BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) 2.1.
Tinjauan Umum tentang Pajak
2.1.1. Pengertian Pajak Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat.Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak.Pajak sebenarnya
adalah
utang,
yaitu
utang
anggota
masyarakat
kepada
masyarakat.34Menurut Kamus Hukum35, pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada Negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Untuk lebih memperjelas mengenai pengertian pajak, dari beberapa literatur ditemukan pengertian pajak menurut para ahli, diantaranya :36 a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. b. Prof. Dr. M.J.H Smeets Pajak adalah prestasi pemerintahan yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi, yang 34
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op.cit, h.1 Sudarsono, 2005, Kamus Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal.336 36 Tunggul Arshari Setia Negara, Op.cit, h.5-6 35
22
23
dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adanya membiayai pengeluaran pemerintah. c. DR. Soeparman Soemahamidjaja Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Berdasarkan pada pendapat ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran wajib dari masyarakat kepada pemerintah, yang dapat dipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum. Secara normatif, pengaturan mengenai pajak juga diatur dalam ketentuan pada Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 tenang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, yang selanjutnya disingkat UU No.28 Tahun 2007) disebutkan bahwa : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terhutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsurunsur : a. Iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
24
b. Berdasarkan Undang-Undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.37 Agar dapat terlaksananya pemungutan pajak yang baik, maka diperlukan suatu pendekatan terhadap pajak yang salah satunya dari segi hukum. Pendekatan inilah yang sering disebut dengan hukum pajak. Pendekatan ini menitikberatkan pada hubungan hukumnya, sehingga pajak dapat dipandang dari segi hak dan kewajibannya. Menurut Rochmat Soemitro, pajak ditinjau dari segi hukum didefinisikan sebagai berikut : “Pajak (utang pajak) adalah perikatan yang timbul karena undang-undang (jadi dengan sendirinya), yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada Negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara (pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, fungsi budgeter)”.38 Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Ada 2 macam hukum pajak yakni : a. Hukum pajak materiil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu yang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh : Undang-Undang Pajak Penghasilan b. Hukum pajak formil, memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat antara lain : a) Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak, b) Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, 37
Mardiasmo, Op.cit, h.1 Rochmat Soemitro, 1990,Asas dan Dasar Perpajakan I,PT. ERESCO, Bandung, h.51 (yang selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro I) 38
25
perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak, c) Kewajiban wajib pajak dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding. Contoh : Ketentuan umum dan tata cara perpajakan.39 2.1.2. Jenis-jenis Pajak dan Tarif Pajak Di Indonesia dikenal beberapa jenis pajak yang dapat dikelompokkan menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnyadiantaranya : 1.) Menurut golongannya dibagi atas pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), dan pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2) Menurut sifatnya dibagi atas pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), dan pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).40 Secara umum mengenai pembagian jenis pajak di Indonesia sendiri didasarkan atas lembaga pemungutnya. Berdasarkan atas lembaga pemungutannya dibedakan menjadi dua yaitu : A. Pajak Pusat, yaitu pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui sebuah peraturan perundang-undangan, yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan hasil dari pemungutan pajak tersebut akandigunakan 39
untuk
Mardiasmo, op.cit, h.5 Mardiasmo, loc.cit.
40
membiayai
pengeluaran
dan
pembangunan
26
pemerintah pusat.41 Pemungutan pajak pusat ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia, yang hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga Negara pada umumnya. Pajak pusat tersebut diantaranya : 1. Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan dapat ditarik karena penghasilan berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya. PPh diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah beberapa kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Idonesia). Pajak ini diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah beberapa kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. 3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yaitu pajak yang dikenakan atas konsumsi barang yang tergolong mewah. Beberapa barang yang tergolong mewah yakni : barang tersebut bukanlah barang kebutuhan pokok, barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu yang berpenghasilan tinggi, barang tersebut dikonsumsi untuk 41
Marihot P. Siahaan , 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rajawali Pers, Jakarta, h.9 (yang selanjutnya disingkat Marihot P. Siahaan II)
27
menaikkan status. Pajak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah dirubah beberapa kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. 4. Bea Materai, yaitu pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen seperti surat perjanjian, akta notaries, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan tentang bea materai. Pajak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. 5. Bea Masuk, menurut ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Jadi tehadap barang-barang yang diimpor ke Indonesia wajib untuk dikenakan pajak bea masuk yang dipungut oleh pemerintah pusat. 6. Cukai, menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai disebutkan bahwa cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-
28
undang ini. Yang dimaksud dengan karakteristik tersebut adalah konsumsi akan barang yang perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaian atas barang tersebut menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan Negara demi keadilan dan keseimbangan. Contoh : minuman-minuman yang mengandung alkohol dan hasil tembakau seperti rokok. B. Pajak Daerah, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap orang pribadi ataupun badan yang tanpa mendapatkan imbalan atau kontraprestasi secara langsung yang seimbang, dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal ini berbentuk peraturan daerah (Perda).42 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa : “Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terhutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Untuk melaksanakan otonomi daerah secara utuh, pemerintah pusat kemudian melakukan pengalihan beberapa pajak yang awalnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah. Pemungutan pajak daerah tersebut didasarkan atas ketentuan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan demikian, penyelenggaraan
42
Ibid.
