CSR.. Pelaksanaan CSR tersebut dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS (Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas). Selanjutnya pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaan Modal, pasal 15 huruf (b) diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan CSR. Yang dimaksud dengan CSR menurut Penjelasan Pasal 15 huruf (b) adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing (Pasal 1 angka (4) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaan Modal). Selain itu dalam Pasal 16
18
Yusuf Wibisono, Op. Cit. hal.8
56
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaan Modal juga diatur bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ini juga merupakan bagian dari CSR. Jika penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan CSR, maka berdasarkan Pasal 34 UU 25/2007, penanam modal dapat dikenai sanksi adminisitatif berupa: a.
peringatan tertulis;
b.
pembatasan kegiatan usaha;
c.
pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d.
pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. Selain dikenai sanksi administratif, penanam modal juga dapat dikenai
sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaan Modal). Dalam bebagai wacana Coorporate Social Responsibility dapat diartikan secara luas dan universal seperti berikut : 1. World Business Coincil for Suistainable Development Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan member kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas local dan masyarakat luas pada umumnya. 2. International Finance Corporation Komitmen dunia bisnis untuk member kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga
57
mereka, komunitas local dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.19 3. Instutute of Chartered Accountants, England and Wales Jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberika dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan. 4. European Commission Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya
dengan
para
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
berdasarkan prinsip kesukarelaan.20
5. CSR Asia Komitmen perusahaan untuk beroprasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya meyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholder. 6. ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility
19
Arif Budimanta, 2008, Coorporate Social Responsibility: Alternatif bagi Pembangunan Indonesia, Jakarta, Penerbit ICSD, Hal.67 20 Isa Wahyudi, Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Pemerbit In- Trans Publishing, hal.29
58
Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh. Tanggung jawab sosial merupakan pasal yang tidak dapat dipisahkan dari good corporate governance karena pelaksanaan Corporate Social Responsibility merupakan pasal dari salah satu prinsip yang berpengaruh dalam good corporate governance. Sampai dengan sekarang belum ada kata sepakat tentang definisi good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik. Akan tetapi, pada umunya GCG dipahami sebagai suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antaraberbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan, sedangkan dalam arti luas, GCG digunakan untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholder secara proposional dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan sekaligus memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.21 Dalam keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No. Kep-23/MPM.PBUMN/2000, tanggal 21
Emrizon, Joni, 2007, Prinsip-prinsip Good Corporate Goverance, Yogyakarta, Genta Press, hal.67
59
31 Mei 2000, tentang pengembangan praktik Good Corporate Governance dalam, prinsip persero, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan GCG adalah prinsip perusahaan yang sehat yang diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan. GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangang perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para stakeholder khususnya dan stakeholder pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab para stakeholder-nya. Para pengambil keputusan diperusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi stakeholder lainnya. Oleh karena itu, focus utama disini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilainilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness. Di Indonesia istilah GCG biasa diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang baik. Dalam hal ini, GCG kemudian didefinisikan sebagai suatu pola hubungan sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepetingan stakeholder
60
lainnya, dengan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa GCG merupakan : 1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya. 2) Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang : pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan. 3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.22 Prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG antara lain : 1) Transparency (keterbukaan informasi) Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholdersnya. 2) Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas berarti adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi. 3) Responsibility (Pertanggungjawaban)
22
Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Penerbit PT Tatanusa, hal.231.
61
Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain kepada shareholder juga kepada stakeholders lainnya. 4) Independency (kemandirian) Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5) Fairness (kesetaraan dan kewajaran) Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholders sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.23 Prinsip yang berkaitan erat dengan CSR adalah Responsibilitas yang merupakan aspek pertanggungjawaban dari setiap kegiatan perusahaan untuk melaksanakan prinsip CSR karena dalam berusaha, sebuah perusahaan tidak akan lepas dari masyarakat sekitar, ditekankan juga pada signifikansi filantropik yang diberikan dunia usaha kepada kepentingan pihak-pihak eksternal dimana perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholder perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa, dan memelihara 23
Khairandy, Ridwan & Malik Camelia, 2007, Good Corporate Governance, Yogyakarta, Penerbit Total Media, Hal. 7.
62
kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Diluar itu, lewat prinsip responsibility diharapkan membantu pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dari mekanisme pasar.24 CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada single bottom line yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial saja) tetapi harus berpijak pada triple bottom lines, dimana bottom lines selain financial juga sosial dan lingkungan. Aspek ekonomi diungkapkan dengan Profit, aspek sosial diungkapkan dengan people, dan aspek lingkungan diungkapkan dengan Planet. Kondisi keuangan saja tak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Menurut Archie B. Carrol disebut dengan piramida CSR. Kemudian teori ini pada tahun 1997 dipopulerkan oleh John Elkington melalui bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentienth Century Business”. 1.
Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2.
People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan
24
Arif Budimanta, Op. Cit. Hal. 25
63
ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat. 3.
Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana pengembangan pariwisata (ekoturisme). Triple “P” (Profit, People, Planet) merupakan tiga aspek yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Apabila
perusahaan dalam mengimplementasikannya, hanya
menekankan hanya pada salah satu aspek saja, maka perusahaan akan dihadapkan pada berbagai macam resestensi baik yang bersifat internal maupun eksternal, sehingga perusahaan akan sulit bahkan tidak akan mampu beraktivitas secara berkelanjutan.25 Berdasarkan standar dari Bank Dunia maka CSR ini meliputi beberapa komponen utama yakni : a. Perlindungan lingkungan b. Menjamin kerja c. Hak Asasi Manusia d. Interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat e. Standar usaha f. Pasar g. Pengembangan ekonomi dan badan usaha h. Perlindungan kesehatan 25
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Penerbit Forum Sahabat. Hal. 34.
64
i. Kepemimpinan dan pendidikan j. Bantuan bencana kemanusiaan. Bagi perusahaan yang berupaya untuk membangun citra positif perusahaannya, maka kesepuluh komponen tersebut harus diupayakan pemenuhannya. Dampak dari pendirian perusahaan oleh pemilik modal yang tergabung dalam sebuah corporation salah satunya adalah muncul kesenjangan antara pihak perusahaan (corporate) dengan masyarakat setempat yang dapat mempengaruhi kestabilan negara, disisi lain pemerintah terkadang tidak bisa berbuat banyak dalam memenuhi semua tuntutan masyarakat yang merasa hak-hak atas daerahnya dilanggar termasuk hak asasi seperti terusiknya tempat tinggal dan berkurangnya mata pencaharian anggota masyarakat disekitar perusahaan. Dalam meminimalisir akibat tersebut, peran dari program Coorporate Social Responsibility sangat besar.26 Dengan dipenuhinya kewajiban-kewajiban ini maka perusahaan telah melakukan kegiatannya secara berkelanjutan dan tidak merugikan kepentingan para stakeholdernya. Perusahaan dalam mencari laba diperbolehkan, tetapi jangan pula mengabaikan hak-hak yang terkandung dan dimiliki oleh konsumen, investor dan masyarakat. Lebih dari itu ketika pembangunan perusahaan telah sesuai dengan kawasan peruntukannya, maka pengusaha perlu melaksanakan berbagai kewajiban untuk meminimalisir kerugian yang dialami konsumen, karyawan, investor, maupun kerusakan kualitas lingkungan hidup antara lain : a.
Kewajiban terhadap konsumen
26
Khairandy, Ridwan & Malik Camelia, Op. Cit. Hal. 9.
65
1. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan produk yang aman 2. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang spesifikasi produk yang dijual perusahaan, antara lain dengan mencantumkan label yang benar. 3. Konsumen memiliki hak untuk didengarkan, perusahaan dapat membuka kontak pelanggan melalui kotak pos atau nomor telepon. 4. Konsumen memiliki hak untuk dapat memilih barang yang mereka beli. 5. Kolusi dalam penetapan harga yang merugikan konsumen tidak dilakukan. 6. Kampanye iklan tidak dilakukan secara berlebihan. 7. Kampanye iklan diikuti oleh produksi dan distribusi produk sesuai dengan pesan-pesan iklan. 8. Kampanye iklan perlu memperhatikan faktor berikut ini : tidak menayangkan materi iklan yang menonjolkan anak-anak sedang merokok, mencantumkan kandungan kalori lemah kolesterol dalam makanan, komponen vitamin, dan unsur-unsur minuman kesehatan, menayangkan dengan gencar produk konsumsi yang tidak layak dan tidak halal untuk dikonsumsi, memberikan iming iming hadiah jika membeli produk dengan gencar, materi iklan dan film yang tidak baik untuk ditonton oleh anakanak dan bersifat pornografi. b.
Kewajiban terhadap karyawan 1. Melakukan proses seleksi dan penempatan pegawai secara transparan dengan mengajak para calon pegawai dari sekitar komunitas untuk berpartisipasi.
66
2. Memberikan posisi jabatan dan balas jasa gaji dan pengupahan, serta promosi jabatan tanpa memandang agama, gender, suku bangsa, senioritas dan asal negara. 3. Mematuhi peraturan dan UU ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. c.
Kewajiban terhadap investor 1. Meniadakan berbagai potensi kecurangan yang mungkin timbul di perusahaan terhadap investor. 2. Menghindari praktek pembuatan laporan keuangan yang disemir dan tidak sesuai dengan standar pelaporan akuntansi yang berlaku. 3. Tidak melakukan perbuatan ilegal seperti mengeluarkan cek kosong dan proses pencucian uang (money laundry) 4. Tidak melakukan proses “insider trading” dalam menjual surat berharga perusahaan. 5. Mematuhi ketentuan tentang GAAP (Generally Accepted Accounting Practices), ketentuan pasar modal bagi para emiten dan pedoman GCG yang diberlakukan perusahaan.
d.
