BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPABEANAN A. Pengertian, Peranan dan Tujuan Hukum Pabean
Mengingat dengan perkembangan aktivitas ekonomi dunia khususnya perdagangan barang, maka diperlukan adanya aturan-aturan hukum dibidang kepabeanan dan cukai yang dapat menangani perkembangan perdagangan internasional khususnya pada ekspor dan impor sesuai dengan kemajuan dunia di era global dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional maka disusunlah ketentuan Undang-undang Kepabeanan yang mana isinya sesuai dengan perjanjian pokok mengenai perdagangan dan tarif perdagangan internasional. Republik Indonesia sebagai negara hukum menghendaki terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap dan mengabdi kepada kepentingan nasional, bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akan tetapi, sejak kemerdekaan hingga tahun 1994 Undang-undang kepabeanan nasional belum dapat dibentuk sehingga Indische Tarief Wet (Undang-undang Tarif Indonesia) Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35, Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea) Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240, dan Tarief Ordonnantie (Ordonansi Tarif) Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan dan penambahan untuk menjawab tuntutan pembangunan nasional, karena perubahan tersebut bersifat partial dan tidak mendasar serta berbeda falsafah yang melatarbelakangi, perubahan dan penambahan tersebut belum dapat memenuhi tuntutan dimaksud sehingga perlu dilakukan pembaruan. 22 Kalau kita perhatikan ada beberapa alasan yang menjadi titik berat pertimbangan sehingga tidak diberlakukannya lagi peraturan perundang-undangan pabean produk kolonial Belanda. Karena peratuan kolonial dirasa tidak sesuai dengan perkembangan zaman kini yang tak sesuai dengan alam kemerdekaan dan globalisasi karena belum mengakomodir peraturan mengenai bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, pengendalian ekspor-impor atas barang hasil pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), Audit, Penyidikan dan lain sebagainya. Di samping itu, ada beberapa ketentuan kepabeanan nasional yang tidak diadopsi lagi dalam Undang-undang Kepabeanan Kolonial Belanda antara 22
Republik Indonesia, Undang‐Undang No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Penjelasan, Umum, Alinea I.
lain kewenangan Bea Cukai dalam mengontrol barang antar pulau dan dipersempitnya pengertian penyelundupan serta tidak lagi membedakan terminologi kewajiban dan persyaratan. Dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang didalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan Kewajiban Pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran Bea Masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan ini sebagai bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Sebagai negara hukum, Indonesia selalu menghendaki wujud nyata dari sistem hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional dan yang bersumberkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang bunyinya “Indonesia adalah negara hukum”. Memberikan pemahaman yakni: 1. Berlakunya asas legalitas atau konstitusional atau asas supremasi hukum; 2.
Menjamin dan melindungi Hak dan Kewajiban Asasi Manusia;
3.
Adanya peradilan dan atau kekuasaan kehakiman yang merdeka yang mampu menjamin tegaknya hukum yang berkeadilan yang apabila terjadi suatu perkara sengketa atau pelanggaran hukum dalam masyarakat. 23 Bertitik tolak dari pemikiran sebagai negara hukum itulah dan keinginan
pemerintah yang menghendaki terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap dan mengabdi kepada kepentingan nasional, bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, maka sesuai perkembangan hukum nasional dibentuklah Undang-Undang No 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan. Tujuan dibentuknya Undang-Undang No 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, diharapkan mampu untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik. 23
Ferry Saputra, http://ferryjr.blogspot.com/2012/04/share-peranan-bea-dan-cukaidalam.html diakses pada 13 Februari 2015.
Selain itu, dengan diberlakukannya undang-undang ini mampu untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan
perdagangan
global,
mendukung
kelancaran
arus
barang
dan
meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan. Di Indonesia, peredaran barang palsu dan hasil bajakan sudah pada tahap yang serius dan mengkhawatirkan. Bea dan Cukai sebagai garda terdepan dalam mencegah terjadinya penyelundupan barang yang masuk dan keluar Indonesia mempunyai tugas yang vital. Oleh karena itu, bea dan cukai mempunyai landasan hukum yang jelas agar dapat melaksanakan tugasnya yaitu Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006. 24 Tujuan dibentuknya Undang-Undang No 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, diharapkan mampu untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik. Selain itu, dengan diberlakukannya undang-undang ini mampu untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan. 25
24 25
Ibid. Ibid.
Pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bertugas mengamankan kebijaksanaan pemerintah berkaitan dengan lalulintas barang yang masuk dan keluar daerah pabean dan pemungutan bea masuk dan cukai serta pungutan negara lainnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Berkaitan dengan tugas dimaksud, Kepabeanan secara aktif berperan sebagai garda terdepan dalam menanggulangi kemungkinan terjadinya tindak pidana penyelundupan, sekaligus melindungi industri dalam negeri dari persaingan masuknya barang-barang impor sejenis secara ilegal. Hukum Pabean merupakan peraturan yang mengatur segala urusan-urusan Kepabeanan, landasan hukum pabean ialah UU No.17 Tahun 2006 atas perubahan UU No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar, definisi kepabeanan ini tertera pada Pasal 1 UU No.17 tahun 2006 atas perubahan UU No.10 Tahun 1995. Berdasarkan definisi ini kegiatan utama dari aparat pabean adalah pengawasan atas barang masuk (impor) dan barang keluar (ekspor). Pada prinsipnya obyek pengawasan aparat pabean adalah atas barang impor dan ekspor. Barang impor dan ekspor harus diawasi karena diluar manfaat didalamnya terdapat potensi yang dapat mengganggu kondisi berbangsa dan bernegara, baik dari aspek pertahanan keamanan (hankamnas), perekonomian, lingkungan hidup, dan aspek-aspek lainnya. 26 Pabean adalah kegiatan yang menyangkut pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Ada juga bea keluar untuk ekspor, khususnya untuk barang/komoditi tertentu. Oleh sebab itu kegiatan memasukan ataupun mengeluarkan barang atau produk dari dan ke luar wilayah Indonesia tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
26
Mohammad Jafar (Widyaswara Pusdiklat Bea dan Cukai), Modul Pengantar Kepabeanan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Badan Pendidikan Dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Bea dan Cukai Jakarta, hal. 4-5.
Kegiatan melakukan pemungutan dan pengawasan lalu-lintas barang ekspor-impor dan segala tindakannya harus didasarkan pada hukum. Di dalam negara yang berdasarkan hukum, setiap tindakan penguasa negara harus berdasarkan hukum. Oleh sebab itu tindakan penguasa negara untuk memungut pajak harus dilakukan berdasarkan hukum positif. Hal ini tercantum pada Pasal 23 A Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang”. Pasal 23A UUD 1945 tersebut selain memberikan dasar hukum bagi pemungutan bea oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara terhadap rakyatnya sekligus juga mengandung dasar falsafah pemungutan bea tersebut. 27 Hukum dan semua ketentuan di bidang kepabeanan dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban pembayaran bea sebagai kewajiban kenegaraan. Dengan demikian, tujuan hukum kepabeanan tidak berbeda dengan tujuan hukum pada umumnya, yakn untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 28 Untuk menjamin kepentingan nasional dari perdagangan luar negeri maka pelaksanaan pergerakan fisik barang dalam rangka kegiatan perdagangan impor dan ekspor itu harus dikendalikan pemerintah melalui suatu sistem yang dikenal sebagai fungsi kepabeanan. Dengan fungsi kepabeanan dimaksudkan, segala urusan kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan dalam rangka pelaksaan tugas pengawasan arus lalu lintas barang yang masuk dan keluar daerah pabean dan tugas pemungutan keuangan negara yang berkaitan dengan pengeluaran barang tersebut. 29 Dalam sistem kepabeanan Indonesia, fungsi kepabeanan diatur dalam UU Kepabeanan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan pokok Pasal 2 ayat (1) UU Kepabeanan yang menentukan bahwa barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean terutang bea masuk dan berdasarkan proposisi ketentuan pokok tersebut, status yuridis barang sejak saat pemasukan ke dalam daerah pabean sampai dengan dipenuhinya kewajiban kepabeanan menjadi objek pengawasan pejabat bea dan cukai. Meskipun secara konsepsional fungsi kepabeanan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan nasional dari perdagangan internasional, tetapi dalam pelaksanaannya fungsi kepabeanan masih sering dipandang oleh sementara pengamat ekonomi dan pelaku usaha menghambat kelancaran arus barang, tidak efektif dan efisien, dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga untuk menghilangkan barier dan birokrasi yang dinilai tidak ekonomis itu muncul 27
Eddhy Sutarto. “Rekonstruksi Sistem Hukum Pabean Indonesia”. Erlangga, hal 40. Ibid, hal 36. 29 Adrian Sutedi, Op.Cit, hal 3. 28
secara berulang pandangan tentang perlunya diberlakukan sistem pemeriksaan prapengapalan barang oleh surveyor di luar negeri sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi kepabeanan sebagaimana pernah diberlakukan pada tahun 1985 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi. 30 Barier yang dipandang negatif tersebut sebenarnya berperan dalam menjaga kepentingan nasional karena dengan barier atau batasan-batasan daripada regulasi kepabeanan, pemerintah dapat mengontrol dan memungut kegiatan perdagangan internasional yang berkaitan dengan ekspor impor. Selain Undang-undang Kepabeanan, aturan-aturan pelaksana kepabeanan meliputi Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan sebagai Menteri daripada Kementerian yang menaungi lembaga kepabeanan yakni Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, juga aturan pelaksana kepabeanan diatur oleh instansi terkait yaitu oleh peraturan yang dikeluarkan oleh menteri daripada kementerian lain ataupun pimpinan lembaga lain setingkat kementerian yang telah memberitahukan kepada Menteri Keuangan, contohnya peraturan-peraturan Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Perikanan dan Kelautan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Panglima Tentara Nasional Indonesia yang berkaitan dengan Kepabeanan. Peranan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai aparatur negara yang berada di gerbang masuk perbatasan negara dan juga sebagai instansi penegak hukum pabean dirumuskan dalam Fungsi Implementasi DJBC yaitu : a.
