TESIS
PENGATURAN TENTANG PENGENAAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS HIBAH WASIAT
I GUSTI AGUNG PUTRA WIRYAWAN NIM 1292462007
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
PENGATURAN TENTANG PENGENAAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS HIBAH WASIAT
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AGUNG PUTRA WIRYAWAN NIM 1292462007
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 21 APRIL 2015
KOMISI PEMBIMBING
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum NIP. 19591231 198602 1007
Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH., MH NIP. 19640915 199003 1 004
MENGETAHUI :
Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum NIP. 19640402 198911 2 001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 20 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1182/UN14.4/HK/2015 Tanggal 20 April 2015
Ketua
:
Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum
Anggota : 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH., MH 2. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M. Hum 3. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M. Hum 4. Dr. Putu Bagiaarta, SH., MH
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: I GUSTI AGUNG PUTRA WIRYAWAN
NIM
: 1292462007
Program Studi
: Magister Kenotariatan
Judul Tesis
: Pengaturan Tentang Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Hibah Wasiat
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 01 Maret 2015 Yang membuat pernyataan,
(I Gusti Agung Putra Wiryawan)
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “PENGATURAN TENTANG PENGENAAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS HIBAH WASIAT”. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat beberapa kekurangan dalam melakukan pembahasan terhadap permsalahan yang dikaji, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini dapat memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum sebagai pembimbing pertama dan Dr. Putu Gede Arya Sumertayasa, SH.,MH, sebagai pembimbing kedua penulis yang telah sabar memberikan dukungan, bimbingan dan juga saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.,KEMD, Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr.
vi
dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan tambahan ilmu kepada penulis, kepada Bapak/Ibu staf administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang turut membantu saya dalam proses administrasi tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga tercinta, Bapak I Gusti Ngurah Swabawa, Ibu I Gusti Ayu Niti, Almarhum I Gusti Ketut Oka , I Gusti Ngurah Satria Wibawa Mandala, Notaris/PPAT Wayan Setia Darmawan, SH, beserta staf atas segala doa, dukungan dan dorongan semangat dalam penulisan tesis ini, serta kepada yang terkasih Anak Agung Candra Chaprina Dewi sekeluarga atas doa, dukungan dan semangat selama ini. Terima kasih kepada teman-teman tercinta Agung Adhika Pranata, Agung Andhika Darmawan, Ida Ayu Made Widyari, Ibu Luh Gede Soearningsih, Pak Gede Prapta Wiguna, Bapak Wira Kusuma, Prapta Jaya, Komang Trianna, Eka
vii
Rachman, serta teman-teman seperjuangan Angkatan V Mandiri Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu memberikan semangat dan dorongan dalam penulisan tesis ini. Serta semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dalam proses pembuatan tesis ini. Akhirnya segala doa, cita serta harapan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan batasan yang lebih dari apa yang telah mereka persembahkan kepada pribadi penulis selama ini. Semoga tesis ini tidak hanya dapat memberikan sumbangan pikiran bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya, tetapi juga bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Denpasar, 20 April 2015
Penulis
viii
ABSTRAK PENGATURAN TENTANG PENGENAAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS HIBAH WASIAT Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah jenis pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2009. Untuk melakukan pemungutan pajak BPHTB, pemerintah daerah wajib membentuk perda tentang BPHTB. Berdasarkan hal tersebut Pemkab Badung membentuk Perda No. 14 Tahun 2010 tentang BPHTB. Pemindahan hak yang wajib dikenakan pajak BPHTB adalah hibah wasiat. Perda No. 14 Tahun 2010 yang kemudian dirubah menjadi Perda No. 28 Tahun 2013. Pemkab Badung mengenakan tarif BPHTB atas hibah wasiat sebesar 1%, setelah itu Pemkab Badung melakukan perubahan terhadap tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat menjadi 0%, ini berarti waris atau hibah wasiat di Kabupaten Badung tidak dikenakan pajak BPHTB. Ketentuan ini bertentangan dengan konsep pengaturan BPHTB dalam UU No. 28 Tahun 2009 dan menimbulkan kendala-kendala dalam pengenaan pajah hibah wasiat pada BPHTB. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian normatif untuk menjelaskan adanya konflik norma antara Perda No. 28 Tahun 2013 dengan UU No. 28 Tahun 2009. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approch). Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Untuk teknik analisis bahan hukum, penelitian ini menggunakan teknik deskripsi, teknik evaluasi dan teknik argumentasi. Berdasarkan hasil penelitian, pengaturan tentang pajak hibah wasiat pada BPHTB di Kabupaten Badung dalam Perda No. 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perda No. 14 Tahun 2010, mengenai waris dan hibah wasiat yang tidak dikenakan pajak BPHTB bertentangan dengan UU No. 28 Tahun 2009. Tentunya dengan adanya pertentangan norma tersebut, menimbulkan kendalakendala bagi masyarakat yang melakukan transaksi waris atau hibah wasiat di Kabupaten Badung.
Kata Kunci : Pajak BPHTB, Perolehan Hak, Hibah Wasiat.
ix
ABSTRACT IMPOSITION ARRANGEMENT OF LAND AND BUILDING TITLE TRANSFER DUTY (BPHTB) FOR TESTAMENT GRANTS LAND AND BUILDING TITLE TRANSFER DUTY (BPHTB) is a type of central taxes that diverted into the local tax as provided in Law 28 of 2009. For BPHTB collection purposes, local governments shall establish regional regulations concerning BPHTB. Based on that, Badung's Goverment makes Bylaw No. 14 Year 2010 on BPHTB. The transfer of rights shall be taxed of BPHTB is testament grants. By law No. 14 Year 2010, which was later changed to Bylaw No. 28 Year 2013. Badung's goverment impose BPHTB tariffs on testament grants by 1%, and then Badung's goverment make changes to the BPHTB tax rate on inheritance or testament grants to 0%, this means that inheritance or testament grants in Badung region not taxed on BPHTB. This provision is contrary to the concept of BPHTB settings in Law 28 of 2009 and lead to the constraints on imposition of BPHTB for testament grants. Type of research used in this thesis is a normative research method to explain the existence of a conflict between the norms of regulation No. 28 In 2013 compare to byLaw no 28, 2009. This study uses the approach of legislation (statute approach) approach to the concept (conceptual approach), analytic approach (analytical approach). Sources of legal materials that used in this study consisted of primary legal materials, secondary and tertiary. For legal material analysis techniques, this study uses the description techniques, evaluation techniques and argumentation techniques. Based on the research results, the tax imposition arrangement of testament grants on BPHTB in Badung in bylaw No. 28 Year 2013 on the Amendment of bylaw No. 14 In 2010, regarding inheritance and testament grants that are not taxed on BPHTB contrary to regulation no 28 of 2009. Obviously with the existance of the conflict of norm, causing obstacles for the people who are making transactions on inheritance or testament grants in Badung.
Keywords: BPHTB Tax, Acquisition, Grants Testament.
x
RINGKASAN Tesis ini menganalisa tentang pengaturan pengenaan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas hibah wasiat. Pada Bab I tesis ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan yang menunjukkan adanya konflik norma antara Perda No. 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perda No. 14 Tahun 2010 dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang pajak BPHTB yang wajib dikenakan pada peralihan hak yang disebabkan karena adanya hibah wasiat. Sedangkan dalam Perda No. 28 Tahun 2013, hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami atau istri tidak dikenakan pajak BPHTB. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan tersebut, pada sub ini akan diuraikan juga mengenai rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori dan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini. Bab II dalam tesis ini menguraikan tentang tinjauan umum tentang pajak BPHTB dan konsep dari hibah wasiat. Tinjauan umum tentang pajak pajak BPHTB dan hibah wasiat ini dijabarkan menjadi 4 (empat) sub bab yaitu sub bab tentang hukum pajak, pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai pajak daerah, dan sub bab tentang konsep hibah wasiat. Sub bab tentang hukum pajak menjelaskan tentang pengertian pajak dan hukum pajak, dasar pengenaan pajak dan jenis-jenis pajak. Sub bab kedua menguraikan tentang pengertian BPHTB, dasar hukum BPHTB, subjek dan objek BPHTB, dasar pengenaan BPHTB, waktu dan saat terutang pajak BPHTB. Sub bab ketiga menguraikan tentang pengenaan pajak BPHTB atas peralihan hak karena hibah wasiat. Sedangkan pada sub bab terakhir menguraikan tentang konsep-konsep dasar tentang hibah wasiat. Bab III dalam tesis ini tentunya menguraikan tentang pembahasan terhadap rumusan masalah yang pertama. Dalam bab ini dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yakni sub bab pertama, menguraikan tentang pengaturan BPHTB dalam UU No. 28 Tahun 2009. Sub bab kedua, menguraikan dan menjelaskan pengaturan pajak BPHTB setelah diadopsi ke dalam Perda No. 14 Tahun 2010 yang kemudian dirubah dengan Perda No. 28 Tahun 2013. Sedangkan pada sub bab ketiga menguraikan tentang pengaturan pajak hibah wasiat pada BPHTB di Kabupaten Badung sampai pada kebijakan pengenaan tariff 0% (nol persen) pada pajak waris atau hibah wasiat. Bab IV tesis ini menguraikan penyelesaian terhadap kendala-kendala dalam pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB. Bab ini dibagi dalam 2 (dua) sub bab yakni pertama menguraikan kendala-kendala dalam pengenaan tariff pajak hibah wasiat pada BPHTB. Sedangkan pada sub bab kedua menguraikan tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kendala-kendala dalam pengenaan tariff pajak hibah wasiat pada BPHTB.
xi
Bab V yang merupakan bab penutup dari tesis ini, berisikan tentang kesimpulan serta saran dari penulis. Adapun kesimpulan dari tesis ini adalah dengan dilakukannya perubahan pada Perda No. 14 Tahun 2010 dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB atas hibah wasiat yang awalnya dikenakan tariff pajak BPHTB sebesar 1% (satu persen) untuk hibah wasiat menjadi 0% (nol persen) sebagaimana diatur dalam Perda No. 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perda No. 14 Tahun 2010. Kebijakan tersebut tentunya bertentangan dengan konsep BPHTB pada UU No. 28 Tahun 2009. Kebijakan pengenaan tarif 0% (nol persen) tersebut justru menimbulkan kendala-kendala bagi masyarakat yang ingin melakukan transaksi waris atau hibah wasiat. Saran yang diberikan oleh penulis terhadap kedua permasalahan dalam penelitian ini adalah perihal pengenaan pajak BPHTB atas hibah wasiat, tetap mengenakan pajak BPHTB ketika terjadi transaksi waris atau hibah wasiat, agar nantinya tidak bertentangan dengan konsep BPHTB dalam UU No. 28 Tahun 2009. Sedangkan saran kedua, Pemkab Badung hendaknya melakukan kajian ulang terhadap Perda No. 28 tahun 2013, yang mengenakan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) atas transaksi waris atau hibah wasiat.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..........................................................
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ........................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .....................................................................
vi
ABSTRAK ..............................................................................................
ix
ABTRACT
..............................................................................................
x
RINGKASAN ..........................................................................................
xi
DAFTAR ISI ............................................................................................
xiii
BAB I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................
1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................
17
1.3. Ruang Lingkup Penelitian ..................................................
17
1.4. Tujuan Penelitian ...............................................................
18
1.4.1. Tujuan umum ............................................................
18
1.4.2. Tujuan khusus ...........................................................
18
1.5. Manfaat Penelitian .............................................................
19
1.5.1. Manfaat teoritis .........................................................
19
1.5.2. Manfaat praktis .........................................................
19
1.6. Landasan Teoritis ..............................................................
19
1.7. Metode Penelitian ..............................................................
42
1.7.1. Jenis penelitian..........................................................
43
xiii
BAB II
1.7.2. Jenis pendekatan .......................................................
44
1.7.3. Sumber bahan hukum................................................
46
1.7.4. Teknik pengumpulan bahan hukum ...........................
48
1.7.5. Teknik analisis bahan hukum ....................................
48
TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DAN HIBAH WASIAT 2.1. Hukum Pajak ..................................................................
50
2.1.1.Pengertian Pajak dan Hukum Pajak ..........................
50
2.1.2.Dasar Pengenaan Pajak .............................................
54
2.1.3.Jenis-jenis Pajak .......................................................
56
2.2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
63
2.2.1. Pengertian Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ..............................
63
2.2.2. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ......................
64
2.2.3. Subyek dan Obyek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ..............................
67
2.2.4. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ......................
72
2.2.5. Waktu dan Saat Terutang Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ......................
73
2.3. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
`
Sebagai Pajak Daerah ..................................................
75
2.4. Hibah Wasiat................................................................
82
xiv
2.5. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Hibah Wasiat ..............................................
86
BAB III PENGATURAN PAJAK HIBAH WASIAT PADA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 3.1. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ............................ 89 3.2. Pengaturan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Badung ........................................ 93 3.3. Pengaturan Pajak Hibah Wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah danBangunan (BPHTB) di KabupatenBadung ....... 105 BAB IV
KENDALA-KENDALA DALAM PENGENAAN TARIF PAJAK HIBAH WASIAT PADA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) 4.1. Kendala-kendala dalam Pengenaan Tarif Pajak Hibah Wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) . 138 4.2. Upaya untuk Menyelesaikan Kendala-kendala dalam Pengenaan Tarif Pajak Hibah Wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ................................................................... 151
BAB V
PENUTUP 5.1 Kesimpulan ........................................................................
155
5.2 Saran ...............................................................................
157
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
158
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Keberadaan tanah bagi manusia memiliki fungsi yang sangat penting
dalam kehidupan sehari-harinya karena tanah itu sendiri merupakan salah satu sumber dari kehidupan manusia. Seluruh kegiatan manusia tentunya akan sangat bergantung pada tanah untuk melangsungkan kehidupannya seperti bercocok tanam, mendirikan rumah, bangunan-bangunan berupa hotel, gedung-gedung perkantoran, sarana transprotasi dan banyak lagi kegiatan manusia yang sangat membutuhkan keberadaan tanah. Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
(selanjutnya dalam tulisan ini ditulis UUD NRI 1945) dalam Pasal 33 ayat (3) disebutkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Bumi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah termasuk dalam pengertian tanah yang keberadaannya diperuntukkan untuk kelangsungan hidup seluruh rakyat Indonesia. Untuk lebih jelasnya mengenai tanah, dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis UUPA) dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa : “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang
1
2 disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Diperjelas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis PP No. 24 Th. 1997). Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa, ”bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang berbatas”, dapat dikatakan bahwa tanah tersebut merupakan bagian dari permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang memiliki batas-batas tertentu. Batas-batas yang dimaksudkan disini dapat berupa garis pantai, sungai, tapal batas antar negara dan lain sebagainya sebagai penanda antara bidang tanah yang satu dengan bidang tanah yang lainnya. Seperti yang disebutkan diatas, bahwa bumi termasuk tanah didalamnya serta air dan kekayaan lainnya memang diperuntukkan untuk kemakmuran rakyat. Namun penguasaan terhadap bumi, air dan kekayaan lainnya tersebut tetap dikuasai oleh negara, hanya saja hak-hak atas tanah tersebut dapat dimiliki oleh rakyat Indonesia. Kepemilikan hak-hak atas tanah oleh rakyat Indonesia, sudah tentunya akan difungsikan oleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta menjalankan kegiatan yang dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis. Seperti
contoh
mendirikan
rumah,
bangunan-bangunan
untuk
kegiatan
perekonomian, gedung-gedung, hotel dan lain sebagainya. Penggunaan hak atas tanah tersebut yang menghasilkan nilai ekonomis, tentunya mengharuskan rakyat untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar iuran wajib kepada negara. Kewajiban untuk membayar iuran ini didasarkan atas tanah yang dikuasai oleh negara telah dipergunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Iuran tersebut
3 wajib untuk dibayarkan kepada negara karena rakyat sendiri sudah memfungsikan tanah yang dikuasai oleh negara tersebut untuk kebutuhan hidupnya. Iuran wajib kepada negara yang sifatnya memaksa dan nantinya akan diperuntukkan untuk pembangunan negara dan pengeluaran-pengeluaran negara tersebut selanjutnya disebut dengan pajak. Menurut P. J. A. Adriani, pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pengeluaran umum berhubungan dengan tugas segara untuk menyelenggarakan pemerintahan.1 Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa pajak merupakan sebuah iuran warga negara kepada negaranya sendiri, dalam hal mana iuran yang bersifat wajib dan/atau memaksa ini bukan merupakan sebuah kontraprestasi . Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara tidak hanya bertujuan untuk membiayai pengeluaran pengeluaran negara saja. Terdapat beberapa fungsi dari dilakukannya pemungutan pajak oleh negara yaitu : 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan, sebagai sumber keuangan negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.
1
R. Santoso Brotodiharjo, 1987, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. 3, PT. Eresco,Bandung,(selanjutnya disingkat R. Santoso Brotodiharjo I) hal. 2.
4 2. Fungsi Regulerend (mengatur) Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.2 Besarnya peran yang diberikan oleh pajak sebagai sumber dana dalam pembangunan nasional, tentunya perlu lebih digali lagi potensi pajak yang ada dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan bangsa ini. Adapun dasar hukum penerapan pemungutan pajak di Indonesia adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 23A yang berbunyi : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undangundang”. Sehingga dapat diartikan bahwa ketentuan dalam Pasal 23A tersebut secara jelas menyebutkan bahwa dalam hal pemerintah melakukan pemungutan pajak haruslah didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut merupakan sebuah hal yang positif agar negara tidak sewenang-wenang membebankan pungutan baik itu berupa pajak atau pungutan lain yang bersifat memaksa kepada warganya tanpa diatur dengan undang-undang sebagai sebuah perwujudan negara hukum.3 Indonesia sebagai negara hukum dalam hal ini wajib untuk menuangkan segala kebijakan bidang perpajakannya kedalam sebuah peraturan perundangan-undangan agar tercipta sebuah kepastian hukum dalam bidang perpajakan.
2
Siti Resmi, 2004, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta,
hal. 2. 3
Muhammad Djafar Saidi, 2010, Pembaruan Hukum Pajak (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, hal. 8.
5 Pemungutan pajak ada di tangan pemerintah, dan pembuatan peraturan pajak dipersiapkan oleh pemerintah, walaupun kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuannya. Dalam menyusun peraturan pajak, pemerintah dapat memasukkan politik yang dikehendakinya dalam peraturan pajak. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pajak dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan politiknya walaupun sebagian orang mengatakan bahwa pajak harus bersifat netral.4 Salah satu jenis pajak yang sumber potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah jenis Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan PBB-P2.5 Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (yang selanjutnya dalam tulisan ini ditulis BPHTB), sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam bidang perpajakan yang dipungut oleh pemerintah. Pajak jenis ini sudah pernah diberlakukan di Indonesia ketika masih di bawah penjajahan Belanda. Pajak jenis ini terhapus dengan berlakunya UUPA, tetapi kemudian diberlakukan lagi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam UUPA. Mengingat pentingnya tanah dan atau bangunan tersebut dalam kehidupan, maka sudah sepatutnya orang pribadi atau badan hukum yang mendapatkan nilai ekonomis serta manfaat dari tanah dan atau bangunan karena adanya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dikenakan pajak oleh negara.
4
Rochmat Soemitro, 1990, Asas Dan Dasar Perpajakan I, PT. ERESCO, Bandung, (selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro I), hal. 2. 5 Marihot Pahala Siahaan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek,Edisi I Cet. I, PT. Raja Grafindo,Jakarta, (selanjutnya disingkat Marihot P. Siahaan I), hal. 6.
6 Terdapat beberapa jenis peralihan hak yang wajib untuk dikenai pajak BPHTB yaitu salah satunya adalah hibah wasiat. Pengenaan pajak BPHTB terhadap hibah wasiat sesudah tentu harus didasari dengan suatu peraturan perundang-undangan yang secara jelas mengatur tentang pengenaan pajak BPHTB tersebut. Apabila dilihat dari tujuan pembentukan undang-undang tentang BPHTB adalah perlunya diadakan pemungutan pajak atas Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana telah pernah dilaksanakan dan dilakukan sebagai upaya kemandirian bangsa untuk memenuhi pengeluaran pemerintah berkaitan dengan tugasnya dalam menyelenggarakan pemerintahan umum dan pembangunan. 6 Mengenai BPHTB ini merupakan pajak yang awalnya dipungut oleh Pemerintah Pusat, namun dengan adanya pembaharuan dalam kebijakan otonomi daerah, pemungutan dan peruntukan BPHTB dialihkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. BPHTB awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya ditulis UU No. 21 tahun 1997), kemudian dilakukan perubahan yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 (selanjutnya ditulis UU No. 20 Tahun 2000). Kedua peraturan perundang-undangan tersebut masih mengatur BPHTB secara tersendiri karena masih merupakan pajak pusat. Setelah dilakukan pengalihan pajak BPHTB dari pajak pusat ke pajak daerah, maka dikeluarkanlah
6
Ibid. hal. 44.
7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis UU No. 28 Tahun 2009). Pasal 180 angka 6 UU No. 28 Tahun 2009 dinyatakan bahwa : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988), tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini.
UU No. 28 Tahun 2009 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010, jadi dengan adanya ketentuan tersebut undang-undang BPHTB sebelumnya sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan tersebut berarti segala ketentuan yang mengatur tentang pajak BPHTB yang ada, dianggap sudah tidak berlaku lagi, dan segala yang berkaitan dengan pajak BPHTB diatur didalam UU No. 28 Tahun 2009. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak.7 Marihot Pahala Siahaan dalam bukunya yang berjudul Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek mengutip pendapat Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, mengatakan bahwa: Obyek dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk
7
Ibid. hal. 59.
8 tanaman di atasnya), tanah dan bangunan, atau bangunan.8 Terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan disebabkan oleh suatu peralihan hak yang meliputi adanya sebuah perbuatan hukum dan suatu peristiwa hukum. Ketika terdapat suatu perbuatan hukum dan peristiwa hukum tersebut terjadi maka antara subjek hukum yang meliputi orang/badan hukum, yang
oleh peraturan perundang-
undangan diberikan kewenangan untuk memiliki suatu hak atas tanah dan bangunan. Peralihan hak atas tanah dan bangunan dapat terjadi karena dua hal, yaitu ada hak yang beralih dan adapula hak yang dialihkan. Hak yang beralih adalah suatu peralihan hak atas tanah dan atau bangunan yang disebabkan oleh orang yang memiliki suatu hak atas tanah dan atau bangunan meninggal dunia sehingga hak tersebut beralih secara langsung kepada ahli waris. Sedangkan dalam hal hak yang dialihkan merupakan suatu peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan secara sengaja, oleh karena itu hak tersebut secara langsung akan lepas dari pemegang pertama kemudian akan beralih menjadi hak pihak kedua atau pihak lain. Dengan kata lain peralihan hak terjadi melalui perbuatan hukum tertentu yang dapat berupa jual beli atau hibah, wasiat dan sebagainya. 9 Terjadinya peralihan hak dalam hibah wasiat merupakan suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang akan berakibat pada berpindahnya hak seseorang secara tetap kepada pihak lain. Hal tersebut juga akan menimbulkan peristiwa hukum yang berkaitan dengan peralihan hak yang dilakukan yaitu dengan menggunakan akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan notaris. 8 9
Ibid. hal. 90. Marihot P. Siahaan op. cit, hal. 61.