Kewajiban terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup 1. Menjalankan program community social responsibility, khususnya yang berkaitan dengan pelestarian kualitas lingkungan hidup.
67
2. Memperhitungkan dampak lintas sektor dalam proses produksi dengan memanfaatkan bahan baku alam secara berkelanjutan. 3. Menerapkan prinsip SIDEC, Sustainabilitas, Interdependence, Diversitas, Equity, Cohesion dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan alam. 4. Mengembangkan pola hidup “kekitaan” ketimbang “keakuan” (Emil Salim). 5. Menghasilkan proses produksi dengan mengoptimalkan upaya renewable resources, daur ulang non-renewable resources, mengupayakan zerowaste clean technology; dan pemanfaatan tataruang dan proses produksi dengan sedikit limbah dan polusi.27 Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah membentuk departemen khusus tersendiri yang bertugas menjalankan konsep CSR. Departement khusus ini dibentuk agar upaya ini dapat dilakukan dengan fokus dan terarah, dan last but not least adanya prioritas di bidang kesehatan juga merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan, sehingga CSR tidak hanya sebatas konsep untuk mendapatkan kesan baik atau citra positif semata melainkan benar-benar merupakan realisasi dari niat baik perusahaan sebagai partner dari masyarakat.
2.2.2 Sejarah CSR Perkembangan dunia dewasa ini menyebabkan masyarakat hidup bagai dalam dimensi ruang yang tak bersekat. Berbagai bidang kehidupan dipengaruhi oleh
27
Emrizon, Joni, Op.Cit. Hal. 76-78.
68
proses yang secara langsung telah membentuk tatanan baru dalam lingkup pergaulan dunia dimana negara maju cenderung mendominasi diantara negara berkembang dan negara miskin yang lazim dikenal sebagai globalisasi. Globalisasi tidak hanya mencakup bidang eksternal seperti perdagangan tetapi juga merambah bidang-bidang privat negara yang bersangkutan seperti regulasi dan kebijakan yang mana kadang berkesan “abu-abu” karena tidak berkonsep dari masyarakat itu sendiri. Indonesia sebagaimana negara berkembang cenderung meratifikasi kebijakan global yang berembrio dari negara maju seperti berbagai produk peraturan di bidang ekonomi yang terkesan “dipaksakan” pembuatan dan pemberlakuannya demi memenuhi prasyarat untuk “boleh” berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi dunia. Ekonomi secara signifikan berkembang seiring dengan globalisasi mengarah pada perubahan citra dalam dunia usaha dan industri. Berawal dari Earth Summit di Rio de Jeneiro Brazilia tahun 1992 dan program ekonomi berkelanjutan di Yohannesburg tahun 2002, hubungan perusahaan dengan obyek diluar industri mulai mengalami pergeseran, dimulai dengan Corporate Relation yang berkembang menjadi Community Development dan CSR. Kegiatan atau program CSR merupakan suatu bentuk solidaritas sosial perusahaan bagi masyarakat, sekaligus bermanfaat dalam membentuk citra perusahaan melalui publikasi yang tepat akan sangat membantu membangun menggalang kerjasama antara masyarakat dengank perusahaan. Misi untuk mencapai profitabilitas dan kesinambungan pertumbuhan dapat ditempatkan sejalan dengan tanggung jawab sosial perusahaan sehingga ada
69
keselarasan antara kebutuhan masyarakat dan perusahaan untuk tumbuh bersama. Konsep seperti ini lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR. CSR pertama kali muncul dalam diskursus resmi-akademik sejak hadirnya tulisan Howard Bowen, Social Responsibility of the Businessmen tahun 1953 (Harper and Row, New York). CSR yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-ni lai dalam suatu masyarakat. Singkatnya, konsep CSR mengandung makna, perusahaan atau pelaku bisnis umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab legal, ekonomi, etis, dan lingkungan. Lebih khusus lagi, CSR menekankan aspek etis dan sosial dari perilaku korporasi, seperti etika bisnis, kepatuhan pada hukum, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan pencaplokan hak milik masyarakat, praktik tenaga kerja yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan kesehatan,
perlindungan
konsumen,
sumbangan
sosial,
standar-standar
pelimpahan kerja dan barang, serta operasi antar negara.28 Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970 an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental, protection, dan social equity, yang digagas oleh the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam 28
Eddie Riyadi, Tanggung Jawab Bisnis http://www.elsam.or.id, diakses tanggal 16 September 2015
Terhadap
Ham,
70
Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR dalam fokus 3P, merupakan singkatan dari profit, planet dan people dimana perusahaan yang tidak hanya memburu keuntungan ekonomi (profit) belaka melainkan memiliki pula kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).29 Pada saat industri berkembang setelah terjadinya revolusi industri, kebanyakan perusahaan masih memfokuskan tujuan perusahaan hanya sekedar untuk mencari keuntungan belaka. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat kemudian menuntut perusahaan untuk bertanggungjawab sosial. Hal ini dikarenakan selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat di sekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif, misalnya eksploitasi sumber daya alam dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi perusahaan. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR yang paling primitif, dalam hal ini adalah kedermawanan yang bersifat karitatif. Wacana CSR menjadi populer dengan diterbitkannya buku ”Silent Spring” karangan Rachel Carson yang membahas pertama kalinya tentang persoalan lingkungan dalam tataran global. Karyanya menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi mesti dicermati sebelum berdampak menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian kian luas. Pemikiran korporasi yang lebih manusiawi juga muncul dalam The Future Capitalism yang ditulis Lester Thurow tahun 1966.