30
Trade Facilitator adalah memberi fasilitas perdagangan (antara lain peningkatankelancaran arus barang dan perdagangan) sehingga dapat menekan ekonomi biayatinggi yang pada akhirnya akan menciptakan iklim perdagangan yang kondusif. Ibid, hal.4.
b.
c.
d.
Industrial Assintanceadalahmemberi dukungan kepada industri dalam negerisehingga memiliki keunggulan kompetitif dalam pasar internasional. Revenue Collectoradalah mengoptimalkan penerimaan negara melalui penerimaan bea masuk dan cukai yang mana fungsi yang dimaksud ialah pelaksanaan pemungutan bea oleh aparatpabean atas barang impor yaitu bea masuk dan bea atas barang ekspor yaitu bea keluar. Kedua fungsi ini sangat penting di Indonesia mengingat negara masih sangat membutuhkan penerimaan negara dari berbagai sektor terutama dari sektor non migas. Kontribusi aparat pabean dalam mengoptimalkan fungsi penerimaan berperan besar dalam upaya negara mencapai cita-cita bangsa. Community Protector adalah melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang yang dilarang atau dibatasi yang dapat menggangu kesehatan dan keamanan serta moralitas. 31
Salah satu peranan Bea Cukai yang termasuk kedalam Community Protector adalah melaksanakan tugas titipan dari instansi-instansi lain yang berkepentingan dengan lalu lintas barang yang melampaui batas-batas negara. Tugas titipan dari instansi terkait ini sering dikenal dengan Larangan Pembatasan atau disingkat Lartas. Lartas dimaksud diatur secara khusus dalam Bab X pasal 53 UU No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan . Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir bisa dibatalkan ekspornya, atau diekspor kembali (re-ekspor), atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai. Kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara, kecuali terhadap barang 31
http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/HKK6004/document/Gambaran_umum_kepabea nan_dan_cukai. Diakses pada Tanggal 2 Februari 2015.
dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan utama dari pengelolaan peraturan dan larangan guna perlindungan, pertahanan, keamanan dan ketertiban masyarakat adalah menjamin terlaksananya keamanan di dalam masyarakat. Setiap kegiatan ekspor dan impor komoditi yang berkaitan dengan pertahanan, keamanan dan ketertiban masyarkat, dimanapun pasti akan menimbulkan dampak. Dampak yang ditimbulkan dapat positif maupun negatif. Senjata api, amunisi dan mesiu dalam arti positif merupakan alat untuk membela diri, mempertahankan kedaulatan negara, penegakkan hukum, tetapi dalam arti negatif penggunaan senjata api, amunisi dan mesiu secara ilegal, akan mengganggu ketertiban umum, meningkatkan tindak kriminalitas dan merupakan ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahan-bahan berbahaya memang sangat berbahaya sekali baik pada kesehatan maupun pada lingkungan hidup, oleh karena itu pemasukan bahanbahan berbahaya ke Indonesia harus diawasi. Tata niaga bahan berbahaya ini sudah diatur oleh Kementerian Perindusitrian dan Perdagangan (Kemenperindag), sedangkan Bea dan Cukai hanya mengawasi dengan tetap menjaga kelancaran arus barang, jasa, ataupun kelancaran dokumen. Sama seperti senjata api, amunisi dan mesiu, bahan-bahan kimia yang berbahaya benar-benar sangat berbahaya jika tidak diawasi penggunaannya. Penggunaan barang-barang berbahaya yang tidak sesuai dengan kegunaannya sangat riskan sekali terhadap efek yang ditimbulkannya, apalagi jika digunakan hanya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi suatu perusahaan
semata-mata tanpa memperdulikan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan pada umumnya. Selain senjata api dan sejenisnya, bahan-bahan kima yang berbahaya, barang-barang lain yang terkena larangan dan pembatasan ialah petasan (happy crackers) film, kaset video, barang cetak (buku, brosur, pamflet dan poster yang dapat membahayakan ideologi pancasila dan melanggar kesusilaan), narkotika dan psikotropika, obat-obatan, alat kesehatan, baju bekas, makanan dan minuman beralkohol, plumas, bahan tambang, flora dan fauna, kayu dan rotan yang belum diolah dan bahkan juga pembawaan keluar ataupun masuk daerah pabean. Barang ekspor yang statusnya Larangan atau Pembatasan (LARTAS) ditetapkan oleh Instansi Teknis Terkait, yakni kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian yang berada tingkat pusat, yang menetapkan peraturan LARTAS atas impor atau ekspor dan menyampaikan peraturan tersebut kepada Menteri Keuangan. Instansi Terkait yang menetapkan peraturan LARTAS atas impor atau ekspor dan telah menyampaikan peraturan tersebut kepada Menteri Keuangan, sampai periode Agustus 2013 adalah sebagai berikut : a. Kementerian Perdagangan; b. Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementrian Perikanan dan Kelautan; c. Badan Karantina Pertanian (Karantina Hewan dan Tumbuhan); d. BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan); e. Kementerian Kesehatan; f. DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai); g. BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir); h. Bank Indonesia; i. Kementerian Kehutanan; j. Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi; k. Kementerian Pertanian; l. Kementerian Perindustrian; m. POLRI; n. Kementerian Lingkungan Hidup; o. Kementerian ESDM; p. Kementerian Pertahanan;
q. r. s. t.
Kementerian Budaya dan Pariwisata; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Mabes TNI; Direktorat Jenderal Perhubungan Perhubungan 32
Udara-Kementerian
Ketentuan tentang LARTAS berlaku untuk semua jenis importasi, termasuk itu impor umum, impor barang kiriman melalui PJT (Pos) dan juga melalui terminal kedatangan penumpang. Dari uraian terhadap misi kepabeanan yang hendak dicapai melalui peranan dan tujuan hukum pabean terhadap perdagangan luar negeri yang dikemukakan diatas maka dapat diketahui bahwa hukum pabean dibentuk dalam rangka memenuhi kepentingan publik yang meliputi tidak hanya terbatas pada kepentingan ekonomi semata-mata tetapi juga mencakup aspek kepentingan kehidupan bangsa yang terdiri dari IPOLEKSOSBUDHANKAM (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan).