29
pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,
serta
menyelenggarakan
dengan
otonomi
pemberian daerah
hak
dalam
dan
kewajiban
kesatuan
sistem
penyelenggaraan pemerintah negara : a. bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintah daerah; b. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif.43 Selanjutnya pemungutan pajak daerah ini dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) yang hasilnya akan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan dan rumah tangga daerah, serta untuk pembangunan daerah. Pemerintah daerah terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, sehingga untuk melaksanakan kewenangan otonomi daerah, pajak daerah dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Jenis-jenis pajak dan tarif pajak menurut UU No.28 Tahun 2009, diantaranya : a. Pajak Daerah Tingkat I atau Pajak Provinsi terdiri dari : 1. Pajak Kendaraan Bermotor, merupakan pajak atas kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor. Tarif pajak kendaraan bermotor paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dengan rincian : a) Tarif pajak kendaraan bermotor pribadi kepemilikan pertama ditetapka paling tinggi sebesar 2%, untuk kepemilikan kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresifpaling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). b) Tarif pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial 43
Azhari Aziz Samudra, 2015, Perpajakan di Indonesia : Keuangan, Pajak, dan Retribusi Daerah, PT RajaGrafindo, Jakarta, h.52-53
30
2.
3. 4. 5.
keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, pemerintah/TNI/polri, pemerintah daerah menetapkan tarif paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi 1% (satu persen). c) Tarif pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi 0,2% (nol koma dua persen). Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Tarif bea balik nama kendaraan bermotor pada penyerahan pertama paling tinggi 20% (duapuluh persen), sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen). Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen). Pajak Air Permukaan. Tarif pajak air permukaan ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen) Pajak Rokok. Tarif rokok ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen)
b. Pajak Daerah Tingkat II atau Pajak Kabupaten/Kota 1. Pajak Hotel, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen); 2. Pajak Restoran, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen); 3. Pajak Hiburan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 35% (tiga puluh lima persen); 4. Pajak Reklame, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen); 5. Pajak Penerangan Jalan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen); 6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen); 7. Pajak Parkir, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluh persen); 8. Pajak Air Tanah, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen); 9. Pajak Sarang Burung Walet, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen) 10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 0,3% (nol koma tiga persen); 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 5% (lima persen) Terdapat beberapa perubahan dalam pajak daerah tersebut diantaranya perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan
31
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan catering. Dan juga terdapat penambahan pajak baru bagi daerah diantaranya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak
pusat,
serta
Pajak
Sarang
Burung
Walet
sebagai
pajak
kabupaten/kota dan Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi provinsi. 2.2.