9 Disamping itu pemindahan hak melalui hibah wasiat akan berkaitan dengan dikenakannya pajak BPHTB dalam proses hibah wasiat tersebut. Hibah wasiat merupakan sebuah konsep pewarisan yang berlaku bagi golongan Tiong Hoa, namun seiring dengan berjalannya waktu, konsep pewarisan ini mulai dipakai oleh masyarakat Indonesia asli. Sebagaimana diatur dalam Pasal 957 KUHPerdata tentang hibah wasiat disebutkan bahwa : Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barangbarangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya, segala barangbarangnya bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Untuk lebih memahami tentang konsep hibah wasiat, tidak cukup hanya berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam sebuah undang-undang saja, namun perlu juga mencari perbandingan melalui pendapat para ahli hukum. Menurut Tan Thong Kie dalam bukunya menyebutkan tentang konsep dari hibah wasiat bahwa : Menurut Pasal 957 definisi wasiat (legaat) adalah suatu penetapan wasiat khusus (een bijzondere testamentaire beschikking) yang memberi kepada seseorang (atau lebih) barang tertentu atau semua barang sejenis, seperti seluruh barang bergerak atau barang tak bergerak. Hibah wasiat dapat diberikan kepada setiap orang, juga kepada seorang ahli waris ab intestate; dalam hal terakhir ini ia merangkap sebagai ahli waris dan legataris.10 Konsep hibah wasiat secara sederhana merupakan sebuah penetapan tentang waris yang dibuat oleh pewaris ditujukan pada ahli warisnya, yang dalam hal mana harta warisannya tersebut dapat berupa barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak (tanah). Pada dasarnya hibah wasiat sama halnya dengan
10
Tan Thong Kie, 2011, Studi Notaris dan Serba – Serbi Praktek Notaris, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 275-276.
10 hibah biasa, namun terdapat beberapa ketentuan yang menyimpang dari hibah biasa, yaitu pemberian hibah oleh si pemberi hibah dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup. Sedangkan pada hibah wasiat, suatu hibah baru akan berlaku apabila si pewaris sudah meninggal dunia. Sama halnya dengan wasiat, pemberian hibah wasiat dilakukan oleh pemberi hibah di hadapan Notaris selaku pejabat umum yang berwenang dalam bentuk wasiat terbuka (openbaar testament). Hal tersebut terjadi karena menyangkut tentang peralihan hak atas tanah dikemudian hari, oleh si penerima hibah wasiat tersebut. Meskipun akta hibah wasiat sudah dibuat dan ditandatangani sebelum pemberi hibah wasiat meninggal dunia, dalam hal peralihan hak atas tanahnya baru akan terjadi jika si pemberi hibah wasiat sudah meninggal dunia. Pengalihan hak atas tanah dan bangunan melalui hibah wasiat ini oleh Pemerintah dikenakan pajak karena terjadi peralihan hak atas tanah dan.atau bangunan dari pewaris kepada ahli waris. Sama halnya dengan hibah biasa, terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan pada hibah wasiat pemberi hibah atau pewaris tidak dikenakan pajak. Ketentuan mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis UU No. 36 Tahun 2008). Pada Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4 tentang yang termasuk keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta salah satunya adalah : Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
11 kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak - pihak yang bersangkutan. Pada Pasal 4 ayat (3) tentang yang dikecualikan dari objek pajak, pada huruf a angka 2 disebutkan bahwa : Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Ketentuan-ketentuan
sebagaimana
disebutkan
diatas,
secara
jelas
menyebutkan bahwa pengalihan yang terjadi karena adanya hibah ataupun hibah wasiat bagi pemberi hibah atau pewaris tidak dikenakan pajak penghasilan. Hal ini dikarenakan pemberi hibah wasiat tidak mendapatkan penghasilan ataupun keuntungan dari peralihan hak atas tanah yang dilakukannya tersebut. Disisi lain yang menjadi perhatian penting adalah tentang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan bagi si penerima hibah wasiat. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam hibah wasiat sebagaimana ditentukan pada UU No. 28 Tahun 2009 diwajibkan untuk membayar pajak BPHTB. Ketentuan mengenai pengenaan BPHTB terhadap hibah wasiat terdapat dalam Pasal 85 ayat (1) disebutkan “Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan”, pada ayat (2) disebutkan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) salah satunya adalah adanya pemindahan hak karena hibah wasiat. Jadi jelaslah bahwa setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperoleh oleh
12 penerima hibah atau penerima warisan berupa tanah dan/atau bangunan akan dikenakan pajak BPHTB sesuai dengan ketentuan UU No. 28 Tahun 2009. Pajak BPHTB yang saat ini sudah dialihkan menjadi pajak daerah, mewajibkan kepada Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah yang khusus mengatur tentang pengenaan pajak BPHTB tersebut. Materi muatan dari peraturan daerah tersebut tentunya mengacu pada ketentuan pajak BPHTB yang dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 2009. Sebagian besar peraturan daerah yang dibuat oleh masing-masing daerah hanya memindah bukukan saja ketentuanketentuan BPHTB yang termuat dalam undang-undang. Kewenangan pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah tentang pajak secara jelas ditentukan dalam Pasal 95 ayat (1) yakni “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Ketentuan tersebut secara jelas memerintahkan pada pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah yang secara khusus mengatur tentang pajak-pajak yang sudah dialihkan pemungutannya ke daerah. Salah satu contohnya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis Perda No. 14 Tahun 2010). Ketentuan mengenai BPHTB yang terdapat didalam Perda No. 14 Tahun 2010, secara keseluruhan mengadopsi ketentuan BPHTB yang terdapat dalam UU No. 28 Tahun 2009. Sedikit perbedaan hanya terletak pada Pasal 6 ayat (2) tentang pengenaan tarif pajak BPHTB untuk waris yaitu : “Pengenaan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk waris sepanjang tetap difungsikan sebagai lahan pertanian”.
13 Berjalan selama 3 (tiga) tahun, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis Perda No. 28 Tahun 2013). Perubahan yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Badung adalah pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) yaitu : “Pengenaan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 0% (nol persen) untuk waris/hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri”. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Perda No. 28 Tahun 2013 ini tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal 88 ayat (1) yang menyatakan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan pada ayat (2) untuk tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 1 angka 41 tentang konsep dasar pajak BPHTB adalah “pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”, sedangkan pada Pasal 85 ayat (1) terkait tentang objek pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka saya tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk karya tulis ilmiah yang juga bertujuan untuk mendapatkan gelar Magister Kenotariatan dengan judul “PENGATURAN TENTANG PENGENAAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS HIBAH WASIAT”.
14 Permasalahan tentang pengaturan pengenaan BPHTB atas hibah wasiat memang telah dibahas dalam beberapa penelitian, tetapi penelitian terhadap permasalahan ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, sebagaimana dapat dilihat dari penelusuran yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut: a) Pertama
adalah
tesis
yang
ditulis
oleh
DYAH
PURWORINI
WIDHYARSI (NIM B4B006170), yang telah diuji pada tahun 2008, merupakan Mahasiswi Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, yang berjudul “Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) atas Hibah Wasiat di Jakarta Barat” permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam penelitian tesisnya adalah : 1. Bagaimana pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat ? 2. Kendala-kendala apa yang timbul dalam pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat ? 3. Bagaimana penyelesaian terhadap kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan Hibah Wasiat ? Tesis tersebut mengkaji tentang pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB atas perolehan hak yang didasarkan atas hibah wasiat, penelitian ini menitikberatkan pada pelaksanaan pemungutan BPHTB atas hibah wasiat
15 dan kendala-kendala yang timbul dari pelaksanaan pemungutan BPHTB atas hibah wasiat di Jakarta Barat. b) Kedua adalah tesis yang ditulis oleh AYU HAPSARI MUFTI, (NIM. 11/323278/PHK/06811), yang telah diuji pada tahun 2013, merupakan mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 90 Ayat (1) Huruf d Dan Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Serta Implikasinya Dalam Pembuatan Akta Hibah Wasiat Oleh Notaris Dan PPAT”, permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam tesisnya adalah : 1. Bagaimana seharusnya Pasal 90 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah diinterpretasikan dan apa kaitannya dengan pembuatan akta oleh Notaris/PPAT untuk hibah wasiat ? 2. Apakah akibat hukum apabila Notaris/PPAT membuat akta hibah mengesampingkan Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah? Tesis ini mengkaji tentang tinjauan yuridis dari ketentuan Pasal Pasal 90 ayat (1) huruf d dan Pasal 91 ayat (1) dan akibat hukum apabila Notaris/PPAT membuat akta hibah wasiat dengan mengesampingkan Pasal 90 ayat (1) huruf d dan Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Serta ketentuan dari Pasal 90 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
16 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, seharusnya tidak menunjuk pada akta hibah wasiat yang dibuat oleh Notaris, melainkan menunjuk pada akta hibah yang dibuat oleh PPAT karena PPAT merupakan pejabat yang berwenang membuat akta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang menimbulkan adanya kewajiban membayar pajak. c) Ketiga adalah tesis yang ditulis oleh I GUSTI AYU NOVI RATNA SARI (NIM. 1092461013), telah diuji pada tahun 2013, penulis merupakan mahasiswi Magister Kenotariatan Universitas Udayana dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta Jual Beli Berkaitan Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan”
permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam
penelitian tesisnya adalah : 1. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat akta peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan (Akta Jual Beli) ? 2. Kapan saat terutangnya BPHTB dalam suatu proses transaksi jual beli berkaitan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ? Tesis ini mengkaji tentang sejauh mana tanggung jawab dari seorang Notaris dalam tindakannya sebagai seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam hal membuat akta peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010, dan untuk
17 mengetahui kapan saat terutangnya BPHTB terkait dengan proses jual beli berdasarkan Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010. Permasalahan yang dikaji oleh penulis dalam tesis ini tentunya berbeda dengan ketiga permasalahan tesis tersebut diatas. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari permasalahan yang dikaji dalam tesis ini yaitu pertama, akan lebih khusus membahas tentang pengaturan pajak Hibah Wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, tentang pengenaan tarif 0% (nol persen) terhadap hibah wasiat di Kabupaten Badung. Kedua, tesis ini juga mengkaji tentang kendalakendala dalam pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB dan membahas juga tentang upaya-upaya dalam menyelesaikan kendala dalam pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB. Tujuan dari dicantumkannya ketiga tesis tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa tesis yang ditulis oleh penulis tidak sama dengan tesistesis sebelumnya yang juga membahas tentang pajak BPHTB. 1.2
Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini dirumuskan
sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan pajak hibah wasiat pada bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ? 2. Bagaimanakah kendala-kendala dalam pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ? 1.3
Ruang Lingkup Penelitian Untuk mencegah terjadinya penyimpangan pembahasan dari pokok
permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan terhadap ruang lingkup
18 masalah yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup dalam penulisan tesis ini meliputi : pertama, yaitu pada rumusan masalah pertama akan khusus membahas tentang pengertian BPHTB, objek BPHTB, penentuan saat terutangnya BPHTB dan membahas juga tentang saat beralihnya hak dalam hal terjadinya hibah wasiat. Sedangkan
terhadap
permasalahan
kedua,
akan
membahas
tentang
kendala=kendala yang dihadapi dalam menentukan pengenaan pajak BPHTB terhadap Hibah Wasiat. 1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a prosess (ilmu sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenarannya. Terkait dengan tinjauan yuridis tentang pengenaan pajak BPHTB atas hibah wasiat. 1.4.2.
Tujuan Khusus Disamping tujuan umum tersebut
diatas,
penelitian
ini secara
mengkhusus diharapkan mampu : a. Untuk mengetahui dan mampu menganalisa tentang pengaturan pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB. b. Untuk mengetahui dan memahami kendala-kendala yang dihadapi dalam pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB, dan untuk mengetahui upayaupaya yang digunakan untuk menyelesaikan kendala-kendala dalam pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB.
19 1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat teoritis Hasil penulisan tesis ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran untuk menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan asas-asas yang berkaitan dengan kepastian hukum tentang konsep pengenaan Pajak BPHTB karena hibah wasiat. 1.5.2. Manfaat praktis Hasil penulisan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan keahlian dan keterampilan penulis serta memberikan sumbangan pikiran kepada pemerintah serta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam memberikan pengetahuan secara hukum terhadap masyarakat dalam hal pengenaan BPHTB dalam hal hibah wasiat. 1.6
Landasan Teori
1.
Teori Negara Hukum. Teori Negara hukum sebagaimana diungkapkan oleh ahli hukum Eropa
Kontinental yaitu Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl, mereka menyebutkan sebuah negara hukum dengan istilah rechtstaat, sedangkan A.V. Dicey adalah yang ahli dalam hukum Anglo Saxon menyebut negara hukum dengan istilah rule of law. Unsur-unsur dari Rechstaat adalah : 1. Adanya perlindungan hak asasi manusia. 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika. 3. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang (wetmatigheid van bestuur).
20 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan. 11 Unsur-unsur tersebut diatas oleh A.V Dicey diistilahkan dengan Rule of Law. Unsur-unsur dari Rule of Law yang diungkapkan oleh A.V. Dicey, mengandung beberapa unsur-unsur yaitu : 1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang di tangan eksekutif, semuanya berdasarkan pada hukum. 2. Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum, atau kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). 3. Perlindungan/penjaminan hak akan kebebasan individu yang didasarkan pada Konstitusi (the constitution based on individual rights).12 Secara konstitusional Negara Indonesia menganut prinsip “negara hukum yang dinamis” atau Welfare State, maka dengan dianutnya prinsip tersebut dengan sendirinya tugas pemerintah Indonesia menjadi begitu luas. Sedikit mengenai prinsip negara hukum yang dinamis (walfare state) atau negara kesejahteraan merupakan sebuah konsep yang muncul atas reaksi kegagalan konsep legal state atau negara penjaga malam.13 Salah satu yang menjadi ciri utama dari negara yang menganut konsep walfare state adalah pemerintah mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Dalam hal ini konsep walfare state yang merupakan bentuk nyata peralihan prinsip staatsonthouding yang membatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri aspek kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, kemudian beralih menjadi staatsbemoeiens yang menghendaki agar negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi 11
Meriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 113. 12 A.V. Dicey, diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, hal. 251-261. 13 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
21 dan sosial masyarakat, sekaligus menjadi langkah awal untuk mewujudkan kesejahteraan umum disamping tugas negara dan pemerintah dalam menjaga ketertiban dan keamanan.14 Pemerintah
wajib
untuk
memberikan
perlindungan
hukum
bagi
masyarakat baik itu pada bidang politik ataupun bidang sosial dan ekonominya. Konsep negara hukum selanjutnya berkembang menjadi dua sistem hukum yakni, sistem hukum eropa kontinental dengan istilah rechtsstaat dan sistem anglo saxon (rule of law).15 Dalam konsep negara hukum, pemerintah mempunyai fungsi dan diberikan
kekuasaan
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan.
Kekuasaan
menyelenggarakan pemerintahan tidak diartikan bahwa pemerintah bertindak sewenang-wenang, karena sebuah negara hukum (rechtstaat) sebagaimana yang dikemukakan Hamid S. Attamimi mengutip pendapat Burken : “adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum“.16 Mochtar Kusumaatmadja menyebutkan bahwa tujuan dari hukum ialah “untuk mencapai ketertiban, keadilan dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara“.17 Indonesia sebagai sebuah negara hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
14
Ibid, hal. 15. Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, (selanjutnya disingkat Titik Triwulan Tutik I), hal. 162. 16 Ridwan HR, op.cit, hal. 18. 17 Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, hal. 2. 15
22 Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Indonesia adalah Negara Hukum”. Perumusan yang digunakan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum”. Ini berarti rumusan yang dipakai dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah “rechtstaat” diantara dua tanda kutip.18 Negara hukum yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak hanya berpedoman pada kriteria konsep negara hukum (rechtstaat) tersebut, namun diperlukan lagi beberapa kriteria penunjang. Menurut Padmo Wahyono, untuk menunjukkan bahwa pola (konsep negara hukum di Indonesia) yang diambil tidak menyimpang dari konsep Negara hukum pada umumnya (genusbegrip), namun disesuaikan dengan kondisi Indonesia atau digunakan dengan ukuran pandangan hidup ataupun pandangan bernegara.19 Jadi dalam hal konsep negara hukum yang diterapkan di Indonesia secara umum tetap berpedoman pada kriteria-kriteria negara hukum (rechstaat) rule of law, namun terdapat beberapa kriteria tambahan agar konsep negara hukum yang digunakan di Indonesia tetap sesuai dengan kondisi, cara pandang hidup dan bernegara Indonesia. Keberadaan hal tersebut diatas dapat dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah negara hukum Pancasila.
18
Jundiani, 2010, Kewenangan Kelembagaan Negara Setelah Perubahan UUD 1945, De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Tahun I, Juni 2010, hal. 4. 19 Padmo Wahyono, 1983, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 7.
23 Negara hukum Pancasila adalah sebuah konsep negara hukum dimana satu pihak harus memenuhi kriteria dari konsep negara hukum pada umumnya yang didukung oleh tiga pilar yang diantaranya terdiri dari pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan asas legalitas dalam arti formal maupun material. Sedangkan di lain pihak konsep negara hukum Indonesia diwarnai oleh aspirasi-aspirasi keindonesiaan yaitu lima nilai fundamental dari Pancasila.20 Kelima nilai fundamental tersebut akan memberikan identitas tersendiri dari konsep negara hukum yang dipergunakan di Indonesia, oleh sebab itulah konsep negara hukum Indonesia sangat berbeda dengan konsepkonsep negara hukum dari negara-negara lainnya. Dipergunakannya konsep negara hukum yang berdasarkan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kemudian dapat dirumuskan secara material dan yuridis formal. Pertama adalah rumusan secara material negara hukum Pancasila tersebut didasarkan atas cara pandang (paradigma) bangsa Indonesia dalam bernegara yang memiliki sifat integralistik khas Indonesia yaitu adanya asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan ini memiliki makna bahwa yang diutamakan adalah rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai, dan paradigma kita tentang hukum yang berfungsi sebagai pengayoman
yaitu
menegakkan
demokrasi
termasuk
juga
didalamnya
mendemokratisasikan hukum, berkeadilan sosial dan berperikemanusiaan.21
20
A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 86. 21 Jundiani, op.cit, hal. 6
24 Sedangkan perumusan konsep negara hukum Pancasila secara yuridis formal, yakni dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tentunya dengan membandingkan dengan konsep negara hukum “rechstaat” yang dikemukakan oleh F. Julius Stahl dan konsep negara hukum “rule of law” dari A.V Dicey sebagaimana yang telah disebutkan diatas, maka konsep negara hukum Pancasila yang dianut oleh Indonesia mengandung lima unsur yakni sebagai berikut :22 1. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, yang berarti kita menghendaki satu sistem hukum nasional yang dibangun atas dasar wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan Bhineka Tunggal Ika. 2. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) adalah lembaga negara yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD yang melandasi segala peraturan perundang-undangan lainnya. Suatu peraturan perundangundangan dibentuk oleh DPR bersama dengan Presiden menunjukkan bahwa prinsip legislatif khas Indonesia, berdasarkan kekeluargaan atau kebersamaan. 3. Pemerintahan yang berdasarkan atas sistem konstitusi, yaitu suatu sistem yang tertentu, pasti dan jelas dimana hukum yang hendak ditegakkan oleh negara dan yang membatasi kekuasaan penguasa atau pemerintahan agar
22
Ibid. hal. 156.
25 pelaksanaannya teratur dan harus merupakan satu tertib serta satu kesatuan tujuan. 4. Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia). Keberadaan prinsip ini tentunya memiliki makna yang lebih jelas dan lengkap dibandingkan dengan prinsip equality before the law dalam konsep rule of law, karena selain menyangkut persamaan hak-hak politik, prinsip ini juga menekankan persamaan dalam kewajiban. 5. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, ini berarti kekuasaan kehakiman terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Keberadaan prinsip ini dimaksudkan terutama untuk menjamin sebuah lembaga peradilan yang adil dan tidak memihak (fair tribunal and independence yudiciary). 23 Konsep negara hukum yang dipergunakan dalam tesis ini merujuk pada konsep negara hukum yang diungkapkan oleh Padmo Wahyono sebagaimana tersebut diatas. Keberadaan konsep negara hukum Pancasila yang diterapkan di Indonesia tentunya sangat penting dipergunakan oleh pemerintah dalam membentuk suatu kebiijakan yang nantinya akan diterapkan dimasyarakat. Segala bentuk kebijakan dan tindakan pemerintah selain harus mengandung unsur-unsur suatu negara hukum pada umumnya, tentunya sangat wajib bagi pemerintah untuk
23
Ibid. hal. 156.
26 memperhatikan unsur-unsur Pancasila kedalam peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. 2.
Teori Perjenjangan Norma (Stufenbau theorie) Teori tentang pertanggaan Peraturan Perundang - undangan seperti yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu “stufenbau theorie" yang menganut aliran hukum murni”.24 Hans Kelsen mendefinisikan, “A Law is a despsychogized command, a command which does not imply a will in a psychological sense of the term a rule expressing the fact thar somebody ought to act in a certain way, without implying that anybody really ”wants” the person to act in the way” 25 Menurut pendapat Hans Kelsen sebuah norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki yang dimana norma hukum yang lebih rendah itu bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi, norma hukum yang lebih tinggi itu bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya hingga akhirnya sampai kepada norma yang tidak dapat lagi untuk ditelusuri lagi pembentukannya yakni norma dasar (grundnorm).26 Selanjutnya Groundnorm menurut Hans Kelsen : ............ the basic norm must be formulated as follows : coercive acts sought to be performed under the conditions and in the manner which the historically first constitution and in the manner which the historically first constitution, and the norms created according to it, prescribe. (In short:
24
Jazim Hamidi, 2006, Revolusi hukum Indonesia-Makna Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press Citra Media, Jakarta-Yogyakarta, hal. 50-53. 25 Hari Chand, 1994, Modern Yurisprudence, International Law Book Services, Kuala Lumpur, hal. 92. 26 Maria Farida Indrati S., 2012, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Cet. 13, Kansius Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Maria Farida Indrati S. I), hal. 26-27.
27 one ought to behave as the constitution prescribes) (Pure Theory of Law, transl. M. Knight, pp 200-1)27 Berdasarkan atas teori tersebut untuk mengklasifikasi sebuah norma yang ada pada suatu negara yakni berjenjang, berlapis-lapis dimana norma yang paling tinggi adalah norma yang menjiwai setiap norma lain yang berada pada tingkatan yang lebih rendah. Norma yang paling tinggi itu disebut grundnorm dan norma yang paling rendah disebut dengan norm. Melihat ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengacu pada Pasal 2 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
bahwa
“Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum”. Hal ini berarti Pancasila merupakan staatsfundamental norm atau norma fundamental atau merupakan norma dasar yang paling tinggi di negara Indonesia. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
merupakan suatu grundnorm yang menjadikan konstitusi sebagai suatu produk hukum tertinggi yang dijadikan sumber tertinggi dari suatu peraturan perundang-
27
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, 1996, Jurisprudence, Blacstone Press Limited, London, hal. 138.
28 undangan. Menurut Wheare “Constitutions as primarly and almost exclusively a legal document in which, therefore, there is a place for rules of law but for practically manifiesto, a confenssion of faith, a statement of charter of the land”.28 Hal tersebut menyatakan bahwa sebuah peraturan yang lebih tinggi kedudukannya harus menjiwai peraturan yang lebih rendah dan peraturan yang lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam
teori
perjenjangan
peraturan
perundang-undangan
dapat
diidentifikasi tentang kedudukan Perda Kabupaten Badung No. 14 Tahun 2010 dan Perda No. 28 Tahun 2013 sebagai bagian dari suatu peraturan perundangan yang diakui dalam hukum Indonesia. Dengan diposisikanya sebuah perda sebagai bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan maka perda tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi sehingga apabila terjadi suatu pertentangan norma hukum yang diatur dalam perda dengan undang-undang maka sudah sewajarnya perda tersebut dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku. Apabila dinalisis dengan teori ini akan diketahui letak dari hirarki suatu perda serta untuk melihat terjadinya pertentangan perda tersebut dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itulah dalam hal adanya pertentangan norma tentang pengenaan tarif pajak BPHTB atas hibah wasiat sebagaimana diatur dalam Perda No. 28 Tahun 2013 dengan pengenaan tarif pajak BPHTB atas hibah wasiat pada UU No. 28 Tahun 2009, digunakanlah teori perjenjangan norma ini untuk menganalisanya.
28
KC. Wheare, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford, hal. 32.
29 3.
