13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BPHTB
Untuk memberikan kepastian dan kekuatan hukum pemilikan tanah dan bangunan maka setiap peralihan hak harus dilakukan sesuai dengan hukum yang mengatur setiap peralihan hak. Sesuai dengan hukum perolehan hak sebagai hasil peralihan hak harus dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Selanjutnya perolehan hak tersebut harus didaftarkan pada instansi yang berwenang, yaitu Kantor Pertanahan setempat untuk memperoleh sertifikat hak. Dengan demikian hak atas tanah dan bangunan secara sah ada pada pihak yang memperoleh hak tersebut dan dapat dipertahankannya terhadap semua pihak.
BPHTB sebagai Pajak atas Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Sebagai upaya untuk memenuhi pengeluaran pemerintah berkaitan dengan tugasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan umum dan pembangunan, pemerintah menerapkan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan Negara. Bila melihat perkembangan penerimaan pajak pada APBN maka nampak bahwa pajak telah menjadi primadona yang mendominasi penerimaan Negara. Hal ini tentunya cukup menggembirakan karena menandakan bahwa kemandirian bangsa dalam pembiayaan pengeluaran Negara yang menjadi tujuan reformasi perpajakan di Indonesia semakin nyata dari waktu ke waktu. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang berusaha sedapat mungkin memenuhi kebutuhan dana dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
14
dalam negeri. Salah satu cara yang paling efektif untuk hal ini adalah melalui penggalian potensi pajak. Untuk tetap dapat meningkatkan penerimaan Negara dari sector pajak, pemerintah berupaya menggali potensi pajak. Salah satunya diwujudkan dengan cara mencari dan menerapkan jenis pajak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Berbagai jenis pajak diterapkan sesuai dengan kondisi masyarakat di mana pada suatu masa mungkin dipungut suatu jenis pajak, mungkin pada waktu berikutnya dihilangkan atau dihapus dengan berbagai pertimbangan, dan kemudian dipungut dan diberlakukan kembali. Hal ini wajar saja mengingat rezim pemerintahan yang berkuasa pada suatu masa akan menyesuaikan pungutan yang dikenakan pada masyarakat sesuai dengan kepentingannya juga. Jenis pajak yang baru ditetapkan di Indonesia seiring dengan penggalian potensi baru adalah BPHTB yang mulai diberlakukan sejak tahun 1998. BPHTB sebenarnya merupakan jenis pajak lama yang pernah dipungut pada masa pemerintahan penjajah tetapi dihapus seiring dengan berlakunya UUPA, dan diterapkan kembali karena dianggap sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia dewasa ini. BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dalam memori penjelasan UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB disebutkan bahwa tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi social, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada
Universitas Sumatera Utara
15
Negara melalui pembayaran pajak, dalam hal ini Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Apabila dikaitkan dengan salah satu fungsi pajak sebagai alat memasukkan penerimaan
bagi
Negara
(fungsi
budgeter
pajak)
pemberlakuan
BPHTB
dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan penerimaan Negara, terutama penerimaan daerah, yang penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini mendasari pemikiran bahwa subjek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan mendapat keuntungan ekonomis dari pemilikan suatu tanah dan bangunan sehingga dianggap wajar apabila diwajibkan diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran BPHTB. Dengan memperhatikan fungsi tanah yang demikian penting bagi penyelenggaraan kehidupan masyarakat ataupun bagi pembangunan, penggalian sumber penerimaan tersebut tentunya akan berarti sekali terutama sebagai sumber pembiayaan penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan daerah. Walaupun demikian pengenaan BPHTB haruslah tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat terutama golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak. Untuk itu pemerintah menetapkan suatu besaran tertentu nilai perolehan objek pajak yang tidak dikenakan pajak, di mana apabila perolehan hak yang terjadi dengan nilai perolehan di bawah besaran tersebut maka perolehan hak tersebut tidak terutang pajak. Di sisi lain apabila nilai perolehan yang terjadi di atas besaran tertentu tersebut maka pajak terutang dihitung dari selisih