29
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit. Hal. 35.
71
Menurutnya, kapitalisme-yang menjadi mainstream saat itu tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basisapa yang nantinya disebut sustainable society.30 Gema CSR semakin terasa pada tahun 1950-an. Hal ini dikarenakan persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula tidak mendapat perhatian, mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Dengan diterbitkannya buku yang bertajuk “social responsibilities of the businessman” karya Howard R Bowen tahun 1953 yang merupakan literatur awal, maka menjadikan tahun tersebut sebagai tonggak sejarah modern CSR. Di samping itu, pada dekade ini juga diramaikan oleh buku legendaris yang berjudul “silent spring” yang ditulis oleh Rachel Carson, seorang ibu rumah tangga biasa yang mengingatkan kepada masyarakat dunia akan bahaya yang mematikan dari pestisida terhadap lingkungan dan kehidupan. Melalui buku Rachel Carson ingin menyadarkan bahwa tingkah laku perusahaan mesti dicermati sebelum berdampak pada kehancuran.31 Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah “the limits to Growth” yang merupakan hasil pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Dalam hal ini, buku ini ingin mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijak mempunyai keterbatasan daya dukung. Oleh karena itu, eksploitasi alam mesti dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pada dasawarsa ini, kegiatan kedermawanan perusahaan 30 31
Yusuf Wibisono, Op.Cit., hal. 5.
Ismail Solohin, 2008, Corpotate Social Responsibility From Gharity to Sustainability, Bandung, Salemba Sempat, Hal. 75.
72
terus berkembang dalam kemasan philantropy dan community development serta pada masa ini terjadi perpindahan penekanan dari fasilitas dan dukungan pada sektor-sektor produktif ke arah sektor-sektor sosial. Pada era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep philantropisnya ke arah community development. Intinya kegiatan kedermawanan yang sebelumnya kental dengan kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang ke arah pemberdayaan masyarakat, misalnya pengembangan kerja sama, memberikan keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti plasma, dan sebagainya. Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society. Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak awal tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun berbeda secara gramatikal,
secara
faktual
aksinya
mendekati
konsep
CSR
yang
merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Tuntutan sosial yang muncul sejak abad ke 19 ini, berkembang hingga kini melalui beberapa tahapan seperti berikut : 1. Entrepeneurial Era
73
a) Dunia bisnis pada abad ke 19 ditandai dengan bangkitnya semangat kewirausahaan yang berfilosofi pada mekanisme pasar bebas (dipelopori oleh Rockefeller, Morgan dan Vanderbilt). b) Banyak terjadi pelanggaran hak-hak pekerja dan cara berbisnis yang baik sebagai aplikasi dari filosofi pasar bebas. c) Beberapa negara mulai membuat peraturan (Undang-Undang) untuk membatasi praktek kecurangan dalam bisnis. 2. The Great Depression a) Tahun 1930 banyak pihak menduga kegagalan pasar didorong oleh faktor ketamakan perusahaan dalam mengejar keuntungan/laba. b) Mulai timbul kesadaran akan perlunya suatu Undang-Undang yang mengatur perlindungan terhadap pekerja, konsumen, dan masyarakat. 3. The Era of Social Activism a) Dimulai tahun 1960-1970 dimana kalangan bisnis dicurigai berkolaborasi dengan pemerintah dengan memanfaatkan berbagai kesempatan bisnis untuk merugikan masyarakat. Sebagai contoh adalah produksi rokok. b) Masyarakat menuntut adanya UU tentang pembatasan merokok dan UU tentang perlindungan lingkungan.