B.Hukum Pabean sebagai Bagian dari Hukum Fiskal dan Aturan Hukum yang Terkait Dengan Hukum Pabean
Pabean yang dalam bahasa Inggrisnya Customs atau Duane dalam bahasa Belanda memiliki definisi yang dapat kita temukan dan hafal baik dalam kamus bahasa Indonesia ataupun Undang-Undang kepabeanan seperti yang telah dikemukakan pada pengertian diatas. Untuk dapat memahami kata pabean maka diperlukan pemahaman terhadap kegiatan ekspor dan impor. Filosofi pemungutan bea masuk adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari limpahan produk luar negeri yang diimpor, dalam bahasa perdagangan 32
http://bctemas.beacukai.go.id/faq/tentang-lartas-kategori-danperijinannya/. Diakses Pada Tanggal 29 April 2015.
sering disebut tariff barier yaitu besaran dalam persen yang ditentukan oleh negara untuk dipungut oleh DJBC pada setiap produk atau barang impor. Sedang untuk ekspor pemerintah memungut beberapa komoditas ekspor namun ada kalanya pemerintah tidak memungut bea pada komoditas tertentu demi mendukung eksistensi industri dalam negeri dan khusus untuk ekspor pemerintah akan memberikan insentif berupa pengembalian restitusi pajak terhadap barang yang diekspor. Hukum positif di bidang kepabeanan telah dtuangkan ke dalam produk perundang-undangan berupa undang-undang kepabeanan. Hukum Pabean juga merupakan bagian daripada hukum fiskal karena tugasnya yang berkaitan langsung dengan pengelolaan keuangan negara, karena tugas dan fungsi DJBC yang sebagaimana dikemukakan diatas bahwa penerimaan terbesar negara adalah dari sektor pajak dan termasuk didalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC. Di dalam penjelasan Undang‐Undang No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan disebutkan dalammewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan Kewajiban Pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran Bea Masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan ini sebagai bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud, aparatur kepabeanan dituntut untuk memberikan pelayanan yang semakin baik, efektif, dan efisien, sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya. 33 Undang-undang kepabeanan sebagai bagian hukum fiskal. Orientasi pengaturan undang-undang kepabeanan tersebut, disamping mengatur normanorma yang berkaitan dengan pemungutan bea masuk dan bea keluar juga berkaitan dengan pengawasan lalu-lintas barang yang dimasukkan dan dikeluarkan dari daerah pabean sehingga di samping mengatur hal-hal yang 33
Republik Indonesia, Undang‐Undang No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
berkaitan dengan fiskal, sekaligus mengatur hal-hal diluar fiskal. Untuk kepentingan keterpaduan, dua orientasi tersebut, diatur dalam sebuah sistem yang disebut sistem hukum di bidang kepabeanan. 34 Ketentuan hukum dibidang kepabeanan meliputi himpunan norma yang dituangkan dalam undang-undang yang mengatur pengawasan lalu-lintas barang ekspor dan impor dan pungutan bea. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya sangat terkait dengan ketentuan hukum lain diluar ketentuan hukum di bidang kepabeanan antara lain hukum keuangan negara, hukum perpajakan, hukum perdagangan internasional, perjanjian internasional, serta rekomendasirekomendasi dari organisasi-organisasi internasional. 35 Berikut ini adalah aturan-aturan hukum yang terkait dengan Hukum Pabean : 1.
Hukum Keuangan Negara Hukum keuangan negara merupakan sekumpulan norma yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan negara yang hendak mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana yang dicantumkan pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. 36 Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan hukum serta sebagai negara yang berkedaulatan rakyat dan pemerintahan berdasarkan konstitusi sehingga pengelolaan keuangan negara harus berpedoman dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, yang artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara harus juga berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum keuangan negara positif dalam bentuk undang-undang secara prinsip berisi norma-norma yang berkaitan dengan keuangan negara yang meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
34
Eddhy Sutarto, Op.Cit, hal 1. Ibid, hal 13. 36 Ibid. 35
berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Hukum pabean ataupun hukum pajak lainnya menjadi terkait dengan hukum keuangan, karena di dalam hukum keuangan tercantum prinsip yang berisi norma-norma pengelolaan keuangan negara yang di dalamnya juga berisi pengelolaan fiskal. Secara eksplisit tercantum dalam butir-butir pasal Undang-Undang Keuangan Negara yaitu UU No. 17 Tahun 2002 yang diantaranya ialah: a.
Pada Pasal 2 huruf a disebutkan, keuangan negara meliputi “hak negara untuk memungut pajak...”
b.
Pada Pasal 6 ayat 1 disebutkan, Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
c.
Pada Pasal 6 ayat 2 disebutkan, kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
d.
Pada Pasal 8 huruf e disebutkan, dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas “melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-undang”.
e.
Pada Pasal 11 ayat 3 disebutkan, pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah. Dalam pungutan perpajakan termasuk pungutan bea masuk dan cukai (Pasal 11 ayat 3).
Dengan demikian, pungutan bea baik itu bea masuk dan bea keluar serta cukai dan pungutan pajak lainnya sangat terkait dengan norma-norma yang diatur dalam hukum positif keuangan negara. 2.
Hukum Perdagangan Internasional Dalam tulisan Rafiqul Islam pada buku International Trade Law, Hukum Perdagangan Internasional dan Keuangan didefinisikan sebagai suatu kesimpulan aturan, prinsip, norma dan praktik yang menciptakan suatu pengaturan (reglatory regime) untuk transaksi-transaksi perdagangan internasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap prilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan. Sebagai negara berkembang Indonesia memerlukan kepastian hukum yang lebih besar dibanding negara-negara maju guna menjamin perdagangan internasional yang terbuka dan adil. Dalam menghadapi era globalisasi yang tengah berjalan di segala sektor dewasa ini, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian penting yang di antaranya menjadi peserta organisasi internasional seperti WTO, APEC, AFTA dan lain-lain. 37 Sebagai negara yang berdaulat, termasuk berdaulat di bidang hukum, negara memiliki beberapa prinsip yang mandiri. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, negara nasional pada prinsipnya memiliki sistem hukum yang mandiri, meski tidak dipungkiri dalam kemandirian tersebut sudah tercantum standar hukum yang bersifat internasional yang dianut negaranegara dan bangsa yang beradab. 38 Konsekuensi penting dari keanggotaan suatu organisasi dunia seperti WTO yang diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994 mewajibkan Indonesia berhati-hati dalam memberlakukan peraturan ekonomi. 39 Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antarnegara. Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, makin meningkat pula kerja sama internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian 37
Syahmin AK., Op.cit, hal.13. Eddhi Sutarto, Op.Cit hal 17. 39 Syahmin AK., Op.cit, hal.11. 38
internasional serta harmonisasi hukum tersebut adalah mencari keseragaman atau titik temu prinsip-prinsip fundamental dari berbagai sistem hukum. 40 Dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan pabean yang efisien dan efektif dengan tetap melaksanakan kepatuhan ketentuan perundang-undangan, organisasi pabean merekomendasikan dilaksakannya harmonisasi dan penyederhanaan prosedur dan praktik pabean. Harmonisasi dan penyerderhanaan prosedur dan praktik pabean tidak hanya meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pabean, namun juga membantu transparansi praktik-praktik kepabeanan, yang memberikan kelancaran arus barang dan penumpang. 41 Perkembangan hukum dan ekonomi dunia juga mempengaruhi perkembangan hukum internasional yang bergerak ke arah penghapusan pembatasan-pembatasan kuantitatif atas ekspor dan impor, kecuali terdapat alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan atau alasan-alasan khusus. Selain itu, pasal 24 GATT (General Tariffs and Trade) juga mencantumkan klausul yang menyatakan bahwa semua negara harus menghindari tindakan yang merugikan kepentingan negara berkembang. Selain itu, juga pada perjanjian-perjanjian yang menyangkut perdagangan internasional juga dikenal dengan adanya prinsip yang diakui bahwa dalam hal-hal yang secara material tidak menyangkut pajak, atau masalahmasalah
neraca
pembayaran,
formalitas
bea
dan
cukai
harus
disederhanakan, dan pembatasan-pembatasan administrasi atau hambatan perdagangan atas barang harus diperkecil. Pada perdagangan yang menyangkut impor, dikenal dua jenis katup yakni katup tarif atau tariff barrier dan katup nontarif atau Nontariff barrier. Untuk katup nontarif dituangkan dalam ketentuan kebijaksanaan tata niaga impor. Kebijaksanaan pengendalian mutu dan
40
Eddhi Sutarto., Op.cit, hal.17. Ibid.
41
kebijaksanaan yang berkaitan dengan kepentingan non-perdagangan, misalnya: moral bangsa, kebudayaan serta keamanan nasional. Kebijaksanaan umum di bidang ekspor mengatur ketentuan barang yang diatur, barang ekspor yang diawasi dan barang ekspor yang dilarang. Sasaran kebijaksanaan umum di bidang ekspor ini adalah untuk meningkatkan volume dan nilai ekspor nonmigas dan bertambah luasnya pasar tujuan ekspor. Ketentuan-ketentuan pada Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organization (WTO) memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap negara peserta WTO dalam merumuskan kebijakan perdagangan internasional sehingga dalam kapasitasnya sebagai negara peserta/anggota, dalam pelaksanaan kebijaksanaan di bidang impor dan ekspor tetap mengacu pada ketentuan tersebut. Namun demikian, meskipun terdapat rambu-rambu tersebut, WTO juga masih memberikan peluang-peluang yang sifatnya terbatas, yang masih dapat dimanfaatkan oleh setiap negara untuk kepentingan nasional masing-masing. 42 3.