Universitas Sumatera Utara
16
antara nilai perolehan dengan besaran tertentu tersebut. Dengan demikian terpenuhi keadilan dalam pengenaan pajak dengan tetap memperhatikan masyarakat kecil. BPHTB merupakan jenis pajak yang dihidupkan kembali dalam hal nama balik nama atas pemilikan tanah dan bangunan. BPHTB merupakan pengganti nama Bea Balik Nama atas harta tetap berupa haka atas tanah yang pernah ada pada masa penjajahan Belanda dan tidak dipungut lagi sejak diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan melihat kondisi masyarakat dan perekonomian nasional maka pemerintah bersama memandang perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Tarif yang ditetapkan menurut Undang-Undang BPHTB adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. Dengan demikian semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di luar ketentuan Undang-Undang BPHTB tidak diperkenankan.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 1. Pengertian BPHTB Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. BPHTB pada dasarnya dikenakan atas setiap perolehan hak yang diterima oleh orang atau badan dan terjadi dalam wilayah hukum Negara Indonesia. BPHTB merupakan pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan
Universitas Sumatera Utara
17
ditanda-tangani oleh pejabat yang berwenang. Perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh oleh pribadi atau badan. Pada dasarnya perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak dari suatu pihak yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada pihak lain yang menerima hak atas tanah dan bangunan tersebut. Perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat terjadi karena dua hal, yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Perolehan hak karena peristiwa hukum merupakan perolehan hak yang diperoleh oleh seseorang karena adanya suatu peristiwa hukum, misalnya pewarisan, yang mengakibatkan tanah tersebut berpindah dari pemilik tanah dan bangunan sebelumnya (pewaris) kepada ahli waris yang berhak. Perolehan hak karena pewarisan ini terjadi hanya apabila terjadi peristiwa hukum, yaitu meninggalnya si pewaris. Apabila si pewaris tidak meninggal dunia maka tidak akan pewarisan yang mengakibatkan hak atas tanah dan bangunan beralih dari pewaris kepada ahli waris. Cara perolehan hak yang kedua adalah melalui perbuatan hukum, di mana pemilik tanah dan bangunan secara sadar melakukan perbuatan hukum mengalihkan hak atas tanah dan bangunan miliknya kepada pihak lain yang akan menerima peralihan hak tersebut. Contoh peralihan hak karena perbuatan hukum anatara lain jual beli, hibah, lelang, dan lain-lain. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk Hak Pengelolaan, termasuk bangunan di atsnya, sebagaimana dimaskud UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Hukum
Universitas Sumatera Utara
18
Agraris (UUPA), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Hal ini berarti BPHTB hanya boleh dikenakan atas perolehan hak yang diatur dalam UUPA, Undang-Undang Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak-hak atas tanah lain yang berkembang di masyarakat adat tetapi tidak diakui oleh UUPA tidak boleh dikenakan BPTHB. 3
2. Dasar Pemikiran dan Pemungutan BPHTB Sesuai dengan memori penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, bagi Negara Indonesia yang sedang meningkatkan pembangunan di segala bidang menuju masyarakat yang adil dan makmur, pajak merupakam salah sayu sumber penerimaan Negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Karena itu seiring dengan tujuan untuk kemandirian bangsa maka penerimaan Negara dari sector pajak harus ditingkatkan, baik dengan penggalian potensi pajak maupun dengan pemberlakuan pajak yang sesuai dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional guna tercapainya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
3
Marihot Pahala Siahaan, SE, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktek, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Febuari 2003. Hal 43.