4. Contemporary Social Consciousness
74
a) Sejak tahun 1990 mulai berkembang kesadaran dari berbagai pihak bahwa dunia bisnis perlu memberikan perhatian pada aspek sosial, yang didorong oleh perkembangan globalisasi dan kerusakan lingkungan. b) Mulai diperkenalkannya konsep CSR dan berbagai peraturan tentang lingkungan hidup kepada khalayak. Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi (Earth Summit). KTT yang diadakan di Rio de Jenairo Brazil ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakkan. Terobosan besar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep “3P” (Profit, people, and planet) yang dituangkan dalam bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentienth Century Business” yang dirilis pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni bukan cuma profit yang diburu. Namun, juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people), dan ikut aktif dalam menjaga lingkungan (planet). Selanjutnya, gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan. Sejak saat inilah, definisi CSR mulai berkembang.32
2.2.3 Prinsip-Prinsip CSR 32
Ismail Solihin, 2008, Corporate Social Responsibility From Gharity to Suistainability, Bandung, Salemba Ampat, Hal. 124.
75
Penerapan CSR haruslah memiliki landasan yang kuat sehingga dengan demikian tidak ada suatu alasan apapun yang dapat membiaskan pemahaman terhadap CSR sebagai suatu tuntutan untuk menciptakan kehidupan yang lebihbaik bagi dunia. CSR sebagai suatu konsep pada aplikasinya telah didasarkan pada berbagai prinsip-prinsip yang telah distandarisasikan oleh perkembangan dunia usaha dan pemerhati lingkungan hidup bahkan sampai organisasi dunia. Hal ini tentu saja memberikan pembatasan terhadap prinsip CSR baik itu yang melatarbelakangi lahirnya CSR maupun prinsip dalam penerapan CSR itu sendiri. Beberapa standarisasi prinsip CSR dapat diuraikan sebagai berikut : 1. GCG (Good Corporate Governance) GCG memliki kaitan yang erat dengan CSR. GCG menekankan pada tindakan perusahaan bertanggung jawab terhadap dampak eksternal yang pada akhirnya mengarahkan kepada pertanggung-jawaban sosial. Secara garis besar GCG ini terdiri dari 5 Prinsip yakni : a. Keterbukaan Informasi (Transparancy) Secara sederhana, bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam
mewujudkan
prinsip
ini
perusahaan
dituntut
untuk
menyediakan informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu kepada stakeholder-nya. b. Akuntabilitas (Accountability) Merupakan kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggung jawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka aka nada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan
76
wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi. c. Pertanggungjawaban (Responsibility) Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku, kebiasaan dan etika binis. Dengan demikian prinsip ini diharapkan menyadarkan perusahaan bahwa kegiatn usahanya harus dipertanggungjawaban kepada shareholders maupun kepada stakeholders. d. Kemandirian (Independecy) Intinya agar perusahaan dikelola secara professional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. e. Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness) Adanya perlakuan yang adil dalam pemenuhan hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan adil diantara beragam kepentingan dalam perusahaan. 2. Caux Principles for Business Caux Principles merupakan sekumpulan rekomendasi yang mencakup banyak wilayah dari corporate behavior. Rekomendasirekomendasi tersebut “berupaya untuk mengekspresikan standar umum corporate behavior yang etis dan bertanggung jawab dan ditawarkan
77
sebagai dasar untuk dibicarakan dan diimplementasikan oleh kalangan bisnis dan pemimpin di seluruh dunia. Dikeluarkan pada tahun 1994, Principles disponsori oleh Caux Roundtable (yang terdiri dari pemimpin bisnis senior dari Eropa, Jepang dan Amerika). Tidak ada mekanisme formal bagi perusahaan untuk berkomitmen terhadap prinsip-prinsip ini. Adapun prinsip dalam Caux ini yakni :33 a.
Penghormatan terhadap Pemegang kepentingan diatas pemegang saham (Respect Stakeholders Beyond Shareholders) Business memberikan nilai kepada masyarakat melalui kekayaan dan menciptakan lapangan kerja dan dipasarkan produk dan jasa yang memberikan kepada konsumen. Sebuah bisnis yang bertanggung jawab karena mempertahankan kesehatan dan kelangsungan hidup ekonomi untuk mempertahankan nilai bukan hanya bagi para pemegang saham, tetapi juga untuk stakeholder lain, mengakui bahwa sendiri hidup bukan satu-satunya tujuan perusahaan yang bertanggung jawab. Sebuah bisnis yang bertanggung jawab juga menghargai kepentingan, dan bertindak dengan kejujuran da n keadilan untuk para pelanggan, karyawan, pemasok, pesaing, dan masyarakat luas untuk memastikan kelangsungan hidup ekonomi mereka.
b. Berpartisipasi dalam Kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan (Contribute to Economic, Social, and Environmetal Development)
33
www.cauxroundtable.org, diakses pada tanggal 9 September 2015.