Ketentuan Umum Perpajakan Menurut Mohammad Zain, pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama dalam pembiayaan public investmen. Ditinjau dari jenisnya pajak dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu menurut sifat, menurut sasaran/objek dan menurut lembaga pemungut. Berikut adalah uraian pajak dari jenisnya: a.
Menurut sifat.
Jenis pajak berdasarkan pembagian ini dibedakan atas dua, yaitu: 1.
Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak. 2. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal
42
Eddhi Sutarto., Op.cit, hal.18-19.
tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misal pajak pertambahan nilai. b.
Menurut sasaran/objek.Jenis dibedakan atas dua, yaitu:
pajak
berdasar
pembagian
ini
1. Pajak subjektif adalah pajak yang dikenakan dengan memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misal pajak penghasilan. 2. Pajak objektif adalah pajak yang dikenakan dengan melihat objek pajak untuk mengetahui subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui, misal pajak pertambahan nilai. c.
Menurut lembaga pemungut. Jenis pajak berdasar pembagian ini dibedakan atas dua, yaitu: 1. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dalam hal ini dikelola oleh Dirjen Pajak (pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak penjualan atas barang mewah) dan Dirjen Bea dan Cukai, (misal bea masuk, bea keluar dan cukai). 2. Pajak daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dalam hal ini Dispenda, misal pajak daerah dan retribusi yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) ataupun yang dipungut Pemerintah Kabupaten/Kota. 43 Direktorat Jenderal Pajak melaksanakan pemungutan pajak
berdasar hukum pajak formal yang diatur dalam UU No.6 tahun 1983 tentang ketentuan-ketentuan umum perpajakan dan tatacara perpajakan, sebagaiaman telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu dengan UU No.9 tahun 1994, UU No.16 tahun 2000 dan UU No.28 tahun 2007. Hubungan antara pajak negara yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak dan kewajiban bea masuk/bea keluar dan cukai yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saling berkaitan erat. Pemahaman ini dapat kita lihat pada: Pertama, istilah kewajiban, dalam pajak kewajiban dikenakan terhadap individu, sedangkan pabean dan cukai dikenakan terhadap 43
http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/HKK6004/document/Gambaran_umum_kepabea nan_dan_cukai. hlm.1 Diakses pada 2 Februari 2015.
aktivitas memasukkan atau mengeluarkan barang atau transaksi keuangan dari atau ke luar negeri yang tidak bersifat individual. Kedua, ketentuan perundang-undangan yang ada selalu menjadi landasan pijak bagi dilaksanakannya pungutan pajak atau pabaean dan cukai. Sistem self assesment di bidang perpajakan yang selama ini dianut masih tetap dipertahankan untuk diterapkan. Demikian juga landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan, sebagai bagian yang menguatkan perubahan ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan, sebagai bagian yang menguatkan perubahan ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Ciri dan corak perubahan ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Ciri dan corak perpajakan tersebut terkait penyempurnaan sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana dan berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat wajib pajak sehingga masyarakat wajib pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan dengan lebih baik. Setelah diberlakukannya produk hukum nasional berupa Undangundang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan yang diikuti dengan diperbaharuinya kebijakan dan administrasi kepabeanan yang lain. Institusi kepabeanan Republik Indonesia, yakni Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah berupaya mereformasi institusinya untuk berubah dari semula berorientasi sebagai penguasa karena sifat kewenangan pemeriksaannya, menjadi institusi yang berorientasi pada pelayanan kepabeanan yang modern yang bertumpu pada pelayanan dan perubahan hipotesis pengawasan yang semula yakni “Pengawasan Bea Cukai didasarkan atas dasar hipotesis su’uzzhan bahwa
semua orang tidak jujur” (Customs controls have therefore been devised on the basic hypothesis that all people are dishonest) sebagaimana disebutkan dalam deklarasi Colombus. Hipotesis tersebut diganti menjadi pengawasan bea cukai berhipotesis bahwa semua orang dianggap jujur (husnuzzhan) sampai dapat dibuktikan lain. Perubahan hipotesis ini dituangkan dalam pergeseran prinsip yang semula menerapkan prinsip official assesment namun telah bergeser menjadi prinsip self assesment. 44 Didalam sistem self assesment, importir diminta memberitahukan jumlah jenis dan kualitas barangnya. Importir juga diminta untuk memberitahukan tarif, pembebanan dan nilai pabean yang di impornya. Pasal 16 Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2006 menyebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai berwenang mentapkan tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sebelum diajukan pemberitahuan pabean atau dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. 45 Begitu pula pada penerapan sistem self assesment pada penumpang pesawat udara, penumpang kapal laut dan penumpang angkutan darat dari luar negeri menuju wilayah pabean Indonesia, implementasi asas selfassesment yang dimaksud ialah pemberian lembar pemberitahuan Customs Declaration atas barang penumpang yang tiba bersama penumpang yang wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai dengan menggunakan Customs Declaration (CD) yang wajib diisi dengan lengkap dan benar. Formulir CD yang dibagikan oleh Awak Sarana Pengangkut (Maskapai Penerbangan/Pelayaran). Pemberitahuan dapat dilakukan secara lisan, pada tempat-tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. 5. Hubungan Luar Negeri Hubungan luar negeri atau hubungan internasional bangsa Indonesia dengan bangsa lain dilandasi prinsip politik luar negeri bebas 44
Eddhi Sutarto., Op.cit, hal.18-19. Sunarno dan Mohamad Jafar. Pengantar Nilai Pabean., Kementerian Keuangan Republik Indonesia Badan Pendidikan Dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Bea Dan Cukai, Jakarta 2014, hal 1. 45
aktif yang makin mampu menunjang kepentingan nasional serta makin mampu mendukung terwujudnya tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Prinsip politik luar negeri bebas aktif ini mencerminkan jiwa, tekad dan semangat kemandirian bangsa Indonesia. 46 Dengan demikian, dalam melakukan hubungan luar negeri, Indonesia menempatkan dirinya secara wajar dan dalam posisi bersahabat dengan semua bangsa. Indonesia menghormati perbedaan yang terkandung dalam
eksistensi
setiap
bangsa
dan
negara,
dan
menempatkan
kemerdekaan sebagai nilai tertinggi dalam tata hubungan internasional, di samping perdamaian dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Indonesia menghormati setiap forum yang diciptakan oleh negara-negara di dunia untuk menyelesaikan berbagai persoalan secara damai yang muncul dalam masyarakat internasional. Globalisasi ekonomi dan perkembangan teknologi mengakibatkan hubungan ekonomi internasional dan ekonomi nasional makin tidak dapat dipisahkan karena adanya saling ketergantungan . Hal ini juga menimbulkan tantangan bagi Indonesia untuk melakukan terobosan pasar internasional agar makin mampu menghadapi arus globalisasi dan regionalisasi perekonomian dunia sehingga dapat menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional. Ditingkat internasional masalah nilai pabean lambat laun menjadi isu yang sangat penting didalam arus perdagangan antar negara . Dengan melalui mekanisme penetapan nilai pabean yang tinggi, suatu barang dapat dihambat pemasukannya ke negara lain. Bahkan nilai pabean dapat 46
Eddhi Sutarto., Op.cit, hal.21.
digunakan sebagai sarana anti dumping. Sebelum adanya kesepakatan internasional tentang nilai pabean, pengaturan nilai pabean antar negara sangat berbeda-beda. Masing-masing negara mengatur sendiri sesuai kondisi dan selera masing-masing. Kondisi ini tentu saja sangat tidak menguntungkan karena dapat menimbulkan ketegangan hubungan antar Negara terutama didalam perdagangan bilateral atau multilateral. Itulah sebabnya Organisasi Perdagangan Dunia/WTO kemudian memandang perlu adanya pengaturan- pengaturan yang seragam dibidang nilai pabean bagi semua anggotanya. Dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 TentangPengesahan Agreement Estabilishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Indonesia telah meratifikasi perjanjian pembentukan badan dunia WTO. Salah satu persetujuan yang terlampir pada perjanjian tersebut adalah Agreement on Implementation of Article VII of the GATT 1994. Persetujuan ini sering disebut sebagai GATT atau
WTO Valuation Agreement. Sebagai anggota WTO,
Indonesia wajib menyesuaikan semua perundang-undangannya dengan ketentuan WTO. Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan telah memuat semua ketentuan tentang nilai pabean sesuai dengan ketentuanketentuan WTO Valuation Agreement dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April tahun 2005.