Tinjauan Umum tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
2.2.1. Pengertian Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pajak BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanag dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.44 Pengertian tentang BPHTB dapat dijumpai dalam ketetuan UU No. 28 Tahun 2009 pada Pasal 1 angka 41 disebutkan bahwa “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Pada Pasal 1 angka 42 selanjutnya disebutkan bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”. Selanjutnya dijelaskan lagi pada Pasal 1 angka 43 disebutkan bahwa “Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di 44
Marihot P.Siahaan I, op.cit,h.40
32
atasnya, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan”. 2.2.2. Dasar Hukum Pajak BPHTB Dasar hukum pajak tertuang dalam ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan undang-undang”. Walaupun Pasal 23A UUD 1945 merupakan dasar hukum pungutan pajak, tapi pada hakekatnya dalam ketentuan ini tersirat falsafah pajak. Pajak harus berdasarkan undang-undang.45 Dengan diundangkannya pengaturan pajak dalam suatu undang-undang, maka pajak dapat dipungut dari masyarakat dan secara hukum pemungutan pajak tersebut telah memiliki legalitas yang menjamin wewenang Negara dalam pemungutan pajak tersebut dari masyarakat, serta menjamin hak dan kewajiban masyarakat dalam pemungutan pajak. Hal ini juga berlaku pada pemungutan pajak BPHTB, dalam pemungutannya BPHTB berdasarkan kepada dasar hukum yang jelas melalui Undang-Undang, serta Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jendral Pajak dan Keputusan Pejabat yang berwenang lainnya. Mengenai dasar hukum dari pada BPHTB ini dapat dijelaskan melalui sejarah singkat mengenai dasar hukum pemungutan pajak BPHTB sebelum di undangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688, yang selanjutnya disingkat UU No.21 Tahun 1997). Sebelumnya sejak tahun
45
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT.Eresco, Bandung, h.13
33
1924, setiap perolehan hak atas tanah dibebani pajak, yang disebut Bea Balik Nama Harta Tetap, sebagaimana diatur dalam Ordonasi Bea Balik Nama Tetap 1924 (Staatblad 1924 Nomor 291). Bea Balik Nama ini dipungt atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Yang dimaksud dengan harta tetap dalam Ordonasi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan perbuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1934 Nomor 27.46 Pada tahun 1960 setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043, yang selanjutnya disingkat UUPA), hak-hak kebendaan yang dimaksud dalam Ordonasi tersebut tidak berlaku lagi, hal ini di karenakan semua hak tersebut sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam UUPA sehingga Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi. Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya UUPA, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nama BPHTB dengan membentuk Undang-Undang tentang BPHTB. Oleh karena itu, pada tanggal 29 Mei tahun 1997 diundangkanlah UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
46
Muhammad Rusjdi, 2005, PBB, BPHTB, dan Bea Materai, Indeks, Jakarta, h.17
34
Hak Atas Tanah dan Bangunan. Semula undang-undang ini ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1998.47 Namun karena adanya gejolak moneter yang terjadi di Indonesia, maka masa berlakunya UU No.21 Tahun 1997 ini ditangguhkan selama 6 bulan terhitung sejak tanggal 1 Januari 1998 sampai dengan 30 Juni 1998. Mengenai penangguhan ini diatur dalam Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998.48 Selanjutnya dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap UU No.21 Tahun 1997 tersebut dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988, yang selanjutnya disingkat UU No.20 Tahun 2000). Untuk melaksanakan otonomi daerah yang seutuhnya sebagai bentuk nyata adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak yang awalnya merupakan pemungutan pajak yang kewenangannya dilakukan oleh pusat, kemudian dialihkan kewenangan pemungutan dan pemanfaatannya ke pemerintah daerah. Pengalihan beberapa jenis pajak ini kemudian oleh pemerintah diundangkan ke dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Reribusi Daerah. Gambaran secara umum dari pengaturan mengenai objek pajak, subjek pajak, serta tata cara perhitungan dan dasar dari pengenaan BPHTB yang terdapat 47
Ibid,h.18 Marihot P.Siahaan I,op.cit,h.38
48
35
dalam ketentuan UU No.28 Tahun 2009, adalah sama dengan pengatuan BPHTB sebagaimana yang diatur sebelumnya dalam UU
No.21 Tahun 1997 yang
kemudian dirubah dengan UU No.20 Tahun 2000.49 2.2.3. Objek dan Subjek Pajak BPHTB BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak kebendaan di mana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi objek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak. 50 Sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat (1) UU No.28 Tahun 2009, yang disebutkan bahwa “Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek pajak ada 15 (lima belas) jenis yang terbagi dalam 2 (dua) golongan besar, yaitu yang terjadi karena pemindahan hak dan karena pemberian hak baru.51 Pada ketentuan pasal 85 ayat (2) UU No.28 Tahun 2009 disebutkan bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pemindahan hak karena: 1) Jual beli; 2) Tukar menukar; 3) Hibah; 4) Hibah wasiat; 5) Waris; 6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; 7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8) Penunjukkan pembeli dalam lelang; 9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10) Penggabungan usaha; 11) Peleburan usaha; 49
Harry Hartoyo dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta,h.24 50 Marohot P. Siahaan I,op.cit, h.57 51 Ibid,h.64
36