Teori Kewenangan Pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar
wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar wewenang
yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan (legalitiet
beginselen).29 Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintahan, menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan yaitu : Yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintahan atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak).30 Ateng Syafrudin menerangkan kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang–undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Dalam beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam istilah Belanda. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas hukum”.31 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang
29
Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta. hal. 49. 30 Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara, Jakarta, hal. 30. 31 Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum Administrasi tahun 1997/1998 Fakultas Hukum Universita Airlangga, Surabaya, hal. 2.
30 dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum dasar hukum dimaksudkan, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum, sedangkan komponen komformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar. Sementara itu Bagir Manan menjelaskan, bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelffregelen) dan mengelola sendiri (zelfhestuten),32 sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.33 Penjabaran mengenai konsep wewenang, dapat ditelusuri melalui sumber wewenang dan konsep pembenaran dari tindakan kekuasaan yang didapat dalam pemerintahan. Teori sumber wewenang sendiri meliputi atribusi, delegasi, dan mandat. Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara Atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut : Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada 32 33
Ibid, hal. 79. Ridwan, HR. op.cit, hal. 73.
31 mandat, disana tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.34 Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan bahwa kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk untuk itu. Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.35 Kewenangan yang sumbernya dari peraturan perundang-undangan disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang merupakan sejumlah ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis untuk menata dan mengatur struktur dan fungsi-fungsi lembaga negara.36 Menurut teori kewenangan dari H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt dapat dirumuskan sebagai berikut : a) Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een bestuursorgaan; (pemberian izin/wewenang oleh pemerintah kepada pejabat administrasi Negara)
34
Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. I, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90. 35 Ibid, hal. 104. 36 Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal. 11.
32 b) Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander; (pelimpahan wewenang dari satu badan ke yang lain) c) Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegh eid namens hem uitoefenen door een ander. (tidak adanya suatu pelimpahan wewenang dari Badan atau pejabat yang satu kepada yang pejabat lain ).37 Dalam hal atribusi tanggung jawab wewenang ada pada penerima wewenang tersebut (atributaris), pada delegasi tanggung jawab wewenang ada pada penerima wewenang (delegans) dan bukan pada pemberi wewenang (delegataris), sementara pada mandat tanggung jawab wewenang ada pada pemberi mandat (mandans) bukan penerima mandat (mandataris). Jika dilihat dari sifatnya wewenang itu dapat dibedakan menjadi tiga yakni : 1. Wewenang yang sifatnya terikat yakni terjadi apabila telah dirumuskan secara jelas kapan, keadaan bagaimana wewenang tersebut harus dilaksanakan serta telah ditentukan bagaimana keputusan seharusnya diambil. 2. Wewenang fakultatif yakni wewenang tersebut tidak wajib dilaksanakan karena masih ada pilihan sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang dijelaskan pada peraturan dasarnya. 3. Wewenang bebas yakni wewenang yang dapat dilakukan ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan sendiri kepada pejabat tata usaha negara untuk bertindak dan menentukan keputusan yang akan diambilnya.38 Kewenangan pembentukan Perda merupakan sumber kewenangan atribusi, karena pembentukan Perda merupakan pemberian atribusi untuk mengatur daerahnya sesuai dengan Pasal 136 UU Pemda, di samping itu pembentukan Perda merupakan suatu pelimpahan wewenangan (delegasi) dari suatu peraturan
37
H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Culemborg, Uitgeverij LEMMA BV, hal. 56. 38 Ridwan HR II, loc.cit.
33 perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.39 Teori kewenangan ini digunakan untuk mengidentifikasi jenis kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pemungutan pajak BPHTB sebagaimana yang ditentukan oleh UU No. 28 Tahun 2009. 4.
Konsep Pajak dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan pungutan oleh
pemerintah
terhadap
rakyat
guna
menyelenggarakan
pemerintahan
dan
pembangunan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Terakhir Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 1 angka 1 menentukan tentang pengertian pajak yaitu : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Penelusuran terhadap definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli hukum pajak penting dilakukan untuk mengetahui makna dari adanya pungutan pajak tersebut. Santoso Brotodihardjo, dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum
39
Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses Dan Teknik Penyusunan), Kansius, Yogyakarta, (selanjutnya ditulis Maria Farida Indrati S. II), hal. 23.
34 Pajak” mengemukakan beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut : 1. N.J. Feldman mengemukakan bahwa pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada Penguasa (menurut normanorma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. 2. M.J.H. Smeets mengatakan bahwa pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual. 3. Soeparman Soemahamidjaja mengatakan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa dalam mencapai kesejahteraan umum.40 4. S. I. Djajadiningrat mengungkapkan pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada Negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.41
40 41
Slamet Munawir, 1990, Perpajakan Edisi 1, BPFE, Yogyakarta, hal. 2. Ibid.
35 5. Rochmat Soemitro mengungkapkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang - undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.42 Setelah mengetahui beberapa definisi tentang pajak, untuk lebih mudah dalam memahami dan mempelajari pajak, maka perlu dilakukan klasifikasi terhadap konsep – konsep dasar yang terdapat dalam definisi pajak tersebut. Berdasarkan definisi pajak, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri – ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu sebagai berikut : 1. Pajak dipungut oleh Negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berdasarkan kekuatan undang – undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Pembayaran pajak harus masuk kepada kas Negara, yaitu kas pemerintah pusat atau kas pemerintah daerah (sesuai dengan jenis pajak yang dipungut). 3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditujukan adanya kontra prestasi oleh pemerintah (tidak ada imbalan langsung yang diperoleh si pembayar pajak). Dengan kata lain, tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu. 4. Penyelenggaraan pemerintahan secara umum merupakan manifestasi kontra prestasi dari Negara kepada pembayar pajak. 5. Pajak dipungut karena adanya suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang menurut peraturan perundang – undangan pajak dikenakan pajak. 6. Pajak memiliki sifat dapat dipaksakan. Artinya wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak, dapat dikenakan sanksi, baik sanksi pidana maupun denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 43 Ciri-ciri
karakteristik
pajak
tersebut
dimaksudkan
untuk
dapat
membedakan antara pajak dengan pungutan-pungutan lainnya seperti retribusi dan sumbangan. Pada prinsipnya, retribusi memiliki karakteristik yang hampir sama 42
Wirawan B. Ilyas, 2008, Hukum Pajak Edisi 4, Salemba empat, Jakarta,
hal. 5. 43
Amin Widjaja Tunggal, 1991, Pelaksanaan Perseorangan. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 15.
Pajak
Penghasilan
36 dengan pajak, namun perbedaannya adalah dalam retribusi imbalan langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi. Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran berupa jasa atau pemberian izin yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah kepada setiap orang atau badan, misalnya retribusi atas penyediaan penginapan, retribusi tempat penitipan anak, dan retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat.44 Konsep BPHTB sendiri sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 41 adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, sedangkan pada Pasal 1 angka 42 ditentukan juga bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Jelas disebutkan bahwa dalam setiap terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperoleh oleh orang pribadi atau badan wajib untuk dikenakan pajak BPHTB. Konsep pajak BPHTB ini sendiri tentunya sangat erat kaitannya ketika terjadi perolehan oleh orang pribadi ataupun badan. Menurut pandangan Mardiasmo, ada beberapa pengertian yang sudah baku dalam mendefinisikan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pengertianpengertian yang juga merupakan konsep dasar dari BPHTB tersebut antara lain : 1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB disebut pajak. 44
Wirawan B. Ilyas, op.cit, hal. 7.
37 2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. 3. Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.45 5.
Teori Pemungutan Pajak Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara tidak hanya berpedoman
pada peraturan perundang-undangan tentang pajak semata, namun terdapat beberapa teori yang menjadi pembenar dari tindakan negara untuk melakukan pemungutan pajak. Adapun beberapa landasan yang menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak adalah : a. Teori Asuransi Pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kepada negara dianalogikan sebagai pembayaran premi asuransi. Pembayaran premi asuransi ini dilakukan karena negara bertugas melindungi rakyat
dan harta
bendanya,sehingga negara mengharapkan atas balasan untuk pelayanannya kepada rakyat (sebagai imbalan atas jasa yang telah diterima rakyat). Perbedaannya yang utama dalam asuransi adalah jika terjadi musibah akan 45
Mardiasmo, 2008, Perpajakan edisi Revisi 2008, C.V Andi offset, Yogyakarta, hal.343.
38 menerima gantirugi, tetapi dalam pajak negara maka rakyat tidak akan menerima ganti rugi jika mengalami musibah. b. Teori Kepentingan Teori ini dalam ajaran semula hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan masing-masing dalam tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada mereka (rakyat mengganti rugi atas anggaran-anggaran yang telah dikeluarkan negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat). c. Teori Gaya Pikul Bahwa pemungutan pajak didasarkan pada gaya pikul (kekuatan) masingmasing wajib pajak. Untuk mengukur gaya pikul seseorang dapat menggunakan antara lain jumlah atau besar penghasilan, kekayaan, belanja atau pengeluaran dan jumlah keluarga. d. Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti) Teori bakti ini berkaitan dengan dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah suatu kewajiban.
39 e. Teori Asas Gaya Beli Menurut teori ini, maka fungsi pemungutan pajak dipandangnya sebagai gejala dalam masyarakat dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan bukan pula untuk kepentingan Negara melainkan kepentingan rakyat meliputi keduanya. Sehingga dalam teori ini menitik beratkan ajarannya kepada fungsi pajak kedua dari pemungutan pajak yaitu sebagai fungsi mengatur (regularend). 46 6.
Asas-asas Pemungutan Pajak Asas-asas pemungutan pajak juga menjadi hal yang sangat penting untuk
dijadikan dasar oleh negara untuk melakukan pemungutan terhadap pajak. Penggunaan asas pemungutan pajak berfungsi agar pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah dapat memberikan suatu manfaat bagi masyarakat. Menurut Waluyo terdapat beberapa asas-asas yang digunakan sebagai dasar pemungutan pajak yaitu47 :
46
Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husein, 2000, Perpajakan Edisi Pertama. UPP AMP YKPN, Yogyakarta, hal. 21-22. 47 Walluyo, 2007. Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, hal.13.
40 a. Asas Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil yang dimaksud bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk mengeluarkan pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta. b. Asas Certainty Asas ini berkaitan dengan penetapan pajak itu tidak dapat ditentukan dengan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. c. Asas Condition Saat wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat – saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Asas ini memberikan toleransi terhadap wajib pajak apabila keadaan perekonomian dari wajib pajak tersebut sedang dalam kesulitan. d. Asas Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.
41 7.
Konsep Hibah Wasiat Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)
konsep hibah wasiat merupakan sebuah konsep pewarisan yang digunakan oleh golongan Tiong Hoa. Pasal 957 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hibah wasiat diartikan sebagai : Suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barangbarangnya bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Hibah wasiat atau Legaat adalah suatu penetapan yang khusus didalam suatu testament, dengan mana mewasiatkan memberikan seorang (atau lebih) seluruh atau sebagian dari harta kekayaannya, kalau dia meninggal dunia.48 Ini berarti bahwa untuk terjadinya suatu peralihan hak dalam hibah wasiat terjadi pada saat pewaris meninggal dunia dan surat wasiat yang dibuat tersebut dibuka. Menurut pendapat dari Tan Thong Kie dalam hal hibah wasiat terdapat 2 pendapat yaitu : a. Menurut pendapat pertama, penerima hibah wasiat adalah pemilik barang yang dihibahwasiatkan segera setelah pewaris meninggal dunia, sama seperti para ahli waris yang segera setelah pewaris meninggal dunia menjadi pemilik warisan. b. Menurut pendapat kedua, suatu warisan, termasuk hibah wasiat yang terkandung di dalamnya, demi Undang-Undang menjadi milik para ahli waris, sedangkan legataris (penerima hibah wasiat) mempunyai tagihan pribadi (persoonlijk vordering), terhadap mereka untuk menyerahkan apa yang dihibahwasiatkan kepadanya (Pasal 959 ayat 1 KUHPerdata). Jadi hak seorang legataris dapat disamakan dengan hibah sewaktu hidup yang diberikan kepada seseorang, tetapi belum diserahkan kepadanya. 49 48
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, (selanjutnya disingkat Titik Triwulan Tutik II), hal. 299. 49 Tan Thong Kie, op.cit. hal. 133.
42
Dari kedua pendapat tersebut, menurut Tan Thong Kie, Indonesia menganut pendapat yang kedua. Karena itu sebelum pembagian dan pemisahan diadakan, hibah wasiat itu harus diserahkan oleh semua ahli waris kepada penerima hibah wasiat dengan suatu akta penyerahan. 1.7
Metode Penelitian Metode penulisan hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah
satunya ditandai dengan penggunaan metode. Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara harafiah yang dikutip pada buku Rony Hanitjo Soemitro dengan judul Metodologi Penulisan Hukum, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penulisan berlangsung menurut suatu rencana tertentu.50 Adapun jenis-jenis penulisan yang dilakukan dalam penulisan
ini
merupakan penulisan hukum, sebagai penulisan hukum yang bersifat akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan
ilmu hukum khususnya bidang hukum kenotariatan. Apabila
dilihat dari segi substansi penulisannya, menurut Rony Hanitjo Soemitro penulisan hukum dapat dibedakan menjadi penulisan yang bersifat normatif dan doktrinal.51 Dalam penulisan ini mempergunakan cara atau metode sebagai berikut :
50
Rony Hanitjo Soemitro, 1988, Metodologi penulisan Hukum, dan Jurimetri, Cet III, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25. 51 Ibid, hal. 26.
43 1.7.1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data skunder belaka.52 Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis
bentukan
lembaga
perundang-undangan
(Undang-Undang
Dasar,
Kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya),dan norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, catatan hukum, dan rancangan).53 Jenis penelitian yang digunakan dalan penulisan tesis ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Pemilihan pada jenis itu didasarkan pada alasan karena pengenaan ketentuan Pasal Pasal 6 ayat (2) Perda No. 28 Tahun 2013 tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal 88 ayat (1) yang menyatakan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dan pada ayat (2) untuk tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Disamping itu konflik juga terjadi dengan Pasal 89 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009, yakni pada pasal tersebut untuk menentukan besaran pokok BPHTB yang terutang adalah dengan cara mengalikan tarif BPHTB yang besarannya ditetapkan dalam sebuah Peraturan Daerah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebesar 52
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13. 53 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, hal. 52.
44 Rp. 300.000.000,00 untuk waris atau hibah wasiat. Apabila mengacu pada Pasal 6 ayat (2) Perda No. 28 Tahun 2013, besaran pokok BPHTB yang terutang untuk waris atau hibah wasiat akan menjadi nihil. Pengenaan tarif 5% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat oleh Pemerintah Kabupaten Badung, berarti setiap orang yang menerima atau memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dari waris atau hibah wasiar tidak terutang pajak BPHTB. 1.7.2. Jenis pendekatan Penelitian hukum normatif pada umumnya mengenal 7 jenis pendekatan yakni : - Pendekatan Kasus (The Case Approach), - Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach), - Pendekatan Fakta (The Fact Approach), - Pendekatan Analisis dan Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach), - Pendekatan Frasa (Words and Phrase Approach), - Pendekatan Sejarah (Historical Approach), - Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini sudah tentu di sesuaikan dengan pokok masalah yang menjadi fokus penelitian. Dalam kaitan dengan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approch).
45 Digunakan pendekatan perundang-undangan dimaksudkan pendekatan dengan menggunakan produk legislatif dan regulasi. Produk yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu putusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersipat konkrit dan khusus54. Dalam mengkaji kedua permasalahan yang diteliti atau dibahas, senantiasa berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan Hukum Pajak yang juga berkaitan dengan hukum Kenotariatan. Pendekatan konsep dimaksudkan bahwa berbagai konsep hukum baik berupa doktrin /pandangan yuridis, asas-asas hukum yang relevan dengan hubungan hukum antara pemberi hibah wasiat dengan penerima hibah wasiat. Penggunaan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep didasari atas pertimbangan bahwa dari bahan hukum yang diperoleh dalam pendekatan tersebut akan mulai dapat dilakukan inventarisasi terhadap bahan hukum dalam penemuan konsep dan makna sebagai titik tolak mendekati masalah. Pendekatan lain yang dianggap relevan adalah pendekatan analitis, yaitu dalam arti untuk mengetahui makna yang dikandung dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam aturan perundang-undangan secara tektual, sekaligus mengetahui kontektualnya terutama dalam penerapannya melalui praktek dan putusan-putusan hukum.55
54
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenata Media Group, Jakarta hal. 97. 55 Johny Ibrahim, 2006, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publising, Malang, hal. 310.
46 1.7.3. Sumber bahan hukum Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Dalam penelitian ini beberapa bahan hukum yang digunakan baik itu bahan hukum primer, sekunder dan tersier adalah : 1. Bahan hukum primer adalah badan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuat perundangundangan dan putusan-putusan hakim.56 Sedangkan bahan hukum sekunder diambil dari berbagai kepustakaan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasilhasil penelitian , karya dari kalangan hukum dan sebagainya.57 Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. c. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Terakhir dari UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
56 57
Peter Mahmud Marzuki, op.cit. hal. 141. Ibid. hal. 321.
47 e. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. f. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. g. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. h. Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 2. Adapun yang dimaksud dengan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku hukum, jurnal-jurnal ilmiah, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang tentunya berkaitan dengan pajak BPHTB dan pewarisan yang terjadi karena hibah wasiat. 3. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang digunakan untuk menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum dan ensiklopedia yang tentunya juga memberikan pemahaman terkait tentang pajak dan hibah wasiat.
48 1.7.4. Teknik pengumpulan bahan hukum Bahan hukum yang relevan dikumpulkan dengan teknik membaca, mengumpulkan bahan hukum serta menganalisa bahan hukum dengan menggunakan sistim kartu (card system)58, kartu-kartu disusun berdasarkan pada topik bukan pada nama pengarang. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam penguraian, menganalisis, dan membuat kesimpulan dari konsep-konsep yang ada, karena setiap kartu hanya memuat satu konsep tentang masalah tertentu dari berbagai pendapat para ahli, sehingga dengan cepat terlihat hakekat konsep hukum yang dibahas. 1.7.5. Teknik analisis bahan hukum Untuk melakukan analisis terhadap bahan-bahan hukum yang sudah dikumpulkan, dapat menggunakan beberapa macam teknik analisis yaitu teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi digunakan untuk menguraikan permasalahan-permasalahan yang timbul dari pengenanaan pajak hibah wasiat dalam BPHTB. Teknik evaluasi akan digunakan untuk memberikan penilaian terhadap pernyataan rumusan normanorma ataupun sebuah keputusan yang terdapat didalam peraturan-peraturan yang terkait dengan pengenaan pajak hibah wasiat dalam BPHTB. Teknik argumentasi yang merupakan satu kesatuan dari teknik analisa digunakan untuk memberikan alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum untuk menemukan jawaban atas peraturan mana yang harus digunakan untuk menentukan pengenaan pajak hibah wasiat dalam BPHTB. Penggunaan teknik sistematis juga digunakan untuk 58
Winarno Surakhmad , 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah,Dasar-dasar Metode & Teknik ,Tarsito, Bandung, hal. 257.
49 mencari unsur keterkaitan sebuah rumusan dalam suatu konsep hukum. Hal ini dilakukan dengan mengkaitkan konsep-konsep hukum yang dipergunakan dalam UU No. 28 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Terjadinya pertentangan norma antara UU No.28 Tahun 2009 dengan Perda No. 28 Tahun 2013 dalam pengenaan pajak BPHTB atas hibah wasiat tentunya tidak akan memberikan suatu kepastian hukum dalam pengenaan pajak BPHTB atas hibah wasiat. Adanya suatu pertentangan atau konflik antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya atau dengan peraturan yang berada dibawahnya seperti peraturan daerah maka berlakulah asasasas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu : 1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah; 2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan; 3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.59
59
Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, hal. 85-87.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DAN HIBAH WASIAT
2.1.
Hukum Pajak
2.1.1. Pengertian Pajak dan Hukum Pajak Pendapatan suatu negara salah satunya adalah berasal dari pemungutan pajak terhadap hasil dari kekayaan alam serta pemanfaatan sumber daya alam oleh warga negara. Pemanfaatan terhadap sumber daya alam tersebut tentunya memberikan suatu manfaat ekonomi bagi rakyat dalam suatu negara. Adanya manfaat ekonomi yang didapatkan tersebut sekaligus juga merupakan hak dari setiap rakyat, tentunya dengan didapatkannya hak tersebut, wajib juga bagi rakyat untuk memenuhi kewajibannya. Kewajiban rakyat inilah yang disebut dengan pajak. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah ini tentunya akan digunakan lagi oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang berkaitan dengan kepentingan umum atau kepentingan rakyat. Untuk lebih memperjelas tentang pengertian pajak, dari beberapa literatur ditemukan pengertian pajak yang dikemukakan oleh para sarjana antara lain : 1. Soemohamidjojo mengatakan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma huikum, guna menutup biaya produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.116 2. Rochmat Soemitro mengatakan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) 116
Josef Riwu Kaho, 2005, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hal. 144.
50
51 berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen pretatie) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.(publiekuitgaven) dan digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.117 3. P.J.A. Adriani memberikan definisi pajak adalah iuran pada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak ada prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.118 Berdasarkan atas pendapat para ahli tersebut diatas pengertian pajak secara sederhana adalah iuran wajib dari masyarakat kepada pemerintah bersifat memaksa, diatur dengan undang-undangan, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi secara langsung serta dipergunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum. Sedangkan secara normatif pengertian pajak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya ditulis UU No. 28 Tahun 2007), disebutkan bahwa : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Mengacu pada beberapa pengertian pajak diatas, tentu saja memberikan pemahaman bahwa untuk memudahkan dalam memahami pajak tersebut wajib untuk 117
Rochmat Soemitro, 1977, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, PT. Eresco, Bandung, (selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro II), hal. 22. 118 Bohari, 2002, Pengantar Hukum Pajak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 23.
52 ditemukan unsur-unsur yang terkandung dalam pajak itu sendiri. Beberapa unsurunsur yang terkandung dalam pajak itu sendiri adalah sebagai berikut : a. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang). b. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.119 Pajak pada intinya tidaklah merugikan bagi masyarakat, karena atas hak yang telah didapatkan oleh masyarakat seperti menggunakan fasilitas umum, mendapatkan nilai ekonomis atas suatu penggunaan tanah, serta nilai ekonomis dari adanya suatu peralihan hak dan lain sebagainya. Maka wajib bagi masyarakat untuk membayar pajak sebagai kewajibannya atas hak yang telah didapatkannya. Namun terkadang yang menjadi permasalahan adalah aturan hukum dan pelaksanaan atas pemungutan pajak itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu pelaksanaan atas pemungutan pajak yang baik, maka diperlukan pendekatan terhadap pajak yang salah satunya adalah pendekatan dari segi hukum. Pendekatan dari segi hukum inilah yang sering disebut dengan hukum pajak. Pendekatan dari segi hukum ini menitikberatkan pada hubungan hukumnya, sehingga pajak dapat dilihat dari segi hak dan kewajiban seperti siapa yang berhak memungut pajak, apa kewajiban pemungut pajak terhadap wajib pajak, siapa yang dimaksud wajib pajak, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pajak. Pendekatan dari segi hukum ini mencakup juga didalamnya tentang dasar falsafah hukum pajak dan pembenaran (rechtvaardiging) pemungutan pajak.
119
Mardiasmo, op.cit, hal. 2.