6. Perjanjian Internasional Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan pada penjelasan umum menyebutkan bahwa: Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, undang-undang kepabeanan idealnya dapat mengikuti konvensi internasional dan praktik kepabeanan internasional sehingga perlu melakukan penyesuaian undang-undang kepabeanan Indonesia dengan menambahkan atau mengubah ketentuan sesuai dengan konvensi tersebut. Pengertian
Perjanjian
Internasional
sendiri
dijelaskan
oleh
Undang‐Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional yaitu: Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.. Perjanjian Internasional merupakan setiap perjanjian dibidang hukum publik yang mana diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lain. Pemerintah Republik Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri dan pertimbangan kepentingan nasional dapat melakukan dan membuat perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum Internasional.
Keterlibatan berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional sangat memerlukan koordinasi di antara lembaga-lembaga yang bersangkutan. Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam antara lain treaty, convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, character, declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summarry records, process verbal, modus vivendy dan letter of intent. 47 Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak. Beberapa perjanjian internasional dan kerja sama yang terkait dengan kegiatan kepabeanan antara lain sebagai berikut: A.
Conventions on Simplification and Harmonization of Customs Procedures Konvensi tersebut lebih dikenal dengan Konvensi Kyoto karena
diadakan di kota Kyoto, Jepang. Merupakan salah satu upaya harmonisasi dan keseragaman sistem kepabeanan. Latar belakang perumusan Konvensi Kyoto dilandasi atas kesadaran umum bahwa perbedaan prosedur pabean masing-masing negara dapat menghambat kelancaran arus barang perdagangan internasional yang melintas batas masing-masing negara. Hasil rumusan konvensi Kyoto tersebut dikenal sebagai suatu instrumen internasional yang berisikan ketentuan-ketentuan dasar prosedur pabean. Beberapa isi ketentuan perundang-undangan kepabeanan nasional Indonesia yang dikenal dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan telah mengadopsi lebih dari 90% prinsip yang diatur 47
Eddhi Sutarto., Op.Cit, hal.22.
pada konvensi Kyoto, yang mana konvensi tersebut telah direvisi dengan International Convention on the Simplification and Harmonization of Customs Procedures (as amended) (Revised Kyoto Convention 1999). Latar belakang penyempurnaan Konvensi Kyoto dilakukan oleh Customs Reformand Modernization Forum yang diadakan pada akhir 1997 di Brussel, Belgia. Kesepakatan penyempurnaan tersebut didasari pemahaman perlunya pelaksanaan modernisasi prosedur pabean abad XXI yang diarahkan untuk meningkatkan pemberian kemudahan pada perdagangan tanpa mengabaikan aspek pengawasan. B.
Nairobi
Convention
(International
Convention
on
Mutual
Administrative for the Prevebtion Investigation and Repression of Customs Offences) Salah
satu
tugas
utama
customs
administrations
adalah
memberikan perlindungan terhadap masyarakat. WCO (World Customs Organization/Organisasi Kepabeanan Dunia) menjembatani maksud dan tujuan dimaksud dengan cara menggalang negara anggota untuk meningkatkan kerja sama internasional guna memerangi pelanggaran kepabeanan. Untuk efektivitas kerja sama internasional tersebut, WCO melaksanakan tiga strategi, yakni mempertajam fungsi informasi dan koordinasi, serta melakukan kerja sama dengan organisasi internasional terkait dalam bidang penegakkan hukum. C.
International
Convention
on
Description and Coding System
the
Harmonized
Commodity
Sistem yang diluncurkan pada tanggal 14 Juni 1983 ini merupakan sistem pengklasifikasian barang yang dapat diterima secara internasional dan merupakan suatu kebutuhan yang mendasar didalam pelaksanaan perdagangan internasional. Harmonized system ini terdiri lebih dari 5000 kelompok barang yang di identifikasi dengan kode 6 digit dan dipergunakan secara internasional untuk kepentingan perdagangan internasional serta berguna untuk kepentingan lainnya seperti menentukan asal barang, negosiasi perundingan perdagangan, tarif angkutan dan lain-lain, selain untuk kepentingan utama yakni untuk pengumpulan data statistik perdagangan. Multifungsi yang dimiliki telah menyebabkan sistem tersebut sebagai salah satu dasar yang sangat penting didalam hukum perdagangan internasional. D.
Framework of Standart to secure and Faciliate Global Trade (Kerangka Standar (Aturan-aturan) untuk Pengamanan dan Fasilitasi Perdagangan Dunia) Prinsip-prinsip kerangka standar (aturan-aturan) untuk pengamanan
dan fasilitasi perdagangan dunia merupakan suatu strategi untuk mengamankan arus barang secara internasional tanpa menghambatnya. Prinsip ini direkomendasikan untuk diadopsi sebagai langkah minimal yang harus dilaksanakan bagi anggota WCO. Tujuan Framework of Standart to Scure and Facilitate Global Trade dapat dirinci antara lain: a. Menetapkan standar untuk pengamanan dan fasilitasi rantai perdagangan dunia untuk mendorong kepastian dan predictaility; b. Menciptakan manajemen rantai perdagangan yang terpadu untuk segala moda transportasi; c. Meningkatkan peranan, fungsi dan kapabilitas pabean untuk menghadapi tantangan dan kesempatan pada abad XXI;
d. Memperkuat kerjasama antara administrasi-administrasi pabean untuk meningkatkan kapabilitasnya mendeteksi barang beresiko tinggi; e. Memperkuat kerjasama antara pabean dengan dunia usaha; f. Mendorong pergerakan barang yang tanpa hambatan melalui mata rantai perdagangan internasional yang aman. Manfaat implementasi framework untuk pemerintah nasional, administrasi pabean, dan dunia usaha, yaitu: a. Memungkinkan pabean memfasilitasi perdagangan yang sah dan meningkatkan kinerja pabean sehingga pada gilirannya meningkatkan; penerimaan negara, pelaksanaan ketentuan perundang-undangan secara benar dan mendorong investasi luar negeri secara langsung; b. Mendorong kerja sama pabean dengan instansi terkait lainnya sehingga pemerintah dapat memastikan manajemen dan pengawasan perbatasan yang terintegrasi; c. Bagi dunia usaha bermanfaat untuk menciptakan kondisi perdagangan internasional yang aman, fasilitas dan dukungan terhadap perdagangan internasional dan prosesmpabean yang lebih cepat sehingga menghemat waktu dan biaya serta aturan pabean internasional yang seragam dan predictable. 48 E. GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) GATT merupakan perjanjian umum tentang tarif-tarif dan perdagangan internasional, didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss. Pada waktu didirikan, GATT beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang terakhir di Marakesh, Maroko pada 5 April 1994 jumlah negara penandatangan sebanyak 115 negara. Kesepakatan dalam GATT yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 tertuang dalam tiga prinsip, yaitu: 1. Prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut. 2. Prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu. 3. Prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus transparan agar diketahui oleh negara lain. 49 Sesuai dengan perkembangannya, masing-masing negara anggotaGATT menghendaki adanya perdagangan bebas. Pada pertemuan
48
Ibid., hal.23-26. Arisya Zuhra Namira, Maria Benadicta, Dio Azalia Lukita, Naila Alisanty Munaf, Maulana Nofrimurti, “General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)”, http://ibmbinus7p.blogspot.com/2013/06/general-agreement-on-tariffs-and-trade.html diakses pada 20 Februari 2015. 49
di Marakesh, Maroko 5 April 1994 GATT diubah menjadi World Trade Organization (WTO) mulai tanggal 1 Januari 1995. Lahirnya membawa dua hal perubahan mendasar, yaitu : 1.
WTO mengambilalih peran GATT dan menjadikannya sebagai salah satu lampiran aturan WTO.
2.
Prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO. Misalnya GATS, TRIMS, TRIPS. 50 Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim
perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta juga untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang seha. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT: 1.
Meningkatkan taraf hidup umat manusia;
2.
meningkatkan kesempatan kerja;
3.
meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan
4.
meningkatkan produksi dan tukar menukar barang. Fungsi GATT ialah pertama, suatu perangkat ketentuan (aturan)
multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara- negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan; Kedua, sebagai suatu forum atau wadah perundingan perdagangan dan diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu; Ketiga, GATT mengupayakan agaraturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakan dan juga penyebarluasan pemberlakuan peraturannya.
50
Ibid.
Garis-garis Besar Ketentuan GATT yakni GATT memiliki 38 pasal. Secara garis besarnya, dari pasal-pasal dibagi ke dalam 4 bagian: 1.
Bagian Pertama : Pasal 1, Pasal Utama menetapkan prinsip utama GATT, MFN Treatment pada anggota. Pasal 2 Penurunan Tarif yang disepakati berdasarkan GATT.
2.