12) Pemekaran usaha; 13) Hadiah. b. Pemberian hak baru karena: 1) Kelanjutan pelepasan hak; dan 2) Di luar pelepasan hak. Mengenai hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 85 ayat (1) tersebut, hak yang menjadi objek BPHTB diantaranya :52 a. Hak Milik, yaitu suatu hak yang secara turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah. b. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku. c. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam UUPA. d. Hak Pakai, yaitu hak yang menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputsan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewamenyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
52
Ibid,h.65-66
37
e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun meliputi pula hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. f. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Pada ketentuan Pasal 85 ayat (4) disebutkan bahwa “Objek Pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh : a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. Orang pribadi atau Badan karena konvensi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan f. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka apabila sebuah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan diperoleh oleh orang pribadi atau badan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 85 ayat (4), maka oleh penerima dari
38
perolehan hak atas tanah dan/atau banguan tersebut tidak dikenakan pajak BPHTB. Subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak pajak baru menjadi wajib pajak kalau ia sekaligus memenuhi syarat-syarat objektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, dapat menjadi subjek pajak.53Sesuai dengan namanya, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, pengertian ini menunjukkan bahwa pajak dikenakan kepada pihak yang memperoleh hak.54 Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa “Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan”. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 86 ayat (2) disebutkan bahwa “Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan”. 1.2.4. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak BPHTB Dasar pengenaan pajak BPHTB sebagaimana yang ditentukan Pasal 87 ayat (1) disebutkan bahwa “Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)”. Dalam ketentuan Pasal 87 ayat (2) UU No.28 Tahun 2009 disebutkan bahwa “dalam hal NPOP sebagiamana yang ditentukan pada ayat (1), adalah sebagai berikut:
53
H.Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, op.cit,h.59 Ibid,h.70
54
39
Tabel 2.1. Tarif dan Dasar Pengenaan BPHTB No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
8. 9. 10. 11.
Sumber Perolehan hak atas Tanah dan/atau Bangunan Jual Beli Tukar Menukar Hibah, Hibah Wasiat dan Waris Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak Penunjukan pembeli dalam lelang
Peralihan hak karena karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak Penggabungan, Peleburan dan Pemekaran Usaha Hadiah
Dasar Pengenaan Pajak Harga Transaksi Nilai Pasar Nilai Pasar Nilai Pasar Nilai Pasar Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang Nilai Pasar
Nilai Pasar Nilai Pasar Nilai Pasar Nilai Pasar
Meskipun terdapat lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP tesendiri, namun pada dasarnya hanya terdapat tiga jenis harga atau nilai yang menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan (dalam hal ini pembeli dan penjual). Pada penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan/atau bangunan. Sedangkan menurut Keputusan Menteri
40
Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pada Pasal 1 angka 13 disebutkan bahwa harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang. Dalam pengenaan pajak, untuk meringankan orang pribadi atau badan yang menerima setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan ditentukan dalam Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak (selanjutnya disingkat NPOPTKP). NPOPTKP adalah suatu besaran tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Apabila NPOP yang menjadi dasar pengenaan pajak suatu objek BPHTB kurang dari NPOPTKP yang ditetapkan, atas objek tersebut tidak ada BPHTB yang harus dibayar atau tidak terhutang BPHTB. Sementara itu, apabila NPOP besarnya lebih dari NPOPTKP yang ditetapkan, besarnya pajak terutang dihitung dari selisih antara NPOP dan NPOPTKP.55 Dalam Pasal 87 ayat (4) UU No.28 Tahun 2009 disebutkan bahwa “Besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak”. Selanjutnya pada ayat (5) ditentukan bahwa “Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta). Selanjutnya NPOPTKP ini akan ditetapkan dengan peraturan daerah oleh pemerintah daerah. Untuk penetapan tarif pajak, menurut Pasal 88 ayat (1) tarif pajak BPHTB ditetapkan paling tinggi
55
Marihot P. Siahaan I, op.cit, h.172
41
5% (lima persen) dan menurut ayat (2) penetapan tarif pajak BPHTB ini harus ditetapkan dalam peraturan daerah. 1.2.5. Saat Terhutang Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pengaturan mengenai saat terhutangnya pajak BPHTB ditentukan dalam ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU No.28 Tahun 2009 yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.
Jual beli adalah sejak tanggal dibuatnya dan ditandatanganinya akta; Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanginya akta; Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan; Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah seja tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; Pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
Pada ketentuan Pasal 90 ayat (2) ditegaskan bahwa pajak yang terhutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan ayat (1). Jadi pelunasan pajak BPHTB dilaksanakan pada saat orang pribadi atau badan memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
42
2.3.