53 Pajak dilihat dari segi hukum ini sekaligus merupakan pengertian dari hukum pajak. Menurut Rochmat Soemitro, pajak ditinjau dari segi hukum didefinisikan sebagai berikut :
Pajak (utang pajak) adalah perikatan yang timbul karena undang-undang (jadi dengan sendirinya), yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (Tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, fungsi budgeter).120 Definisi tentang hukum pajak diatas, memberikan pemahaman bahwa adanya pajak merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan hak yang didapat atas kewajiban tersebut tidaklah didapatkan secara langsung oleh masyarakat. Untuk menegakkan hukum pajak maka diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang secara jelas dan tegas mengatur tentang pajak-pajak yang wajib dibayar oleh masarakat dan tentunya juga mengatur tentang landasan pemungutan pajak itu sendiri. Hukum pajak yang ada dan berlaku saat ini dibedakan lagi menjadi hukum pajak material dan hukum pajak formal. Pengertian dari hukum pajak material adalah sebuah hukum yang didalamnya memuat tentang ketentuan-ketentuan tentang siapa yang wajib untuk dikenakan pajak serta siapa-siapa yang dikecualikan dengan pajak serta berapa besarnya utang pajak yang harus dibayar. Sedangkan, yang dimaksud dengan hukum pajak formal adalah hukum pajak yang
120
Rochmat Soemitro I, op.cit. hal. 51.
54 didalamnya memuat ketentuan-ketentuan tentang bagaimana mewujudkan hukum pajak material tersebut menjadi kenyataan.121 Dasar hukum tertinggi tentang pajak di Indonesia adalah ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa : “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Jadi setiap pengaturan tentang pajak yang akan dipungut oleh negara terhadap masyarakatnya wajib untuk dituangkan kedalam bentuk undang-undang pajak. Sedangkan dalam hal menjalankan hukum pajak, pemerintah tidak diperbolehkan untuk bersikap secara sewenang-wenang khususnya ketika melaksanakan pemungutan pajak tersebut.
2.1.2. Dasar Pengenaan Pajak Tentang dasar dari adanya suatu pengenaan pajak akan sangat pada jenisjenis pajak itu sendiri. Masing-masing jenis pajak tentunya akan memiliki dasar pengenaan pajaknya. Pengenaan pajak terhadap salah satu jenis pajak wajib juga memperhatikan kemampuan, kewajiban, serta hak yang didapatkan oleh masyarakat sebagai wajib pajak. Dasar pengenaan pajak (tax base) di dunia yang dikenal hingga saat ini dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu penghasilan dan bisnis (Income and business), konsumsi (Consumption) dan kekayaan (Wealth). Selanjutnya pada masing-masing kategori tersebut dikenakan jenis pajak tertentu. Beberapa jenis kategori tersebut kemudian dikelompokkan sebagai berikut : 121
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia, Bandung, hal. 31.
55 1. Kategori penghasilan dan bisnis dikenakan pajak untuk jenis pajak seperti penghasilan orang pribadi (personal income tax), pajak penghasilan badan hukum (corporate income tax), pajak pertambahan nilai (value added tax), pajak pemotongan (severance tax), pajak premi perusahaan asuransi (insurance company premium tax) dan pajak lisensi (license tax). 2. Kategori konsumsi dikenakan jenis pajak; pajak penjualan (sales tax), pajak honorarium (use tax), pajak bahan bakar minyak (fuel taxes), pajak minuman beralkohol (alcoholic beverage taxes), pajak produk tembakau (tobacco products taxes), pajak hotel/motel (hotel/motel tax), pajak restauran (restaurant meals tax), pajak percakapan telepon (telephone call tax), dan pajak perjudian (gambling taxes). 3. Kategori kekayaan, terdiri dari jenis pajak bangunan (property tax), pajak bumi (estate tax), pajak warisan (inheritance tax), pajak hibah (transfer taxes).122 Ketiga kategori tersebut diatas merupakan dasar umum atas pengenaan pajak terhadap suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Namun yang perlu diperhatikan juga dalam pengenaan pajak tersebut adalah kemampuan masyarakat yang akan dikenakan pajak, serta kemampuan pemerintah untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin secara jelas hak dan kewajiban yang didapat dari masyarakat sebagai wajib pajak.
122
http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_pengenaan_pajak, tanggal 2 November 2014.
diakses
pada
56 2.1.3. Jenis-jenis Pajak Di negara Indonesia sendiri, dikenal beberapa jenis pajak yang diberlakukan meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Beberapa ahli pajak memang menggolongkan pembagian pajak dengan beberapa jenis sesuai dengan sudut pandang yang digunakan untuk menggolongkan jenis-jenis pajak itu sendiri. Tentunya atas pembagian jenis-jenis pajak itu akan terdapat beberapa perbedaan antara satu ahli pajak dengan ahli pajak lainnya. Secara umum tentang pembagian jenis-jenis pajak di Indonesia adalah didasarkan atas lembaga pemungutnya. Berdasarkan atas lembaga pemungutnya pajak di Indonesia dibedakan menjadi dua. Adapun pajak yang didasarkan atas lembaga pemungut tersebut, yaitu : a. Pajak pusat. Pajak pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui sebuah peraturan perundang-undangan, yang wewenang untuk pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan hasil dari pemungutan pajak tersebut akan digunakan untuk membiayai pengeluaran dan pembangunan pemerintah pusat.123 Penyelenggaraan pemungutan pajak pusat ini dilaksanakan oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia dan hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya. Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia adalah :
123
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Marihot P. Siahaan II), hal. 9.
57
1. Pajak Penghasilan (PPh) PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Pengertian dari penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah beberapa kali dengan perubahan terakhir yakni Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundangundang tentang Pajak Pertambahan Nilai. Pajak ini diatur dalam UndangUndang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang
58 No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan perubahan terakhir Undang-Undang No. 42 Tahun 2009. 3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Pengenaan atas pajak ini dikenakan terhadap konsumsi atas barang yang tergolong dalam barang mewah. Dasar hukum atas pengenaan pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983. Beberapa barang yang dikategorikan sebagai barang mewah adalah : a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat. 4. Bea Materai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang bea materai. Undang-undang yang mengatur tentang bea materai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
59 5. Bea Masuk Berdasarkan pada Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Jadi terhadap barang-barang yang diimpor ke Indonesia wajib untuk dikenakan pajak bea masuk yang dipungut oleh pemerintah pusat. 6. Cukai Pengertian cukai sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai, dalam Pasal 1 angka 1 adalah “pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristrik yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Pungutan negara yang dimaksud adalah pengenaan pajak terhadap barang-barang tertentu yang memiliki sifat serta karakteristik tertentu, karakteristik tertentu yang dimaksud
adalah
konsumsi
akan
barang
tersebut
perlu
untuk
dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaian atas barang tersebut menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Barang-barang tertentu tersebut diantaranya adalah cukai atas etil alkohol atau minuman-minuman yang mengandung alkohol dan hasil tembakau seperti rokok dan cerutu.
60 b. Pajak Daerah Pajak daerah merupakan sebuah iuran wajib yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap orang pribadi ataupun badan yang tanpa mendapatkan imbalan atau kontraprestasi secara langsung yang seimbang, dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal ini berbentuk peraturan daerah (Perda).124 Kemudian pengertian pajak daerah yang dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, sebagaimana bunyi Pasal 1 angka 10 pajak daerah adalah “Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Fungsi dari pajak daerah ini tentunya adalah untuk membiayai penyelengaraan dan rumah tangga daerah dan tentunya untuk pembangunan daerah. Dalam hal pemungutannya pajak daerah ini wajib dipungut berdasarkan atas peraturan daerah yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan mekanisme pemungutannya tersebut, pemerintah daerah akan menunjuk dinas pendapatan daerah (Dispenda). Pemerintah daerah di Indonesia yang terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu pemerintah
propinsi
dan
pemerintah
kabupaten/kota
sehingga
untuk
melaksanakan kewenangan otonomi daerah, pajak daerah juga dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota. Untuk melaksanakan
124
Ibid.
61 otonomi daerah secara utuh, pemerintah pusat kemudian melakukan pengalihan beberapa pajak, yang awalnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah. Pengalihan pajak tersebut tentunya memerlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas tentang jenis-jenis pajak baru yang dipungut oleh pemerintah daerah. Berdasarkan atas hal tersebut, dibentuklah UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU No. 28 Tahun 2009 secara rinci menentukan tentang pajak-pajak yang wajib dipungut oleh daerah baik itu pajak yang dipungut oleh pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Dalam Pasal 2 tentang jenis pajak pada ayat (1) ditentukan bahwa jenis pajak propinsi terdiri dari : a. Pajak kendaraan bermotor b. Bea balik nama kendaraan bermotor c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor d. Pajak air permukaan e. Pajak rokok. Untuk jenis pajak kabupaten/kota terdapat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang menentukan jenis pajak yang dipungut oleh kabupaten/kota adalah : a. Pajak hotel b. Pajak restoran c. Pajak hiburan d. Pajak reklame e. Pajak penerangan jalan f. Pajak mineral bukan logam dan batuan
62 g. Pajak parkir h. Pajak air tanah i. Pajak sarang burung walet j. Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan k. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pembagian jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota tersebut merupakan bentuk nyata pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pemungutan pajak. Namun perlu diperhatikan bahwa pengaturan, pelaksanaan dan pemungutan pajak daerah tersebut wajib berpedoman pada peraturan perundangundangan yang lebih tinggi yaitu UU No. 28 Tahun 2009. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering. Ada 4 (empat) jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak Sarang Burung Walet sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan Pajak baru bagi provinsi.
63 4.2
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
4.2.1. Pengertian Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu pajak baru yang dipungut oleh pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. Penerapan BPHTB sebagai pajak daerah diatur secara keseluruhan dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengertian tentang pajak BPHTB terdapat dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, Pasal 1 angka 41 disebutkan bahwa “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 42 ditentukan bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”. Dijelaskan lagi dalam Pasal 1 angka 43 bahwa “Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan”. Menurut pandangan Mardiasmo, ada beberapa pengertian yang sudah baku dalam mendefinisikan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pengertianpengertian tentang pajak BPHTB tersebut antara lain : a. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB disebut pajak.
64 b. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. c. Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.125 Sesuai dengan ketentuan tersebut diatas, jelaslah bahwa setiap perolehan hak atas tanak dan/atau bangunan yang diperoleh oleh orang pribadi ataupun badan, wajib untuk dikenakan BPHTB. Beberapa jenis perolehan hak yang wajib untuk dikenakan pajak BPHTB adalah perolehan hal yang disebabkan oleh pembelian atas sebidang tanah, perolehan yang didapatkan karena hibah atau hibah wasiat dan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan karena wakaf dan perolehan hak lainnya yang menyangkut tentang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
4.2.2.
Dasar Hukum Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi sebagai berikut : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
125
Mardiasmo, op.cit. hal. 344.
65 di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya keperluan rakyat”. Tanah merupakan bagian dari bumi yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, disamping digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yaitu untuk papan dan lahan usaha, juga sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan. Bangunan juga dalam hal ini dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Dengan adanya kepemilikan atas tanah dan bangunan tersebut, maka wajar bagi mereka untuk menyerahkan sebagian hasil ekonomi yang diperoleh kepada Negara dengan cara pembayaran pajak. Pajak yang diperuntukkan pemerintah untuk tanah dan bangunan ini adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sejarah singkat tentang dasar hukum pemungutan pajak BPHTB sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB sebelum menjadi pajak daerah), ada pemungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam ordonansi Bea Balik Nama Staatsblaad 1924 Nomor 291.126 Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap ada perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat. Pengertian dari harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik
126
Direktorat Jenderal Pajak, 2011, http://www.ditjenpajak.go.id/baru/, diakses 11 Nopember 2014.
66 Nama Staatsblaad 1834 Nomor 27.127 Memasuki tahun 1960, dan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA), maka hak-hak atas kebendaan sebagaimana yang disebutkan diatas dinyatakan tidak berlaku lagi. Hak-hak kebendaan tersebut digantikan dengan beberapa jenis hak-hak baru yang diatur secara rinci dalam UUPA seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan lain sebagainya, sehingga bea balik nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi. Untuk menggantikan bea balik nama atas harta tetap yang berupa hak atas tanah, yang dengan terbitnya UUPA sudah tidak dipungut lagi, maka oleh pemerintah memandang perlu untuk melakukan pemungutan pajak atas suatu perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang kemudian disebut dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Kemudian menindaklanjuti hal tersebut, pada tanggal 29 Mei 1997 diundangkanlah UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Kemudian dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap UU No.21 Tahun 1997 tersebut dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.r 21 tahun 1997. BPHTB yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2000 merupakan pajak pusat yang dipungut langsung oleh pemerintah pusat. Selanjutnya sebagai bentuk nyata pemerintah pusat untuk menerapkan otonomi daerah seutuhnya, dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak yang awalnya merupakan pajak pusat, dialihkan pemungutan dan pemanfaatannya bagi 127
Heru Supriyanto, 2010, Cara Menghitung PBB, BPHTB, dan Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, hal. 111.
67 pemerintah daerah. BPHTB adalah salah satu jenis pajak yang dialihkan oleh pemerintah pusat menjadi pajak daerah. Pengalihan beberapa jenis pajak dan retribusi yang juga dipungut oleh pemerintah daerah ini, kemudian oleh pemerintah diundangkan kedalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah. Gambaran secara umum dari pengaturan mengenai objek pajak, subjek pajak, serta tata cara perhitungan dan dasar dari pengenaan BPHTB yang terdapat dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, adalah sama dengan pengaturan BPHTB sebagaimana yang diatur sebelumnya dalam UU No. 21 Tahun 1997 yang kemudian telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000. 128 Namun beberapa perbedaannya adalah adanya ketentuan dalam beberapa pasal-pasal dalam UU No. 28 Tahun 2009 tersebut yang menentukan beberapa jenis pajak yang dialihkan dari awalnya pajak pusat menjadi pajak daerah. Tentunya dengan dialihkannya beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah melalui UU No. 28 Tahun 2009, akan meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah serta pemberian kewenangan yang lebih besar dibidang perpajakan khususnya untuk pajak daerah.
4.2.3. Subyek dan Obyek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Mengenai subyek dan obyek pajak BPHTB akan lebih banyak ditinjau dari ketentuan dari UU No. 28 Tahun 2009. Ketentuan mengenai subjek dan objek 128
Harry Hartoyo dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta, hal. 214.
68 BPHTB merupakan ketentuan yang sifatnya umum dan mendasar untuk melakukan pemungutan pajak BPHTB. Tentang objek pajak BPHTB dalam UU No. 28 Tahun 2009 terdapat dalam Pasal 85 ayat (1) ditentukan bahwa “Objek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Pada Pasal 85 ayat (2) ditentukan pula bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pemindahan hak karena : 1. Jual beli 2. Tukar menukar 3. Hibah 4. Hibah wasiat 5. Waris 6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain 7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan 8. Penunjukan pembeli dalam lelang 9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap 10. Penggabungan usaha 11. Peleburan usaha 12. Pemekaran usaha 13. Hadiah. b. Pemberian hak baru karena : 1. Kelanjutan pelepasan hak atau
69 2. Di luar pelepasan hak. Tentang hak atas tanah sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) tersebut termasuk didalamnya adalah : a. Hak milik Hak milik adalah suatu hak yang secara turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah pusat. b. Hak guna usaha Merupakan hak yang digunakan untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Hak guna bangunan Suatu hak untuk mendirikan serta memiliki bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. d. Hak pakai Hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai secara langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberikan wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam sebuah keputusan pemberiannya oleh pejabat yang yang berwenang untuk memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
70 bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Hak milik atas satuan rumah susun Merupakan hak milik atas satuan yang memiliki sifat perseorangan dan terspisah. Hak milik atas satuan rumah susun ini didalamnya meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sepanjang dengan satuan yang bersangkutan. f. Hak pengelolaan. Hak pengelolaan adalah hak mengusai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, yang antara lain dapat berupa perencanaan peruntukkan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan bekerja sama dengan pihak ketiga. 129 Dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 ini, khususnya bagian yang mengatur perihal BPHTB terdapat pasal yang menentukan tentang pengecualian objek pajak BPHTB yang tidak dikenakan pajak BPHTB. Berdasarkan Pasal 85 ayat (4) objek pajak yang dikecualikan dari pajak BPHTB adalah objek yang diperoleh oleh :
129
Marihot P. Siahaan II, op.cit. hal. 584-585.
71 a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik b. Negara
untuk
penyelenggaraan
pemerintahan
dan/atau
untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut d. Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama e. Orang pribadi atau Badan karena wakaf f. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut diatas, jelas bahwa pengecualian terhadap pengenaan pajak BPHTB adalah hanya objek pajak yang diperoleh oleh orang pribadi atau Badan yang disebutkan diatas sajalah yang tidak dikenakan pajak BPHTB. Jadi ketika sebuah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan diperoleh oleh orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud diatas, maka si penerima dari perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut tidak dikenakan pajak BPHTB. Mengenai subjek dari pajak BPHTB diatur secara jelas dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, Pasal 86 ayat (1) yang menentukan bahwa “subjek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan”. Selanjutnya pada ayat (2)
72 ditentukan tentang “wajib pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan”.
2.2.4. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Dasar pengenaan pajak BPHTB sebagaimana ditentukan dalam UU No. 29 Tahun 2009 ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak (selanjutnya ditulis NPOP) dari masing-masing jenis perolehan yang dilakukan. Dalam Pasal 87 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 ditentukan bahwa dalam hal NPOP sebagaimana yang ditentukan pada ayat (1), adalah sebagai berikut : Tabel 2.1 Tarif dan Dasar Pengenaan BPHTB Sumber Perolehan hak atas Tanah No. Dasar Pengenaan Pajak dan atau Bangunan 1 Jual Beli Harga transaksi 2 Tukar Menukar Nilai pasar 3 Hibah, Hibah Wasiat dan Waris Nilai pasar Pemasukan dalam perseroan atau badan 4 Nilai pasar hukum lainnya Pemisahan hak yang mengakibatkan 5 Nilai pasar peralihan hak Harga transaksi yang 6 Penunjukan pembeli dalam lelang tercantum dalam Risalah Lelang Peralihan hak karena pelaksanaan 7 putusan hakim yang mempunyai Nilai pasar kekuatan hukum Pemberian hak baru atas tanah sebagai 8 Nilai pasar kelanjutan dari pelepasan hak Pemberian hak baru atas tanah diluar 9 Nilai pasar pelepasan hak Penggabungan, Peleburan dan 10 Nilai pasar Pemekaran usaha 11 Hadiah Nilai pasar
73
Terhadap pengenaan pajak BPHTB sebagaimana disebutkan di atas, tentunya akan memiliki perbedaan pada masing-masing kabupaten di Indonesia. Untuk memberikan keringan terhadap orang pribadi atau badan yang menerima setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, pada Pasal 87 ayat (4) ditentukan bahwa “Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak”. Sedangkan pada ayat (5), perolehan hak karena adanya waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk juga di dalamnya suami atau istri, sedangkan untuk Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah adalah sebesar Rp. 300.000.000,00. NPOPTKP ini wajib ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam suatu peraturan daerah. Untuk penetapan tarif pajak BPHTB , UU Nomor 28 Tahun 2009 dalam Pasal 88 ayat (1) ditentukan bahwa untuk tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi 5% (lima persen) dan pada ayat (2) tentang pengenaan tarif BPHTB ini harus ditetapkan melalui sebuah peraturan daerah masing-masing daerah.
2.2.5. Waktu dan Saat Terutang Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Mengenai saat terutangnya pajak BPHTB ini ditentukan dalam Pasal 90 UU Nomor 28 Tahun 2009. Penetapan untuk saat terutangnya masing-masing perolehan hak yang dikenakan pajak BPHTB tentunya akan berbeda satu dengan
74 yang lainnya, berikut adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 90 ayat (1) yaitu: a. Jual beli adalah sejak dibuat dan ditandatanginya akta; b. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; d. Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; e. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hokum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i.
Pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j.
Pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; l.
Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan o. Lelang adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Diperjelas dalam Pasal 90 ayat (2) bahwa pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dapat diartikan
75 bahwa pelunasan pajak BPHTB dilakukan pada saat diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh si penerima hak.
4.3
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai Pajak Daerah
Pemberian kewenangan baru pada daerah-daerah di Indonesia dalam melakukan pemungutan dan pengelolaan beberapa jenis pajak yang awalnya merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, adalah sebuah penerapan dari sistem penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk mewujudkan sebuah sistem pemerintahan desentralisasi yang ditentukan di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan perubahan terakhir dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2014) sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut adalah prinsip otonomi daerah yang nyata. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Seiring dengan prinsip otonomi seluas-luasnya tersebut, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata merupakan suatu prinsip bahwa dalam menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan
76 kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang.130 Beberapa prinsip-prinsip dari otonomi daerah tersebut tentunya akan berdampak pada jenis otonomi yang diterapkan pada masing-masing daerah tidaklah sama jenisnya. Berbeda halnya dengan kewenangan dalam bidang perpajakan jenis baru yang semula menjadi kewenangan Pemerintah Pusat untuk selanjutnya
dialihkan
kewenangan
pemungutannya
menjadi
kewenangan
Pemerintah Daerah, pada semua daerah otonom ditentukan isi dan jenisnya adalah sama. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) inilah yang merupakan salah satu jenis pajak yang dialihkan kewenangan pemungutan, pengelolaan dan pemanfaatannya kepada pemerintah daerah. Kewenangan memungut, mengelola dan memanfaatkan pajak BPHTB ini wajib untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah guna meningkatkan pendapatan asli daerah masing-masing daerah. Pajak BPHTB yang merupakan salah satu jenis pajak daerah yang pemungutannya didasarkan oleh beberapa faktor utama maupun penunjang yakni seperti luas tanah dalam suatu daerah kabupaten/kota sebagai objek pajak BPHTB, transaksi tanah sebagai objek pajak BPHTB, penyerahan hak-hak atas tanah dan bangunan sebagai objek pajak BPHTB. Untuk dapat dipungutnya pajak BPHTB oleh masing-masing daerah kabupaten/kota di Indonesia berintikan pada beberapa faktor yaitu :
130
Jantje D. South, 2013, “Kewenangan Daerah Mengelola Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)”, Jurnal Hukum Universitas Samratulangi Vol. I Nomor 5, Oktober-Desember 2013, hal. 80.