Bagian Kedua : Memuat 30 Pasal (Ps III-Ps XXII).
3.
Bagian Ketiga : Berisi 11 Pasal.
4.
Bagian Keempat : Terdiri dari empat pasal yang ditambahkan pada tahun 1965. Bagian ini berisi kebutuhan-kebutuhan khusus daripada negara-negara sedang berkembang. 51
Sesuai dengan Agreement on Implementation of Article VII of General Agreement on Trade and Tarrif (GATT) 1994, Article 22 menyebutkan bahwa perundang-undangan nasional harus memuat ketentuan penetapan nilai pabean sesuai World Trade Organization (WTO) Valuation Agreement. Dalam Article 4 konvensi tersebut diatur bahwa metode komputasi dapat digunakan mendahului metode deduksi atas permintaan importir. Indonesia telah menggunakan kesempatan untuk menunda pelaksanaan Article 4 Konvensi tersebut 5 tahun yang berakhir pada tahun 2000, sehingga ketentuan penetapan nilai pabean sesuai Article 4 konvensi tersebut harus dimasukkan dalam Undang-Undang kepabeanan yang di ubah tersebut ( UU No. 17 Tahun 2006). 52 Hukum di bidang kepabeanan dapat dikatakan memilik kajian aspek yang sangat luas dan mengakomodasi tidak hanya aspek hukum publik, tetapi juga aspek hukum privat atau perdata. Pengaturan fiskal dan pengaturan hal-hal yang terkait dengan perdagangan internasional menjadikan hukum pabean mengadopsi aspek-aspek kedua hukum tersebut yang sekaligus mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek tersebut. Asas-asas hukum publik yang terkait dengan Hukum Pabean antara lain: 1.
Asas keseimbangan kepentingan;
2.
Asas pengawasan publik;
3.
Asas campur tangan kegiatan ekonomi. 53
negara
terhadap
Asas-asas hukum yang bersumber dari hukum perdata dan/atau hukum dagang pada dasarnya hanya mengandung satu segi saja, yaitu khusus mengenai hubungan hukum para pihak di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu, pada dasarnya harus menghormati hak dan kepentingan 51
Ibid. Republik Indonesia., Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan, Penjelasan, Umum, Alinea 7. 53 Eddhi Sutarto., Op.cit, 2006., hal.36. 52
pihak lain sehingga asas-asas hukum perdata tidak dilanggar. Berpijak pada aspek-aspek dan asas-asas tersebut diatas, penajaman hukum pabean yang terkait dengan hukum administrasi negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara pidana dan hukum internasional adalah sebagai berikut. 54 1.
Aspek Hukum Administrasi Negara Peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan yang meupakan bagian dari hukum fiskal pada hakikatnya memuat hukum administrasi, yaitu mengatur aktivitas alat-alat perlengkapan negara berikut para pejabatnya yang berkaitan dengan pemenuhan formalitas kepabeanan, yang bertujuan untuk kepentingan umum, dan sebagai bagian dari hukum administrasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika penegakkan hukum di bidang kepabeanan, dilakukan dengan sistem administrasi berupa sanksi fiskal. Pemahaman formalitas pabean itu sendiri di samping harus dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kepabeanan, juga harus dilakukan oleh pihak pabean dalam rangka memenuhi ketentuan undang-undang pabean sebagaimana dimaksud dengan pengertian formalitas pabean pada Konvensi Kyoto, yakni “Customs Formalities means all the operations wich must be carried out by the persons concerned and by the Customs in order to comply with the Customs law”. 55 Asas-asas yang terkandung pada aspek hukum administrasi negara adalah perlindungan hak dan kewajiban aparatur pemerintah, sekaligus pemberian
keseimbangan
untuk
perlindungan
masyarakat
dari
kesewenang-wenangan aparatur pemerintah.
2.
Aspek Hukum Perdata Hukum pabean memiliki kandungan apsek hukum perdata. Hal ini dapat dilihat dari hubungan hukum yang timbul yang dimulai dari telah 54 55
Ibid., hal.37. Ibid.
dibuatnya sekaligus telah diterimanya pemberitahuan pabean dari pihak pemberitahu kepada pihak otoritas pabean. Hubungan hukum yang timbul dari pemenuhan membuat pernyataan tersebut lazim terjadi dilapangan hukum perdata. 56 Pada Hukum pabean tercantum aspek-aspek hukum perdata, dapat dikatakan bahwa hukum perdata harus dipandang sebagai hukum umum, yang berlaku bagi serangkaian hubungan hukum sepanjang tidak ditentukan secara khusus. Hukum pabean dianggap sebagai ketentuan khusus sedangkan hukum perdata sebagai ketentuan umum. 57 Karena kewenangan hukum pabean sebagai hukum yang mengatur mengenai regulasi lalu lintas barang dalam perdagangan internasional yang diatur oleh ketentuan Hukum Perdangangan Internasional. Ruang lingkup Hukum Perdagangan Internasional public merupakan bagian dari hukum internasional terkait dengan hak dan kewajiban Negara dan organisasi internasional dalam urusan iternasional, artinya bahwa dalam perdagangan internasional melibatkan Negara-negara dan lembagalembaga internasional baik secara global maupun regional yang mengacu pada ketentuan dan prinsip-prinsip hukum internasional yang disepakati dalam GATT-WTO. Adapun ruang lingkup hukum perdagangan internasional private adalah bagian dari hukum internasional yang terkait dengan hak dan kewajiban individu yang disebut para pihak dan lembaga internasional non pemerintah dalam urusan internasional yang mangacu pada kaidah prinsip-prinsip hukum perjanjian /kontrak internasional yang disepakati oleh para pihak, dan konvensi perdagangan internsional.
3.
Aspek Hukum Acara Pidana yang 56
Hukum Acara Pidana pada prinsipnya mengatur antara lain hal-hal berkaitan dengan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di
Ibid., hal.38. Ibid.
57
persidangan, dan eksekusi. Khususnya yang berkaitan dengan ketentuan pidana kepabeanan diatur kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau disingkat dengan PPNS, kewajiban dan wewenang PPNS, pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyampaian hasil penyidikan ke penuntut umum, penghentian penyidikan. Sementara itu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menyebutkan bahwa pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan. 58 Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan hukum acara memiliki sifat umum, sedangkan ketentuan perundangundangan kepabeanan sebagai bagian dari hukum fiskal memiliki sifat khusus dalam penanganan hal-hal yang berkaitan dengan kepabeanan. 4.
Aspek Hukum Pidana Aspek hukum pidana pada ketentuan perundang-undangan kepabeanan teridentifikasi pada adanya ketentuan pidana dengan penerapan sanksi pidana pada undang-undang kepabeanan tersebut. Unsur-unsur pelanggaran ketentuan pidana kepabeanan antara lain: a. Perbuatan yang dilakukan oleh orang atau atas nama suatu badan hukum; b. Yang memenuhi perumusan Undang-Undang; c. Yang oleh undang-undang diancam dengan pidana (starft); d. Yang melawan atau bertentangan dengan hukum; e. Yang merugikan negara/masyarakat; f. Yang dilakukan di bidang kepabeanan. 59 Aspek-aspek hukum pidana pada hukum pabean juga dapat dilihat dari ketentuan dalam KUHP itu sendiri, yakni tercantum dalam Pasal 103 KUHP yang menyebutkan: ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana. 58
Ibid. Ibid, hal.39.
59
5.
Aspek Hukum Internasional Sebagai hukum yang sangat terkait dengan aktifitas perdagangan internasional, di dalam hukum pabean nasional juga banyak tercantum aspek hukum perjanjian internasional, atau beberapa ketentuan hukum yang direkomendasikan untuk tercantum dalam undang-undang nasional. Aspek-aspek tersebut terkait dengan aturan atau ketentuan terhadap pengendalian barang-barang hasil pelanggaran HaKI, nilai pabean, tarif bea masuk, dan lainnya. 60
C. Kelembagaan Bea Cukai, Tanggung Jawab dan Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah instansi pemerintah yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas kementerian keuangan dibidang pemungutan pajak negara dalam bentuk bea cukai serta pungutan impor lainnya. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sebagai suatu lembaga pemerintah memiliki fungsi penting di dalam melaksakan kebijakan pemerintah. Bea Cukai terdiri dari dua suku kata, yaitu Bea dan Cukai. Bea berasal dari bahasa Sansakerta yang berarti ongkos atau biaya.
61
Sedangkan cukai merupakan bahasa Melayu dalam menyebut pungutan pajak atau upeti. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Bea Cukai dilindungi dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 dan UndangUndang Nomor 17 tahun 2006 Tentang Kepabeanan serta Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai.