78
Bisnis tidak dapat secara lestari/ sejahtera dalam masyarakat yang gagal.Sebuah bisnis yang bertanggung jawab sehingga berpengaruh terhadap ekonomi dan sosial dan lingkungan pengembangan masyarakat
di
mempertahankan
mana
ia
esensial
beroperasi, „operasi'
dalam
rangka
modal-sosial,
untuk
manusia,
keuangan dan segala bentuk niat baik. Sebuah bisnis yang bertanggung jawab dapat meningkatkan efektifitas masyarakat melalui penggunaan sumber daya bijaksana, gratis dan kompetisi yang adil, serta inovasi dalam teknologi, metode produksi, pemasaran, dan komunikasi. c.
Menaati Hukum Tersurat dan Tersirat (Respect Both The Letter and The Spirit of The Law) Beberapa perilaku bisnis, walaupun sah, memiliki konsekuensi yang merugikan. Sebuah bisnis yang bertanggung jawab mematuhi semangat dan maksud di balik hukum, serta hukum yang tersurat, yang memerlukan perilaku yang melampaui kewajiban hukum minimal. Terbuka, kejujuran, transparansi, dan menjaga janji-janji dalam pengambilan keputusan bisnis selalu diperlukan.
d. Mentaati Peraturan dan Kovensi (Respect the Rules and Conventions)
79
Sebuah bisnis yang bertanggung jawab menghormati budaya lokal dan tradisi dalam masyarakat di mana beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip dasar keadilan dan kesetaraan. Sebuah bisnis yang bertanggung jawab juga menghormati semua peraturan yang relevan dan konvensi pada saat melakukan perdagangan yang adil, kompetitif, dan dengan perlakuan yang sama bagi semua. e.
Mendukung Globalisasi (Support Responsible Globalisation) Sebuah bisnis yang bertanggung jawab ikut serta dalam pasar global
dan
mendukung
keterbukaan
dan
keadilan
sistem
perdagangan multilateral. Sebuah bisnis yang bertanggung jawab berusaha untuk memiliki peraturan domestik dan peraturan berubah, di mana perlakuan yang tidak wajar dapat menghambat perdagangan global untuk semua. f.
Penghormatan Terhadap Lingkungan (Respect The Environment) Sebuah bisnis yang bertanggung jawab memastikan bahwa operasi yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan. Sebuah binis yang bertanggung jawab mengemban tanggung jawab untuk melindungi dan jika mungkin meningkatkan kualitas lingkungan, sementara menghindari pemborosan penggunaan sumber daya.
g. Penghindaran Perbuatan Ilegal (Avoid Illicit Activities)
80
Sebuah binis yang bertanggung jawab tidak berpa rtisipasi dalam atau membiarkan praktek korupsi, penyuapan pencucian uang, atau kegiatan terlarang lainnya. Sebuah bisnis yang bertanggung jawab tidak berpartisipasi atau memfasilitasi perdagangan bahan apapun yang akan digunakan untuk kegiatan teroris, perdagangan narkoba atau kriminal lain usaha. Sebuah bisnis yang bertanggung jawab secara aktif terlibat dalam pengurangan dan pencegahan dari semua tindakan illegal. 3. United Nations Global Compact GC (Global Compact) dalam peta praktik dan panduan CSR hanyalah salah satu model yang diadopsi oleh banyak perusahaan dunia. Di Indonesia, GC relatif kurang popular dibandingkan misalnya, CAUX Principles atau CERES Principles,. Meski demikian, dalam catatan resmi di websitenya, peserta GC yang dipelopori oleh PBB sudah tercatat sebanyak 4.700 perusahaan di seluruh dunia yang menjadi partisipannya. Untuk Indonesia saja, ditemukan sebanyak 160 partisipan terdaftar di GC (per 15 Februari 2009). Prinsip-prinsip yang didorong oleh GC untuk para pebisnis dunia meliputi empat wilayah utama: HAM, tenaga kerja, lingkungan, dan anti korupsi. Keempat agenda ini dibungkus dalam sepuluh prinsip GC yang menjadi semacam ten commandments buat para pelaku bisnis dunia global. Prinsip-prinsip tersebut yaitu :34 1. HAM 34
http://www.legalitas.org/?q=content/islam-dan-corporate-socialresponsibility-csr, diakses pada tanggal 25 Juli 2015.