Universitas Sumatera Utara
19
Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi social, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga member manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak, dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Walaupun demikiam, pengenaan BPHTB haruslah tetap memperhatikan golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dilakukan dengan mengatur perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak. Pada masa lalu ada pemungutan pajak dengan nama Nea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasul peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta tetap adalah hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27. Dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraris, hak-hak kebendaan yang dimaksud di atas tidak berlaku lagi, karena smuanya sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur
Universitas Sumatera Utara
20
dalam UU Nomor 5 Tahun 1960. Dengan demikian sejak diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi. Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960, pemerintah bersama dengan DPR memandang perlu diadakannya pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Tariff yang ditetapkan menurut UU BPHTB adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. Dengan demikian semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di luar ketentuan UU BPHTB tidak diperkenankan.
3. Prinsip Pemungutan BPHTB Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan di Indonesia dilakukan dengan berpegang pada 5 prinsip, yaitu : 1) Pemenuhan kewajiban Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah berdasarkan system self assessment, yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya. System self assessment merupakan system perpajakan Indonesia yang diterapkan sejak dilakukannya reformasi perpajakan tahun 1983, di mana kepada
wajib
pajak
diberi
kepercayaan
untuk
menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak
Universitas Sumatera Utara
21
yang terutang. Petugas pajak hanya berfungsi untuk melakukan pelayanan dan pemeriksaan agar wajib pajak melakukan kewajiban pajaknya secara benar. Dengan system self assessment ini, khususnya pada BPHTB, diharapkan masyarakat dapat dengan mudah memenuhi kewajiban pajaknya dan meningkatkan kesadaran pajak masyarakat, terutama pajak yang timbuk pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan. 2) Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Dalam BPHTB pajak yang terutang tidak dikenakan langsung atas Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang menjadi dasar pengenaan pajak, tetapi harus dikurangi dahulu dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), yaitu besaran tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Hal ini maksudnya untuk asas keadilan di mana bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dengan nilai perolehan (NPOP) di bawah NPOPTKP yang ditetapkan tidak akan dikenakan pajak (bebas pajak), sementara bagi pihak yang memperoleh hak dengan nilai perolehan (NPOP) di atas NPOPTKP maka NPOP sebagai dasar pengenaan pajak harus terlebih dahulu dikurangi NPOPTKP. 3) Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, maka baik kepada wajib pajak maupun kepada pejabat umum yang melanggar
ketentuan
atau
tidak
melaksanakan
kewajibannya
Universitas Sumatera Utara
22
sebagaimana ditentukan oleh undang-undang akan dikenakan sanksi menurut peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini memang diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB sehingga wajib pajak dan pejabat umum yang berwenang tidak melakukan penyimpangan dalam pemenuhan kewajiban pajak. 4) Hasil penerimaan BPHTB merupakan peneriman Negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintahan Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah. 5) Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan banguna di luar ketentuan UU BPHTB tidak diperkenankan. Dengan diundangkannya UU BPHTB maka BPHTB merupakan satusatunya pajak yang akan dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di Indonesia sehingga segala pungutan yang ada kaitannya dengan perolehan hak (kecuali biaya resmi yang berkaitan dengan pembuatan akta dan pendaftaran hak atas tanah dan bangunan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku) tidak boleh dilakukan oleh pihak manapun. Hal ini penting agar masyarakat tidak dibebabi dengan pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan berkaitan dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang diterimanya.
Universitas Sumatera Utara
23
4. Dasar Hukum BPHTB dan Undang-Undang Lain yang Berkaitan dengan Undang-Undang BPHTB Setiap pungutan pajak yang menimbulkan beban bagi masyarakat harus dilakukan dengan
persetujuan masyarakat, dalam hal ini DPR, dan
dituangkan dalam bentuk Undang-Undang. Dengan diundangkan maka suatu pajak dapat dipungut terhadap masyarakat dan secara hukum memiliki legalitas yang menjamin wewenang Negara untuk memungut pajak tersebut dari masyarakat, menjamin hak dan kewajiban masyarakat dalam pemenuhan pajak, dan juga menjamin kerahasiaan pajak yang berkaitan dengan pajak tersebut. Karena itu penerapan BPHTB di Indonesia juga dilakukan dengan dasar hukum yang jelas melalui undang-undang serta Peraturan Pemerintah, Keputusan Mentri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan Keputusan Pejabat Berwenang lainnya sebagai aturan pelaksanaan dari Undang-Undang BPHTB. Aturan yang menjadi dasar hukum pemungutan BPHTB di Indonesia saat ini adalah sebagai berikut : •
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 29 Mei 1997 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1998. Tetapi karena gejolak moneter yang terjadi di Indonesia, maka masa berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 ditangguhkan selama 6 bulan dari tanggal 1 Januari 1998 sampai dengan tanggal 30 Juni 1998. Hal ini diatur dalam
Universitas Sumatera Utara
24
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998. •
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1997 Tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. PERPU ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1997 dan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan.