60
Ibid, hal.40. Adrian Sutedi, Op.Cit, hal.88.
61
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diberi tugas melalui Undang-undang
serta
peraturan
pelaksananya
untuk
melakukan
pengawasan terhadap barang-barang larangan dan/atau pembatasan impor dan ekspor. Kegiatan Impor atau Ekspor dipungut bea sebagai salah satu kewajiban pajak yang menjadi sumber penerimaan negara karena DJBC sebagai institusi negara dibawah Kementerian Keuangan yang bertugas menjaga keuangan negara. Bea Cukai mempunyai peran yang sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional yang diwujudkan dalam pengumpulan
penerimaan
negara untuk
membiayai
pembangunan
nasional, pemberian fasilitas perdagangan untuk menunjang efisiensi rantai pasokan perdagangan internasionla, pemberian insentif fiskal untuk meningkatkan pertumbuhan dan melindungi investasi dalam negeri, serta melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang berbahaya bagi kesehatan dan keamanan masyarakat. Peranan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai aparatur negara yang berada di gerbang pintu masuk negara dan juga sebagai instansi penegak hukum pabean dirumuskan dalam Fungsi Implementasi DJBC yaitu: Revenue Collector, Trade Facilitator, Industrial Assistance, dan Community Protector. Trade Facilitator adalah memberi fasilitas perdagangan antara lain peningkatan kelancaran arus barang dan perdagangan, sehingga dapat menekan ekonomi biaya tinggi yang pada akhirnya akan menciptakan iklim perdagangan yang kondusif. Industrial Assintance adalah memberi dukungan kepada industri dalam negeri sehingga memiliki keunggulan kompetitif dalam pasar internasional. Revenue Collector adalah mengoptimalkan penerimaan negara melalui penerimaan bea masuk, bea keluar dan cukai. Community Protector adalah melindungi masyarakat dari
masuknya barang-barang yang dilarang atau dibatasi yang dapat menggangu kesehatan dan keamanan serta moralitas. 62 Dengan adanya perubahan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, beberapa pasal dan substansi yang terdapat
dalam
undang-undang
lama
mengalami
perubahan
dan
penambahan. Sebanyak 101 butir perubahan, menunjukan adanya upaya dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengadakan perbaikan dan meningkatkan kinerjanya menuju kesetaraan dengan kinerja kepabeanan di negara-negara Asia khususnya dan dunia pada umumnya. Undang-undang Pabean pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 beserta penjelasannya yang sebagai hukum positif telah mengamanatkan bahwa lembaga yang melakasanakan penegakan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor atau ekspor adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Selanjutnya, berdasarkan amanat undang-undang lembaga pabean yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berkewajiban melaksanakan tugas hukum di bidang kepabeanan, yakni tugas hukum untuk melaksanakan pemungutan bea dan pajak dalam rangka ekspor-impor sesuai dengan ketentuan undang-undang dan tugas hukum untuk melaksanakan pengawasan lalu-lintas barang yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari daerah pabean. Banyak orang lebih senang menyebut lembaga maupun pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dengan singkat yaitu Bea 62
http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/HKK6004/document/Gambaran_umum_kepa beanan_dan_cukai.pdf?cidRehttp://elearning.upnjatim.ac.id/courses/HKK6004/document/Gamb aran_umum_kepabeanan_dan_cukai.pdf?cq=HKK6004
Cukai. Di forum Internasional institusi Bea Cukai digunakan sebutan Administrasi Pabean (Customs Administration) yang ruang lingkup tugasnya hanya meliputi kepabeanan dan cukai atau hanya bidang kepabeanan saja. 63 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai lembaga pabean serta cukai beserta seluruh aparatnya pada kapasitasnya mengemban tugas hukum, disiplin ilmu utamanya yaitu ilmu hukum didukung oleh disiplindisiplin ilmu lainnya yakni ilmu ekonomi, sosial, politik serta disiplin ilmu yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan serta budaya. Semua disiplin ilmu tersebut digunakan secara terpadu dengan tujuan dipatuhinya seluruh ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan.Selain itu, dalam peranannya sebagai fasilitator perdagangan internasional (trade facilitator), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menempatkan posisinya sebagai suatu organisasi yang memegang andil yang menuntut sikap profesional dalam diri setiap pegawainya. Hubungan hukum yang timbul dalam pemenuhan formalitas pabean, yakni hubungan hukum yang dibuat oleh masyarakat pengguna jasa kepabeanan dengan pemegang otoritas pabean haruslah didasari atas keseimbangan kepentingan, kejujuran dan kepercayaan sehingga ketentuan perundang-undangan kepabeanan selain dapat memberikan keadilan, kepastian hukum juga bermanfaat. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai suatu lembaga memiliki peranan yang sangat penting yang mungkin kurang disadari oleh masyarakat, yaitu berperan melindungi masyarakat itu sendiri dari berbagai hal yang memungkinan untuk menciptakan kerusakan maupun membahayakan bagi lingkungan masyarakat Indonesia. Sebagai gerbang pertama dari masuknya barang-barang yang berasal dari luar negeri, pegawai Bea dan Cukai memiliki kewajiban untuk memberlakukan
63
Ibid, hal.84.
peraturan perundang-undangan yang sesuai terhadap jenis barang yang akan meninggalkan dan memasuki daerah pabean Indonesia. 64 Barang-barang yang keluar dan masuk tersebut akan dipungut bea masuk dan cukainya sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai sumber fiskal atau pendapatan negara. Contoh implementasi peraturan terkait ekspor dan impor yang diterbitkan oleh departemen atau instansi pemerintahan lainnya ialah pengaturan tentang Larangan dan Pembatasan (Lartas). Dalam UU Kepabeanan, ditetapkan bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terhadap pelaksanaan ketentuan dan larangan dan pembatasan (Lartas), maka instansi teknis yang menetapkan larangan dan atau pembatasan atas impor atau ekspor barang tertentu wajib untuk memberitahukan kepada Menteri Keuangan, sebagai atasan DJBC untuk ditetapkan dan dilaksanakan oleh DJBC. 65 Sesuai tugas dan fungsinya DJBC dituntut untuk bertanggung jawab atas pengamanan penerimaan negara dan berbagai ketentuan atau peraturan nasional lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan ekspor, impor dan cukai, semua peraturan ini menjadi kewajiban bagi DJBC untuk melaksanakannya karena DJBC adalah instansi yang bertanggung jawab mengatur keluar-masuknya barang di wilayah Indonesia. Pada dasarnya institusi DJBC merupakan institusi kepabeanan di dalamnya terdapat peraturan atau kebijakan masing-masing Departemen teknis. Kepabeanan atau Customs (inggris) atau Douane (Perancis) adalah instansi yang bertanggung jawab atas pengawasan pelaksanaan administrasi penerimaan 64
Wawancara Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean Belawan pada 13 Maret 2015. 65
Mohammad Jafar (Widyaswara Pusdiklat Bea dan Cukai), Modul Pengantar Kepabeanan, Op.Cit, hal. 52.