Tinjauan Umum tentang Jual Beli Tanah Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah bersifat dualistis yaitu
berlakunya hukum tanah barat berdampingan dengan hukum adat tanah.Hukum tanah barat berlaku bagi tanah-tanah denga hak-hak barat seperti hak eigendom, tanah erfpacht, tanah postal, dan lain sebagainya.Sedangkan hukum adat tanah berlaku bagi tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia seperti tanah milik, tanah usaha, tanah Bangkok, dan lain sebagainya. 56Begitu juga halnya mengenai jual beli tanah di Indonesia yang mempergunakan 2 (dua) sistem hukum, yaitu sistem hukum barat bagi golongan Eropa dan sistem hukum adat bagi gologan bumiputera.Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda. Dalam masyarakat hukum adat jual beli tanah di laksanakan secara terang dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan di hadapan kepala adat atau kepala desa, sedangkan tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek jual beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak secara bersamaan.57 Sedangkan jual beli tanah menurut hukum barat adalah suatu perjanjian seperti yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yaitu : “Jual beli
56
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, h.124. 57 Effendi Perangin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia : Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.15
43
adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yanga akan dijual. Dalam praktek disebut jual beli tanah, namun hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya.Memang benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi yang dibeli (dijual) bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya. 58 Setelah adanya UUPA, hukum adat menjadi dasar dari hukum tanah Nasional.Jual beli tanah sekarang memiliki pengertian, yaitu dimana pihak penjual menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka berpindahlah hak atas tanah itu kepada pembeli.Perbuatan hukum ini bersifat tunai, terang dan riil.59 Tunai berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk selama-lamanya, dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga tanah tersebut. Terang berarti perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Riil atau secara nyata adalah menunjuk kepada akta PPAT yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.Jadi jual beli tanah secara singkat merupakan peralihan hak atas tanah yang menjadi objek jual beli tanah telah terjadi sejak ditandatanganinya akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang dan dibayarnya harga oleh pembeli kepada penjual.
58
Effendi Perangin, 1994, Jual Beli Tanah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.8 Boedi Harsono, 2003, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Pelaksanaanna, Hukum Tanah Nasional Jilid 1, Djamban, Jakarta, h.333 59
44
2.4.
BPHTB sebagai Sumber PAD di Kabupaten Badung Negara Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip federalism, salah
satunya seperti otonomi daerah.Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.60Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.61Ketentuan ini dimaksudkan bahwa daerah diberikan kebebasan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat namun masih dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 UUD 1945 merupakan dasar hukum pembentukan pemerintah daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, yang mengandung arti bahwa
60
Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah : Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Kemitraan, Malang, h.5 61 H.M. Busrizalti, 2013, Hukum Pemda : Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total Media, Yogyakarta, h.62
45
daerah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat.Sedangkan prinsip otonomi nyata merupakan suatu prinsip bahwa dalam menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan perpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang.62Pada tahun 1956 diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 77) bertujuan untuk pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah-daerah yang berhak mengurus umah tangganya sendiri, di mana pengurusan keuangan diberikan pula secara luas. Secara garis besar undang-undang ini menetapkan 4 (empat) aturan pokok, yakni : 1. Sumber pendapatan daerah terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah. 2. Daerah dalam hal-hal tertentu dapat diberikan subsidi, sumbangan dan ganjaran. 3. Beberapa pajak negara diserahkan sebagai pajak daerah. 4. Daerah memperoleh bagi hasil dari penerimaan pajak pusat tertentu.63 Oleh karena undang-undang menekankan pada otonomi daerah, maka penyelenggaraan keuangan daerah diatur sebagai berikut : 1. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, yata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah. 2. Dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah kernangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan daerah.64
62
Jantje D. South, 2013, Kewenangan Daerah Mengelola Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi vol.1 No.5, Oktober-Desember,h.80 63 Azhari Aziz Samudra, op.cit, h.41 64 Ibid, h. 50
46