77 1. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan melalui pemindahan hak, misalnya jual beli tanah, hak mewarisi atas tanah, dan lain-lainnya 2. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena pemberian hak baru, misalnya sebagai bentuk kelanjutan pelepasan hak. 3. Sejumlah hak atas tanah sebagaimana diatur dalam undang-undang pokok agraria, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.131 Konsep penyerahan kewenangan pemungutan serta pengelolaan pajak BPHTB sebagai pajak daerah menunjukkan bahwa pangkal dari otonomi daerah terdapat pada daerah Kabupaten/Kota, bukan pada daerah Provinsi. Prinsip dari pemberian hak otonomi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota tentunya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tentunya dengan adanya pelayanan yang baik terhadap masyarakat yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota hubungan antara rakyat dengan pemerintah akan menjadi lebih dekat. The Liang Gie mengungkapkan bahwa : Tujuan menciptakan Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah membahagiakan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan tujuan menciptakan daerah-daerah otonomi adalah untuk hal yang sama, sekurang-kurangnya untuk mengusahakan masyarakat yang adil dan makmur dalam masing-masing daerah yang bersangkutan.132 Untuk mengusahakan masyarakat yang adil dan makmur tersebut tentunya peran serta pemerintah daerah kabupaten/kota sangat diperlukan. Peningkatan pelayan terhadap masyarakat oleh pemerintah daerah tentunya harus diimbangi 131
Ibid, hal. 82. The Liang Gie, 1978, Kumpulan Pembahasan Terhadap UndangUndang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Indonesia, Cet. II, Karya Kencana, Yogyakarta, hal. 10. 132
78 dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Tentunya untuk melengkapi dan menyempurnakan sarana dan prasarana dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat tersebut pemerintah daerah memerlukan sumber pendanaan yang dianggap cukup untuk menunjang pelayanan terhadap masyarakat. Inilah yang menjadi salah satu dasar dari adanya peralihan kewenangan pemungutan pajak BPHTB dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pada awalnya pengaturan tentang pajak BPHTB diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Begitu juga halnya dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian dengan munculnya konsep otonomi daerah serta adanya pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada masing-masing daerah utnuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya, maka pemerintah pusat melakukan pembenahan dalam hal pajak daerah dan retribusi daerah. Danny Burn, et.all, mengemukakan bahwa otonomi daerah dengan sistem desentralisasi mempunyai fungsi strategis dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Dalam pandangan para penulis ini dikemukakan :
79 “Decentralisation offers an attractive alternative to market models because it has the potential not only to provide responsive, high quality services, but also a range of possibilities for strengthening citizen involvement in the governing process”133 (Desentralisasi memberikan suatu alternatif yang cukup menarik untuk model pemasaran, oleh karena tidak saja bersifat responsif, mampu memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, akan tetapi sangat memungkinkan memperkuat peran serta rakyat dalam proses pemerintahan). Pembenahan dalam pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah ini dilakukan dalam rangka memberikan sumbangan APBD yang lebih banyak untuk daerah. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan perubahan terhadap beberapa jenis pajak yang awalnya merupakan pajak yang dipungut dan diperuntukkan lebih banyak untuk pusat menjadi pajak yang dipungut dan diperuntukkan sepenuhnya untuk kepentingan daerah. Untuk memudahkan dalam mengatur dan menggolongkan pajak-pajak dan retribusi yang akan diperuntukkan bagi kepentingan daerah, maka pemerintah pusat membentuk UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang jenis-jenis pajak yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah baik itu pemerintah propinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Untuk memperkuat pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah sebagai komponen pendukung dalam penguatan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia,
133
Danny Burn, 1994, Robin Hambleton and Paul Hogget, The Politics of Decentralisation, Revitalising Local, Democracy, The Macmillan Pres Ltd. London, hal.XIV
80 merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2014) yang merupakan undangundang pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, Pasal 281 tentang hubungan keuangan antar daerah disebutkan bahwa : (1) Daerah
dalam
penyelenggaraan
Urusan
Pemerintahan
yang
diserahkan oleh Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah yang lain. (2) Hubungan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bagi hasil pajak dan nonpajak antar daerah; b. pendanaan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
yang
menjadi
tanggung
jawab
bersama
sebagai
konsekuensi dari kerja sama antar daerah; c. pinjaman dan/atau hibah antar daerah; d. bantuan keuangan antar daerah; dan e. pelaksanaan dana otonomi khusus yang ditetapkan dalam UndangUndang. Dialihkannya pajak BPHTB sebagai pajak daerah juga bertujuan untuk memberikan tambahan bagi daerah untuk mendapatkan sumber pendapatan daerahnya masing-masing. Penegasan terhadap adanya pelimpahan kewenangan
81 pemungutan beberapa jenis pajak yang awalnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah terdapat dalam Pasal 285 UU Nomor 23 Tahun 2014 yakni : (1) Sumber pendapatan Daerah terdiri atas: a. pendapatan asli Daerah meliputi : 1. pajak daerah; 2. retribusi daerah; 3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan 4. lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah; b. pendapatan transfer; dan c.
lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Jelas ditentukan dalam pasal tersebut diatas bahwa pajak daerah merupakan komponen penting dari pendapatan asli daerah kabupaten/kota. Sebagai salah satu komponen terpenting dalam sumber pendapatan daerah yang merupakan pendapatan asli daerah, oleh pemerintah pusat basis dari pajak daerah yang dapat dipungut dan diperuntukkan bagi kepentingan pembangunan daerah diperluas cakupannya. Keberadaan Pasal 285 UU Nomor 23 Tahun 2014 inilah, yang kemudian lebih memperkuat keberadaan pajak BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan langkah maju yang dilakukan oleh Indonesia dalam penataan sistem perpajakan nasional. Berbagai pihak menilai kebijakan tersebut sudah tepat dilakukan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan sehingga daerah benar-benar dapat melakukan pemungutan BPHTB dengan baik.
82 Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan dalam upaya menata kembali sistem perpajakan nasional yang dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka dengan UU No. 28 Tahun 2009, BPHTB dialihkan dari pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota.
4.4
Hibah Wasiat
Hibah dalam bahasa Belanda sering disebut dengan istilah ”schenking”. Sedangkan berdasarkan Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia hibah adalah ”pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang bergerak maupun barang tidak bergerak pada saat pemberi hibah tersebut masih hidup”.134 Jadi pada intinya dari pengertian hibah tersebut di atas syarat-syarat hibah adalah :135 a. Dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1687 KUHPerdata) utnuk barang bergerak dan akta PPAT (Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997) untuk tanah dan bangunan. b. Merupakan pemberian secara cuma-cuma (gratis, tanpa bayaran). Oleh karena diberikan secara gratis maka si penerima hibah tidak menerima tambahan keuntungan. c. Diberikan pada saat si pemberi hibah masih hidup karena dia harus bertindak secara aktif menyerahkan kepemilikan atas suatu barang tertentu yang dijadikan sebagai objek hibah. 134
Ali Afandi, 2000, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 30. 135 Irma Devita Purnamasari, 2014, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Penerbit Kaifa, Bandung, hal. 74-75.
83 d. Pemberi hibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum, yang artinya bahwa pemeberi hibah bukan merupakan seorang yang masih dibawah umur atau tidak sedang dalam pengampuan. e. Jenis barang yang dapat dihibahkan adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak. f. Pemberian hibah hanya untuk barang-barang yang sudah ada. g. Penerima hibah sudah ada, sudah lahir atau sudah dibenihkan pada saat pemberian hibah tersebut dilakukan (Pasal 1679 KUHPerdata). Dapat diartikan bahwa jika seseorang ingin menghibahkan sesuatu kepada anaknya, anak tersebut minimal sudah lahir atau sudah dalam keadaan berada dalam kandungan ibunya. Jadi tidak berlaku untuk anak yang belum tentu ada. h. Pemberian hibah ini harus bersifat final dan sama sekali tidak dapat untuk ditarik kembali (Pasal 1666 KUHPerdata). Selanjutnya perihal tentang hibah wasiat terdapat dalam ketentuan Pasal 957 KUHPerdata menyebutkan bahwa, hibah wasiat diartikan sebagai : Suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barangbarangnya bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Hibah wasiat atau Legaat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu testament, dengana mana mewasiatkan memberikan seorang (atau lebih) seluruh atau sebagian dari harta kekayaannya, kalau dia meninggal dunia.136 Suatu
136
Titik Triwulan Tutik I, op.cit, hal. 299.
84 hibah wasiat (legaat) tentunya akan erat kaitannya dengan surat wasiat (testament). Menurut bentuknya terdapat 3 (tiga) macam testament, yaitu : a. Openbaar Testament Merupakan bentuk testament yang paling banyak dipakai, dalam hal mana orang yang akan meninggalkan warisan datang menghadap ke notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi menyatakan kehendak. b. Olografis Testament Suatu bentuk testament yang dibuat/ditulis dengan tulisan tangan si pewaris sendiri, yang harus disimpan atau diserahkan kepada notaris, dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Sebagai tanggal testament itu berlaku diambil tangga akta penyerahan. Penyerahan dapat terbuka ataupun tertutup. Apabila dilakukan secara tertutup, maka kelak ketika si pewaris meninggal dunia tesetament tersebut harus diserahkan oleh notaris kepada Balai Harta Peninggalan. c. Testament Tertutup dan Rahasia Merupakan suatu testament rahasia yang harus selalu tertutup atau disegel kemudian diserahkan kepada notaris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.137 Beberapa pendapat muncul dari ahli terutama dari kalangan notaris tentang hibah wasiat ini. Salah satunya menurut pendapat dari Tan Thong Kie138 tentang hibah wasiat ada dua pendapat yang dikemukakan, yaitu :
137
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Titik Triwulan Tutik III), hal. 271.
85 1. Menurut pendapat pertama, penerima hibah wasiat adalah pemilik barang yang dihibahwasiatkan segera setelah pewaris meninggal dunia, sama seperti para ahli waris yang segera setelah pewaris meninggal dunia menjadi pemilik warisan. 2. Menurut pendapat kedua, suatu warisan, termasuk hibah wasiat yang terkandung di dalamnya, demi undang-undang menjadi milik para ahli waris, sedangkan legataris (penerima hibah wasiat) mempunyai tagihan pribadi (persoonlijk vordering), terhadap mereka untuk menyerahkan apa yang dihibahwasiatkan kepadanya (Pasal 959 ayat 1 KUHPerdata). Jadi hak seorang legataris dapat disamakan dengan hibah sewaktu hidup yang diberikan kepada seseorang, tetapi belum diserahkan kepadanya. Terhadap kedua pendapat di atas, menurut Tan Thong Kie139, yang dianut di Indonesia adalah pendapat kedua. Karena itu sebelum pembagian dan pemisahan diadakan, hibah wasiat itu harus diserahkan oleh semua ahli waris kepada penerima hibah wasiat dengan suatu akta penyerahan. Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Hal tersebut diterangkan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat. Jadi terlihat bahwa hak atas hibah wasiat baru sah apabila pemberi hibah wasiat telah meninggal dunia. Sedangkan timbulnya pajak terutang atas hak yang 138 139
Tan Thong Kie, op.cit, hal. 133. Tan Thong Kie, loc.cit.
86 diperoleh melalui hibah wasiat adalah sejak tanggal penerima hibah wasiat yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan.
4.5
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Hibah Wasiat Pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah, berdasarkan atas hal tersebut
maka untuk dapat memungut pajak BPHTB ini pemerintah daerah wajib untuk membentuk suatu perda yang khusus mengatur tentang BPHTB ini, Salah satu pengenaan pajak BPHTB terhadap suatu perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah adanya hibah wasiat. Pengenaan BPHTB atas hibah wasiat tentunya didasarkan oleh adanya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperoleh oleh penerima hibah wasiat itu sendiri. Seperti yang ditentukan dalam UU No. 28 Tahun 2009, Pasal 85 ayat (2) ditentukan bahwa perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi pemindahan hak yang salah satunya adalah disebabkan karena adanya hibah wasiat. Jadi jelas bahwa ketika hibah wasiat tersebut terjadi dan si penerima hibah wasiat tersebut memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, maka saat itulah si penerima hibah wajib untuk dikenakan pajak BPHTB. Waris atau hibah wasiat merupakan salah satu objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat
87 memberikan pengertian terhadap perolehan hak karena waris sebagai perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh ahli waris dan pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Hibah wasiat yang sudah jelas merupakan objek pajak BPHTB ini tentunya bagi yang menerima hibah wasiat ini sendiri akan dikenakan pajak BPHTB. Untuk dasar pengenaan BPHTB atas hibah wasiat ini sebagaimana ditentukan dalam UU No. 28 Tahun 2009, pada Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2), bahwa pengenaan BPHTB didasarkan atas Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan untuk Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal hibah wasiat tersebut didasarkan atas nilai pasar. Lebih tegas ditentukan dalam UU No. 28 Tahun 2009, pada Pasal 87 ayat (3) bahwa : Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai NPOPTKP yang merupakan suatu besaran tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak, dalam BPHTB untuk setiap wajib pajak ditentukan sebesar Rp. 60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah), ketentuan ini terdapat dalam Pasal 87 ayat (4). Khusus untuk perolehan hak yang disebabkan karena waris atau hibah wasiat yang dituangkan kedalam Pasal 87 ayat (5) ditentukan bahwa : Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
88 Penetapan NPOPTKP untuk waris atau hibah wasiat untuk masing-masing daerah tentunya akan berbeda sesuai dengan potensi yang ada. Dipertegas lagi dalam UU No. 28 Tahun 2009, Pasal 87 ayat (6) untuk “Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Darah”. Jadi untuk dapat menerapkan ketentuan tentang NPOPTKP untuk setiap wajib pajak dan NPOPTKP waris atau hibah wasiat pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten/kota wajib membuat suatu peraturan daerah yang mengatur khusus tentang BPHTB.
BAB III PENGATURAN PAJAK HIBAH WASIAT PADA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009
3.1
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pengalihan kewenangan pemungutan beberapa jenis pajak pusat menjadi
pajak daerah merupakan langkah nyata dari pemerintah pusat untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendanaan yang sangat penting bagi daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Sejalan dengan tujuan otonomi daerah tersebut, tentunya penerimaan daerah yang berasal dari pajak daerah harus terus ditingkatkan. Diperluasnya basis pemungutan pajak daerah dimaksudkan agar peranan daerah untuk memenuhi kebutuhan daerah khususnya dalam penyediaan pelayanan kepada masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan dapat semakin meningkat. Dengan diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009, adalah sebagai sebuah bentuk apresiasi pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berdasarkan atas otonomi yang nyata. Berdasarkan atas UU No. 28 Tahun 2009 tersebut, pemerintah daerah diwajibkan untuk membentuk peraturan daerah sebagai dasar dalam melakukan pungutan pajak terhadap masyarakat. Tentunya
89
90 dalam membentuk suatu peraturan daerah tersebut, pemerintah daerah wajib untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dasar perihal pajak daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 2009. Untuk itu, setiap perluasan basis pajak daerah harus tetap menjunjung tinggi prinsip pajak yang baik, dengan tidak boleh menyebabkan timbulnya ekonomi biaya tinggi dan menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa dan lainnya. Karena selama ini begitu besarnya ketergantungan daerah terhadap adanya dana perimbangan pusat
yang kurang
mencerminkan
akuntabilitas daerah, berakibat pemerintah daerah tidak didorong untuk mengalokasikan anggaran secara efektif dan efisien.150 Keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 ini merupakan suatu tindakan dari pemerintah pusat yang sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena di dalamnya memuat ketentuan tentang perubahan kebijakan yang fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara pusat dan daerah. UU No. 28 Tahun 2009 ini memiliki tujuan : 1. Memberi kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan Retribusi; 2. Meningkatkan
akuntabilitas
dalam
penyediaan
layanan
dan
penyelenggaraan pemerintahan sekaligus memperkuat otonomi daerah; 3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan retribusi daerah. 150
Bambang S. Oyong, 2011, Notaris dan PPAT di wilayah Banjarmasin yang menyampaikan pendapatnya dalam bentuk makalah dengan judul “Pengalihan Pungutan BPHTB Dari Pusat ke Daerah”, Banjarmasin: 05 Maret 2011, hal. 2.
91 Dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 salah satu jenis pajak yang dialihkan kewenangan pemungutannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah pajak BPHTB. Sebelum diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009, BPHTB merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan sebagian besar penerimaannya dibagihasilkan kepada kabupaten/kota dan termasuk dalam kelompok dana perimbangan. Hal ini tentunya berdampak pada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahannya serta memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf k UU No. 28 Tahun 2009 dirumuskan bahwa salah satu jenis pajak kabupaten/kota adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Tentunya berdasarkan atas ketentuan tersebut pajak BPHTB yang awalnya dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat saat ini dipungut dan dikelola sendiri oleh pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, Kantor Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memungut BPHTB sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011, DJP tidak berwenang memungut BPHTB lagi. 151 Disamping itu pada saat UU No. 28 Tahun 2009 ini berlaku yang didalamnya juga mengatur tentang pajak BPHTB, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 180 angka 6 disebutkan bahwa : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Reublik Indonesia Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3688) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak 151
Iwan Mulyawan, 2010, Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Mitra Wacana Media, Jakarta, hal. 9.
92 Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988) tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini. Jelas ditentukan dalam pasal tersebut bahwa undang-undang tentang BPHTB yang lama saat ini sudah tidak berlaku lagi. Sehingga ketentuan secara keseluruhan tentang BPHTB saat ini hanya mengacu pada UU Nomor 28 Tahun 2009 saja. Namun sesungguhnya secara umum pengaturan objek, subjek, tata cara perhitungan dan dasar pengenaan pajak BPHTB dalam UU No. 28 Tahun 2009 sama dengan pengaturan pajak BPHTB yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000.152 Sebagai sebuah tinjauan terhadap perbandingan tentang ketentuan pajak BPHTB antara UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 dengan UU No. 28 Tahun 2009, terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut : Tabel 3.1 Tabel perbedaan pajak BPHTB dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 dengan pajak BPHTB dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Tarif
NPOPTKP
UU BPHTB Sebesar 5% Paling banyak Rp.300 juta untuk waris dan hibah wasiat Paling banyak Rp.60juta untuk selain waris dan hibah Wasiat
BPHTB Terutang
152
UU Nomor 28 Tahun 2009 Paling Tinggi 5% Paling rendah Rp.300 juta untuk waris dan hibah wasiat
Paling rendah Rp. 60 juta untuk selain waris dan hibah wasiat 5% (Maksimal) x (NPOP – 5% x (NPOP-NPOPTKP) NPOPTKP)
Harry Hartoyo dan Untung Supardi, op.cit, hal. 214
93 3.2
Pengaturan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Badung Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Termasuk dalam hal ini pengelolan terhadap pajak BPHTB. Dalam hal penyelenggaran pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2014) yang merupakan undang-undang pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tersebut Pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota juga diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengelola sendiri pajak-pajak daerah yang nantinya akan digunakan sebagai tambahan dari pendapatan asli daerah. Dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Merupakan sebuah upaya untuk
94 mengoptimalkan penerimaan daerah yang bersumber dari pajak daerah yang nantinya akan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan maka pajak perlu dikelola serta dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009, suatu bentuk apresiasi pelaksanaan otonomi Daerah yang memberikan kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam rangka penyelenggaran Pemerintah Daerah yang berbasis pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan masih minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), basis pajak daerah yang masih terbatas, banyaknya Peraturan Daerah bermasalah perihal pemungutan, dan lemahnya pengawasan pungutan daerah yang dikarenakan sistem pengawasan masih bersifat represif juga penerapan sanksi yang belum maksimal. Untuk itu, setiap perluasan basis pajak Daerah harus tetap menjunjung tinggi prinsip pajak yang baik, dengan tidak boleh menyebabkan timbulnya ekonomi biaya tinggi dan menghambat mobilitas penduduk, lalulintas barang dan jasa dan lainnya. Karena selama ini begitu besarnya ketergantungan daerah terhadap adanya dana perimbangan pusat
yang kurang mencerminkan
akuntabilitas Daerah, berakibat Pemerintah Daerah tidak didorong untuk mengalokasikan anggaran secara efektif dan efisien. Masa transisi pengalihan BPHTB ditetapkan selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan mulai efektif menjadi pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011. Secara konsepsional, terdapat beberapa dasar pemikiran mengenai kebijakan pengalihan BPHTB yang semula sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah, antara lain:
95 1. BPHTB layak ditetapkan sebagai pajak daerah. BPHTB memenuhi kriteria dan prinsip-prinsip pajak daerah yang baik, seperti: objek pajaknya terdapat di daerah (local-origin), objek pajak tidak berpindah-pindah (immovable), dan terdapat hubungan yang erat antara pembayar pajak dan pihak yang menikmati hasil pajak tersebut (the benefit-tax link principle) 2. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan pendapatan yang bersumber dari daerah itu sendiri (Pendapatan Asli Daerah) Hal ini berbeda dengan penerimaan BPHTB sebagai pajak pusat, meskipun pendapatan BPHTB kemudian diserahkan kepada daerah, penerimaan ini tidak dimasukkan ke dalam kelompok Pendapatan Asli Daerah, melainkan sebagai dana perimbangan (Dana Bagi Hasil). 3. Dengan menetapkan BPHTB sebagai pajak daerah meningkatkan akuntabilitas daerah (local accountability), maka kebijakan BPHTB (objek, subjek, tarif, dan dasar pengenaan pajak) ditetapkan oleh daerah dan disesuaikan dengan kondisi dan tujuan pembangunan daerah. Demikian pula dengan pemungutan BPHTB, sepenuhnya dilakukan oleh daerah sehingga optimalitas pemungutannya tergantung pada kemauan dan kemampuan daerah. Selanjutnya, penggunaan hasil BPHTB ditentukan oleh daerah (melalui proses alokasi belanja dalam APBD). Dengan demikian, daerah mempertanggung jawabkan segala sesuatu terkait dengan pemungutan BPHTB kepada masyarakat di daerahnya dan masyarakat memiliki akses untuk ikut serta dalam pengawasan penggunaan hasil pungutan BPHTB.
96 4. Praktek di berbagai negara (Internationally good practice), BPHTB (property transfer tax) ditempatkan sebagai pajak daerah. Seperti diketahui, pengertian pajak BPHTB berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 41, UU No, 28 Tahun 2009 adalah ”pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dalam Pasal 1 angka 42 UU No. 28 Tahun 2009 adalah ”perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”. Mengenai Hak atas Tanah dan/atau Bangunan terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 43 UU No. 28 Tahun 2009 adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan. Beberapa ketentuan dalam UU No. 28 Tahun 2009 menentukan bahwa pajak-pajak yang sudah dialihkan pemungutan dan pengelolaannya kepada daerah wajib untuk membentuk suatu peraturan daerah. Khusus mengenai pajak BPHTB, dalam Pasal 87 ayat (6) ditentukan bahwa ”Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (selanjutnya disebut NPOPTKP) sebagaimana disebutkan pada pasal tersebut mengharuskan bahwa dalam menentukan NPOPTKP untuk hibah wasiat wajib membuat perda agar dapat melakukan pemungutan BPHTB. Selanjutnya dalam Pasal 88 ayat (2) perihal tarif BPHTB ditentukan juga bahwa ”tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
97 Lebih lanjut perihal pembentukan peraturan daerah yang didalamnya menentukan tentang pemungutan pajak daerah khususnya pajak BPHTB, terdapat dalam UU No. 28 Tahun 2009, BAB IV tentang Penetapan dan Muatan yang Diatur dalam Peraturan Daerah tentang Pajak. Pada bagian tersebut dalam UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 95 ditentukan bahwa : (1) Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (2) Peraturan Daerah tentang Pajak tidak berlaku surut. (3) Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai : a. nama, objek, dan Subjek Pajak; b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c. wilayah pemungutan d. masa pajak; e. penetapan; f. tata cara pembayaran dan penagihan; g. kedaluwarsa; h. sanksi adminitrasi; dan i.
tanggal mulai berlaku
(4) Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai: a. Pemberian pengurngan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok-pokok pajak dan/atau sanksinya; b. Tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
98 c. Asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional. Ketentuan dalam pasal tersebut diatas wajib untuk dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah yang akan membentuk peraturan daerah tentang pajak yang salah satunya adalah pajak BPHTB. Sebagai langkah nyata dari adanya pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah tersebut, pemerintah daerah dalam menindaklanjutinya dengan membentuk sebuah peraturan daerah. Pemerintah Kabupaten Badung (selanjutnya disebut Pemkab Badung) merupakan salah satu pemerintah daerah yang sudah membentuk peraturan daerah tentang pajak BPHTB. Segala jenis ketentuan-ketentuan tentang pajak BPHTB tersebut oleh Pemkab Badung dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (selanjutnya disebut Perda No. 14 Tahun 2010). Perda No. 14 Tahun 2010 ini ditetapkan oleh Pemda Badung pada tanggal 22 Desember 2010, Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2010 Nomor 14 yang terdiri dari 13 bab dan 29 pasal. Seperti halnya pembahasan diatas mengenai pengaturan BPHTB dalam UU No. 28 Tahun 2009, disini penulis juga akan membahas mengenai materi-materi pokok dalam hal pemungutan BPHTB di Kabupaten Badung. materi-materi pokok tersebut adalah : 1. Subyek Pajak BPHTB Subyek pajak BPHTB dalam Perda No. 14 Tahun 2010 terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu : orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas
99 Tanah dan/atau Bangunan. Pasal 4 ayat (2) menyebutkan mengenai wajib pajak BPHTB yaitu : orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Rumusan subyek pajak BPHTB yang ditentukan dalam Perda ini sama dengan yang tercantum dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Obyek Pajak BPHTB Pasal 3 ayat (1) Perda No. 14 Tahun 2010 yaitu “Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan setiap Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.”
Pada ayat (2) Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Pemindahan hak karena
:
1)
jual beli;
2)
tukar menukar;
3)
hibah;
4)
hibah wasiat;
5)
waris;
6)
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7)
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8)
penunjukan pembeli dalam lelang;
9)
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha; 11) peleburan usaha;
100 12) pemekaran usaha; 13) hadiah. b. Pemberian hak baru karena : 1)
kelanjutan pelepasan hak; atau
2)
di luar pelepasan hak.