•
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 disahkan pada tanggal 16 Febuari 1998 dan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan.
•
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Diundangkan tanggal 02 Agustus 2000 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001.
•
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1997 Tentang Pelaporan atau Pemberitahuan Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan.
Universitas Sumatera Utara
25
•
Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 Tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat.
•
Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 Tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan.
•
Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 Tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
•
Keputusan Mentri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penetuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
•
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
•
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.03/2002 Tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
•
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-21/PJ/1997 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan serta Fungsi Surat Setoran BPHTB (SSB).
•
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-22/PJ/1997 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Universitas Sumatera Utara
26
•
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-24/PJ/2000 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Lebih
Bayar
(SKP-LB)
dan
Perhitungan
Kelebihan
Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. •
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-221/PJ/2002 Tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
•
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 15 September 2009 dan
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Melalui Undang-Undang ini, pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selama ini dipungut oleh Pemerintah Pusat, diberikan kembali ke Pemerintah Daerah melalui pola bagi hasil. Namun demikian dengan memperhatikan Pasal 180 angka 6 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini 4, maka tahun 2010 merupakan tahun terakhir bagi Pemerintah Pusat untuk mengelola BPHTB. Selanjutnya, mulai 1 Januari 2011 sangat tergantung dari kesiapan dan minat Kabupaten/Kota untuk 4
Pasal 180 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah : “UndangUndang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988) tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini.”
Universitas Sumatera Utara
27
menentukan, apakah pengelolaan BPHTB di wilayahnya akan dilaksanakan atau tidak. BPHTB sebagai pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan sangat terkait dengan beberapan undang-undang yang mengatur tentang pajak maupun hak atas tanah dan bangunan. Karena itu untuk membahas BPHTB maka perlu juga meninjau beberapa undang-undang yang terkait. UndangUndang yang berkaitan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang BPHTB adalah : 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043). Undang-Undang Pokok Agraria merupakan landasan hukum agrarian di Indonesia dan mengatur tentang hak atas tanah dan pemilikan tanah di Indonesia. Karena BPHTB merupakan pajak atas perolehan hak atas tanah maka perolehan hak atas tanah yang menjadi objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah yang sesuai dengan UU Pokok Agraria. Dengan demikian aturan yang diatur dalam UU Pokok Agraria sangat erat kaitannya dengan peraturan yang menjadi dasar hukum BPHTB. 2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah 2 kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
Universitas Sumatera Utara
28
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984). Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) merupakan aturan formal yang mengatur pemungutan semua jenis pajak di Indonesia, termasuk BPHTB. Karena itu peraturan yang diatur dalam BPHTB, khususnya ketentuan formal perpajakan, berkaitan dengan ketentuan yang diatur KUP, misalnya system self assessment yang ditetapkan sebagai prinsip pemungutan pajak BPHTB. Hal ini membuat UndangUndang BPHTB sangat erat kaitannya dengan Undang-Undang KUP. 3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569). Objek pajak BPHTB meliputi perolehan hak atas tanah dan bangunan, di mana bumi (tanah) dan bangunan itu juga merupakan objek pajak PBB. Karena itulah Undang-Undang BPHTB terkait erat dengan Undang-Undang PBB. Selain itu, dalam menetapkan dasar pengenaan pajak, nilai transaksi dan nilai pasar harus dibandingkan dengan NJOP untuk mencari nilai paling tinggi yang akan digunakan sebagai dasar pengenaan pajak. NJOP merupakan istilah yang dikenal dan diatur dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, karena itu dalam penentuan BPHTB terutang haruslah juga memperhatikan aturan yang
Universitas Sumatera Utara
29
diatur dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya tentang penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). 4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318). 5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684). 6) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4189). 7) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembar Negara Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembar Negara Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3987).