81
a. Prinsip 1: Bisnis harus mendukung dan menghormati perlindungan hak asasi manusia internasional menyatakan; dan b. Prinsip 2: pastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. 2. Standar Perburuhan a. Prinsip 3: Bisnis harus menjunjung tinggi kebebasan berserikat dan pengakuan yang efektif terhadap hak untuk berunding bersama; b. Prinsip 4: penghapusan semua bentuk kerja paksa dan wajib c. Prinsip 5: efektif penghapusan pekerja anak dan d. Prinsip 6: penghapusan diskriminasi dalam hal pekerjaan dan jabatan. 3. Lingkungan a. Prinsip 7: Bisnis harus mendukung pendekatan pencegahan terhadap tantangan -tantangan lingkungan hidup; b. Prinsip 8: mengambil inisiatif untuk mempromosikan tanggung jawab lingkungan yang lebih besar dan c. Prinsip 9: mendorong pengembangan dan difusi teknologi yang ramah lingkungan.
4. Anti-Korupsi Prinsip 10: Perusahaan harus bekerja melawan korupsi dalam segala bentuknya, termasuk pemerasan dan penyuapan. Keseluruhan prinsip CSR yang tersebar di berbagai komunitas kemasyrakatan baik itu yang
82
bersifat profit ataupun yang bersifat non-profit pada dasarnya menekankan pada satu tujuan dimana eksistensi CSR pada saat sekarang ini bukan hanya sebagai konsep yang harus dilaksanakan secara sukarela (Voluntary) melainkan merupakan suatu urgensi yang harus segera mendapatkan pengakuan dan dasar yang lebih kuat untuk merealisasikan CSR ini kedalam dunia nyata Salah seorang pakar CSR yaitu Alyson Warhurst dari University of Bath Inggris, pada tahun 1998 menjelaskan ada 16 (enam belas) prinsip CSR. Adapun prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut :35 a. Prioritas Korporat Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan, dengan begitu korporat bisa membuat kebijakan, program, dan praktek dalam menjalankan operasi bisnisnya dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial.
b. Manajemen Terpadu. Mengintegrasikan kebijakan, program dan praktek ke dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur manajemen dalam semua fungsi manajemen.
35
Isa Wahyudi & Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility, Prinsip, Pengaturan dan Implementasi, Malang : Intrans Publishing dan Inspire Indonesia, hal. 57
83
c. Proses Perbaikan Secara berkesinambungan memperbaiki kebijakan, program dan kinerja sosial korporat, berdasar temuan riset mutakhir dan memahami kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional. d. Pendidikan Karyawan Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta memotivasi karyawan. e. Pengkajian. Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi pabrik. f. Produk dan Jasa. Mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak negatif secara sosial. g. Informasi Publik. Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik pelanggan, distributor, dan publik tentang penggunaan yang aman, transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu pula dengan jasa. h. Fasilitas dan Operasi. Mengembangkan, merancang dan mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial.
84
i. Penelitian. Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku, produk, proses, emisi dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif. j.
Prinsip Pencegahan. Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif.
k.
Kontraktor dan Pemasok. Mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial korporat yang dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok, disamping itu bila diperlukan mensyaratkan perbaikan dalam praktik bisnis yang dilakukan kontraktor dan pemasok.
l.
Siaga Menghadapi Darurat. Menyusun dan merumuskan rencana menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerja sama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal. Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul.
m. Transfer Best Practice. Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor publik.
85
n.
Memberi sumbangan. Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial.
o.
Keterbukaan. Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja dan publik, mengantisipasi dan memberi respon terhadap potencial hazard, dan dampak operasi, produk, limbah atau jasa.
p.
Pencapaian dan Pelaporan. Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi tersebut pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan publik.
Pada sisi lain Organization for Economic Corporation and Development (OECD) pada saat pertemuan para menteri anggota OECD di Prancis tahun 2000 juga menyepakati pedoman bagi perusahaan multinasional. Pedoman tersebut verisikan kebijakan umum yang meliputi : a. Memberi kontribusi kemajuan ekonomi, sosial dan lingkungan berdasarkan pandangan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
86
b. Menghormati hak-hak asasi manusia yang dipengaruhi oleh kegiatan yang dijalankan perusahaan tersebut, sejalan dengan kewajiban dan komitmen pemerintah di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. c. Mendorong pembangunan kapasitas lokal melalui kerja sama yang erat dengan komunitas lokal. Termasuk kepentingan bisnis. Selain mengembangkan kegiatan peusahaan di pasar dalam dan luar negeri sejalan dengan kebutuhan praktek perdagangan. d. Mendorong
pembentukan
human
capital,
khususnya
melalui