Pada Pasal 3 ayat (3) disebutkan Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a.
hak milik;
b.
hak guna usaha;
c.
hak guna bangunan;
d.
hak pakai;
e.
hak milik atas satuan rumah susun; dan
f.
hak pengelolaan.
Untuk Obyek Pajak Tidak Kena Pajak dalam Perda No. 14 Tahun 2010 diatur dalam Pasal 3 ayat (4) yaitu : a.
perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b.
negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanan pembangunan guna kepentingan umum;
c.
badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat
tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
101 d.
orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e.
orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
a.
orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
3. Tarif pajak BPHTB Mengenai penentuan tarif yang dipakai untuk pengenaan pajak BPHTB dalam Perda No. 14 Tahun 2010 ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) yaitu: (1) Tarif Pajak ditetapkan sebesar 5 % (lima persen). (2) Pengenaan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk waris sepanjang tetap difungsikan sebagai lahan pertanian. Dalam hal penentuan tarif dari pajak BPHTB, Pemda Badung dalam Perdanya ini menetapkan tarif sebesar 5% yang merupakan tarif tertinggi yang ditentukan dalam UU No. 28 Tahun 2009. Digunakannya tarif maksimal sebesar 5% (lima persen) tersebut oleh Pemda Badung dapat diartikan bahwa potensi pemungutan pajak BPHTB di Kabupaten Badung cukup tinggi, disamping itu ditunjang juga dengan predikat Kabupaten Badung sebagai satu kabupaten terkaya di Bali. 4. Dasar pengenaan BPHTB Dasar pengenaan dan tarif dari pajak BPHTB Kabupaten Badung tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu : Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas
102 Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Dalam ayat (2) disebutkan mengenai Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dalam hal : a.
jual beli adalah harga transaksi;
b.
tukar menukar adalah nilai pasar;
c.
hibah adalah nilai pasar;
d.
hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.
waris adalah nilai pasar;
f.
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.
peralihan karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i.
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.
pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.
penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l.
peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.
pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n.
hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o.
penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
103 Sedangkan dalam ayat (7) memuat tentang : Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak dan pada ayat (8) memuat tentang : Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
5. Besaran pokok BPHTB Besaran pokok BPHTB dalam Perda No. 14 Tahun 2010 ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (8). Pasal 7 ayat (1) memuat tentang : Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (7) dan ayat (8). Dapat diformulasikan sebagai berikut : BPHTB terutang = 5% (tarif maksimal) x (NPOP – NPOPTKP). Sedangkan pada Pasal 7 ayat (2) Perda No. 14 Tahun 2010 memuat tentang : Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, maka besarnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (7) dan ayat (8). Ketentuan Pasal 7 ayat (2) tersebut diatas, dapat diformulasinya sebagai berikut :
104 BPHTB terutang : 5% (tarif maksimal) x (NJOP PBB – NPOPTKP) Setelah dikaji dari beberapa materi pokok mengenai pemungutan BPHTB oleh Pemda Badung yang dituangkan melalui Perda No. 14 Tahun 2010, sebagian besar merupakan salinan dari pasal-pasal mengenai pengaturan pajak BPHTB yang tercantum
dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Namun mengenai tarif yang digunakan dalam penentuan BPHTB terutang, dalam perdanya Pemda Badung menggunakan tarif maksimal atau tarif tertinggi yakni sebesar 5% (lima persen). Sedangkan khusus untuk pajak BPHTB terhadap waris, tarif yang digunakan oleh Pemda Badung adalah sebesar 1% (satu persen), sepanjang tanah atas perolehan wairs tersebut merupakan lahan pertanian. Jadi ketika terjadi suatu proses peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang disebabkan oleh perbuatan hukum seperti turun waris, hibah, hibah wasiat sepanjang objeknya berupa lahan pertanian, tarif pajak BPHTB yang dikenakan adalah sebesar 1% (satu persen). Sebagai peraturan pelaksana dari Perda No. 14 Tahun 2010, Bupati Badung mengeluarkan Peraturan Bupati Badung Nomor 73 Tahun 2010 tentang Sistem Dan Prosedur Pengelolaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (selanjutnya disebut Perbup No. 73 Tahun 2010). Dalam Perbup No. 73 Tahun 2010 ini diatur lebih rinci lagi mengenai rangkaian proses yang harus dilakukan dalam penerimaan, penatausahaan dan pelaporan penerimaan BPHTB. Dalam penerimaan BPHTB ini, Pemda Badung menyerahkan segala proses pemungutannya kepada Dinas Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung Kabupaten Badung, perihal ketentuan tersebut tertuang dalam Perbup No. 73
105 Tahun 2010 yakni pada Pasal 1 ayat 6 yang berbunyi : “Bendahara Penerimaan adalah pejabat yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausakan dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada Dinas Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung Kabupaten Badung”. Hal ini menegaskan bahwa mengenai teknis dalam pemungutan BPHTB di Kabupaten Badung diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung Kabupaten Badung yang sistem dan prosedur pemungutannya terdapat dalam Perbup No. 73 Tahun 2010. 3.3
Pengaturan Pajak Hibah Wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Badung Tentang sejarah pengaturan pajak BPHTB di Indonesia pemerintah
memang pernah menerbitkan sebuah peraturan yang secara khusus mengatur tentang pengenaan pajak BPHTB yang dikarenakan adanaya hibah dan hibah wasiat. Peraturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat (selanjutnya disebut PP No. 111 Tahun 2000). Dalam Pasal 2 PP No. 111 Tahun 2000, diatur bahwa: “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang”. Ketentuan dalam peraturan pemerintah tersebut tentang BPHTB yang terutang untuk hibah dan hibah wasiat, tidak menggunakan persentase untuk menghitung BPHTB, namun menggunakan cara dengan memberikan keringanan sebesar 50% (lima puluh persen) pada penerima
106 hibah dan hibah wasiat atas hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperolehnya. Jadi penerima hibah hibah wasiat cukup membayar 50% (limapuluh persen) saja dari pajak BPHTB yang terutang. Kemudian dengan diterbitkannya UU No. 28 Tahun 2009 perihal NPOPTKP yang dalam Pasal 87 ayat (5) dan ayat (6) dinyatakan bahwa: Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Selanjutnya perihal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) berdasarkan Pasal 87 ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Berbeda dengan PP No. 111 Tahun 2000 tersebut diatas yang memberikan keringanan dengan cukup membayar 50% (lima puluh persen) saja dari BPHTB yang terutang karena hibah dan hibah wasiat, dalam UU No. 28 Tahun 2009 dalam Pasal 88 ayat (1) ditentukan : Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditetapkan Paling tinggi sebesar 5 % (lima persen). Diperjelas lagi dalam Pasal 88 ayat (2) ditentukan tarif Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Terjadinya perubahan kebijakan tersebut tentunya tidak terlepas dari konsep otonomi daerah yang berlaku bagi tiap-tiap daerah kabupaten atau kota di Indonesia. Karena dengan diberikananya kewenangan untuk mengatur dan mengelola pemerintahan secara otonom, tentunya harus juga didukung dengan sumber pendanaan yang cukup. Bertambahnya kewenangan diberikan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
107 masyarakatnya, maka juga harus diimbangi dengan hak bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mendapatkan sumber pendanaan yang cukup. Sebagai amanat dari UU No. 28 Tahun 2009, Pemda Badung juga telah membentuk Perda Nomor 28 Tahun 2009 yang didalamnya mengatur tentang pengenaan pajak BPHTB. Tentang pengaturan pajak BPHTB atas hibah wasiat berdasarkan Perda No. 14 Tahun 2010, terdapat beberapa pasal-pasal yang menjadi dasar dalam pengenaan pajak BPHTB atas hibah wasiat. Pasal 5 ayat (7) ditentukan bahwa : ”Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak”. Sedangkan pada ayat (8) ditentukan bahwa : Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Berikutnya pada Pasal 6 ayat (1) ditentukan tentang tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Pada ayat (2) ditentukan bahwa : ”pengenaan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) untuk waris sepanjang tetap difungsikan sebagai lahan pertanian”. Pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 5% (lima persen) tersebut tentunya cukup memberikan tambahan pendapatan daerah yang tinggi bagi Kabupaten Badung. Sedangkan pengenaan tarif 1% (satu persen) untuk waris sepanjang masih difungsikan sebagai lahan pertanian merupakan suatu kebijakan yang tidak terlalu memberatkan bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan pengenaan tarif sebesar 1% (satu persen) tersebut
108 hanya dipungut satu kali saja, yakni pada saat terjadinya proses peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena waris. Berjalan selama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkan dan diundangkannya Perda No. 14 Tahun 2010 pada tanggal 22 Desember 2010, Pemda Badung kemudian melakukan sedikit perubahan terhadap Perda No. 14 tahun 2010 tersebut. Perubahan tersebut kemudian oleh Pemkab Badung dirumuskan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (selanjutnya disebut Perda No. 28 Tahun 2013). Memang tidak banyak perubahan yang dilakukan oleh Perda Badung terhadap perda BPHTB sebelumnya. Pada Pasal 1 Perda No. 28 Tahun 2013 ditentukan perubahan dilakukan pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). Pada ayat (1) ditentukan bahwa : ”Tarif Pajak ditetakan sebesar 5% (lima persen)”. Sedangkan pada Pasal 6 ayat (2) ditentukan sebagai berikut : Pengenaan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri. Dengan adanya ketentuan tersebut diatas, maka jelaslah bahwa untuk perolehan hak yang dikarenakan oleh waris atau hibah wasiat di Kabupaten Badung tidak dikenakan pajak BPHTB. Tentunya dengan pemberian kebijakan dengan membuat tarif pajak BPHTB untuk waris atau hibah wasiat menjadi 0% (nol persen) memang disambut baik oleh masyarakat di Kabupaten Badung. Namun dalam hal ini masih perlu untuk dilakukan kajian terhadap kebijakan
109 Pemda Badung menerapkan tarif pajak BPHTB atas wasiat atau hibah wasiat adalah sebesar 0% (nol persen). Tentunya terdapat beberapa alasan-alasan yang mendasari penerapan tarif 0% (nol persen) terhadap pajak BPHTB atas wasiat atau hibah wasiat yang diterapkan oleh Pemda Badung. Latar belakang dari pengenaan tarif 0% (nol persen) terhadap pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat oleh Pemda Badung terdapat dalam Penjelasan Atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Penjelasan atas ranperda tentang perubahan Perda Nomor 14 tahun 2010 ini dikeluarkan oleh Dinas Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung Pemerintah Kabupaten Badung (selanjutnya disebut Dispenda Pemkab Badung). Dasar dari adanya perubahan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat di Kabupaten Badung adalah adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat bahwa perlu adanya revisi Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan terkait dengan Waris dan Hibah Wasiat hal ini dikarenakan pengaturan yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Pasal 5 ayat (7) dan Pasal 6 ayat (2) yang mengatur tentang tarif Pajak tersebut di atas masih dirasa masih sangat memberatkan masyarakat. Beberapa hal yang dianggap masih memberatkan masyarakat dalam hal pengenaan pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat adalah dalam hal besaran tarif BPHTB dan besarnya nilai NPOPTKP. Atas dasar tersebut Dispenda Pemkab Badung melakukan kajian-kajian terhadap besaran tarif BPHTB dan besarnya
110 nilai NPOPTKP yang berlaku di beberapa kota seperti DKI Jakarta, Surabaya dan Kota Denpasar. Sebagai bahan perbandingan diantara ketiga kota besar tersebut disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini : Tabel 3.2 Perbandingan Pajak BPHTB Atas Hibah Wasiat di DKI Jakarta, Surabaya dan Kota Denpasar DKI Jakarta Surabaya Denpasar (7) Besarnya Nilai (7) Besarnya Nilai (7) Besarnya Nilai Perolehan Objek Perolehan Objek Perolehan Objek Pajak Pajak Tidak Kena Pajak Tidak Kena Tidak Kena Pajak Pajak ditetapkan Pajak ditetapkan ditetapkan sebesar sebesar sebesar Rp.60.000.000,00 Rp.80.000.000,00 Rp.75.000.000,00 (enam puluh juta (delapan puluh juta (tujuh puluh lima juta rupiah) untuk setiap rupiah) rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Wajib Pajak. (8) Dalam hal perolehan (8) Dalam hal perolehan (8) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hak karena waris atau hak karena waris atau hibah wasiat yang hibah wasiat yang hibah wasiat yang diterima orang pribadi diterima orang pribadi diterima orang yang masih dalam yang masih dalam pribadi yang masih hubungan keluarga hubungan keluarga dalam hubungan sedarah dalam garis sedarah dalam garis keluarga sedarah keturunan lurus satu keturunan lurus satu dalam garis derajat ke atas atau derajat ke atas atau keturunan lurus satu satu derajat kebawah satu derajat kebawah derajat ke atas atau dengan pemberi hibah dengan pemberi hibah satu derajat kebawah wasiat, termasuk wasiat, termasuk dengan pemberi suami/istri, Nilai suami/istri, Nilai hibah wasiat atau Perolehan Objek Pajak Perolehan Objek waris, termasuk Tidak Kena Pajak Pajak Tidak Kena suami/istri, Nilai ditetapkan sebesar Pajak ditetapkan Perolehan Objek Rp.700.000.000,00 sebesar Rp Pajak Tidak Kena (tujuh ratus juta 400.000.000,00 Pajak ditetapkan rupiah). (empat ratus juta sebesar rupiah). Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
111 Berdasarkan kajian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengaturan terhadap besarnya NPOPTKP dan tarif pajak BPHTB diatur secara berbeda-beda pada setiap Daerah sesuai dengan kebijakan Daerah. Selain kebijakan daerah, hal penting yang dijadikan dasar dalam pengenaan NPOPTKP dan tarif pajak BPHTB tersebut adalah potensi dari objek pajak yang dikenakan pajak BPHTB dari masing-masing daerah tentunya akan sangat berbeda satu dengan lainnya. Menurut pandangan Dispenda Pemkab Badung, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan terkait Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri apabila dicermati lebih lanjut tidak terlepas dari Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dilihat dari aspek Pajak Penghasilan (PPh), harta warisan adalah penghasilan bagi ahli waris. Pengertian penghasilan yang merupakan objek PPh menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 disebutkan bahwa Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
112 Bagi ahli waris, warisan adalah tambahan kemampuan ekonomis dan sudah pasti menambah kekayaan Wajib Pajak. Artinya, tidak diragukan lagi jika warisan adalah penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh. Walaupun demikian Undang-Undang PPh
mengecualikan warisan sebagai
penghasilan, yang dikecualikan dari objek pajak antara lain : 1. dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 ditentukan : harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 2.
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b ditentukan : warisan.
Pengecualian ini dikarenakan perpindahan harta waris kepada ahli waris bukan merupakan taxable event yaitu transaksi yang lazim dikenakan pajak. Walaupun warisan sebuah penghasilan bagi yang menerimanya, tetapi karena transaksinya atau perpindahan warisan tersebut bukan taxable event maka warisan bukan objek pajak. Perlakuan yang sama juga diberlakukan kepada hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Pemerintah telah mengeluarkan aturan mengenai Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan (PPh) Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yaitu dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
113 Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang dikeluarkan pada tanggal 4 November 2008. Sebagai peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan tanggal 31 Desember 2008 kemudian di tahun 2009 Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009 tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) adalah : 1. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah 2. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus 3. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
114 yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; 4. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau 5. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan. Dengan adanya pengecualian Pajak Penghasilan terhadap Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan dan orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, persoalan yang sama juga seharusnya dapat diterapkan pada Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Berdasarkan atas latar belakang dari dilakukannya perubahan terhadap tarif pajak BPHTB oleh Pemkab Badung menjadi 0% (nol persen) dan dihapusnya NPOPTKP yang dalam hal ini Pemkab Badung menitik beratkan pandangannya pada aspek Pajak Penghasilan (PPh). Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana diatur berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa :
115 Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pandangan Pemkab Badung terhadap objek pajak penghasilan sama dengan objek pajak BPHTB dalam hal ini tentunya sangat keliru. Karena sudah jelas bahwa objek pajak penghasilan dan objek pajak BPHTB tersebut sangatlah berbeda. Objek pajak penghasilan tentunya adalah pengasilan yang termasuk di dalamnya tambahan kemampuan ekonomis yang diterima ataupun diperoleh oleh wajib pajak,baik penghasilan itu berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, dan penghasilan tersebut dapat dipakai untuk konsumsi ataupun menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan. Sedangkan objek pajak BPHTB sendiri sebagaimana disebutkan dalam UU No. 28 Tahun 2009, bagian ketujuh belas tentang BPHTB yakni pada Pasal 85 ayat (1) bahwa : “Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Kemudian diperjelas lagi dalam Pasal 85 ayat (2) bahwa :Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : c. Pemindahan hak karena : 14. Jual beli 15. Tukar menukar 16. Hibah 17. Hibah wasiat 18. Waris
116 19. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain 20. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan 21. Penunjukan pembeli dalam lelang 22. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap 23. Penggabungan usaha 24. Peleburan usaha 25. Pemekaran usaha 26. Hadiah. d. Pemberian hak baru karena : 3. Kelanjutan pelepasan hak atau 4. Di luar pelepasan hak. Pada Pasal 85 ayat (4) ditentukan pula tentang beberapa objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh : a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. Negara
untuk
penyelenggaraan
pemerintahan
dan/atau
untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
117 d. Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan f. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut diatas jelas bahwa dalam pengenaan pajak BPHTB perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dikarenakan oleh waris atau hibah wasiat tidak dikecualikan dari pengenaan pajak BPHTB. Sedangkan dalam UU No. 36 Tahun 2008, pada Pasal 4 ayat (2) huruf a angka 2 memang ditentukan bahwa : Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Sedangkan pada Pasal 4 ayat (3) huruf b dikecualikan dari pajak penghasilan salah satunya adalah warisan. Dalam hal ini pada UU No. 36 Tahun 2008 terdapat ketentuan tentang pengecualian terhadap pengenaan pajak penghasilan terhadap harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis lurus satu derajat, namun apabila ketentuan tersebut dipersamakan dengan pengecualian pengenaan pajak BPHTB terhadap waris atau hibah wasiat tidak tepat. Karena konsep dari pajak penghasilan dengan konsep dari pajak BPHTB tersebut tentunya sangat berbeda. Jadi latar belakang dari perubahan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat yang awalnya sebesar 1% (satu persen) menjadi 0% (nol persen) yang dilakukan oleh Pemkab Badung tidaklah tepat. Memang apabila dilihat secara sepintas pemberlakukan tarif 0% (nol persen) atas
118 waris atau hibah wasiat sangat membantu masyarakat yang ingin melakukan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jalan waris atau hibah wasiat. Namun pada sesungguhnya kebijakan tersebut adalah kebijakan yang sangat tidak tepat yakni menyamakan dua buah konsep pajak yang sudah tentu sangat berbeda. Untuk melakukan analisa terhadap perubahan Perda No. 14 Tahun 2010 terutama dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen), perlu dilihat maksud dan tujuan dari perubahan yang dilakukan oleh Dispenda Pemkab Badung. Dalam penjelasan atas ranperda tentang perubahan Perda No. 14 Tahun 2010 disebutkan bahwa maksud dan tujuan perubahan tersebut adalah : 1. Maksud Maksud dari perubahan Peraturan daerah Kabupaten Badung No. 14 tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah untuk menghapus Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri yang diatur dalam Pasal 5 ayat (8) dan merubah penormaan tentang tarif yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2). 2. Tujuan Tujuan dari perubahan Peraturan daerah Kabupaten Badung Nomor 14 tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah untuk memberikan keringanan kepada Wajib Pajak terhadap
119 pengenaan pajak BPHTB dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri. Untuk lebih memudahkan dalam melakukan pengkajian terhadap Perda No. 14 Tahun 2010 dengan Perda No. 28 Tahun 2013 yang merupakan perubahan atas perda sebelumnya maka akan dibandingkan dalam bentuk tabel. Adapun tabel perbandingan atas perda tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 3.3 Perbandingan antara Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 dengan Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 Perda Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 Pasal 5 ayat (8)
Dalam hal perolehan hak karena waris
atau
hibah
wasiat
Perda Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 Pasal 5 ayat (8) Di hapus
yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan
sebesar
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) Pasal 6 ayat (2)
Pasal 6 ayat (2)
120 Pengenaan tarif pajak sebagaimana
Pengenaan
tarif
pajak
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebesar 1% (satu persen) untuk
sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau
waris sepanjang tetap difungsikan
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sebagai lahan pertanian.
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri.
Berdasarkan perbandingan kedua Perda tersebut di atas, terdapat beberapa ketentuan-ketentuan
yang
memberikan
keringanan
yang
tentunya
tidak
menimbulkan ketidak pastian hukum pada wajib pajak justru dihapuskan dengan ketentuan yang memang secara sepintas sangat memberikan keringanan terhadap wajib pajak namun menimbulkan banyak permasalahan. Ketentuan tentang pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) pada Perda No. 28 Tahun 2013 tersebut tentunya bertentangan dengan UU No. 28 Tahun 2009. Pada Pasal 88 ayat (1) disebutkan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi adalah sebesar 5% (lima persen), sedangkan pada ayat (2) disebutkan juga bahwa tarif BPHTB ditetapkan dengan sebuah peraturan daerah. Disamping itu dengan adanya pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) tersebut juga akan bertentangan dengan ketentuan pada Pasal 85 ayat (4) tentang objek-objek yang tidak dikenakan pajak BPHTB. Terdapat 6 (enam) jenis objek pajak yang diperoleh beberapa wajib pajak dikecualikan dalam pengenaan pajak BPHTB. Namun dengan adanya Perda No. 28 Tahun 2013 yang merubah tentang tarif pajak BPHTB menjadi 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat dapat
121 diartikan bahwa wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan yang disebabkan oleh adanya waris atau hibah dikecualikan dari pajak BPHTB. Diberikannya kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah secara mendasar terdapat dalam ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa : “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Atas dasar kewenangan tersebut pemerintah daerah memang
diberikan kewenangan untuk membuat perda, yang khusunya dalam hal ini Pemkab Badung telah membentuk Perda Nomor 28 Tahun 2013 tentang perubahan atas Perda Nomor 14 Tahun 2010. Tentunya untuk membentuk suatu perda yang baik, tepat sasaran, berkeadilan, dan berkepastian hokum, maka Pemkab Badung wajib untuk memperhatikan tahapan-tahapan serta asas-asas yang wajib untuk dijadikan acuan dalam membentuk perda. Ditinjau dari teori perjenjangan norma (Stufenbau theorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa norma-norma hukum tersebut adalah berjenjang-jenjang
dan juga berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan
122 gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.153 Hans Nawiasky yang juga merupakan seorang murid dari Hans Kelsen kemudian mengembangkan teori yang dikemukakan oleh gurunya yakni teori tentang perjenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang posisinya ada di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang lebih tinggi lagi yang kemudian disebut dengan norma dasar. Selain itu Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu strukturnya berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga memiliki sifat yang berkelompok-kelompok, dan pengelompokan atas norma-norma hukum tersebut dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain yaitu : 1. 2. 3. 4.
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara); Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara); Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”); Kelompok IV :Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan otonom).154 Berdasarkan pengelompokkan tersebut di atas, maka posisi Perda No.14
Tahun 2010 serta perubahannya yaitu Perda No. 28 Tahun 2013 termasuk dalam kelompok IV yaitu Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan otonom). Sebuah perda menurut pengelompokkan tersebut adalah sebuah peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan diatasnya. Agar suatu 153 154
Maria Farida Indrati S., op.cit, hal. 41. Maria Farida Indrati S., op.cit, 44-45.
123 peraturan
perundang-undangan
termasuk
juga
peraturan
daerah
dapat
diberlakukan, maka peraturan perundang-undangan tersebut wajib memenuhi beberapa persyaratan tentang kekuatan berlakunya sebuah undang-undang. Terdapat tiga macam kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut: 155 A. Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut : 1. Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya; 2. W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op de vereischte wrijze is tot stant gekomen” (Terjemahannya: ”...terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”); 3. J.H.A Logemann mengatakan bahwa secara yuridis kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya. B. Kelakuan sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal dua teori: 1. Teori Kekuasaan ”Machttheorie”; ”The Power Theory” yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan
155
Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 88-92.