5. Perkembangan Penerapan BPHTB di Indonesia Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang diundangkan pada tanggal 29 Mei 1997 menyatakan bahwa BPHTB mulai berlaku di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1998. Hanya saja pada tahun 1997-1998 merupakan masa sulit bagi Indonesia dan Negara di dunia lainnya, dengan terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi yang melanda dunia. Hal ini mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
30
BPHTB tidak dapat diterapkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Gejolak moneter yang terjadi di Indonesia mulai pertengahan tahun 1997 menimbulkan
gangguan
terhadap
pembangunan
nasional
dan
penyelenggaraan kehidupan perekonomian pada umumnya. Pelaksanaan BPHTB yang menurut ketentuan undang-undang mulai berlaku pada tanggal 1Januari 1998 secara langsung akan member pengaruh yang luas terhadap kehidupan
perekonomian
nasional
dan
upaya
untuk
mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Untuk memelihara kondisi yang lebih menguntungkan bagi pelaksanaan pembangunan nasional serta menguntungkan bagi pelaksanaan pembangunan nasional serta penyelenggaraan kehidupan perekonomian nasional pada umumnya, maka pemerinrah memandang perlu menagguhkan saat mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Walaupun BPHTB merupakan salah satu sumber penerimaan Negara dar pajak yang sangat berarti bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, tetapi terjadinya gejolak moneter yang demikian besar pengaruhnya terhadap kehidupan telah member pengaruh yang besar dan menimbulakan gangguan terhadap pelaksanaan pembangunan nasional terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Dari berbagai kemungkinan yang dapat ditempuh untuk mengurangi pengaruh gejolak moneter yang tidak menguntungkan tersebut adalah pengguhan rencana pengenaan beban baru terhadap masyarakat. Beban baru seperti itu akan menjadi beban tambahan biaya ekonomi, yang dalam keadaan
Universitas Sumatera Utara
31
perekonomian yang sulit akan mengurangi kemantapan kesempatan kerja yang baru, yang besar artinya terhadap kesejahteraan rakyat. Melalui penangguhan beban baru tersebut maka tujuan yang ingin diwujudkan adalah mengurangi tambahan beban biaya terhadap kehidupan perekonomian. Salah satunya adalah biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dengan dasar pemikiran tersebut maka pemerintah mengambil langkah untuk menangguhkan waktu mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB. Penagguhan tersebut hanya bersifat sementara sampai saat yang lebih memungkinkan bagi pelaksanaan UndangUndang BPHTB. Penagguhan penerapan BPHTB diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1997, yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1997 dan mulai berlaku pada hari itu juga. Untuk menguatkan PERPU tersebut maka Presiden dengan persetujuan DPR menetapkannya menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 18 Febuari 1998. Penagguhan mulai berlakunya BPHTB dilakukan selama 6 (enam) bulan dari tanggal 1 Januari 1998 sampai dengan 30 Juni 1998. BPHTB baru efektif dikenakan sebagai pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan pada tanggal 1 Juli 1998. Dengan demikian setiap perolehan hak, baik karena pemindahan hak maupun pemberian hak baru, yang diperoleh oleh seseorang atau badan pada tanggal 1 Juli 1998 dan sesudahnya dikenakan BPHTB. Sebagai jenis pajak yang baru diterapkan
Universitas Sumatera Utara
32