Sebagai realisasi dari pengaturan tersebut, semula kewenangan perpajakan jenis baru merupakan kewenangan pemerintah pusat selanjutnya diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah, pada semua daerah otonom ditentukan isi dan jenisnya adalah sama. Pengalihan kewenangan ini bertujuan untuk meningkatkan PAD di masing-masing daerah.Peran PAD sangat penting sebagai sumber pembiayaan pemerintah daerah, hal tersebut dikarenakan PAD merupakan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah. PAD merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleuasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan
asas
desentralisasi.65Adanya
penyerahan
kewenangan
dalam
pemungutan pajak daerah menunjukkan bahwa pangkal dari otonom daerah bukanlah pada daerah Provinsi, melainkan pada kabupaten/kota. BPHTB sebagai salah satu jenis pajak daerah dilandasi oleh beberapa indikator utama maupun penunjangnya seperti luas tanah sebagai objek pajak BPHTB, transaksi tanah sebagai objek pajak BPHTB, penyerahan hak-hak tanah dan bangunan sebagai objek pajak BPHTB, yang semuanya berintikan pada : a. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena pemberian hak baru, misalnya jual beli tanah, hak mewarisi atas tanah, dan lain-lain. b. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena pemberian hak baru, misalnya sebagai bentuk kelanjutan pelepasan hak. c. Sejumlah hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA.66
65
Nurlan Darise, 2006, Pengelolaan Keuangan Daerah, PT Indeks, Jakarta, h.38 Ibid, h.81
66
47
Semula mengenai pajak BPHTB diatur sendiri dalam UU No.20 Tahun 2000. Sama halnya dengan pajak BPHTB, pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah juga diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.Dengan adanya peralihan kewenangan dalam pemungutan pajak, maka pemerintah pusat melakukan pembenahan terhadap pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.Pembenahan ini dilaksanakan dalam rangka memberikan sumbangan APBD yang lebih banyak untuk pemanfaatan di daerah. Untuk mempermudah penggabungan serta dalam penggolongan pajak daerah dan retribusi daerah, maka diundangkanlah UU No.28 Tahun 2009 yang merupakan pengaturan secara khusus mengenai jenis-jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, kantor pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak memungut BPHTB sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak tidak berwenang memungut BPHTB lagi.67Dispenda kemudian memiliki kewenangan dalam pelaksanaan dan pengelolaan pajak BPHTB.Selanjutnya dalam pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah sebagai bentuk payung hukum atas kewenangan daerah dalam melakukan pemungutan pajak daerah. Setelah adanya pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah, pajak BPHTB dipercaya sebagai salah satu sumber PAD dan dapat meningkatkan local taxing power, yang memiliki potensi cukup besar dibandingkan dari keseluruhan 67
Iwan Mulyawan, 2010, Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Mitra Wacana, Jakarta, h.9
48
penerimaan pajak-pajak daerah yang ada. Pengalihan pajak BPHTB ini, mengharuskan setiap daerah untuk mendata kembali berapa potensi pajak BPHTB yang dimiliki daerahnya. Pada saat pajak BPHTB masih dipungut oleh pemerintah pusat dan sebelum adanya pengalihan yang dipungut oleh pemerintah daerah, penerimaan pajak BPHTB dibagi menjadi tiga yaitu Pemerintah Pusat memperoleh 20% dari penerimaan, Pemerintah Provinsi memperoleh 16% dan sisanya 64% diberikan kepada Pemerintah Daerah. Namun setelah adanya pengalihan pajak BPHTB, penerimaan pajak BPHTB 100% atau sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumber PAD, berikut grafik perbandingan penerimaan pajak BPHTB sebelum dan sesudah adanya pengalihan. Gambar 1.
Sumber : Kementerian Keuanga Republik Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak 201268
Sebagai salah satu daerah otonom, kabupaten Badung telah menetapkan Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB sebagai salah satu sumber PAD. Perda tersebut mengatur mengenai dasar ketentuan dalam 68
http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan, diakses pada 1 April 2016
49
pemungutan pajak BPHTB serta cara menghitung dan besar pajak BPHTB yang harus di bayar oleh wajib pajak. Mengenai implementasi pemungutan pajak BPHTB sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Perda adalah sama dengan yang tertuang dalam UU No.28 Tahun 2009, yaitu dalam Pasal 19 Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang mengatur mengenai dibentuknya peraturan Bupati untuk mengatur tentang tata cara pembayaran dan penagihan pajak BPHTB, sehingga oleh Bupati Badung dikeluarkanlah Peraturan Bupati Badung Nomor 72 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemungutan BPHTB (Berita Daerah Kabupaten Badung Tahun 2014 Nomor 72, yang selanjutnya disingkat Perbup Badung No.72 Tahun 2014). Dengan adanya pengaturan tersendiri mengenai BPHTB, Pemerintah Kabupaten Badung (yang selanjutnya disingkat Pemkab Badung) telah siap dalam menggali potensi sumber PAD pada pajak BPHTB.Sehingga dengan adanya pengaturan mengenai pajak BPHTB dapat memaksimalkan penerimaan pajak BPHTB demi membangun Kabupaten Badung yang lebih baik.