124 sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat; 2. Teori Pengakuan ”Anerkennungstheorie”, ”The Recognition Theory” yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju. C. Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa
kaedah
hukum
tersebut
sesuai
dengan
cita-cita
hukum
”Rechtsidee” sebagai nilai positif yang tertinggi ”Uberpositieven Wert” , misalnya, Pancasila, Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya. Dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan
harus
mem-
perhatikan beberapa asas-asas peraturan perundang-undangan yang nantinya akan bertujuan untuk membentuk suatu peaturan perundang-undangan yang baik. Beberapa asas-asas tersebut adalah : 1. Undang-Undang tidak dapat berlaku surut 2. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat; 3. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori); 4. Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis); 5. Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undangundang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori); 6. Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.156
156
Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, 2010, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, hal. 73-74.
125 Beberapa asas-asas yang disebutkan diatas, dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun
2011
Tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan
(selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2011), peraturan perundang-undangan harus mencerminkan beberapa asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Pada Pasal 5 disebutkan beberapa asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi : a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Sedangkan perlu juga diperhatikan mengenai asas-asas yang terkandung dalam materi muatan dari sebuah peraturan perundang-undangan. Mengenai hal tersebut pada Pasal 6 disebutkan bahwa Materi muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan asas-asas sebagai berikut : a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika;
126 g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut terdiri dari : a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya perihal Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) disebutkan bahwa : “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundangundangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Selain memperhatikan ketentuan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas, Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011
127 mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang lain, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat; (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dalam melakukan identifikasi terhadap aturan-aturan hokum yang ada, tentunya akan ditemukan beberapa permasalahan perihal keadaan tentang suatu aturan hokum, yang diantaranya terdiri dari kekosongan norma (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.157
157
Bahwa untuk menghadapi adanya
Jazim Hamidi, 1999, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelengaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi
128 sebuah antinomy hukum (konflik antar norma hukum), maka berlakulah asasasas penyelesaian konflik (asas preferensi) yang terdiri dari : 1. Lex posterior derograt legi priori, yaitu peraturan perundang-undangan yang ada kemudian mengalahkan peraturan perundang-undangan yang ada terdahulu; 2. Lex specialis derograt legi generali, yaitu peraturan perundang-undangan yang khusus mengalahkan peraturan perundang-undangan yang umum. 3. Lex posteriori derograt legi priori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dibawahnya.158 Untuk menerapkan asas-asas tersebut diatas guna mendapatkan jawaban atau jalan kelur dari adanya suatu keadaan konflik norma, tentunya tidak dapat langsung diterapkan begitu saja. Dalam menerapkan asas-asas tersebut diatas terhadap suatu konflik norma hukum, akan ditemukan beberapa permasalahan yaitu : 1. Adakah hukum positif yang mengatur hal itu; 2. Adakah ketentuan hukum positif yang justru melemahkan asas-asas itu; 3. Apakah suatu aturan hukum itu batal demi hukum apabila asas-asas tersebut diterapkan.159
Indonesia Upaya Menuju “Clean and Stable Government”, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Jazim Hamidi III), hal. 87. 158 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 90. 159 Jazim Hamidi III, op.cit., hal. 89.
129 Menurut P.W. Brouwer sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, dalam hal menghadapi konflik antar norma hukum, dapat pula dilakukan dengan beberapa langkah praktis. Beberapa langkah praktis dalam penyelesaian konflik tersebut diantaranya sebagai berikut : a. Pengingkaran Langkah
ini
seringkali
merupakan
suatu
paradoks
dengan
mempertahankan bahwa tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh yang lazim, yaitu membedakan wilayah hukm seperti antara hukum privat dan hukum publik dengan berargumentasi bahwa 2 (dua) bidang hukum tersebut diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa ketentuan tersebut terdapat konflik norma. b. Penafsiran ulang (reinterpretasi) Dalam kaitan penerapan 3 (tiga) asas preferensi hukum harus dibedakan yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi, menginterpretasikan kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel. c. Pembatalan (invalidation) Ada 2 (dua) macam pembatalan yaitu abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak
normal dilakukan misalnya oleh suatu lembaga
khusus, kalau di Indonesia pembatalan peraturan pemerintah (PP)
130 kebawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal yaitu tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret. d. Pemulihan (remedy) Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan suatu ketentuan. Misalnya dalam hal satu norma unggul dalam arti overrulednorm. Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, dengan cara memberikan kompensasi.160 Berdasarkan atas penjelasan diatas, perihal adanya konflik norma yang terjadi antara ketentuan Pasal 6 Perda No. 28 Tahun 2013 dengan Pasal 88 UU No. 28 Tahun 2009, asas preferensi yang dijadikan dasar untuk menyelesaikan konflik norma tersebut adalah asas Lex posteriori derograt legi priori. Asas ini menetukan
bahwa
peraturan
perundang-undangan
yang
lebih
tinggi
kedudukannya yakni UU No. 28 Tahun 2009 akan mengalahkan atau mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawahnya yang dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 6, Perda No. 28 Tahun 2013. Penggunaan asas lex posteriori derograt legi priori ini juga diperkuat dengan keberadaan UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 7 ayat (1) menentukan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dimulai dari peraturan perundangundangan yang tinggi yakni UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan yang paling dibawah kedudukannya adalah perda kabupaten/kota. Kemudian diperjelas lagi dalam ayat (2) yang jelas menyatakan bahwa hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada 160
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 31.
131 asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi jelaslah bahwa keberadaan Perda No. 28 Tahun 2013 tentang perubahan atas Perda No. 14 Tahun 2010 tentang BPHTB ketentuan tentang pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat bertentangan dengan ketentuan tentang Pajak BPHTB pada UU No. 28 Tahun 2009. Sedangkan apabila ditinjau dari asas-asas pemungutan pajak sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, terdapat 4 (empat) asas yang dijadikan dasar dari pemungutan pajak. Keempat asas dasar dari pemungutan pajak tersebut adalah asas equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan), asas certainty (asas kepastian hukum), asas convenience of payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan) dan asas efficiency (asas efisien atau asas ekonomis). Berdasarkan atas keempat asas tersebut, penulis berpandangan bahwa penerapan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) atas waris atau hibah wasiat tidak sesuai dengan asas equality dan asas certainty. Adapun alasannya adalah sebagai berikut : 1. Pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) tidak memenuhi kriteria asas equality karena penerapan terhadap tarif 0% (nol persen) tersebut hanya berlaku pada waris dan hibah wasiat yang diterima oleh garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah termasuk suami istri dari pemberi hibah. Sedangkan untuk waris atau hibah wasiat kepada sepupu ataupun keponakan yang merupakan garis keturunan menyamping dengan pemberi hibah, akan tetap dikenakan
132 pajak BPHTB ketika terjadi perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meskipun dilakukan dengan cara peralihan hak yang disebabkan karena waris atau hibah wasiat. Jadi terjadi ketidakadilan dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat yang berarti bahwa penerima waris atau hibah wasiat akan dibebaskan dari pemungutan pajak BPHTB hanya akan berlaku pada garis keturunan lurus keatas dan kebawah dengan pemberi waris atau hibah wasiat. 2. Pengenaan tarif pajak BPHTB 0% (nol persen) ini juga tidak sesuai dengan asas certainty dalam pemungutan pajak. Hal ini dikarenakan tidak dijelaskan secara tegas dalam Perda No. 14 Tahun 2010 maupun Perda No. 28 Tahun 2013, tentang tarif pajak BPHTB yang dikenakan terhadap penerima waris atau hibah wasiat yang tidak merupakan garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah dengan pemberi waris atau hibah wasiat. Disamping itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis pada kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Badung, tentang Perda No. 14 Tahun 2010 dan Perda No. 23 Tahun 2013, penulis tidak mendapatkan keberadaan data dari naskah akademik kedua perda tersebut. Pentingya sebuah naskah akademik sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 12 Tahun 2011, pada Pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa naskah akademik adalah : Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan PeraturanDaerah
133 Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Penyusunan sebuah naskah akademik terhadap suatu peraturan daerah, didasarkan atas adanya suatu produk hukum daerah yang bersifat responsif dan partisipasif terhadap kebutuhan masyarakat serta kepentingan umum pada daerah yang bersangkutan.
Sebuah proses penyusunan naskah akademik dalam
membentuk sebuah peraturan daerah akan menunjukkan bahwa adanya keterbukaan pemda terhadap masyarakat dalam membentuk sebuah peraturan perundang-undangan yang nantinya juga akan diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat. Untuk menyusun sebuah naskah akademik tentunya memerlukan beberapa syarat khusus agar naskah akademik yang dibuat dapat bermanfaat dan dapat mengakomodasi
kepentingan
masyarakat.
Beberapa
syarat
yang
harus
diperhatikan dalam menyusun suatu naskah akademik menurut Ann Seidman, adalah sebagai berikut : 161 1. Penggunaan bahasa yang dipahami 2. Adanya ringkasan umum 3. Merupakan petunjuk bagi pembaca 4. Menulis kalimat-kalimat yang jelas 5. Menyebutkan sumber informasi 6. Mencantumkan kesimpulan. 161
Ann Seidman, Robeth B. Seidman, dan Nalin Abeyeskere, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-undang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis : sebuah Panduan untuk Pembuat rancangan Undang-undang, edisi kedua, Proyek Elips II, terjemahan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, hal. 233.
134 Naskah
akademik
menjadi
suatu
komponen
terpenting
dalam
pembentukkan sebuah perda. Melalui naskah akademik inilah deskripsi awal tentang tujuan serta fungsi dibentuknya sebuah perda dapat terungkap. Dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa tujuan dari penyusunan sebuah naskah akademik adalah : 1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut. 2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. 4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Selain dari tujuan dari suatu naskah akademik yang sudah disebutkan diatas, kegunaan dari penyusunan suatu naskah akademik adalah sebagai sebuah acuan atau refrensi dari penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang ataupun rancangan peraturan daerah. Jadi jelaslah bahwa keberadaan suatu naskah akademik menjadi sebuah dasar dari dibentuknya rancangan undang-undang atau rancangan dari sebuah perda. Perlu juga diperhatikan bahwa, konsep dari pajak daerah yang pemungutan serta pemanfaatannya tersebut dialihkan kepada pemerintah daerah, harus mengac pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 279 ayat (1) disebutkan bahwa : “Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Urusn Pemerintah yang diserahkan
135 dan/atau ditugaskan kepada Daerah”. Sedangkan dalam Pasal 279 ayat (2) disebutkan juga bahwa : hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi salah satunya adalah pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah. Merujuk pada ketentuan pasal-pasal tersebut, meskipun pemerintah daerah khususnya Pemkab Badung telah diberikan kewenangan untuk melakukan pemungutan pajak BPHTB, bukan berarti pemerintah pusat melepaskan begitu saja masing-masing daerah untuk melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Adanya hubungan keuangan dala penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut, secara langsung pemerintah pusat akan dapat melakukan pengawasan terhadap masing-masing daerah dalam melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Memang dalam hal pengenaan tarif 0% (nol persen) pajak BPHTB atas waris dan hibah wasiat di Kabupaten Badung sebagaiamana tertuang dlaam Perda No. 28 Tahun 2013 tersebut meringankan beban dari masyarakat yang ingin melakukan waris atau hibah wasiat. Namun hendaknya Pemkab Badung dalam membentuk perda pajak BPHTB ini, tidak mengabaikan konsep-konsep dasar dari dasar pengenaan pajak BPHTB itu sendiri sebagaimana terdapat dalam UU No. 28 Tahun 2009. Dengan mengabaikan ketentuan-ketentuan pokok dari pajak BPHTB, tersebut justru menimbulkan pertentangan antara Perda No, 28 Tahun 2013 dengan UU No. 28 Tahun 2009. Apabila mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014, dalam Pasal 286, jelas ditentukan bahwa : “pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di daerah diatur lebih lanjut
136 dengan perda”. Ini berarti bahwa keberadaan perda terkait pajak darah dan retribusi daerah yang merupakan aturan pelaksana dari undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah, tentunya tidak menimbulkan suatu pertentangan norma atau konflik norma. Khusus untuk pedoman untuk membentuk perda, UU No. 23 Tahun 2014, juga sudah mengatur secara terperinci mengenai tidak diperkenankannya timbul pertentangan antara perda dengan undang-undang. Mengacu pada penjelasan dari UU No. 23 Tahun 2014, dalam bagian kedelapan ditentukan bahwa : Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, kepala daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah membuat Perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian Perda yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundangundangan. Disamping itu Perda sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda. Dari ketentuan tersebut, jelaslah sudah bahwa meskipun pemerintah daerah diberikan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, yang dalam hal ini kaitannya dengan kewenangan membentuk perda terkait dengan pemungutan pajak BPHTB, perda yang dibuat tetap tidak boleh bertentangan dengan undangundang. Apabila Perda No. 28 Tahun 2013 tersebut dianalisa berdasarkan ketentuan penjelasan dari UU No. 23 Tahun 2014, selain bertentangan dengan UU No. 28 Tahun 2009, Perda No. 28 Tahun 2013 tersebut juga bertentangan dengan kepentingan umum, yakni dengan menghilangkan frasa “sepanjang dipergunakan
137 sebagai lahan pertanian” pada ketentuan Pasal 6 ayat (2), Perda No. 14 Tahun 2010. Lahan pertanian yang begitu semakin menipis di Kabupaten Badung, tentu nantinya akan berdampak pada tata ruang di Kabupaten Badung sendiri karena ruang terbuka hijau untuk umum akan habis dibeli oleh para investor.
BAB IV KENDALA-KENDALA DALAM PENGENAAN TARIF PAJAK HIBAH WASIAT PADA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
4.1
Kendala-Kendala dalam Pengenaan Tarif Pajak Hibah Wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB sebesar 0% (nol persen)
yang diterapkan oleh Pemkab Badung, berdasarkan atas teori-teori tentang fungsi dari pemungutan pajak, kebijakan tersebut menurut penulis tidaklah tepat. Pajak yang menjadi sebuah kenyataan dalam kehidupan masyarakat rentunya memiliki fungsi tertentu. Pada umumnya dikenal adanya dua fungsi utama dari pajak itu sendiri yaitu : 3. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan, sebagai sumber keuangan negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain. 4. Fungsi Regulerend (mengatur) Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.162
Kedua fungsi tersebut diatas, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pemberian kebijakan pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB sebesar 0% (nol persen) oleh Pemkab Badung akan mengenyampingkan fungsi pajak yang pertama yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara). Tentunya 162
Siti Resmi, op.cit, hal. 2.
138
139 dengan mengenyampingkan fungsi pajak sebagai fungsi anggaran tersebut, Pemkab Badung lebih mengutamakan fungsi pajak yang kedua yaitu fungsi mengatur (regulerend). Dalam hal ini pajak digunakan untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat ke arah yang dikehendaki pemerintah. Oleh karenanya fungsi mengatur ini menggunakan pajak untuk dapat mendorong dan mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah.163 Fungsi mengatur yang dimiliki oleh pajak ini tentunya akan sangat banyak
dipengaruhi
oleh
kebijakan-kebijakan
politik
yang
akan
lebih
mengutamakan kepentingan politik pemerintah dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. Untuk dapat melaksanakan fungsi mengatur ini, pada umumnya fiskus menggunakan beberapa cara, yang terdiri dari : a. Cara umum Cara ini biasanya dilakukan dengan menggunakan tarif-tarif pajak untuk mengadakan perubahan terhadap tarif yang bersifat umum. Tarif yang merupakan presentase atau jumlah yang dikenakan terhadap basis pajak (tax base), yang berlaku secara umum, dijadikan instrumen perwujudan fungsi pajak ini. b. Cara khusus Pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang bersifat khusus ini dapat dibedakan kembali menjadi dua, yakni yang bersifat positif (insentif) dan yang bersifat negatif (dis-insentif).164 Pengenaan tarif pajak hibah wasiat sebesar 0% (nol persen) pada BPHTB oleh Pemkab Badung, tentunya lebih menitikberatkan pada pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang dilakukan dengan cara melakukan perubahan terhadap tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB. Bahwa dengan mengenyampingkan fungsi 163
Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengantar Hukum Pajak, CV. Andi Offset, Yogyakarta, hal. 17 164 Ibid.
140 anggaran dari pajak itu sendiri oleh Pemkab Badung dalam hal pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB sebesar 0% (nol persen) tidaklah tepat karena dengan lebih mengutamakan fungsi mengatur dari pajak itu sendiri, Pemkab Badung akan dengan mudahnya memasukkan unsur-unsur kepentingan politik yang akan digunakan untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat di Kabupaten Badung untuk segera mewariskan dan menghibah wasiatkan tanah ataupun lahan-lahan pertanian di Kabupaten Badung. Pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang dilakukan dengan cara umum sebagaimana telah disebutkan di atas, tentunya berkaitan erat dengan sistem tarif yang digunakan di Indonesia. Setiap negara akan menentukan sendiri sistem tarif pajak yang akan diterapkan di negaranya masing-masing. Di Indonesia untuk pajak penghasilan (PPh) menggunakan tarif proporsional, pajak bumi dan bangunan (PBB) dan BPHTB menggunakan tarif yang disebut dengan tarif bentham.165 Adapun yang dimaksud dengan tarif bentham yaitu sebuah tarif pajak yang memodifikasi tarif proporsional dengan memberikan jumlah tertentu sebagai batas tidak kena pajak yang tidak dikenakan pajak, pajak hanya dikenakan atas jumlah yang melebihi batas tidak kena pajak. Kalau diperhatikan secara seksama tarif ini akan menghasilkan tarif efektif yang berbeda-beda. Tarif efektif tidak pernah mencapai tarif pajak yang ditentukan tetap semakin mendekati kalau objek pajaknya semakin besar.166 Pemerintah untuk mencapai tujuannya, baik yang bersifat politis maupun yang bukan politis, menggunakan kebijaksanaan tarif
165
Erly Suandi, 2014, Hukum Pajak, Edisi 6, Salemba Empat, Jakarta, hal.
166
Ibid, hal.
74.
141 dengan cara mengkombinasikan penggunaan tarif pajak tinggi dan tarif pajak yang rendah yakni sebesar 0% (nol persen). Meskipun merupakan sebuah kebijaksanaan, namun karena ketentuan tentang tarif tersebut termasuk ketentuan material, maka ketentuan tentang tarif tersebut harus pula dimuat dalam sebuah undang-undang, terkecuali jika undang-undang memberi kuasa kepada pemerintah atau Menteri Keuangan (delegation of authority).167 Penggunaan tarif bentham pada pajak PBB dan BPHTB ini tentunya akan mengkibatkan perbedaan pengenaan tarif pada masing-masing daerah. Ketika sebuah tarif terhadap suatu jenis pajak menggunakan tarif rendah seperti halnya penerapan tarif 0% (nol persen) atas hibah wasiat pada BPHTB di Kabupaten Badung, menurut penulis kebijakan tersebut lebih cenderung memiliki sebuah tujuan politis. Tarif pajak dikatakan dapat digunakan untuk tujuan politis misalnya digunakan dalam rangka pemilihan umum oleh partai-partai politik peserta pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah, dengan memberikan janji-janji jika terpilih nantinya akan membantu meringankan beban pajak bagi masyarakat bahkan membebaskan masyarakat dari beberapa jenis pemungutan pajak. Kebijakan terhadap penerapan tarif rendah sebesar 0% (nol persen) inilah yang digunakan oleh Pemkab Badung untuk menarik perhatian masyarakat. Tentunya kebijakan atas pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada BPHTB sebesar 0% (nol persen) ini menitikberatkan fungsi regulerend dari pajak. Namun dengan adanya kebijakan tersebut masyarakat hendaknya mengetahui betul maksud dan
167
Ibid, hal. 75.
142 tujuan Pemkab Badung memberikan kebijakan tarif 0% (nol persen) terhadap pajak hibah wasiat pada BPHTB. Tentang dasar pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB sendiri adalah pada Nilai Perolehan Objek Pajak (selanjutnya disebut NPOP). Sedangkan untuk dasar pengenaan NPOP ini sendiri tentunya berbeda-beda untuk setiap jenis perolehan hak yang didapat. Misalnya untuk hibah, hibah wasiat dan waris, NPOP didasarkan pada nilai pasar. Dalam UU No. 28 Tahun 2009, tidak dijelaskan tentang definisi dari nilai pasar tersebut. Namun dalam UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000, pada penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b disebutkan bahwa nilai pasar adalah ”harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan”. Kemudian merujuk pada UU No. 28 Tahun 2009, Pasal 87 ayat (3) ditentukan bahwa jika NPOP pada tiap-tiap transaksi seperti hibah, hibah wasiat dan waris tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Namun pada kenyataannya didalam praktek, ketika terjadi perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang disebabkan karena hibah, hibah wasiat dan waris, dasar pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB didasarkan pada NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Padahal seharusnya yang dijadikan dasar pengenaan adalah NPOP yang didasarkan pada nilai pasar untuk masing-masing transaksi. Penetapan NJOP pada tiap-tiap daerah tentunya akan berbeda-beda tergantung pada potensi perkembangan tingkat pembangunan pada daerah yang
143 bersangkutan. NJOP ini juga merupakan dasar dari pengenaan pajak PBB. Namun seperti yang disebutkan diatas, ketika NPOP yang dijadikan dasar pengenaan pajak BPHTB tidak diketahui, maka yang dijadikan dasar pengenaan pajak BPHTB adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Ketentuan terhadap penetapan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan pada masing-masing daerah, sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 79 ayat (1), UU No. 28 Tahun 2009 penetapan NJOP dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis Merupakan suatu pendekatan atau metode tentang penentuan niali jual dari
suatu
objek
pajak
yang
dilakukan
dengan
cara
membandingkannya dengan objek pajak lain yang masih sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsi dari objek pajak tersebut sama, dan telah diketahui harga jual dari objek pajak tersebut. 2. Nilai perolehan baru Suatu metode pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung secara keseluruhan dari biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian tersebut dilakukan, yang kemudian dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik dari objek tersebut. 3. Nilai penjual pengganti Merupakan suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual beli suatu objek pajak yang didasarkan pada hasil produksi dari objek pajak tersebut.