kembali di Indonesia, aturan BPHTB terus dievalusi untuk dapat diterapkam secara lebih efektif, efisien, dan dapat memenuhi fungsi budgeter pajak, yaitu sebagai salah satu alat penerimaan Negara. Setelah diterapkan secara kurang lebih 2 tahun maka pemerintah bersama DPR memandang perlu dilakukan penyempurnaan Undang-Undang BPHTB. Hal ini dilakukan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Perubahan ini dilakukan dengan 3 pertimbangan, yaitu : 1. Dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, serta menciptakan system perpajakan yang sederhana tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan Negara. 2. Agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri. 3. Untuk menampung penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang di bidang perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perubahan
ini
juga
dilatar-belakangi
oleh
kenyataan
bahwa
pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Tentang BPHTB bersamaan dengan terjadinya perubahan tatanan perekonomian nasional dan internasional sehingga berpengaruh terhadap perilaku perekonomin nasional dan internsional sehingga berpengaruh terhadap perilaku perekonomian masyarakat penyempurnaan Undang-Undang No. 21 Tahun 1997. Dengan berpegang teguh pada asas-asas keadilan, kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang BPHTB yang dilakukan adalah :
Universitas Sumatera Utara
33
a. Menampung perubahan tatanan dan perilaku ekonomi masyarakat dengan berpedoman pada tujuan pembangunan nasional di bidang ekonomi yang bertumpu pada kemampuan bangsa untuk membiayai pembangunan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari penerimaan pajak. b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keasilan bagi masyarakat pelaku ekonomi untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kewajibannya. Berdasarkan pada arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 maka pokok-pokok perubahan yang dilakukan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 adalah : 1. Memperluas cakupan objek pajak untuk mengantisipasi terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dalam bentuk terminology yang baru, 2. Meningkatkan disiplin dan pelayanan kepada masyarakat serta pengenaan sanksi bagi pejabat dan wajib pajak yang melanggar, 3. Memberikan kemudahan dan perlindungan hukum kepada wajib pajak dalam melaksanakan keajibannya, dan 4. Menyesuaikan ketentuan BPHTB dengan ketentuan yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Seiring dengan euphoria otonomi daerah melalui pola desentralisasi fiscal, maka pada tanggal 1 Januari 2011, pajak Bea Perolehan Hak atas
Universitas Sumatera Utara
34
Tanah dan Bangunan (BPHTB) resmi sepenuhnya menjadi pajak daerah (local tax). Pengalihan wewenang pemungutan atau devolusi BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ((PDRD). Dengan demikian per tanggal 1 Januari 2011, wajib pajak yang akan melaporkan pembayaran BPHTB sehubungan dengan proses transaksi property yang dilakukannya akan langsung ditangani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Pasal 180 angka 6 UU PDRD menyebutkan bahwa UU No. 20 Tahun 2000 Tentang BPHTB tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka tahun 2010 merupakan tahun terakhir bagi Pemerintah Pusat untuk mengelola BPHTB. Selanjutnya, mulai tanggal 1 Januari 2011 sangat tergantung dari kesiapan dan minta Kabupaten/Kota untuk menentukan, apakah pengelolaan BPHTB di wilayahmya akan dilaksanakan atau tidak. Dengan peralihan ini diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber pajak anggaran daerah yang cukup potensial bagi daerah tertentu, dibandingkan dari keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah yang selama ini ada. Disamping itu, menurut teori pajak property internasional yang selama ini dipakai oleh para penggagas UU ini adalah bahwa property tax cenderung lebih bersifat local. Fisibilitas dab immobilitasnya menjadi salah satu alas an penting mengapa BPHTB lebih cenderung menjadi pajak daerah. Apalagi jika dikaitkan dengan unsure pelayanan masyarakat, dimana
Universitas Sumatera Utara
35