atau pendapatan negara dalam bentuk bea masuk, cukai, pajak pertambahan nilai (value added tax), pajak barang mewah dan pajak pengahasilan dalam rangka impor Pasal 22 Undang-undang Kepabeanan serta bea keluar yang mengatur mengenai pentarifan atas barang sesuai dengan klasifikasinya. Esensi dari pelaksanaan peraturan-peraturan terkait tersebut adalah demi terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam pengawasan dan pelayanan, karena tidak mungkin jika setiap instansi yang berwenang tersebut melaksanakan sendiri setiap peraturan yang berkaitan dengan hal ekspor dan impor, tujuan utama dari pelaksanaan tersebut adalah untuk menghidari birokrasi panjang yang harus dilewati oleh setiap pengekspor dan pengimpor dalam beraktivitas. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai pihak yang mengawasi lalu lintas barang yang keluar atau masuk daerah dan melakukan pemungutan terhadap Bea masuk, Cukai, PDRI serta mengawasi barangbarang yang dilarang dan dibatasi sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan yang tidak kalah pentingnya Bea dan Cukai bertanggung jawab atas kelancaran dan lalu lintas barang tersebut.Oleh karena itu terdapat beberapa prinsip-prinsip yang berkaitan dari kepabeanan yakni : 1. Prinsip Paradigma Kepercayaan Semula prinsip pengawasan bea cukai berpijak bahwa pengawasan bea cukai telah direncanakan atas atas dasar hipotesis bahwa semua semua orang tidak jujur, sebagaimana disebutkan dalam deklarasi Colombus (customs controls have therefore been devised on the basic hypothesis that all people are dishonest). Artinya hipotesis prasangka buruk (su’uzhan) dikedepankan. Oleh karena itu, dalam kegiatan pengawasan berpijak pada mekanisme pemeriksaan dan pemeriksaan. Namun, saat ini prinsip pengawasan bea cukai berpijak pada hipotesis bahwa pada dasarnya setiap orang itu jujur. Artinya
hipotesis prasangka baik (husnuzzan) dikedepankan sehingga mekanisme pemeriksa menggunakan manajemen risiko dan pemeriksaan selektif. 66 2. Prinsip Self Assessment dan Official Assessment Secara harafiah self assessment diterjemahkan sebagai ‘menetapkan sendiri’. Ketentuan perundang-undangan kepabeanan nasional (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan) secara implisit menyatakan bahwa prinsip self assessment menjadi prinsip dasar dalam melaakukan kegiatan kepabeanan. Artinya,prinsip yang melimpahkan kepercayaan sepenuhnya kepada masyarakat pengguna jasa kepabeanan,keaktifan pelaksanaan admistrasi usahanya yang berkaitan dengan kepabeanan terletak pada penanggung bea. Hal ini mengandung arti bahwa pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kepada masyarakat mempunyai konsekuensi yaitu penngung bea cukai bertanggung jawab langsung kepada negara atas pemenuhan kewajiban dan pelaksanaan ketentuan kepabeanan. Pada prinsip self assessment terdapat kandungan kejujuran dan etika melakukan kebenaran yang sangat berfokus dalam pelaksanaan pemungutan bea masuk dan pumungatan lainnya yang berkaitan dengan impor ekspor. 67
Self assessment dilakukan dengan cara menyiapkan (mengisi) pemberitahuan pabean : a) Untuk kegiatan pengangkutan, menyampaikan inward manifest atau outward manifest; b) Untuk kegiatan impor, importir atau kuasanya menghitung sendiri bea masuk, cukai pajak dalam rangka impor dan membayar ke bank devisi persepsi atau kantor pabean (tempat pengeluaran barang) dengan pembayaran biasa atau pembayaran berkala; c) Untuk kegiatan ekspor, eksportir atau kuasanya menghitung sendiri pajak ekspor dalam hal yang diekspor adalah komoditas tertentu yang terkena pajak ekspor.
66
Eddhi Sutarto, Op.Cit, hal. 27. Ibid, hal 28.
67
Selain prinsip self assessment, juga dikenal prinsip official assessment yang merupakan pengecualian terhadap prinsip self assessment. Prinsip official assessment dilakukan dalam bentuk penetapan yang dulakukan oleh pejabat pabean berupa penetapan tarif dan nilai pabean atas deklarasi pabean. Prinsip official assessment pernah menjadi prinsip dasar sejak berlakunya ordonasi bea, ordonasi tarif dan berakhir pada berlakunya undang undang kepabeanan Nasional
(Undang-undang
Kepabeanan), prinsip
Nomor
10
Tahun
1995
tentang
ini masih berlaku sampai sekarang terbatas
terhadap omportasi barang yang melalui jasa pos, barang penumpang, dan barang pindahan. 3. Prinsip Pengawasan Semua barang yang diabawa kedalam daerah pabean, terlepas apakah akan dikenakanbea masuk dan pajak atau tidak, harus tetap diawasi oleh instasi pabean (all goods which are introduced into the customs territory, regardless of whether they are liable to import duties and taxes, shall be subject to customs control).Pengawasan merupakan suatu tindakan atau kegiatan secara sistematis untuk dapat diketahuinya kepatuhan terhadap Undang-undang dan peraturan pelaksananya dengan menggunakan segala tendakan terhadap barang untuk kepentingan pengamanan keuangan Negara dan kelancaran arus penumpang, barang dan arus dokumen. 4. Prinsip Penggunaan Teknologi Informasi Pergeseran era konvensional yang beralih ke era modern rasional menuntut semua pihak baik pengguna jasa kepabeanan maupun institusi pabean sendiri, untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan kepabeanan dengan lebih efesien dan efektif. Untuk itu, pengunaan teknologi informasi sangat mendukung maksud tersebut. Konstribusi yang paling besar yang mungkin dapat lebih mempermudah pelaksanaan prosedur kepabeanan adalah digunakan teknologi informasi, sebagaimana disebutkan pada deklarasi Columbus (perhaps the biggest contribution to facilitate Customs procedures can be made through the paper application of information technology). Teknologi informasi sangat mendukung mekanisme kerja reformasi. Bahkan teknologi informasi di samping lebih mempercepat penyelesaian pemenuhan kewajiban pabean, juga dapat digunakan
sebagai katalis untuk melakukan reformasi terhadap prosedur yang tidak efisien. Penggabungan teknologi komputer dengan teknologi komunikasi memberikan peluang untuk mempercepat transaksi perdagangan internasional (The merging of computer technology with communication technology an opportunity to speed up the international trade transaction). 5. Prinsip Teknik Manajemen Risiko Teknik manajemen risiko adalah suatu teknik yang dapat digunakan pada lingkungan yang sudah menerapkan otomatisasi dalam pemrosesan kegiatan kepabeanan dengan menggunakan komputer yang dapat digunakan untuk menilai risiko yang ada pada barang tertentu untuk diteruskan kepada aparat pabean agar dapat diambil tindakan yang lebih tepat. Teknik ini lebih menjamin keefektifan penggunaan sumber daya manusia yang terbatas dengan cara menggunakan teknik-teknik penilaian risiko, profil, selektivitas, dan penetapan target untuk mengenali adanya pengiriman barang yang beresiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan fisik. Deklarasi Colombus menyatakan bahwa “The implementation of risk management techniques has focused attetion on more productive targets for intervention”. Pelaksanaan teknik manajemen risiko telah menyebabkan dipusatkannya perhatian intervensi hanya pada sasaran-sasaran yang produktif. 68 Keberhasilan Bea Cukai dalam melaksanakan fungsi/tugasnya tergantung pada empat faktor yang menentukan yakni peraturan perundang-undangan, sistem dan prosedur, sumber daya manusia dan sarana serta dana (fasilitas). 69 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam implementasi kebijakan dibantu oleh Kantor Pusat, Kantor Wilayah di bidang pengawasan dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai di bidang pelayanan. Dari segi kelembagaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal yang setara dengan unit eselon 1 yang berada di bawah Kementerian Keuangan Indonesia, sebagaimana juga Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan lain-lain. 68
Ibid. Warta Bea Cukai Edisi Bulan Januari 2005.
69
Berdasar Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.01/2010 disebutkan susunan organisasi tingkat pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terdiri dari: a.
Sekretariat Direktorat Jenderal;
b.
Direktorat Teknis Kepabeanan;
c.
Direktorat Fasilitas Kepabeanan;
d.
Direktorat Cukai;
e.
Direktorat Penindakan dan Penyidikan;
f.
Direktorat Audit;
g.
Direktorat Kepabeanan Internasional;
h.
Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanaan dan Cukai;
i.
Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai.
Untuk unit vertikal, berdasar Peraturan Menteri Keuangan nomor 168/PMK.01/2012 disebutkan susunanan unit vertikal pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terdiri dari 2 (dua) unit Kantor Pelayanan Umum (KPU) dan 16 (enam belas) unit Kantor Wilayah (Kanwil) yaitu: a. Kantor Pelayanan Utama Bea Dan Cukai Tipe A Tanjung Priok; b. Kantor Pelayanan Utama Bea Dan Cukai Tipe B Batam; c. Kantor Wilayah DJBC Aceh di Banda Aceh; d. Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara di Medan; e. Kantor Wilayah DJBC Riau Dan Sumatera Barat di Pekanbaru; f. Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau di Tanjung Balai Karimun; g. Kantor Wilayah DJBC Sumatera Bagian Selatan di Palembang; h. Kantor Wilayah DJBC Banten di Tangerang; i. Kantor Wilayah DJBC Jakarta di Jakarta Pusat; j. Kantor Wilayah DJBC Jawa Barat di Bandung;
k. Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah Dan D.I. Yogyakarta di Semarang; l. Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur I di Surabaya; m. Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur II di Malang; n. Kantor Wilayah DJBC Bali, NTB Dan NTT di Denpasar; o. Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Barat di Pontianak; p. Kantor Wilayah Balikpapan;
DJBC
Kalimantan
Bagian
Timur
di
q. Kantor Wilayah DJBC Sulawesi di Makassar; r. Kantor Wilayah DJBC Maluku, Papua Dan Papua Barat di Ambon. 70
70
http://id.wikipedia.org/wiki/Direktorat_Jenderal_Bea_dan_Cukai_Kementerian_Keuang an_Indonesia. Diakses Pada Tanggal 27 April 2015.