144 Keberadaan NJOP sesuai dengan penjelasan Pasal 79 ayat (2) adalah pada dasarnya penetapan suatu NJOP dilakukan selama 3 (tiga) tahun sekali. Sedangkan untuk daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan suatu NJOP dapat ditetapkan selama 1 (satu) tahun sekali. Jadi tetap dalam hal ini penetapan suatu NJOP akan sangat bergantung pada kondisi pembangunan dan tingkat urbanisasi di masing-masing daerah yang bersangkutan. ` Dengan
beralihnya
kewenangan
pemungutan
pajak
BPHTB
ke
pemerintah daerah, tentunya dasar hukum yang menjadi pokok penting pemungutan pajak BPHTB ini adalah sebuah perda. Pemkab Badung yang sudah membentuk Perda No. 14 Tahun 2010 yang kemudian dilakukan perubahan dengan Perda No. 28 Tahun 2013, tentunya terdapat beberapa kendala-kendala yang muncul dalam pengenaan pajak BPHTB ini. Beberapa kendala mulai muncul ketika Pemkab Badung menerapkan pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami atau istri. Dengan adanya kebijakan tersebut, kendala-kendala justru muncul dari masyarakat yang akan melakukan transaksi waris dan hibah wasiat. Beberapa kendala yang muncul dalam hal pengenaan pajak hibah wasiat pada BPHTB di Kabupaten Badung adalah sebagai berikut : 1. Pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat di Kabupaten Badung, belum disosialisasikan sampai
145 pada daerah-daerah yang bisa dikatakan masih terpencil di Kabupaten Badung. Sehingga masyarakat di daerah yang bersangkutan ketika ingin melakukan peralihan hak atas tanah dan atau bangunan dengan cara waris atau hibah wasiat tidak mengetahui akan kebijakan pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) untuk waris atau hibah wasiat yang diberikan oleh Pemkab Badung. Hal ini justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan situasi tersebut. Ketidaktahuan masyarakat yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dengan cara waris atau hibah wasiat yang seharusnya tidak membayar pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat, dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk mencari keuntungan. Sehingga pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) tersebut tidak efektif ketika sosialisasi belum dilakukan secara optimal kepada masyarakat yang tinggal di desa-desa Kabupaten Badung. 2. Ketika masyarakat ingin melakukan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara waris atau hibah wasiat namun calon penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang memang memiliki hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus kesamping seperti sepupu atau keponakan. Bagaimana pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat terhadap penerima waris atau hibah wasiat tersebut, sedangkan sebagaimana yang ditentukan dalam Perda No. 28 Tahun 2013, bahwa pengenaan tarif 0% (nol persen) hanya berlaku untuk hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
146 derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberi hibah wasiat. Masyarakat tentunya merasa ketentuan pengenaan tarif pajak waris atau hibah wasiat ini tidak adil, karena jenis peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan adalah sama yaitu dengan cara waris atau hibah wasiat, hanya saja penerima dari waris atau hibah wasiat tersebut adalah sepupu ataupun keponakan dari pemberi waris atau hibah wasiat. Disamping itu tidak adanya ketentuan pasti perihal pengenaan besaran tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan kesamping. 3. Kebijakan tentang pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat sebesar 0% (nol persen) di Kabupaten Badung memang memberikan membantu meringankan beban masyarakat yang ingin melakukan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara waris atau hibah wasiat. Namun perlu diketahui bahwa untuk melakukan proses peralihan hak dengan cara waris atau hibah wasiat, penerima hibah wasiat wajib untuk mengajukan permohonan Pelayanan Informasi Nilai Tanah. Surat permohonan Pelayanan Informasi Nilai Tanah ini atau sering disebut ZNT (Zona Nilai Tanah). Ketentuan tentang Informasi Nilai Tanah ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan
147 Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut PP No. 13 Tahun 2010). Pada ketentuan Pasal 16 disebutkan bahwa : (1) Tarif Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a berupa Pelayanan Pendaftaran: a. Keputusan Perpanjangan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Berjangka Waktu; dan b. Keputusan Pembaruan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Berjangka Waktu; dihitung berdasarkan rumus T = (2‰ x Nilai Tanah) + Rp100.000,00 (2) Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b berupa Pelayanan Pendaftaran Pemindahan Peralihan Hak Atas Tanah untuk Perorangan dan Badan Hukum, dihitung berdasarkan rumus T = (1‰ x Nilai Tanah) + Rp.50.000,00 Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, penerima waris atau hibah wasiat juga berkewajiban melakukan pembayaran untuk mendapatkan permohonan Informasi Nilai Tanah. Perlu diperhatikan bahwa masyarakat yang memang sudah dibebaskan dari beban membayar pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat, masih harus dibebankan untuk
membayar
permohonan
Informasi
Nilai
Tanah.
Biaya
permohonan Informasi Nilai Tanah ini bahkan bisa melebihi biaya pembayaran pajak BPHTB. Jadi tetap saja masyarakat akan terbebani ketika tidak dikenakan pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat yang dilakukan, tetapi masyarakat Kabupaten Badung masih harus membayar PNBP atas permohonan Informasi Nilai Tanah. 4. Dihapusnya ketentuan pada Pasal 6 ayat (2) dalam Perda No. 14 tahun 2010 tentang pengenaan tarif pajak sebesar 1% (satu persen) untuk
148 waris sepanjang tetap difungsikan sebagai lahan pertanian menjadi sebesar 0% (nol persen), tentunya akan berdampak buruk pada keberadaan lahan pertanian di Kabupaten Badung. Dengan pengenaan tarif 0% (nol persen) terhadap semua jenis lahan baik itu lahan pemukiman dan lahan pertanian, akan di bebaskan dari pengenaan pajak BPHTB. Jadi dengan dibebaskannya pengenaan pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat dalam hal lahan pertanian, akan memberikan kesempatan kepada pemilik lahan-lahan pertanian di Kabupaten Badung untuk mewariskan atau menghibah wasiatkan lahan pertaniannya kepada keturunannya. Sedangkan pihak-pihak investor yang bergerak dalam bidang property juga memiliki kesempatan untuk membeli lahan-lahan pertanian tersebut dan membuka lahan untuk perumahan. Sebagai sebuah ilustrasi untuk lebih memperjelas dari kendala-kendala yang muncul dari pengenaan tarif pajak waris atau hibah wasiat sebesar 0% (nol persen) di Kabupaten Badung, seperti dalam contoh kasus berikut : - Tuan ABG adalah pewaris tunggal dari keluarga Naradha, karena kedua orang tuanya sudah meninggal dan kedua orang tua dari Tuan ABG ini masing-masing meninggalkan harta warisan berupa 2 (dua) bidang tanah dengan luas masing-masing 2.225 M2 (duaribu duaratus duapuluh lima meter persegi) terletak di Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Maka Tuan ABG berkeinginan untuk melakukan balik nama sertipikat yang awalnya atas nama kedua orang tuanya.
149 Karena ini merupakan proses turun waris, maka sebagai penerima warisan Tuan ABG wajib membayar pajak BPHTB, namun sesuai dengan ketentuan Perda No. 28 Tahun 2013, Tuan ABG tidak dikenakan pajak BPHTB karena melangsungkan proses turun waris dari orang tua ke anak kandung. Tuan ABG pun merasa senang, karena mendapatkan warisan berupa tanah yang luas namun tanpa peru membayar pajak, namun ketika akan mendaftarkan peralihan haknya ke BPN, Tuan ABG justru terkejut karena harus membayar biaya ZNT dan PNBP atas masing-masing sertipikat yang dibalik nama sebesar Rp. 11.000.000,00 (sebelas juta rupiah) jadi total yang harus dibayar oleh Tuan ABG adalah Rp. 22.000.000,00 (duapuluh dua juta rupiah). - Kasus yang kedua adalah hibah yang dilakukan oleh dua orang bersaudara kandung. Tuan Gumbreg adalah kakak kandung dari Nyonya Jenari, kedua orang tua dari Tuan Gumbreg dan Nyonya Jenari sudah meninggal dunia. Kedua orang tua dari Tuan Gumbreg dan Nyonya Jenari mewariskan seluruh warisannya berupa tanah di kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, seluas
350 M2 kepada Tuan
Gumbreg dan sudah dibalik nama ke atas nama Tuan Gumbreg. Sedangkan Nyonya Jenari yang sudah kawin keluar, tidak mendapatkan warisan tersebut, atas dasar belas kasihan kepada adiknya sendiri, Tuan Gumbreg lalu menghibahkan tanahnya seluas 150M2 dari luas asal 350M2 kepada Nyonya Jenari. Ketika melangsungkan proses hibah, mengacu pada ketentuan Perda No. 28 Tahun 2013, maka hibah berupa
150 sebidang tanah seluas 150M2 yang diterima oleh Nyonya Jenari dikenakan pajak BPHTB yang pengenaan pajaknya didasarkan pada NJOP. Dari kedua contoh kasus tersebut diatas, jelas bahwa dalam hal pengaturan tentang pengenaan pajak waris, hibah wasiat pada BPHTB di Kabupaten Badung menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan dalam hal pengenaan pajak bagi penerima waris atau hibah dan hibah wasiat. Di satu sisi kebijakan pengenaan tarif pajak 0% (nol persen) tersebut dapat dikatakan meringankan beban masyarakat, namun di sisi lain justru kebijakan tersebut tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang akan melakukan waris, hibah atau hibah wasiat di luar dari garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberi waris atau hibah wasiat. Kebijakan pengenaan tarif sebesar 0% (nol persen) terhadap pajak hibah wasiat pada BPHTB ini atau dengan kata lain membebaskan masyarakat dari pajak BPHTB ketika melakukan waris atau hibah wasiat, justru akan merugikan Pemkab Badung itu sendiri. Saat ini ketika Pemkab Badung masih mampu untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran untuk menjalankan pemerintahannya, Pemkab Badung akan merasa semuanya akan berjalan baik-baik saja karena masih ada sektor-sektor pajak lain yang lebih besar pemasukan dananya ke kas daerah. Tetapi seiring dengan perkembangan waktu, tidak menutup kemungkinan Pemkab Badung akan kekurangan sumber pendanaan guna menutupi pengeluaranpengeluaran untuk menjalankan pemerintahannya. Ketika merasa kekurangan sumber pendanaan, sudah pasti Pemkab Badung akan kembali melakukan
151 pemungutan terhadap pajak waris atau hibah wasiat pada BPHTB dengan menggunakan tarif yang lebih besar guna mendapatkan sumber pendanaan baru. 4.2
Upaya untuk Menyelesaikan Kendala-kendala dalam Pengenaan Tarif Pajak Hibah Wasiat pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Timbulnya kendala-kendala dari kebijakan Pemkab Badung dengan
mengenakan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) tersebut, mewajibkan Pemkab Badung untuk mengupayakan penyelesaian atas kendala yang timbul tersebut. Tindakan nyata dan tegas dari Pemkab Badung sangat diperlukan dalam hal ini, karena masyarakat sangat membutuhkan suatu kepastian hukum dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat. Memang secara umum masyarakat terlihat sangat diuntungkan dengan pemberlakukan kebijakan pengenaan tarif sebesar 0% (nol persen) terhadap pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat. Namun pada kenyataannya masih sangat banyak kendala-kendala yang terjadi ketika diterapkannya kebijakan tersebut oleh Pemkab Badung. Perubahan terhadap pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat ini apabila dilihat dari segi perhitungannya memang sangat menarik. Dalam hal mana ketika masyarakat Kabupaten Badung hendak mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara waris, hibah dan hibah wasiat tidak dikenakan pajak BPHTB. Padahal jelas bahwa setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib untuk dikenakan pajak BPHTB tersebut. Hal penting yang patut untuk diperhatikan dengan adanya kebijakan pengenaan tarif 0% (nol persen) pajak BPHTB tersebut adalah adanya anggapan dari masyarakat
152 Kabupaten Badung bahwa waris, hibah dan hibah wasiat yang mereka lakukan tidak dikenakan pajak BPHTB. Padahal yang hanya dikenakan tarif 0% (nol persen) tersebut hanya untuk orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami istri. Sesungguhnya dari pengenaan tarif 0% itulah muncul kendala-kendala dalam pengenaan pajak BPHTB atas hibah wasiat di Kabupaten Badung. Oleh karena itu, dengan adanya beberapa kendala-kendala sebagaimana yang telah disebut diatas maka menurut penulis upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kendala-kendala dalam pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris atau hibah wasiat adalah sebagai berikut : 1. Melakukan sosialisasi ke daerah-daerah pedesaan yang terdapat di Kabupaten Badung. Sosialisasi tentang pengenaan tarif BPHTB sebesar 0% (nol persen) atas waris atau hibah wasiat dilakukan dengan melibatkan aparat desa mulai dari kelihan adat ataupun kelihan dinas, perbekel atau kepala desa setempat. Tentunya pihak terkait seperti Dispenda Kabupaten Badung serta anggota dari DPRD Kabupaten Badung juga wajib untuk diikutsertakan dalam sosialisasi tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan agar nantinya masyarakat yang berkeinginan untuk melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara waris, hibah atau hibah wasiat mengetahui kepastian akan tarif pajak yang akan dikenakan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang akan dilakukannya. Disamping itu
153 yang terpenting adalah penggunaan bahasa hukum yang digunakan ketika melakukan sosialisasi tentunya bahasa hukum yang mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh masyarakat. 2. Dalam hal pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) atas waris, hibah dan hibah wasiat yang hanya berlaku untuk orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami istri. Ketentuan ini tentunya perlu untuk dilakukan pengkajian ulang, karena bagi masyarakat yang tidak memiliki keturunan sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam ketentuan pengenaan tarif 0% (nol persen) tersebut sudah tentu orang tersebut
akan mewariskan,
menghibahkan ataupun menghibah
wasiatkan hak atas tanah yang dimilikinya tersebut kepada keluarga sedarah dalam garis lurus kesamping. Namun dalam hal ini berapa tarif pajak BPHTB yang akan dikenakan oleh Pemkab Badung atas waris, hibah atau hibah wasiat tersebut. Oleh sebab itu, perihal pengenaan tarif BPHTB sebesar 0% (nol persen) tersebut sebaiknya diberlakukan terhadap seluruh perolehan hak yang didasarkan atas waris, hibah atau hibah wasiat, agar nantinya mencerminkan suatu keadilan dalam pemungutan pajak. 3. Dalam hal pengenaan biaya terkait permohonan Informasi Nilai Tanah pada saat melakukan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang kemudian pengenaan biaya tersebut dikategorikan sebagai Penerimaan
154 Negara Bukan Pajak (selanjutnya disebut PNBP). Tentunya adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk melakukan pemungutan PNBP sebagaimana disebutkan dalam PP No. 13 Tahun 2010, justru menambah beban masyarakat. Di satu sisi penerima waris, hibah atau hibah wasiat di Kabupaten Badung bebas dari pengenaan pajak BPHTB, namun untuk melakukan pendaftaran peralihan hak tersebut, wajib untuk membayar PNBP yang bahkan bisa lebih besar dari pajak BPHTB yang harus dibayarkan. Tentunya atas kebijakan tersebut, perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap peraturan perundangundangan terkait dengan pengenaan tarif pajak BPHTB atas waris, hibah atau hibah wasiat. Agar masyarakat tidak merasa dibebani dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. 4. Dihapusnya frasa lahan pertanian pada Pasal 6 ayat (2) dalam Perda No. 14 tahun 2010 oleh Pemkab Badung tentunya akan membawa dampak negatif bagi keberadaan lahan pertanian di daerah Badung. Pengenaan tarif pajak BPHTB sebesar 0% (nol persen) yang juga berlaku pada lahan pertanian merupakan suatu tindakan yang keliru dari Pemkab Badung. Tentunya dengan pengenaan tarif tersebut, pemilik lahan pertanian serta para petani di Kabupaten Badung akan tertarik untuk segera mewariskan lahan pertaniannya tersebut kepada keturunannya. Kondisi ini tentunya akan dimanfaatkan oleh investor untuk menguasai lahan pertanian yang nantinya digunakan untuk lahan
155 permukiman baru. Apalagi kebiasaan masyarakat yang sangat cepat terpengaruh akan janji-janji akan mendapatkan keuntungan yang besar dari investor. Terhadap hal tersebut, Pemkab Badung tetap menggunakan ketentuan Pasal 6 Perda No. 14 Tahun 2010 sebagai pelindung sektor dan lahan pertanian di Kabupaten Badung. Pada intinya keseluruhan dari kendala-kendala yang sudah disebutkan diatas, upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kendala yang terjadi adalah dengan melakukan pengkajian ulang terhadap Perda No. 14 Tahun 2010 dan Perda No. 28 Tahun 2013. Diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam dalam hal pengenaan pajak BPHTB atas waris, hibah dan hibah wasiat, agar nantinya tidak terjadi tumpang tindih serta ketidakadilan dalam hal pengenaan pajak BPHTB tersebut. Kajian terhadap konsep dari pajak BPHTB yang merupakan suatu pajak yang wajib untuk dikenakan pada setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 2009 juga harus dijadikan pertimbangan oleh Pemkab Badung ketika akan menentukan tarif pajak BPHTB untuk waris dan hibah wasiat. Disinilah peranan dari dibuatnya naskah akademik dalam sebuah perda, karena didalam naskah akademik tersebut akan berisikan tentang maksud dan tujuan serta hasil penelitian dan pengkajian, konsep-konsep yang akan diadopsi ke dalam perda terhadap rancangan perda yang akan dibuat. Disamping itu yang menjadi sangat penting untuk diperhatikan adalah partisipasi masyarakat serta praktisi khususnya dari ahli-ahli hukum agar suatu perda tersebut dapat dipahami dan dapat memberikan suatu keadilan, kepastian hukum, serta dapat bermanfaat bagi masyarakat.
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka
dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang diangkat pada tesis ini. Adapun kesimpulan dari tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Pengaturan pajak hibah wasiat pada BPHTB di Kabupaten Badung yakni Perda No. 28 Tahun 2013 menimbulkan pertentangan norma dengan UU No. 28 Tahun 2009. Dalam Perda No. 28 Tahun 2013 itu sendiri saat terjadinya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan karena waris atau hibah wasiat tarif yang digunakan adalah sebesar 0% (nol persen) sehingga membebaskan wajib pajak penerima waris atau hibah wasiat dari pajak BPHTB, padahal konsep BPHTB menurut UU No. 28 Tahun 2009 sendiri, setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperoleh oleh orang pribadi atau badan, dikenakan pajak BPHTB. 2. Kendala-kendala dalam pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada bea perolehan hak atas tanah dan bangunan tidak hanya muncul dari masyarakat yang akan melakukan transaksi waris atau hibah wasiat. Pemkab Badung juga dalam hal ini yang membebaskan masyarakat dari pajak hibah wasiat pada BPHTB ketika terjadi waris ataupun hibah wasiat kedepannya ketika kekurangan sumber pendanaan dari sector pajak selain dari pajak waris atau hibah wasiat, pasti akan kembali
156
157 mengenakan pajak waris atau hibah wasiat pada BPHTB terhadap masyarakat yang akan melakukan perbuatan hukum berupa waris atau hibah wasiat. 5.2
Saran 1. Pemkab Badung dalam membentuk suatu perda yang mengatur tentang pajak hibah wasiat pada BPHTB, meskipun sudah diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat, harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah serta memahami konsep-konsep dasar dari pajak BPHTB itu sendiri. Dalam membentuk suatu perda, hendaknya Pemkab Badung juga berpedoman pada peraturan perundangundangan yang terkait dengan pajak daerah dan pemerintahan daerah agar perda yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang. 2. Terhadap kendala-kendala yang muncul dari pengenaan tarif 0% (nol
persen) tersebut, Pemkab Badung hendaknya melakukan kajian ulang terhadap Perda No. 28 Tahun 2013 yang membebaskan penerima waris atau hibah wasiat dari kewajiban membayar pajak BPHTB, agar nantinya perda yang dibuat tidak hanya terlihat memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat di awal saja, namun justru menimbulkan pertentangan dengan undang-undang dan menimbulkan perdebatan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Afandi, Ali, 2000, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta. Bohari, 2002, Pengantar Hukum Pajak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Brotodiharjo, R. Santoso, 1987, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. 3, PT. Eresco, Bandung. Budiardjo, Meriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Burn, Danny, 1994, Robin Hambleton and Paul Hogget, The Politics of Decentralisation, Revitalising Local, Democracy, The Macmillan Pres Ltd. London. Chand, Hari, 1994, Modern Yurisprudence, International Law Book Services, Kuala Lumpur. Chaidir, Ellydar dan Sudi Fahmi, 2010, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta. Dicey, A.V., diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung. Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang. Gie, The Liang, 1978, Kumpulan Pembahasan Terhadap Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Indonesia, Cet. II, Karya Kencana, Yogyakarta. Hadjon, Philipus M., 1998, Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum Administrasi tahun 1997/1998, Fakultas Hukum Universita Airlangga, Surabaya. ______, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hamidi, Jazim, 1999, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia Upaya Menuju “Clean and Stable Government”, Citra Adiya Bakti, Bandung.
158
159 ______, Jazim dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. ______, Jazim, 2006, Revolusi hukum Indonesia-Makna Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press Citra Media, Jakarta-Yogyakarta. Hartoyo, Harry dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB & BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta. Ibrahim, Johny, 2006, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publising, Malang. Ilyas, Wirawan B., 2008, Hukum Pajak Edisi 4, Salemba empat, Jakarta. Indrati S, Maria Farida, 2007, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses Dan Teknik Penyusunan), Kansius, Yogyakarta. ______, 2012, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Cet. 13, Kansius Yogyakarta. Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. I, Pustaka Harapan, Jakarta. Kaho, Josef Riwu, 2005, Prospek Otonomi Daerah di Republik Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kie, Tan Thong, 2011, Studi Notaris dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Kusumaatmadja, Mochtar, 1995, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung. Mardiasmo, 2008, Perpajakan edisi Revisi 2008, C.V Andi offset, Yogyakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenata Media Group, Jakarta. McCoubrey, Hilaire and Nigel D. White, 1996, Jurisprudence, Blacstone Press Limited, London. Mertokusumo, Sudikno, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung.
160 Mulyawan, Iwan, 2010, Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Mitra Wacana Media, Jakarta. Munawir, Slamet, 1990, Perpajakan Edisi 1, BPFE, Yogyakarta. Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Pengantar Hukum Pajak, CV. Andi Offset, Yogyakarta. Purnamasari, Irma Devita, 2014, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Penerbit Kaifa, Bandung. Ridwan, HR. 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta. Saidi, Muhammad Djafar, 2010, Pembaruan Hukum Pajak (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta. Seidman Ann, Robeth B. Seidman dan Nalin Abeyeskere, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis : sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, Edisi Kedua, Proyek Elips II, (terjemahan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta. _______, Marihot Pahala, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek, Edisi I, PT. Raja Grafindo, Jakarta. Siahaan, Marihot Pahala, 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah, Rajawali Pers, Jakarta. _______, Marihot Pahala, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek,Edisi I Cet. I, PT. Raja Grafindo, Jakarta. Siti Resmi, 2004, Perpajakan Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta. Situmorang, Victor, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
161 _______, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemitro, Rochmat, 1977, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, PT. Eresco, Bandung. _______, Rochmat, 1990, Asas Dan Dasar Perpajakan I, PT. ERESCO, Bandung. Soemitro, Rony Hanitjo, 1988, Metodologi penulisan Hukum, dan Jurimetri, Cet III, Ghalia Indonesia, Jakarta. Suandi, Erly, 2014, Hukum Pajak, Edisi 6, Salemba Empat, Jakarta. Supriyanto, Heru, 2010, Cara Menghitung PBB, BPHTB, dan Bea Meterai, PT. Indeks, Jakarta. Surakhmad, Winarno, 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah,Dasar-dasar Metode & Teknik ,Tarsito, Bandung. Sutedi, Adrian, 2008, Hukum Pajak dan Retribusi daerah, Ghalia, Bandung. Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. _______, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta. _______, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Tjahjono, Achmad dan Husein, Muhammad F., 2000, Perpajakan Edisi Pertama. UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Tunggal, Amin Widjaja, 1991, Pelaksanaan Pajak Penghasilan Perseorangan. Rineka Cipta, Jakarta. Van Wijk H. D. /Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Culemborg, Uitgeverij LEMMA BV. Wahyono, Padmo, 1983, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Walluyo, 2007. Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta. Wheare, KC., 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford.
162 2. Makalah/Jurnal Jundiani, 2010, Kewenangan Kelembagaan Negara Setelah Perubahan UUD 1945, De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Tahun I. Oyong, Bambang S., 2011, Notaris dan PPAT di wilayah Banjarmasin yang menyampaikan pendapatnya dalam bentuk makalah dengan judul “Pengalihan Pungutan BPHTB Dari Pusat ke Daerah”, Banjarmasin: 05 Maret 2011. South, Jantje D., 2013, Kewenangan Daerah Mengelola Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Jurnal Hukum Universitas Samratulangi Vol. I, Nomor 5. 3. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor). Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Terakhir Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999). Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130 ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) . Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2010 Nomor 14 ; Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 14).
163
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 28 ; Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 28). 4. Sumber Lain Devita,
Irma, “Pemilikan Tanah Secara Warisan,” http://irmadevita.com/2008/pemilikan-tanah-secara-warisan, diakses pada tanggal 11 Desember 2014.
Jubaedi, Bedi, “Pengenaan BPHTB atas Peristiwa Waris,” http://bradoks.wordpress.com/2008/01/24/pengenaan-bphtb-atasperistiwa-waris/, diakses pada tanggal 11 Desember 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_pengenaan_pajak http://www.ditjenpajak.go.id/baru/