akuntabilitas dan transparansi menjadi isu yang paling disoroti di era tonomi daerah. Pengalaman di banyak Negara menunjukkan bahwa beban pajak property sering dikaitkan langsung dengan pelayanan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah daerah, misalnya dalam menyediakan/memelihara sarana-prasarana, sehingga secara logika wajar bila pajak properti dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Jika
dianalisa
lebih
jauh,
jumlah
penerimaan
BPHTB
per
Kabupaten/Kota yang nilai ketetapannya diatas 2 milyar rupiah berjumpah 189 (38,4%) sisanya sejumlah 303 Kabupateb/Kota penerimaan BPHTB-nya di bawah 1 milyar rupiah. Artinya dengan asumsi biaya investasi PBB dan BPHTB sebesar 1 sampai dengan 1,5 milyar rupiah dan biaya operasional sekitar 1 milyar rupiah per tahun (karena kedua jenis pajak ibi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, meski untuk PBB masih ada waktu pengalihannya sampai dengan tahun 2014) maka dalam waktu dekat, kecil kemungkinan daerah tersebut akan memungut BPHTB. Rasanya hal ini malah bias dijadikan
insentif
sekaligus
daya
tarik
bagi
masyarakat
untuk
mengembangkan propertinya di daerah tersebut. Tentunya untuk bias melakukan pemungutan BPHTB, Pemerintah Daerah yang bersangkutan harus terlebih dahulu memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengaturnya, jika tidak memiliki Perda maka Pemerintah Daerah tidak boleh memungut BPHTB. Dengan demikian masyarakat yang akan membeli property di daerah yang belum memiliki Perda BPHTB tidak perlu membayar pajak tersebut karena Perda yang misalnya nanti baru
Universitas Sumatera Utara
36
ditetapkan setelah 1 Januari 2011 tidak dapat berlaku surut. Masyarakat juga perlu menyadari bahwa kedepannya akan terjadi keberagaman system dan pola pemungutan BPHTB di 492 Kabupaten/Kota, dimana di setiap Pemerintah Daerah diberikan kebebasan untuk mengelola sesuai dengan kemampuannya. Yang dimaksud pengalihan wewenang pemungutan sebenarnya adalah merupakan pengalihan seluruh rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terhutang, pelaksanaan kegiatan penagihan pajak terhadap wajib pajak serta pengawasan penyetorannya yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiscal menurut UU PDRD adalah money follows functions, yaitu fungsi pokok pelayanan public di daerahkan tentunya masih dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah. Dari sisi pelayanan, dengan jauh berkurangnya Wajib Pajak yang dilayani oleh Pemerintah Pusat, maka diharapkan pelayanan perpajakan akan jauh lebih baik. Pelayanan yang baik akan meningkatkan kepatuhan perpajakan, yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pajak. Dilimpahkannya pengelolaan BPHTB kepada Kabupaten/Kota, bukanlah sekadar untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan pengeluarannya, tetapi juga dalam rangka mengefektifkan pengelolaan administrasi dan pelayanannya. Pemerintah Kabupaten/Kota
Universitas Sumatera Utara
37
tentu akan lebih memahami seluk beluk daerahnya serta mengetahui pula apa yang terbaik bagi daerahnya. Dari sisi pelayanan kepada Wajib Pajak, pengelolaan BPHTB diharapkan akan menjadi lebih baik. Tabel 1. Perbandingan Undang-Undang BPHTB dengan UndangUndang PDRD dalam mengatur BPHTB Materi Subjek
Objek Tarif NPOPTKP
Perhitungan BPHTB terhutang
UU BPHTB
UU PDRD
Orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan Tunggal 5% (fixed)
Orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan Paling tinggi 5% Ditetapkan dengan Perda 1. Paling rendah Rp300.000.000 untuk waris dan hibah wasiat. 2. Paling rendah Rp60.000.000 untuk selain waris dan hibah wasiat. 3. Ditetapkan dengan Perda. 5%(maksimal) dari (NPOP - NPOPTKP)
1. Paling banyak Rp300.000.000 untuk waris dan hibah wasiat. 2. Paling banyak Rp60.000.000 untuk selain waris dan hibah wasiat. 3. Ditetapkan Menteri Keuangan. 5% dari (NPOP NPOPTKP)
Universitas Sumatera Utara