penciptaan kesematan kerja dan memfasilitasi pelatihan bagi karyawan. e. Menahan diri untuk tidak mencari atau pembebasan di luar yang dibenarkan secara hukum yang terkait dengan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja, pemburuhan, perpajakan, intensif finansial dan isu-isu lainnya. f. Mendorong danmemegang teguh prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) serta mengembangkan dan menetapkan praktekpraktek tata kelola perusahaan yang baik. g. Mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek sistem manajemen yang mengatur diri sendiri (self-regulation) secara efektif guna menumbuh jembangkan relasi saling percaya diantara perusahaan dan masayarakat setempat dimana perusahaan beroperasi. h. Mendorong kesadaran pekerja yang sejalan dengan kebijakan perusahaan melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan-
87
kebijakan itu pada pekerja termasuk melalui program-program pelatihan. i. Menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tebang pilih (discrimination) dan indisipliner. j. Mengembangkan mitra bisnis, termasuk para pemasok dan subkontraktor, untuk menerapkan aturan perusahaan yang sejalan dengan pedoman tersebut. k. Bersikap abstain terhadap semua keterlibatan yang tak sepatutnya dalam kegiatan-kegiatan politik lokal. Para era global ini, prinsip-prinsip tersebut seharusnya juga menjadi prinsip-prinsip
yang
harus
dipatuhi
oleh
semua
perusahaan
dalam
mengimplementasikan tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR.36
2.2.4 Tujuan CSR Dalam bisnis apapun, yang diharapkan adalah keberlanjutan dan kestabilan usaha, karena keberlanjutan akan mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan dunia
36
Ismail Solihin, Op. Cit, Hal. 75
88
usaha harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan.37 Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan mesti menyadari bahwa mereka beroperasi dalam satu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif, disamping sebagai kompensasi sosial karena timbul ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat. Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Wajar bila perusahaan dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan. Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan. Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial 37
2015
http://keuanganlsm.com/tujuan-csr/, diakses pada tanggal 09 September
89
memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan. Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi programprogram CSR merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif, maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi perusahaan untuk memupuk modal sosial. 2.2.5 Konsep CSR Pada Perusahaan Industri Perbankan Kegiatan usaha tidak hanya sekedar kegiatan ekonomi untuk memperoleh keuntungan semata, melainkan juga untuk melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Menghadapi perkembangan tersebut, perusahaan dalam hal ini industri perbankan mulai memperhatikan serius dimensi sosial dan lingkungan pada setiap aktivitas bisnisnya karena aspek-aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan kegiatan operasi perusahaan. Industri perbankan juga meyakini bahwa program tanggung jawab sosial merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan
90
perusahaan, yang artinya kegiatan CSR bukan lagi dilihan sebagai sentra biaya (cost center) tetapi juga sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang. Tanggung jawab sosial adalah kewajiban perusahaan untuk merumuskan kebijakan, mengambil keputusan dan melaksanakan tindakan yang memberikan manfaat kepada masyarakat. Lebih jauh lagi dalam lingkungan bisnis perusahaan, masyarakat di sekitar perusahaan pada dasarnya merupakan pihak yang perlu mendapatkan apresiasi, apresiasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan hidup mereka melalui kegiatan pemberdayaan masayarakat yang dilakukan oleh kegiatan CSR perusahaan. Hal ini karena perusahaan dan masyarakat pada dasarnya merupakan suatu kesatuan elemen yang dapat menjaga keberlangsungan perusahaan itu sendiri. Pada industri perbankan model penerapan CSR dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya, a. Cara Pertama, terlibat langsung artinya menyelenggarakan CSR sendiri dengan menyiapkan seorang pejabat senior seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. b. Cara Kedua, melalui atau membentuk yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. c. Cara ketiga, bermitra dengan lembaga sosial atau LSM baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya, dan
91
d. Cara Keempat, adalah Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan
yang
mendukung secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama. Dari keempat cara ini mana yang cocok itu semuanya berpulang dari perusahaan masing-masing. Sebenarnya konsep pelaksanaan CSR tidak hanya berorientasi pada masalah uang semata. Tidak menjadi masalah kalaupun perusahaan menyiapkan dalam setahun penyisihan labanya atau rekening CSR-nya minim sesuai kemampuan perusahaan. Yang utama adalah apakah penyaluran dana tersebut tepat sasaran atau tidak dibandingkan dana yang besar tetapi tanpa perencanaan. Perusahaan bisa menyiapkan daya berupa tenaga karyawan untuk kerja bakti sosial atau mengajar. Jadi, tak ada alasan perusahaan tidak melaksanakan praktik CSR. Seandainya perusahaan menolak melaksanakan kegiatan CSR tersebut akan berkonsekuensi terhadap reputasi berupa penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes, karena masyarakat kita sudah mengerti dan memahami kontribusi suatu perusahaan. Tolak ukur keberhasilan dapat dilihat dari dua segi yakni perusahaan dan masyarakat. Dari segi perusahaan, reputasinya bertambah cemerlang dimata masyarakat, dan dari segi masyarakat terjadi peningkatan kesejahteraan hidup
92
masyarakat. Yang terukur dari apakah masyarakat tersebut bisa mandiri, tidak terus bergantung pada pertolongan pihak lain.